Anda di halaman 1dari 11

wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiop

dfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzx
bnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwe
Kerajaan Riau Lingga
yuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdf
X MIA 3
hjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvb
Kelompok 2

mqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyu
Agus Riansyah
Ahmad Naufal
pasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjk
Saskia Pradina
Sintya Agusti Hadi
xcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmq
Sukma Dewita

ertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopa
dfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxc
bnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwert
uiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg
klzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbn
rtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopas
ghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcv
nmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwerty
opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghj
zxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnm
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur saya haturkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang telah
memberikan banyak nikmat, taufik dan hidayah. Sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Pengenalan Internet Secara Efektif Kepada Masyarakat Desa”
dengan baik tanpa ada halangan yang berarti.

Makalah ini telah saya selesaikan dengan maksimal berkat kerjasama dan bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu saya sampaikan banyak terima kasih kepada segenap
pihak yang telah berkontribusi secara maksimal dalam penyelesaian makalah ini.

Diluar itu, penulis sebagai manusia biasa menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak
kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik dari segi tata bahasa, susunan kalimat
maupun isi. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati , saya selaku penyusun
menerima segala kritik dan saran yang membangun dari pembaca.

Dengan karya ini saya berharap dapat membantu pemerintah dalam mencerdaskan
kehidupan bangsa Indonesia melalui pengembangan internet di desa-desa.

Demikian yang bisa saya sampaikan, semoga makalah ini dapat menambah khazanah ilmu
pengetahuan dan memberikan manfaat nyata untuk masyarakat luas.

Malang, 18 Agustus 2016

Penulis
PENDAHULUAN

A) Latar Belakang

Kesultanan Lingga merupakan Kerajaan Melayu yang pernah berdiri di Lingga, Kepulauan
Riau, Indonesia. Berdasarkan Tuhfat al-Nafis, Sultan Lingga merupakan pewaris dari Sultan
Johor, dengan wilayah mencakup Kepulauan Riau dan Johor. Kerajaan ini diakui
keberadaannya oleh Inggris dan Belanda setelah mereka menyepakati Perjanjian London
tahun 1824, yang kemudian membagi bekas wilayah Kesultanan Johor setelah sebelumnya
wilayah tersebut dilepas oleh Siak Sri Inderapura kepada Inggris tahun 1818, namun
kemudian diklaim oleh Belanda sebagai wilayah kolonialisasinya.
Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah merupakan sultan pertama kerajaan ini. Kemudian
pada tahun 3 Februari 1911, kesultanan ini dihapus oleh pemerintah Hindia Belanda.
Kesultanan ini memiliki peran penting dalam perkembangan bahasa Melayu hingga menjadi
bentuknya sekarang sebagai bahasa Indonesia. Pada masa kesultanan ini bahasa Melayu
menjadi bahasa standar yang sejajar dengan bahasa-bahasa besar lain di dunia, yang kaya
dengan susastra dan memiliki kamus ekabahasa. Tokoh besar di belakang perkembangan
pesat bahasa Melayu ini adalah Raja Ali Haji, seorang pujangga dan sejarawan
keturunan Bugis

B) Rumusan Masalah.

1. Jelaskan sebab didirikannya kerajaan riau lingga


2. Faktor pendukung dan pendorong kerajaan riau lingga mengalami puncak kejayaan
3. Jelaskan bagaimana perluasan wilayah kerajaan riau lingga
4. Faktor yang menyebabkan kemunduran kerajaan riau lingga
5. Bagaimana sosial budaya kerajaan riau lingga
6. Perbedaan antara kerajaan hindu budha dengan kerajaan islam
Berdirinya Kerajaan Riau Lingga

Lingga pada awalnya merupakan bagian dari Kesultanan Malaka, dan


kemudian Kesultanan Johor. Pada 1811 Sultan Mahmud Syah III mangkat. Ketika
itu, putra tertua, Tengku Hussain sedang melangsungkan pernikahan di Pahang.
Menurut adat Istana, seseorang pangeran raja hanya bisa menjadi Sultan
sekiranya dia berada di samping Sultan ketika mangkat. Dalam sengketa yang
timbul Britania mendukung putra tertua, Husain, sedangkan Belanda mendukung
adik tirinya, Abdul Rahman. Traktat London pada 1824 yang isinya bahwa
semenanjung Malaya merupakan dalam pengaruh Inggris dan Sumatra serta
pulau-pulau disekitarnya merupakan dalam pengaruh Belanda. membagi
Kesultanan Johor menjadi dua: Johor berada di bawah pengaruh Britania
sedangkan Riau-Lingga berada di dalam pengaruh Belanda. Dan akhirnya pada
tahun 1824 Kerajaan Johor-Riau terbagi menjadi 2 Kerajaan, Kerajaan Johor
dengan raja pertamanya Tengku Hussain bergelar Sultan Hussain Syah (1819-
1835) putra tertua Sultan Mahmud Syah lll, sedangkan Sultan Abdul Rahman
Muazzam Syah yang merupakan adik Tengku Hussain, menjadi Sultan pertama
Kerajaan Riau Lingga bergelar Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah.

Puncak Kejayaan Kerajaan Riau Lingga

Kerajaan ini mencapai puncak keemasannya pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman
Badrul Alamsyah ll Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke lV, memerintah dari tahun 1857
hingga 1883 M. Salah satu factor kejayaan kerajan ini adalah karna perluasan wilayah yang
pesat. Wilayahnya meliputi Provinsi Kepulauan Riau sekarang, tetapi tidak termasuk
Provinsi Riau yang didominasi oleh Kerajaan Siak yang sebelumnya telah memisahkan diri
dari Kerajaan Johor-Riau. Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah ll adalah putra almarhum
Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah dengan permaisurinya Cek Nora (keturunan
Belanda). Memerintah di Daik Lingga pada tahun 1857 hingga 1883. Daik Lingga semakin
berkembang pesat menjadi pusat perdagangan dan pemerintahan dengan banyaknya
pendatang-pendatang dari Sulawesi, Kalimantan, Siak, Pahang, Bangka, Belitung, Cina,
Padang dan sebagainya ke Daik.
Perluasan Wilayah Kerajaan Riau Lingga

Menurut buku Engku Putri Raja Hamidah : Pemegang Regalia Kerajaan Riau yang
berpedoman pada surat-surat atau kontrak politik sebagaimana tertera dalam himpunan
surat-surat perjanjian yang berjudul Surat-surat Perdjandjian Antara Kesultanan Riau
dengan Pemerintah-pemerinah VOC dan Hindia Belanda 1784-1909 (Arsip Nasional
Republik Indonesia, Djakarta, 1970), wilayah kekuasaan kesultanan Riau Lingga meliputi
seluruh Kabupaten Kepulauan Riau sebelum terjadi pemekarandaerah ditambah dengan
beberapa emirat (pemerintahan {negeri, negara} yang dikepalai oleh seorang emir atau
kepala pemerintahan) Seperti Mandah yang terdiri dari Igal, Gaul, Reteh, dan Mandah yang
pada mulanya termasuk kedalam daerah Inderagiri, tetapi kemudian dibagi lagi menjasi
Inderagiri Hilir.

Kemunduran Kerajaan Riau Linnga


Pada tanggal 18 Mei 1905 Belanda membuat perjanjian baru yang antara lain berisikan
bahwa Belanda membatasi kekuasaan Kerajaan Riau Lingga dan mewajibkan Bendera
Belanda harus dipasangkan lebih tinggi daripada Bendera Kerajaan Riau Lingga. Perjanjian
ini dibuat Karena Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll Yang Dipertuan Besar Riau
Lingga ke Vl (1885-1911) saat itu terang-terangan menantang Belanda.

Belanda memaksa Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll untuk menandatangani


perjanjian tersebut, tetapi atas mufakat pembesar-pembesar Kerajaan seperti Engku
Kelana, Raja Ali, Raja Hitam dan beberapa kerabat Sultan, maka Sultan Abdul Rahman
Muazzam Syah ll menolak menandatangani perjanjian tersebut. Sultan Abdul Rahman
Muazzam Syah ll membuat persiapan dengan membentuk Pasukan dibawah pimpinan
Putra Mahkota, yaitu Tengku Umar/Tengku Besar. Sikap tegas Sultan Abdul Rahman
Muazzam Syah ll dan pembesar Kerajaan menantang Belanda menimbulkan amarah
Belanda, maka pada bulan Febuari 1911, kapal-kapal Belanda mendekati pulau Penyengat
pada pagi hari dan menurunkan ratusan orang serdadu untuk mengepung Istana dan
datang Kontlir H.N Voematra dari Tanjung Pinang mengumumkan pemakzulan Sultan
Abdul Rahman Muazzam Syah ll. Atas pertimbangan agar tidak terbunuhnya rakyat di pulau
Penyengat, maka Sultan Abdul Rahman Syah ll beserta pembesar-pembesar Kerajaan
Riau Lingga tidak melakukan perlawanan. Dengan demikian berakhirlah Kerajaan Riau
Lingga dan dimulailah kekuasaan Belanda di Riau Lingga. Pada tahun 1913 Belanda resmi
memerintah langsung di Riau Lingga.

Sosial Budaya Kerajaan Riau Lingga

Sejak abad ke-18, Kesultanan Melayu Riau (Riau-Lingga) dipegang oleh dua
kelompok sukubangsa, yaitu Melayu dan Bugis. Kedua sukubangsa ini selalu
bersaing untuk dapat mendominasi pemerintahan kesultanan. Persaingan ini
menimbulkan keretakan, sehingga terjadi perang, seperti perang melawan Raja
Kecil dari Siak (1717–1726).
Namun, Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah berhasil memupuk kembali
persahabatan antara Melayu dan Bugis melalui sumpah setia Melayu dan Bugis.
Selanjutnya juga diadakan pernikahan antara kedua sukubangsa tersebut.
Saudara-saudara Sultan Sulaiman menikah dengan keturunan Bugis. Daeng
Perani dinikahkan dengan Tengku Tengah. Daeng Celak menikah dengan Tengku
Mandah. Sejak itu pernikahan antar sukubangsa merupakan kebiasaan yang
meluas. Akibatnya timbul pembauran antara kedua sukubangsa tersebut dan
terpupuk persatuan di antara mereka.
Rasa persatuan yang telah mengikat kelompok masyarakat yang tergolong
pemimpin itu berpengaruh besar terhadap tumbuhnya sistem kemasyarakatan
dalam kehidupan kesultanan. Pada pihak lain kehidupan sosial yang ditumbuhkan
pemerintah kolonial Belanda membedakan bumiputra dan orang asing. Terjadinya
peningkatan kesadaran kelompok di kalangan bumiputra telah menumbuhkan rasa
persatuan yang kuat untuk menentang sistem diskriminasi kolonial Belanda.
Keadaan ini merangsang para cendekiawan Riau-Lingga untuk berjuang secara
fisik (perang Raja Haji tahun 1782–1784) dan selanjutnya berjuang melalui
organisasi dan tulisan-tulisan yang memupuk rasa persatuan.
Sultan Abdul Rachman mencoba meningkatkan kesejahteraan masyarakat
melalui usaha-usaha seperti (a) penyediaan pemukiman bagi semua golongan
penduduk di Penyengat, (b) penyediaan pengobatan melalui pembangunan rumah
tabib, (c) penyediaan tempat ibadah dan pendidikan agama di masjid Penyengat,
(d) pemberian jaminan untuk keperluan sehari-hari bagi penduduk yang berdiam di
Penyengat.
Penduduk diberi tugas atau pekerjaan menurut keterampilan dan kemampuan
yang dimiliki. Masing-masing sukubangsa dipercaya untuk melaksanakan
pekerjaan sebagai prajurit, pedagang, nelayan, pendayung sampan, dan
sebagainya. Sukubangsa Cina pun diberi kesempatan bermukim di Penyengat,
yaitu di pantai timur laut Penyengat. Orang Cina diberi kesempatan seperti
penduduk lainnya untuk hadir dalam upacara kesultanan.
Menjelang berakhirnya pemerintahan kesultanan (1911), timbul usaha para cerdik
cendekiawan untuk membentuk perkumpulan Rusydiah Klub. Tujuan Rusydiah
Klub adalah untuk memberikan dukungan kepada kesultanan dalam menghadapi
pemerintah Hindia Belanda. Usahanya antara lain dengan menggalakkan
penulisan. Raja Ali Haji telah mempelopori lahirnya pengarang dalam kesultanan,
seperti Raja Ali Tengku Kelana, Raja Hitam, Raja Aisyah, Raja Haji Abdullah bin
Hasan Riau, Raja Zaleha, Haji lbrahim, dan lainnya.
Usaha Rusydiah Klub meliputi bidang ilmu pengetahuan, syiar agama Islam, dan
kegiatan politik untuk kepentingan Kesultanan Riau-Lingga. Sekitar tahun 1906
Rusydiah Klub berhasil menerbitkan majalah Al-Iman di Singapura dengan motto
“Menggalang Kekuatan Umat Islam”. Akibatnya, anggota Rusydiah Klub mendapat
tekanan dari Belanda dan mereka pindah ke Singapura, termasuk Sultan. Dari
sana mereka meneruskan perlawanan menentang Belanda. Sejak itu Belanda
berkuasa penuh di Kesultanan Riau-Lingga dan status pemerintahan
menjadi Residentie Riow en Onderhorigheden.
Kesultanan Melayu Riau menjalankan pemerintahan menurut ketentuan tradisi
yang turun-temurun maupun menurut ketentuan tertulis. Kesultanan sebagai
daerah laut telah mempunyai ketentuan (undang-undang) tentang laut. Undang-
undang ini pernah disalin kembali oleh Sultan Muzafansyah II pada tahun 1066 H
atau 1665 M (Lutfi, 1977: 834).
Undang-undang yang ada antara lain Undang-undang Jabatan Riau-Lingga yang
diungkapkan pada tahun 1303 H atau 1883 M dan antara lain menentukan jabatan
pegawai yang dikuasakan melakukan keadilan, Undang-undang Mahkamah (Lutfi,
1977: 846), dan Undang-undang Lima Pasal dari Riau. Undang-undang Lima
Pasal mungkin dikeluarkan pada masa Sultan Machmud Muzafansyah (1841–
1857). Undang-undang ini antara lain memuat 1) asal raja yang mukhtasar (raja-
raja yang memerintah, jabatan Yang Dipertuan Muda Riau, jabatan-jabatan
Bendahara Riau, jabatan-jabatan Tumenggung Riau); 2) adat-istiadat Raja-raja
Melayu (sumpah setia, peraturan kenaikan pangkat di kalangan pembesar,
pelantikan berdasarkan keturunan, pekerjaan menzahirkan gelaran dan lantikan);
3) pembagian kuasa dan hak memerintah; 4) perbincangan mengenai bahasa
diraja dan nobat; 5) wakil mutlak (Sham, 1980a: 65–72).
Perjanjian antara kesultanan dan Belanda selalu menjadi dasar dalam
pelaksanaan pemerintahan. Salah satu perjanjian yang ditandatangani oleh
Belanda dan Yang Dipertuan Muda Jaafar pada 1905 memuat tentang pengakuan
Sultan atas kekuasaan Hindia Belanda di Riau-Lingga. Salah satu pasalnya
menyebutkan tentang wilayah Riau-Lingga yang meliputi (a) pulau-pulau yang
termasuk dalam lingkungan Lingga-Riau, Batam, Karimun, dan Pulau Tujuh Kecil;
(b) pulau-pulau Natuna; (c) pulau-pulau Tambelan; dan (d) Pesisir Penca
(Sumatera), meliputi Kuala-kuala Indragiri yang bernama Danai, Kateman,
Mandah, Igal, dan Gaung, serta sebelah Kuala Indragiri yang bernama Reteh
(Lutfi, 1977: 857).
Berdasarkan kenyataan di atas, Kesultanan Riau-Lingga sudah diatur atas hukum
tertulis, sehingga dapat disebut sebagai kesultanan yang mempunyai ciri hukum
dasar. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kedaulatan Kesultanan Riau-
Lingga pada awalnya berada di tangan Sultan, namun pada akhirnya Sultan hanya
sebagai simbol. Usaha kesultanan untuk membina kesatuan dan kemajuan
masyarakat cukup tinggi, sehingga melahirkan para cendekiawan yang berhasil
menumbuhkan persatuan untuk menentang penjajahan Belanda.
3. Kesatuan Dalam Keragaman Budaya
a. Pengembangan Nilai Budaya
Kesultanan Melayu di Riau, terutama masa pemerintahan Riau-Johor dan Riau-
Lingga, telah berhasil menumbuhkan bahasa Melayu menjadi bahasa ragam tulis,
berkat jasa para cendekiawan, seperti Raja Ali Haji dan kawan-kawan. Raja Ali
Haji merupakan seorang ahli sejarah, bahasa, agama, dan penasihat dalam
pemerintahan, terutama pada masa Yang Dipertuan Muda Raja Ali. Raja Ali Haji
menasihati Yang Dipertuan Muda Raja Ali berdasarkan atas ajaran agama Islam.
Ini terlihat dalam karyanya Mukadimah Fi Intizam al-Wasaif al-Muluk Khususan Ila
Maulana wa Sahabina wa Akhina, Yang Dipertuan Muda Raja Ali Al-Mudabbir AI-
Riyauwiyah wa Syair Dairathi (Sham, 1980).
Kesultanan Melayu berhasil mengembangkan agama Islam, terutama pada masa
pemerintahan Yang Tuan Muda Raja Abdul Rachman (1833–1844), Yang Tuan
Muda Raja Ali (1845–1857), dan Yang Tuan Muda Raja Abdullah (1857– 1858).
Pada masa itu, telah didatangkan ahli agama dari luar, seperti Syekh Ahmad
Jabrati, Syekh Muhammad Arsyad Banjar, dan Sayid Abdullah Bahrin (Sham,
1980). Dalam pengembangan agama Islam, juga dikembangkan satu aliran
tarekat, yaitu Tarekat Naqsyabandiah. Tarekat ini dikembangkan oleh pemerintah
mulai dari pemerintahan Yang Dipertuan Muda Raja Ali (1845–1857) sampai Raja
Mohammad Yusof. Dari Penyengat, tarekat ini berkembang ke Babussalam,
Langkat, Sumatera Utara, Semenanjung Melayu, serta Singapura-Rokan dan
daerah sekitarnya (Sham, 1980: 85). Penyengat kemudian berhasil dikembangkan
sebagai pusat agama, bahasa dan sastra, adat, dan kesenian Melayu yang
sampai sekarang masih dapat disaksikan peninggalan dan bekas-bekasnya.
Apabila dikaji menurut adat keTumenggungan dan adat perpatih, adat
keTumenggungan berkembang di kalangan keturunan bangsawan, yaitu di
wilayah kesultanan. Adapun adat perpatih terdapat di Kuantan dan daerah
Kampar. Islam berkembang di Kesultanan Melayu secara luas dan mendalam,
sehingga tata nilai dan adat masyarakat sangat dipengaruhi ajaran Islam.
Gambaran pengaruh tersebut dituangkan dalam ungkapan “Adat bersendi syarak,
syarak bersendi kitabullah”, walaupun masyarakat Melayu mempunyai adat-
istiadat yang mengatur kehamilan, pertunangan, perkawinan, penobatan raja, dan
sebagainya (Panuti, 1982). Kini, agama Islam, adat Melayu, dan bahasa Melayu
yang berkembang di Kesultanan Melayu merupakan identitas masyarakat Melayu
itu sendiri.
b. Budaya Melayu Menghadapi Budaya Asing
Unsur-unsur budaya yang merupakan identitas Melayu kemudian tumbuh dan
berkembang, namun penetrasi kolonial Belanda yang secara bertahap menguasai
wilayah Kesultanan Melayu itu menimbulkan perubahan nilai di kalangan tertentu.
Masyarakat pada umumnya menentang masuknya nilai-nilai Barat tersebut.
Puncak perlawanan secara fisik ditunjukkan oleh pejuang seperti perlawanan Raja
Haji pada tahun 1782 hingga tahun 1784 (Suwardi dkk., 1981/1982b). Salah satu
unsur budaya yang dapat membendung pengaruh budaya asing adalah
kefanatikan masyarakat Melayu terhadap agama Islam. Masyarakat Melayu
memandang orang Belanda sebagai orang kafir.
Di pihak lain, Belanda mencoba menanamkan nilai-nilai budayanya, seperti
misalnya penggunaan bahasa Belanda dan tatakrama Barat. Pemakaian bahasa
Belanda merupakan saingan terhadap pemakaian bahasa Melayu. Pada mulanya
pemerintah Belanda menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa kelas dua, akan
tetapi berkat usaha para cendekiawan Melayu, bahasa Melayu kemudian
berkembang menjadi bahasa yang semakin sempurna. Lambat-laun Belanda
terpaksa menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi pemerintahan dan
bahasa pengantar di sekolah. Bahkan, bahasa Melayu kemudian ternyata berhasil
mempersatukan berbagai sukubangsa di wilayah Nusantara yang kemudian
bergabung menjadi satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia.
Perbedaan Antara Kerajaan Hindu Budha Dengan Kerajaan Islam

1. Konsep kekuasaan kerajaan bercorak Hindu –Budha


Pada awal berdirinya kerajaan hindu-budha di Indonesia kerajaan
hindu-budha tersebut mengangkat seorang raja sebagai seorang pemimpin
tertinggi dengan gelar yang dianggap sebagai penjelmaan dewa tertinggi yang
memegang peranan sebagai pimpinan pada suatu pemerintahan untuk
mencapai kejayaan pada kerajaan tersebut.
Ada beberapa macam bentuk pemerintahan kerajaan hindu-budha antara lain :
a. Raja yang dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia yang memegang
otoritas politik tertinggi dan menduduki puncak hirarki kerajaan. Raja juga
memiliki kedudukan dalam kelompok yang disebut Battara Sapta Prabu atau
semacam Dewan Pertimbangan Agung.
b. Yuwaraja atau Kumamararaja Jabatan ini biasanya diduduki oleh putra
atau putri mahkota.
c. Rakryan Mahamantri Katrini Jabatan tersebut telah ada pada zaman
Mataram hindu, yakni pada masa Rakai Kayuwangi ,dan tetap ada sampai
masa kerajaan Majapahit.
d. Rakryan Mahamantri ri Pakirankiran. Jabatan ini berupa kelompok
pejabat tinggi yang berfungsi semacam Dewan Mentri atau sebagai Badan
Pelaksana Pemerintahan. Biasanya terdiri atas 5 orang(para tanda rakryan)
e. Dharmmadhyaksa adalah pejabat tinggi yang bertugas dalam yuridiksi
keagamaan.
2. Konsep kekuasaan kerajaan bercorak Islam
Dalam kerajaan islam raja bukan lah dewa, kerjaan islam menggunakan istilah
sultan yaitu orang yang paling di percaya untuk bisa mengatur suatu daerah.
Adapun bentuk dan istilah yang digunakan untuk melambangkan pemerintaha
kerajaan Islam antara lain :
1. Sultan dan Susuhunan
Pada zaman kerajaan bercorak Islam, sistem pemerintahan kerajaan
bercorak agama Islam dan dipimpin oleh seorang sultan yang merupakan
sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut seorang raja, adapula
sebutan-sebutan untuk seorng raja yakni: Susuhunan, Panembahan, dan
Maulana. Diluar daerah jawa adapula panggilan maupun sebutan untuk
seorang raja yakni; sombaya (yang di sembah), payunge( yang berpayung),
dan masih banyak lagi.
2. Sunan
Sunan adalah istilah untuk menyebutkan seorang yang dituakan dan
berpengalaman luas dalam agama islam. Selain itu pula para sunan adalah
sebagian orang yang bertugas untuk mengajarkan dan menerapkan agama
islam di masyarakat.

Peninggalan Kerajaan Riau Lingga

1. Masjid Raya Pulau Penyengat


2. Naskah Koleksi Masjid Sultan Lingga
3. Sekolah Kerajaan
4. Makam Merah
5. Alat Kesenian Tradisional

Anda mungkin juga menyukai