Anda di halaman 1dari 2

Kerajaan Aceh Darussalam

Perkembangan Kerajaan Aceh Darussalam dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Kondisi Geografis
Kota Banda Aceh yang terdapat di ujung Pulau Sumatra
diperkirakan menjadi pusat Kerajaan Aceh Darussalam.
Di sebelah utara Banda Aceh berbatasan langsung dengan
Selat Malaka dan di sebelah barat berbatasan dengan
Samudra Hindia. Wilayah Banda Aceh dilalui oleh tujuh
sungai, yaitu Sungai Krueng Aceh, Krueng Daroy, Krueng
Doy, Krueng Neng, Krueng Lhueng Paga, Krueng Tanjung,
dan Krueng Titi Panjang. Keberadaan tujuh sungai tersebut
berperan penting dalam perkembangan perekonomian
Kerajaan Aceh Darussalam.

2. Kehidupan Politik
Kerajaan Aceh Darussalam didirikan oleh Sultan
Ali Mughayat Syah pada awal abad XVI. Ia menjalankan
pemerintahan di Kerajaan Aceh Darussalam pada 1514–
1528. Berdasarkan berita Portugis, pada 1520 Masehi Peta wilayah Kerajaan Aceh Darussalam
Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Sumber: Seri Pengayaan Pembelajaran Indonesia: Masa Islam,
Maraga Borneo Tarigas, 2018
Ali Mughayat Syah berhasil menaklukkan Kerajaan Daya.
Pada 1529 Kerajaan Aceh Darussalam berhasil
menaklukkan Pidie dan Samudera Pasai. Kerajaan Aceh
Darussalam juga menyerang kapal Portugis di bawah
pimpinan komandan Simao de Souza Galvao yang singgah
di Banda Aceh. Selanjutnya, Kerajaan Aceh mengadakan
persiapan untuk menyerang Portugis di Malaka. Akan
tetapi, serangan ke Malaka tidak terlaksana karena Sultan
Ali Mughayat Syah wafat pada 1530.
Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat
Syah al-Kahar (1537–1568), Kerajaan Aceh Darussalam
menjalin hubungan internasional dengan kerajaan Islam di
wilayah Timur Tengah, seperti Turki, Abessinia (Ethiopia),
dan Mesir. Ia juga mengembangkan perdagangan dan
kekuatan angkatan perang. Dalam perkembangannya,
angkatan perang tersebut mampu menaklukkan banyak Sultan Iskandar Muda
wilayah seperti Batak, Aru, dan Barus. Untuk menjaga Sumber: https://web.archive.org/web/20201129214834/http://
abulyatama.ac.id/?p=5604, diunduh 23 Juli 2021
keutuhan Kerajaan Aceh Darussalam, Sultan Alauddin
Riayat Syah al-Kahar menempatkan suami saudara perempuannya di Barus sebagai Sultan Barus. Selain itu,
dua orang putra Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar diangkat menjadi Sultan Aru dan Sultan Pariaman
dengan gelar resmi Sultan Ghori dan Sultan Mughal.
Kerajaan Aceh Darussalam mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar
Muda (1607–1636). Pada masa itu wilayah kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam meliputi Semenanjung
Malaya dan Sumatra bagian utara. Dengan Angkatan Laut yang kuat, Kerajaan Aceh Darussalam memegang
hegemoni atas Selat Malaka sehingga dapat mengendalikan perdagangan di sekitar Selat Malaka. Meskipun
demikian, upaya Sultan Iskandar Muda mengusir Portugis dari Malaka belum menuai keberhasilan.
Sepeninggal Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh Darussalam berada di bawah kepemimpinan
Sultan Iskandar Thani. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Thani Kerajaan Aceh Darussalam
mengalami gejala kemunduran. Kemunduran ini terjadi karena pertikaian antara golongan teuku (golongan
bangsawan) dan tengku (tokoh agama), serta antara golongan Syiah dan Suni. Selain itu, kemunduran
terjadi karena tidak ada sultan yang cakap dan mampu memimpin kerajaan.

3. Kehidupan Ekonomi
Kerajaan Aceh Darussalam memfokuskan kegiatan perekonomian pada sektor perdagangan. Makin
berkembangnya Banda Aceh sebagai pelabuhan dagang internasional, banyak masyarakat Aceh yang
terjun dalam sektor perdagangan. Lada merupakan komoditas utama dari Aceh. Pada abad XVI–XVII Aceh
Darussalam merupakan salah satu negeri penghasil lada terbesar di Indonesia.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda tanaman lada dikembangkan sebagai komoditas
dagang utama. Agar harga lada di Aceh tetap tinggi, kebun-kebun lada di Kedah dibabat habis, sedangkan
kebun lada di Aceh tetap dipelihara. Dengan cara ini para pedagang Barat hanya dapat membeli lada dari
Aceh. Selain lada, masyarakat Aceh menjual komoditas lain seperti beras, timah, emas, dan perak.

4. Kehidupan Agama
Kehidupan masyarakat Aceh diatur berdasarkan hukum Islam. Kehidupan keagamaan masyarakat
Aceh tidak lepas dari peran golongan ulama. Golongan ulama di Aceh memiliki peran penting dalam
masyarakat. Selain itu, Kerajaan Aceh sangat memperhatikan perkembangan pendidikan. Kerajaan Aceh
memiliki sistem pendidikan berjenjang sebagai berikut.
a. Meunasah, yaitu jenjang pendidikan setingkat sekolah dasar (ibtidaiyah). Dalam tingkat ini siswa
diajarkan keterampilan membaca huruf Arab, ilmu agama dalam bahasa Melayu, akhlak, dan sejarah
Islam. Meunasah didirikan di tingkat kampung atau desa.
b. Rangkang, yaitu jenjang pendidikan setingkat sekolah menengah pertama (tsanawiyah). Dalam
tingkat ini siswa diajarkan keterampilan bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah, berhitung, hisab, dan ikih.
Rangkang didirikan di tingkat mukim atau kecamatan.
c. Dayah, yaitu jenjang pendidikan setingkat sekolah menengah atas (aliyah). Dalam jenjang ini siswa
diajarkan ilmu ikih, tauhid, akhlak, ilmu pasti, dan bahasa Arab tingkat lanjut. Dayah didirikan di
wilayah uleebalang atau setingkat kabupaten.
d. Dayah Teuku Cik, yaitu jenjang pendidikan setingkat perguruan tinggi. Jenjang pendidikan ini terdapat
di Kutaraja atau ibu kota kerajaan. Dalam Dayah Teuku Cik diajarkan ilmu tafsir, hadis, sastra Arab,
sejarah, ilsafat, dan ilmu falak.

5. Kehidupan Sosial dan Budaya


Tatanan masyarakat Kerajaan Aceh dibagi menjadi dua golongan, yaitu golongan bangsawan bergelar
teuku dan golongan ulama bergelar tengku. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, peraturan
hukum masyarakat Aceh dicantumkan dalam Adat Makuta Alam atau Kanun Makuta Alam.
Berkembangnya kebudayaan masyarakat Aceh ditandai dengan munculnya beberapa ulama ternama
yang ahli dalam bidang kesastraan. Para ulama tersebut antara lain Hamzah Fansuri yang menulis kitab
Al Muhtadi, Syamsuddin as-Sumatrani menulis kitab Mi’raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin ar-Raniri
menulis kitab Sirat al-Mustaqim dan Bustanussalatin, serta Syekh Abdul Rauf Singkili yang menulis kitab
Mi’raj al-Tulabb Fi Fashil.
Kerajaan Aceh Darussalam juga mewariskan beberapa peninggalan berupa bangunan bersejarah
yang masih dapat disaksikan hingga saat ini. Selain masjid raya Baiturrahman di Banda Aceh, bangunan
peninggalan Kerajaan Aceh Darussalam antara lain benteng Indrapatra, masjid Indrapuri, Pinto Khop,
dan Gunongan.

Anda mungkin juga menyukai