Anda di halaman 1dari 30

TUGAS KELOMPOK

BERBAGAI STUDI KASUS POLITIK LOKAL DI


YOGYAKARTA

Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Politik Lokal
Dosen : Dr. Nasiwan, M. Si

Disusun Oleh:

Bella Wulandari Utami (19401241015)


M Taufiqul Hafis (19401241025)
Nikita Jihan Putri Utami (19401241031)
Putri Yanuarti Purnomo (19401241033)
Yuni Ratnaningsih (19401241037)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN


KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., yang telah


melimpahkan rahmat dan hidayahNya., sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam juga tak lupa tercurahkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW., yang kita nanti-nantikan
syafaatnya di hari akhir. Makalah dengan judul “Berbagai Studi Kasus Politik
Lokal di Yogyakarta” ini disusun untuk memenuhi kewajiban tugas mata kuliah
Politik Lokal. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Bapak Dr. Nasiwan M.Si. selaku dosen mata kuliah Politik Lokal yang
telah membimbing sehingga dalam proses pembuatan makalah ini dapat
terselesaikan dengan baik.
2. Semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini, yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Harapannya makalah ini mampu diterima dengan baik oleh seluruh
pembaca dan dapat menjadikan wawasan serta melatih kemampuan penulis
dalam membaca literatur, menulis, hingga menyusun tugas berupa tugas akhir
atau sejenisnya. Penulis menyadari bahwa dalam proses pembuatan makalah ini
masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Maka dari itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca, agar kedepannya
penulis dapat berkembang lebih baik lagi.

Yogyakarta, 8 April 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii


DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 2
C. Tujuan ......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 3


A. Setting Sosial Politik Lokal Yogyakarta ..................................................... 3
B. Dinamika Politik Keistimewaan di Yogyakarta .......................................... 5
C. Permasalahan Politik Lokal di Yogyakarta ................................................ 10

BAB III PENUTUP ........................................................................................... 25


A. Simpulan .................................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 27

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Provinsi Yogyakarta adalah salah satu provinsi yang ada di Indonesia
yang telah mendapatkan status keistimewaan sebagai Daerah Istimewa
Yogyakarta. Substansi status keistimewaan tersebut telah tertuang dalam
kontrak politik antara Nagari Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Puro
Pakualaman dengan Presiden Pertama Indonesia, Ir. Soekarno. Namun
dalam kurun waktu sekian lama dan status keistimewaan tersebut lebih
sering diinterpretasikan sebagai istimewa dalam hal wilayah yang dulunya
berbentuk kerajaan, istimewa dalam pemimpin yaitu dipimpin dwi tunggal
dari lingkungan Kasultanan dan Pakualaman, dan istimewa dalam sistem
pemerintahannya yang hierarkis patrimonial.
Keistimewaan ini dituliskan dalam undang-undang karena status
Yogyakarta yang istimewa dengan sistem otonomi daerah yang khusus.
Otonomi daerah adalah kewenangan suatu daerah untuk mengatur dan
mengurus daerahnya sendiri. Keberadaan Kesultanan Yogyakarta dan
Kadipaten Pakualaman sejak zaman dahulu, menjadi asal mula munculnya
status istimewa ini. Karena statusnya yang istimewa, dinamika politik lokal
di Yogyakarta masih dibatasi oleh kekuasaan feodal melalui penetapan
gubernur dan wakil gubernur secara otomatis pada Hamengku buwono dan
Paku Alam.
Kemudian dalam hal penguasaan tanah di Yogyakarta, tanah – tanah
dapat digolongkan menjadi tiga kelompok. Pertama, tanah – tanah bekas hak
barat (eigendom dan opstal) yang diberikan kepada orang – orang non
pribumi. Kedua, tanah kasultanan dan pakualaman yang telah diberikan
kepada perseorangan dan pemerintah desa. Ketiga, tanah kasultanan (sultan
ground) dan pakualaman (pakualaman ground) yang belum diberikan kepada
siapapun, berada di bawah otonomi Keraton Yogyakarta dan Pura

1
Pakualaman. Hal ini tentu berakibat pada munculnya multi interpretatif atas
makna keistimewaan Provinsi DIY yang semakin tidak dapat dihindarkan.
Polemik keistimewaan Provinsi DIY sesungguhnya tidak dapat dilepaskan
dari perubahan-perubahan konstelasi politik yang terjadi di level nasional.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah
sebagai berikut.
1. Bagaimana setting sosial dan historis politik lokal di Yogyakarta?
2. Bagaimana dinamika politik keistimewaan yang berlangsung di
Yogyakarta?
3. Apa permasalahan politik keistimewaan yang terjadi di Yogyakarta?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari makalah ini
yaitu untuk:
1. Mengetahui setting sosial dan historis politik lokal di Yogyakarta
2. Mengetahui dinamika politik keistimewaan yang berlangsung di
Yogyakarta
3. Mengetahui berbagai permasalahan politik keistimewaan yang terjadi
di Yogyakarta

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Setting Sosial Politik Lokal Yogyakarta


Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu daerah yang
memiliki otonomi khusus atau dikenal sebagai keistimewaan
Yogakarta. Substansi status keistimewaan bagi Yogyakarta sebagaimana
tertuang dalam kontrak politik antara Nagari Kasultanan Yogyakarta dan
Kadipaten Puro Pakualaman dengan Bapak Pendiri Bangsa Soekarno terdiri
dari tiga hal:
1. Istimewa dalam hal Sejarah Pembentukan
Pembentukan Provinsi Daerah Istimewa diatur UUD 45 pasal
18 dan Penjelasannya mengenai hak asal-usul suatu daerah dalam
teritori Negara Indonesia.

2. Istimewa dalam hal Bentuk Pemerintahan


Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan penggabungan dua
wilayah, yaitu Kasultanan dan Pakualaman menjadi satu daerah
setingkat provinsi yang bersifat kerajaan dalam satu kesatuan wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Istimewa dalam hal Kepala Daerah


Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dijabat oleh Sultan dan
Adipati yang bertahta (sebagaimana amanat Piagam Kedudukan 19
Agustus 1945 yang ditulis secara lengkap nama, gelar, kedudukan
seorang Sultan dan Adipati yang bertahta sesuai dengan angka urutan
bertahtanya). Hingga saat ini, Sultan berkedudukan sebagai gubernur
dan Pakualam sebagai wakil gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
dengan sistem penetapan.

Sebagai daerah yang memiliki keistimewaan, Yogyakarta yaitu tata


cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan

3
Wakil Gubernur. Dalam hal ini mekanisme pemilihan kepala daerah, di
Daerah Istimewa Yogyakarta berbeda dengan sistem daerah lainnya. Dimana
jika di Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri menggunakan mekanisme
penetapan sedangkan di Daerah lainnya menggunakan mekanisme pemilihan
kepala daerah untuk memilih pemimpinnya. Daerah Istimewa Yogyakarta
menggunakan sistem calon Gubernur dan Wakil Gubernur ditetapkan oleh
DPRD dan kemudian di sahkan oleh Presiden. Dalam pemilihan daerah ini
diatur pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 ditetapkan dalam pasal 18
ayat 1 bagian (c) dalam persyaratan calon Gubernur ialah bertakhta sebagai
Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai
Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur. Oleh karena itu seseorang
yang hendak mencalonkan Gubenur harus memiliki takhta terlebih dahulu
karena tongkat kekuasaan di Daerah Istimewa Yogyakarta hanya akan terus
berlanjut terus-menerus dikalangan tahkta Sultan Hamengku Buwono dan
Adipati Paku Alam.
Pemimpin kekuasaan ini tidak akan lepas dari keturunan Sultan
Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam. Hal ini dilatarbelakangi jika
keduanya dari calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang bertahta sebagai
Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam tidak memenuhi syarat
calon Gubernur dan Wakil Gubernur, maka pemerintah akan mengangkat
pejabat Gubernur setelah mendapatkan pertimbangan Kasultan dan
Kadipaten sampai hingga dilantiknya Sultan Hamengku Buwono yang
bertahta sebagai Gubernur dan Adipati Paku Alam yang bertahta sebagai
Wakil Gubernur. Dalam pasal tersebut juga dan di ayat satu ini dibagian (n)
disebutkan jika calon Gubernur dan Wakil Gubernur bukan sebagai anggota
partai politik.
Menurut survay FGD pada 7 Propinsi di Daerah istimewa Yogyakarta
partai politik yaitu:
1. Partai politik selama ini sekedar memperjuangkan kepentingan partai
(tokoh-tokoh partai) untuk memperoleh kekuasaan dan belum
memperjuangkn dan mempertahankan kehendak rakyat.

4
2. Partai politik lebih menempatkan rakyat sebagai obyek mobilisasi
dalam rangka mencari dukungan sebesar-besarnya untuk
memenangkan pemilu (Bailusy M.K, 2000).

B. Dinamika Politik Keistimewaan di Yogyakarta


Yogyakarta merupakan salah satu daerah istimewa di Indonesia.
Keistimewaan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu
pada aspek kepemimpinan di DIY yaitu karena di DIY sendiri tidak berlaku
pilkada untuk menentukan gubernurnya namun gubernurnya telah
ditetapkan. Siapapun yang menjadi raja secara otomatis berarti juga menjadi
gubernur DIY. Faktor lain yang mengistimewakan Yogyakarta yaitu pada
aspek historis dimana yogayakarta dulu pernah dijadikan Ibu Kota Negara,
faktor budaya dan juga faktor tanah milik keraton yang banyak tersebar di
Yogyakarta dan dimanfaatkan oleh masyarakatnya yang sering disebut
dengan Sultan Ground.
1. Pilkada DIY
a. UU no 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah
b. Piagam kedudukan yang diberikan oleh Presiden Soekarno
kepada Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII dan
kemudian dikuatkan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1950

Semangat yang terkandung dalam UU no 32 tahun 2004


tentang pemerintah daerah adalah bahwa pelaksanaan pilkada
langsung pada hakekatnya di laksanakan untuk memaksimalkan
demokratisasi di tingkat lokal, disamping sebagai perwujudan
otonomi daerah yang seluas-luasnya. Sehingga dapat dikatakan
bahwa pilkada langsung merupakan mekanisme yang sangat tepat
sebagai terobosan atas mendeknya pembangunan demokrasi di
tingkat lokal. Piagam kedudukan yang diberikan oleh Presiden
Soekarno kepada Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII

5
dan kemudian dikuatkan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1950 adalah merupakan pintu keberangkatan baru bagi DIY dengan
status istimewa. Meskipun Kasultanan dan Pakualaman telah melebur
menjadi sebuah daerah Istimewa tetapi pemerintah Republik
Indonesia tetap mempertahankan Sultan HB IX dan Paku Alam VIII
dalam kedudukannya. Hanya saja kedudukan dalam bentuknya yang
baru sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah DIY.
Kedudukan dan jabatan ini terus melekat pada Sultan Hamengku
Buwono IX dan Paku Alam VIII hingga keduanya wafat.
Saat ini dinamika politik lokal di Yogyakarta masih dibatasi
oleh kekuasaan feodal melalui penetapan gubernur dan wakil
gubernur secara otomatis pada Hamengku buwono dan Paku Alam.
Sehubungan dengan hal tersebut sikap politik masyarakat Yogyakarta
terbagi menjadi dua kubu besar. Pertama, yaitu mereka yang
menginginkan tuntutan demokrtisasi melalui mekanisme demokrasi
yang prosedural dan kedua yaitu mereka yang beranggapan bahwa
pelaksanaan demokrasi prosedural mengikuti aturan konstitusi
dianggap belum tentu akan mencapai tujuan demokrasi secara
substansial, mereka yang demikian berpendapat bahwa demokratisasi
tidak hanya diwujudkan melalui proses demokrasi yang
prosedural.Dalam benak sebagian besar masyarakat Yogyakarta
memang telah tertanam sepenuhnya bahwa posisi sultan adalah
sebagai pengayom budaya dengan sekaligus sebagai gubernur DIY.
Masyarakat Yogyakarta sendiri merasa khawatir jika dilaksanakan
pilkada langsung nantinya akan mengganggu nilai-nilai kearifan lokal
Yogyakarta, yaitu nilai-nilai musyawarah tradisional dan kedekatan
rakyat dengan sultannya yang selama ini terjaga. Pelaksanaan
demokrasi prosedural mengikuti aturan konstitusi dianggap belum
tentu akan mencapai tujuan demokrasi secara substansial.
Tampak jelas di sini bahwa substansi keistimewaan DIY pada
dasarnya terletak pada pengisian jabatan gubernur yang otomatis

6
dijabat oleh Sultan yang bertakhta saat itu sementara wakil gubernur
dijabat oleh Paku Alam yang juga sedang bertakhta. Tapi fakta
menunjukkan bahwa keistimewaan tersebut sempat bergeser pada
awal orde reformasi dimana Sultan dan Paku Alam sebagai penerus
takhta di Kasultanan dan Pakualaman tidak otomatis menjabat
sebagai Gubernur dan wakil gubernur. Jika dilihat dari dinamika
politik lokal yang terjadi di Yogyakarta saat ini, dapat di prediksikan
bahwa kehidupan politik lokal di DIY di masa depan akan stagnan
dan tidak berkembang. Demokrasi prosedural menurut aturan
konstitusi yang khususnya dalam hal ini yaitu pilkada langsung
memang bukan satu-satunya jalan menuju demokratisasi.
Namun salah satu parameter untuk mengetahui tingkat
demokratisasi di tingkat lokal yaitu melalui pilkada langsung. Posisi
sultan sebagai raja Yogyakarta memang memiliki kharisma tersendiri
bagi masyarakat Yogyakarta, namun untuk posisi seorang gubernur
Yogyakarta sendiri tidak hanya diperlukan sosok yang memiliki
kharisma tersebut melainkan yang terpenting yaitu perlu juga sosok
yang memiliki akuntanbilitas. kiranya masyarakat Yogyakarta juga
berhak untuk memilih dan menetukan sosok gubernur yang terbaik
untuk Yogyakarta dengan tanpa mengurangi rasa hormatnya pada
sultan dan kharisma sultan sebagai raja. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa, Undang-undang Keistimewaan secara terang
benderang telah menjadi prototif dari sebuah instrumen legal dalam
pemberian kekuasaan oleh negara pada Sultan dan Paku Alam secara
affirmasi negatif.
Undang-undang Keistimewaan DIY menjadi dasar dan
sekaligus payung hukum atas kedudukan Sultan Hamengku Buwono
sebagai Gubernur DIY dan Paku Alam sebagai Wakil Gubernur.
Kedudukan tersebut ditopang oleh kekuatan ekonomi dalam bentuk
urusan keistimewaan dalam bidang pertanahan dan tata ruang,
kekuatan sosial dan simbol budaya melalui kewenangan istimewa

7
dalam kebudayaan, dan pelembagaan birokrasi patrimonial melalui
kewenangan istimewa kelembagaan. Tak pelak lagi sejalan dengan
pemberlakuan Undang-undang Keistimewaan Sultan Hamengku
Buwono dan Paku Alam memegang kedudukan dan kekuasaan yang
kuat mendekati absolut, dominan tanpa tandingan, dan legal sesuai
peraturan perundang-undangan.

2. Sultan Ground
Undang No. 3 tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah
Istimewa Yogyakarta dengan menggabungkan wilayah kekuasaan
Keraton Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pura Pakualaman.
Berdasarkan sejarah penguasaan tanah di Yogyakarta, tanah – tanah
dapat digolongkan menjadi tiga kelompok. Pertama, tanah – tanah
bekas hak barat (eigendom dan opstal) yang diberikan kepada orang –
orang non pribumi. Kedua, tanah kasultanan dan pakualaman yang
telah diberikan kepada perseorangan dan pemerintah desa. Ketiga,
tanah kasultanan (sultan ground) dan pakualaman (pakualaman
ground) yang belum diberikan kepada siapapun, berada di bawah
otonomi Keraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman (Anggraeni,
2012).

Pada tanggal 24 September 1960, Pemerintah Republik


Indonesia mengeluarkan Undang – Undang No. 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA) sebagai pedoman
hukum tanah nasional. Ketentuan pasal 4 Undang – Undang No. 3
tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta yang
memberikan keistimewaan (otonomi) dalam bidang agraria
(pertanahan), mengakibatkan pemberlakuan UUPA di Daerah
Istimewa Yogyakarta harus dilakukan secara bertahap. Konversi dan
pendaftaran tanah dilakukan terhadap tanah – tanah bekas hak barat
(eigendom, opstal) yang telah diberikan kepada orang – orang non
pribumi. Tahun 1984, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan

8
Keputusan Presiden No. 33 tahun 1984 juncto. Keputusan Menteri
Dalam Negeri No. 66 tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya
UUPA di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tanah kasultanan
dan pakualaman yang telah diberikan kepada perseorangan dengan
hak milik perseorangan turun – temurun, dikonversi dan tunduk pada
ketentuan UUPA. Sedangkan tanah kasultanan (sultan ground)
maupun pakualaman (pakualaman ground) yang belum diberikan
kepada siapapun, tetap berada di bawah otonomi Keraton Yogyakarta
dan Pura Pakualaman. Sultan ground merupakan aset keraton yang
dapat digunakan masyarakat dengan status magersari. Muhammad
(1981) berpendapat bahwa, “Magersari adalah orang yang mendapat
izin untuk mendirikan dan menempati rumah yang letaknya berada di
atas tanah/pekarangan milik orang lain” (hlm. 120). Magersari tidak
berhubungan dengan status tanah, melainkan status dari penghuni
(penumpang) yang tinggal di atas tanah milik orang lain.

Penghuni tanah magersari Keraton Yogyakarta tidak


mempunyai sertifikat tanah, tetapi mendapat serat kekancingan
(keputusan) yang dikeluarkan oleh Tepas Panitikismo selaku lembaga
adat Keraton Yogyakarta yang berwenang mengurus sultan ground.
Penghuni tanah magersari Keraton Yogyakarta harus mematuhi aturan
adat yang telah ditetapkan oleh Keraton Yogyakarta. Tanah sultan
tidak dapat dialihkan kepada orang lain, hanya hak – hak sementara di
atasnya (hak guna bangunan, pakai, ngindung, magersari) yang dapat
dialihkan kepada orang lain. Pengalihan hak sementara atas tanah
sultan yang digunakan oleh masyarakat dengan alas serat
kekancingan atau tanah magersari dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
liyeran dan lintiran. Liyeran merupakan pengalihan hak atas sultan
ground (tanah magersari) kepada pihak lain, disertai dengan
perjanjian. Proses pengalihan tersebut harus mendapat izin
(persetujuan) dari pihak Keraton Yogyakarta agar tidak menimbulkan
sengketa di kemudian hari. Sedangkan lintiran merupakan turun waris

9
atau pengalihan hak atas sultan ground (tanah magersari) kepada ahli
waris. Proses lintiran juga harus mendapat persetujuan dari pihak
Keraton Yogyakarta.

Lintiran dilakukan apabila seorang pemakai tanah magersari


ingin mewariskan hak atas tanahnya kepada salah satu ahli warisnya
atau anaknya, disertai dengan persetujuan dari semua ahli warisnya,
sehingga tidak akan menimbulkan polemik (wawancara peneliti
dengan Mas Wedana Tjitromardowo dan Pariyah, 16 Maret 2015).

Namun hal tersebut tidak sejalan dengan Pasal 6 UU PA (UU


No. 5 Tahun 1960) yang menyatakan bahwa: ”semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial”. Pasal ini memberikan makna bahwa
penggunaan tanah termasuk merubah fungsinya tidak boleh
menyampingkan fungsi sosial dimana kepentingan umum juga harus
diperhatikan. Dengan demikian tanah sebagi fungsi sosial belum
dapat diselenggarakan dengan baik di DIY,karena tanha tersebut
masih menjadi milik pihak keraton dimana semua hak dan status
tanah tidak dapat dimiliki secara mutlak oleh orang lain atau
masyarakat.

C. Permasalahan Politik Lokal di Yogyakarta


Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari dalam sebuah
organisasi maupun kelompok. Konflik muncul sebagai akibat adanya
perbedaan pendapat atau persepsi diantara pihak yang bertentangan.
Konflik dapat diartikan sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih
(individu atau kelompok) yang memiliki, atau merasa memiliki sasaran-
sasaran yang tidak sejalan. Menurut Robbins, konflik adalah proses yang
bermula ketika satu pihak menganggap pihak lain secara negative atau akan
secara negative mempengaruhi. Jadi konflik merupakan suatu hal yang
sebisa mungkin dihindari agar tidak menimbulkan dampak yang dapat
merugikan bagi suatu kelompok atau organisasi.

10
Konflik menurut Coser (1957) dibedakan berdasarkan dua tipe, yaitu
konflik realistik dan non realistik. Konflik realistik dilatarbelakangi oleh
isu-isu yang konkret atau bersifat material, seperti perebutan sumber-
sumber ekonomi atau wilayah. Sementara itu konflik non realistik adalah
konflik yang dilatarbelakangi oleh sumber-sumber tidak rasional dan
cenderung bersifat ideologis seperti masalah prinsip, aqidah, harga diri atau
identitas. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai konflik yang
berhubungan dengan jenis konflik non realistik yaitu berupa konflik yang
terjadi di Yogyakarta tentang masalah keistimewaan Yogyakarta yang
pemerintahannya berbentuk monarki dan juga mengenai penetapan
gubernur Yogyakarta.
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu daerah di
Indonesia yang mendapat keistimewaan dari pemerintah. Keistimewaan
tersebut diberikan karena bentuk sistem pemerintahan di Yogyakarta yang
berbentuk monarki dan kepala pemerintahan yang dipegang oleh seorang
raja yang juga sekaligus sebagai gubernur. Di mana dalam sistem pemilihan
gubernur di Yogyakarta dilakukan melalui penetapan, yaitu dengan sistem
keturunan dari keluarga keraton Yogyakarta yang sekarang ini dijabat oleh
Sri Sultan Hamengku Buwana X. Dengan kenyataan seperti itulah
Yogyakarta mendapat suatu keistimewaan tersendiri dan juga telah diatur
dalam suatu peraturan peundang-undangan. Dalam hal pemberian otonomi
daerah pun Yogyakarta mendapatkan otonomi khusus bersama dengan 3
daerah lainnya di Indonesia yaitu Aceh, Jakarta, dan Papua.
Yogyakarta sebagai daerah istimewa terkenal sebagai daerah yang
kehidupan masyarakatnya ramah, harmonis, dan penuh kedamaian. Namun
hal tersebut tidaklah membuat kota ini menjadi kota yang jauh akan
terjadinya konflik. Sebagai bagian dari wilayah Indonesia yang juga sama
dengan daerah lainnya, Yogyakarta juga tidak luput dari adanya konflik
yang muncul di tengah masyarakat. Apalagi Yogyakarta dalam beberapa
tahun terakhir mengalami perubahan dinamika sosial yang cukup
signifikan. Peluang terjadinya konflik pun semakin besar.

11
Ada slogan yang mengatakan bahwa Jogja berhati nyaman, namun
hal tersebut sekarang ini sepertinya telah berubah menjadi Jogja berhenti
nyaman. Dengan artian bahwa Yogyakarta yang dulunya memiliki suasana
yang nyaman, asri, dan kental akan kearifan lokal budayanya, sekarang
secara perlahan mulai berubah menjadi kota yang seakan kehilangan
kekhasannya. Hal tersebut bisa dilihat dengan menjamurnya pasar-pasar
modern yang pada akhirnya berimbas terhadap tersingkirnya sektor
informal seperti pasar tradisional. Kemudian mulai banyak hunian-hunian
eksklusif, hotel, serta pengembangan lokasi wisata atau ekonomi yang tidak
berbasis komunitas. Perubahan-perubahan ini bisa menjadi cermin
perebutan sumber daya ekonomi yang kemudian bisa tercipta kesenjangan
sosial, kecemburuan sosial sehingga rawan konflik. Sehingga Yogyakarta
yang dulunya kota yang nyaman berubah menjadi tidak nyaman karena
adanya berbagai perubahan tersebut.
Berbicara mengenai Yogyakarta memang tidak akan pernah ada
habisnya. Melihat kondisi saat ini, Yogyakarta dengan banyaknya
perubahan yang terjadi bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi, bisa
menjadi kekuatan atau potensi bagi pembangunan sosial dan ekonomi.
Namun, di sisi lain bisa menjadi pemicu konflik jika tidak ditopang oleh
kekuatan modal sosial yang memadai.
Hingga saat ini Yogyakarta belum pernah memiliki sejarah konflik
yang mengkhawatirkan. Namun, akhir-akhir ini terdapat satu konflik yang
membuat masyarakat Yogyakarta menjadi terganggu. Seperti yang telah
disebutkan di awal tadi bahwa konflik yang sempat mengganggu kehidupan
masyarakat Yogyakarta adalah masalah keistimewaan Yogyakarta.
Keistimewaan yang dimiliki Yogyakarta seolah membuat kota ini seperti
memiliki sistem pemerintahan monarki atau kerajaan yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan di negara Indonesia.
Salah satu hal yang dianggap bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yaitu masalah pemilihan gubernur di Yogyakarta yang
dilakukan dengan sistem penetapan. Pemilihan gubernur yang seharusnya

12
dilakukan melalui proses pemilihan langsung seperti daerah lain di
Indonesia, namun di Yogyakarta dilakukan melalui sistem penetapan
keturunan dari keluarga keraton Yogyakarta yang kemudian diangkat
sebagai Raja Yogyakarta sekaligus menjadi gubernur sebagai kepala
pemerintahan di Yogyakarta.
Konflik yang terjadi tersebut pertama kali muncul saat presiden
Susilo Bambang Yudhoyono di salah satu pidatonya dalam sidang kabinet
menyebutkan bahwa sistem monarki di Indonesia sangat bertentangan
dengan konstitusi dan nilai-nilai demokrasi. Dalam perkembangan kasus
tersebut pemerintah tetap teguh pada keputusannya yang mengharuskan
seorang kepala daerah dipilih melalui sistem pemilihan langsung yang
demokratis. Dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945 disebutkan bahwa,
"Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis." Hal
tersebut memang benar adanya, namun perlu dilihat juga bahwa dalam
pasal 18B ayat (1) juga menyatakan, "Negara mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat
istimewa dengan undang-undang”. Berdasarkan kenyataan yang terjadi
tersebut, memang polemik mengenai keistimewaan Yogyakarta dengan
sistem penetapan kepala daerahnya menjadi suatu konflik yang terus
diperdebatkan oleh banyak kalangan hingga saat ini.
Melihat perkembangan konflik yang sedang terjadi, masyarakat
Yogyakarta tetap berusaha mempertahankan daerah istimewanya dengan
berbagai cara, agar pemerintah nantinya tidak akan mengubah sistem
pemerintahan di Yogyakarta ini. Sebenarnya sistem pemerintahan di
Yogyakarta ini telah ada sejak dari massa presiden Soekarno yang
menetapkan secara langsung Sri Sultan Hamengkubuwono dan Paku Alam
sebagai gubernur dan wakil gubernur di tetapkan otomatis secara langsung
tanpa pemilihan. Namun kenyataannya sekarang pemilihan kepala daerah
diharuskan melalui mekanisme pemilihan langsung yang dalam hal ini
berarti telah menyalahi apa yang telah diamanatkan oleh presiden Soekarno

13
kepada Yogyakarta yang juga telah memberi kontribusi besar bagi bangsa
Indonesia.
Salah satu sisi yang harus menjadi pertimbangan penting dalam
pembahasan keistimewaan Yogyakarta adalah konteks sejarah yang
melatarbelakanginya. Hanya dengan menilik sejarah berdirinya Keraton
Yogyakarta dan penggabungannya ke dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), kita akan bisa mendapat gambaran lengkap tentang
makna keistimewaan Yogyakarta. Dari segi kesejarahan, Keraton
Yogyakarta ada lebih dahulu dibandingkan NKRI. Bahkan pada saat Sri
Sultan Hamengkubwono IX masih berkuasa dulu Yogyakarta menyatakan
masuk menjadi bagian dari NKRI di hadapan presiden Soekarno dan
mendapatkan keistimewaannya serta juga pernah menjadi ibukota negara
untuk beberapa waktu. Dari kenyataan tersebut jelas bahwa keistimewaan
Yogyakarta merupakan suatu hal yang sah dan patut untuk dihargai.
Dalam konflik yang terjadi tersebut dapat dikerucutkan bahwa yang
menjadi dilema besar masyarakat Yogyakarta adalah antara dua pilihan
yaitu, pemilihan atau penetapan. Pemilihan atau penetapan merupakan dua
buah kata yang sederhana. Namun bagi masyarakat Yogyakarta dua kata
tersebut seakan menjadi pilihan yang sangat menentukan bagi
kelangsungan kehidupan pemerintahan daerah dan masyarakatnya. Metode
pemilihan yang digemborkan oleh pemerintah pusat seakan ingin
menghilangkan status keistimewaan Yogyakarta agar dapat dibuat sama
dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Memang tujuan dari pemerintah
tersebut baik untuk menghindari adanya dikriminasi dan juga
menghilangkan kecemburuan dari daerah-daerah lain, namun hal itu malah
dapat menimbulkan konflik di kalangan masyarakat Yogyakarta.
Posisi pemerintah yang menetapkan metode pemilihan pada akhirnya
memancing kemarahan sebagian besar masyarakat Yogyakarta yang
menginginginkan penetapan terhadap Sri Sultan dan Paku Alam sebagai
gubernur dan wakil gubernur Yogyakarta. Kejadian seperti ini, bukanlah
peristiwa baru di Indonesia. Di era Orde Baru, presiden Soeharto juga

14
pernah mengusulkan penghilangan sistem penetapan Gubernur di
Yogyakarta ketika penyusunan draf UU No. 5 tahun 1974 tentang
Pemerintahan Daerah. Maka dari itu banyak di kalangan masyarakat
Yogyakarta yang menentang dan tidak setuju apabila jabatan gubernur di
Yogyakarta dilakukan secara pemilihan langsung bukan dengan penetapan.
Jika kita mengulas kembali permasalahan yang terjadi di atas dapat
disimpulkan bahwa, Yogyakarta merupakan salah satu daerah istimewa
yang ada di Indonesia. Disebut istimewa karena corak pemerintahannya
yang berbeda dari daerah lain yaitu monarki khususnya kesultanan. Dalam
pengisian jabatan Gubernur pun di Yogyakarta menggunakan metode
penetapan bukan pemilihan seperti daerah-daerah lain. Dengan kenyataan
tersebut, jelaslah bahwa Yogyakarta merupakan daerah istimewa dengan
kepala daerah yang ditetapkan. Tetapi apabila keadaan tersebut dihapus dan
coba dihilangkan, maka Yogyakarta tidaklah menjadi istimewa lagi. Tentu
saja hal tersebut membuat masyarakat Yogyakarta menjadi marah dan tidak
setuju.
Keistimewaan serta monarki yang telah melekat pada Yogyakarta dan
sudah ada sejak zaman Mataram Islam dulu tidak dapat dihilangkan begitu
saja dengan alasan demokrasi. Mau ada atau tidak ada demokrasi pun tetap
saja sama, Sri Sultan Hamengkubuwono akan menjadi pilihan nomor satu
dan selalu ada di hati masyarakat Yogyakarta. Apabila masalah
keistimewaan telah diusik dan coba dihilangkan, masyarakat Yogyakarta
sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain protes. Dan lebih gawat lagi
jika mereka mengikuti referendum dan tidak setuju dengan gagasan
pemerintah pusat. Hal yang paling disayangkan apabila hal tersebut
terwujud adalah, Yogyakarta akan melepaskan diri dari NKRI. Tentu kita
sebagai masyarakat Indonesia tidak mau kehilangan Yogyakarta. Daerah
Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu daerah yang memiliki peran
penting dalam terbentuknya NKRI.
Terlepas dari semua ide atau gagasan di atas, semua pihak harus
bersikap legowo dalam menghadapi kenyataan yang ada. Bagaimanapun

15
suasana kondusif perpolitikan sangat diperlukan agar dalam menggapai
tujuan negara Indonesia yang tercantum dalam amanat UUD 1945 dapat
terwujud. Hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus
terkoordinasi dengan baik. Apapun yang terjadi nantinya NKRI harus tetap
tegak dan perjuangan negera ini belum berakhir sampai di sini. Semoga
permasalahan konflik tentang keistimewaan Yogyakarta dapat selesai dan
semua pihak dapat menerima keputusan yang ada tanpa ada rasa kecewa
dan dapat saling menghargai dengan menjalin rasa persatuan dan kesatuan
bangsa.
1. Kasus Reformasi Pelayanan Publik Sektor Pertanahan
Pendahuluan
Tanah sebagai salah satu sumber daya alam yang mempunyai
pengaruh besar terhadap hajat hidup orang banyak memang sudah
sepantasnya jika penguasaannya berada di tangan negara.
Sebagaimana termaktub di dalam bunyi Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945
yang menyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Jelas bahwa pesan yang hendak
disampaikan oleh pasal tersebut, yaitu tanah mempunyai posisi yang
sangat penting hingga beradanya negara sebagai institusi yang
mempunyai otoritas untuk menguasai adalah sebuah keharusan.
Konteks menguasai yang dikandung oleh bunyi Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945 tersebut bukan dalam makna memiliki. Namun
menguasai dalam arti kewenangan untuk mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan, termasuk menentukan dan mengatur hubungan-
hubungan hukum dan perbuatan hukum antara orang-orang dengan
bumi, air dan ruang angkasa. Tafsir tersebut nampak secara tersurat
dikemukakan oleh UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang diundangkan 15 tahun pasca
kemerdekaan. UUPA sebagai peraturan dasar agraria nasional

16
dipandang sebagai tonggak bagi pengakhiran berlakunya hukum
tanah kolonial. Hal ini juga dikarenakan bahwa semangat berlakunya
UUPA memang diikhtiarkan untuk menyudahi adanya dualisme
hukum tanah pada masa sebelumnya (hukum adat dan hukum barat),
dengan menggantikannya dengan satu sistem hukum tanah nasional
(unifikasi). Terang bahwa unifikasi yang dimaksudkan oleh satu
sistem hukum nasional adalah untuk memberikan jaminan kepastian
hukum.
Dengan demikian munculnya UUPA bisa dipandang sebagai
bagian dari upaya untuk makin menegaskan peran negara yang sangat
sentral dalam mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
melalui pemanfaatan tanah dan sumberdaya agraria. Hal ini menjadi
sedikit berbeda apabila penjabaran dari kehendak berlakunya UUPA
tersebut dilihat dari perspektif DIY (DIY). Meskipun sekarang ini
UUPA juga sudah berlaku penuh sebagai satu sistem hukum tanah di
DIY, namun konteks kesejarahan dalam banyak hal untuk DIY
menjadi berbeda.
Sebagai wilayah bekas kerajaan yang otonom bahkan
pemerintah kolonialpun mengakuinya DIY menikmati diskresi dalam
hal pengaturan pertanahan meskipun UUPA sudah berlaku secara
nasional pada tahun 1960. Dalam kasus DIY, meskipun kerajaan
sudah tidak lagi eksis sebagai organisasi kekuasaan (kerajaan
otonom) pasca pengakuan Sultan HB IX dan Sri PA VIII bahwa DIY
merupakan bagian integral dari NKRI pada tahun tahun 1945 namun
hukum tanahnya masih memakai konsep lama bahwa kerajaan adalah
pemilik tanah dan sumberdaya agraria yang ada. Hal ini terlihat
manakala pengaturan tanah pada waktu itu masih mengacu pada
Rijksblad Kasultanan No. 16 Tahun 1918 (ditambah dan diubah
dengan Rijksblad No. 23 Tahun 1923, No. 16 Tahun 1930) dan
Rijksblad Pakualaman No. 18 Tahun 1918 (ditambah dan diubah
dengan Rijksblad No. 25 Tahun 1925, No. 29 Tahun 1930).

17
Berlakunya UUPA secara penuh untuk DIY baru terjadi pada
tahun 1984 dengan dikeluarkannya Keppres No. 33 Tahun 1984.
Namun demikian, meskipun telah berlaku hukum agraria nasional,
DIY tetap memiliki keistimewaan tersendiri dalam memperlakukan
hubungan-hubungan hukum dan perbuatan hukum antara orang-orang
dengan tanah negara yang dalam hal ini berstatus sebagai kasultanan
(Sultan Ground/SG) dan Pakualaman (Pakualaman Ground/PAG).
Oleh karena itu, walaupun dalam hukum tanah nasional
berlaku mekanisme penyelenggaraan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan tanah serta hubungan-hubungan dan
perbuatan hukum antara orang-orang dengan tanah (tata guna tanah),
namun untuk kasus DIY hal tersebut berlaku tetapi harus tetap
memperhatikan keadaan spesifik DIY tersebut. Fungsi tanah tidak
bisa lepas dari aspek sosial, ekonomi, dan budaya. Bagi sebagian
besar komunitas tanah tidak hanya memiliki nilai ekonomis yang
dapat dimiliki dan dieksploitasi kandungannya untuk kepentingan
pribadi (private) tetapi juga memiliki fungsi-fungsi sosial-budaya
bagi komunitas mereka.
Dalam dimensi yang lain, alih fungsi tanah sulit untuk
dihindarkan. Geertz dalam bukunya berjudul Involusi Pertanian
(1970) telah memberikan ancangan bahwa akan terjadi penyusutan
jumlah lahan pertanian akibat penggunaan lahan untuk kepentingan
non pertanian karena desakan pertumbuhan penduduk. Alih fungsi
tanah merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari ketentuan
Pasal 6 UUPA (UU No. 5 Tahun 1960) yang menyatakan bahwa:
“semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Pasal ini
memberikan makna bahwa penggunaan tanah termasuk merubah
fungsinya tidak boleh menyampingkan fungsi sosial dimana
kepentingan umum juga harus diperhatikan. Dengan kata lain,
pemilik tanah tidak diperkenankan mempergunakan tanah menurut
kehendaknya sendiri. Akan tetapi dalam kenyatannya banyak pemilik

18
tanah pertanian subur yang beririgasi teknis maupun setengah teknis
merubah menjadi tanah non pertanian baik yang dilakukan melalui
prosedur perizinan.
Hal lain yang juga semakin menambah problematika
pengelolaan tanah berkaitan dengan konsep pengadaan tanah untuk
pembangunan dan kepentingan umum. Regulasi ini menyiratkan dua
hal, yaitu pada satu sisi negara memiliki kuasa atas tanah dan di sisi
lain intepretasi terhadap pembangunan dan kepentingan umum masih
dikuasai oleh negara. Jika kedua hal ini dipertahankan, ada
kecenderungan yang sangat mungkin terjadi bahwa negara bukan lagi
memiliki hak untuk mengintervensi kepemilikan individu terhadap
tanah, seperti yang terilhami dalam UUPA, tetapi mengambil alih
kepemilikan tanah demi kepentingan modal yang 56 Perpres 36/2005
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk
Kepentingan Umum dibahasakan dengan pembangunan. Padahal
harus disadari bahwa konsep pemilikan oleh negara dipahami sebagai
dikuasai bukan dimiliki oleh negara, dalam konsep ini negara tidak
dapat memiliki tanah untuk mecegah negara menjadi “bandar” atau
“spekulan” tanah.
Negara diharapkan mengatur alokasi dan pengelolaan tanah dan
sumber daya alam lainnya agar tercapai keadilan struktur penguasan
tanah serta kelestarian pengelolaan sumber daya alam. Penguraian
benang kusut pengelolaan tanah dapat lakukan dalam bingkai
pelayanan publik. Jika demikian, tanah dapat diposisikan sebagai
barang publik yang pengelolaannya diperuntukan bagi kemaslahatan
publik. Pengenaan tanah sebagai barang publik menyebabkan tanah
dikenakan sifat non-rivalry in consumption dan nonexcludability.
Non-rivalry in consumption artinya siapapun memiliki kesempatan
untuk mendapatkan manfaat dari setiap barang publik yang dihasilkan
dan penggunaannya tidak menimbulkan persaingan. Non-
excludability artinya tidak ada prinsip pengecualian, sehingga setiap

19
individu atau kelompok tidak bisa dihambat (be excluded) untuk
memperoleh manfaat dari barang publik tersebut. Investasi tanah oleh
pemerintah merupakan hal yang sangat masuk akal dan penting,
karena barang publik mengandung ekternalitas.
Esternalitas adalah dampak atau imbas yang muncul dari setiap
kegiatan ekonomi yang mencakup dampak positif maupun negatif,
seringkali tidak diperhitungkan dalam sistem pasar. Investasi pada
pelayanan-pelayanan dasar yang mengandung eksternalitas positif,
misalnya tanah, tidak hanya bermanfaat bagi individu namun juga
berdampak pada masyarakat secara keseluruhan melalui peningkatan
produktivitas, yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas
nasional. Selain itu, jika barang-barang menggolongkan tanah sebagai
kasus yang bersifat transisional. Menurut hasil pengamatannya, dalam
beberapa kasus, tanah mulai bergeser dari barang publik menuju
barang privat. publik tersebut menyangkut hak mendasar manusia,
kewajiban pemerintah untuk membiayainya.
Munculnya masalah-masalah serius dalam pelayanan publik,
sebenarnya tidak terlepas dari cara pandang pemerintah di masa lalu
terhadap kaitan antara pembangunan ekonomi dan pembangunan
sosial. Cara pandang yang lebih mengedepankan pembangunan
ekonomi menyebabkan pergeseran berbagai barang publik menjadi
barang privat. Pergeseran ini menyebabkan kaburnya makna barang
publik, yang seharusnya disediakan oleh pemerintah. Kaburnya
makna tersebut semakin menguat ketika sumberdaya yang dimiliki
oleh pemerintah tidak lagi memadai, terutama sesudah krisis ekonomi
tahun 1997, dan konteks liberalisasi ekonomi melalui proses
globalisasi.
Ada tiga isu besar dalam pelayanan dasar pertanahan yakni
pemerataan, mekanisme pasar, dan kesempatan. Pertama, isu
pemerataan pelayanan muncul karena, walaupun barang publik
didefinisikan sebagai non rivalry dan non excludable, kebijakan

20
pelayanan dasar publik menanggung isu distribusi tentang
ketidakmerataan akses, atau prioritas-prioritas program yang bias.
Umumnya kelompok miskin memiliki prioritas yang berbeda dengan
kelompok kaya, dan kelompok kaya relatif lebih memiliki
kemampuan menjangkau pelayanan yang lebih baik. Kedua, adanya
globalisasi pasar, akselerasi pasar meningkat dan sifat pelayanannya
cenderung komersial. Pasar komersial berimplikasi pada
ketidakmerataan karena kemampuan membeli dari kelompok miskin
tidak tercakup dalam pelayanan komersial dan teknologi yang
dihasilkan. Ketiga, karena globalisasi selalu diikuti dengan revolusi
pada ilmu-ilmu tentang kehidupan dan komunikasi, beberapa peluang
yang tak terduga cenderung meningkat. Tantangan pokoknya adalah
apakah peluang-peluang tersebut mampu mengakomodasi kebutuhan
manusia secara merata, atau justru menimbulkan dampak lain seperti
ketidakadilan (Kaul et.al, 1999).

Siginifikasi
a. Tanah Sebagai Public Goods
Argumentasi tanah sebagai public good merupakan faktor
siginifikan bagi kajian kebijakan pertanahan. Pelacakan segenap
literatur menyorongkan fakta konseptual bahwa epistimologi
public good sering ditempatkan pada posisi yang bersifat
diametral dengan konsepsi private good. Dalam sebuah editorial
di Le Monde Diplomatique, Inge Kaul mendeskripsikan private
good sebagai sebuah fakta komoditi yang diperdagangkan
dengan logika ekonomi di pasar. Lebih lanjut, Inge Kaul
menyebutkan bahwa akses kepada private good dapat dilakukan
dengan mempertemukan pembeli dan penjual melalui
mekanisme harga. Jika keduanya bersepaham dan bersetuju di
ranah harga, kepemilikan dan kegunaan dari barang dan jasa
yang bersifat privat itu dapat ditransfer (Kaul, 2000).

21
Dengan demikian, private good cenderung excludable,
sehingga dengan mudah dapat diidentifikasi pemilik serta
menciptakan mekanisme rivalitas dalam pengunaan. Berbeda
dengan private good, Inge Kaul menempatkan public good
dalam konsepsi sebagai ekspresi komoditi yang bersifat non-
excludable dan non-rival dalam proses konsumsi. Dengan
demikian, tidak ada kepemilikan yang harus dipertukarkan
secara ketat dalam mekanisme pasar. Merujuk pada sifat
kepemilikan dari public good, Paul M. Johnson juga
menyatakan bahwa secara konseptual, public good sering
dibingkai dengan terminologi collective good. Terminologi ini,
menurut Johson lebih memberi ruang ekspresi bagi karakter
public good yang non-excludable dan non-rival (Johson, 2005).
Berkenaan dengan persoalan pertanahan, secara konseptual,
harus dimasukkan dalam konsepsi public good. Mengingat,
tanah mempunyai dua karakter dasar public good tersebut, yaitu
karakter non-excludable dan karakter non-rival.

b. Tanah Sebagai Sumber Daya Agraria


Di tingkatan praksis operasional, salah satu signifikansi
kajian dari kebijakan pertanahan adalah adanya realitas dimana
persoalan pertanahan bukanlah sebuah problema yang berdiri
sendiri. Lebih dari itu, dalam kajian ini persoalan pertanahan
dibingkai dalam pemahaman sebagai ekspresi dasar dari
problema agraria. Dengan demikian, persoalan kebijakan
pertanahan merupakan problema yang berakar pada relasi tanah
dengan manusia beserta segenap hubungan-hubungan sosial,
politik dan ekonomi. Konsepsi di atas, jika dirunut secara
teoritis, mempunyai persambungan dengan konsepsi dari
agraria itu sendiri. Khasanah teoritis memberikan fakta bahwa
kajian agraria, acap kali, dibingkai melalui preposisi yang

22
menyatakan sebagai kajian yang obyeknya berpusat pada
hubungan manusia dengan tanah, beserta segala persoalan dan
lembaga-lembaga masyarakat yang timbul karenanya, yang
bersifat politis, ekonomis, sosial dan budaya. Merujuk pada
konsepsi kajian agraria tersebut, dapatlah ditarik sebuah
kesimpulan bahwa kebijakan pertanahan sebagai bagian dari
kajian agraria harus mengakomodasi tiga komponen dasar,
yaitu:
1) Adanya hubungan antara manusia dengan tanah yang
merupakan suatu realita yang selamanya akan ada
2) Manusia dari sudut politis, sosial, ekonomis, kultural
dan mental
3) Alam, khususnya, tanah sebagai sumber daya agrarian.

c. Tanah Sebagai Arena Multikontestasi


Realitas empiris memberikan fakta dimana tanah sering
menjadi faktor dasar dari sejumlah konflik agraria. Jika dilihat
dari tipologi konfliknya, dapat dibaca bahwa tanah merupakan
arena bertemunya segenap kepentingan baik yang bersifat
sektoral, fungsional, manajemen pertanahan maupun
kepentingan-kepentingan yang lain. Pada kutub ini, kajian
tentang kebijakan pertanahan mempunyai signifikansi yang
kuat, tatkala kajian tersebut mempreskripsikan tanah sebagai
arena multikontestasi.
Dalam ranah sektoral, kontestasi kepentingan akan tanah
dapat dipetakan ke dalam sektor ekonomi, politik maupun sosial
budaya. Untuk sektor ekonomi, peta dasar kontestasi
merefleksikan tarik menarik antara konsepsi kepemilikan di
satu sisi, dengan proses akumulasi kapital atas tanah di sisi yang
lain. Sedangkan di sektor politik, kontestasi lebih mengarah
pada klaim kewenangan dari sistem tanurial atas tanah. Tidak

23
jauh berbeda dengan sektor politik, sumber kontestasi sosial
budaya juga berurat akar pada tafsir kewenangan otoritas sosian
budaya dari tanah. Lebih lanjut, terkait dengan posisi tanah
sebagai arena multi kontestasi, dalam aras fungsional, problema
muncul dengan adanya kontestasi kepentingan produksi dan
konservasi.
Pada logika produksi, tanah diartikan sebagai salah satu
faktor produksi yang dapat dikapitalisasikan serta
dimaksimalkan aspek ekonomi produktifnya. Hal ini, tentu saja,
berbeda dengan logika konservasi. Untuk logika konservasi,
tanah dianggap sebagai warisan alam yang harus dipertahankan
eksistensinya melalui sebuah proses konservasi. Berkaitan
dengan kontestasi dalam aras manajemen pertanahan, persoalan
kebijakan pertanahan tidak mungkin imune dari tarik menarik
kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah. Desentralisasi
dan otonomi daerah merupakan salah satu konteks bagi
munculnya kontestasi kepentingan pusat dan daerah dalam
manajemen pertanahan. Perdebatan praksis menunjukkan
bahwa masih belum terdapat kata final untuk menyikapi
manajemen pertanahan dalam konteks otonomi dan
desentralisasi.

24
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri menggunakan mekanisme
penetapan sedangkan di Daerah lainnya menggunakan mekanisme
pemilihan kepala daerah untuk memilih pemimpinnya. Dalam pemilihan
daerah ini diatur pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 ditetapkan
dalam pasal 18 ayat 1 bagian (c) dalam persyaratan calon Gubernur ialah
bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan
bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil
Gubernur.Tampak jelas di sini bahwa substansi keistimewaan DIY pada
dasarnya terletak pada pengisian jabatan gubernur yang otomatis dijabat
oleh Sultan yang bertakhta saat itu sementara wakil gubernur dijabat oleh
Paku Alam yang juga sedang bertakhta.Pemilihan daerah ini diatur
pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 ditetapkan dalam pasal 18 ayat
1 bagian (c) dalam persyaratan calon Gubernur ialah bertakhta sebagai
Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai
Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur. Adapun empat urusan
keistimewaan lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-undang
Keistimewaan dan juga Perdais Induk tentang urusuan keistimewaan DIY
seperti kebudayaan, tata ruang, pertanahan, dan kelembagaan hanyalah
faktor-faktor dalam strategi imperatif yang berfungsi sebagai instrumen
atau alat untuk memperoleh dan melanggengkan kekuasaan seluas-
luasnya dan selamalamanya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, Undang-undang
Keistimewaan secara terang benderang telah menjadi prototif dari sebuah
instrumen legal dalam pemberian kekuasaan oleh negara pada Sultan dan
Paku Alam secara affirmasi negatif. Undang-undang Keistimewaan DIY
menjadi dasar dan sekaligus payung hukum atas kedudukan Sultan
Hamengku Buwono sebagai Gubernur DIY dan Paku Alam sebagai Wakil

25
Gubernur. Kedudukan tersebut ditopang oleh kekuatan ekonomi dalam
bentuk urusan keistimewaan dalam bidang pertanahan dan tata ruang,
kekuatan sosial dan simbol budaya melalui kewenangan istimewa dalam
kebudayaan, dan pelembagaan birokrasi patrimonial melalui kewenangan
istimewa kelembagaan. Tak pelak lagi sejalan dengan pemberlakuan
Undang-undang Keistimewaan Sultan Hamengku Buwono dan Paku
Alam memegang kedudukan dan kekuasaan yang kuat mendekati absolut,
dominan tanpa tandingan, dan legal dengan dukungan peraturan
perundang-undangan. Permaslahan yang terjadi di DIY ini ada dua pokok
pembahasan yaitu pertama kasus pilkada DIY (elit local dan
demokratisasi dan pilkada langsung demokratisasi local).
Pilkada langsung merupakan arena masyarakat politik, tempat bagi
masyarakat untuk mengorganisir kekuasaan dan meraih kontrol atas
negara. Sehingga, bagaimanapun pilkada secara langsung merupakan
proses pemilihan dengan model yang lebih demokratis dibanding dengan
model feodal, model birokrasi, maupun model oligarkhis.Sementara Elit
politik lokal, yaitu seseorang yang menduduki jabatan-jabatan politik,
baik di eksekutif maupun legislatif, yang dipilih melalui pemilu yang
demokratis di tingkat lokal.Dari dua fenomena tersebut dapat disimpulkan
bahwa kondisi kultural dan struktural dapat menghambat proses
demokratisasi di DIY.
Kedua kasus reformasi pelayanan publik sektor pertanahan (tanah
sebgagai publick good,tanha sebagai sumber daya agraria). Dari adanya
kedua fenomena tersebut dapat disimpulkan bahwa demokratisasi di DIY
terhambat,peyaluran fungsi tanah sebagai fungsi social tidak berjalan baik
karena adanya sultan ground,kepercayaan masyarakat pada sultan
menurun dan peyaluran kebijakan birokrasi yang masih membingungkan
(tumpang tindih).

26
DAFTAR PUSTAKA

Bailusy M.K. (2000). Dinamika Politik Lokal. Prosiding Simposium


Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA. hlm 401-412.

Baskoro, H. & Sunaryo, S. (2011). Wasiat HB IX: Yogyakarta Kota Republik,


Yogyakarta: Galang Press.

DPMP. (2015). Yogyakarta Merupakan Daerah Yang Istimewa. Diakses pada 8


April 2022 melalui http://investasi.jogjakota.go.id/id/more/page/76/Jogja-
yang-Istimewa.

Maria S.W Sumardjono. (2008). Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial
dan Budaya. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Nasiwan. (2021). Diktat Politik Lokal. Universitas Negeri Yogyakarta.

Sari M.D.R. (2020). Pandangan Tentang Keistimewaan Otonomi Khusus DIY.


Media Mahasiswa Washilah. Diakses pada 8 April 2022 melalui
https://washilah.com/2020/11/pandangan-tentang-keistimewaan-otonomi-
khusus-diy/

27

Anda mungkin juga menyukai