Anda di halaman 1dari 8

A.

Contoh Kasus pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang


Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta

Daerah Istimewa Yogyakarta atau biasa disingkat dengan DIY adalah salah satu daerah
otonom setingkat provinsi yang ada di Indonesia. Propinsi ini beribukota di Yogyakarta. Dari
nama daerah ini yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta sekaligus statusnya sebagai Daerah
Istimewa. Status sebagai Daerah Istimewa berkenaan dengan runutan sejarah berdirinya
propinsi ini, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Menurut Babad Gianti, Yogyakarta atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa) adalah nama yang
diberikan Paku Buwono II (raja Mataram tahun 1719-1727) sebagai pengganti nama
pesanggrahan Gartitawati.

Yogyakarta berarti Yogya yang kerta, Yogya yang makmur, sedangkan Ngayogyakarta


Hadiningrat berarti Yogya yang makmur dan yang paling utama. Sumber lain mengatakan,
nama Yogyakarta diambil dari nama (ibu) kota Sanskrit Ayodhya dalam epos Ramayana.
Dalam penggunaannya sehari-hari, Yogyakarta lazim diucapkan Jogja(karta) atau
Ngayogyakarta (bahasa Jawa). Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta sudah mempunyai
tradisi pemerintahan karena Yogyakarta adalah Kasultanan, termasuk di dalamnya terdapat
juga Kadipaten Pakualaman. Daerah yang mempunyai asal-usul dengan pemerintahannya
sendiri, di jaman penjajahan Hindia Belanda disebut Zelfbesturende Landschappen. Di jaman
kemerdekaan disebut dengan nama Daerah Swapraja. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
berdiri sejak 1755 didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan
Hamengku Buwono I. Kadipaten Pakualaman, berdiri sejak 1813, didirikan oleh Pangeran
Notokusumo, (saudara Sultan Hamengku Buwono II ) kemudian bergelar Adipati Paku Alam
I. Baik Kasultanan maupun Pakualaman, diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai
kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri.

Semua itu dinyatakan di dalam kontrak politik. Terakhir kontrak politik Kasultanan
tercantum dalam Staatsblad 1941 No. 47 dan kontrak politik Pakualaman
dalam Staatsblaad 1941 No. 577. Pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI, Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII mengetok kawat kepada Presiden RI,
menyatakan bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi bagian
wilayah Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu mewujudkan satu kesatuan
Daerah Istimewa Yogyakarta. Sri sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII
sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab langsung kepada
Presiden Republik Indonesia. Pegangan hukumnya adalah :

1. Piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII
tertanggal 19 Agustus 1945 dari Presiden Republik Indonesia
2. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Amanat Sri Paku Alam VIII tertanggal
5 September 1945 (yang dibuat sendiri-sendiri secara terpisah)
3. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 30
Oktober 1945 (yang dibuat bersama dalam satu naskah)

Dari 4 Januari 1946 hingga 17 Desember 1949, Yogyakarta menjadi Ibukota Negara
Republik Indonesia, justru dimasa perjuangan bahkan mengalami saat-saat yang sangat
mendebarkan, hampir-hampir saja Negara Republik Indonesia tamat riwayatnya. Oleh karena
itu pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia yang berkumpul dan berjuang di Yogyakarta
mempunyai kenangan tersendiri tentang wilayah ini. Apalagi pemuda-pemudanya yang
setelah perang selesai, melanjutkan studinya di Universitas Gajah Mada, sebuah Universitas
Negeri yang pertama didirikan oleh Presiden Republik Indonesia, sekaligus menjadi
monumen hidup untuk memperingati perjuangan Yogyakarta.

Pada saat ini Kraton Yogyakarta dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Puro
Pakualaman oleh Sri Paduka Paku Alam IX. Keduanya memainkan peranan yang sangat
menentukan di dalam memelihara nilai-nilai budaya dan adat-istiadat Jawa dan merupakan
pemersatu masyarakat Yogyakarta. Dengan dasar pasal 18 Undang-undang 1945, Dewan
Perwakilan Rakyat Propisni Daerah Istimewa Yogyakarta menghendaki agar kedudukan
sebagai Daerah Istimewa untuk Daerah Tingkat I, tetap lestari dengan mengingat sejarah
pembentukan dan perkembangan Pemerintahan Daerahnya yang sepatutnya dihormati.

Pasal 18 undang-undang dasar 1945 itu menyatakan bahwa “ pembagian Daerah Indonesia
atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan
undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem
Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam Daerah-daerah yang bersifat Istimewa “.
Sebagai Daerah Otonom setingkat Propinsi, Daerah Istimewa Yogyakarta dibentuk dengan
Undang-undang No.3 tahun 1950, sesuai dengan maksud pasal 18 UUD 1945 tersebut.
Disebutkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta adalah meliputi bekas Daerah/Kasultanan
Yogyakarta dan Daerah Pakualaman. Sebagai ibukota Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,
Kota Yogyakarta kaya predikat, baik berasal dari sejarah maupun potensi yang ada, seperti
sebagai kota perjuangan, kota kebudayaan, kota pelajar, dan kota pariwisata.

Sebutan kota perjuangan untuk kota ini berkenaan dengan peran Yogyakarta dalam konstelasi
perjuangan bangsa Indonesia pada jaman kolonial Belanda, jaman penjajahan Jepang,
maupun pada jaman perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Yogyakarta pernah menjadi
pusat kerajaan, baik Kerajaan Mataram (Islam), Kesultanan Yogyakarta maupun Kadipaten
Pakualaman. Sebutan kota kebudayaan untuk kota ini berkaitan erat dengan peninggalan-
peninggalan budaya bernilai tinggi semasa kerajaan-kerajaan tersebut yang sampai kini masih
tetap lestari. Sebutan ini juga berkaitan dengan banyaknya pusat-pusat seni dan budaya.
Sebutan kata Mataram yang banyak digunakan sekarang ini, tidak lain adalah sebuah
kebanggaan atas kejayaan Kerajaan Mataram.1

Berdasarkan pengalaman sejarah tersebut maka dapat dikorelasikan dengan teori basis sosial
hukum karya Von Savigny perihal Volkgeist. Perjalanan sejarah dari Kasultanan
Ngayogyakarta dimana sudah lama dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono dan Kadipaten
Pakualaman oleh Paku Alam telah menjiwai masyarakat daerah provinsi Yogyakarta. Lebih
lanjut, masyarakat melihat struktur kepemimpinan dari kedua pemimpin tersebut hingga
menjadi romantisme tersendiri sehingga muncul akan perasaan mendalam terhadap adat
istiadat yang bilamana digantikan dengan pemilihan pemimpin daerah seperti di daerah lain
melalui Pilkada, maka dapat menderogasi adat istiadat yang telah menjiwai masyarakat
Yogyakarta. Selaras dengan hal tersebut, pendapat dari Eugene Ehrlich juga turut terbukti
dimana living law yang ada di Yogyakarta adalah hukum tata pemerintahaan daerah
berdasarkan monarki dengan gelar pemimpin yang diberikan secara turun temurunnya ialah
Sultan Hamengku Buwono yang bisa disamakan sebagai Gubernur dan Paku Alaman yang
bisa disamakan sebagai Wakil Gubernur. Bila Pemerintah Pusat mengubah struktur tata
pemerintahan daerah yang telah ada di Yogyakarta dengan disamakan pada daerah-daerah di
Indonesia pada umumnya, maka dapat mengarahkan pada penilakan dari masyarakat karena
tidak ada konsensus atau law in the books bertentangan dengan law in the action. Maka dari
itu, pembentukan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah
Yogyakarta mendapatkan legitimasinya dari jiwa bangsa dan living law masyarakat
Yogyakarta sehingga posisi Sultan Hamengkubuwono dan Paku Alaman semakin kuat.

1
Kus Sri Antoro, “Analisis Kritis Substansi dan Implementasi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Bidang Pertanahan”, Bhumi, Vol 1, No. 1, Mei 2015 hlm. 12-
23
B. Contoh Kasus pada Qanun Aceh

Provinsi Aceh, sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dibentuk pertama
sekali melalui UndangUndang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom
Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara. Kemudian diberlakukan
juga berbagai Peraturan PerundangUndangan seperti Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU No. 11/2006) dan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 23/2014). Sejalan dengan isi
Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, dalam UU No. 11/2006 Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 42 ayat (1),
disebutkan bahwa: “Gubernur Aceh dan DPR Aceh mempunyai tugas dan wewenang untuk
membuat Qanun Aceh”. Pasal 1 angka 21 UU No. 11/2006 menyebutkan, yang dimaksud
dengan Qanun Aceh adalah Peraturan PerundangUndangan sejenis peraturan daerah provinsi
yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.
Pembentukan qanun di atas, sebagai bagian dari sistem Peraturan Perundang-Undangan di
Indonesia, tidak lepas dari ketentuan yang mengatur tentang pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang
kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (UU No. 12/2011). Oleh karenanya, qanun sebagai bagian
dari sistem Peraturan PerundangUndangan di Indonesia, selayaknya menjadi bagian dari
sistem norma hukum di Indonesia, yang berlaku, bersumber dan berdasar kepada norma
hukum yang lebih tinggi, bukan sebaliknya yakni menimbulkan benturan norma hukum yang
berujung kepada pembatalan qanun tersebut. 2

Qanun dalam Kamus Bahasa Indonesia dikenal dengan istilah “kanun” yang artinya adalah:
1). Undang-undang, peraturan, kitab undang-undang; 2). Hukum, kaidah. Istilah kanun
tersebut juga ditemukan dalam Kamus Aceh-Indonesia I, yakni “kanun”, yang diartikan:
peraturan, undang-undang, hukum, atau adat kebiasaan. Kanun diartikan juga sebagai
peraturan atau ketentuanketentuan raja yang sedang memerintah. Masyarakat Aceh juga
mengenal qanun dalam Hadih Maja yaitu ajaran atau doktrin atau katakata petuah dari orang-
orang tua yang berbunyi “Adat bak puteu meureuhom, Hukom bak syiah Ulama, Kanun bak

2
Bambang Antariksa, Kedudukan Qanun Aceh Ditinjau Dari Aspek Sejarah, Pengaturan, Fungsi, Dan Materi
Muatan Qanun, Jurnal Ilmiah “Advokasi”, Vol. 5, No. 1, Maret 2017, hlm. 19-20
Putroe Phang, Reusam bak Laksamana”. Hadih Maja tersebut merupakan konsep pembagian
kekuasaan dalam negara, yang diartikan:3

1) Kekuasaan eksekutif dan politik (adat) adalah ditangan sultan;


2) Kekuasaan yudikatif atau pelaksanaan hukum berada ditangan ulama yang menjadi
Kadli Malikul Adil,
3) kekuasaan legislatif atau kekuasaan pembuat undang-undang berada ditangan rakyat
yakni Majelis Mahkamah Rakyat, yang dalam Hadih Maja dilambangkan oleh “Putro
Phang” atau Puteri Pahang, karena pembentukan Majelis Mahkamah Rakyat diinisiasi
oleh Puteri Pahang yang saat itu menjadi Permaisuri Sultan Iskandar Muda, dan
4) Dalam keadaan perang, segala kekuasaan berada pada Panglima Tertinggi Angkatan
Perang, yaitu Laksamana.

Asal muasal Hadih Maja “Kanun bak Putro Phang” di atas terjadi pada masa Sultan Iskandar
Muda terkait satu kasus faraidh (pembagian harta warisan) antara ahli waris perempuan
dengan ahli waris laki-laki. Ahli waris perempuan mendapat sawah dan ahli waris lakilaki
mendapat rumah. Ahli waris perempuan diputuskan untuk meninggalkan rumah warisan
karena akan ditempati ahli waris laki-laki. Tetapi ahli waris perempuan tidak bersedia, karena
tidak memiliki rumah sebagai tempat tinggal. Kasus ini kemudian sampai kepada Permaisuri
Putri Pahang, dan membela ahli waris perempuan dengan alasan perempuan yang tidak
memiliki rumah tidak bisa tinggal di Meunasah, seperti laki-laki. Pembelaan Putri Pahang ini
disetujui Sultan Iskandar Muda, dan sejak itulah menjadi hukum (qanun) dan kemudian
ditetapkan dalam qanun melalui Majelis Mahkamah Rakyat dimasa pemerintahan Ratu Tajul
Alam Safiatuddin.

Qanun tersebut terus dilaksanakan dan mengalami perubahan-perubahan dimasa raja-raja


Aceh berikutnya, hingga kemudian istilah “qanun” dipakai sebagai nama lain dari peraturan
daerah yang ruang lingkup berlakunya di Provinsi Aceh dan kabupaten/kota dalam Provinsi
Aceh. Adapun di masa sekarang ini Qanun secara garis besar fungsinya sama dengan
Peraturan Daerah, tetapi dengan beberapa perbedaan seperti Materi muatan yang mengatur
pelaksanaan syariat Islam, yakni qanun yang mengatur tentang ibadah, ahwal al-syakhshiyah
(hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan),
tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam, perizinan pendirian tempat
ibadah, serta hukum acara pada Mahkamah Syar’iyah. Selain itu, Qanun dapat memuat sanksi
3
Ali Hasjmy, 1977, 59 Tahun Aceh Merdeka dibawah Pemerintahan Ratu, Bintang Bulan, Jakarta, Hal. 122 dan
123.
yang berbeda dengan sanksi dalam Peraturan Daerah. Bagi pelaksanaan Syariat Islam, seperti
Qanun Jinayah (Pidana).4

Berdasarkan kasus tersebut, dapat diketahui bahwa Qanun di Aceh sesungguhnya telah
menjadi bagian dari volkgeist masyarakat Aceh. Bila kita mencoba menganalisanya dengan
paradigma selain volkgeist karya Von Savigny maupun Eugene Ehrlich tentang Law in the
books dan Law in the action, maka paradigma William Graham Sumnel dapat memberikan
analisis yang mendalam. Menurut William Graham Sumnel, kebiasaan tercipta awal mulanya
dikarenakan upaya masyarakat untuk menyelesaikan masalah yang ada sehingga terciptanya
suatu mekanisme penyelesaian masalah dimana jika berhasil maka akan dipertahankan dan
jika tidak akan dicari solusi yang lain. Mekanisme penyelesaian masalah tersebut pada
awalnya tidak ditujukan untuk dijadikan hukum, adapun ketika mekanisme tersebut terus
dipertahankan sehingga menjadi “Folkways” lalu ketika semakin terinternalkan bahkan
hingga diberikan nilai-nilai yang mengarahkan pada hal “tabu” maka akan berubah menjadi
“mores” dan selanjutnya terpositifkan menjadi “hukum” ketika adanya institusionalisasi
terhadap mekanisme tersebut. Qanun awalnya tidak diarahkan untuk menjadi produk hukum
khusus masyarakat Aceh, tetapi pada perkembangannya tanpa ditujukan untuk hal tersebut,
sekarang sudah menjadi produk hukum khusus masyarakat Aceh.

C. Contoh Kasus pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Pada masa pra penjajahan, terutama setelah berdirinya kerajaankerajaan Islam di Indonesia,
tata hukum Islam sudah diterapkan dan dikembangkan di lingkungan masyarakat Islam
Indonesia. Dalam mengahadapi persoalan-persoalan masyarakat, termasuk juga urusan
perkawinan, masyarakat telah mempercayakan penyelesaiannya kepada orang khusus yang
ahli dalam bidang agama Islam. Para ahli ini menggunakan konsep-konsep kitab fikih
konvensional yang telah mereka terima dalam membuat aturan tentang perkawinan.

Pada masa penjajahan Belanda (VOC), tepatnya pada tanggal 25 Mei 1760, hukum
perkawinan yang belaku bagi kalangan muslim adalah Compendium Freijer yaitu sebuah
buku mengenai hukum perkawinan dan kewarisan Islam yang disusun oleh D.W. Friejer yang
telah direvisi dan disempurnakan oleh para penghulu. Namun setelah VOC menyerahkan
kekuasaan kepada Pemerintah Hindia Belanda, pada tanggal 3 Agustus 1828, Compendium
Freijer dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi, sehingga aturan perkawinan diserahkan
kepada hukum adat, kecuali bagi kalangan tertentu. Pada tahun 1919, Pemerintah
4
Mohammad Said, 1981, Aceh Sepanjang Abad, Percetakan dan Penerbitan Waspada, Medan, Hal. 340. Lihat
juga Ali Hasjmy, Op. cit, Hal. 126 dan 127.
mengeluarkan Indische Staatsregeling yang merupakan UUD Hindia Belanda yang baru dan
menganut asas hukum adat. Dengan berlakunya Pasal 131 ayat (2) sub b I.S., menurut
Wirjono, dasar perkawinan adalah hukum adat.5

Pada masa orde baru, penyusunan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan


merupakan kelanjutan dari usaha di masa orde lama. Tahun 1966, MPRS dengan ketetapan
No. XXVIII/ MPRS/1966 menyatakan dalam pasal 1 ayat (3), bahwa perlu segera diadakan
UU tentang perkawinan. Pada tahun 1967 dan 1968, pemerintah menyampaikan dua buah
rancangan RUU kepada DPRGR, yaitu (1) RUU tentang pernikahan Umat Islam; (2) RUU
tentang ketentuan pokok Perkawinan. Namun kedua RUU tidak mendapat persetujuan
DPRGR. Sementara itu, beberapa organisasi tetap menginginkan, bahkan mendesak
pemerintah untuk kembali mengajukan RUU tentang perkawinan.

Respon penolakan terhadap RUU perkawinan ini muncul dalam pembahasan RUU di DPR,
baik dari perorangan maupun organisasi. RUU ini banyak dianggap menjadi indikasi
pencabutan hukum perkawinan adat dan hukum perkawinan Islam, yang dianut oleh
kebanyakan masyarakat Indonesia. Dengan demikian, usaha pembaharuan perundang-
undangan perkawinan tersebut dianggap dan dituduh oleh sebagian masyarakat sebagai usaha
sekularisasi yang bertentangan dengan ajaran Islam. Adapun rancangan pasal-pasal yang
dianggap mendapat kritik paling keras dari kaum muslimin Indonesia adalah:

1. Rancangan aturan pencatatan perkawinan sebagai syarat sah pernikahan


2. Poligami harus mendapat izin dari pengadilan
3. Pembatasan usia minimal boleh menikah, 21 tahun untuk laki-laki, dan 18 untuk
perempuan.
4. Perkawinan antar pemeluk agama
5. Pertunangan
6. Perceraian harus dengan izin pengadilan
7. Pengangkatan anak.

Poin-poin di atas dianggap bertentangan dengan ketentuan syariat Islam dan juga tidak
mengakar pada kebutuhan dan situasi Indonesia. Aturan larangan pernikahan di bawah umur
justru memberikan peluang tumbuh suburnya pergaulan bebas. Akhirnya, Pemerintah pun
bersikap melunak untuk mempertimbangkan usulan-usulan perubahan yang diajukan kaum

5
Nety Hermawati, Respon Terhadap Hukum Perkawinan Di Indonesia, Al-Mizan, Vol. 11, No. 1, Juni 2015, hlm.
34-38
Muslimin. Hal ini disadari karena akan ada bahaya lebih lanjut apabila masalah tersebut
berlarut-larut.6

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, dan
Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Buku I. UU Perkawinan
memiliki irisan dan urusan dengan sistem  hukum yang hidup (fiqh al-hayâh; leaving law)
dan terawat oleh dan di tengah-tengah masyarakat hukum Indonesia. Termasuk ke dalam
sistem hukum yang hidup dan terawat dalam konteks ilmu dan praktik hukum di Indonesia
ialah hukum agama di samping hukum adat. Eksistensi dan peran/fungsi hukum agama
termasuk untuk tidak mengatakan terutama hukum Agama Islam (syariat/fikih),  mendapat
kedudukan/tempat  serta  jaminan. Di antara contoh kasusnya dalam bidang hukum keluarga
(al-ahwâl al-syakhshiyyah/ahkâm al-usrah).  Utamanya bidang Perkawinan (munâkahât;
marriage). Karenanya perkawinan khususnya dan keluarga pada umumnya memiliki ruang
lingkup yang cukup luas dan melibatkan banyak aspek. Sekurang-kurangnya sejarah (histori),
adat-kebiasaan, sosiologi, budaya, psikologi, ekonomi, politik dan lain-lain. Tentu saja
terutama aspek hukum termasuk di dalamnya hukum agama dan tidak terkecuali hukum
agama Islam atau fikih.

6
Zaini Ahmad Noeh, “Perkembangan Hukum Keluarga Islam setelah 50 Tahun Kemerdekaan (Catatan untuk
Ulang Tahun Emas Departemen Agama),” Mimbar Hukum, No. 24 Tahun VII (Januari-Pebruari 1996), hlm. 12.

Anda mungkin juga menyukai