Anda di halaman 1dari 30

PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH BANGSA INDONESIA

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada semester 1 mata
kuliah Pancasila program studi Ilmu Gizi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
muhammadiyah Surakarta

DI SUSUN OLEH :
1. Enok Nur Siti Aisyah

J310160061

2. Yodya Syanindita

J310160071

3. Alya Chanifa T

J310360075

4. Chusnul Tsalasia

J310160079

5. Yuska Ismatul Hayah

J310160082

6. Mutia Aprillianti

J310160089

7. Jihan Fadhilah

J310160096

PROGRAM STUDI ILMU GIZI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016

BAB I
PENDAHULUAN
a. Fakta
Pentingnya mengetahui sejarah Bangsa Indonesia karena sejarah merupakan guru
kehidupan. Seperti yang dikatakan Presiden Ir. Soekarno Jangan Sekali kali Meninggalkan
Sejarah atau JAS MERAH. Sejarah pada suatu bangsa memerlukan suatu konsepsi dan
cita-cita bagi kemajuan dalam mencapai tujuan suatu bangsa.
b. Data
1. Pada tanggal 29 Mei 1945, Dr. Radjiman Wediodiningrat Ketua BPUPKI
meminta sidang untuk mengemukakan dasar negara.
2. BPUPKI melaksanakan sidang pertamakali pada tanggal 29 Mei 1
Juni 1945, mengusulkan tentang dasar negara.
3. Pancasila ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
c. Urgensi
Karena dengan mempelajari pancasila dalam kajian sejarah bangsa indonesia akan
menumbuhkan semangat juang yang dimiliki oleh para pahlawan bangsa, serta bisa
menerapkan pribadi yang lebih baik dalam menata kepribadian diri dengan keadaan bangsa
untuk menciptakan sebuah negara yang lebih baik jika memiliki kader dan penerus bangsa
yang tahu keadaan bangsa nya dengan baik dalam hal memperbaiki setiap permasalahanpermasalahan yang ada disetiap bidang. Selain itu pentingnya dapat dilihat dari kajian
historis pancasila ialah untuk menjaga kesatuan negara republik Indonesia. Karena itu
seluruh komponen bangsa harus secara imperatif kategoris menghayati dan melaksanakan
pancasila baik sebagai pandangan hidup bangsa, dengan berpedoman dengan nilai pancasila
dan pembukaan UUD 1945 dan secara konsisten menaati ketentuan-ketentuan dalam pasa
UUD 1945.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A) INTI POKOK PENGETAHUAN


1. SEJARAH LAHIRNYA PANCASILA
Sesuai fakta sejarah, Pancasila tidak terlahir dengan seketika pada tahun 1945, tetapi
membutuhkan proses penemuan yang lama, dengan dilandasi oleh perjuangan bangsa dan
berasal dari gagasan dan kepribadian bangsa Indonesia sendiri.Proses konseptualisasi yang
panjang ini ditandai dengan berdirinya organisasi pergerakan kebangkitan nasional, partai
politik, dan sumpah pemuda.Dalam usaha merumuskan dasar negara(Pancasila), muncul
usulan-usulan pribadi yang dikemukakan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia yang dikemukakan oleh para tokoh.
2. PANCASILA DI ERA PRA KEMERDEKAAN
KERAJAAN KUTAI
Menampilkan nilai sosial politik, dan Ketuhanan dalam bentuk kerajaan, kenduri dan sedekah
kepada para Brahmana
KERAJAAN SRIWIJAYA
Nilai persatuan yang tidak terpisahkan dengan nilai keTuhanan yang tampak pada raja sebagai
pusat kekuasaan dengan kekuatan religius berusaha mempertahankan kewibawaannya terhadap
para datu
KERAJAAN MAJAPAHIT
Pancasila dikenali yang terdapat dalam buku Nagarakertagama karangan Prapanca dan buku
Sutasoma karangan Empu Tantular.
3. PANCASILA ERA KEMERDEKAAN

Bom atom dijatuhkan di hiroshima pada tanggal 16 Agustus 1945 sehingga menurunkan
moral semangat tentara Jepang. Bom kedua dijatuhkan di Nagasaki sehingga membuat
Jepang menyerah terhadap Amerika. Peristiwa ini dimanfaatkan Indonesia untuk
mempromaklamasikan negaranya.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno dan Moh. Hatta memproklamirkan
kemerdekaan Indonesia.

4. Pancasila pada era Orde Lama


Terjadi pergolakan kembali, antara Pancasila dalam Piagam Jakarta atau yang telah
disepakati di sidang PPKI. Konstituante mengalami kebuntuan pada bulan juni 1959.
Presiden Soekarno turun tangan dengan sebuah Dekrit Presiden yang disetujui oleh kabinet
tanggal 3 Juli 1959, dan diumumkan secara resmi oleh presiden pada tanggal 5 Juli 1959

pukul 17.00 di depan Istana Merdeka. Pengubahan Sila Pertama Pancasila menjadi
Ketuhanan Yang Maha Esa.
5. Pancasila pada era Orde Baru
Jatuhnya Soekarno dari kedudukannya sebagai presiden oleh MPRS. Presiden Soeharto
pada tahun 1968 Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 12 tahun 1968
yang menjadi panduan dalam mengucapkan Pancasila sebagai dasar negara. Pada tanggal 22
Maret 1978 ditetapkan ketetapan (disingkat TAP) MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Pada bulan Agustus 1982 Pemerintahan Orde
Baru menjalankan Azas Tunggal. Pancasila menjadi alat bagi pemerintah untuk semakin
berkuasa di Indonesia. Timbul kesadaran dan gerakan masyarakat yang dipelopori oleh
mahasiswa, cendekiawan dan masyarakat.
6. Pancasila pada Era Reformasi
Ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, yang kemudian
disusul dengan dilantiknya Wakil Presiden Prof. Dr. B.J. Habibie menggantikan kedudukan
Presiden. Nilai nilai reformasi yang terkandung dalam setiap sila Pancasila. Lunturnya NilaiNilai Pancasila ( phobia pancasila ).
B) POLA PENGEMBANGAN
SEJARAH LAHIRNYA PANCASILA
Sesuai fakta sejarah, Pancasila tidak terlahir dengan seketika pada tahun 1945, tetapi
membutuhkan proses penemuan yang lama, dengan dilandasi oleh perjuangan bangsa dan berasal
dari gagasan dan kepribadian bangsa Indonesia sendiri.Proses konseptualisasi yang panjang ini
ditandai dengan berdirinya organisasi pergerakan kebangkitan nasional, partai politik, dan sumpah
pemuda.Dalam usaha merumuskan dasar negara(Pancasila), muncul usulan-usulan pribadi yang
dikemukakan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia antara
lain:
Muhammad Yamin, pada pada tanggal 29 Mei 1945 berpidato mengemukakan usulannya
tentang lima dasar sebagai berikut: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri
Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Dia berpendapat bahwa ke-5 sila yang diutarakan tersebut
berasal dari sejarah, agama, peradaban, dan hidup ketatanegaraan yang tumbuh dan berkembang
sejak lama di Indonesia. Mohammad Hatta dalam memoarnya meragukan pidato Yamin tersebut.
Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 mengemukakan PancaSila sebagai dasar negara dalam
pidato spontannya yang selanjutnya dikenal dengan judul "Lahirnya Pancasila". Ir. Sukarno
merumuskan dasar negara: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme,atau peri-kemanusiaan,
Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial, KeTuhanan yang Maha Esa.
Dari banyak usulan-usulan yang mengemuka, Ir. Soekarno berhasil mensintesiskan dasar
falsafah dari banyak gagasan dan pendapat yang disebut Pancasila pada 1 Juni 1945.
Rumusan dasar Negara ini kemudian didadar kembali oleh panitia yang dibentuk
BPUPKI(Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan dimasukkan ke

Piagam Jakarta. Selanjutnya pada tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila secara sah menjadi dasar
Negara yang mengikat.
Sebelum disahkan, terdapat bagian yang diubah Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Rumusan butir-butir Pancasila yang pernah digagas, baik yang disampaikan dalam pidato Ir.
Soekarno ataupun rumusan Panitia Sembilan yang termuat dalam Piagam Jakarta adalah sejarah
dalam proses penyusunan dasar negara.
Rumusan tersebut semuanya otentik sampai akhirnya disepakati rumusan sebagaimana terdapat
pada alinea keempat Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 yang disahkan pada tanggal 18
Agustus 1945.
Berdasarkan sejarah, ada tiga rumusan dasar negara yang dinamakan Pancasila, yaitu rumusan
konsep Ir. Soekarno yang dibacakan pada pidato tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI,
rumusan oleh Panitia Sembilan dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, dan rumusan pada
Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 yang disahkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945.
Dengan demikian, rangkaian dokumen sejarah yang bermula dari 1 Juni 1945, 22 Juni 1945,
hingga teks final 18 Agustus 1945 itu, dapat dimaknai sebagai satu kesatuan dalam proses
kelahiran falsafah negara Pancasila. [#NEXT]
Arti Lambang Pancasila
Burung Garuda merupakan lambang negara Indonesia sejak negara ini berdiri. Akan tetapi
tidak semua orang tahu tentang arti dan makna Garuda Pancasila sebagai lambang negara.
Sebagai bangsa Indonesia paling tidak kita tahu dan mengerti arti lambang negara kita
sediri sebagai sikap penghargaan terhadap perjuangan para pendiri bangsa dan kelak dapat
menceritakan kepada anak cucu kita sebagai generasi penerus bangsa.
Burung Garuda Pancasila dalam cerita kuno tentang para dewa adalah kendaraan Dewa
Vishnu yang besar dan kuat. Warna Burung Garuda adalah kuning emas yang menggambarkan
sifat agung dan jaya.
Garuda adalah seekor burung gagah dengan paruh, sayap, ekor, dan cakar yang
menggambarkan kekuatan dan tenaga pembangunan
Jumlah bulu burung garuda pancasila memiliki melambangkan hari kemerdekaan Indonesia
, 17 Agustus 1945
Bulu masing-masing sayap berjumlah 17 helai, Bulu Ekor berjumlah 8 helai, Bulu Leher
berjumlah 45 helai
Di bagian dada burung garuda terdapat perisai yang dalam kebudayaan serta peradaban
bangsa Indonesia merupakan senjata untuk berjuang, bertahan, dan berlindung untuk meraih
tujuan. Perisai Garuda bergambar lima simbol yang memiliki arti masing-masing:

Bintang, sila ke-1 Pancasila, melambangkan Ketuhanan yang Maha Esa


Rantai Baja, sila ke-2, melambangkan Kemanusiaan yang adil dan beradab
Pohon beringin, sila ke-3, melambangkan Persatuan Indonesia
Kepala banteng, sila ke-4, melambangkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dan permusyawaratan perwakilan
Padi dan kapas, sila ke-5, melambangkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Garis hitam tebal di tengah perisai melambangkan garis katulistiwa yang melukiskan lokasi
Indonesia berada di garis katulistiwa. Warna dasar perisai adalah merah putih seperti warna
bendera Indonesia
Filsafat Pancasila
Sebagai suatu paham filosofis, pemahaman terhadap Pancasila pada hakekatnya dapat
dikembalikan kepada dua pengertian pokok, yaitu pengertian Pancasila sebagai pandangan hidup
dan sebagai Dasar Negara.
Secara etimologis kata filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia yang berarti
cinta kearifan kata philosophia tersebut berasal dari kata philos (pilia, cinta) & sophia
(kearifan).
Berdasarkan pengertian bahasa tersebut filsafat berarti juga cinta kearifan. Kata kearifan
bisa juga bermakna wisdom atau kebijaksanaan sehingga filsafat dapat juga bermakna cinta
kebijaksanaan.
Berdasarkan makna kata tersebut maka mempelajari filsafat berarti merupakan upaya
manusia untuk mencari kebijaksanaan hidup yang nantinya bisa menjadi konsep kebijakan hidup
yang bermanfaat bagi peradaban manusia.
Seorang ahli pikir disebut filosof, kata ini mula-mula dipakai oleh Herakleitos.
Pengetahuan bijaksana memberikan kebenaran, orang, yang mencintai pengetahuan bijaksana,
karena itu yang mencarinya adalah oreang yang mencintai kebenaran.
Tentang mencintai kebenaran adalah karakteristik dari setiap filosof dari dahulu sampai
sekarang. Di dalam mencari kebijaksanaan itu, filosof mempergunakan cara dengan berpikir
sedalam-dalamnya (merenung).
Hasil filsafat (berpikir sedalam-dalamnya) disebut filsafat atau falsafah. Filsafat sebagai
hasil berpikir sedalam-dalamnya diharapkan merupakan suatu yang paling bijaksana atau setidaktidaknya mendekati kesempurnaan.
Pengertian Pancasila
Pancasila merupakan ideologi dasar bagi negara Indonesia yang berasal dari ajaran budha
dalam kitab tripitaka dua kata: panca yang berarti lima dan sila yang berarti dasar. Jadi, secara
leksikal Pancasia bermakna lima aturan tingkah laku yang penting.

Pengertian Pancasila menurut Ir.Soekarno, Pancasila adalah jiwa bangsa Indonesia yang
turun-temurun sekian lamanya terpendam bisu oleh kebudayaan barat. Dengan demikian, Pancasila
tidak hanya falsafah bangsa, tetapi lebih luas lagi yakni falsafah bangsa Indonesia.
Pancasila merupakan hasil perenungan jiwa yang dalam, yang kemudian dituangkan dalam
suatu sistem yang tepat. Sedangkan Notonagoro (Ruyadi, 2003:16) menyatakan, Filsafat
Pancasila memberi pengetahuan dan pengertian ilmiah yaitu tentang hakekat dari Pancasila.
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat, memiliki dasar ontologis, dasar epistemologis dan
dasar aksiologis tersendiri, yang membedakannya dengan sistem filsafat lain.
Secara ontologis, kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk
mengetahui hakikat dasar dari sila-sila Pancasila. Notonagoro (Ganeswara, 2007:7) menyatakan
bahwa hakekat dasar ontologis Pancasila adalah manusia, sebab manusia merupakan subjek hukum
pokok dari Pancasila. Selanjutnya hakekat manusia itu adalah semua kompleksitas makhluk hidup
baik sebagai makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial.
Secara lebih lanjut hal ini bisa dijelaskan, bahwa yang berkeTuhanan Yang Maha Esa, yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta yang berkeadilan
sosial adalah manusia.
Kajian epistemologis filsafat Pancasila, dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakekat
Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Menurut Titus (Kaelan, 2007:15) terdapat tiga
persoalan mendasar dalam epistemologi yaitu:
(1) tentang sumber pengetahuan manusia;
(2) tentang teori kebenaran pengetahuan manusia ;dan
(3) tentang watak pengetahuan manusia.
Tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana diketahui bahwa Pancasila digali dari
nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sendiri serta dirumuskan secara bersama-sama oleh The
Founding Fathers kita. Jad, bangsa Indonesia merupakan Kausa Materialis-nya Pancasila.
Selanjutnya, Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan memiliki susunan yang bersifat
formal logis, baik dalam arti susunan sila-silanya maupun isi arti dari sila-silanya. Susunan sila-sila
Pancasila bersifat hierarkhis piramidal.
Selanjutnya, sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat juga memiliki satu kesatuan
dasar aksiologinya yaitu nilai- nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakekatnya juga
merupakan suatu kesatuan.
Filsafat Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia
Pancasila adalah suatu paham filsafat (philosophical way of thinking) oleh karena itu harus
dapat dipertanggungjawabkan secara logis dan dapat diterima oleh akal sehat.

Dalam pengertian tersebut, Pancasila disebut juga sebagai way of life, weltanschaung,
pegangan hidup, petunjuk hidup, dan sebagainya.
Dalam hal ini Pancasila adalah sebagai petunjuk arah kegiatan di segala bidang kehidupan,
sehingga seluruh tingkah laku dan perbuatan manusia Indonesia harus dijiwai dan merupakan
pancaran dari sila-sila Pancasila yang merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lain.
Sebagai pandangan hidup yang merupakan penjelmaan falsafah hidup bangsa, Pancasila
dalam pelaksanaannya sehari-hari tidak boleh bertentangan dengan norma-norma agama, normanorma kesusilaan, normanorma sopan santun, serta norma-norma hukum yang berlaku. [#NEXT]
Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia
Sebagai dasar negara, Pancasila harus dapat dipertanggung jawabkan secara yuridis
konstitusional (menurut hukum ketatanegaraan), oleh karena itu setiap orang tidak boleh atau tidak
bebas memberikan pengertian/penafsiran manurut pendapatnya sendiri.
Pancasila dalam pengertian ini sering disebut pula sebagai dasar falsafah negara
(philosofische grondslag) atau ideologi negara (staatsidee). Pancasila yang dikukuhkan dalam
sidang I dari BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 adalah di kandung maksud untuk dijadikan dasar
bagi negara Indonesia merdeka.
Ada pun dasar itu haruslah berupa suatu filsafat yang menyimpulkan kehidupan dan citacita bangsa dan negara Indonesa yang merdeka. Di atas dasar itulah akan didirikan gedung
Republik Indonesia sebagai perwujudan kemerdekaan politik yang menuju kepada kemerdekaan
ekonomi, sosial dan budaya.
Sidang BPUPKI telah menerima secara bulat Pancasila itu sebagai dasar negara Indonesia
merdeka. Dalam keputusan sidang PPKI kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila
tercantum secara resmi dalam Pembukaan UUD RI, Undang-Undang Dasar yang menjadi sumber
ketatanegaraan harus mengandung unsur-unsur pokok yang kuat yang menjadi landasan hidup bagi
seluruh bangsa dan negara, agar peraturan dasar itu tahan uji sepanjang masa.
Peraturan selanjutnya yang disusun untuk mengatasi dan menyalurkan persoalan-persoalan
yang timbul sehubungan dengan penyelenggaraan dan perkembangan negara harus didasarkan atas
dan berpedoman pada UUD.
Peraturan-peraturan yang bersumber pada UUD itu disebut peraturan-peraturan organik
yang menjadi pelaksanaan dari UUD. Pancasila tercantum dalam UUD 1945 dan bahkan menjiwai
seluruh isi peraturan dasar tersebut yang berfungsi sebagai dasar negara sebagaimana jelas
tercantum dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 tersebut.
Sebab itu, semua peraturan perundang-undangan Republik Indonesia (Ketetapan MPR,
Undang-undang, Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden dan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya) yang dikeluarkan oleh negara
dan pemerintah Republik Indonesia haruslah pula sejiwa dan sejalan dengan Pancasila (dijiwai
oleh dasar negara Pancasila).

Isi dan tujuan dari peraturan perundang-undangan Republik Indonesia tidak boleh
menyimpang dari jiwa Pancasila.
Bahkan, dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 ditegaskan, bahwa Pancasila itu
adalah sumber dari segala sumber hukum (sumber huum formal, undang-undang, kebiasaan,
traktaat, jurisprudensi, hakim, ilmu pengetahuan hukum).
Di sinilah tampak titik persamaan dan tujuan antara jalan yang ditempuh oleh masyarakat
dan penyusun peraturan-peraturan oleh negara dan pemerintah Indonesia.
Adalah suatu hal yang membanggakan bahwa Indonesia berdiri di atas fundamen yang
kuat, dasar yang kokoh, yakni Pancasila dasar yang kuat itu bukanlah meniru suatu model yang
didatangkan dari luar negeri.
Dasar negara kita berakar pada sifat-sifat dan cita-cita hidup bangsa Indonesia, Pancasila
adalah penjelmaan dari kepribadian bangsa Indonesia, yang hidup di tanah air kita sejak dahulu
hingga sekarang.
Pancasila mengandung unsur-unsur yang luhur yang tidak hanya memuaskan bangsa
Indonesia sebagai dasar negara, tetapi juga dapat diterima oleh bangsa-bangsa lain sebagai dasar
hidupnya.
Pancasila bersifat universal dan akan mempengaruhi hidup dan kehidupan banga dan
negara kesatuan Republik Indonesia secara kekal dan abadi.
Pancasila sebagai Jiwa Dan Kepribadian Bangsa Indonesia
Menurut Dewan Perancang Nasional, yang dimaksudkan dengan kepribadian Indonesia
ialah : Keseluruhan ciri-ciri khas bangsa Indonesia, yang membedakan bangsa Indonesia dengan
bangsa-bangsa lainnya.
Keseluruhan ciri-ciri khas bangsa Indonesia adalah pencerminan dari garis pertumbuhan
dan perkembangan bangsa Indonesia sepanjang masa.
Garis pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia yang ditentukan oleh kehidupan
budi bangsa Indonesia dan dipengaruhi oleh tempat, lingkungan dan suasana waktu sepanjang
masa.
Walaupun bangsa Indonesia sejak dahulu kala bergaul dengan berbagai peradaban
kebudayaan bangsa lain (Hindu, Tiongkok, Portugis, Spanyol, Belanda dan lain-lain) namun
kepribadian bangsa Indonesia tetap hidup dan berkembang.
Mungkin di sana-sini, misalnya di daerah-daerah tertentu atau masyarakat kota kepribadian itu
dapat dipengaruhi oleh unsur-unsur asing, namun pada dasarnya bangsa Indonesia tetap hidup
dalam kepribadiannya sendiri.
Mengapa pancasila dijadikan dasar negara?

Karena Pancasila merupakan falsafah negara

Pengertian Pancasila sebagai dasar negara diperoleh dari alinea keempat Pembukaan UUD
1945 dan sebagaimana tertuang dalam Memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 yang menandaskan
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang telah dimurnikan dan dipadatkan oleh PPKI atas
nama rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia. Memorandum DPR-GR itu
disahkan pula oleh MPRS dengan Ketetapan No.XX/MPRS/1966 jo. Ketetapan MPR
No.V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978 yang menegaskan kedudukan Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari tertib hukum di Indonesia. Inilah sifat
dasar Pancasila yang pertama dan utama, yakni sebagai dasar negara (philosophische grondslaag)
Republik Indonesia. Pancasila yang terkandung dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945
tersebut ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI yang dapat
dianggap sebagai penjelmaan kehendak seluruh rakyat Indonesia yang merdeka. Dengan syarat
utama sebuah bangsa menurut Ernest Renan: kehendak untuk bersatu (le desir detre ensemble)
dan memahami Pancasila dari sejarahnya dapat diketahui bahwa Pancasila merupakan sebuah
kompromi dan konsensus nasional karena memuat nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh semua
golongan dan lapisan masyarakat Indonesia. Maka Pancasila merupakan intelligent choice karena
mengatasi keanekaragaman dalam masyarakat Indonesia dengan tetap toleran terhadap adanya
perbedaan. Penetapan Pancasila sebagai dasar negara tak hendak menghapuskan perbedaan
(indifferentism), tetapi merangkum semuanya dalam satu semboyan empiris khas Indonesia yang
dinyatakan dalam seloka Bhinneka Tunggal Ika. Mengenai hal itu pantaslah diingat pendapat
Prof.Dr. Supomo: Jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan
keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka Negara kita harus berdasar atas aliran
pikiran Negara (Staatside) integralistik Negara tidak mempersatukan diri dengan golongan yang
terbesar dalam masyarakat, juga tidak mempersatukan diri dengan golongan yang paling kuat,
melainkan mengatasi segala golongan dan segala perorangan, mempersatukan diri dengan segala
lapisan rakyatnya Penetapan Pancasila sebagai dasar negara itu memberikan pengertian bahwa
negara Indonesia adalah Negara Pancasila. Hal itu mengandung arti bahwa negara harus tunduk
kepadanya, membela dan melaksanakannya dalam seluruh perundang-undangan. Mengenai hal itu,
Kirdi Dipoyudo (1979:30) menjelaskan: Negara Pancasila adalah suatu negara yang didirikan,
dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat
dan hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia (kemanusiaan yang adil dan beradab), agar
masing-masing dapat hidup layak sebagai manusia, mengembangkan dirinya dan mewujudkan
kesejahteraannya lahir batin selengkap mungkin, memajukan kesejahteraan umum, yaitu
kesejahteraan lahir batin seluruh rakyat, dan mencerdaskan kehidupan bangsa (keadilan sosial).
Pandangan tersebut melukiskan Pancasila secara integral (utuh dan menyeluruh) sehingga
merupakan penopang yang kokoh terhadap negara yang didirikan di atasnya, dipertahankan dan
dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi
semua warga bangsa Indonesia. Perlindungan dan pengembangan martabat kemanusiaan itu
merupakan kewajiban negara, yakni dengan memandang manusia qua talis, manusia adalah
manusia sesuai dengan principium identatis-nya. Pancasila seperti yang tertuang dalam Pembukaan
UUD 1945 dan ditegaskan keseragaman sistematikanya melalui Instruksi Presiden No.12 Tahun

1968 itu tersusun secara hirarkis-piramidal. Setiap sila (dasar/ azas) memiliki hubungan yang
saling mengikat dan menjiwai satu sama lain sedemikian rupa hingga tidak dapat dipisah-pisahkan.
Melanggar satu sila dan mencari pembenarannya pada sila lainnya adalah tindakan sia-sia. Oleh
karena itu, Pancasila pun harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh, yang tidak
dapat dipisah-pisahkan. Usaha memisahkan sila-sila dalam kesatuan yang utuh dan bulat dari
Pancasila akan menyebabkan Pancasila kehilangan esensinya sebagai dasar negara. Sebagai alasan
mengapa Pancasila harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh ialah karena setiap
sila dalam Pancasila tidak dapat diantitesiskan satu sama lain. Secara tepat dalam Seminar
Pancasila tahun 1959,Prof. Notonagoro melukiskan sifat hirarkis-piramidal Pancasila dengan
menempatkan sila Ketuhanan Yang Mahaesa sebagai basis bentuk piramid Pancasila. Dengan
demikian keempat sila yang lain haruslah dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Mahaesa. Secara
tegas, Dr. Hamka mengatakan: Tiap-tiap orang beragama atau percaya pada Tuhan Yang Maha
Esa, Pancasila bukanlah sesuatu yang perlu dibicarakan lagi, karena sila yang 4 dari Pancasila
sebenarnya hanyalah akibat saja dari sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
1. PANCASILA DI ERA PRA KEMERDEKAAN
Soekarno pernah mengatakan jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Dari perkataan
tersebut dapat dimaknai bahwa sejarah mempunyai fungsi yang beragam bagi kehidupan. Seperti
diungkap seorang filsuf Yunani yang bernama Cicero (106-43 SM) yang mengungkapkan Historia
Vitae Magistra, yang bermakna, sejarah memberikan kearifan. Pengertian yang lebih umum
yaitu sejarah merupakan guru kehidupan. Sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua
bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tidak memilikinya atau jika konsepsi
dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya (Soekarno, 1989:
64).
Cita-cita ideal sebagai landasan moralitas bagi kebesaran bangsa diperkuat oleh cendekiawanpolitisi Amerika Serikat, John Gardner, No nation can achieve greatness unless it believes in
something, and unless that something has moral dimensions to sustain a great civilization (tidak
ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran kecuali jika bangsa itu mempercayai sesuatu, dan
sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar)
(Madjid dalam Latif, 2011: 42).
Kuat dan mengakarnya Pancasila dalam jiwa bangsa menjadikan Pancasila terus berjaya
sepanjang masa. karena ideologi Pancasila tidak hanya sekedar confirm and deepen identitas
Bangsa Indonesia
sepanjang masa. Sejak Pancasila digali dan dilahirkan kembali menjadi Dasar dan Ideologi
Negara, maka ia membangunkan dan membangkitkan 2 identitas yang tertidur dan yang
terbius selama kolonialisme (Abdulgani, 1979: 22).

Nilai-Nilai Pancasila dalam sejarah Perjuangan Bangsa


Menurut sejarah pada kira-kira abad VII-XII, bangsa Indonesia telah mendirikan kerajaan
Sriwijaya di Sumatera Selatan dan kemudian pada abad XIII-XVI didirikan pula kerajaan

Majapahit di Jawa Timur. Kedua zaman itu merupakan tonggak sejarah bangsa Indonesia karena
bangsa Indonesia masa itu telah memenuhi syarat-syarat sebagai suatu bangsa yang mempunyai
negara. Kedua kerajaan itu telah merupakan negara-negara berdaulat, bersatu serta mempunyai
wilayah yang meliputi seluruh Nusantara ini, kedua zaman kerajaan itu telah mengalami
kehidupan masyarakat yang sejahtera.

Menurut Mr. Muhammad Yamin berdirinya negara kebangsaan Indonesia tidak dapat
dipisahkan dengan kerajaan-kerajaan lama yang merupakan warisan nenek moyang bangsa
Indonesia. Negara kebangsaan Indonesia terbentuk melalui tiga tahap yaitu: Pertama, zaman
Sriwijaya di bawah Wangsa Syailendra (600-1400). Kedua, negara kebangsaan zaman Majapahit
(1293-1525). Kedua tahap negara kebangsaan tersebut adalah negara kebangsaan lama. Ketiga,
negara kebangsaan modern yaitu negara Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 (Sekretariat
Negara.RI. 1995:11).
a. Masa Kerajaan Sriwijaya
Pada abad ke VII berdirilah kerajaan Sriwijaya dibawah kekuasaan wangsa Syailendra di
Sumatera. Kerajaan yang berbahasa Melayu Kuno dan huruf pallawa adalah kerajaan maritime
yang mengandalkan jalur perhubungan laut. Kekuasaan Sriwijaya menguasai selat Sunda (686),
kemudian Selat Malaka (775). Sistem perdagangan telah diatur dengan baik, dimana pemerintah
melalui pegawai raja membentuk suatu badan yang dapat mengumpulkan hasil kerajinan rakyat
sehingga rakyat mengalami kemudahan dalam pemasarannya. Dalam sistem pemerintahan sudah
terdapat pegawai pengurus pajak, harta benda kerajaan, rohaniawan yang menjadi pengawas teknis
pembangunan gedung-gedung dan patung-patung suci sehingga saat itu kerajaan dapat
menjalankan sistem negaranya dengan nilai-nilai Ketuhanan (Kaelan,1999:27)
Pada zaman Sriwijaya telah didirikan Universitas Agama Budha yang sudah dikenal di
Asia. Pelajar dari Universitas ini dapat melanjutkan ke India, banyak guru-guru tamu yang
mengajar di sini dari India, seperti Dharmakitri. Cita-cita kesejahteraan bersama dalam suatu
negara telah tercermin pada kerajaan Sriwijaya sebagai terebut dalam perkataan marvuat vannua
Criwijaya ssiddhayatra subhiksa (suatu cita-cita negara yang adil dan makmur).(1999:27).
Unsur-unsur yang terdapat di dalam Pancasila yaitu: Ke-Tuhan-an, Kemanusiaan, Persatuan,
Tata pemerintahan atas dasar musyawarah dan keadilan sosial telah terdapat sebagai asas-asas yang
menjiwai bangsa Indonesia, yang dihayati serta dilaksanakan pada waktu itu, hanya saja belum
dirumuskan secara kongkrit. Dokumen tertulis yang membuktikan terdapatnya unsur-unsur
tersebut ialah Prasasti-prasasti di Talaga Batu, Kedukan Bukit, Karang Brahi, Talang Tuo dan Kota
Kapur (Dardji Darmodihardjo.1974:22-23).
Pada hakekatnya nilai-nilai budaya bangsa semasa kejayaan Sriwijaya telah menunjukkan
nilai-nilai Pancasila, yaitu:
1) Nilai Sila pertama, terwujud dengan adanya umat agama Budha dan Hindu hidup
berdampingan secara damai. Pada kerajaan Sriwijaya terdapat pusat kegiatan pembinaan
dan pengembangan agama Budha.
2) Nilai Sila Kedua, terjalinnya hubungan antara Sriwijaya dengan India (Dinasti Harsha).
Pengiriman para pemuda untuk belajar di India. Telah tumbuh nilai-nilai politik luar negeri
yang bebas dan aktif.

3) Nilai Sila Ketiga, sebagai negara martitim, Sriwijaya telah menerapkan konsep negara
kepulauan sesuai dengan konsepsi Wawasan Nusantara.
4) Nilai Sila Keempat, Sriwijaya telah memiliki kedaulatan yang sangat luas, meliputi
(Indonesia sekarang) Siam, semenanjung Melayu.
5) Nilai Sila Kelima, Sriwijaya menjadi pusat pelayanan dan perdagangan, sehingga
kehidupan rakyatnya sangat makmur.
b.

Masa Kerajaan Majapahit

Sebelum kerajaan Majapahit berdiri telah muncul kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa
Timur secara silih berganti, yaitu Kerajaan Kalingga (abad ke VII), Sanjaya (abad ke VIII), sebagai
refleksi puncak budaya dari kerajaan tersebut adalah dibangunnya candi Borobudur (candi agama
Budha pada abad ke IX) dan candi Prambanan (candi agama Hindu pada abad ke X).
Di Jawa Timur muncul pula kerajaan-kerajaan, yaitu Isana (abad ke IX), Dharmawangsa (abad
ke X), Airlangga (abad ke XI). Agama yang diakui kerajaan adalah agama Budha, agama Wisnu
dan agama Syiwa telah hidup berdampingan secara damai. Nilai-nilai kemanusiaan telah tercermin
dalam kerajaan ini, terbukti menurut prasasti Kelagen bahwa Raja Airlangga telah mengadakan
hubungan dagang dan bekerja sama dengan Benggala, Chola dan Champa. Sebagai nilai-nilai sila
keempat telah terwujud yaitu dengan diangkatnya Airlangga sebagai raja melalui musyawarah
antara pengikut Airlangga dengan rakyat dan kaum Brahmana. Sedangkan nilai-nilai keadilan
sosial terwujud pada saat raja Airlangga memerintahkan untuk membuat tanggul dan waduk demi
kesejahteraan pertanian rakyat (Aziz Toyibin. 1997:28-29).
Pada abad ke XIII berdiri kerajaan Singasari di Kediri Jawa Timur yang ada hubungannya
dengan berdirinya kerajaan Majapahit (1293) Zaman Keemasan Majapahit pada pemerintahan
raja Hayam Wuruk dengan maha patih Gajah Mada. Wilayah kekuasaan Majapahit semasa jayanya
membentang dari semananjung Melayu sampai ke Irian Jaya.
Pengamalan sila Ketuhanan Yang Maha Esa telah terbukti pada waktu agama Hindu dan
Budha hidup berdampingan secara damai, Empu Prapanca menulis Negarakertagama (1365) yang
di dalamnya telah terdapat istilah Pancasila. Empu Tantular mengarang buku Sutasoma dimana
dalam buku itu tedapat seloka persatuan nasional yang berbunyi Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana
Dharma Mangrua, artinya walaupun berbeda-beda, namun satu jua dan tidak ada agama yang
memiliki tujuan yang berbeda. Hal ini menunjukkan realitas beragama saat itu. Seloka toleransi ini
juga diterima oleh kerajaan Pasai di Sumatera sebagai bagian kerajaan Majapihit yang telah
memeluk agama Islam.
Sila kemanusiaan telah terwujud, yaitu hubungan raja Hayam Wuruk dengan baik dengan
kerajaan Tiongkok, Ayoda, Champa dan Kamboja. Mengadakan persahabatan dengan negaranegara tetangga atas dasar Mitreka Satata.
Sebagai perwujudan nilai-nilai Sila Persatuan Indonesia telah terwujud dengan keutuhan
kerajaan, khususnya Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Gajah Mada yang diucapkannya pada
sidang Ratu dan Menteri-menteri pada tahun 1331 yang berisi cita-cita mempersatukan seluruh
nusantara raya yang berbunyi : Saya baru akan berhenti berpuasa makan palapa, jika seluruh
nusantara bertakluk di bawah kekuasaan negara, jika gurun, Seram, Tanjung, Haru, Pahang,
Dempo, Bali, Sundda, Palembang dan Tumasik telah dikalahkan (Muh. Yamin. 1960: 60).

Sila Kerakyatan (keempat) sebagai nilai-nilai musyawarah dan mufakat yang dilakukan oleh
sistim pemerintahan kerajaan Majapahit Menurut prasasti Brumbung (1329) dalam tata
pemerintahan kerajaan Majapahit terdapat semacam penasehat kerajaan seperti Rakryan I Hino, I
Sirikan dan I Halu yang berarti memberikan nasehat kepada raja. Kerukuan dan gotong royong
dalam kehidupan masyarakat telah menumbuhkan adat bermusyawarah untuk mufakat dalam
memutuskan masalah bersama.
Sedangkan perwujudan sila keadilan sosial adalah sebagai wujud dari berdirinya kerajaan
beberapa abad yang tentunya ditopang dengan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.
Berdasarkan uraian diatas dapat kita fahami bahwa zaman Sriwijaya dan Majapahit adalah
sebagai tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai cita-citanya.
Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan Sistem Penjajahan
Kesuburan Indonesia dengan hasil buminya yang melimpah, terutama rempah-rempah yang
sangat dibutuhkan oleh negara-negara di luar Indonesia, menyebabkan bangsa Asing masuk ke
Indonesia. Bangsa Barat yang membutuhkan rempah-rempah itu mulai memasuki Indonesia, yaitu
Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda. Kemasukan bangsa Barat seiring dengan keruntuhan
Majapahit sebagai akibat perselisihan dan perang saudara, yang berarti nilai-nilai nasionalisme
sudah ditinggalkan, walaupun abad ke XVI agama Islam berkembang dengan pesat dengan
berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, seperti Samudra Pasai dan Demak, nampaknya tidak mampu
membendung tekanan Barat memasuki Indonesia.
Bangsa-bangsa Barat berlomba-lomba memperebutkan kemakmuran bumi Indonesia ini.
Maka sejak itu mulailah lembaran hitam sejarah Indonesia dengan penjajahan Barat, khususnya
Belanda. Masa pejajahan Belanda itu dijadikan tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia
dalam mencapai cita-citanya, sebab pada zaman penjajahan ini apa yang telah dicapai oleh bangsa
Indonesia pada zaman Sriwijaya dan Majapahit menjadi hilang. Kedaulatan negara hilang,
persatuan dihancurkan, kemakmuran lenyap, wilayah dinjak-injak oleh penjajah.

a. Perjuangan Sebelum Abad ke XX


Penjajahan Barat yang memusnahkan kemakmuran bangsa Indonesia itu tidak dibiarkan
begitu saja oleh segenab Bangsa Indonesia. Sejak semula imprialis itu menjejakkan kakinya di
Indonesia, di mana-mana bangsa Indonesia melawannya dengan semangat patriotik melalui
perlawanan secara fisik.
Kita mengenal nama-nama Pahlawan Bangsa yang berjuang dengan gigih melawan penjajah.
Pada abad ke XVII dan XVIII perlawanan terhadap penjajah digerakkan oleh pahlawan Sultan
Agung (Mataram 1645), Sultan Ageng Tirta Yasa dan Ki Tapa (Banten 1650), Hasanuddin Makasar
1660), Iskandar Muda Aceh 1635) Untung Surapati dan Trunojoyo (Jawa Timur 1670), Ibnu
Iskandar (Minangkabau 1680) dan lain-lain.
Pada permulaan abad ke XIX penjajah Belanda mengubah sistem kolonialismenya yang
semula berbentuk perseroan dagang partikelir yang bernama VOC berganti dengan Badan
Pemerintahan resmi yaitu Pemerintahan Hindia Belanda. Semula pernah terjadi pergeseran
Pemerintahan penjajahan dari Hindia Belanda kepada Inggris, tetapi tidak berjalan lama dan segera
kembali kepada Belanda lagi. Dalam usaha memperkuat kolonialismenya Belanda menghadapi

perlawanan bangsa Indonesia yang dipimpin oleh Patimura (1817), Imam Bonjol di Minangkabau
(1822-1837), Diponogoro di Mataram (1825-1830), Badaruddin di Palembang (1817), Pangeran
Antasari di Kalimantan (1860) Jelantik di Bali (1850), Anang Agung Made di Lombok (1895)
Teuku Umar, Teuku Cik Di Tiro, Cut NyaDin di Aceh (1873-1904), Si Singamangaraja di Batak
(1900).
Pada Hakikatnya perlawanan terhadap Belanda itu terjadi hampir setiap daerah di Indonesia.
Akan tetapi perlawanan-perlawanan secara fisik terjadi secara sendiri-sendiri di setiap daerah.
Tidak adanya persatuan serta koordinasi dalam melakukan perlawanan sehingga tidak berhasilnya
bangsa Indonesia mengusir kolonialis, sebaliknya semakin memperkukuh kedudukan penjajah. Hal
ini membuktikan betapa pentingnya rasa persatuan (nasionalisme) dalam menghadapi penjajahan
b. Kebangkitan Nasional 1908
Pada permulaan abad ke XX bangsa Indonesia mengubah cara-caranya dalam melakukan
perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Kegagalan perlawanan secara fisik yang tidak adanya
kordinasi pada masa lalu mendorong pemimpin-pemimpin Indonesia abad ke XX itu untuk
merubah bentuk perlawanan yang lain. Bentuk perlawanan itu ialah dengan membangkitkan
kesadaran bangsa Indonesia akan pentingnya bernegara. Usaha-usaha yang dilakukan adalah
mendirikan berbagai macam organisasi politik di samping organisasi yang bergerak dalam bidang
pendidikan dan sosial. Organisai sebagai pelopor pertama adalah Budi Utomo pada tanggal 20 Mei
1908. Mereka yang tergabung dalam organisasi itu memulai merintis jalan baru ke arah tercapainya
cita-cita perjuangan bangsa Indonesia., tokohnya yang terkenal adalah dr. Wahidin Sudirohusodo.
Kemudian bermunculan organisasi pergerakan lain, yaitu Sarikat Dagang Islam (1909), kemudian
berubah bentuknya menjadi pergerakan politik dengan menganti nama menjadi Sarikat Islam
(1911) di bawah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Berikutnya muncul pula Indische Parti (1913)
dengan pimpinan Douwes Dekker, Ciptomangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara, namun karena
terlalu radikal sehingga pemimpinnya di buang ke luar negeri (1913). Akan tetapi perjuangan tidak
kendur karena kemudian berdiri Partai Nasional Indonesia (1927) yang di pelopori oleh Sukarno
dan kawan-kawan.
c. Sumpah Pemuda 1928
Pada tanggal 28 Oktober 1928 terjadilah penonjolan peristiwa sejarah perjuangan bangsa
Indonesia mencapai cita-citanya. Pemuda-pemuda Indonesia yang di pelopori oleh Muh. Yamin,
Kuncoro Purbopranoto dan lain-lain mengumandangkan Sumpah Pemuda yang berisi pengakuan
akan adanya Bangsa, tanah air dan bahasa satu yaitu Indonesia.
Melalui sumpah pemuda ini makin tegaslah apa yang diinginkan oleh Bangsa Indonesia,
yaitu kemerdekaan tanah air dan bangsa itu diperlukan adanya persatuan sebagai suatu bangsa
yang merupakan syarat mutlak. Sebagai tali pengikat persatuan itu adalah Bahasa Indonesia.
Realisasi perjuangan bangsa pada tahun 1930 berdirilah Partai Indonesia yang disingkat
dengan Partindo (1931) sebagai pengganti PNI yang dibubarkan. Kemudian golongan Demokrat
yang terdiri dari Moh. Hatta dan Sutan Syahrir mendirikan PNI Baru, dengan semboyan
kemerdekaan Indonesia harus dicapai dengan kekuatan sendiri.
d. Perjuangan Bangsa Indonesia Zaman Penjajahan Jepang

Pada tanggal 7 Desember 1941 meletuslah Perang Pasifik, dengan dibomnya Pearl Harbour
oleh Jepang. Dalam waktu yang singkat Jepang dapat menduduki daerah-daerah jajahan Sekutu di
daerah Pasifik.
Kemudian pada tanggal 8 Maret 1942 Jepang masuk ke Indonesia menghalau penjajah
Belanda, pada saat itu Jepang mengetahui keinginan bangsa Indonesia, yaitu Kemerdekaan Bangsa
dan tanah air Indonesia. Peristiwa penyerahan Indonesia dari Belanda kepada Jepang terjadi di
Kalijati Jawa Tengah tanggal 8 Maret 1942.
Jepang mempropagandakan kehadirannya di Indonesia untuk membebaskan Indonesia dari
cengkraman Belanda. Oleh sebab itu Jepang memperbolehkan pengibaran bendera merah putih
serta menyanyikan lagu Indonesia raya. Akan tetapi hal itu merupakan tipu muslihat agar rakyat
Indonesia membantu Jepang untuk menghancurkan Belanda.
Kenyataan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia bahwa sesungguhnya Jepang tidak kurang
kejamnya dengan penjajahan Belanda, bahkan pada zaman ini bangsa Indonesia mengalami
penderitaan dan penindasan yang sampai kepada puncaknya. Kemerdekaan tanah air dan bangsa
Indonesia yang didambakan tak pernah menunjukkan tanda-tanda kedatangannya, bahkan terasa
semakin menjauh bersamaan dengan semakin mengganasnya bala tentara Jepang.
Kekecewaan rakyat Indonesia akibat perlakuan Jepang itu menimbulkan perlawananperlawanan terhadap Jepang baik secara illegal maupun secara legal, seperti pemberontakan PETA
di Blitar.
Sejarah berjalan terus, di mana Perang Pasifik menunjukan tanda-tanda akan berakhirnya
dengan kekalahan Jepang di mana-mana. Untuk mendapatkan bantuan dari rakyat Indonesia,
Jepang berusaha membujuk hati bangsa Indonesia dengan mengumumkan janji kemerdekaan kelak
di kemudian hari apabila perang telah selesai. Kemudian janji yang kedua kemerdekaan
diumumkan lagi oleh Jepang berupa Kemerdekaan tanpa syarat yang disampaikan seminggu
sebelum Jepang menyerahkan kepada bangsa Indonesia memperjuangkan kemerdekaannya,
bahkan menganjurkan agar berani mendirikan negara Indonesia merdeka dihadapan musuh Jepang.

2.

Pancasila Era Kemerdekaan

Pada tanggal 6 Agustus 1945 bom atom dijatuhkan di kota Hiroshima oleh Amerika Serikat
yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang. Sehari kemudian BPUPKI berganti nama
menjadi PPKI menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Bom atom
kedua dijatuhkan di Nagasaki yang membuat Jepang menyerah kepada Amerika dan sekutunya.
Peristiwa ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya. Untuk
merealisasikan tekad tersebut, maka pada tanggal 16 Agustus 1945 terjadi perundingan antara
golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks proklamasi yang berlangsung singkat,
mulai pukul 02.00-04.00 dini hari. Teks proklamasi sendiri disusun oleh Ir. Soekarno, Drs. Moh.
Hatta dan Mr. Ahmad Soebardjo di ruang makan.
Laksamana Tadashi Maeda tepatnya di jalan Imam Bonjol No 1. Konsepnya sendiri ditulis oleh
Ir. Soekarno. Sukarni (dari golongan muda) mengusulkan agar yang menandatangani teks
proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia.

Kemudian teks proklamasi Indonesia tersebut diketik oleh Sayuti Melik. Isi Proklamasi
Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 sesuai dengan semangat yang tertuang dalam Piagam
Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Piagam ini berisi garis-garis pemberontakan melawan imperialismekapitalisme dan fasisme serta memuat dasar pembentukan Negara Republik Indonesia. Piagam
Jakarta yang lebih tua dari Piagam Perjanjian San Francisco (26 Juni 1945) dan Kapitulasi Tokyo
(15 Agustus 1945) itu ialah sumber berdaulat yang memancarkan Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia (Yamin, 1954: 16). Piagam Jakarta ini kemudian disahkan oleh sidang PPKI
pada tanggal 18 Agustus 1945 menjadi pembentukan UUD 1945, setelah terlebih dahulu dihapus 7
(tujuh) kata dari kalimat Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemelukpemeluknya, diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pada tahun 1950-an muncul inisiatif dari sejumlah tokoh yang hendak melakukan interpretasi
ulang terhadap Pancasila. Saat itu muncul perbedaan perspektif yang dikelompokkan dalam dua
kubu. Pertama, beberapa tokoh berusaha menempatkan Pancasila lebih dari sekedar kompromi
politik atau kontrak sosial. Mereka memandang Pancasila tidak hanya kompromi politik melainkan
sebuah filsafat sosial atau weltanschauung bangsa. Kedua, mereka yang menempatkan Pancasila
sebagai sebuah kompromi politik. Dasar argumentasinya adalah fakta yang muncul dalam sidangsidang BPUPKI dan PPKI. Pancasila pada saat itu benar-benar merupakan kompromi politik di
antara golongan nasionalis netral agama (Sidik Djojosukarto dan Sutan takdir Alisyahbana dkk)
dan nasionalis Islam (Hamka, Syaifuddin Zuhri sampai Muhammad Natsir dkk) mengenai dasar
negara.
3.

Pancasila Era Orde Lama

Terdapat dua pandangan besar terhadap Dasar Negara yang berpengaruh terhadap munculnya
Dekrit Presiden. Pandangan tersebut yaitu mereka yang memenuhi anjuran Presiden/ Pemerintah
untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 dengan Pancasila sebagaimana dirumuskan
dalam Piagam Jakarta sebagai Dasar Negara. Sedangkan pihak lainnya menyetujui kembali ke
Undang-Undang Dasar 1945, tanpa cadangan, artinya dengan Pancasila seperti yang dirumuskan
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang disahkan PPKI tanggal 18 Agustus 1945 sebagai
Dasar Negara. Namun, kedua usulan tersebut tidak mencapai kuorum keputusan sidang
konstituante (Anshari, 1981: 99). Majelis (baca: konstituante) ini menemui jalan buntu pada bulan
Juni 1959. Kejadian ini menyebabkan Presiden Soekarno turun tangan dengan sebuah Dekrit
Presiden yang disetujui oleh kabinet tanggal 3 Juli 1959, yang kemudian dirumuskan di Istana
Bogor pada tanggal 4 Juli 1959 dan diumumkan secara resmi oleh presiden pada tanggal 5 Juli
1959 pukul 17.00 di depan Istana Merdeka (Anshari, 1981: 99-100). Dekrit Presiden tersebut
berisi:
1) Pembubaran konstituante;
2) Undang-Undang Dasar 1945 kembali berlaku; dan
3) Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara. Sosialisasi terhadap paham Pancasila yang konklusif menjadi prelude penting bagi
upaya selanjutnya; Pancasila dijadikan ideologi negara yang tampil hegemonik. Ikhtiar tersebut
tercapai ketika Ir. Soekarno memberi tafsir Pancasila sebagai satu kesatuan paham dalam doktrin
Manipol/USDEK. Manifesto politik (manipol) adalah materi pokok dari pidato Soekarno tanggal
17 Agustus 1959 berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita yang kemudian ditetapkan oleh
Dewan Pertimbangan Agung (DPA) menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Belakangan, materi pidato tersebut dikukuhkan dalam Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1

tahun 1960 dan Ketetapan MPRS No. 1/MPRS1960 tentang GBHN (Ali, 2009: 30). Manifesto
politik Republik Indonesia tersebut merupakan hasil perumusan suatu panitia yang dipimpin oleh
D.N. Aidit yang disetujui oleh DPA pada tanggal 30 September 1959 sebagai haluan negara
(Ismaun, 1978: 105).
Oleh karena itu, mereka yang berseberangan paham memilih taktik gerilya di dalam
kekuasaan Ir. Soekarno. Mereka menggunakan jargon-jargon Ir. Soekarno dengan agenda yang
berbeda. Taktik demikian digunakan oleh sebagian besar kekuatan politik. Tidak hanya PKI,
mereka yang anti komunisme pun sama (Ali, 2009: 33). Walaupun kepentingan politik mereka
berbeda, kedua arus tersebut sama-sama menggunakan Pancasila sebagai justifikasi. Ir. Soekarno
menghendaki persatuan di antara beragam golongan dan ideologi termasuk komunis, di bawah satu
payung besar, bernama Pancasila (doktrin Manipol/USDEK), sementara golongan antikomunis
mengkonsolidasi diri sebagai kekuatan berpaham Pancasila yang lebih murni dengan
menyingkirkan paham komunisme yang tidak ber-Tuhan (ateisme) (Ali, 2009: 34). Dengan adanya
pertentangan yang sangat kuat ditambah carut marutnya perpolitikan saat itu, maka Ir. Soekarno
pun dilengserkan sebagai Presiden Indonesia, melalui sidang MPRS.
4. Pancasila Era Orde Baru
Setelah jatuhnya Ir. Soekarno sebagai presiden, selanjutnya Jenderal Soeharto yang memegang
kendali terhadap negeri ini. Dengan berpindahnya kursi kepresidenan tersebut, arah pemahaman
terhadap Pancasila pun mulai diperbaiki. Pada peringatan hari lahir Pancasila, 1 Juni 1967 Presiden
Soeharto mengatakan, Pancasila makin banyak mengalami ujian zaman dan makin bulat tekad
kita mempertahankan Pancasila. Selain itu, Presiden Soeharto juga mengatakan, Pancasila sama
sekali bukan sekedar semboyan untuk dikumandangkan, Pancasila bukan dasar falsafah negara
yang sekedar dikeramatkan dalam naskah UUD, melainkan Pancasila harus diamalkan (Setiardja,
1994: 5).
Pancasila dijadikan sebagai political force di samping sebagai kekuatan ritual. Begitu kuatnya
Pancasila digunakan sebagai dasar negara, maka pada 1 Juni 1968 Presiden Soeharto mengatakan
bahwa Pancasila sebagai pegangan hidup bangsa akan membuat bangsa Indonesia tidak loyo,
bahkan jika ada pihak-pihak tertentu mau mengganti, merubah Pancasila dan menyimpang dari
Pancasila pasti digagalkan (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 42). Selanjutnya pada
tahun 1968 Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 12 tahun 1968 yang
menjadi panduan dalam mengucapkan Pancasila sebagai dasar negara, yaitu:
a.
b.
c.
d.

Satu : Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa


Dua : Kemanusiaan yang adil dan beradab
Tiga : Persatuan Indonesia
Empat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan
e. Lima : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Instruksi Presiden tersebut mulai berlaku pada tanggal 13 April 1968. Pada tanggal 22 Maret
1978 dengan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) Pasal 4 menjelaskan, Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat
berbangsa dan bernegara bagi setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara Negara serta

setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik Pusat maupun di Daerah dan
dilaksanakan secara bulat dan utuh.

Nilai dan norma-norma yang terkandung dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) tersebut meliputi 36 butir, yaitu:
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
a. Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan
masingmasing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
b. Hormat-menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut-penganut
kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga terbina kerukunan hidup.
c. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadat sesuai dengan agama dan
kepercayaannya.
d. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.

Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab


a. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama
manusia.
b. Saling mencintai sesama manusia.
c. Mengembangkan sikap tenggang rasa dan teposeliro.
d. Tidak semena-mena terhadap orang lain.Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
e. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
f. Berani membela kebenaran dan keadilan.
g. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu
dikembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.
Sila Persatuan Indonesia
a. Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas
kepentingan pribadi dan golongan.
b. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
c. Cinta tanah air dan bangsa.
d. Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia.
e. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal
Ika.
Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan.
a.
b.
c.
d.
e.

Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.


Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi olehsemangat kekeluargaan.
Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan
musyawarah.

f. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
g. Keputusan yang diambil harus dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan
h. Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran
dan keadilan.
Sila Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.

Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana


kekeluargaan dan kegotong-royongan.
Bersikap adil.
Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Menghormati hak-hak orang lain.
Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.
Tidak bersifat boros.
Tidak bergaya hidup mewah.
Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
Suka bekerja keras.
Menghargai hasil karya orang lain.
Bersama-sama mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.

Nilai-nilai Pancasila yang terdiri atas 36 butir tersebut, kemudian pada tahun 1994
disarikan/dijabarkan kembali oleh BP-7 Pusat menjadi 45 butir P4. Perbedaan yang dapat
digambarkan yaitu: Sila Kesatu, menjadi 7 (tujuh) butir; Sila Kedua, menjadi 10 (sepuluh) butir;
Sila Ketiga, menjadi 7 (tujuh) butir; Sila Keempat, menjadi 10 (sepuluh) butir; dan Sila Kelima,
menjadi 11 (sebelas) butir. Sumber hukum dan tata urutan peraturan perundangundangan di negara
Indonesia diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan ini menegaskan,
Amanat penderitaan rakyat hanya dapat diberikan dengan pengamalan Pancasila secara paripurna
dalam segala segi kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan dan dengan pelaksanaan secara
murni dan konsekuen jiwa serta ketentuan-ketentuan UUD 1945, untuk menegakkan Republik
Indonesia sebagai suatu negara hukum yang konstitusionil sebagaimana yang dinyatakan dalam
pembukaan UUS 1945 (Ali, 2009: 37). Ketika itu, sebagian golongan Islam menolak reinforcing
oleh pemerintah dengan menyatakan bahwa pemerintah akan
mengagamakan Pancasila. Kemarahan Pemerintah tidak dapat dibendung sehingga Presiden
Soeharto bicara keras pada Rapim ABRI di Pekanbaru 27
Maret 1980. Intinya Orba tidak akan mengubah Pancasila dan UUD 1945, malahan
diperkuat sebagai comparatist ideology. Jelas sekali bagaimana pemerintah Orde Baru merasa
perlu membentengi Pancasila dan TAP itu meski dengan gaya militer. Tak seorang pun warga
negara berani keluar dari Pancasila (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 43). Selanjutnya
pada bulan Agustus 1982 Pemerintahan Orde Baru menjalankan Azas Tunggal yaitu pengakuan
terhadap Pancasila sebagai Azas Tunggal, bahwa setiap partai politik harus mengakui posisi
Pancasila sebagai pemersatu bangsa (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 43-44). Dengan
semakin terbukanya informasi dunia, pada akhirnya pengaruh luar masuk Indonesia pada akhir
1990-an yang secara tidak langsung mengancam aplikasi Pancasila yang dilakukan oleh
pemerintah Orde Baru. Demikian pula demokrasi semakin santer mengkritik praktek pemerintah
Orde Baru yang tidak transparan dan otoriter, represif, korup dan manipulasi politik yang sekaligus
mengkritik praktek Pancasila. Meski demikian kondisi ini bertahan sampai dengan lengsernya
Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed), 2010: 45).

Asas Tunggal Pancasila


Dalam pidato kenegaraan di depan DPR-RI tanggal 16 Agustus 1982, Presiden Suharto
mengemukakan gagasannya mengenai penerapan asas tunggal Pancasila atas partai-partai politik.
Sesungguhnya gagasan ini bukan gagasan baru karena tahun 1966-67 sudah terdengar gagasan
untuk mengasastunggalkan partai-partai politik. Namun, tampaknya keadaan belum
memungkinkan. Tujuan menyeragamkan asas partai-partai politik adalah untuk mengurangi
seminimal mungkin potensi konflik idiologis yang terkandung dalam partai-partai politik. Berbeda
dengan gagasan Bung Karno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, bahwa Sukarno mengharapkan
agar Pancasila dijadikan dasar filosofis negara Indonesia, tiap golongan hendaknya menerima
anjuran filosofis ini dengan catatan bahwa tiap golongan berhak memperjuangkan aspirasinya
masing-masing dalam mengisi kemerdekaan (Tim. LIP FISIP-UI. 1998. 39-40). Pola seperti ini
masih terlihat dalam UU No.3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, dengan tidak
adanya keharusan mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Namun dengan adanya
pidato Presiden Suharto tersebut ada dorongan dengan menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya
asas. Hal ini berarti pencantuman asas lain yang sesuai dengan aspirasi, ciri khas dan karakteristik
partai politik tidak diperkenalkan lagi.
Akhirnya keinginan Presiden Suharto itu terpenuhi dengan merubah UU No.3/1975 dengan
UU No.3/1985. Dalam penjelasan undang-undang itu disebutkan bahwa pengertian asas meliputi
juga pengertian dasar, landasan. pedoman pokok, yang harus dicantumkan dalam anggaran
dasar partai politik. Perbedaan partai hanya dalam bentuk program saja. Asas tunggal Pancasila
menurut Deliar Noer berarti mengingkari kebhinnekaan masyarakat yang memang berkembang
menurut keyakinan masing-masing. Keyakinan ini biasanya berumber dari agama atau dari
fahaman lain. Bahkan asas tunggal Pancasula cenderung kearah sistem partai tunggal, meskipun
secara formal ada tiga partai, tetapi secara terselubung sebenarnya hanya ada satu partai.
5. Pancasila Era Reformasi
Pancasila yang seharusnya sebagai nilai, dasar moral etik bagi negara dan aparat pelaksana
Negara, dalam kenyataannya digunakan sebagai alat legitimasi politik. Puncak dari keadaan
tersebut ditandai dengan hancurnya ekonomi nasional, maka timbullah berbagai gerakan
masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa, cendekiawan dan masyarakat sebagai gerakan moral
politik yang menuntut adanya reformasi di segala bidang politik, ekonomi dan hukum (Kaelan,
2000: 245).
Saat Orde Baru tumbang, muncul fobia terhadap Pancasila. Dasar Negara itu untuk sementara
waktu seolah dilupakan karena hampir selalu identik dengan rezim Orde Baru. Dasar negara itu
berubah menjadi ideologi tunggal dan satu-satunya sumber nilai serta kebenaran. Negara menjadi
maha tahu mana yang benar dan mana yang salah. Nilai-nilai itu selalu ditanam ke benak
masyarakat melalui indoktrinasi (Ali, 2009: 50). Dengan seolah-olah dikesampingkannya
Pancasila pada Era Reformasi ini, pada awalnya memang tidak nampak suatu dampak negatif yang
berarti, namun semakin hari dampaknya makin terasa dan berdampak sangat fatal terhadap
kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Dalam kehidupan sosial, masyarakat kehilangan
kendali atas dirinya, akibatnya terjadi konflik-konflik horisontal dan vertikal secara masif dan pada
akhirnya melemahkan sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia. Dalam
bidang budaya, kesadaran masyarakat atas keluhuran budaya bangsa Indonesia mulai luntur, yang
pada akhirnya terjadi disorientasi kepribadian bangsa yang diikuti dengan rusaknya moral generasi
muda.

Dalam bidang ekonomi, terjadi ketimpangan-ketimpangan di berbagai sektor diperparah lagi


dengan cengkeraman modal asing dalam perekonomian Indonesia. Dalam bidang politik, terjadi
disorientasi politik kebangsaan, seluruh aktivitas politik seolah-olah hanya tertuju pada
kepentingan kelompok dan golongan. Lebih dari itu, aktivitas politik hanya sekedar merupakan
libido dominandi atas hasrat untuk berkuasa, bukannya sebagai suatu aktivitas memperjuangkan
kepentingan nasional yang pada akhirnya menimbulkan carut marut kehidupan bernegara seperti
dewasa ini (Hidayat, 2012).
Namun demikian, kesepakatan Pancasila menjadi dasar Negara Republik Indonesia secara
normatif, tercantum dalam ketetapan MPR. Ketetapan MPR NomorXVIII/MPR/1998 Pasal 1
menyebutkan bahwa Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar
negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam
kehidupan bernegara (MD, 2011). Ketetapan ini terus dipertahankan, meskipun ketika itu
Indonesia akan menghadapi Amandeman Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia tahun 1945.
Selain kesepakatan Pancasila sebagai dasar negara, Pancasila pun menjadi sumber hukum yang
ditetapkan dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 Pasal 1 Ayat (3) yang menyebutkan,
Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat
Indonesia, dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945.
Semakin memudarnya Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
membuat khawatir berbagai lapisan elemen masyarakat. Oleh sebab itu, sekitar tahun 2004
Azyumardi Azra menggagas perlunya rejuvenasi Pancasila sebagai faktor integratif dan salah satu
fundamen identitas nasional. Seruan demikian tampak signifikan karena proses amandeman UUD
1945 saat itu sempat memunculkan gagasan menghidupkan kembali Piagam Jakarta (Ali, 2009:
51). Selain keadaan di atas, juga terjadi terorisme yang mengatasnamakan agama. Tidak lama
kemudian muncul gejala Perda Syariah disejumlah daerah. Rangkaian gejala tersebut seakan
melengkapi kegelisahan publik selama reformasi yang mempertanyakan arah gerakan reformasi
dan demokratisasi. Seruan Azyumardi Azra direspon sejumlah kalangan. Diskursus tentang
Pancasila kembali menghangat dan meluas usai Simposium Peringatan Hari Lahir Pancasila yang
diselenggarakan FISIP-UI pada tanggal 31 Mei 2006 (Ali, 2009: 52). Sekretariat Wapres Republik
Indonesia, pada tahun 2008/2009 secara intensif melakukan diskusi-diskusi untuk merevitalisasi
sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Tahun 2009 Dirjen Dikti, juga membentuk Tim Pengkajian
Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Sementara itu, beberapa perguruan tinggi telah
menyelenggarakan kegiatan sejenis, yaitu antara lain: Kongres Pancasila di Universitas Gadjah
Mada, Simposium Nasional Pancasila dan Wawasan Kebangsaan di Universitas Pendidikan
Indonesia, dan Kongres Pancasila di Universitas Udayana. Lebih dari itu MPR-RI melakukan
kegiatan sosialisasi nilai-nilai Pancasila yang dikenal dengan sebutan Empat Pilar Kebangsaan,
yang terdiri dari: Pancasila, Undang-Undang Dasar tahun 1945, Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika. Akan tetapi, istilah Empat Pilar Kebangsaan ini menurut
Kaelan (2012: 249-252) mengandung; 1) linguisticmistake (kesalahan linguistik) atau dapat pula
dikatakan kesalahan terminologi; 2) ungkapan tersebut tidak mengacu pada realitas empiris
sebagaimana terkandung dalam ungkapan bahasa, melainkan mengacu pada suatu pengertian atau
ide, berbangsa dan bernegara itu dianalogikan bangunan besar (gedung yang besar); 3) kesalahan
kategori (category mistake), karena secara epistemologis kategori pengetahuan Pancasila, Undang-

Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika bukanlah
merupakan kategori yang sama. Ketidaksamaan itu berkaitan dengan realitas atau hakikat
pengetahuannya, wujud pengetahuan, kebenaran pengetahuannya serta koherensi pengetahuannya.
Selain TAP MPR dan berbagai aktivitas untuk mensosialisasikan kembali Pancasila dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara tegas Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
menyebutkan dalam penjelasan Pasal 2 bahwa: Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil
dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menempatkan
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap
materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila. Hal tersebut berkorelasi bahwa Undang-Undang ini penekanannya
pada kedudukan Pancasila sebagai dasar negara. Sudah barang tentu hal tersebut tidak cukup.
Pancasila dalam kedudukannya sebagai pandangan hidup bangsa perlu dihayati dan diamalkan oleh
seluruh komponen bangsa. Kesadaran ini mulai tumbuh kembali, sehingga cukup banyak lembaga
pemerintah di pusat yang melakukan kegiatan pengkajian sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Salah
satu kebijakan nasional yang sejalan dengan semangat melestarikan Pancasila di kalangan
mahasiswa adalah Pasal 35 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
yang menyatakan bahwa Kurikulum Pendidikan Tinggi wajib memuat mata kuliah Agama,
Pancasila, Kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia.
Makna penting dari kajian historis Pancasila ini ialah untuk menjaga eksistensi Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu seluruh komponen bangsa harus secara imperatif
kategoris menghayati dan melaksanakan Pancasila baik sebagai Dasar Negara maupun sebagai .
Pandangan Hidup Bangsa, dengan berpedoman kepada nilai-nilai Pancasila dan Pembukaan UUD
1945 dan secara konsisten menaati ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal UUD 1945.

MO Li Mo
Raden Rahmat menyebarkan ajaran agama Islam dengan cara yang halus dan tidak ada
paksaan. Beliau memberi teladan akhlak mulia kepada masyarakat sekitar untuk melakukan
kebaikan dan menghindarkan mereka untuk melakukan kemaksiatan atau larangan Allah Taala. 5
larangan yang berbahasa Jawa tersebut semuanya bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadist. Pelan
tapi pasti, beliau mengajak orang kepada kehidupan yang lebih baik, demi meraih kebahagiaan
dunia akhirat.
Mohlimo atau molimo Sunan Ampel dalam bahasa Jawa yang artinya adalah Moh (tidak
mau), limo (lima) tidak melakukan 5 hal perbuatan dosa yang dilarang Allah Swt. Konsep 5
larangan beliau sangat cocok dipakai untuk puluhan tahun yang akan datang, bahkan ratusan tahun.
Karena dakwah tak lain adalah ajakan kepada kebenaran. Kebenaran yang dimaksud tidak hanya
pada batasan nilai-nilai agama secara simbolis, misalnya anjuran untuk segera bertaubat dengan
shalat taubat bagi pelaku dosa besar.
Arti molimo Sunan Ampel adalah 5 perbuatan maksiat yang menawarkan kelezatan dan
kesenangan, tapi tak akan memberikan manfaat dalam kehidupan manusia. Bahkan hanya akan

memberikan dampak buruk bagi kehidupan manusia itu sendiri arti molimo Sunan Ampel adalah 5
perbuatan maksiat.
Arti molimo Sunan Ampel :
1. Mo Mabok
Molimo yang pertama adalah mo mabok. Artinya adalah tidak mau minum minuman keras, khamr
dan sejenisnya.
2. Mo Main
Molimo yang kedua adalah mo main. Artinya adalah tidak mau main judi, togel, taruhan dan
sejenisnya.
3. Mo Madon
Molimo yang ketiga adalah mo madon. Artinya adalah tidak mau berbuat zina, seks bebas, lesbian,
gay dan sejenisnya.
4. Mo Madat
Molimo yang keempat adalah mo madat. Artinya adalah: tidak mau memakai narkoba dan
sejenisnya.
5. Mo Maling
Molimo yang terakhir adalah mo maling. Artinya adalah: tidak mau mencuri, menipu, korupsi,
merampok dan sejenisnya.

Manfaat pancasila sebagai ideologi pancasila

Ideologi itu merupakan kumpulan konsep bersistem yg dijadikan asas pendapat (kejadian)
yg memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Indonesia merupakan negara dengan
ideologi Pancasila.
a.
b.
c.
d.

Memiliki arah dan tujuan, serta cita2 suatu bangsa


Memiliki pedoman yang jelas, yakni seperti yang terdapat pada butit2 pancasila
Memiliki jati diri di hadapan orang lain, yakni pancasila.
Memiliki satu konsep dan pandangan, walaupun terdiri dari berbagai macam etnis,
golongan, dan agama.
e. Yang terpenting adalah, memiliki dasar dan acuan dalam menentukan UU atau
peraturan dalam negara Indonesia.

Manfaat pancasila sebagai dasar negara


a. Pancasila sebagai pedoman hidup bangsa dan negara Indonesia.
b. Pancasila sebagai jiwa bangsa dan negara Indonesia
c. Pancasila sebagai cita - cita bangsa
d. sumber terib hukum Indonesia

Manfaat Pancasila bagi kehidupan sehari-hari

Pancasila adalah jiwanya bangasa Indonesia jika benar jiwa kita pancasila, kita harus bisa
memegang teguh prinsip pancasila karena yang memegang teguh prinsip pancasila dalam

kehidupan kita sehari-hari baik kita sebagai anak di lingkungan Keluarga,sebagai Mahasiswa di
Lingkungan Kampus/Universitas,sebagai Sahabat/teman dilingkungan kita bergaul,Ataupun
disituasi manapun dimana kita berada,sebagaimana status kewarganegaraan kita sebagai Warga
Negara Indonesia yang patut menjunjung tinggi Pancasiala Sebagai Ideologi Dasar Bangsa
Indonesia yang sejak 1945 menjadia tolak piker ukuran sikap Nasionalisme dan Kebangasaan Kita.
Dalam Kehidupan saya sehari-hari banyak dijumpai berbagai perbedaan agama ada yang mendasar
bahkan ada yang cukup menonjol dimana misalakan dalam Kehidupan saya di Lingkungan
Bergaul,saya menemukan bebagai perbedaan agama yang mendasar tetapi kesatuan yang dimiliki
setiap anggota masyarakat tetap kokoh meskipun mengetahui pribadi masing-masing berada dalam
ruang lingkup perbedaan agama.Tetapi hal itu bahkan yang memperkuat Persatuan dan Kesatuan
kita sebagai bangsa,bahwa kita tetap menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaannya terhadap
Tuhan Yang Maha Esa,kita tetap Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama
antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang
Maha Esa,bahkan hal yang mendasar yang sering saya jumpai adalah sikap saling menghormati
kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.Jadi Bisa
diakatakan sebagaimana diatur dalam sila pertama Ketuahan yang Maha Esa kita bahkan
sebagian besar hampir seluruh Lingkup masyarakat merupakan masyarakat yang beragama bahkan
mengganggap agama sebagai amal dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam ruang lingkup kampus dimana saya belajar,menuntut ilmu dan status saya sebagai
mahasiswa,saya merasa disinila saya sangat menjunjung tinggi Pancasila.Sikap kemanusiaan kita
sebagai anak mudah sangat dituntut pertanggung jawabannya,Kita harus mengakui perbedaan
suku,bangsa,agama yang cukup menonjol, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan
sebagainya.Mengingat dalam lingkungan kampus terdapat berbagai keragaman budaya yang dari
dulu saya jarang untuk menjumpai sehingga ini menjadi pengalaman baru bagi saya.Saya melihat
nilai kemanusiaan yang dimiliki tiap mahasiswa cukup tinggi dimana pada waktu yang tidak
terduga teman saya mengalami musibah saya bahkan merasa iba dan sangat ingin membantu tetapi
bukan hanya saya teman-teman mahsiswapun ikut menunjukan rasa iba mereka dengan
mengumpulkan dana tanpa mengenal rasa malu untuk teman yang sedang mengalami
musibah.Adapun kegiatan Tahunan setiap mahasiswa dengan melakukan kegiatan sosial untuk
sesama ataupun kegiatan yang sangat bermanfaat bagi masyarakat. Ini menujukan sebagaimana
yang terlulis dalam sila ke dua Kemanusiaan yang Adil dan Beradap dimana para mahasiswa
Mengembangkan sikap saling mencintai sesame, Mengembangkan sikap tidak semena-mena
terhadap orang lain, dan Menjunjung tinggi nilai-nilai .
Adapun Nilai lebih dari Pancasila yang saya lihat telah diamalkan dalam kehidupan saya
adalah dengan menjunjung tinggi Persatuan dan Kesatuan,seta kebersamaan.Sebagaimana yang
tertera dalam sila ke tiga Persatuan Indonesia.Dimana didalam lingkungan kampus sering
dijumpai kebersanmaan setiap orang,mislakan diberikan Tugas Kelompok dengan sendirinya
kebersamaan yang dimiliki mahasiswa muncul bekerjas-sama bukan untuk kepentingan pribdi
tetapi untuk kepentingan bersama bekerja-sama untuk mencapai tujuan bersama.Ini menunjukan
Rasa persatuan dan kesatuan kita.

Sebagaimana yang tercantum dalam sila ke empat Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan.Dimana setiapa masyarakat memiliki
kedudukan dan kewajuban yang sama, dalam kehidupan bermasyarakat kita tidak dibedakan oleh
hak apapun.Didalam masyarakat Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan
secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilainilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
Menghargai karya orang lain selalu saya laksanakan ini demi menjunjung tinggi nilai pancasila
yang terkamdum dalam Sila Ke Lima Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Pancasila sebagai pandangan-dunia (World-view) alias ideologi bangsa Indonesia harus diresapi
oleh seluruh elemen bangsa. Namun ideologi hanya bisa kuat bila berlandaskan basis
epistemologis yang kukuh juga. Kalau orang Indonesia masih berpikir relativis, akhirnya percuma
juga ngapalin semua butir itu Lha wong penafsirannya tergantung pada masing-masing kita
(bahasa kerennya: dikembalikan kepada masing-masing individu).
Kita harus menguatkan Ideologi Pancasila dengan membiasakan berpikir benar dan mengakar /
filosofis. Kita sebagai bangsa Indonesia bukan hanya sekedar tau sila-sila pancasila tetapi harus
mengimplementsikan dalam kehidupan sehari-hari meskipun dalam penerapan kita mempunyai
pikiran yang berbeda-beda.

BAB III
A. SIMPULAN
Pancasila adalah lima nilai dasar luhur yang ada dan berkembang bersama dengan bangsa
Indonesia sejak dahulu. Sejarah merupakan deretan peristiwa yang saling berhubungan. Peristiwaperistiwa masa lampau yang berhubungan dengan kejadian masa sekarang dan semuanya bermuara
pada masa yang akan datang. Hal ini berarti bahwa semua aktivitas manusia pada masa lampau
berkaitan dengan kehidupan masa sekarang untuk mewujudkan masa depan yang berbeda dengan
masa yang sebelumnya. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia berlalu dengan melewati suatu
proses waktu yang sangat panjang. Dalam proses waktu yang panjang itu dapat dicatat kejadiankejadian penting yang merupakan tonggak sejarah perjuangan.

Dan Dasar Negara merupakan alas atau fundamen yang menjadi pijakan dan mampu
memberikan kekuatan kepada berdirinya sebuah Negara. Negara Indonesia dibangun juga
berdasarkan pada suatu landasan atau pijakan yaitu pancasila. Pancasila, dalam fungsinya sebagai
dasar Negara, merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur Negara Replubik Indonesia,
termasuk di dalamnya seluruh unsur-unsurnya yakni pemerintah, wilayah, dan rakyat. Pancasila
dalam kedudukannya seperti inilah yang merupakan dasar pijakan penyelenggaraan Negara dan
seluruh kehidupan Negara Replubik Indonesia.
Sesuai fakta sejarah, Pancasila tidak terlahir dengan seketika pada tahun 1945, tetapi
membutuhkan proses penemuan yang lama, dengan dilandasi oleh perjuangan bangsa dan berasal
dari gagasan dan kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Jadi, Pancasila lahir dan hidup di tengahtengah masyarakat itu karena sesuai dengan kepribadian masyarakat Indonesia itu sendiri. Kita
selaku masyarakatnya perlu memaknai Pancasila dan menerapkannya pada kehidupan sendiri,
kehidupan masyarakat maupun kehidupan berbangsa dan bernegara.
B. MANFAAT
Dengan mempelajari Pancasila dengan baik, memaknai Pancasila dengan benar dan mampu
menerapkannya di lapangan. Kita akan mengalami sendiri manfaat Pancasila yang terkandung
didalamnya terutama bagi kemajuan dalam meraih cita-cita kita sendiri selaku penerus bangsa
maupun cita-cita bangsa itu sendiri dalam memakmurkan rakyatnya, dalam memajukan
negaranya.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
www.Slideshare.net
www.Taheggaalfath.dosen.narotama.ac.id/
Materi ajar mata kuliah pendidikan pancasila-LPIDB UMS
www.netralnews.com
Kaelan, 2000, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta.
Suwarno, 1993, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Kanisius, Yogyakarta.

PERTANYAAN & JAWABAN


Desi Fatimah, Kelompok 4

Bagaimana Perkembangan Pancasila dalam kajian sejarah Bangsa Indonesia ?

Rizky Annisa, Kelompok 6

Mengapa Konstituante dibubarkan ?

Chusnul Tsalasia

Karena dalam konstituante sering terjadi perbedaan pendapat antar anggota


konstituante dan tidak adanya hasil selama dilaksanakan sidang oleh konstituante.

Rhapsody Dini, Kelompok 1

Mengapa Pancasila harus diamalkan ?

Enok Nur Siti Aisyah

Karena Pancasila adalah dasar negara kita, karena Pancasila adalah ideologi negara kita.
Kita sebagai masyarakatnya sendiri akan merasakan manfaatnya sendiri dengan
mengamalkan pancasila. Misalnya penerapannya sila ke-1 Ketuhan Yang Maha Esa.
Manusia yang bertuhan, manusia yang meyakini ke Esa an Tuhan-Nya, manusia yang
mematuhi aturan agamanya. Dari penerapan sila pertama itu saja kita akan menuju kepada
masyarakat yang makmur. Jika seluruh aspek dan nilai-nilai pancasila benar-benar
diterapkan dengan baik.

Retno Okta M, Kelompok 3

Apa faktor-faktor yang menyebabkan nilai-nilai Pancasila meluntur ?

Jihan Fadillah

Faktor yang menyebabkan nilai-nilai pancasila menurun adalah pengaruh adalah


pengaruh dari negara barat yang berakibat adanya krisis moral yang terjadi pada
bangsa Indonesia di berbagai lapisan masyarakat, mulai dari para elit-elit politik
hingga individu-individu. Selain itu, hal ini merupakan ancaman bagi bangsa
indonesia untuk menjaga nilai-nilai pancasila agar tidak tenggelam dengan selalu
mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Tindakan kriminal
seperti pengeboman, pembunuhan, korupsi dan sebagainya sudah menjadi masalah
yang sering terjadi. Hal ini terjadi karena manusia telah melupakan hakekatnya
sebagai makhluk yang ber-Tuhan, makhluk sosial dan makhluk pribadinya sebagai
tugas nya menjadi khalifah dibumi.

Amalia Lestari, Kelompok 7

Latar belakang dan tujuan dihapuskannya 7 kata pancasila ?

Alya Nurchanifah T

Dihapuskannya 7 kata tersebut berawal dari adanya keberatan dari elemen bangsa
yang berasal dari kawasan timur Indonesia. Karena masyarakat Indonesia terdiri
dari bermacam etnis beragama atau keyakinan. Sehingga, peniadaan tujuh kata
dilakukan dengan cepat dan legowo demi kepentingan nasional.

Erika, Kelompok 5

Berikan contoh penerapan pancasila pada era kemerdekaan ?

Yodya Syanindita

Contoh penerapannya dalam sila ke-5 yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawartan/perwakilan. Dimana pada saat itu masyarakat
Indonesia timur tidak setuju terhadap tujuh kata pada sla ke-1 pancasila. Dengan
musyawarah, maka tujuh kata itu dihapuskan.

Anda mungkin juga menyukai