Anda di halaman 1dari 3

1.

PETA POLITIK INDONESIA PADA AKHIR ABAD 18

Tahun 1740-an kerajaan Jawa sedang menghadapi perang antara saudara sendiri,
yakni Pakubuwana II yang merupakan seorang raja dari keraton Surakarta dengan Pangeran
Mangkubumi yang nantinya menjadi pendiri dari keraton Yogyakarta. Pada saat itu VOC
masih memegang peranan penting di wilayah ini. Suatu ketika muncul pemberontakan dari
seorang bernama Mas Said terhadap keraton Surakarta, sehingga Pakubuwana II memutuskan
untuk membuat suatu sayembara. Untuk meredam pemberontakan, Raja mengumumkan
bahwa siapapun yang dapat mengusir mereka dari Sukowati, daerah di sebelah timur laut,
akan diberi hadiah berupa tanah sejumlah 3.000 cacah. Mendengar hal tersebut, Pangeran
Mangkubumi merasa tertantang dan mengikutinya. Akhirnya ia berhasil mengusir Mas Said
dan memenangkan sayembara tersebut. Namun sebelum hadiah itu diserahkan, seorang Patih
Pringalaya mencoba mempengaruhi Pakubuwana untuk menahan hadiah tersebut. Di tengah
pilihan yang sulit ini, VOC tiba-tiba datang dengan utusannya bernama Jenderal Van Imhoff
dengan tujuan untuk menangani masalah pesisir. Beliau mendesak agar sebagian wilayah
pesisir tersebut diberikan kepada VOC. Awalnya Pakubuwana II merasa ragu, tetapi karena
terus saja didesak oleh VOC akhirnya beliau memutuskan untuk menyewakan tanah tersebut
kepada VOC dengan bayaran 20.000 real per tahun. Namun keputusan tersebut tidak lebih
dulu dibicarakan dengan petinggi keraton yang lainnya, sehingga memicu reaksi yang keras
termasuk dari Mangkubumi, ia menilai bahwa Raja telah melanggar peraturan dengan
mengambil keputusan yang sepihak. Pada akhirnya Mangkubumi berusaha untuk
memberontak dengan menyiapkan pasukan yang cukup besar dan disebut sebagai Perang
Suksesi Jawa III (1746-1757) yang juga bergabung dengan Mas Said.

Di tengah pemberontakan, Pakubuwana II jatuh sakit dan mengutus Baron Van


Hohendorff yang pada saat itu sebagai pemimpin wilayah pesisir untuk mengambil alih
kepemimpinan, yang menghasilkan perjanjian mengenai hal tersebut. Sembilan hari
setelahnya, Pakubuwana wafat dan pihak VOC memutuskan untuk menggantikannya dengan
seorang putra mahkota sebagai Pakubuwana III. Namun putra mahkota itu diduga bukan
keturunan dari Pakubuwana II. Pemberontakan masih berlangsung, dan perjanjian yang
dilakukan VOC sama sekali tak berpengaruh. Mereka harus mengakui kekalahan akibat
masalah internal keuangan yang tak bisa membiayai biaya perang mereka. Namun di sisi
lainnya pemberontak juga tetap tidak bisa mengusir raja dari wilayah Surakarta. Simpulnya
peperangan ini tidak menghasilkan kemenangan bagi keduanya.
Sementara antara Mas Said dengan Mangkubumi juga terjadi perpecahan dalam
kubunya sendiri, diawali dari ketakutan Mangkubumi apabila kehilangan kekuasaan atas
pasukan pemberontak, sehingga Mangkubumi memilih bergabung dengan VOC. Pada 13
Februari 1755 disetujui perjanjian yang menyebutkan Mangkubumi sebagai
Hamengkubuwana I yang menguasai separuh dari wilayah Jawa Tengah. Dalam masa ini
pemberontakan masih terjadi dari Mas Said yang semakin memperlemah posisi VOC.
Keadaan ini dimanfaatkan dengan baik oleh Hamengkubuwana I untuk pergi ke daerah
Yogya dan mendirikan istana baru tahun 1756 yang diberi nama Yogyakarta. Tetapi dalam
perjalanannya ia masih harus menghadapi lawan politiknya yaitu Pakubuwana III. Di tahun
ini pula pemberontakan Mas Said mengalami kekalahan karena harus menghadapi tiga
kekuatan yang bergabung. Beliau memilih menyerah dan selanjutnya diangkat sebagai
Pangeran Adipati Mangkunegara dibawah kekuasaan Surakarta. Hingga sampai tahun 1825
tidak terlihat terjadi peperangan dan wilayah tersebut tampak damai meski ada beberapa
pemberontakan kecil yang masih bisa dipadamkan. Di tengah situasi yang terlihat damai,
sesungguhnya terjadi peperangan antara keraton Surakarta dengan Yogyakarta. Keduanya
memperebutkan wilayah kekuasaan yang belum jelas, dalam hal ini lag-lagi VOC berusaha
ikut campur dengan menjadi penengah di antara keduanya. Peristiwa ini menghasilkan
sebuah undang-undang baru yakni Angger Ageng (Peraturan Hukum Besar) dan Angger
Arubiru (Undang-undang tentang gangguan terhadap ketentraman) disetujui masing-masing
di tahun 1771 dan 1773. Dengan begitu, peran VOC yang dibutuhkan semakin kecil bahkan
terkesan sudah tidak ada lagi.

Setelah itu lahirlah seorang putra yang menjadi penerus kerajaan yaitu
Hamengkubuwana II yang pada akhirnya menjadi raja yang mengetahui kelemahan dari
VOC. Beliau berhasil mendirikan benteng bergaya Eropa di sekeliling istana tahun 1785.
Sementara itu, di pemerintahan keraton Surakarta banyak terjadi permasalahan.
Ketidakcakapan raja yang memimpin yaitu Pakubuwana III, persengkokolan dalam istana,
dan perilaku pejabat VOC yang sangat buruk sehingga menurunkan stabilitas politiknya.
Sampai pada masa kepemimpinan pemerintahan digantikan oleh putranya yaitu Pakubuwana
IV. Raja ini memiliki niatan untuk mendesak VOC agar menjadikan Surakarta sebagai yang
utama. Namun VOC menolak, dan memutuskan untuk bergabung dengan Hamengkubuwana
II untuk menyelesaikan masalah ini. Akhirnya dilakukan pengepungan terhadap istana
Surakarta yang memaksa Pakubuwana IV untuk menyerah. Sementara itu, di wilayah
kekuasaan VOC lainnya yaitu Banten juga sedang terjadi pemberontakan besar dari seorang
bernama Kyai Tapa pada Oktober 1750. Saat itu keadaan ekonomi VOC sedang memburuk
akibat Perang Suksesi Jawa III sehingga mereka harus menelan lagi kekalahan dalam
pemberontakan ini. Akibatnya kekuatan VOC menjadi semakin mengecil, bahkan mereka
juga harus menyerahkan sebagian wilayah kekuasaannya di Banten kepada pemberontak, dan
usaha monopoli juga harus beralih menjadi produksi teh dan kopi di dataran-dataran tinggi
Priangan.

Tahun 1780-an juga terdengar kabar bahwa VOC harus meminjam uang dari Keraton
Surakarta dan Yogyakarta serta pemerintah Belanda untuk mempertahankan wilayah
kekuasaannya yang masih tersisa termasuk di Batavia. Hal ini membuat pemerintah Belanda
berusaha menyelidiki internal VOC, dan hasilnya adalah penemuan banyak kebangkrutan,
skandal, dan kesalahan kepengurusan. Apalagi tahun 1794-1795 Perancis berhasil
memenangkan perlawanan dengan Belanda sehingga tahun 1796 Heeren 17 (Dewan tertinggi
perdagangan Belanda) dibubarkan dan diganti dengan komite yang baru. Di akhir abad 18,
VOC resmi dibubarkan.

Anda mungkin juga menyukai