Anda di halaman 1dari 16

Sejarah Berdirinya Kerajaan Aceh

Kerajaan Aceh berdiri bersamaan dengan penobatan Sultan Pertamanya, Sultan Ali Mughayat
Syah. Penobatan tersebut terjadi pada hari Ahad, 1 Jumadil Awal 913 H. Kerajaan ini
memiliki ibu kota Bandar Aceh Darussalam.

Ada catatan yang menyebutkan bahwa Kerajaan Aceh Darussalam ini didirikan untuk
melanjutkan kekuasaan dari Samudera Pasai. Pada masa Kerajaan ini, sektor politik, sosial,
ekonomi, dan kebudayaan mengalami perkembangan pesat.

Sultan-Sultan Kerajaan Aceh


Seperti halnya Kerajaan Islam, raja disebut dengan Sultan. Adapun Sultan-sultan yang pernah
memimpin Kerajaan ini adalah :

1. Sultan Ali Mughayat Syah

Sultan Ali Mughayat Syah adalah sultan pertama dari Kerajaan Aceh. Ia memegang tampuk
kekuasaan dari tahun 1514-1528 M. Di bawah kuasanya, Kerajaan ini memiliki wilayah
mencakup Banda Aceh- Aceh Besar
Selain itu, Kerajaan Aceh juga melakukan perluasan ke beberapa wilayah di Sumatera Utara,
yaitu daerah Daya dan Pasai. Sultan Ali juga melakukan serangan terhadap kedudukan
Portugis di Malaka dan juga menaklukkan Kerajaan Aru.

2. Sultan Salahuddin

Salahuddin merupakan anak dari Sultan Ali Mughayat Syah. Setelah meninggalnya Sultan
Ali Mughayat Syah, pemerintahan dilanjutkan oleh putranya tersebut. Sultan Salahuddin
memerintah dari tahun 1528-1537 M.

Sayangnya, Sultan Salahudin kurang memperhatikan Kerajaannya saat berkuasa. Maka dari
itu, Kerajaan ini sempat mengalami kemunduran. Akhirnya di tahun 1537 M, tampuk
kekuasaan pindah ke tangan saudaranya, Sultan Alaudin Riayat Syah.

3. Sultan Alaudin Riayat Syah

Sultan Alaudin Riayat Syah berkuasa  dari tahun 1537-1568 M.  Di bawah kekuasaannya,
Kerajaan ini berkembang pesat menjadi Bandar utama di Asia bagi pedagang Muslim
mancanegara. Lokasi Kerajaan Aceh yang strategis menjadi peluang untuk menjadikannya
sebagai tempat transit bagi rempah-rempah  Maluku. Dampaknya, Kerajaan Aceh saat itu
terus menghadapi Portugis.

Kerajaan Aceh dibawah kepemimpinan Alaudin Riayat Syah juga memperkuat angkatan laut.
Selain itu, Kerajaan ini juga membina hubungan diplomatik dengan Kerajaan Turki Usmani.

4. Sultan Iskandar Muda

Di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, Kerajaan ini mengalami puncak


kejayaannya. Iskandar Muda memimpin dari tahun 1606 – 1636 M. Sultan Iskandar Muda
melanjutkan kepemimpinan dari sultan Alauddin Riayat Syah.

Iskandar Muda memberikan terobosan baru untuk Kerajaan. Beliau mengangkat pimpinan
adat untuk setiap suku serta menyusun tata negara (qanun) yang menjadi pedoman
penyelenggaraan aturan Kerajaan.  Saat itu, Kerajaan Aceh menduduki 5 besar Kerajaan
Islam terbesar di dunia setelah Kerajaan  Maroko, Isfahan, Persia dan Agra.

Kerajaan ini berhasil merebut pelabuhan penting dalam perdagangan (pesisir barat dan timur
Sumatera, dan Pesisir barat Semenanjung Melayu). Selain itu, Kerajaan Aceh juga membina
hubungan diplomatik dengan Inggris dan Belanda untuk memperlemah serangan Portugis

5. Sultan Iskandar Thani

Sultan Iskandar Tahani memerintah dari tahun 1626-1641 M. Berbeda dengan sultan-sultan
sebelumnya yang mementingkan ekspansi, Iskandar Thani memperhatikan pembangunan
dalam negeri.

Selain itu, sektor pendidikan agama Islam mulai bangkit di masa kepemimpinannya. Terbukti
dari lahirnya buku Bustanus salatin yang dibuat oleh Ulama Nuruddin Ar-Raniry.  Meskipun
Iskandar Thani hanya memerintah selama 4 tahun, Aceh berada dalam suasana damai. Syariat
Islam sebagai landasan hukum mulai ditegakkan. Hubungan dengan wilayah yang
ditaklukkan dijalan dengan suasana liberal, bukan tekanan politik atau militer.

Runtuhnya Kerajaan Aceh

Kerajaan ini mulai mengalami kemunduran sejak meninggalnya sultan Iskandar Thani. Hal
itu dikarenakan tidak ada lagi generasi yang mampu mengatur daerah milik Kerajaan Aceh
yang begitu luas. Akibatnya, banyak daerah taklukan yang melepaskan diri seperti Johor,
Pahang, dan Minangkabau.

Selain itu, terjadi pertikaian terus menerus antara golongan ulama (Teungku) dan bangsawan
(Teuku). Pertikaian ini dipicu oleh perbedaan aliran keagamaan (aliran Sunnah wal Jama’ah
dan Syiah).

Meskipun begitu, Kerajaan Aceh tetap berdiri sampai abad ke 20. Kerajaan Aceh juga sempat
dipimpin beberapa Sultanah (Ratu). Ratu yang pernah memimpin Kerajaan Aceh yaitu  Sri
Ratu Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675 dan Sri Ratu Naqiatuddin Nur Alam (1675-1678).

Sayangnya, pertikaian yang terjadi terus menerus serta wilayah Kerajaan Aceh yang terus
berkurang membuat Kerajaan Aceh runtuh di awal abad 20 dan dikuasai oleh Belanda.

Peninggalan Kerajaan Aceh


Ada banyak peninggalan-peninggalan Kerajaan Aceh yang masih dapat kita lihat sampai
sekarang. Peninggalan tersebut adalah :

1. Masjid Raya Baiturrahman

Bangunan Masjid ini merupakan kebanggaan rakyat Aceh sampai sekarang. Masjid raya
Baiturrahman ini dibangun oleh Sultan Iskandar Muda pada tahun 1612 Masehi. Letaknya
tepat di tengah  pusat Kota Banda Aceh. Mesjid ini pernah dibakar saat Agresi Militer II dan
akhirnya dibangun kembali oleh pihak Belanda. Ketika Tsunami 2004 Melanda Aceh, Mesjid
ini tetap kokoh berdiri melindungi warga yang berlindung di dalamnya. Sampai saat ini,
masjid ini terus dikembangkan atau direnovasi menjadi lebih cantik. Terakhir,masjid ini telah
direnovasi menjadi mirip dengan masjid Nabawi di Madinah.

2. Gunongan

Gunongan ini merupakan bangunan yang juga dibangun oleh Sultan Iskandar Muda.
Bangunan ini dibangun atas dasar cinta Sultan Iskandar Muda pada seorang Putri dari Pahang
(Putroe Phaang).  Sultan Iskandar muda menjadikannya sebagai permaisuri. Karena cintanya
yang sangat besar, Sultan Iskandar Muda memenuhi keinginan Putroe Phaang untuk
membangun sebuah taman sari yang indah yang dilengkapi dengan Gunongan.

Saat ini, Taman Sari dan Gunongan menjadi tempat yang terpisah menjadi taman sari, taman
putro phaang dan Gunongan. Letak antara tiga tempat itu hampir berdekatan dengan Masjid
raya Baiturrahman sehingga anda mudah mengunjunginya.

3. Mesjid Tua Indrapuri


Masjid ini awalnya adalah sebuah candi peninggalan dari Kerajaan Hindu di Aceh. Namun
pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, candi ini diubah fungsinya menjadi masjid.
Anda masih dapat melihat bangunan yang strukturnya mirip dengan candi namun berpadu
dengan nuansa Islami ini di Indrapuri, Aceh Besar.

Selain tiga tempat diatas, masih banyak peninggalan lain yang masih terjaga. Peninggalan
berupa benda misalnya uang logam emas, meriam, dan lain-lain. sementara itu, penerapan
qanun yang berasal dari pemerintahan sultan Iskandar muda juga diterapkan dalam
pemerintahan Aceh saat ini.

Demikianlah pemaparan lebih lengkap tentang sejarah Kerajaan Aceh. Meskipun Kerajaan
ini sudah lama runtuh, pengaruh nilai-nilai dan peninggalan lainnya masih terjaga di
masyarakat Aceh. Oleh karena itu kita harus melestarikannya.

Nama sultan-sultan dari Kerajaan Aceh ini pun masih dikenang oleh masyarakat Aceh sampai
saat ini. Hal itu menunjukkan bahwa Kerajaan ini memang menorehkan bekas sejarah yang
besar di tanah rencong.
Sejarah
Awal mula

Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada awalnya
kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan menyatukan
beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya pada
tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti
dengan Aru.

Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama
Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan
oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1571.[3]

Masa Kejayaan

Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, tetapi nyatanya selalu dikendalikan
oleh orangkaya atau hulubalang. Hikayat Aceh menuturkan Sultan yang diturunkan paksa
diantaranya Sultan Sri Alam digulingkan pada 1579 karena perangainya yang sudah
melampaui batas dalam membagi-bagikan harta kerajaan pada pengikutnya. Penggantinya
Sultan Zainal Abidin terbunuh beberapa bulan kemudian karena kekejamannya dan karena
kecanduannya berburu dan adu binatang. Raja-raja dan orangkaya menawarkan mahkota
kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-Mukamil dari Dinasti Darul Kamal pada 1589. Ia
segera mengakhiri periode ketidak-stabilan dengan menumpas orangkaya yang berlawanan
dengannya sambil memperkuat posisinya sebagai penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang
dampaknya dirasakan pada sultan berikutnya.[4]

Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa kepemimpinan
Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa
kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada
tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan
armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam
upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya
ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki Kedah dan banyak
membawa penduduknya ke Aceh.[5]

Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Muda)
didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku
Abdul Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti ke
Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua ini
dilakukan untuk memperkuat posisi kekuasaan Aceh.

Kemunduran

Kemunduran Kesultanan Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin
menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatra dan Selat Malaka, ditandai dengan
jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta
Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya
perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.
Diplomat Aceh di Penang. Duduk: Teuku Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku Imeum Lueng Bata
(kanan). Sekitar tahun 1870an

Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga
serangkaian peristiwa nantinya, dimana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat
kekuasaan Sultan dengan mengangkat janda Iskandar Tsani menjadi Sultanah. Beberapa
sumber menyebutkan bahwa ketakutan akan kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda)
yang melatar-belakangi pengangkatan ratu.

Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang dengan pedagang
asing tanpa harus melalui pelabuhan sultan di ibu kota. Lada menjadi tanaman utama yang
dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga menjadi pemasok utama lada dunia hingga
akhir abad 19. Namun beberapa elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah
menginginkan penguasa nanti adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim
bahwa pewaris sah masih hidup dan tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara
pecah, masjid raya, Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan ketidak-
tentraman. Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti agung) Tgk.
Syech Abdurrauf As-Sinkily melakukan berbagai reformasi terutama perihal pembagian
kekuasaan dengan terbentuknya tiga sagoe. Hal ini mengakibatkan kekuasaan sultanah/sultan
sangat lemah dengan hanya berkuasa penuh pada daerah Bibeueh (kekuasaan langsung)
semata.

Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya
Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795-1824), seorang
keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan
mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang saudara kembali pecah namun
berkat bantuan Raffles dan Koh Lay Huan, seorang pedagang dari Penang kedudukan Jauhar
(yang mampu berbahasa Prancis, Inggris dan Spanyol) dikembalikan. Tak habis sampai
disitu, perang saudara kembali terjadi dalam perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman
dengan Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah (1857-1870).

Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali kesultanan yang
sudah rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada untuk menyetor upeti ke sultan, hal
yang sebelumnya tak mampu dilakukan sultan terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan
wilayah timur, sultan mengirimkan armada pada tahun 1854 dipimpin oleh Laksamana
Tuanku Usen dengan kekuatan 200 perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh
terhadap Deli, Langkat dan Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh angkat kaki dari daerah
itu dengan ditaklukkannya benteng Pulau Kampai.[6]
Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai usaha untuk
membendung agresi Belanda. Dikirimkannya utusan kembali ke Istanbul sebagai pemertegas
status Aceh sebagai vassal Turki Utsmaniyah serta mengirimkan sejumlah dana bantuan
untuk Perang Krimea. Sebagai balasan, Sultan Abdul Majid I mengirimkan beberapa alat
tempur untuk Aceh. Tak hanya dengan Turki, sultan juga berusaha membentuk aliansi
dengan Prancis dengan mengirim surat kepada Raja Prancis Louis Philippe I dan Presiden
Republik Prancis ke II (1849). Namun permohonan ini tidak ditanggapi dengan serius.[4]

Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan lemah
ke tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh Teuku
Paya Bakong dan Habib Abdurrahman Az-zahier untuk melawan ekspansi Belanda gagal.
Setelah kembali ke ibu kota, Habib bersaing dengan seorang India Teuku Panglima Maharaja
Tibang Muhammad untuk menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum moderat
cenderung mendukung Habib namun sultan justru melindungi Panglima Tibang yang
dicurigai bersekongkol dengan Belanda ketika berunding di Riau.[6]

Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatra, dimana
disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap
perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatra. Pembatasan-pembatasan
Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu
Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang
Aceh dan utusan khusus Sultan ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki.
Namun kondisi saat itu tidak memungkinkan karena Turki saat itu baru saja berperang
dengan Rusia di Krimea. Usaha bantuan juga ditujukan ke Italia, Prancis hingga Amerika
namun nihil. Dewan Delapan yang dibentuk di Penang untuk meraih simpati Inggris juga
tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan alasan ini, Belanda memantapkan diri menyerah ibu kota.
Maret 1873, pasukan Belanda mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai awal invasi
Belanda Aceh.

Perang Aceh

Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873
setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, tetapi tidak berhasil merebut wilayah yang
besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, tetapi lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan
1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.

Pada tahun 1896 Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas
Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh,
memberikan saran kepada Belanda agar merangkul para Ulèëbalang, dan melumatkan habis-
habisan kaum ulama. Saran ini baru terlaksanan pada masa Gubernur Jenderal Joannes
Benedictus van Heutsz. Pasukan Marsose dibentuk dan G.C.E. Van Daalen diutus mengejar
habis-habisan pejuang Aceh hingga pedalaman.

Pada 1879 dan 1898, Sultan Aceh kala itu, Muhammad Daud Syah II, meminta Rusia untuk
memberikan status protektorat kepada Kesultanan Aceh dan membantunya melawan Belanda.
Namun, permintaan sultan ditolak Rusia.[7]

Pada Januari tahun 1903 Sultan Muhammad Daud Syah akhirnya menyerahkan diri kepada
Belanda setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda.
Panglima Polem Muhammad Daud, Tuanku Raja Keumala, dan Tuanku Mahmud menyusul
pada tahun yang sama pada bulan September. Perjuangan di lanjutkan oleh ulama keturunan
Tgk. Chik di Tiro dan berakhir ketika Tgk. Mahyidin di Tiro atau lebih dikenal Teungku
Mayed tewas 1910 di Gunung Halimun.[8]

Pemerintahan
Sultan Aceh

Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat, Sultan Aceh terakhir yang bertahta pada tahun
1874-1903.

Sultan Aceh atau Sultanah Aceh merupakan penguasa / raja dari Kesultanan Aceh. Sultan
awalnya berkedudukan di Gampông Pande, Bandar Aceh Darussalam kemudian pindah ke
Dalam Darud Dunia di daerah sekitar pendopo Gubernur Aceh sekarang. Dari awal hingga
tahun 1873 ibu kota berada tetap di Bandar Aceh Darussalam, yang selanjutnya akibat Perang
dengan Belanda pindah ke Keumala, sebuah daerah di pedalaman Pidie.

Sultan/Sultanah diangkat maupun diturunkan atas persetujuan oleh tiga Panglima Sagoe dan
Teuku Kadi Malikul Adil (Mufti Agung kerajaan). Sultan baru sah jika telah membayar
"Jiname Aceh" (mas kawin Aceh), yaitu emas murni 32 kati, uang tunai seribu enam ratus
ringgit, beberapa puluh ekor kerbau dan beberapa gunca padi. Daerah yang langsung berada
dalam kekuasaan Sultan (Daerah Bibeueh) sejak Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah adalah
daerah Dalam Darud Dunia, Masjid Raya, Meuraxa, Lueng Bata, Pagarayée, Lamsayun,
Peulanggahan, Gampông Jawa dan Gampông Pande.[9]

Lambang kekuasaan tertinggi yang dipegang Sultan dilambangkan dengan dua cara yaitu
keris dan cap. Tanpa keris tidak ada pegawai yang dapat mengaku bertugas melaksanakan
perintah Sultan. Tanpa cap tidak ada peraturan yang mempunyai kekuatan hukum.[10]

Perangkat Pemerintahan
Perangkat pemerintahan Sultan kadang mengalami perbedaan tiap masanya. Berikut adalah
badan pemerintahan masa Sultanah di Aceh:

 Balai Rong Sari, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Sultan sendiri, yang aggotanya terdiri dari
Hulubalang Empat dan Ulama Tujuh. Lembaga ini bertugas membuat rencana dan penelitian.
 Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Kadli Malikul Adil, yang
beranggotakan tujuh puluh tiga orang; kira-kira semacam Dewan Perwakilan Rakyat
sekarang.
 Balai Gading, yaitu Lembaga yang dipimpin Wazir Mu'adhdham Orang Kaya Laksamana Seri
Perdana Menteri; kira-kira Dewan Menteri atau Kabinet kalau sekarang, termasuk sembilan
anggota Majlis Mahkamah Rakyat yang diangkat.
 Balai Furdhah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal ekonomi, yang dipimpin oleh seorang
wazir yang bergelar Menteri Seri Paduka; kira-kira Departemen Perdagangan.
 Balai Laksamana, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal angkatan perang, yang dipimpin
oleh seorang wazir yang bergelar Laksamana Amirul Harb; kira-kira Departemen Pertahanan.
 Balai Majlis Mahkamah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal kehakiman/pengadilan,
yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Seri Raja Panglima Wazir Mizan; kira-kira
Departemen Kehakiman.
 Balai Baitul Mal, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal keuangan dan perbendaharaan
negara, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Orang Kaya Seri Maharaja
Bendahara Raja Wazir Dirham; kira-kira Departemen Keuangan.

Selain itu terdapat berbagai pejabat tinggi Kesultanan di antaranya

 Syahbandar, mengurus masalah perdagangan di pelabuhan


 Teuku Kadhi Malikul Adil, semacam hakim tinggi.
 Wazir Seri Maharaja Mangkubumi, yaitu pejabat yang mengurus segala Hulubalang; kira-kira
Menteri Dalam Negeri.
 Wazir Seri Maharaja Gurah, yaitu pejabat yang mengurus urusan hasil-hasil dan
pengembangan hutan; kira-kira Menteri Kehutanan.
 Teuku Keurukon Katibul Muluk, yaitu pejabat yang mengurus urusan sekretariat negara
termasuk penulis resmi surat kesultanan, dengan gelar lengkapnya Wazir Rama Setia
Kerukoen Katibul Muluk; kira-kira Sekretaris Negara. [11]

Ulèëbalang & Pembagian Wilayah

Keramik dari Fujian pada masa Dinasti Ming, Cina yang dihadiahkan untuk Kesultanan Aceh pada
abad ke-17 M

Artikel utama: Ulèëbalang


Pada waktu Kerajaan Aceh sudah ada beberapa kerajaan seperti Peureulak, Pasée, Pidie,
Teunom, Daya, dan lain-lain yang sudah berdiri. Disamping kerajaan ini terdapat daerah
bebas lain yang diperintah oleh raja-raja kecil. Pada masa Sultan Iskandar Muda semua
daerah tersebut diintegrasikan dengan Kesultanan Aceh dan diberi nama Nanggroe,
disamakan dengan tiga daerah inti Kesultanan yang disebut Aceh Besar. Setiap daerah
dipimpin oleh Ulèëbalang. Pada masa Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1088 - 1098 H =
1678 - 1688 M) dengan Kadi Malikul Adil (Mufti Agung) Tgk. Syaikh Abdurrauf As-Sinkily
dilakukan reformasi pembagian wilayah. Kerajaan Aceh dibagi tiga federasi dan daerah
otonom. Bentuk federasi dinamakan Sagoe dan kepalanya disebut Panglima Sagoe. Berikut
pembagian tiga segi (Lhée Sagoe):

 Sagoe XXII Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Muda Perkasa Panglima Polem
Wazirul Azmi. Kecuali menjadi kepala wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirud
Daulah (Menteri Negara).
 Sagoe XXV Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Setia Ulama Kadli Malikul
'Alam. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Ketua Majelis
Ulama Kerajaan.
 Sagoe XXVI Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Imeum Muda Panglima
Wazirul Uzza. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirul
Harb (Menteri Urusan Peperangan).

Dalam setiap Sagoe terdapat Gampong. Setiap gampong memiliki sebuah Meunasah.
Kemudian gampong itu membentuk Mukim yang terdapat satu Masjid untuk melakukan
shalat jumat sesuai mazhab Syafi'ie.[12] Kecuali dari 3 wilayah Sagoe ini, semua daerah
memiliki hak otonom yang luas [13].

Ulèëbalang yang diberi hak mengurus daerah otonom non Lhée Sagoe, secara teori adalah
pejabat sultan yang diberikan Sarakata pengangkatan dengan Cap Sikureueng. Namun fakta
di lapangan mereka adalah merdeka. Memang Sultan Aceh tidak dapat mengontrol semua
Ulèëbalang yang telah menjadi pejabat di pedalaman. Dengan lemahnya pengontrolan ini
sehingga mereka lambat laun tidak mau tunduk lagi dan mengindahkan kekuasaan Sultan.
Mereka mulai berdagang dengan pedagang asing di pelabuhan mereka sendiri. Saudagar-
saudagar yang terlibat dalam perdagangan luar negeri ini tidak mau menyetorkannya kepada
petugas Sultan, tetapi menyetorkannya kepada Ulèëbalang langsung.[14]

Ditegaskan juga dalam sarakata bahwa Ulèëbalang terikat dalam sumpah yang isinya sebagai
berikut:

Demi Allah, kami sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh, dan sekalian kami yang ada
jabatan masing-masing kadar mertabat, besar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian kami
ini semuanya, kami thaat setia kepada Allah dan Rasul, dan kami semua ini thaat setia kepada
Agama Islam, mengikuti Syariat Nabi Muhammad Saw, dan kami semua ini taat setia kepada
raja kami dengan mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kami semuanya cinta pada Negeri
Aceh, mempertahankan daripada serangan musuh, kecuali ada masyakkah, dan kami semua
ini cinta kasih pada sekalian rakyat dengan memegang amanah harta orang yang telah
dipercayakan oleh empunya milik. Maka jika semua kami yang telah bersumpah ini
berkhianat dengan mengubah janji seperti yang telah kami ikral dalam sumpah kami semua
ini, demi Allah kami semua dapat kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kami semua sampai pada
anak cucu kami dan cicit kami turun temurun, dapat cerai berai berkelahi, bantah dakwa-
dakwi dan dicari oleh senjata mana-mana berupa apa-apa sekalipun. Wassalam.
— Sumpah Ulee Balang

Dokumen sumpah itu kemudian disimpan oleh Wazir Rama Setia selaku Sekretaris Kerajaan
Aceh, Said Abdullah Di Meuleuk, yang kemudian disimpan secara turun temurun oleh
keturunannya hingga saat ini, khusus bagi rakyat yang termasuk dalam daerah wewenangnya,
dalam hal ini ia boleh mengangkat seorang Kadi/hakim untuk membantunya. Sebagai
penutup ditegaskan, sekiranya Ulée Balang gagal dalam melaksanakan tugasnya menurut
hukum-hukum Allah, ia akan kehilangan kepercayaan atasannya.[15] Diakhir sarakata itu
dianjurkan Uleebalang itu menegakkan shalat lima waktu, melakukan sembahyang Jum'at,
mengeluarkan zakat, mendirikan masjid dan tempat-tempat ibadah lainnya, mendirikan
dayah, dan sekiranya kuasa melakukan ibadah haji.

Perekonomian

Salah satu kerajinan logam di Aceh.

Aceh banyak memiliki komoditas yang diperdagangkan diantaranya:

1. Minyak tanah dari Deli,


2. Belerang dari Pulau Weh dan Gunung Seulawah,
3. Kapur dari Singkil,
4. Kapur Barus dan menyan dari Barus.
5. Emas di pantai barat,
6. Sutera di Banda Aceh.

Selain itu di ibu kota juga banyak terdapat pandai emas, tembaga, dan suasa yang mengolah
barang mentah menjadi barang jadi. Sedang Pidie merupakan lumbung beras bagi kesultanan.
[16]
Namun di antara semua yang menjadi komoditas unggulan untuk diekspor adalah lada.

Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan Penang, nilai ekspor Aceh
mencapai 1,9 juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke Penang, senilai $1 juta
diangkut oleh pedagang Amerika dari wilayah lada di pantai barat. Sisanya diangkut kapal
dagang India, Prancis, dan Arab. Pusat lada terletak di pantai Barat yaitu Rigas, Teunom, dan
Meulaboh.[6]

Kebudayaan
Arsitektur
Gunongan

Kandang (komplek makam) Sultan Iskandar Tsani

Tidak terlalu banyak peninggalan bangunan zaman Kesultanan yang tersisa di Aceh. Istana
Dalam Darud Donya telah terbakar pada masa perang Aceh - Belanda. Kini, bagian inti dari
Istana Dalam Darud Donya yang merupakan tempat kediaman Sultan Aceh telah berubah
menjadi Pendapa Gubernur Aceh dan "asrama keraton" TNI AD. Perlu dicatat bahwa pada
masa Kesultanan bangunan batu dilarang karena ditakutkan akan menjadi benteng melawan
Sultan. Selain itu, Masjid Raya Baiturrahman saat ini bukanlah arsitektur yang sebenarnya
dikarenakan yang asli telah terbakar pada masa Perang Aceh - Belanda. Peninggalan
arsitektur pada masa kesultanan yang masih bisa dilihat sampai saat ini antara lain Benteng
Indra Patra, Masjid Tua Indrapuri, Komplek Kandang XII (Komplek Pemakaman Keluarga
Kesultanan Aceh), Pinto Khop, Leusong dan Gunongan dipusat Kota Banda Aceh. Taman
Ghairah yang disebut Ar Raniry dalam Bustanus Salatin sudah tidak berjejak lagi.[5]

Kesusateraan

Sebagaimana daerah lain di Sumatra, beberapa cerita maupun legenda disusun dalam bentuk
hikayat. Hikayat yang terkenal di antaranya adalah Hikayat Malem Dagang yang berceritakan
tokoh heroik Malem Dagang berlatar penyerbuan Malaka oleh angkatan laut Aceh. Ada lagi
yang lain yaitu Hikayat Malem Diwa, Hikayat Banta Beuransah, Gajah Tujoh Ulee, Cham
Nadiman, Hikayat Pocut Muhammad, Hikayat Prang Gompeuni, Hikayat Habib Hadat, Kisah
Abdullah Hadat dan Hikayat Prang Sabi.[14]

Salah satu karya kesusateraan yang paling terkenal adalah Bustanus Salatin (Taman Para
Sultan) karya Syaikh Nuruddin Ar-Raniry disamping Tajus Salatin (1603), Sulalatus Salatin
(1612), dan Hikayat Aceh (1606-1636). Selain Ar-Raniry terdapat pula penyair Aceh yang
agung yaitu Hamzah Fansuri dengan karyanya antara lain Asrar al-Arifin (Rahasia Orang
yang Bijaksana), Syarab al-Asyikin (Minuman Segala Orang yang Berahi), Zinat al-
Muwahhidin (Perhiasan Sekalian Orang yang Mengesakan), Syair Si Burung Pingai, Syair Si
Burung Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair Dagang dan Syair Perahu.
Karya Agama

Para ulama Aceh banyak terlibat dalam karya di bidang keagamaan yang dipakai luas di Asia
Tenggara. Syaikh Abdurrauf menerbitkan terjemahan dari Tafsir Alqur'an Anwaarut Tanzil
wa Asrarut Takwil, karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad Syirazi Al Baidlawy ke
dalam bahasa jawi.

Kemudian ada Syaikh Daud Rumy menerbitkan Risalah Masailal Muhtadin li Ikhwanil
Muhtadi yang menjadi kitab pengantar di dayah sampai sekarang. Syaikh Nuruddin Ar-
Raniry setidaknya menulis 27 kitab dalam bahasa melayu dan arab. Yang paling terkenal
adalah Sirath al-Mustaqim, kitab fiqih pertama terlengkap dalam bahasa melayu.[11]

Militer

Salah satu meriam yang dimiliki Kesultanan Aceh.

Pada masa Sultan Selim II dari Turki Utsmani, dikirimkan beberapa teknisi dan pembuat
senjata ke Aceh. Selanjutnya Aceh kemudian menyerap kemampuan ini dan mampu
memproduksi meriam sendiri dari kuningan.[17]
TUGAS SEJARAH
KERAJAAN ACEH

NAMA KELOMPOK:
1. AMANDA TASYA S.
2. AVIV ATHALAH PRAYOGI
3. AYU NADIYAH P. R.
4. AZHARA FADILAH
5. FADLI RAMADHAN
6. HAMDI ABRARAHMAN
7. M. REGA
8. NAURAH EDSA
9. VINA PUTRI
TAHUN AJARAN 2019 /2020

Anda mungkin juga menyukai