Anda di halaman 1dari 9

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang terus berkembang baik dalam segi
kehidupan masyarakatnya maupun segi tata ruangnya. Kota Yogyakarta pernah berperan sebagai
kota pusat pemerintahan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang berlangsung terus sampai
17 Agustus 1945. Dalam catatan sejarah, pada saat itu Negara Kesatuan Republik Indonesia
diproklamasikan dan kemudian diikuti pernyataan Sultan Hamengku Buwono IX untuk
menyatukan diri dengan negara yang baru berdiri ini. Selanjutnya Kota Yogyakarta sementara
berganti status dari kota pusat pemerintahan dan menjadi ibukota Republik Indonesia, selain
sebagai pusat revolusi Indonesia pada saat itu. Saat ini Yogyakarta menjadi ibukota Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, dan dikenal luas sebagai kota pendidikan tinggi serta salah satu
pusat kebudayaan Jawa.

Daerah Istimewa Yogyakarta yang terbagi menjadi 5 (lima) wilayah Kabupaten antara lain
Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Gunung Kidul dan
Kota Yogyakarta. Begitu banyak obyek-obyek wisata di kota pelajar ini dan menjadikan daya tarik
tersendiri bagi wisatawan untuk berkunjung karena di masing-masing Kabupaten di Daerah
Istimewa Yogyakarta juga memiliki tempat-tempat wisata andalan yang menarik dan layak untuk
dikunjungi oleh wisatawan baik domestik maupun mancanegara.
1.2. Rumusan Masalah
Setelah memperhatikan latar belakang masalah diatas, ada rumusan masalah yang timbul sebagai
berikut :
a. Bagaimanakah pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta?
b. Bagaimanakah adat istiadat seperti, rumah, pakaian, kesenian di Daerah Istimewa Yogyakarta?
c. Bagaimanakah sumber daya alam di Daerah Istimewa Yogyakarta?
d. Seperti apa wisata alam dan wisata buatan di Daerah Istimewa Yogyakarta?
e. Apa saja kuliner di Daerah Istimewa Yogyakarta?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini selain sebagai tugas, juga untuk memberikan wawasan &
pengetahuan kepada mahasiswa tentang Keanekaragaman Bangsa Indonesia.
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pemerintahan
Kota Yogyakarta dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan
Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, suatu
kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut nampak strategi
menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu. Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII menerima piagam
pengangkatan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DIY dari Presiden RI, selanjutnya
pada tanggal 5 September 1945 beliau mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah
Kesultanan dan daerah Pakualaman merupakan Daerah Istimewa yang menjadi bagian dari
Republik Indonesia menurut pasal 18 UUD 1945. Pada tanggal 30 Oktober 1945, beliau
mengeluarkan amanat kedua yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pemerintahan di Daerah
Istimewa Yogyakarta akan dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku
Alam VIII bersama-sama Badan Pekerja Komite Nasional.

Meskipun Kota Yogyakarta baik yang menjadi bagian dari Kesultanan maupun yang menjadi
bagian dari Pakualaman telah dapat membentuk suatu DPR Kota dan Dewan Pemerintahan Kota
yang dipimpin oleh kedua Bupati

Kota Kasultanan dan Pakualaman, tetapi Kota Yogyakarta belum menjadi Kota Praja atau Kota
Otonom, sebab kekuasaan otonomi yang meliputi berbagai bidang pemerintahan masih tetap
berada di tangan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kota Yogyakarta yang meliputi daerah Kasultanan dan Pakualaman baru menjadi Kota Praja atau
Kota Otonomi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1947, dalam pasal I menyatakan
bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta
beberapa daerah dari Kabupaten Bantul yang sekarang menjadi Kecamatan Kotagede dan
Umbulharjo ditetapkan sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri. Daerah tersebut dinamakan Haminte Kota Yogyakarta.
Untuk melaksanakan otonomi tersebut Walikota mengalami kesulitan karena wilayah tersebut
masih merupakan bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan statusnya belum dilepas. Hal itu
semakin nyata dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah, di mana Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja
Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi bagian Daerah Istimewa Yogyakarta. DPRD Kota
Yogyakarta baru dibentuk pada tanggal 5 Mei 1958 dengan anggota 20 orang sebagai hasil Pemilu
1955.

Dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Undang-undang Nomor
1 Tahun 1957 diganti dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah, tugas Kepala

Daerah dan DPRD dipisahkan dan dibentuk Wakil Kepala Daerah dan badan Pemerintah Harian
serta sebutan Kota Praja diganti Kotamadya Yogyakarta.

Atas dasar Tap MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 dikeluarkan Undang- undang Nomor 5 Tahun
1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Berdasarkan Undang-undang tersebut, DIY
merupakan Propinsi dan juga Daerah Tingkat I yang dipimpin oleh Kepala Daerah dengan sebutan
Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Istimewa
Yogyakarta yang tidak terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengankatan bagi
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya, khususnya bagi beliiau Sri Sultan Hamengku
Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII. Sedangkan Kotamadya Yogyakarta merupakan
daerah Tingkat II yang dipimpin oleh Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dimana terikat
oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi kepala Daerah Tingkat II seperti
yang lain.

Seiring dengan bergulirnya era reformasi, tuntutan untuk menyelenggarakan pemerintahan di


daerah secara otonom semakin mengemuka, maka keluarlah Undang-undang No.22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan Daerah menyelenggarakan otonomi
daerah secara luas,nyata dan bertanggung jawab. Sesuai UU ini maka sebutan untuk Kotamadya
Dati II Yogyakarta diubah menjadi Kota Yogyakarta sedangkan untuk pemerintahannya disebut
denan Pemerintahan Kota Yogyakarta dengan Walikota Yogyakarta sebagai Kepala Daerahnya.
2.2 Adat Istiadat
Adat istiadat dan budaya Yogyakarta sangat terpengaruh dengan keraton. Jika dilihat dari
latarbelakang sejarahnya, Keraton Yogyakarta merupakan sumber dari adat istiadat dan budaya
masyarakat Yogyakarta. Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau yang biasa disebut
Keraton Yogyakarta hingga kini terus mempertahankan ciri khas, adat istiadat, serta budayanya.
Bahkan yang berasal dari luar daerah pun bisa mempelajarinya. Tak heran mengapa banyak turis
asing yang datang ke Yogyakarta dan tertarik mendalami pesona kebudayaan yang terpancar dari
keraton. Bangunan bersejarah ini merupakan istana dan tempat tinggal dari Sultan Hamengku
Buwono (raja sekaligus gubernur) dan keluarganya ini berdiri sejak tahun 1756. Berbagai prosesi
adat istiadat Yogyakarta yang bermula dari keraton. Misalkan tradisi Grebeg Syawal, yang digelar
tiap Hari Lebaran tiba. Arak-arakan Gunungan Lanang yang dibawa menuju halaman Masjid
Agung Kauman, berawal atau dimulai dari keraton terlebih dahulu. Belum lagi puluhan upacara-
upacara adat lainnya yang sumbernya dari keraton. P

a. Rumah Adat Yogyakarta

Ruangan pada rumah joglo pada umumnya dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah
ruangan pertemuan yang disebut pendhopo. Bagian kedua adalah ruang tengah atau ruang yang
dipakai untuk mengadakan pertunjukan wayang kulit, disebut pringgitan. Bagian ketiga adalah
ruang belakang yang disebut ndalem atau omah jero, dan digunakan sebagai ruang keluarga.
Dalam ruang ini terdapat tiga buah senthong (kamar), yaitu senthong kiri, senthong tengah, dan
senthong kanan.

Pendhopo memiliki fungsi sebagai tempat menerima tamu. Struktur bangunan pada pendhopo
menggunakan umpak sebagai alas soko, 4 buah soko guru (tiang utama) sebagai simbol 4 arah
mata angin, dan 12 soko pengarak. Ada pula tumpang sari yang merupakan susunan balik yang
disangga oleh soko guru. Umumnya, tumpang sari terdapat pada pendopo bangunan yang disusun
bertingkat. Tingkatan-tingkatan ini dapat pula diartikan sebagai tingkatan untuk menuju titik
puncak. Menurut kepercayaan Jawa, tingkatan-tingkatan ini akan menyatu pada satu titik. Ndalem
adalah pusat pada rumah joglo. Fungsi utamanya sebagai ruang keluarga. Pada pola tata ruang,
ndalem terdapat perbedaan ketinggian lantai, sehingga membagi ruang menjadi 2 area. Pada lantai
yang lebih tinggi digunakan sebagai tempat keluar masuk udara, sedangkan pada bagian yang
lebih rendah digunakan sebagai ruang keluarga dan senthong.
b. Pakaian Adat Yogyakarta

Di dalam Keraton Yogyakarta berlaku suatu peraturan secara turun temurun apabila mereka masuk
Kraton, yaitu:

- Bagi Perempuan

Berkain wiron, berangkin (kemben) yang dikenakan dengan cara ”ubet-ubet”, gelung
tekuk, tanpa baju dan tanpa alas kaki.

- Bagi Laki-laki

Berblangkon, baju pranakan, kain batik dengan cara wiron engkol, berkeris (Bagi yang
berpangkat bekel ke atas), dan tanpa alas kaki. Pakaian tersebut di atas digunakan sehari-hari. Bila
ada acara, mempunyai aturan tersendiri, berlaku bagi kerabat keraton, dan tidak berlaku bagi
wisatawan.

c. Kesenian Yogyakarta

Yogyakarta atau "Jogja" merupakan sebuah kota kecil di sebelah selatan Pulau Jawa yang
berpredikat kota pelajar. Selain menyandang predikat kota pelajar, Yogyakarta juga pantas disebut
sebagai kota budaya karena masyarakat di kota ini masih sangat menjunjung tinggi adat dan
budaya yang mereka miliki. Berbagai ragam kesenian tradisional masih terus digelar dan
dilestarikan oleh seniman-seniman di Provinsi Yogyakarta ini. Kesenian khas yogyakarta tidak
hanya ditampilkan pada hari-hari tertentu saja. Namun, masih banyak kesenian-kesenian khas yang
ditampilkan oleh masyarakat Yogyakarta untuk memeriahkan berbagai upacara adat, seperti
pernikahan, khitanan, kelahiran, dan upacara adat lainnya. Berikut ini beragam kesenian khas
yogyakarta yang dikenal oleh masyarakat Yogyakarta serta penjelasannya.

- Wayang Kulit

Wayang kulit merupakan kesenian tradisional yang sudah berusia ratusan tahun. Dalam
pertunjukan wayang kulit, penonton dapat menyaksikan dari arah depan atau dari arah belakang.
Dari belakang, penonton akan melihat bayang-bayang wayang dari dalam kelir (tirai kain putih
untuk menangkap bayang-bayang wayang kulit). Bayang-bayang inilah yang mungkin menjadi
cikal bakal lahirnya istilah wayang yang berarti bayang-bayang. Selain itu bayang-bayang ini
ditafsirkan bahwa cerita dalam pewayangan mencerminkan bayang-bayang kehidupan manusia di
dunia.

Wayang kulit gaya Yogyakarta mempunyai tampilan fisik yang berbeda dengan wayang dari
daerah lain. Perbedaannya terletak pada beberapa hal; wayang gaya Yogyakarta terkesan dinamis
atau terlihat bergerak, ditandai dengan tampilan posisi kaki yang melangkah lebar seperti orang
yang sedang melangkah; tampilan bentuk luarnya lebih tambun dan tidak terkesan kurus;
tangannya sangat panjang hingga menyentuh kaki; serta tatahannya inten-intenan, terutama pada
pecahan uncal kencana, sumping, turido, dan bagian busana lainnya. Dilihat dari sunggingannya
(lukisan/ perhiasan yang diwarnai dengan cat), digunakan sunggingan tlacapan atau sunggingan
sorotan, yaitu unsur sungging yang berbentuk segitiga terbalik yang lancip-lcncip seperti bentuk
tumpal pada motif kain batik; dan di bagian siten-siten atau lemahan, yaitu bagian di antara kaki
depan dan kaki belakang, umumnya diberi warna merah.

Untuk mengetahui wayang gaya Yogyakarta, ditentukan dari jenis mata wayang. Bentuk hidung
wayang, mulut wayang, bentuk mahkota, jenis pemakaian kain (dodot) dan posisi kaki, serta
atribut lainnya merupakan beberapa atribut yang perlu diperhatikan untuk mengenal wayang
Yogya.

- Wayang Wong

Sesuai dengan namanya, kesenian ini menggunakan wong (orang) sebagai pemainnya. Wayang
wong berbeda dengan wayang kulit yang menggunakan wayang dari kulit sebagai alat peraganya.
Wayang wong adalah suatu seni drama yang menggabungkan antara seni dialog dan seni tembang.
Wayang wong pertama kali diciptakan oleh K.B.A.A. Mangkunegara I yang berkuasa dari tahun
1757 sampai tahun 1795. Pemain-pemain wayang wong adalah para abdi dalem keraton sendiri.
Pada masa pemerintahan Mangkunegara V, pada tahun 1881, pagelaran wayang wong semakin
hidup dan dianggap sebagai hiburan. Selanjutnya wayang wong berkembang menjadi wayang
wong gaya Surakarta dan wayang wong gaya Yogyakarta.

Wayang wong gaya Yogyakarta pertama kali muncul pada pemerintahan Sri Sultan
Hamengkubuwo no VII yang bertakhta dari tahun 1878 sampai tahun 1921. Dahulu kala, wayang
wong hanya dipentaskan di lingkungan keraton, yaitu di Baluwerti. Para pemainnya adalah
pangeran dan keluarga keraton sen- diri. Kesenian ini merupakan ajang ekspresi kehalusan budi,
keterampilan tari, dan bela diri. Semua pemainnya laki-laki. Bahkan, tokoh wanita pun dimainkan
oleh laki-laki.

Perbedaan antara wayang wong gaya Surakarta dan Yogyakarta terletak pada penggunaan kethok
dan kecrek serta dalang untuk suluk (nyanyian atau tembang dalang yang dilakukan ketika akan
memulai adegan di pertunjukan wayang) dan menceritakan adegan yang silih berganti untuk gaya
Surakarta. Adapun gaya Yogyakarta hanya menggunakan keprak (bunyi-bunyian pengiring
gerakan) serta pembaca kandha yang bukan merupakan dalang. Pada gaya Surakarta, cengkok atau
lagu percakapan nampak lembut merayu, sedangkan gaya Yogyakarta terlihat datar dan
melankolik. Dalam gaya Surakarta, tarian terlihat luwes sedangkan dalam gaya Yogyakarta tarian
tampak lebih gagah, trengginas (lincah), dan memikat.

Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono V (1822-1855) dipergelarkan tidak kurang
lima cerita, yakni Pragolomurti, Petruk Dadi Ratu, Rabinipun Angkawijaya, Joyosemadi, dan
Pregiwo-Pregiwati. Pada periode pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII (1877-1921)
hanya dua kali pementasan dengan lakon Sri Suwela dan Pregiwo-Pregiwati.

Wayang wong mencapai popularitasnya pada saat Sri Sultan HB VIII berkuasa. Pada masa itu
digiatkan pembaruan dan penyempurnaan besar-besaran pada tata busana, teknik, ragam gerak tari,
dan kelengkapan pentas. Proyek ini melibatkan empu tari KRT Joyodipuro, KRT Wiroguno, GPH
Tejokusumo, KRT Wironegoro, BPH Suryodiningrat, dan KRT Purboningrat. Selama periode
1921- 1939 ini tidak kurang 20 lakon wayang wong dipentaskan.

2.3 Sumber Daya Alam

Tingkat kesejahteraan petani dalam bidang pertanian di DIY yang diukur dengan Nilai Tukar
Petani (NTP) NTP dapat menjadi salah satu indikator yang menunjukkan tingkat kesejahteraan
petani di suatu wilayah. Pada 2010 NTP sebesar 112,74%[13]. Ketahanan pangan merupakan
bagian terpenting dari pemenuhan hak atas pangan sekaligus merupakan salah satu pilar utama hak
asasi manusia. Secara umum ketersediaan pangan di DIY cukup karena berkaitan dengan musim
panen sehingga diperlukan pengaturan distribusi oleh pemerintah. Pemenuhan kebutuhan ikan di
DIY dapat dipenuhi dari perikanan tangkap maupun budidaya. Untuk perikanan tangkap dilakukan
melalui pengembangan pelabuhan perikanan Sadeng dan Glagah. Produksi perikanan budidaya
tahun 2010 mencapai 39.032 ton, dan perikanan tangkap mencapai 4.906 ton, dengan konsumsi
ikan sebesar 22,06 kg/kap/tahun[9].

Hutan di DIY didominasi oleh hutan produksi, yang sebagian besar berada di wilayah Kabupaten
Gunungkidul. Persentase luas hutan di DIY pada tahun 2010 sebesar 5,87% dengan rehabilitasi
lahan kritis sebesar 9,93% dan kerusakan kawasan hutan sebesar 4,94%[9]. Sektor perkebunan, dari
segi produksi tanaman perkebunan yang potensial di DIY adalah kelapa, dan tebu. Kegiatan
perkebunan diprioritaskan dalam rangka pengutuhan tanaman memenuhi skala ekonomi serta
peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu produk tanaman untuk meningkatkan pendapatan
petani.

Sumber daya mineral atau tambang yang ada di DIY adalah Bahan Galian C yang meliputi, pasir,
kerikil, batu gamping, kalsit, kaolin, dan zeolin serta breksi batu apung. Selain bahan galian
Golongan C tersebut, terdapat bahan galian Golongan A yang berupa Batu Bara. Batu bara ini
sangat terbatas jumlahnya, begitu pula untuk bahan galian golongan B berupa Pasir
Besi (Fe), Mangan (Mn), Barit (Ba), dan Emas (Au) yang terdapat di Kabupaten Kulon Progo.
Dalam bidang ketenagalistrikan, khususnya listrik, minyak, dan gas di DIY dipasok oleh PT PLN
dan PT Pertamina.

2.4 Wisata Alam & Buatan

- Wisata Alam

Menikmati udara bebas dan terlepas dari hiruk pikuk pekerjaan, menjadi pilihan yang menarik
ketika berada di Jogjakarta. Kota Gudeg satu ini memiliki beberapa wisata alam yang tidak hanya
seru, tetapi juga cocok sebagai spot foto menarik.
Berlibur ke wisata alam menjadi pilihan yang paling populer untuk melepas lelah. Menikmati
udara bebas sambil bermain seru memang hal yang menarik. Selain terkenal akan tradisi
budayanya yang kental, Jogja juga memiliki keunggulan di sektor pariwisata. Jogja memiliki
banyak tempat wisata alam yang menyuguhkan berbagai macam pemandangan dan permainan
seru.

Anda mungkin juga menyukai