Anda di halaman 1dari 6

KERAJAAN ACEH

A. Latar Belakang Perkembangan Kerajaan Aceh


Aceh semula menjadi daerah taklukkan Kerajaan Pedir. Akibat Malaka jatuh ke
tangan Portugis, pedagang yang semula berlabuh di pelabuhan Malaka beralih ke
pelabuhan milik Aceh. Dengan demikian, Aceh segera berkembang dengan cepat
dan akhirnya lepas dari kekuasaan Pedir. Aceh berdiri sebagai kerajaan merdeka.
Sultan pertama yang memerintah dan sekaligus pendiri Kerajaan Aceh adalah
Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528 M). Aceh berdiri sekitar abad ke-16, dimana
saat itu jalur perdagangan lada yang semula melalui Laut Merah, Kairo, dan Laut
Tengah diganti menjadi melewati sebuah Tanjung Harapan dan Sumatra. Hal ini
membawa perubahan besar bagi perdagangan Samudra Hindia, khususnya Kerajaan
Aceh. Para pedagang yang rata-rata merupakan pemeluk agama Islam kini lebih suka
berlayar melewati utara Sumatra dan Malaka. Selain pertumbuhan ladanya yang subur,
disini para pedagang mampu menjual hasil dagangannya dengan harga yang tinggi,
terutama pada para saudagar dari Cina. Namun hal itu justru dimanfaatkan bangsa
Portugis untuk menguasai Malaka dan sekitarnya. Dari situlah pemberontakan rakyat
pribumi mulai terjadi, khususnya wilayah Aceh.
Pada saat itu Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah
atau Sultan Ibrahim, berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pedir pada
tahun 1520. Dan pada tahun itu pula Kerajaan Aceh berhasil menguasai daerah
Daya hingga berada dalam kekuasaannya. Dari situlah Kerajaan Aceh mulai melakukan
peperangan dan penaklukan untuk memperluas wilayahnya serta berusaha
melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa Portugis. Sekitar tahun 1524,
Kerajaan Aceh bersama pimpinanya Sultan Ali Mughayat Syah berhasil menaklukan
Pedir dan Samudra Pasai. Kerajaan Aceh dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat
Syah tersebut juga mampu mengalahkan kapal Portugis yang dipimpin oleh Simao de
Souza Galvao di Bandar Aceh Namun meski aceh kala itu sebagai kerajaan islam
yang baru, aceh begitu cepat mendapatkan perhatian karena banyak kian
membesar.Aceh cepat tumbuh menjadi kerajaan besar karena didukung oleh faktor
sebagai berikut:
1. Letak Ibu kota Aceh yang sangat strategis.
2. Pelabuhan Aceh ( Olele ) memiliki persyaratan yang baik sebagai pelabuhan dagang.
3. Daerah Aceh kaya dengan tanaman lada sebagai mata dagangan ekspor yang penting.
4. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis menyebabkan pedagang Islam banyak yang
singgah ke Aceh
B. Masa Kejayaan

Lukisan Banda Aceh pada tahun 1665 dengan latar istana sultan.


Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, tetapi nyatanya selalu
dikendalikan oleh orangkaya atau hulubalang. Hikayat Aceh menuturkan Sultan yang
diturunkan paksa diantaranya Sultan Sri Alam digulingkan pada 1579 karena perangainya
yang sudah melampaui batas dalam membagi-bagikan harta kerajaan pada pengikutnya.
Penggantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh beberapa bulan kemudian karena
kekejamannya dan karena kecanduannya berburu dan adu binatang. Raja-raja dan
orangkaya menawarkan mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-Mukamil dari
Dinasti Darul Kamal pada 1589. Ia segera mengakhiri periode ketidak-stabilan dengan
menumpas orangkaya yang berlawanan dengannya sambil memperkuat posisinya sebagai
penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang dampaknya dirasakan pada sultan berikutnya.
Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa
kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada
masa kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan
sumber timah utama. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan
terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan
60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat
Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun
yang sama Aceh menduduki Kedah dan banyak membawa penduduknya ke Aceh.
Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar
Muda) didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan
Tuanku Abdul Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia
seperti ke Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu Elizabeth I.
Semua ini dilakukan untuk memperkuat posisi kekuasaan Aceh
C. Masa Kemunduran

Kemunduran Kesultanan Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah


makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatra dan Selat Malaka, ditandai
dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus
(1840) serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya
ialah adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan. Diplomat Aceh
di Penang. Duduk: Teuku Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku Imeum Lueng Bata
(kanan). Sekitar tahun 1870-an Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah
kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga serangkaian peristiwa nantinya, di mana para
bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat kekuasaan Sultan dengan mengangkat janda
Iskandar Tsani menjadi Sultanah. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketakutan akan
kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda) yang melatar-belakangi pengangkatan ratu.
Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang dengan
pedagang asing tanpa harus melalui pelabuhan sultan di ibu kota. Lada menjadi tanaman
utama yang dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga menjadi pemasok utama lada
dunia hingga akhir abad 19. Namun beberapa elemen masyarakat terutama dari kaum
wujudiyah menginginkan penguasa nanti adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka
mengklaim bahwa pewaris sah masih hidup dan tinggal bersama mereka di pedalaman.
Perang saudara pecah, masjid raya, Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan
dan ketidak-tentraman. Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam
mufti agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily melakukan berbagai reformasi terutama
perihal pembagian kekuasaan dengan terbentuknya tiga sagoe. Hal ini mengakibatkan
kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa penuh pada
daerah Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.
Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam
melemahnya Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795-
1824), seorang keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota
kesultanan dengan mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang
saudara kembali pecah namun berkat bantuan Raffles dan Koh Lay Huan, seorang
pedagang dari Penang kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa Prancis, Inggris dan
Spanyol) dikembalikan. Tak habis sampai di situ, perang saudara kembali terjadi dalam
perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang kelak
bergelar Sultan Mansur Syah (1857-1870).
Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali kesultanan
yang sudah rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada untuk menyetor upeti ke
sultan, hal yang sebelumnya tak mampu dilakukan sultan terdahulu. Untuk memperkuat
pertahanan wilayah timur, sultan mengirimkan armada pada tahun 1854 dipimpin oleh
Laksamana Tuanku Usen dengan kekuatan 200 perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan
kekuasaan Aceh terhadap Deli, Langkat dan Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh
angkat kaki dari daerah itu dengan ditaklukkannya benteng Pulau Kampai.
Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai usaha
untuk membendung agresi Belanda. Dikirimkannya utusan kembali ke Istanbul sebagai
pemertegas status Aceh sebagai vassal Turki Utsmaniyah serta mengirimkan sejumlah
dana bantuan untuk Perang Krimea. Sebagai balasan, Sultan Abdul Majid I mengirimkan
beberapa alat tempur untuk Aceh. Tak hanya dengan Turki, sultan juga berusaha
membentuk aliansi dengan Prancis dengan mengirim surat kepada Raja Prancis Louis
Philippe I dan Presiden Republik Prancis ke II (1849). Namun permohonan ini tidak
ditanggapi dengan serius.
Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatra, di
mana disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan
terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatra. Pembatasan-
pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha
untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun
Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan utusan khusus Sultan ditugaskan untuk mencari
bantuan ke sekutu lama Turki. Namun kondisi saat itu tidak memungkinkan karena Turki
saat itu baru saja berperang dengan Rusia di Krimea. Usaha bantuan juga ditujukan ke
Italia, Prancis hingga Amerika namun nihil. Dewan Delapan yang dibentuk di Penang
untuk meraih simpati Inggris juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan alasan ini, Belanda
memantapkan diri menyerang ibu kota. Maret 1873, pasukan Belanda mendarat di Pantai
Cermin Meuraksa menandai awal invasi Belanda Aceh.
D. Pemerintahan
Sultan Aceh

Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat, Sultan Aceh terakhir yang bertahta
pada tahun 1874-1903. Sultan Aceh atau Sultanah Aceh adalah penguasa / raja dari
Kesultanan Aceh. Sultan awalnya berkedudukan di Gampông Pande, Bandar Aceh
Darussalam kemudian pindah ke Dalam Darud Dunia di daerah sekitar pendopo Gubernur
Aceh sekarang. Dari awal hingga tahun 1873 ibu kota berada tetap di Bandar Aceh
Darussalam, yang selanjutnya akibat Perang dengan Belanda pindah ke Keumala, sebuah
daerah di pedalaman Pidie.
Sultan/Sultanah diangkat maupun diturunkan atas persetujuan oleh tiga Panglima
Sagoe dan Teuku Kadi Malikul Adil (Mufti Agung kerajaan). Sultan baru sah jika telah
membayar "Jiname Aceh" (maskawin Aceh), yaitu emas murni 32 kati, uang tunai seribu
enam ratus ringgit, beberapa puluh ekor kerbau dan beberapa gunca padi. Daerah yang
langsung berada dalam kekuasaan Sultan (Daerah Bibeueh) sejak Sultanah Zakiatuddin
Inayat Syah adalah daerah Dalam Darud Dunia, Masjid Raya, Meuraxa, Lueng Bata,
Pagarayée, Lamsayun, Peulanggahan, Gampông Jawa dan Gampông Pande.
Lambang kekuasaan tertinggi yang dipegang Sultan dilambangkan dengan dua cara
yaitu keris dan cap. Tanpa keris tidak ada pegawai yang dapat mengaku bertugas
melaksanakan perintah Sultan. Tanpa cap tidak ada peraturan yang mempunyai kekuatan
hukum.

E. Perangkat Pemerintahan
Perangkat pemerintahan Sultan kadang mengalami perbedaan tiap masanya. Berikut
adalah badan pemerintahan masa Sultanah di Aceh:
 Balai Rong Sari, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Sultan sendiri, yang aggotanya
terdiri dari Hulubalang Empat dan Ulama Tujuh. Lembaga ini bertugas membuat
rencana dan penelitian.
 Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Kadli Malikul
Adil, yang beranggotakan tujuh puluh tiga orang; kira-kira  Kesultanan Aceh pada
masa kejayaannya di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda semacam Dewan
Perwakilan Rakyat sekarang.
 Balai Gading, yaitu Lembaga yang dipimpin Wazir Mu'adhdham Orang Kaya
Laksamana Seri Perdana Menteri; kira-kira Dewan Menteri atau Kabinet kalau
sekarang, termasuk sembilan anggota Majlis Mahkamah Rakyat yang diangkat.
 Balai Furdhah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal ekonomi, yang dipimpin oleh
seorang wazir yang bergelar Menteri Seri Paduka; kira-kira Departemen
Perdagangan.
 Balai Laksamana, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal angkatan perang, yang
dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Laksamana Amirul Harb; kira-kira
Departemen Pertahanan.
 Balai Majlis Mahkamah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal
kehakiman/pengadilan, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Seri Raja
Panglima Wazir Mizan; kira-kira Departemen Kehakiman.
 Balai Baitul Mal, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal keuangan dan
perbendaharaan negara, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Orang Kaya
Seri Maharaja Bendahara Raja Wazir Dirham; kira-kira Departemen Keuangan.
Selain itu terdapat berbagai pejabat tinggi Kesultanan di antaranya
 Syahbandar, mengurus masalah perdagangan di pelabuhan
 Teuku Kadhi Malikul Adil, semacam hakim tinggi.
 Wazir Seri Maharaja Mangkubumi, yaitu pejabat yang mengurus segala Hulubalang;
kira-kira Menteri Dalam Negeri.
 Wazir Seri Maharaja Gurah, yaitu pejabat yang mengurus urusan hasil-hasil dan
pengembangan hutan; kira-kira Menteri Kehutanan.
 Teuku Keurukon Katibul Muluk, yaitu pejabat yang mengurus urusan sekretariat
negara termasuk penulis resmi surat kesultanan, dengan gelar lengkapnya Wazir
Rama Setia Kerukoen Katibul Muluk; kira-kira Sekretaris Negara.

Anda mungkin juga menyukai