Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-GresikLamongan-Tuban di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia,
khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap
kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Masjid Agung Demak, diyakini sebagai salah satu tempat berkumpulnya para wali yang paling awal.
Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain
menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang
berarti tempat.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang pertama kali didirikan olehSunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808
Hijriah).[1] Para Walisongo adalah pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai
dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.
Sunan Ampel adalah salah seorang wali di antara Walisongo yang menyebarkan ajaran Islam di Pulau Jawa. Ia lahir 1401 diChampa. Ada dua pendapat mengenai lokasi Champa ini.
Encyclopedia Van Nederlandesh Indie mengatakan bahwa Champa adalah satu negeri kecil yang terletak di Kamboja. Pendapat lain, Raffles menyatakan bahwa Champa terletak
di Aceh yang kini bernamaJeumpa. Menurut beberapa riwayat, orang tua Raden Rahmat, nama lain Sunan Ampel, adalah Maulana Malik Ibrahim (menantu Sultan Champa dan ipar
Dwarawati). Dalam catatan Kronik Cina dari Klenteng Sam Po Kong, Sunan Ampel dikenal sebagai Bong Swi Hoo, cucu dari Haji Bong Tak Keng - seorang Tionghoa
(suku Hui beragama Islam mazhab Hanafi) yang ditugaskan sebagai Pimpinan Komunitas Cina di Champa oleh Sam Po Bo. Sedangkan Yang Mulia Ma Hong Fu - menantu Haji Bong Tak
Keng ditempatkan sebagai duta besar Tiongkok di pusat kerajaan Majapahit, sedangkan Haji Gan En Cu juga telah ditugaskan sebagai kapten Cina di Tuban. Haji Gan En Cu kemudian
menempatkan menantunya Bong Swi Hoo sebagai kapten Cina di Jiaotung (Bangil). [1][2]
Sementara itu seorang putri dari Kyai Bantong (versi Babad Tanah Jawi) alias Syaikh Bantong (alias Tan Go Hwat menurut Purwaka Caruban Nagari) menikah dengan Prabu Brawijaya V
(alias Bhre Kertabhumi) kemudian melahirkan Raden Fatah. Namun tidak diketahui apakah ada hubungan antara Ma Hong Fu dengan Kyai Bantong.
Dalam Serat Darmo Gandhul, Sunan Ampel disebut Sayyid Rahmad merupakan keponakan dari Putri Champa permaisuri Prabu Brawijaya yang merupakan seorang muslimah.
Raden Rahmat dan Raden Santri adalah anak Makhdum Ibrahim (putra Haji Bong Tak Keng), keturunan suku Hui dari Yunnan yang merupakan percampuran bangsa Han/Tionghoa
dengan bangsa Arab dan Asia Tengah (Samarkand/Asmarakandi). Raden Rahmat, Raden Santri dan Raden Burereh/Abu Hurairah (cucu raja Champa) pergi ke Majapahit mengunjungi bibi
mereka bernama Dwarawati puteri raja Champa yang menjadi permaisuri raja Brawijaya. Raja Champa saat itu merupakan seorang muallaf. Raden Rahmat, Raden Santri dan Raden
Burereh akhirnya tidak kembali ke negerinya karena Kerajaan Champa dihancurkan oleh Kerajaan Veit Nam.
Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (= Hikayat Banjar resensi I), nama asli Sunan Ampel adalah Raja Bungsu, anak Sultan Pasai. Dia datang ke Majapahit menyusul/menengok
kakaknya yang diambil istri oleh Raja Mapajahit. Raja Majapahit saat itu bernama Dipati Hangrok dengan mangkubuminya Patih Maudara (kelak Brawijaya VII) . Dipati Hangrok
(alias Girindrawardhana alias Brawijaya VI) telah memerintahkan menterinya Gagak Baning melamar Putri Pasai dengan membawa sepuluh buah perahu ke Pasai. Sebagai kerajaan Islam,
mulanya Sultan Pasai keberatan jika Putrinya dijadikan istri Raja Majapahit, tetapi karena takut binasa kerajaannya akhirnya Putri tersebut diberikan juga. Putri Pasai dengan Raja
Majapahit memperoleh anak laki-laki. Karena rasa sayangnya Putri Pasai melarang Raja Bungsu pulang ke Pasai. Sebagai ipar Raja Majapahit, Raja Bungsu kemudian meminta tanah
untuk menetap di wilayah pesisir yang dinamakan Ampelgading. Anak laki-laki dari Putri Pasai dengan raja Majapahit tersebut kemudian dinikahkan dengan puteri raja Bali. Putra dari
Putri Pasai tersebut wafat ketika istrinya Putri dari raja Bali mengandung tiga bulan. Karena dianggap akan membawa celaka bagi negeri tersebut, maka ketika lahir bayi ini (cucu Putri
Pasai dan Brawijaya VI) dihanyutkan ke laut, tetapi kemudian dapat dipungut dan dipelihara oleh Nyai Suta-Pinatih, kelak disebut Pangeran Giri. Kelak ketika terjadi huru-hara di ibukota
Majapahit, Putri Pasai pergi ke tempat adiknya Raja Bungsu di Ampelgading. Penduduk desa-desa sekitar memohon untuk dapat masuk Islam kepada Raja Bungsu, tetapi Raja Bungsu
sendiri merasa perlu meminta izin terlebih dahulu kepada Raja Majapahit tentang proses islamisasi tersebut. Akhirnya Raja Majapahit berkenan memperbolehkan penduduk untuk beralih
kepada agama Islam. Petinggi daerah Jipang menurut aturan dari Raja Majapahit secara rutin menyerahkan hasil bumi kepada Raja Bungsu. Petinggi Jipang dan keluarga masuk Islam.
Raja Bungsu beristrikan puteri dari petinggi daerah Jipang tersebut, kemudian memperoleh dua orang anak, yang tertua seorang perempuan diambil sebagai istri oleh Sunan
Kudus (tepatnya Sunan Kudus senior/Undung/Ngudung), sedang yang laki-laki digelari sebagai Pangeran Bonang. Raja Bungsu sendiri disebut sebagai Pangeran Makhdum.
Mohlimo[3] atau Molimo, Moh (tidak mau), limo (lima), adalah falsafah dakwah Sunan Ampel untuk memperbaiki kerusakan akhlak di tengah masyarakat pada zaman itu yaitu:
1. Moh Mabok: tidak mau minum minuman keras, khamr dan sejenisnya.
2. Moh Main: tidak mau main judi, togel, taruhan dan sejenisnya.
3. Moh Madon: tidak mau berbuat zina, homoseks, lesbian dan sejenisnya.
4. Moh Madat: tidak mau memakai narkoba dan sejenisnya.
5. Moh Maling: tidak mau mencuri, korupsi, merampok dan sejenisnya.
Pada tahun 1479, Sunan Ampel mendirikan Mesjid Agung Demak. Dan yang menjadi penerus untuk melanjutkan perjuangan dakwah dia di Kota Demak adalah Raden Zainal Abidin yang
dikenal dengan Sunan Demak, dia merupakan putra dia dari istri dewi Karimah.Sehingga Putra Raden Zainal Abidin yang terakhir tercatat menjadi Imam Masjid Agung tersebut yang
bernama Raden Zakaria (Pangeran Sotopuro).
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465, dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim. Dia adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila. Bonang adalah sebuah desa
di kabupaten Rembang. Nama Sunan Bonang diduga adalah Bong Ang sesuai nama marga Bong seperti nama ayahnya Bong Swi Hoo alias Sunan Ampel.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan saat ini makam aslinya berada di Desa Bonang. Namun, yang sering diziarahi adalah makamnya di kota Tuban. Lokasi makam Sunan
Bonang ada dua karena konon, saat dia meninggal, kabar wafatnya dia sampai pada seorang muridnya yang berasal dari Madura. Sang murid sangat mengagumi dia sampai ingin
membawa jenazah dia ke Madura. Namun, murid tersebut tak dapat membawanya dan hanya dapat membawa kain kafan dan pakaian-pakaian dia. Saat melewati Tuban, ada seorang murid
Sunan Bonang yang berasal dari Tuban yang mendengar ada murid dari Madura yang membawa jenazah Sunan Bonang. Mereka memperebutkannya.
Dalam Serat Darmo Gandhul, Sunan Bonang disebut Sayyid Kramat merupakan seorang Arab keturunan Nabi Muhammad.
Sunan Bonang juga terkenal dalam hal ilmu kebathinannya. Ia mengembangkan ilmu (dzikir) yang berasal dari Rasullah SAW, kemudian dia kombinasi dengan kesimbangan
pernapasan[butuh rujukan] yang disebut dengan rahasia Alif Lam Mim ( ) yang artinya hanya Allah SWT yang tahu. Sunan Bonang juga menciptakan gerakan-gerakan fisik atau jurus
yang Dia ambil dari seni bentuk huruf Hijaiyyah yang berjumlah 28 huruf dimulai dari huruf Alif dan diakhiri huruf Ya'. Ia menciptakan Gerakan fisik dari nama dan simbol huruf hijayyah
adalah dengan tujuan yang sangat mendalam dan penuh dengan makna, secara awam penulis artikan yaitu mengajak murid-muridnya untuk menghafal huruf-huruf hijaiyyah dan nantinya
setelah mencapai tingkatnya diharuskan bisa baca dan memahami isi Al-Qur'an. Penekanan keilmuan yang diciptakan Sunan Bonang adalah mengajak murid-muridnya untuk melakukan
Sujud atau Salat dan dzikir. Hingga sekarang ilmu yang diciptakan oleh Sunan Bonang masih dilestarikan di Indonesia oleh generasinya dan diorganisasikan dengan nama Padepokan Ilmu
Sujud Tenaga Dalam Silat Tauhid Indonesia
Sunan Drajat diperkirakan lahir pada tahun 1470 Masehi. Nama kecilnya adalah Raden Qasim, kemudian mendapat gelar Raden Syarifudin. Dia adalah putra dari Sunan Ampel, dan
bersaudara dengan Sunan Bonang.
Ketika dewasa, Sunan Drajat mendirikan pesantren Dalem Duwur di desa Drajat, Paciran, Kabupaten Lamongan.
Sunan Drajat yang mempunyai nama kecil Syarifudin atau raden Qosim putra Sunan Ampel dan terkenal dengan kecerdasannya. Setelah menguasai pelajaran islam ia menyebarkan agama
Islam di desa Drajat sebagai tanah perdikan di kecamatan Paciran. Tempat ini diberikan oleh kerajaan Demak. Ia diberi gelar Sunan Mayang Madu oleh Raden Patah pada tahun saka
1442/1520masehi
Makam Sunan Drajat dapat ditempuh dari Surabaya maupun Tuban lewat Jalan Daendels (Anyar-Panarukan), namun bila lewat Lamongan dapat ditempuh 30 menit dengan kendaraan
pribadi.
TDiantara
para wali, mungkin Sunan Drajat yang punya nama paling banyak. Semasa muda ia dikenal sebagai Raden Qasim, Qosim, atawa Kasim.
Masih banyak nama lain yang disandangnya di berbagai naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden
Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat.
Dia adalah putra Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyi Ageng Manila, alias Dewi Condrowati. Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah
Sunan Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri, Nyi Ageng Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang disunting
Sunan Kalijaga. Akan halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah yang mengungkapkan jejaknya.
Ada diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia
diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak
berkembang menjadi legenda.
Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah
dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia
ditolong ikan cucut dan ikan talang --ada juga yang menyebut ikan cakalang.
Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak,
Banjarwati. Menurut tarikh, persitiwa ini terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama
Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.
Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim
kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan
akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk.
Jelak, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi kampung besar yang ramai. Namanya berubah menjadi
Banjaranyar. Selang tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari
banjir pada musim hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.
Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat
dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin oleh Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah perbukitan di
selatan. Lahan berupa hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai daerah angker.
Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan itu. Mereka meneror penduduk pada malam hari, dan
menyebarkan penyakit. Namun, berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi. Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat bersama
para pengikutnya membangun permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.
Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan, yang kini menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai
Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah menyampaikan
ajaran Islam kepada penduduk.
Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522. Di tempat itu kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan
barang-barang peninggalan Sunan Drajat --termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal
Sunan kini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.
Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik melalui
perkataan maupun perbuatan. ''Bapang den simpangi, ana catur mungkur,'' demikian petuahnya. Maksudnya: jangan mendengarkan pembicaraan
yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.
Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya,
Sunan menempuh lima cara. Pertama, lewat pengajian secara langsung di masjid atau langgar. Kedua, melalui penyelenggaraan pendidikan di
pesantren. Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu masalah.
Cara keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat tembang pangkur dengan iringan gending. Terakhir, ia juga
menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring teken marang kang kalunyon lan wuta; paring pangan marang kang kaliren; paring sandang
marang kang kawudan; paring payung kang kodanan. Artinya: berikan tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada yang kelaparan; berikan
pakaian kepada yang telanjang; dan berikan payung kepada yang kehujanan.
Sunan Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari perkampungan pada malam hari. Penduduk merasa aman dan
terlindungi dari gangguan makhluk halus yang, konon, merajalela selama dan setelah pembukaan hutan. Usai salat asar, Sunan juga berkeliling
kampung sambil berzikir, mengingatkan penduduk untuk melaksanakan salat magrib.
''Berhentilah bekerja, jangan lupa salat,'' katanya dengan nada membujuk. Ia selalu menelateni warga yang sakit, dengan mengobatinya
menggunakan ramuan tradisional, dan doa. Sebagaimana para wali yang lain, Sunan Drajat terkenal dengan kesaktiannya. Sumur Lengsanga di
kawasan Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan ketika ia merasa kelelahan dalam suatu perjalanan.
Ketika itu, Sunan meminta pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi hutan. Ketika Sunan kehausan, ia berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas
umbi itu memancar air bening --yang kemudian menjadi sumur abadi. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat disebut-sebut menikahi tiga
perempuan. Setelah menikah dengan Kemuning, ketika menetap di Desa Drajat, Sunan mengawini Retnayu Condrosekar, putri Adipati Kediri,
Raden Suryadilaga.
Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi. Menurut Babad Tjerbon, istri pertama Sunan Drajat adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan
Gunung Jati. Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Raden Qasim sempat dikirim ayahnya berguru mengaji kepada Sunan Gunung Jati. Padahal,
Syarif Hidayatullah itu bekas murid Sunan Ampel.
Di kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga kini, memang ada tradisi ''saling memuridkan''. Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah
menikahi Dewi Sufiyah, Raden Qasim tinggal di Kadrajat. Ia pun biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada
juga yang menyebutnya Syekh Syarifuddin.
Bekas padepokan Pangeran Drajat kini menjadi kompleks perkuburan, lengkap dengan cungkup makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat,
Kecamatan Kesambi. Di sana dibangun sebuah masjid besar yang diberi nama Masjid Nur Drajat. Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat
mengisahkan bahwa dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga putra.
Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran Sandi, dan anak ketiga Dewi Wuryan. Ada pula kisah yang
menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menikah dengan Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai empat putra. Namun, kisah ini agak kabur,
tanpa meninggalkan jejak yang meyakinkan.
Tak jelas, apakah Sunan Drajat datang di Jelak setelah berkeluarga atau belum. Namun, kitab Wali Sanga babadipun Para Wali mencatat: ''Duk
samana anglaksanani, mangkat sakulawarga....'' Sewaktu diperintah Sunan Ampel, Raden Qasim konon berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika benar,
di mana keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah? Para ahli sejarah masih mengais-ngais naskah kuno untuk menjawabnya.
Sunan Bonang
Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnyaRaden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan
bernama
Nyi
Ageng
Manila,
puteri
seorang
adipati
di
Tuban.
Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia
berdakwah
di
Kediri,
yang
mayoritas
masyarakatnya
beragama
Hindu.
Di
sana
ia
mendirikan
Masjid
Sangkal
Daha.
Ia kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah
sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi
panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit. Ia acap berkunjung ke
daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat
Masjid
Agung,
setelah
sempat
diperebutkan
oleh
masyarakat
Bawean
dan
Tuban.
Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih,
usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang. Ajaran
Sunan Bonang berintikan pada filsafat cinta(isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif
(makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam
hal
ini,
Sunan
Bonang
bahu-membahu
dengan
murid
utamanya,
Sunan
Kalijaga.
Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah Suluk Wijil yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu
Said Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi,
Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri. Sunan Bonang juga menggubah gamelanJawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru.
Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong
kecintaan
pada
kehidupan
transedental
(alam
malakut).
Tembang Tombo
Ati adalah
salah
satu
karya
Sunan
Bonang.
Sumber : www.g-excess.com
Syech Syarief Hidayatulloh dilahirkan Tahun 1448 Masehi. Ayahanda Syech Syarief Hidayatulloh adalah Syarief Abdullah, seorang dari Mesir keturunan ke 17 Rosulullah
SAW, bergelar Sultan Maulana Muhamad, Ibunda Syech Syarief Hidayatullah adalah Nyai Rara Santang dan setelah masuk Islam berganti nama menjadi Syarifah Mudaim
adalah Putri Prabu Siliwangi dari kerajaan Padjajaran. Syech Syarief Hidayatullah berkelana untuk belajar Agama Islam dan sampai di Cirebon pada tahun 1470 Masehi.
Syech Syarief Hidayatullah dengan didukung uwanya, Tumenggung Cerbon Sri Manggana Cakrabuana alias Pangeran Walangsungsang dan didukung Kerajaan Demak,
dinobatkan
menjadi
Raja
Cerbon
dengan
gelar
Maulana
Jati
pada
tahun
1479.
Sejak itu pembangunan insfrastruktur Kerajaan Cirebon kemudian dibangun dengan dibantu oleh Sunan Kalijaga, Arsitek Demak Raden Sepat, yaitu Pembangunan Keraton
Pakungwati, Masjid Agung Sang Cipta Rasa, jalan pinggir laut antara Keraajaan Pakungwati dan Amparan Jati serta Pelabuhan Muara Jati.
Syech Maulana Jati pada Tahun 1526 Masehi, menyebarkan Islam sampai Banten dan menjadikannya Daerah Kerajaan Cirebon. Dan pada Tahun 1526 Masehi juga tentara
Kerajaan Cirebon dibantu oleh Kerajaan Demak dipimpin oleh Panglima Perang bernama Fatahillah merebut Sunda Kelapa dan Portugis, dan diberi nama baru yaitu
Jayakarta.
Pada tahun 1533 Masehi, Banten menjadi Kasultanan Banten dengan Sultannya adalah Putra dari Syech Maulana Jati yaitu Sultan Hasanuddin.
Syech Maulana Jati salah seorang Wali Sanga yang mempekenalkan visi baru bagi masyarakat tentang apa arti menjadi Pemimpin, apa makna Masyarakatm, apa Tujuan,
Masyarakat,
bagaimana
seharusnya
berkiprah
di
dalam
dunia
ini
lewat
Proses
Pemberdyaan.
Syech Maulan Jati melakukan tugas dakwah menyebarkan Agama Islam ke berbagai lapisan Masyarakat dengan dukungan personel dan dukungan aspek organisasi
kelompok Forum Walisanga, dimana forum Walisanga secara efektif dijadikan sebagai organisasi dan alat kepentingan dakwah, merupakan siasat yang tepat untuk
mempercepat
teresebarnya
Agama
Islam.
Syech
Maulana
Tanggal
Jati
berpulang
Jawanya
ke
Rahmatullah
adalah
pada
11
tanggal
26
Rayagung
Krisnapaksa
tahun
891
bulan
Hijriah
atau
Badramasa
bertepatan
dengan
tahun
tahun
1568
1491
Masehi.
Saka.
Meninggal dalam usia 120 tahun, sehingga Putra dan Cucunya tidak sempat memimpin Cirebon karena meninggal terlebih dahulu. Sehingga cicitnya yang memimpin
setelah
Syech
Maulana
Jati.
Syech
Syarief
Hidayatullah
kemudian
Referensi : http://kolom-biografi.blogspot.com
Sunan Kudus
dikenal
dengan
Sunan
Gunung
Jati
karena
dimakamkan
di
Bukit
Gunung
Jati.
Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah
salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang.
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara
berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali (yang
kesulitan
mencari
pendakwah
ke
Kudus
yang
mayoritas
masyarakatnya
pemeluk
teguh)
menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk
menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di
halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al-Baqarah
yang
berarti
"sapi
betina".
Sampai
sekarang,
sebagian
masyarakat
tradisional
Kudus,
masih
menolak
untuk
menyembelih
sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah
pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur
saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.
Sunan Drajat
Sunan Drajat diperkirakan lahir pada tahun 1470 masehi. Nama kecilnya adalah Raden Qasim, kemudian mendapat gelar Raden Syarifudin. Dia adalah putra dari Sunan
Ampel,
dan
bersaudara
dengan
Sunan
Bonang.
Ketika
dewasa,
Sunan
Drajat
mendirikan
pesantren
Dalem
Duwur
di
desa
Drajat,
Paciran
Kabupaten
Lamongan.
Sunan Drajat yang mempunyai nama kecil Syarifudin atau raden Qosim putra Sunan Ampel dan terkenal dengan kecerdasannya. Setelah menguasai pelajaran islam beliau
menyebarkan agama islam di desa Drajad sebagai tanah perdikan di kecamatan Paciran. Tempat ini diberikan oleh kerajaan Demak. Ia diberi gelar Sunan Mayang Madu
oleh
Raden
Patah
pada
tahun
saka
1442/1520
masehi
Makam Sunan Drajat dapat ditempuh dari surabaya maupun Tuban lewat Jalan Daendels (Anyer - Panarukan), namun bila lewat Lamongan dapat ditempuh 30 menit
dengan
kendaran
pribadi.
Sunan Drajat bernama kecil Raden Syarifuddin atau Raden Qosim putra Sunan Ampel yang terkenal cerdas. Setelah pelajaran Islam dikuasai, beliau mengambil tempat di
Desa Drajat wilayah Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan sebagai pusat kegiatan dakwahnya sekitar abad XV dan XVI Masehi. Ia memegang kendali keprajaan di
wilayah
perdikan
Drajat
sebagai
otonom
kerajaan
Demak
selama
36
tahun.
Beliau sebagai Wali penyebar Islam yang terkenal berjiwa sosial, sangat memperhatikan nasib kaum fakir miskin. Ia terlebih dahulu mengusahakan kesejahteraan sosial
baru memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Motivasi lebih ditekankan pada etos kerja keras, kedermawanan untuk mengentas kemiskinan dan menciptakan
kemakmuran. Usaha ke arah itu menjadi lebih mudah karena Sunan Drajat memperoleh kewenangan untuk mengatur wilayahnya yang mempunyai otonomi.
Sebagai penghargaan atas keberhasilannya menyebarkan agama Islam dan usahanya menanggulangi kemiskinan dengan menciptakan kehidupan yang makmur bagi
warganya, beliau memperoleh gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Patah Sultan Demak pada tahun saka 1442 atau 1520 Masehi.
Filosofi Sunan Drajat dalam pengentasan kemiskinan kini terabadikan dalam sap tangga ke tujuh dari tataran komplek Makam Sunan Drajat. Secara lengkap makna
filosofis
ke
tujuh
sap
tangga
tersebut
sebagai
berikut :
1. Memangun resep teyasing Sasomo (kita selalu membuat senang hati orang lain)
2. Jroning suko kudu eling Ian waspodo (di dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada)
3. Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah (dalam perjalanan untuk mencapai cita - cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk
rintangan)
4. Meper Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu)
5. Heneng - Hening - Henung (dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita - cita luhur).
6. Mulyo guno Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan salat lima waktu)
7. Menehono teken marang wong kang wuto, Menehono mangan marang wong kang luwe, Menehono busono marang wong kang wudo, Menehono ngiyup marang
wongkang kodanan (Berilah ilmu agar orang menjadi pandai, Sejahterakanlah kehidupan masyarakat yang miskin, Ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya
malu, serta beri perlindungan orang yang menderita)
Dalam sejarahnya Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang Wali pencipta tembang Mocopat yakni Pangkur. Sisa - sisa gamelan Singomeng koknya Sunan Drajat kini
tersimpan
di
Musium
Daerah.
Untuk menghormati jasa - jasa Sunan Drajat sebagai seorang Wali penyebar agama Islam di wilayah Lamongan dan untuk melestarikan budaya serta benda- benda
bersejarah peninggalannya Sunan Drajat, keluarga dan para sahabatnya yang berjasa pada penyiaran agama Islam, Pemerintah Kabupaten Lamongan mendirikan Musium
Daerah Sunan Drajat disebelah timur Makam. Musium ini telah diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur tanggal 1 Maret 1992.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara
penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah
berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang. Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di
pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.
Agama Islam telah menyebar luas di tanah Jawa hingga sampailah berita ini kepada para pendeta Brahmana dari India. Salah
seorang Brahmana tersebut adalah Sakyakirti.
Maka, bersama beberapa orang muridnya, ia berlayar menuju Pulau Jawa. Tak lupa, dibawanya juga kitab-kitab referensi yang
telah dipelajari untuk dipergunakan adu debat dengan para penyebar Islam di Tanah Jawa itu.
"Aku Brahmana Sakyakirti, akan menantang Sunan Bonang untuk berdebat dan adu kesaktian," sumpah Brahmana sembari
berdiri di atas geladak di buritan kapal layar.
"Jika dia kalah, maka akan aku tebas batang lehernya. Jika dia yang menang aku akan bertekuk lutut untuk mencium telapak
kakinya. Akan aku serahkan jiwa ragaku kepadanya," si Brahmana melanjutkan sumpah. Murid-muridnya yang setia berdiri dan
mengikutinya dari belakang untuk menjadi saksi atas sumpah yang diucapkan di tengah samudera.
Badai Datang.
Namun ketika kapal yang ditumpanginya sampai di perairan Tuban, mendadak laut yang tadinya tenang tiba-tiba bergolak hebat.
Angin dari segala penjuru seolah berkumpul menjadi satu, menghantam air laut sehingga menimbulkan badai setinggi bukit.
Dengan kesaktiannya, Brahmana Sakyakirti mencoba menggempur badai yang hendak menerjang kapal layarnya. Satu kali, dua
kali hingga empat kali Brahmana ini dapat menghalau terjangan badai. Namun kali ke lima, dia sudah mulai kehabisan tenaga
hingga membuat kapal layarnya langsung tenggelam ke dalam laut. Dengan susah payah dicabutnya beberapa batang balok kayu
untuk menyelamatkan diri dan menolong beberapa orang muridnya agar jangan sampai tenggelam ke dasar samudera.
Walaupun pada akhirnya ia dan para pengikutnya berhasil menyelamatkan diri, namun kitab-kitab referensi yang hendak
dipergunakan untuk berdebat dengan Sunan Bonang telah kut tenggelam ke dasar laut.
Padahal kitab-kitab itu didapatkannya dengan susah payah dan cara mempelajarinya pun juga tidak mudah. Ia harus belajar
Bahasa Arab terlebih dahulu, pura-pura masuk Islam dan menjadi murid ulama besar di negeri Gujarat. Kini, setelah sampai di
perairan Laut Jawa, tiba-tiba kitab-kitab yang tebal itu hilang musnah di telan air laut.
Meski demikian, niatnya untuk mengadu ilmu dengan Sunan Bonang tak pernah surut.
Ia dan murid-muridnya telah terdampar di tepi pantai yang tak pernah dikenalnya. Ia bingung harus kemana untuk mencari
Sunan Bonang. Ia menoleh ke sana kemari namun tak seorang pun yang lewat di daerah itu.
Bertemu Lelaki Berjubah Putih.
Pada saat hampir dalam keputusasaan, tiba-tiba di kejauhan ia melihat seorang lelaki berjubah putih sedang berjalan sembari
membawa tongkat. Ia dan murid-muridnya segera berlari menghampiri dan menghentikan langkah orang itu. Lelaki berjubah
putih itu menghentikan langkahnya dan menancapkan tongkatnya ke pasir.
"Kisanak, kami datang dari India hendak mencari seorang ulama besar bernama Sunan Bonang. Dapatkah kisanak memberitahu
di mana kami bisa bertemu dengannya?" tanya sang Brahmana.
"Untuk apa Tuan mencari Sunan Bonang?" tanya lelaki itu.
"Akan saya ajak berdebat tentang masalah keagamaan," jawab sang Brahmana.
"Tapi sayang, kitab-kitab yang saya bawa telah tenggelam ke dasar laut. Meski demikian niat saya tak pernah padam. Masih ada
beberapa hal yang dapat saya ingat sebagai bahan perdebatan," kata Sakyakirti.
Tanpa banyak bicara, lelaki berjubah putih itu mencabut tongkatnya. Mendadak saja tersembur air dari bekas tongkat tersebut
dan air itu membawa keluar semua kitab yang dibawa sang Brahmana.
"Itukah kitab-kitab Tuan yang tenggelam ke dasar laut?" tanya lelaki itu.
Sang Brahmana dan pengikutnya kemudian memeriksa kitab-kitab itu, dan tenyata benar milik sang Brahmana. Berdebarlah hati
sang Brahmana sembari menduga-duga siapakah sebenarnya lelaki berjubah putih itu.
Murid-murid sang Brahmana yang kehausan sejak tadi segera saja menyerobot air jernih yang memancar itu. Brahmana
Sakyakirti memandangnya dengan rasa kuatir, jangan-jangan murid-muridnya itu akan segera mabuk karena meminum air di tepi
laut yang pastilah banyak mengandung garam.
"Segar...Aduuh...segarnya..." seru murid-murid sang Brahmana dengan girangnya.
Brahmana Sakyakirti termenung.Bagaimana mungkin air di tepi pantai terasa segar. Ia mencicipinya sedikit dan ternyata
memang segar rasanya.
Rasa herannya menjadi-jadi terlebih jika berpikir tentang kemampuan lelaki berjubah putih itu yang mampu menciptakan lubang
air yang memancar dan mampu menghisap kitab-kitab yang tenggelam ke dasar laut.
Sang Brahmana berpikir bahwa lelaki berjubah putih itu bukanlah lelaki sembarangan.
Dia mengira bahwa lelaki itu telah mengeluarkan ilmu sihir, akhirnya dia mengerahkan ilmunya untuk mendeteksi apakah semua
itu benar hanya sihir. Namun setelah dikerahkan segala kemampuannya, ternyata bukan sulap, bukan ilmu sihir, tapi nyata.
Bukti, yang menurut urang Sunda sih bukti kalawan nyata, bubuk roti dina mata.
Sang Brahmana Jatuh Tersungkur.
Seribu Brahmana yang ada di India pun tak akan mampu melakukan hal itu, pikir Brahmana dalam hati. Dengan perasaan takut
dan was-was, ia menatap wajah lelaki berjubah itu.
"Mungkinkah lelaki ini adalah Sunan Bonang yang termasyhur itu?" gumannya dalam hati.
Akhirnya sang Brahmana memberanikan diri untuk bertanya kepada lelaki itu.
"Apakah nama daerah tempat saya terdampar ini?" tanya Brahmana dengan hati yang berkebat-kebit.
"Tuan berada di pantai Tuban," jawab lelaki berjubah putih itu.
Begitu mendengar jawaban lelaki itu, jatuh tersungkurlah sang Brahmana beserta murid-muridnya. Mereka menjatuhkan diri
berlutut di hadapan lelaki itu. Mereka sudah yakin sekali bahwa lelaki inilah yang bernama Sunang Bonang yang terkenal
sampai ke Negeri India itu.
"Bangunlah, untuk apa kalian berlutut kepadaku? Bukankah sudah kalian ketahui dari kitab-kitab yang kalian pelajari bahwa
sangat terlarang bersujud kepada sesama makhluk. Sujud hanya pantas dipersembahkan kepada Allah Yang Maha Agung," kata
lelaki berjubah putih itu yang tak lain memang benar Sunan Bonang.
"Ampun...Ampunilah saya yang buta ini, tak melihat tingginya gunung di depan mata, ampunkan saya...," rintih sang Brahmana
meminta dikasihani.
"Bukankah Tuan ingin berdebat denganku dan mengadu kesaktian?" kata Sunan Bonang.
"Mana saya berani melawan paduka, tentulah ombak dan badai yang menyerang kapal kami juga ciptaan paduka, kesaktian
paduka tak terukur tingginya. Ilmu paduka tak terukur dalamnya," kata Brahmana Sakyakirti.
"Engkau salah, aku tidak mampu menciptakan ombak dan badai, hanya Allah SWT saja yang mampu menciptakan dan
menggerakkan seluruh makhluk. Allah melindungi orang yang percaya dan mendekat kepada-Nya dari segala macam bahaya
dan niat jahat seseorang," ujar Sunan Bonang.
Memang kedatangannya bermaksud jahat ingin membunuh Sunan Bonag melalui adu kepandaian dan kesaktian. Ternyata
niatnya tak kesampaian. Apa yang telah dibacanya dalam kitab-kitab yang telah dipelajari telah terbukti.
Bahwa Barang siapa yang memusuhi para wali-Nya, maka Allah akan megumumkan perang kepadanya. Menantang Sunan
Bonang sama saja dengan menantang Allah SWT yang mengasihi Sunan Bonang sendiri. Hatinya ketakutan, bagaimana jadinya
bilamana niatnya kesampaian. Bukan Sunan Bonang yang akan dibunuh, malah bisa sebaliknya dia sendiri yang akan binasa
karena murka Tuhan.
Setelah kejadian tersebut, akhirnya sang Brahmana dan murid-muridnya rela memeluk agama islam atas kemauannya sendiri tanpa paksaan. Sang
Brahmana dan pengikutnya telah menjadi murid dari Sunan Bonang. [ ]
Satu fakta utama yang dapat masyarakat lihat pada mata uang kertas Rp. 5.000,00 dengan gambar Menara Kudus. Ini merupakan suatu bentuk apresiasi dari Gubernur Bank Indonesia
yang dijabat oleh Arifin Siregar pada masa itu. Berikut petikan sambutannya: Kami sewaktu bertugas sebagai Gubernur Bank Indonesia mendapat kesempatan untuk mengeluarkan
uang kertas Lima Ribu Rupiah dengan gambar Menara Kudus. Hal ini kami lakukan antara lain mengingat keindahan dan kenggunan Menara Kudus. Disamping itu Menara Kudus
merupakan salah satu peninggalan sejarah Indonesia yang perlu dilestarikan dan diperkenalkan kepada masyarakat kita dan juga khalayak luar negeri.
Mengenai hari jadi kota Kudus sendiri (23 September 1549, berdasarkan Perda No. 11 Tahun 1990 yang diterbitkan tanggal 6 Juli 1990) memang tak bisa dilepaskan dari patriotisme
Sunan Kudus sendiri. Bukti nyatanya dapat dilihat dalam inskripsi yang terdapat pada Mihrab di Masjid Al-Aqsa Kudus yang dibangun pada 956 H/1549 M oleh Sunan Kudus. Maka
dalam setiap perayaan hari jadinya tak pernah lupa semangat dan patriotisme Sunan Kudus dalam memajukan rakyat dan ummatnya. [3]
Menurut Muliadi via Castles (1982); Ismudiyanto dan Atmadi (1987); dan Suharso (1992), menyebutkan bahwa: Dalam sejarah, Kudus Kulon dikenal sebagai kota lama dengan diwarnai
oleh kehidupan keagamaan dan adat istiadatnya yang kuat dan khas serta merupakan tempat berdirinya Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus; serta merupakan pusat tempat berdirinya
rumah-rumah asli (adat pencu). Sementara Kudus Wetan terletak di sebelah Timur Sungai Gelis, dan merupakan daerah pusat pemerintahan, pusat transportasi, dan daerah pusat
perdagangan.
Salah satu bentuknya ialah tarian Buka Luwur yang menggambarkan sejarah perjalanan masyarakat Kudus sepeninggal Sunan Kudus hingga terbentuk satuan wilayah yang disebut Kudus.
Tradisi ini telah menjadi kegiatan rutin pengurus Menara Kudus setiap tanggal 10 Muharram dengan dukungan umat Islam baik di Kudus maupun sekitarnya. Ini merupakan prosesi
pergantian kelambu pada makam Sunan Kudus diiringi doa-doa dan pembacaan kalimah toyyibah (tahlil, shalawat, istigfar, dan surat-surat pendek al-quran yang sebelumnya telah
didahului dengan khataman quran secara utuh).
Ada lagi tradisi Dhandangan yang digelar setahun sekali menjelang bulan Ramadhan. Pada masa Sunan Kudus tradisi ini ditandai dengan pemukulan bedug di atas Menara Kudus
(berbunyi dhang dhang dhang). Tradisi ini pun memperkuat eksistensi Sunan Kudus. Selain itu masyarakat Kudus hingga saat ini tak pernah berani menyembelih sapi/lembu sebagai suatu
penghormatan kepada Sunan Kudus yang mana dakwahnya menekankan unsure kebijaksanaan dan toleransi karena kala itu masyarakat Kudus masih beragama Hindu yang menyucikan
hewan lembu. Kini, setiap Kamis malam makam Kanjeng Sunan Kudus selalu ramai oleh peziarah dengan beragam latar beragam latar belakang dan etnis, dari berbagai daerah. Mereka
datang dengan beragam cara, baik sendiri maupun bersama rombongan. Pada momen-momen tertentu ada yang datang dari mancanegara. [4]
Fenomena pencitraan ini berhasil menjadi sumber penggerak dalam bertindak (untuk beberapa hal), Bourdieu menyebutnya sebagai tindakan yang bermakna baik keberagamaan maupun
fenomena budaya lainnya. Citra Sunan Kudus dalam masyarakat Kudus telah melewati kuasa dan pertarungan sistem tanda yang merekontruksi budaya lokal mereka. Suatu tandanya dapat
dihubungkan dengan tanda lain yang dapat ditemui dalam model keberagamaan maupun kontruksi budaya masyarakat agama (Islam). Jadilah mereka memiliki identitas keislaman yang
khas dan unik serta memiliki warisan spirit dan patriotisme yang melegenda. Hal ini terus digali hingga menjadi model dalam sosial-budaya dan sikap keberagamaan umat Islam (suatu
identitas kultural).[5]
saat itu memeluk agama Hindu pun bersimpati, dan semakin bersimpati selepas mendengarkan ceramah KSK mengenai sapi betina atau Al-Baqarah dalam bahasa Al-qurannya. Teknik
lainnya lagi adalah dengan mengubah cerita ketauhidan menjadi berseri, betujuan menarik rasa penasaran masyarakat.
Kini, toleransi beragama berada di titik nadir. Ironisnya, toleransi beragama tak cuma menjadi barang mahal tetapi sudah terlalu langka. Dengan jalan menghidupkan kembali esensi serta
spirit dakwah Sunan Kudus, kiranya masyarakat muslim bisa mengembalikan lagi wajah Islam yang ramah dan toleran setelah sebelumnya dihinggapi oleh stigma negatif.Ajaran Toleransi
Ala Sunan Kudus.[5]
Sunan Kalijaga atau Sunan Kalijogo adalah seorang tokoh Wali Songo yang sangat lekat dengan Muslim di Pulau Jawa, karena kemampuannya memasukkan pengaruh Islam ke dalam
tradisi Jawa. Makamnya berada di Kadilangu, Demak.
Daftar isi
[sembunyikan]
1Riwayat
o
1.1Kelahiran
1.2Silsilah
1.3Pernikahan
1.4Berda'wah
2Wafat
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen,Banyumas,
serta Pajang.
Sunan Muria dilahirkan dengan nama Raden Umar Said atau Raden Said. Menurut beberapa riwayat, dia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi Soejinah,
putri Sunan Ngandung. Nama Sunan Muria sendiri diperkirakan berasal dari nama gunung (Gunung Muria), yang terletak di sebelah utara kota Kudus, Jawa Tengah, tempat dia
dimakamkan.
Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah nama salah seorang Walisongo, yang dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia
dimakamkan di desa Gapurosukolilo, kota Gresik, Jawa Timur.
Daftar isi
[sembunyikan]
1Asal keturunan
2Penyebaran agama
3Legenda rakyat
4Filsafat
5Wafat
6Lihat pula
7Referensi
Dalam keterangannya pada buku The History of Java mengenai asal mula dan perkembangan kota Gresik, Raffles menyatakan bahwa menurut penuturan para penulis lokal, "Mulana
Ibrahim, seorang Pandita terkenal berasal dari Arabia, keturunan dari Jenal Abidin, dan sepupu raja Chermen (sebuah negaraSabrang), telah menetap bersama para Mahomedans[2] lainnya
di Desa Leran di Jang'gala".[3]
Namun, kemungkinan pendapat yang terkuat adalah berdasarkan pembacaan J.P. Moquette atas baris kelima tulisan pada prasasti makamnya di desa Gapura Wetan, Gresik; yang
mengindikasikan bahwa ia berasal dari Kashan, suatu tempat di Iran sekarang.[4]
Terdapat beberapa versi mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada umumnya dianggap merupakan keturunan Rasulullah SAW, melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal
Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi atsTsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal, Jamaluddin Akbar alHusaini (Maulana Akbar), dan Maulana Malik Ibrahim, [5][6][7][8] yang berarti ia adalah keturunan orang Hadrami yang berhijrah.
Pertama-tama yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak
menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli, melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan kabaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat keramahtamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam agama Islam. [10]
Sebagaimana yang dilakukan para wali awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang sekarang
dinamakan desa Roomo, Manyar.[11] Perdagangan membuatnya dapat berinteraksi dengan masyarakat banyak, selain itu raja dan para bangsawan dapat pula turut serta dalam kegiatan
perdagangan tersebut sebagai pelaku jual-beli, pemilik kapal atau pemodal. [12]
Setelah cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan ke ibukota Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam tetapi
menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura. Cerita rakyat tersebut
diduga mengandung unsur-unsur kebenaran; mengingat menurut Groeneveldt pada saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota Majapahit telah banyak orang asing termasuk dari Asia
Barat. [13]
Demikianlah, dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan menegakkan ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang merupakan
tempat mendidik pemuka agama Islam pada masa selanjutnya. Hingga saat ini makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan agama Islam berabad-abad
yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai berkunjung untuk berziarah. Ritual ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabi'ul Awwal, sesuai
tanggal wafat pada prasasti makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman Al-Quran, mauludan (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan khas bubur
harisah.[14]
Menurut legenda rakyat, dikatakan bahwa Syeh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik berasal dari Persia. Syeh Maulana Malik Ibrahim dan Syeh Maulana Ishaq disebutkan sebagai
anak dari Syeh Maulana Ahmad Jumadil Kubro, atau Syekh Jumadil Qubro. Syeh Maulana Ishaq disebutkan menjadi ulama terkenal di Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Raden Paku
atau Sunan Giri. Syeh Jumadil Qubro dan kedua anaknya bersama-sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah; Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Syeh Maulana
Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan; dan adiknya Syeh Maulana Ishak mengislamkan Samudera Pasai.
Syeh Maulana Malik Ibrahim disebutkan bermukim di Champa (dalam legenda disebut sebagai negeri Chermain atau Cermin) selama tiga belas tahun. Ia menikahi putri raja yang
memberinya dua putra; yaitu Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan Sayid Ali Murtadha atau Raden Santri. Setelah cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, ia hijrah ke pulau Jawa
dan meninggalkan keluarganya. Setelah dewasa, kedua anaknya mengikuti jejaknya menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.
Syeh Maulana Malik Ibrahim dalam cerita rakyat kadang-kadang juga disebut dengan nama Kakek Bantal. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat
bawah, dan berhasil dalam misinya mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.
Selain itu, ia juga sering mengobati masyarakat sekitar tanpa biaya. Sebagai tabib, diceritakan bahwa ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Champa. Besar
kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Ini adalah makam almarhum seorang yang dapat diharapkan mendapat pengampunan Allah dan yang mengharapkan kepada rahmat Tuhannya Yang Maha Luh
Saat ini, jalan yang menuju ke makam tersebut diberi nama Jalan Malik Ibrahim. [15]
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah[1], lahir sekitar 1450 M, namun ada juga yang mengatakan bahwa ia lahir pada sekitar1448 M. Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari
kelompok ulama besar di Jawa bernama walisongo. Sunan Gunung Jati merupakan satu-satunya Walisongo yang menyebarkan Islam di Jawa Barat.
Eksekusi yang dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan wafatnya Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging di Kesultana Demak telah tercabut.
Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan
Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.
Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di P. Jawa dengan misi
utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 pada tahun 1511.
Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal pada tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkatTubagus
Pasai (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing
Portugis bertempur di P. Jawa.
Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang telah
dijepit oleh Kesultanan Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di Timur.
Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota pelabuhan di P.
Jawa setelah Banten dan Cirebon menjadi kerajaan-kerajaan Islam.
Tahun 1527 bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di
Malaka 1521.
Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah.
Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga
keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.
Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap
memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.
Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa
reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah
dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun
sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan.
Bagi para sejarawan, ia adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya
1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji.
Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggilnya dengan nama lengkap Syekh Maulana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.
Al-Husain putera Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahra binti Muhammad
1Silsilah
2Kisah
4Pranala luar
Tangga dan candi bentar masuk ke pemakaman Sunan Giri pada tahun 1932
Beberapa babad menceritakan pendapat yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian babad berpendapat bahwa ia adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang
dari Asia Tengah. Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu putri dari Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan
Majapahit.
Pendapat lainnya yang menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW, yaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad alBaqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad an-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali'
Qasam,Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar alHusaini (Maulana Akbar), Ibrahim Zainuddin Al-Akbar As-Samarqandy (Ibrahim Asmoro), Maulana Ishaq, dan Ainul Yaqin (Sunan Giri). Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan
riwayat pesantren-pesantren Jawa Timur, dan catatan nasab Sa'adah BaAlawi Hadramaut.
Dalam Hikayat Banjar, Pangeran Giri (alias Sunan Giri) merupakan cucu Putri Pasai (Jeumpa?) dan Dipati Hangrok (aliasBrawijaya VI). Perkawinan Putri Pasai dengan Dipati Hangrok
melahirkan seorang putera. Putera ini yang tidak disebutkan namanya menikah dengan puteri Raja Bali, kemudian melahirkan Pangeran Giri. Putri Pasai adalah puteri Sultan Pasai yang
diambil isteri oleh Raja Majapahit yang bernama Dipati Hangrok (alias Brawijaya VI). Mangkubumi Majapahit masa itu adalaha Patih Maudara.
1.
2.
Terdapat beberapa karya seni tradisional Jawa yang sering dianggap berhubungkan dengan Sunan Giri, diantaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan, danCublak
Suweng; serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.
3.
Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di Blambangan, makin hari semakin bertambah banyak penduduk Blambangan yang
memeluk agama Islam. Sementara Patih Bajul Sengara tak henti-hentinya mempengaruhi sang prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya. Hati Prabu
Menak Sembuyu jadi panas mengetahui hal ini.
Patih Bajul Sengara sendiri sepengetahuan sang Prabu sudah mengadakan teroe pada pengikut Syekh Maulana Ishak. Tidak sedikit penduduk
Kadipaten yang dipimpin Syekh Maulana Ishak diculik, disiksa dan dipaksa kembali pada agama lama.
Pada saat itu Dewi Sekardadu sedang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak sadar bila diteruskan akan terjadi pertumpahan darah yang
seharusnya tidak perlu. Kasihan rakyat jelata yang harus menanggung akibatnya. Maka dia segera pamit kepada isterinya untuk meninggalkan
Blambangan.
Akhirnya, pada tengah malam dengan hati yang berat karena harus meninggalkan isteri tercinta yang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak
berangkat meninggalkan Blambangan seorang diri. Esok harinya sepasukan besar prajurit Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara
menerobos masuk wilayah Kadipaten yang sudah ditinggalkan Syekh Maulana Ishak.
Dua bulan kemudian dari rahim Sekardadu lahir bayi laki-laki yang elok rupanya. Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan permaisurinya
merasa senagn dan bahagia melihat kehadiran cucunya yang montok dan rupawan itu. Bayi itu lain daripada yag lain, wajahnya mengeluarkan
cahaya terang.
Lain halnya dengan Patih Bajul Sengara, dibiarkannya bayi itu mendapat limpahan kasih sayang keluarganya selama empat puluh hari. Sesudah itu
dia menghasut Prabu Menak Sembuyu. Kebetulan pada saat itu wabah penyakit berjangkit kembali di Blambangan, maka Patih baju Sengara
berulah lagi..
Bayi itu! Benar Gusti Prabu! Cepat atau lambat bayi itu akan menjadi bencan dikemudian hari. Wabah penyakit inipun menurut dukun-dukun
terkenal diBlambangan ini disebabkan adanya hawa panas yang memancar dari jiwa bayi itu! Kilah patih Bajul Sengara dengan alasan yang dibuatbuat.
Sang Prabu tidak cepat mengambil keputusan, dikarenakan dalam hatinya dia terlanjur menyukai kehadiran cucunya itu. Namun sang Patih tiada
bosan-bosannya menteror dengan hasutan dan tuduhan keji yang akhirnya sang Prabu terpengaruh juga.
Walau demikian tiada tega juga dia memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu secara langsung. Bayi yang masih berusia empat puluh hari
dimasukkan kedalam peti dan diperintahkan untuk dibuang ke samudera.
Joko Samudra
Pada suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintasi selat Bali. Ketika perahu itu berada ditengah-tengah selat Bali tiba-tiba terjadi
keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa mundurpun tak bisa.
Nahkota memerintahkan awak kapal untuk memeriksa sebab-sebab kemacetan ini, meungkinkah perahunya membentur karang. Setelah diperiksa
ternyata perahu itu hanya menabrak sebuah peti berukir indah, seperti peti milik kaum bangsawan yang digunakan menyimpan barang berharga.
Nahkoda memerintahkan mengambil peti itu. Semua orang terkejut karena didalamnya terdapat seorang bayi mungil yang bertubuh montok dan
rupawan. Nahkoda merasa gembira menyelamatkan jiwa si bayi mungil itu, tapi juga mengutuk orang yang tidak berprikemanusiaan.
Nahkoda kemudian memerintahkan awak kapal untuk melanjutkan pelayaran ke pulau Bali. Tapi perahu tidak dapat bergerak maju. Ketika perahu
diputar dan digerakkan kearah Gresik ternyata perahu itu melaju dengan cepatnya.
Dihadapan Nyai Ageng Pinatih janda kaya raya pemilik Kapal Nahkoda berkata sambil membuka peti itu. Peti inilah yang menyebabkan kami
kembali ke Gresik dalam waktu secepat ini. Kami tak dapat meneruskan pelayaran ke Pulau Bali, kata sang nahkoda.
Bayi? Bayi siapa ini ? gumam Nyai Ageng Pinatih sembari mengangkat bayi itu dari dalam peti.
Kami menemukannya di tengah samudera selat Bali, jawab nahkoda kapal.
Bayi ini kemudian mereka serahkan kepada Nyai Ageng Pinatih untuk diambil sebagai anak angkat. Memang sudah lama dia menginginkan
seorang anak. Karena bayi ini ditemukan di tengah smudera maka Nyai Ageng Pinatih kemudian memberinya nama Joko Samudra.
Ketika berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samudra untuk berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya.
Menurut beberapa sumber mula pertama Joko Samudra setiap hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian
menyarankan agar anak itu mondok saja dipesantren Ampeldenta supaya lebih konsentrasi dalam mempelajari agama Islam.
Pada suatu malam, seperti biasanya Raden Rahmat hendak mengambil air wudhu guna melaksanakan sholat Tahajjud, mendoakan muridnya dan
mendoakan umat agar selamat di dunia dan di akhirat. Sebelum berwudhu Raden Rahmat menyempatkan diri melihat-lihat para santri yang tidur di
asrama.
Tiba-tiba Raden Rahmat terkejut. Ada sinar terang memancar dari salah seorang santrinya. Selama beberpa saat beliau tertegun, sinar terang itu
menyilaukan mata. Untuk mengetahui siapakah murid yang wajahnya bersinar itu maka Sunan ampel memberi ikatan pada sarung murid itu.
Esok harinya, sesudah sholat subuh Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu.
Siapakah diantara kalian yang waktu bangun tidur kain sarungnya ada ikatan? Tanya Sunan Ampel.
4.
5.
Di negeri Pasai banyak ulama besar dari negeri asing yang menetap dan membuka pelajaran agama Islam kepada penduduk setempat, hal ini tidak
disia-siakan oleh Raden Paku dan Maulana Makdum Ibrahim. Kedua pemuda itu belajar agama dengan tekun, baik kepada Syekh Maulana Ishak
sendiri maupun kepada guru-guru agama lainnya.
Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku dikaruniai Ilmu Laduni yaitu ilmu yang langsung berasal dari Tuhan, sehingga kecerdasan otaknya
seolah tiada bandingnya. Disamping belajar ilmu Tauhid mereka juga mempelajari ilmu Tasawuf dari ulama Iran, Bagdad dan Gujarat yang banyak
menetap di negeri Pasai.
Ilmu yang dipelajari itu berpengaruh dan menjiwai kehidupan Raden Paku dalam perilakunya sehari-hari sehingga kentara benar bila ia
mempunyai ilmu tingkat tinggi, ilmu yang sebenarnya hanya dimiliki ulama yang berusia lanjut dan berpengalaman. Gurunya kemudian
memberinya gelar Syekh Maulana Ainul Yaqin.
Setelah tiga tahun berada di pusat Pasai. Dan masa belajarnya itu sudah dianggap cukup oleh Syekh Maulana Ishak, kedua pemuda itu
diperintahkan kembali ke tanah jawa. Oleh ayahnya, Raden Paku diberi sebuah bungkusan kain putih berisi tanah.
Kelak, bila tiba masanya dirikanlah pesantren di Gresik, carilah tanah yang sama betul dengan tanah dalam bungkusan ini disitulah kau
membangun pesantren, demikianlah pesan anahnya.
Kedua pemuda itu kemudian kembali ke Surabaya. Melaporkan segala pengalamannya kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel memerintahkan
Makdum Ibrahim berdakwah di Tuban, sedangkan Raden Paku diperintah pulang ke Gresik kembali ke ibu angkatnya yaitu Nyai Ageng Pinatih.
Membersihkan Diri
Pada usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh ibunya untuk mengawal barang dagangan ke pulau Banjar atau Kalimantan. Tugas ini diterimanya
dengan senang hati. Nahkoda kapal diserahkan kepada pelaut kawakan yaitu Abu Hurairah. Walau pucuk pimpinan berada di tangan Abu Hurairah
tapi Nyai Ageng Pinatih memberi kuasa pula kepada Raden Paku untuk ikut memasarkan dagangan di Pulau Banjar.
Tiga buah kapal berangkat meninggalkan pelabuhan Gresik dengan penuh muatan. Biasanya, sesudah dagangan itu habis terjual di Pulau Banjar
maka Abu Hurairah diperintah membawa barang dagangan dari pulau Banjar yang sekiranya laku di pulau Jawa, seperti rotan, damar, emas dan
lain-lain. Dengan demikian keuntungan yang diperoleh menjadi berlipat ganda, tapi kali tidak, sesudah kapal merapat dipelabuhan Banjar, Raden
paku membagi-bagikan barang dagangannya dari Gresik itu secara gratis kepada penduduk setempat.
Tentu saja hal ini membuat Abu Hurairah menjadi cemas. Dia segera memprotes tindakan Raden Paku, Raden.kita pasti akan mendapat murka
Nyai Ageng Pinatih. Mengapa barang dagangan kita diberikan secara cuma-cuma?
6.
Jangan kuatir paman, kada Raden Paku. Tindakan saya ini sudah tepat. Penduduk Banjar saat ini sedang dilanda musibah. Mereka dilanda
kekeringan dan kurang pangan. Sedangkan ibu sudah terlalu banyak mengambil keuntungan dari mereka, sudahkah ibu memberikan hartanya
dengan membayar zakat kepada mereka? Saya kira belum, nah sekaranglah saatnya ibu mengeluarkan zakat untuk membersihkan diri.
Itu diluar wewenang saya Raden, kata Abu Hurairah. Jika kita tidak memperoleh uang lalu dengan apa kita mengisi perahu supaya tidak oleng
dihantam gelombang dan badai?
Raden Paku terdiam beberapa saat. Dia sudah maklum bila dagangan habis biasanya Abu Hurairah akan mengisi kapal atau perahu dengan barang
dagangan dari Kalimantan. Tapi sekarang tak ada uang dengan apa dagangan pulau Banjar akan dibeli.
Paman tak usah risau, kata Raden Paku dengan tenangnya. Supaya kapal tidak oleng isilah karung-karung kita dengan batu dan pasir.
Memang benar, mereka dapat berlayar hingga dipantai Gresik dalam keadaan selamat. Tapi hati Abu Hurairah menjadi kebat-kebit sewaktu
berjalan meninggalkan kapal untuk bertemu dengan Nyai Ageng Pinatih.
Dugaan Abu Hurairah benar. Nyai Ageng Pinatih terbakar amarahnya demi mendengar perbuatan Raden Paku yang dianggap tidak normal.
Sebaiknya ibu lihat dulu pinta Raden Paku.
Sudah, jangan banyak bicara. Buang saja pasir dan batu itu. Hanya mengotori karung-karung kita saja hardik Nyai Ageng Pinatih.
Tapi ketika awak kapal membuka karung-karung itu mereka terkejut. Karung-karung itu isinya menjadi barang-barang dagangan yang biasa
mereka bawa dari banjar, seperti rotan, damar , kain dan emas serta intan. Bila ditaksir harganya jauh lebih besar ketimbang dagangan yang
disedekahkan kepada penduduk Banjar.
Perkawinan Raden Paku
Al-kisah ada seorang bangsawan Majapahit bernama Ki Ageng Supa Bungkul ia mempunyai sebuah pohon delima yang aneh didepan rumahnya.
Setiap kali ada orang yang hendak mengambil buah delima yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib celaka, kalau tidak ditimpa penyakit berat
tentulah orang tersebut meninggal dunia. Suatu ketika Raden Paku tanpa sengaja lewat didepan pekarangan Ki Ageng Supa Bungkul. Begitu ia
berjalan dibawah pohon delima tiba-tiba pohon itu jatuh mengenai kepala Raden Paku.
Ki Ageng Bungkul pun tiba-tiba muncul dan mencegat Raden Paku dan ia berkata, kau harus kawin dengan puteriku Dewi Wardah.
Memang, Ki Ageng Bungkul telah mengadakan sayembara, siapa saja yang dapat memetik buah delima itu dengan selamat maka ia akan
dijodohkan dengan puterinya yang bernama Dewi Wardah. Raden Paku bingung menghadapi hal itu. Maka peristiwa itu disampaikan kepada
Sunan Ampel.
Tak usah bingung, Ki Ageng Bungku adalah serang muslim yang baik. Aku yakin Dewi Wardah juga seorang muslimah yang baik. Karena hal itu
menjadi niat Ki Ageng Bungkul kuharap kau tidak mengecewakan niat baiknya itu. Demikian kata Sunan Ampel.
Tapi.bukankah saya hendak menikah dengan puteri Kanjeng Sunan Yaitu dengan Dewi Murtasiah ujar Raden Paku.
Tidak mengapa? Kata Sunan Ampel. Sesudah melangsungkan akad nikah dengan Dewi Murtasiha selanjutnya kau akan melangsungkan
perkawinan dengan Dewi Wardah.
Itulah liku-liku perjalan hidup Raden Paku. Dalam sehari ia menikah dua kali. Menjadi menantu Sunan Ampel, kemudian menjadi menantu Ki
Ageng Bungkuk seorang bangsawan Majapahit yang hingga sekarang makamnya terawat baik di Surabaya.
Sesudah berumah tangga, Raden Paku makin giat berdagang dan berlayar antar pulau. Sambil berlayar itu beliau menyiarkan agama Islam pada
penduduk setempat sehingga namanya cukup terkenal di kepulauan nusantara.
Lama-lama kegiatan dagang tersebut tidak memuaskan hatinya, ia ingin berkonsentrasi menyiarkan agama Islam dengan mendirikan pondok
pesantren. Ia pun minta izin kepada ibunya untuk meninggalkan dunia perdagangan.
Nyai Ageng Pinatih yang kaya raya itu tidak keberatan, andaikata hartanya yang banyak itu dimakan setiap hari dengan anak dan menantunya
rasanya tiada akan habis, terlebih juragan Abu Hurairah orang kepercayaan Nyai Ageng Pinatih menyatakan kesanggupannya untuk mengurus
seluruh kegiatan perdagangan miliknya, maka wanita itu ikhlas melepaskan Raden Paku yang hendak mendirikan pesantren.
Mulailah Raden Paku bertafakkur digoa yang sunyi, 40 hari 40 malam beliau tidak keluar goa. Hanya bermunajat kepada Allah. Tempat Raden
Paku bertafakkur itu hingga sekarang masih ada yaitu desa Kembangan dan Kebomas.
Usai bertafakkur teringatlah Raden Paku pada pesan ayahnya sewaktu belajar di negeri Pasai. Dia pun berjalan berkeliling daerah yang tanahnya
mirip dengan tanah yang dibawa dari negeri Pasai.
Melalui desa Margonoto, sampailah Raden Paku didaerah perbukitan yang hawanya sejuk, hatinya terasa damai, ia pun mencocokkan tanah yang
dibawanya dengan tanah ditempat itu. Ternyata cocok sekali. Maka di desa Sidomukti itulah ia kemudian mendirikan pesantren. Karena tempat itu
adalah dataran tinggi atau gunung maka dinamakanlah Pesantren Giri. Giri dalam bahasa sansekerta artinya gunung.
7.
Atas dukkungan isteri-isteri dan ibunya juga dukungan spiritual dari Sunan ampel, tidak begitu lama hanya dalam waktu tiga tahun pesantren Giri
sudah terkenal ke seluruh nusantara.
Menurut Dr.H.J. De Graaf, sesudah pulang dari pengembaraannya atau berguru ke negeri Pasai, ia memperkenalkan diri kepada dunia, kemudian
berkedudukan diatas bukit di Gresik dan ia menjadi orang pertama yang paling terkenal dari Sunan-sunan Giri yang ada. Diatas gunung tersebut
seharusnya ada istana karena dikalangan rakyat dibicarakan adanya Giri Kedatin (Kerajaan Giri). Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari segala
penjuru, seperti Maluku, Madura, Lomnok, Makasar, Hitu dan Ternate. Demikian menurut De Graaf.
Menurut babad tanah jawa murid-murid Sunan Giri itu justru bertebaran hampir diseluruh penjuru benua besar, seperti Eropa (Rum), Arab, Mesir,
Cina dan lain-lain. Semua itu adalah penggambaran nama Sunan Giri sebagai ulama besar yang sangat dihormati orang pada jamannya. Disamping
pesantrennya yang besar ia juga membangun mesjid sebagai pusat ibadah dan pembentukan iman umatnya. Untuk para santri yang datang dari jauh
beliau juga membangun asrama yang luas.
Disekitar bukti tersebut sebenarnya dahulu jarang dihuni oleh penduduk dikarenakan sulitnya mendapatkan air. Tetapi dengan adanya Sunan Giri
masalah air itu dapat diatasi. Cara Sunan Giri membuat sumur atau sumber air itu sangat aneh dan gaib hanya beliau seorang yang mampu
melakukannya.
Peresmian Mesjid Demak
Dalam peresmian mesjid Demak Sunan Kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan pertunjukkan wayang kulit yang pada waktu itu bentuknya
masih wayang beber yaitu gambar manusia yang dibeber pada sebuah kulit binatang.
Usul Sunan Kalijaga ditolak oleh Sunan Giri, karena wayang yang bergambar manusia haram hukumnya dalam ajaran Islam, demikian menurut
Sunan Giri.
Jika sunan Kalijaga mengusulkan peresmian mesjid Demak dengan membuka pagelaran wayang kulit, kemudian diadakan dakwah dan rakyat
berkumpul boleh masuk setelah mengucapkan syahadat, maka Sunan Giri mengusulkan agar mesjid Demak diresmikan pada saat hari Jumat
sembari melaksanakan Sholat jamaah Jumat.
Sunan Kalijaga berjiwa besar kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan Giri. Sebelum Sunan Kalijaga telah merubah bentuk wayang kulit
sehingga gambarannya tidak bisa disebut sebagai gambar manusia lagi, lebih mirip karikatur seperti bentuk wayang yang ada sekarang ini.
Sunan Kalijaga membawa wayang kreasinya itu dihadapan Sidang para wali. Keran tidak bisa disebut gambar manusia maka akhirnya Sunan Giri
menyetujui wayang kulit itu digunakan sebagai media dakwah.
8.
9.
Perubahan bentuk wayang kulit itu adalah dikarenakan sanggahan Sunan Giri. Karena itu Sunan Kalijaga memberi tanda khusus pada momentum
penting itu. Pemimpin para dewa dalam pewayangan oleh Sunan Kalijaga dinamakan Sang Hyang Girinata yang arti sebenarnya adalah sunan Giri
yang menata.
Maka perdebatan tentang peresmian mesjid Demak bisa diatasi. Peresmian itu akan diawali dengan sholat jumat kemudian diteruskan dengan
pertunjukkan wayang kulit yang dimainkan oleh ki dalang Sunan Kalijaga.
Jasa-jasa Sunan Giri
Jasa yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam di tanah jaw bahkan ke nusantara.
Beliau pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti Jenar, seorang wali yang dianggap murtad karena menyebarkan faham
Pantheisme dan meremehkan syariat Islam yang disebarkan para wali lainnya. Dengan demikian sunan Giri ikut menghambat tersebarnya aliran
yang bertentangan dengan faham Ahlussunnah wal jamaah.
Keteguhannya dalam menyiarkan agama Islam secara murni dan konsekuen membawa dampak positif bagi generasi Islam berikutnya. Islam yang
disiarkannya adalah Islam sesuai ajaran Nabi tanpa dicampuri dengan adat istiadat lama.
Di dalam kesenian beliau juga berjasa besar, karena beliaulah yang pertama kali menciptakan Asmaradana dan Pucung, beliau pula yang
menciptakan tembang dan tembang dolanan anak-anak yang bernafas Islam antara lain: jamuran, Cublak-ublak Suweng, Jithungan dan Delikan.
Sembari melakukan permainan yang disebut jelungan itu biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu Padhang Bulan :
Padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan,
Dolanane na ing latar,
Ngalap padhang gilar-gilar,
Nundhung begog hangetikar.
(malam terang bulan, marilah lekas bermain, bermain dihalaman, mengambil dihalaman, mengambil manfaat benderangnya rembulan, mengusir
gelap yang lari terbirit-birit)
Maksud dari lagu dolanan padhang bulan ;
Agama Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan, dimuka bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar
hilang lenyaplah kebodohan dan kesesatan.
Para Pengganti Sunan Giri
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1412 M, memerintah kerajaan Giri kurang lebih 20 tahun. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau
bergelar Prabu Satmata.
Pengaruh Sunan giri sangatlah besar terhadap kerajaan Islam di jawa maupun di luar jawa. Sebagi buktinya adalah adanya kebiasaan bahwa apabila
seorang hendak dinobatkan menjadi raja haruslah mendapat pengesahan dari Sunan Giri.
Giri Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung selama 200 tahun. Sesudah Sunan Giri meninggal dunia beliau digantikan anak keturunannya yaitu:
Sunan Dalem
Sunan Sedomargi
Sunan Giri Prapen
Sunan Kawis Guwa
Panembahan Ageng Giri
Panembahan Mas Witana Sideng Rana
Pangeran Singonegoro (bukan keturunan Sunan Giri
Pengeran Singosari
Pangeran Singosari ini berjuang gigih mempertahankan diri dari serbuan Sunan Amangkurat II yang dibantu oleh VOC dan Kapten Jonker.
Sesudah pangeran Singosari wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri Kedaton. Meski demikian kharisma Sunan Giri sebagai ulama besar
wali terkemuka tetap abadi sepanjang masa.
LAPORAN KAGIA
TAN
PUBLISHED DESEMBER 27, 2011 BY FAJRINFAUZIAH
Laporan Kagiatan
Diajeungkeun kanggo nohonan tugas Basa Sunda
Panyusun :
Fajrin Siti Fauziah (080910042)
XI A 2
SMA Negeri 2 Ciamis
Jl. KH. Ahmad Dahlan No.2 Ciamis
Laporan Kagiatan
Perkawis Bahaya Narkoba bagi kaum Remaja
1. Tujuan
Masihan elmu pangaweruh ka masyarakat utamina para nonoman perkawis bahayana narkoba
2. Waktos sareng Tempat Pelaksanaan
Waktos : 30 November 2009
Tempat : Kampus SMA Negeri 2 Ciamis
3. Pamilon
a) Kapala Sakola
b) Kapolisian
c) Siswa/siswi kelas XII
4. Kacindekan
Dina raraga ngalaksanakeun kagiatan perkawis bahaya narkoba hasilna tiasa disimpulkeun sapertos kieu :
a) Bahaya narkoba di Indonesia tos ngarambah ka sagala lapisan masyarakat. Korbanna, aya nu tos sepuh dugi ka murangkalih. Kukituna urang
sadaya kedah tiasa ngajagi kaluarga urang sadaya ulah dugi ka ngarandapan sareng ngaraosan narkoba.
b) Para nonoman anu mana salaku panerus pangwangunan kedah tiasa nahan cocobi anu matak nyilakakeun ka diri. Nyaeta ulah ngalaman,
Girang Serat,
Andini Ratna
NIS. 08095375
M. Hakim Fajar
NIS 08094573
4. Jenis kegiatan
Jenis kegitan anu dilaksanakeun mangrupa widang perlombaan nalika Indonesia, nalika Inggris, nalika Jepang, nalika Jerman,
serta nalika Sunda.
6. Hasil kagiatan
Para patandang anu jadi juara teh nya eta :
Jenis
Juara 1
Juara 2
lomba
Nalika
X2
XI A1
Indonesia
Nalika Inggris
XI A5
XI A3
Nalika Jepang
XI S2
XII S4
Nalika Jerman
X4
XI A5
Nalika Sunda
XI A5
X10
Juara 3
XI A5
XII A2
XII S3
X9
XII A5
7. Waragad
PEMASUKAN
PENGELUARAN
N
URAIAN
O
1 Anggaran
Sakola
2 Kas OSIS
3 Luaran
Patandang
4 Sponsor
5 Donatur
JUMLAH
JUMLAH
500.000;00
N
URAIAN
O
1 hadiah
600.000;00
250.000;00
250.000;00
2
3
150.000;00
100.000;00
300.000;00
200.000;00
1.500.000;0
0
Transport Juri
Kesekretariat
an
4 Konsumsi
5 Pubdok
JUMLAH
JUMLAH
500.000;00
150.000;00
1.500.000;0
0
Adapun maksud diadakannya kegiatan ini adalah sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan YME dan kegembiraan dalam menyambut Hari Ulang Tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-65 pada
tanggal 17 Agustus 2010
DASAR KEGIATAN
TEMA KEGIATAN
Kegiatan yang mengedepankan kebersamaan warga antar generasi serta kegiatan anak-anak yang bersifat mengembangkan daya kreatifitas, ketrampilan, ketangkasan dan sportifitas.
MACAM KEGIATAN
PESERTA : Seluruh warga RT 06/RW 01 Bukit Jarian, Kel. Hegarmanah Bandung Utara.
Hari, tanggal
Waktu
Tempat
Waktu
Tempat
SUSUNAN KEPANITIAAN
Penasehat
Penanggung Jawab
*Panitia Pelaksana*
Ketua Pelaksana
: Rama Ramadan
Sekretaris
: Anto Setiawan
Bendahara
: Risa Septiani
*Seksi-seksi*
: Sigit
Anggota
: Febi Silvia
Anggota
Selasa, 17 Agustus 2011 Pukul 07.30 WIB s.d. selesai DI Lapangan Volley RT 06/RW 01 Bukit Jarian
PENGELUARAN
1. Seksi Kesekretariatan
- Pembuatan Proposal
: Rp. 25.000
- Foto kopi
: Rp. 25.000
: Rp. 800.000
: Rp. 1.000.000
: Rp. 100.000
- Hadiah-hadiah
: Rp. 800.000
: Rp. 600.000
: Rp. 50.000
- Transport
: Rp. 100.000
Total
Terbilang: (Tiga Juta Lima Ratus Ribu Rupiah)
SUMBER DANA
: Rp. 3.500.000
- Bantuan kas RT
: Rp.500.000
- Arisan ibu-ibu
: Rp.250.000
: Rp.1.750.000
: Rp.1.000.000
Total
keseluruhan
Terbilang:
: Rp. 3.500.000
PENUTUP
Demikian laporan ini kami buat. Kami berterima kasih atas partisipasi Bapak/Ibu. Semoga laporan ini dapat menjadi acuan untuk kegitan tahun depan .
Ronald Agustin
Ketua Pelaksana
Sekretaris
Rama Ramadan
Anto Setiawan
Laporan kagiatan
Kunjungan ka museum konferensi asia afrika
Tujuan :
Para siswa kelas VIII B SMP Negeri 32 bandung ngayakeun kunjungan ka museum konferensi asia afrika. Ieu kagiatan di ayakeun kalawan tujuan sangkan para siswa bias
mikanyaho jerona museum jeung sajarah konferensi asia afrika.
Waktu :
Kunjungan ka museum konferensi asia afrika dilaksanakeun dina dinten salasa tanggal 9 april 2013. Angkat ti sakola tabuh 8 enjing nepi ka museum tabuh 9 enjing.
Pamilon :
Abdi angkat ka museum sareng 9 rerencangan abdi nyaeta kinasih, devi, suzan, herawati, nendah, herman, viki, novan jeung m.imam.
Kagiatan :
Di museum abdi sareng rerencangan ninggal seueur sajarah, diantarana nyaet sajarah konferensi asia afrika, persiapan konferensi asia afrika, ruangan nu aya di museum konferensi
asia afrika, jeung tokoh gerakan non-block.
Sajarah konferensi asia afrika nyaeta konferensi asia afrika mangrupakeun gagasan presiden soekarno ti taun 1933 karek ka wujud dina tanggal 18 apriltaun 1955 antar 30 nagara
nu aya di benua asia afrika. Pangaruh konferensi asia afrika nyaerta lahirna nagara-nagara anyar, perananan PBB beuki alus, lahirna kerja sama di sagala bidang, jeun lahirna gerakan nonblock. Persiapan konferensi asia afrika aya dua nyaeta, nu mimiti presiden soekarno ngaganti nami gedung Concordia jadi gedung merdeka, gedung pension jadi gedungdwi warna, jeung
jalan raja (raya) timur jadi jalan asia afrika. Nukadua kota bandung nyiapkeun 14 hotel ageung jeung alit, 31 bunglow di sapanjang jalan cipaganti, jalan lembang jeung jalan ciumbeleung
keur kurang leuwih 1500 tamu paserta jeung fasilitas akomodasi keur kurang leuwih 5000 wartawan jeuro jeung luar negeri. Disadiakeun ogeun oge 143 mobil sedan, 30 taksi, jeung 20
bus. Ruangan nu aya di museum diantarana nyaeta, perpustakaan, audiovisual, jeung sekertariat. Tokoh gerakan non block nyaeta, gaumal abdul Nasser ti nagara messir, awame nkromah ti
naara Ghana, Jawaharlal nehra ti nagara india, soekarno hatta ti nagara Indonesia, jeung josip broz tito ti nagara yugoslawia.
Tabuh sabelas, sabada rengse ngurilingan musum, abdi jeung babaturan tuluy kaluar museum teras papanggih jeung babaturan nu sejen. Tabuh sabelas langkung sapuluh abdi
sareng rerencangan uih ka bumi na masing- masing.
Laporan Pertanggungjawaban
Kegiatan Pesantren Kilat
SMAN 3 Suka Maju
I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Kegiatan
Bulan ramadhan atau yang dikenal dengan bulan suci ramadhan adalah bulan yang penuh dengan rahmat dan pahala dari Allah SWT. Bulan ini merupakan bulan yang sangat baik untuk
beribadah kepada Allah SWT. Hal ini dikarenakan Allah SWT akan menggandakan pahala terhadap amal perbuatan baik yang kita lakukan di bulan ini.
Mengingat pentingnya bulan ini, maka sekolah melaksanakan sebuah kegiatan yang dilakukan untuk menyambut bulan yang penuh berkah ini. Sekolah telah mengadakan kegiatan yang
disebut dengan pesantren kilat. Kegiatan ini perlu dilakukan untuk menumbuhkan rasa semangat siswa siswi SMAN 3 Suka Maju dalam menyambut bulan ini, sehingga mereka bisa
beribadah dengan semangat di dalam bulan ini.
III. Penutup
Demikanlah laporan kegiatan pesantren kilat ini, semoga kegiatan ini dapat bermanfaat bagi siswa dan siswi yang telah mengikuti kegiatan ini.
Lampiran
Lampiran 1 Susunan Panitia
Penanggung Jawab
Pembimbing
Ketua Pelaksana
Sekretaris
: Aria Nugraha
: Fatimah Azzahra
Seksi Acara
: Dian Permata
Budi Sudarsono
Cintia Tria Delima
Seksi Konsumsi
Seksi Perlengkapan
: Chairul Ichwan
Afif Albaironi
Agung Restu
Pubdekdok
: Defrian Mustafa
Nivia Anda Ningrum
Lampiran 2 Anggaran
Pemasukan :
Kas Sekolah
Sumbangan Komite
Sponsor
Lasegar
LBG Kursus
Total pemasukan
: 11.000.000.-
Pengeluaran :
Div Konsumsi
Div Acara
Div Perlengkapan
Pubdekdok
Total Pengeluaran
70 x @15.000 x 7
Total Anggaran
Pemasukan
Pengeluaran
Sisa dana
Kepada Yth
Kepala MAN Lhokseumawe
di- Tempat
Dengan Hormat
Dengan ini pengurus Jurnalis dan Infokom MAN Lhokseumawe melaporkan pertanggungjawaban kegiatan pelatihan menulis yang telah berlangsung dengan sukses pada hari Rabu, tanggal 12
November 2014. Hal-hal yang perlu kami laporkan dalam laporan ini adalah sebagai berikut :
1. Dasar Kegiatan
Menulis merupakan tradisi intelektual muslim yang harus dipertahankan. Menulis merupakan kegemeran ilmuan muslim yang perlu diwariskan kepada generasi muda Islam di masa yang akan datang
agar kejayaan Islam yang sudah mengakar tidak punah seiring perkembangan zaman. Salah satu cara mengikat dan merangkai ilmu adalah dengan menulis, karena menulis merupakan tradisi mengikat ilmu
dengan pena. Oleh karena itu maka kiranya perlu diselengarakan suatu pelatihan bagi generasi muda Islam khususnya siswa/siswi dan guru MAN Lhokseumawe dalam rangka meningkatkan pemahaman
serta menumbuhkan kreativitas dalam menulis sebagai tradisi intelektual muslim. Juga untuk melengkapi tugas Pembina Jurnalis dalam membimbing siswa untuk meningkatkan kemampuan menulis.
2. Tujuan
Tujuan diselenggarakannya pelatihan menulis tersebut adalah sebagai berikut :
a.
Untuk menumbuhkan bakat dan minat siswa/siswi MAN Lhokseumawe dalam menulis.
b. Untuk melatih kreativitas siswa dalam meningkatkan kemampuan menulis.
c. Untuk menumbuhkan rasa cinta bagi siwa/siswi dan guru MAN Lhokseumawe untuk menulis sebagai tradisi intelektual muslim.
3. Waktu dan Tempat Acara
Acara pelatihan menulis dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 12 November 2014 yang bertempat di aula MAN Lhokseumawe. Sebanyak 8 jam pelajaran. Serta pelatihan lainnya yang direncanakan
pada setiap hari Selasa dan Rabu setelah pulang sekolah.
4. Peserta dan Sasaran
Peserta acara pelatihan menulis ini adalah siswa/siswi MAN Lhokseumawe dan guru. Siswa yang hadir pada acara pelatihan menulis sebanyak 95 orang, guru 2 orang, dan seorang staf Tata Usaha
yang terlampir pada absen peserta.
5. Jadwal Kegiatan
Jadwal kegiatan acara pelatihan menulis adalah sebagai berikut :
No
Jenis Kegiatan
Protokol
Pelaksana
Misbahul
Muharir Al-Annas
Tanggal
Kegiatan
Rabu,
12 November
2014
s.d.a
Waktu
14.30 - 14.40
WIB
14.30 - 14.35
WIB
Pembukaan
Kepala MAN
Lhokseumawe, Abdul
Razak, S.Ag.
Hamdani, S.Pd.
(Pembina Jurnalis)
Tgk. Mahdi Idris
(Penulis buku dan
sastrawan)
s.d.a
14.35 - 14.40
WIB
Moderator
s.d.a
14.40 -16.30
WIB
14.40 - 16.30
WIB
Audiensi/Tanya jawab
Pemateri/peserta
s.d.a
Shalat Ashar
Pemateri/peserta
s.d.a
s.d.a
15.00 - 15.15
WIB
16.00 - 16.15
WIB
No
1
2
3
4
Peruntukan Dana
Honorarium pemateri luar, Tgk. Mahdi Idris (penulis buku
dan sastrawan)
Transpor Pembina Jurnalis Hamdani, S.Pd. (moderator)
Foto kopi bahan materi pelatihan 20 eks
Konsumsi pemateri dan minum peserta
Jumlah
Jumlah Dana
Rp. 200.000
Rp. 50.000
Rp. 50.000
Rp. 25.000
Rp. 325.000 (Tiga Ratus Dua
Puluh Lima Ribu Rupiah)
7. Penggunaan Dana
Untuk kelancaran acara pelatihan menulis buku tersebut dengan ini kami menggunakan dana yang kami terima sesuai dengan sasaran dan kami laporkan kepada pihak Kepala MAN Lhokseumawe
dengan perincian sebagai berikut :
No
1
2
3
4
5
6
7
8
Penggunaan Dana
Honorarium pemateri luar, Tgk. Mahdi Idris (penulis buku
dan sastrawan)
Transpor Pembina Jurnalis Hamdani, S.Pd. (moderator)
Foto kopi bahan materi pelatihan 20 eks (makalah)
Beli makanan ringan pemateri dan panitia 3 kotak
Beli nasi pembina dan panitia 2 bungkus
Beli Aqua sedang 4 botol untuk pemateri dan panitia
Foto kopi proposal
Beli Aqua gelas untuk peserta 1 kardus
Jumlah
Jumlah Dana
Rp. 200.000
Rp. 11.000
Rp. 30.000
Rp. 12.000
Rp. 28.000
Rp. 12.000
Rp. 4000
Rp. 28.000
Rp. 325.000 (Tiga Ratus Dua
Puluh Lima Ribu Rupiah)
Mengetahui :
Pembina Jurnalis dan Infokom,
Hamdani, S.Pd.
NIP. 197905102006041004
1.
SUNAN MURIA
Asal Usul Sunan Muria
Beliau adalah putera Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said. Seperti ayahnya, dalam berdakwah beliau
menggunakan cara halus, ibarat mengambil ikan tidak sampai mengeruhkan airnya. Itulah cara yang ditempuh untuk menyiarkan agama Islam di
sekitar Gunung Muria.
Tempat tinggal beliau di gunung Muria yang salah satu puncaknya bernama Colo. Letaknya disebelah utara kota Kudus. Sasaran dakwah beliau
adalah para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata. Beliau lah satu-satu wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan dan wayang
sebagai alat dakwah untuk menyampaikan Islam. Dan beliau pula yang menciptakan tembang Sinom dan Kinanti.
2.
Sakti Mandraguna
Bahwa Sunan Muria itu adalah wali yang sakti, kuat fisiknya dapat dibuktikan dengan letak padepokannya yang terletak di atas gunung. Menuju ke
makam Sunan Muria pun perlu tenaga ekstra karena berada diatas bukit yang tinggi.
Bayangkanlah, jika sunan Muria dan isterinya atau dengan muridnya setiap hari harus naik turun guna menyebarkan agama Islam kepada penduduk
setempat, atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para pedagang. Hal itu tidak dapat dilakukannya tanpa adanya fisik yang kuat.
Soalnya menunggang kuda tidak mungkin dapat dilakukan untuk mencapai tempat tinggal Sunan Muria. Harus dengan jalan kaki. Itu berarti Sunan
Muria memiliki kesaktian yang tinggi, demikian pula dengan murid-muridnya.
Bukti bahwa Sunan Muria adalah guru yang sakti mandraguna dapat ditemukan dalam kisah perkawinan dengan Dewi Roroyono. Dewi Roroyono
adalah puteri Sunan Ngerang, yaitu seorang ulama yang disegani masyarakat karena ketinggian ilmunya, tempat tinggalnya di Juana.
Demikian saktinya Sunan Ngerang ini sehingga Sunan Muria dan Sunan Kudus sampai-sampai berguru kepada beliau.
Pada suatu hari Sunan Ngerang mengadakan syukuran atas usia Dewi Roroyono yang genap 20 tahun. Murid-muridnya diundang semua. Seperti :
Sunan Muria, Sunan Kudus, Adipati Pathak Warak, Kapa dan Adiknya Gentiri. Tetangga dekat jua diundang, demikian pula snak kadang yang dari
jauh.
Setelah tamu berkumpul Dewi Roroyono dan adiknya Dewi Roro Pujiwati keluar menghidangkan makanan dan minuman. Keduanya adalah daradara yang cantik jelita. Terutama Dewi Roroyono yang telah berusia 20 tahun, bagaikan bunga yang sedang mekar-mekarnya.
Bagi Sunan Kudus dan Sunan Muria yang sudah berbekal ilmu agama dapat menahan pandangan matanya sehingga tidak terseret oleh godaan
setan. Tapi seorang murid Sunan Ngerang yang lain yaitu Adipati Pathak Warak memandang Dewi Roroyono dengan mata tidak berkedip melihat
kecantikan gadis itu.
Sewaktu menjadi cantrik atau murid Sunan Ngerang, yaitu ketika Pthak Warak belum menjadi seorang Adipati, Roroyono masih kecil, belum
nampak benar kecantikannya yang mempesona, sekarang gadis itu benar-benar membuat Adipati Pathak Warak tergila-gila. Sepasang matanya
hampir melotot memandangi gadis itu terus menerus.
Karena dibakar api asmara yang menggelora, Pathak Warak tidak tahan lagi. Dia menggoda Roroyono dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas.
Lebih-lebih setelah lelaki itu bertindak kurang ajar.
Tentu saja Roroyono merasa malu sekali, lebih-lebih ketiak lelaki itu berlaku kurang ajar dengan memegangi bagian-bagian tubuhnya yang tak
pantas disentuh. Si gadis naik pitam, nampan berisi minuman yang dibawanya sengaja ditumpahkan ke pakaian sang adipati.
Pathak Warak menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali diperlakukan seperti itu. Apalagi dilihatnya para tamu undangan menertawakan
kekonyolan itu, diapun semakin malu. Hampir saja Roroyono ditamparnya kalau tidak ingat bahwa gadis itu adalah puteri gurunya.
Roroyono masuk kedalam kamarnya, gadis itu menangis sejadi-jadinya karena dipermalukan oleh Pathak Warak.
Malam hari tamu-tamu dari dekat sudah pulang ketempatnya masing-masing. Tamu dari jauh terpaksa menginap di rumah Sunan Ngerang,
termasuk Pathak Warak dan Sunan Muria. Namun hingga lewat tengah malam Pathak Warak belum dapat memejamkan matanya.
Pathak Warak kemudian bangkit dari tidurnya. Mengendap-ngendap ke kamar Roroyono. Gadis itu diserepnya sehingga tidak sadarkan diri,
kemudian melalui genteng Pathak Warak masuk dan membawa lari gadis itu melalui jendela. Dewi Roroyono dibaw alari ke Mandalika, wilayah
Keling atau Kediri.
Setelah Sunan Ngerang mengetahui bahwa puterinya diculik oleh Pathak Warak, maka beliau berikrar siapa saja yang berhasil membawa puterinya
kembali ke ngerang akan dijodohkan dengan puterinya itu dan bila perempuan akan dijadikan saudara Dewi Roroyono. Tak ada yang menyatakan
kesanggupannya. Karena semua orang telah maklum akan kehebatan dan kekejaman Pathak Warak. Hanya Sunan Muria yang bersedia memnuhi
harapan Sunan Ngerang.
Saya akan berusaha mengambil Diajeng Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, kata Sunan Muria.
Tetapi ditengah perjalan Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan Gentiri, adik seperguruan yang lebih dulu pulang sebelum acara syukuran
berakhir. Kedua orang itu merasa heran melihat Sunan Muria berlari cepat menuju arah daerah Keling.
Mengapa kakang tampak tergesa-gesa? Tanya Kapa. Sunan Muria lalu menceritakan penculikan Dewi Roroyono yang dilakukan oleh Pathak
Warak.
Kapa dan Gentiri sangat menghormati Sunan Muria sebagai saudara seperguruan yang lebih tua. Keduanya lantas menyatakan diri untuk
membantu Sunan Muria merebut kembali Dewi Roroyono.
Kakang sebaiknya pulang ke Padepokan Gunung Muria. Murid-murid kakang sangat membutuhkan bimbingan. Biarlah kami berusaha merebut
diajeng Dewi Roroyono kembali. Kalau berhasil kakang tetap berhak mengawininya, kami hanya sekedar membantu, kata kapa.
Itu benar, tapi membimbing orang memperdalam agama Islam lebih penting, percayalah pada kami. Kami pasti sanggup merebutnya kembali, kata
kapa ngotot.
Sunan Muria akhirnya meluluskan permintaan adik seperguruannya itu. Rasanya tidak enak menolak seseorang yang hendak berbuat baik. Lagi
pula ia harus menengok para santrinya di padepokan Gunung Muria.
Untuk merebut Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, Kapa dan Gentiri ternyata minta bantuan seorang Wiku Lodhang Datuk di pulau Sprapat
yang dikenal sebagai tokoh sakti yang jarang tandingannya. Usaha itu berhasil. Dewi Roroyono dikembalikan ke Ngerang.
Hari berikutnya Sunan Muria hendak ke Ngerang. Ingin mengetahui perkembangan usaha Kapa dan Gentiri. Ditengah jalan beliau bertemu dengan
Adipati Pathak Warak.
Pathak Warak yang sedang naik kuda terpaksa berhenti karena Sunan Muria menghadang didepannya.
Goblok!! Dewi Roroyono sudah dibawa Kapa dan Gentiri!! Kini aku hendak mengejar mereka!! Umpat Pathak Warak.
Kalau begitu langkahi dulu mayatku, Dewi Roroyono telah dijodohkan denganku, ujar Sunan Muria sambil pasang kuda-kuda.
Tanpa basa basi Pathak Warak melompat dari punggung kuda. Dia merangkak ke arah Sunan Muria dengan jurus-jurus cakar harimau. Tapi dia
bukan tandingan putera Sunan Kalijaga yang memiliki segudang kesaktian.
Hanya dalam beberapa kali gebrakan, Pathak Warak telah jatuh atau roboh di tanah dalam keadaan fatal. Seluruh kesaktiannya lenyap dan ia
menjadi lumpuh, tak mampu untuk bangkit berdiri apalagi berjalan.
Sunan Muria kemudian meneruskan perjalanan ke Juana. Kedatangannya disambut gembira oleh Sunan Ngerang. Karena Kapa dan entiri telah
bercerita jujur bahwa mereka sendirilah yang memaksa mengambil alih tugas Sunan Muria mencari Dewi Roroyono, maka Sunan Ngerang pada
akhirnya menjodohkan Dewi Roroyono dengan Sunan Muria. Upacara pernikahan pun segera dilaksanakan.
Kapa dan Gentiri yang berjasa besar itu diberi hadiah tanah di desa Buntar. Dengan hadiah itu keduanya sudah menjadi orang kaya yang hidupnya
serba berkecukupan.
Sedang Sunan Muria memboyong isterinya ke Padepokan Gunung Muria. Mereka hidup Bahagia, karena merupakan pasangan yang ideal.
Tidak demikian halnya dengan Kapa dan Gentiri. Sewaktu membawa Dewi Roroyono dari keling ke Ngerang agaknya mereka terlanjur terpesona
oleh kecantikan wanita jelita itu. Siang malam mereka tidak bisa tidur. Wajah wanita itu senantiasa terbayang. Namun karena wanita itu sudah
diperisteri kakak seperguruannya mereka tak dapat berbuat apa-apa lagi. Hanya penyesalan yang menghujam didada. Mengapa mereka dulu
terburu-buru menawarkan jasa baiknya. Betapa enaknya Sunan Muria, tanpa bersusah payah sekarang menikmati kebahagiaan bersama gadis yang
mereka dambakan. Inilah hikmah ajaran agama agar lelaki diharuskan menahan pandangan matanya dan menjaga kehotmatan (kemaluan) mereka.
Andaikata Kapa dan Gentiri tidak memandang terus menerus kearah wajah dan tubuh Dewi Roroyono yang indah itu pasti mereka tidak akan
terpesona dan tidak terjerat oleh iblis yang memasang perangkap pada pandangan mereka.
Kini Kapa dan Gentiri benar-benar telah dirasuki iblis. Mereka bertekad hendak merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan Muria. Mereka telah
sepakat untuk menjadikan wanita itu sebagai isteri bersama secara bergiliran. Sungguh keji rencana mereka.
Gentiri berangkat lebih dahulu ke Gunung Muria. Namun ketika ia hendak melaksanakan niatnya dipergoki oleh murid Sunan Muria, terjadilah
pertempuran dahsyat. Apalagi ketika Sunan Muria keluar menghadapi Gentiri, suasana menjadi semakin panas. Akhirnya gentiri tewas menemui
ajalnya di puncak Gunung Muria.
Kematian Gentiri cepat tersebar ke berbagai daerah. Tapi tidak membuat surut niat Kapa. Kapa cukup cerdik. Dia datang ke gunung Muria secara
diam-diam dimalam hari. Tak seorangpun yang mengetahuinya.
Kebetulan pada saat itu Sunan Muria dan beberapa murid pilihannya sedang bepergian ke Demak Bintoro. Kapa menyerep murid-murid Sunan
Muria yang berilmu rendah, yang ditugaskan menjaga Dewi Roroyono. Kemudian yang dengan mudahnya Kapa menculik dan membawa wanita
impiannya itu ke pulau sprapat.
Pada saat yang sama, sepulangnya dari Demak Bintoro. Sunan Muria bermaksud mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang Datuk di pulau
Sprapat. Ini biasanya dilakukannya bersahabat dengan pemeluk agama lain bukanlah suatu dosa. Terlebih sang Wiku itu pernah meneolongnya
merebut Dewi Roroyono dari Pathak Warak.
Seperti ajaran Sunan Kalijaga yang mampu hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain dalam suatu negeri. Lalu ditunjukkan akhlak Islam
yang mulia dan agung. Bukannya berdebat tentang perbedaan agama itu sendiri. Dengan menerapkan ajaran-ajaran akhlak yang mulia itu nyatanya
banyak pemeluk agama lain yang pada akhirnya tertarik dan masuk Islam secara sukarela.
Ternyata, kedatangan Kapa ke pulau Sparapat itu tidak disambut baik oleh Wiku Lodhang Datuk.
Memalukan! Benar-benar nista perbuatanmu itu! Cepat kembalikan isteri kakang seperguruanmu sendiri itu! Hardik Wiku Lodhang Datuk dengan
marah.
Bapa Guru ini bagaiman, bukakah aku ini muridmu? Mengapa tidak kau bela? Protes Kapa.
Sampai matipun aku takkan sudi membela kebejatan budi pekerti walau pelakunya itu muridku sendiri !
Perdebatan antara guru dengan murid itu berlangsung lama. Tanpa mereka sadari Sunan Muria sudah sampai ditempat itu. Betapa terkejutnya
Sunan Muria melihat isterinya sedang tergolek ditanah dalam keadaan terikat kaki dan tangannya. Sementara Kapa dilihatnya sedang adu mulut
dengan gurunya yaitu Wiku Lodhang Datuk.
Begitu mengetahui kedatangan Sunan Muria, Kapa Langsung melancarkan serangan dengan jurus-jurus maut. Wiku Lodhang Datuk menjauh,
melangkah menuju Dewi Roroyono untuk membebaskan belenggu yang dilakukan Kapa.
Bersamaan dengan selesainya sang Wiku membuka tali yang mengikat tubuh Dewi Roroyono. Tiba-tiba terdengar jeritan keras dari mulut Kapa.
Ternyata serangan dengan pengerahan aji kesaktian yang dilakukan Kapa berbalik menghantam dirinya sendiri. Itulah ilmu yang dimiliki Sunan
Muria. Mampu membalikkan serangan lawan.
Karena Kapa menggunakan aji pamungkas yaitu puncak kesaktian yang dimilikinya maka ilmu itu akhirnya merenggut nyawanya sendiri.
Maafkan saya tuan Wiku.,ujar Sunan Muria agak menyesal. Tidak mengapa. Menyesal aku turut memberikan ilmu kepadanya. Ternyata ilmu itu
digunakan untuk jalan kejahatan, gumam Sang Wiku.
Bagaimanapun Kapa adalah muridnya, pantaslah kalau dia menguburkannya secara layak.
Pada akhirnya Dewi Roroyono dan Sunan Muria kembali ke Padepokan dan hidup bahagia.
Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat Sunda di Pulau Jawa bagian b
Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga mengh
bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Dictionary of the Sunda Languag
Jonathan Rigg, yang diterbitkan pada tahun 1862 di Batavia, menuliskan bahwa angklung adalah alat musik yang terbuat dari pipa-pipa bamb
dipotong ujung-ujungnya, menyerupai pipa-pipa dalam suatu organ, dan diikat bersama dalam suatu bingkai, digetarkan untuk menghasilkan
Angklung terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak November 2010.
Tidak ada petunjuk sejak kapan angklung digunakan, tetapi diduga bentuk primitifnya telah digunakan dalam kultur Neolitikum yang berkem
Nusantara sampai awal penanggalan modern, sehingga angklung merupakan bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan Nusantara.
Catatan mengenai angklung baru muncul merujuk pada masa Kerajaan Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik ba
seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan
pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip).
Masyarakat Baduy, yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian dari ritual mengawali
penanaman padi. Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau.
Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi agar tanaman padi rakya
tumbuh subur.
Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah bambu hitam (awi wulung) dan bambu putih (awi temen). Tiap nada (lar
dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk bilah (wilahan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.
Teknik permainan angklung
emainkan sebuah angklung sangat mudah. Seseorang tinggal memegang rangkanya pada salah satu tangan (biasanya tangan kiri) sehingga angklung te
bas, sementara tangan lainnya (biasanya tangan kanan) menggoyangnya hingga berbunyi. Dalam hal ini, ada tiga teknik dasar menggoyang angklung:
Kurulung (getar), merupakan teknik paling umum dipakai, dimana tangan kanan memegang tabung dasar dan menggetarkan ke kiri-kanan berkali-kali s
da ingin dimainkan
Centok (sentak), adalah teknik dimana tabung dasar ditarik dengan cepat oleh jari ke telapak tangan kanan, sehingga angklung akan berbunyi sekali saja
acato).
engkep, mirip seperti kurulung namun salah satu tabung ditahan tidak ikut bergetar. Pada angklung melodi, teknik ini menyebabkan angklung mengelu
da murni (satu nada melodi saja, tidak dua seperti biasanya). Sementara itu pada angklung akompanimen mayor, teknik ini digunakan untuk memainka
ayor (3 nada), sebab bila tidak ditengkep yang termainkan adalah akord dominan septim (4 nada).
Fungsi
Masa kerajaan Sunda, angklung digunakan di antaranya sebagai penyemangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa seman
rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan
angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya dimainkan oleh anak- anak pada waktu itu.
Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu
dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Demikian pula pada saat p
panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian
menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdan
Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.
HALO