Anda di halaman 1dari 80

Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 14.

Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-GresikLamongan-Tuban di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia,
khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap
kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

Arti Walisongo[sunting | sunting sumber]

Masjid Agung Demak, diyakini sebagai salah satu tempat berkumpulnya para wali yang paling awal.

Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain
menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang
berarti tempat.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang pertama kali didirikan olehSunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808
Hijriah).[1] Para Walisongo adalah pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai
dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.

Nama para Walisongo[sunting | sunting sumber]


Dari nama para Walisongo tersebut, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:

Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim

Sunan Ampel atau Raden Rahmat

Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim

Sumber tertulis tentang Walisongo[sunting | sunting sumber]


1. Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang Walisongo, antara lain Serat Walisanga karya Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab Walisongo karya Sunan Dalem
(Sunan Giri II) yang merupakan anak dari Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad Tanah Jawi.
2. Mantan Mufti Johor Sayyid `Alw b. Thir b. `Abdallh al-Haddd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur
Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan di antaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah
Jawi sangking Hadramaut.
3. Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, 'Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams alZahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan
Sunan Gresik.

Sunan Ampel adalah salah seorang wali di antara Walisongo yang menyebarkan ajaran Islam di Pulau Jawa. Ia lahir 1401 diChampa. Ada dua pendapat mengenai lokasi Champa ini.
Encyclopedia Van Nederlandesh Indie mengatakan bahwa Champa adalah satu negeri kecil yang terletak di Kamboja. Pendapat lain, Raffles menyatakan bahwa Champa terletak
di Aceh yang kini bernamaJeumpa. Menurut beberapa riwayat, orang tua Raden Rahmat, nama lain Sunan Ampel, adalah Maulana Malik Ibrahim (menantu Sultan Champa dan ipar
Dwarawati). Dalam catatan Kronik Cina dari Klenteng Sam Po Kong, Sunan Ampel dikenal sebagai Bong Swi Hoo, cucu dari Haji Bong Tak Keng - seorang Tionghoa
(suku Hui beragama Islam mazhab Hanafi) yang ditugaskan sebagai Pimpinan Komunitas Cina di Champa oleh Sam Po Bo. Sedangkan Yang Mulia Ma Hong Fu - menantu Haji Bong Tak
Keng ditempatkan sebagai duta besar Tiongkok di pusat kerajaan Majapahit, sedangkan Haji Gan En Cu juga telah ditugaskan sebagai kapten Cina di Tuban. Haji Gan En Cu kemudian
menempatkan menantunya Bong Swi Hoo sebagai kapten Cina di Jiaotung (Bangil). [1][2]
Sementara itu seorang putri dari Kyai Bantong (versi Babad Tanah Jawi) alias Syaikh Bantong (alias Tan Go Hwat menurut Purwaka Caruban Nagari) menikah dengan Prabu Brawijaya V
(alias Bhre Kertabhumi) kemudian melahirkan Raden Fatah. Namun tidak diketahui apakah ada hubungan antara Ma Hong Fu dengan Kyai Bantong.
Dalam Serat Darmo Gandhul, Sunan Ampel disebut Sayyid Rahmad merupakan keponakan dari Putri Champa permaisuri Prabu Brawijaya yang merupakan seorang muslimah.
Raden Rahmat dan Raden Santri adalah anak Makhdum Ibrahim (putra Haji Bong Tak Keng), keturunan suku Hui dari Yunnan yang merupakan percampuran bangsa Han/Tionghoa
dengan bangsa Arab dan Asia Tengah (Samarkand/Asmarakandi). Raden Rahmat, Raden Santri dan Raden Burereh/Abu Hurairah (cucu raja Champa) pergi ke Majapahit mengunjungi bibi

mereka bernama Dwarawati puteri raja Champa yang menjadi permaisuri raja Brawijaya. Raja Champa saat itu merupakan seorang muallaf. Raden Rahmat, Raden Santri dan Raden
Burereh akhirnya tidak kembali ke negerinya karena Kerajaan Champa dihancurkan oleh Kerajaan Veit Nam.
Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (= Hikayat Banjar resensi I), nama asli Sunan Ampel adalah Raja Bungsu, anak Sultan Pasai. Dia datang ke Majapahit menyusul/menengok
kakaknya yang diambil istri oleh Raja Mapajahit. Raja Majapahit saat itu bernama Dipati Hangrok dengan mangkubuminya Patih Maudara (kelak Brawijaya VII) . Dipati Hangrok
(alias Girindrawardhana alias Brawijaya VI) telah memerintahkan menterinya Gagak Baning melamar Putri Pasai dengan membawa sepuluh buah perahu ke Pasai. Sebagai kerajaan Islam,
mulanya Sultan Pasai keberatan jika Putrinya dijadikan istri Raja Majapahit, tetapi karena takut binasa kerajaannya akhirnya Putri tersebut diberikan juga. Putri Pasai dengan Raja
Majapahit memperoleh anak laki-laki. Karena rasa sayangnya Putri Pasai melarang Raja Bungsu pulang ke Pasai. Sebagai ipar Raja Majapahit, Raja Bungsu kemudian meminta tanah
untuk menetap di wilayah pesisir yang dinamakan Ampelgading. Anak laki-laki dari Putri Pasai dengan raja Majapahit tersebut kemudian dinikahkan dengan puteri raja Bali. Putra dari
Putri Pasai tersebut wafat ketika istrinya Putri dari raja Bali mengandung tiga bulan. Karena dianggap akan membawa celaka bagi negeri tersebut, maka ketika lahir bayi ini (cucu Putri
Pasai dan Brawijaya VI) dihanyutkan ke laut, tetapi kemudian dapat dipungut dan dipelihara oleh Nyai Suta-Pinatih, kelak disebut Pangeran Giri. Kelak ketika terjadi huru-hara di ibukota
Majapahit, Putri Pasai pergi ke tempat adiknya Raja Bungsu di Ampelgading. Penduduk desa-desa sekitar memohon untuk dapat masuk Islam kepada Raja Bungsu, tetapi Raja Bungsu
sendiri merasa perlu meminta izin terlebih dahulu kepada Raja Majapahit tentang proses islamisasi tersebut. Akhirnya Raja Majapahit berkenan memperbolehkan penduduk untuk beralih
kepada agama Islam. Petinggi daerah Jipang menurut aturan dari Raja Majapahit secara rutin menyerahkan hasil bumi kepada Raja Bungsu. Petinggi Jipang dan keluarga masuk Islam.
Raja Bungsu beristrikan puteri dari petinggi daerah Jipang tersebut, kemudian memperoleh dua orang anak, yang tertua seorang perempuan diambil sebagai istri oleh Sunan
Kudus (tepatnya Sunan Kudus senior/Undung/Ngudung), sedang yang laki-laki digelari sebagai Pangeran Bonang. Raja Bungsu sendiri disebut sebagai Pangeran Makhdum.

Sejarah dakwah[sunting | sunting sumber]


Syekh Jumadil Qubro (alias Haji Bong Tak Keng), dan kedua anaknya, Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak bersama sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah,
Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan, dan adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudra Pasai.
Di Kerajaan Champa, Maulana Malik Ibrahim berhasil mengislamkan Raja Champa, yang akhirnya mengubah Kerajaan Champa menjadi Kerajaan Islam. Akhirnya dia dijodohkan dengan
putri raja Champa (adik Dwarawati), dan lahirlah Raden Rahmat. Di kemudian hari Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa tanpa diikuti keluarganya.
Sunan Ampel (Raden Rahmat) datang ke pulau Jawa pada tahun 1443, untuk menemui bibinya, Dwarawati. Dwarawati adalah seorang putri Champa yang menikah dengan
rajaMajapahit yang bernama Prabu Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri seorang adipati di Tuban yang bernama Arya Teja. Mereka dikaruniai 4 orang anak, yaitu:
1. Putri Nyai Ageng Maloka,
2. Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang),
3. Syarifuddin (Sunan Drajat)
4. Syarifah, yang merupakan istri dari Sunan Kudus.

Mohlimo[3] atau Molimo, Moh (tidak mau), limo (lima), adalah falsafah dakwah Sunan Ampel untuk memperbaiki kerusakan akhlak di tengah masyarakat pada zaman itu yaitu:
1. Moh Mabok: tidak mau minum minuman keras, khamr dan sejenisnya.
2. Moh Main: tidak mau main judi, togel, taruhan dan sejenisnya.
3. Moh Madon: tidak mau berbuat zina, homoseks, lesbian dan sejenisnya.
4. Moh Madat: tidak mau memakai narkoba dan sejenisnya.
5. Moh Maling: tidak mau mencuri, korupsi, merampok dan sejenisnya.
Pada tahun 1479, Sunan Ampel mendirikan Mesjid Agung Demak. Dan yang menjadi penerus untuk melanjutkan perjuangan dakwah dia di Kota Demak adalah Raden Zainal Abidin yang
dikenal dengan Sunan Demak, dia merupakan putra dia dari istri dewi Karimah.Sehingga Putra Raden Zainal Abidin yang terakhir tercatat menjadi Imam Masjid Agung tersebut yang
bernama Raden Zakaria (Pangeran Sotopuro).
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465, dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim. Dia adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila. Bonang adalah sebuah desa
di kabupaten Rembang. Nama Sunan Bonang diduga adalah Bong Ang sesuai nama marga Bong seperti nama ayahnya Bong Swi Hoo alias Sunan Ampel.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan saat ini makam aslinya berada di Desa Bonang. Namun, yang sering diziarahi adalah makamnya di kota Tuban. Lokasi makam Sunan
Bonang ada dua karena konon, saat dia meninggal, kabar wafatnya dia sampai pada seorang muridnya yang berasal dari Madura. Sang murid sangat mengagumi dia sampai ingin
membawa jenazah dia ke Madura. Namun, murid tersebut tak dapat membawanya dan hanya dapat membawa kain kafan dan pakaian-pakaian dia. Saat melewati Tuban, ada seorang murid
Sunan Bonang yang berasal dari Tuban yang mendengar ada murid dari Madura yang membawa jenazah Sunan Bonang. Mereka memperebutkannya.
Dalam Serat Darmo Gandhul, Sunan Bonang disebut Sayyid Kramat merupakan seorang Arab keturunan Nabi Muhammad.
Sunan Bonang juga terkenal dalam hal ilmu kebathinannya. Ia mengembangkan ilmu (dzikir) yang berasal dari Rasullah SAW, kemudian dia kombinasi dengan kesimbangan
pernapasan[butuh rujukan] yang disebut dengan rahasia Alif Lam Mim ( ) yang artinya hanya Allah SWT yang tahu. Sunan Bonang juga menciptakan gerakan-gerakan fisik atau jurus
yang Dia ambil dari seni bentuk huruf Hijaiyyah yang berjumlah 28 huruf dimulai dari huruf Alif dan diakhiri huruf Ya'. Ia menciptakan Gerakan fisik dari nama dan simbol huruf hijayyah
adalah dengan tujuan yang sangat mendalam dan penuh dengan makna, secara awam penulis artikan yaitu mengajak murid-muridnya untuk menghafal huruf-huruf hijaiyyah dan nantinya
setelah mencapai tingkatnya diharuskan bisa baca dan memahami isi Al-Qur'an. Penekanan keilmuan yang diciptakan Sunan Bonang adalah mengajak murid-muridnya untuk melakukan
Sujud atau Salat dan dzikir. Hingga sekarang ilmu yang diciptakan oleh Sunan Bonang masih dilestarikan di Indonesia oleh generasinya dan diorganisasikan dengan nama Padepokan Ilmu
Sujud Tenaga Dalam Silat Tauhid Indonesia
Sunan Drajat diperkirakan lahir pada tahun 1470 Masehi. Nama kecilnya adalah Raden Qasim, kemudian mendapat gelar Raden Syarifudin. Dia adalah putra dari Sunan Ampel, dan
bersaudara dengan Sunan Bonang.
Ketika dewasa, Sunan Drajat mendirikan pesantren Dalem Duwur di desa Drajat, Paciran, Kabupaten Lamongan.

Sunan Drajat yang mempunyai nama kecil Syarifudin atau raden Qosim putra Sunan Ampel dan terkenal dengan kecerdasannya. Setelah menguasai pelajaran islam ia menyebarkan agama
Islam di desa Drajat sebagai tanah perdikan di kecamatan Paciran. Tempat ini diberikan oleh kerajaan Demak. Ia diberi gelar Sunan Mayang Madu oleh Raden Patah pada tahun saka
1442/1520masehi
Makam Sunan Drajat dapat ditempuh dari Surabaya maupun Tuban lewat Jalan Daendels (Anyar-Panarukan), namun bila lewat Lamongan dapat ditempuh 30 menit dengan kendaraan
pribadi.

Sejarah singkat[sunting | sunting sumber]


Sunan Drajat bernama kecil Raden Syarifuddin atau Raden Qosim putra Sunan Ampel yang terkenal cerdas. Setelah pelajaran Islam dikuasai, ia mengambil tempat di Desa Drajat wilayah
Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan sebagai pusat kegiatan dakwahnya sekitar abad XV dan XVI Masehi. Ia memegang kendali keprajaan di wilayah perdikan Drajat sebagai
otonom kerajaan Demak selama 36 tahun.
Ia sebagai Wali penyebar Islam yang terkenal berjiwa sosial, sangat memperhatikan nasib kaum fakir miskin. Ia terlebih dahulu mengusahakan kesejahteraan sosial baru memberikan
pemahaman tentang ajaran Islam. Motivasi lebih ditekankan pada etos kerja keras, kedermawanan untuk mengentas kemiskinan dan menciptakan kemakmuran.
Usaha ke arah itu menjadi lebih mudah karena Sunan Drajat memperoleh kewenangan untuk mengatur wilayahnya yang mempunyai otonomi.
Sebagai penghargaan atas keberhasilannya menyebarkan agama Islam dan usahanya menanggulangi kemiskinan dengan menciptakan kehidupan yang makmur bagi warganya, ia
memperoleh gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Patah Sultan Demak pada tahun saka 1442 atau 1520 Masehi.

Filosofi Sunan Drajat[sunting | sunting sumber]


Filosofi Sunan Drajat dalam pengentasan kemiskinan kini terabadikan dalam sap tangga ke tujuh dari tataran komplek Makam Sunan Drajat. Secara lengkap makna filosofis ke tujuh sap
tangga tersebut sebagai berikut :
1. Memangun resep tyasing Sasoma (kita selalu membuat senang hati orang lain)
2. Jroning suka kudu ling lan waspada (di dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada)
3. Laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah (dalam perjalanan untuk mencapai cita - cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan)
4. Mpr Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu)
5. Heneng - Hening - Henung (dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita - cita luhur).
6. Mulya guna Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan salat lima waktu)
7. Mnhana teken marang wong kang wuta, Mnhana mangan marang wong kang luw, Mnhana busana marang wong kang wuda, Mnhana ngiyup marang wong kang
kodanan (Berilah ilmu agar orang menjadi pandai, Sejahterakanlah kehidupan masyarakat yang miskin, Ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu, serta beri
perlindungan orang yang menderita)

TDiantara

para wali, mungkin Sunan Drajat yang punya nama paling banyak. Semasa muda ia dikenal sebagai Raden Qasim, Qosim, atawa Kasim.
Masih banyak nama lain yang disandangnya di berbagai naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden
Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat.
Dia adalah putra Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyi Ageng Manila, alias Dewi Condrowati. Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah
Sunan Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri, Nyi Ageng Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang disunting
Sunan Kalijaga. Akan halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah yang mengungkapkan jejaknya.
Ada diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia
diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak
berkembang menjadi legenda.
Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah
dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia
ditolong ikan cucut dan ikan talang --ada juga yang menyebut ikan cakalang.
Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak,
Banjarwati. Menurut tarikh, persitiwa ini terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama
Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.
Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim
kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan
akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk.
Jelak, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi kampung besar yang ramai. Namanya berubah menjadi
Banjaranyar. Selang tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari
banjir pada musim hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.
Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat
dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin oleh Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah perbukitan di
selatan. Lahan berupa hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai daerah angker.
Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan itu. Mereka meneror penduduk pada malam hari, dan
menyebarkan penyakit. Namun, berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi. Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat bersama
para pengikutnya membangun permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.

Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan, yang kini menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai
Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah menyampaikan
ajaran Islam kepada penduduk.
Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522. Di tempat itu kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan
barang-barang peninggalan Sunan Drajat --termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal
Sunan kini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.
Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik melalui
perkataan maupun perbuatan. ''Bapang den simpangi, ana catur mungkur,'' demikian petuahnya. Maksudnya: jangan mendengarkan pembicaraan
yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.
Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya,
Sunan menempuh lima cara. Pertama, lewat pengajian secara langsung di masjid atau langgar. Kedua, melalui penyelenggaraan pendidikan di
pesantren. Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu masalah.
Cara keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat tembang pangkur dengan iringan gending. Terakhir, ia juga
menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring teken marang kang kalunyon lan wuta; paring pangan marang kang kaliren; paring sandang
marang kang kawudan; paring payung kang kodanan. Artinya: berikan tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada yang kelaparan; berikan
pakaian kepada yang telanjang; dan berikan payung kepada yang kehujanan.
Sunan Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari perkampungan pada malam hari. Penduduk merasa aman dan
terlindungi dari gangguan makhluk halus yang, konon, merajalela selama dan setelah pembukaan hutan. Usai salat asar, Sunan juga berkeliling
kampung sambil berzikir, mengingatkan penduduk untuk melaksanakan salat magrib.
''Berhentilah bekerja, jangan lupa salat,'' katanya dengan nada membujuk. Ia selalu menelateni warga yang sakit, dengan mengobatinya
menggunakan ramuan tradisional, dan doa. Sebagaimana para wali yang lain, Sunan Drajat terkenal dengan kesaktiannya. Sumur Lengsanga di
kawasan Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan ketika ia merasa kelelahan dalam suatu perjalanan.
Ketika itu, Sunan meminta pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi hutan. Ketika Sunan kehausan, ia berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas
umbi itu memancar air bening --yang kemudian menjadi sumur abadi. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat disebut-sebut menikahi tiga
perempuan. Setelah menikah dengan Kemuning, ketika menetap di Desa Drajat, Sunan mengawini Retnayu Condrosekar, putri Adipati Kediri,
Raden Suryadilaga.

Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi. Menurut Babad Tjerbon, istri pertama Sunan Drajat adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan
Gunung Jati. Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Raden Qasim sempat dikirim ayahnya berguru mengaji kepada Sunan Gunung Jati. Padahal,
Syarif Hidayatullah itu bekas murid Sunan Ampel.
Di kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga kini, memang ada tradisi ''saling memuridkan''. Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah
menikahi Dewi Sufiyah, Raden Qasim tinggal di Kadrajat. Ia pun biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada
juga yang menyebutnya Syekh Syarifuddin.
Bekas padepokan Pangeran Drajat kini menjadi kompleks perkuburan, lengkap dengan cungkup makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat,
Kecamatan Kesambi. Di sana dibangun sebuah masjid besar yang diberi nama Masjid Nur Drajat. Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat
mengisahkan bahwa dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga putra.
Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran Sandi, dan anak ketiga Dewi Wuryan. Ada pula kisah yang
menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menikah dengan Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai empat putra. Namun, kisah ini agak kabur,
tanpa meninggalkan jejak yang meyakinkan.
Tak jelas, apakah Sunan Drajat datang di Jelak setelah berkeluarga atau belum. Namun, kitab Wali Sanga babadipun Para Wali mencatat: ''Duk
samana anglaksanani, mangkat sakulawarga....'' Sewaktu diperintah Sunan Ampel, Raden Qasim konon berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika benar,
di mana keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah? Para ahli sejarah masih mengais-ngais naskah kuno untuk menjawabnya.

Sunan Bonang

Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnyaRaden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan
bernama
Nyi
Ageng
Manila,
puteri
seorang
adipati
di
Tuban.
Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia
berdakwah
di
Kediri,
yang
mayoritas
masyarakatnya
beragama
Hindu.
Di
sana
ia
mendirikan
Masjid
Sangkal
Daha.

Ia kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah
sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi
panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit. Ia acap berkunjung ke
daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat
Masjid
Agung,
setelah
sempat
diperebutkan
oleh
masyarakat
Bawean
dan
Tuban.
Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih,
usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang. Ajaran
Sunan Bonang berintikan pada filsafat cinta(isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif
(makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam
hal
ini,
Sunan
Bonang
bahu-membahu
dengan
murid
utamanya,
Sunan
Kalijaga.
Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah Suluk Wijil yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu

Said Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi,
Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri. Sunan Bonang juga menggubah gamelanJawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru.
Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong
kecintaan
pada
kehidupan
transedental
(alam
malakut).
Tembang Tombo
Ati adalah
salah
satu
karya
Sunan
Bonang.
Sumber : www.g-excess.com

Sunan Gunung Jati

Syech Syarief Hidayatulloh dilahirkan Tahun 1448 Masehi. Ayahanda Syech Syarief Hidayatulloh adalah Syarief Abdullah, seorang dari Mesir keturunan ke 17 Rosulullah
SAW, bergelar Sultan Maulana Muhamad, Ibunda Syech Syarief Hidayatullah adalah Nyai Rara Santang dan setelah masuk Islam berganti nama menjadi Syarifah Mudaim
adalah Putri Prabu Siliwangi dari kerajaan Padjajaran. Syech Syarief Hidayatullah berkelana untuk belajar Agama Islam dan sampai di Cirebon pada tahun 1470 Masehi.
Syech Syarief Hidayatullah dengan didukung uwanya, Tumenggung Cerbon Sri Manggana Cakrabuana alias Pangeran Walangsungsang dan didukung Kerajaan Demak,
dinobatkan
menjadi
Raja
Cerbon
dengan
gelar
Maulana
Jati
pada
tahun
1479.
Sejak itu pembangunan insfrastruktur Kerajaan Cirebon kemudian dibangun dengan dibantu oleh Sunan Kalijaga, Arsitek Demak Raden Sepat, yaitu Pembangunan Keraton
Pakungwati, Masjid Agung Sang Cipta Rasa, jalan pinggir laut antara Keraajaan Pakungwati dan Amparan Jati serta Pelabuhan Muara Jati.

Syech Maulana Jati pada Tahun 1526 Masehi, menyebarkan Islam sampai Banten dan menjadikannya Daerah Kerajaan Cirebon. Dan pada Tahun 1526 Masehi juga tentara
Kerajaan Cirebon dibantu oleh Kerajaan Demak dipimpin oleh Panglima Perang bernama Fatahillah merebut Sunda Kelapa dan Portugis, dan diberi nama baru yaitu
Jayakarta.
Pada tahun 1533 Masehi, Banten menjadi Kasultanan Banten dengan Sultannya adalah Putra dari Syech Maulana Jati yaitu Sultan Hasanuddin.
Syech Maulana Jati salah seorang Wali Sanga yang mempekenalkan visi baru bagi masyarakat tentang apa arti menjadi Pemimpin, apa makna Masyarakatm, apa Tujuan,
Masyarakat,
bagaimana
seharusnya
berkiprah
di
dalam
dunia
ini
lewat
Proses
Pemberdyaan.
Syech Maulan Jati melakukan tugas dakwah menyebarkan Agama Islam ke berbagai lapisan Masyarakat dengan dukungan personel dan dukungan aspek organisasi
kelompok Forum Walisanga, dimana forum Walisanga secara efektif dijadikan sebagai organisasi dan alat kepentingan dakwah, merupakan siasat yang tepat untuk
mempercepat
teresebarnya
Agama
Islam.
Syech

Maulana

Tanggal

Jati

berpulang

Jawanya

ke

Rahmatullah

adalah

pada
11

tanggal

26

Rayagung

Krisnapaksa

tahun

891

bulan

Hijriah

atau

Badramasa

bertepatan

dengan

tahun

tahun

1568

1491

Masehi.
Saka.

Meninggal dalam usia 120 tahun, sehingga Putra dan Cucunya tidak sempat memimpin Cirebon karena meninggal terlebih dahulu. Sehingga cicitnya yang memimpin
setelah
Syech
Maulana
Jati.
Syech

Syarief

Hidayatullah

kemudian

Referensi : http://kolom-biografi.blogspot.com

Sunan Kudus

dikenal

dengan

Sunan

Gunung

Jati

karena

dimakamkan

di

Bukit

Gunung

Jati.

Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah
salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang.
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara
berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali (yang
kesulitan
mencari
pendakwah
ke
Kudus
yang
mayoritas
masyarakatnya
pemeluk
teguh)
menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk
menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di
halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al-Baqarah
yang
berarti
"sapi
betina".
Sampai
sekarang,
sebagian
masyarakat
tradisional
Kudus,
masih
menolak
untuk
menyembelih
sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah
pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur
saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.

Sunan Drajat

Sunan Drajat diperkirakan lahir pada tahun 1470 masehi. Nama kecilnya adalah Raden Qasim, kemudian mendapat gelar Raden Syarifudin. Dia adalah putra dari Sunan
Ampel,
dan
bersaudara
dengan
Sunan
Bonang.
Ketika

dewasa,

Sunan

Drajat

mendirikan

pesantren

Dalem

Duwur

di

desa

Drajat,

Paciran

Kabupaten

Lamongan.

Sunan Drajat yang mempunyai nama kecil Syarifudin atau raden Qosim putra Sunan Ampel dan terkenal dengan kecerdasannya. Setelah menguasai pelajaran islam beliau
menyebarkan agama islam di desa Drajad sebagai tanah perdikan di kecamatan Paciran. Tempat ini diberikan oleh kerajaan Demak. Ia diberi gelar Sunan Mayang Madu
oleh
Raden
Patah
pada
tahun
saka
1442/1520
masehi
Makam Sunan Drajat dapat ditempuh dari surabaya maupun Tuban lewat Jalan Daendels (Anyer - Panarukan), namun bila lewat Lamongan dapat ditempuh 30 menit
dengan
kendaran
pribadi.
Sunan Drajat bernama kecil Raden Syarifuddin atau Raden Qosim putra Sunan Ampel yang terkenal cerdas. Setelah pelajaran Islam dikuasai, beliau mengambil tempat di
Desa Drajat wilayah Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan sebagai pusat kegiatan dakwahnya sekitar abad XV dan XVI Masehi. Ia memegang kendali keprajaan di
wilayah
perdikan
Drajat
sebagai
otonom
kerajaan
Demak
selama
36
tahun.

Beliau sebagai Wali penyebar Islam yang terkenal berjiwa sosial, sangat memperhatikan nasib kaum fakir miskin. Ia terlebih dahulu mengusahakan kesejahteraan sosial
baru memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Motivasi lebih ditekankan pada etos kerja keras, kedermawanan untuk mengentas kemiskinan dan menciptakan
kemakmuran. Usaha ke arah itu menjadi lebih mudah karena Sunan Drajat memperoleh kewenangan untuk mengatur wilayahnya yang mempunyai otonomi.
Sebagai penghargaan atas keberhasilannya menyebarkan agama Islam dan usahanya menanggulangi kemiskinan dengan menciptakan kehidupan yang makmur bagi
warganya, beliau memperoleh gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Patah Sultan Demak pada tahun saka 1442 atau 1520 Masehi.

Filosofi Sunan Drajat dalam pengentasan kemiskinan kini terabadikan dalam sap tangga ke tujuh dari tataran komplek Makam Sunan Drajat. Secara lengkap makna
filosofis
ke
tujuh
sap
tangga
tersebut
sebagai
berikut :

1. Memangun resep teyasing Sasomo (kita selalu membuat senang hati orang lain)
2. Jroning suko kudu eling Ian waspodo (di dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada)
3. Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah (dalam perjalanan untuk mencapai cita - cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk
rintangan)
4. Meper Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu)
5. Heneng - Hening - Henung (dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita - cita luhur).
6. Mulyo guno Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan salat lima waktu)
7. Menehono teken marang wong kang wuto, Menehono mangan marang wong kang luwe, Menehono busono marang wong kang wudo, Menehono ngiyup marang
wongkang kodanan (Berilah ilmu agar orang menjadi pandai, Sejahterakanlah kehidupan masyarakat yang miskin, Ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya
malu, serta beri perlindungan orang yang menderita)

Dalam sejarahnya Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang Wali pencipta tembang Mocopat yakni Pangkur. Sisa - sisa gamelan Singomeng koknya Sunan Drajat kini
tersimpan
di
Musium
Daerah.
Untuk menghormati jasa - jasa Sunan Drajat sebagai seorang Wali penyebar agama Islam di wilayah Lamongan dan untuk melestarikan budaya serta benda- benda
bersejarah peninggalannya Sunan Drajat, keluarga dan para sahabatnya yang berjasa pada penyiaran agama Islam, Pemerintah Kabupaten Lamongan mendirikan Musium
Daerah Sunan Drajat disebelah timur Makam. Musium ini telah diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur tanggal 1 Maret 1992.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara

penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah
berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang. Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di
pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.

Mereka yang melacak jejak Sunan Bonang setidaknya akan mendapatkan


tiga lokasi pemakaman, yang jika para juru kuncinya ditanggapi
terlalu serius, tentu akan menjadi bingung - karena tiada cara untuk
membuktikan kesahihannya.
Kerancuan ini disebabkan antara lain karena sejak awal tidak
terbedakan, mana yang makam dan mana yang petilasan: tempat para
wali pernah tinggal, mengajar, atau sekadar lewat saja. Meski
begitu, petilasan boleh dianggap tak kalah penting dengan makam,
karena makam sebetulnya hanyalah tempat para beliau dikubur,
sedangkan petilasan justru merupakan atmosfer lingkungan hidup
seorang wali ratusan tahun silam.
Apabila petilasan yang menjadi ukuran, maka jumlah lokasi yang
terhubungkan dengan Sunan Bonang menjadi empat.
Kisah empat lokasi
Lokasi pertama, dan yang paling populer, adalah makam di belakang
Mesjid Agung Tuban. Barang siapa berkunjung ke sana akan melihat
suatu kontras, antara Mesjid Agung Tuban yang arsitekturnya megah
dan berwarna-warni itu, dengan astana masjid Sunan Bonang di
belakangnya yang sederhana. Di dekat astana mesjid yang mungil
itulah terletak makam Sunan Bonang. Untuk mencapai tempat itu kita
harus menyusuri gang sempit di samping mesjid besar, bagaikan
perlambang atas keterpinggiran alam mistik dalam kehidupan pragmatik
masa kini.
Lokasi kedua adalah petilasan di sebuah bukit di pantai utara Jawa,
antara Rembang dan Lasem, tempat yang dikenal sebagai mBonang, dan
dari sanalah memang ternisbahkan nama sang sunan. Di kaki bukit itu
konon juga terdapat makam Sunan Bonang, tanpa cungkup dan tanpa
nisan, hanya tertandai oleh tanaman bunga melati. Namun atraksi

utama justru di atas bukit, tempat terdapatnya batu yang digunakan


sebagai alas untuk shalat - di batu itu terdapat jejak kaki Sunan
Bonang, konon kesaktiannya membuat batu itu melesak.
Situs ini berdampingan dengan makam Putri Cempo (Cempa, Campa) dan
ini terjelaskan oleh cerita tutur bahwa Sunan Bonang adalah putra
Sunan Ngampel Denta yang berasal dari Cempa tersebut - seperti
teruraikan dalam Intisari bulan lalu. Sunan Bonang telah memindahkan
makam putri Darawati atau Andarawati yang merupakan maktuanya
tersebut dari makam lama di Citra Wulan (bertarikh Jawa 1370 alias
1448 Masehi, mungkin maksudnya di wilayah ibukota Majapahit) ke
Karang Kemuning, Bonang, tak dijelaskan kenapa. Namun keterangan ini
muncul sebagai catatan kaki atas cerita tentang perampasan barangbarang berharga Demak ketika direbut Mataram, dalam KerajaanKerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (1974)
karya Graaf dan Pigeaud.
Lokasi ketiga adalah makam Sunan Bonang di Tambak Kramat, Pulau
Bawean. Ketika Intisari melacak ke pulau terpencil antara Jawa dan
Kalimantan tersebut, terdapat dua makam Sunan Bonang di tepi pantai dan tiada cara untuk memastikan mana yang lebih masuk akal, meski
untuk sekadar "dikira" sebagai makam Sunan Bonang. Salah satu makam
memang tampak lebih terurus, karena dibuatkan "rumah" dan diberi
kelambu - sedang makam satunya masih harus bersaing pengakuan dengan
spekulasi lain bahwa itu sebenarnya makam seorang pelaut dari
Sulawesi yang kapalnya karam di sekitar Bawean.
Dengan begitu, sudah terdapat tiga situs yang disebut sebagai makam
Sunan Bonang. Tentang makam di Bawean terdapat legenda yang bisa
diikuti dari Islamisasi di Jawa: Walisongo, Penyebar Islam di Jawa,
Menurut Penuturan Babad (2000) karya Ridin Sofwan, Wasit, dan
Mundiri. Konon setelah Sunan Bonang wafat di Bawean, murid-muridnya
di Tuban menghendaki agar Sunan Bonang dimakamkan di Tuban, tetapi
para santri di Bawean berpendapat sebaiknya dimakamkan di Bawean
saja, mengingat lamanya perjalanan menyeberangi laut. Syahdan, para
penjaga jenazah di Bawean telah disirep (ditidurkan dengan mantra)

oleh mereka yang datang Bawean telah disirep (ditidurkan dengan


mantra) oleh mereka yang datangmalam hari dari Tuban.
Dikisahkan betapa kuburan dibongkar {versi lain, dalam Misteri Syekh
Siti Jenar: Peranan Walisongo dalam Mengislamkan Tanah Jawa (2004)
karya Hasanu Simon, jenazah masih di tengah ruangan dan jenazah
dibawa berlayar ke Tuban malam itu juga, untuk dimakamkan di dekat
astana mesjid Sunan Bonang. Meskipun begitu, menurut para santri
Bawean, yang berhasil dibawa ke Tuban sebetulnya hanyalah salah satu
kain kafan; sebaliknya menurut para santri Tuban, yang terkubur di
Bawean juga hanyalah salah satu kain kafan.
Lokasi keempat adalah sebuah tempat bernama Singkal di tepi Sungai
Brantas di Kediri. Konon dari tempat itu, seperti dituturkan dalam
Babad Kadhiri, Sunan Bonang melancarkan dakwah tetapi gagal
mengislamkan Kediri. Ketika laskar Belanda-Jawa pada 1678 menyerang
pasukan Trunajaya di daerah itu, mereka menemukan mesjid yang
digunakan sebagai gudang mesiu, seperti dilaporkan Antonio Hurdt.
Menurut Graaf dan Pigeaud, "Adanya mesjid yang cukup penting di
Singkal pada abad ke-17 menyebabkan legenda yang mengisahkan tempat
itu sebagai pusat propaganda agama Islam pada permulaan abad ke-16
menjadi agak lebih dapat dipercaya." Tentang Babad Kadhiri itu
sendiri, yang disebutkan telah dibicarakan G.W.J. Drewes, dianggap
Graaf dan Pigeaud sebagai "kurang penting bagi sejarawan, yang
mencari peristiwa-peristiwa yang serba pasti."
Meskipun Hasanu Simon meragukan Sunan Bonang pernah pergi ke Bawean,
berdasarkan faktor usia dan kesulitan perjalanan masa lalu,
tersebutnya Sunan Bonang di berbagai tempat ini membenarkan penemuan
Graaf dan Pigeaud. "Menurut cerita, Wali Lanang di Malaka memberikan
tugas-tugas berbeda tetapi senada kepada kedua muridnya: Santri
Bonang pada umumnya harus menyebarkan (dan memang, kenyataannya
kelak Sunan Bonang banyak menjelajahi daerah-daerah), tetapi Raden
Paku harus menetap di Giri (dan tentang dia tidak diberitakan
perjalanan-perjalanan jauh)." Kedua sejarawan ini juga sama sekali
tidak menghubungkan Sunan Bonang dengan Bawean.

Siapakah Sunan Bonang?


Berdasarkan cerita tutur dari berbagai sumber tersebutkan Sunan
Bonang adalah putra Sunan Ngampel Denta dari istrinya yang bernama
Nyai Ageng Manila (sumber lain menyebut Dewi Candrawati, putri dari
Majapahit), dan kelak ia menjadi imam yang pertama di Mesjid Demak.
Diperkirakan lahir antara 1440 atau 1465, dan meninggal 1525, masa
pelajaran ditempuh di bawah ayahnya, dengan saudara seperguruan
Raden Paku yang kelak menjadi Sunan Giri. Namanya sendiri adalah
Makdum Ibrahim dan karena tidak pernah menikah, atau setidaknya tak
berputra, ia juga disebut Sunan Wadat Anyakra Wati.
Konon ia dan Raden Paku bermaksud naik haji ke Mekah, dan sebelumnya
berguru kepada Abdulisbar atau Dulislam di Pasai (versi lain Wali
Lanang, kali ini ayah Raden Paku, di Malaka), tetapi yang kemudian
diminta kembali ke Jawa oleh gurunya. Menurut Abdul Hadi WM dalam
Sunan Bonang, Perintis dan Pendekar Sastra Suluk (1993), "Pada tahun
1503, setelah beberapa tahun jabatan imam mesjid dipegangnya, dia
berselisih paham dengan Sultan Demak dan meletakkan jabatan, lalu
pindah ke Lasem. Di situ dia memilih Desa Bonang sebagai tempat
tinggalnya. Di Bonang dia mendirikan pesantren dan pesujudan (tempat
tafakur), sebelum akhirnya kembali ke kampung halamannya, Tuban."
Sangat terkenal kisahnya sebagai wali yang memberikan Raden Sahid
alias Brandal Lokajaya suatu pencerahan, sehingga kelak menjadi
pendakwah sinkretik ulung bernama Sunan Kalijaga. Namun dalam Serat
Dermagandul yang baru ditulis tahun 1879, yang bersikap negatif
terhadap para wali, seperti diteliti Denys Lombard dalam Nusa Jawa,
Silang Budaya 2: Jaringan Asia (1990), Sunan Bonang "digambarkan
sebagai tokoh kasar dan tidak tahu malu." Tentu saja ini bagian
dari "politik dongeng" yang sering bisa dilacak atas berbagai
legenda, mengingat tokoh Sabdopalon dan Nayagenggong dalam karya itu
digambarkan menolak masuk Islam.
Sementara itu, sejauh cerita yang menyebut Sunan Bonang sebagai
putra Sunan Ngampel Denta bisa dipercaya, Sunan Bonang tentu

tergolong keturunan orang Cam - tepatnya keturunan orang asing yang


menyebarkan Islam di Jawa. Mungkinkah ini yang membuat orang
berspekulasi bahwa nama Sunan Bonang berasal dari Lim Bun An bahkan
juga Bong Ang atau Bong Bing Nang, sementara Sunan Ngampel Denta
tersebut sebagai Bong Swie Hoo? Tentu maksudnya bahwa para wali ini
adalah keturunan Tionghoa, seperti disebut tanpa argumentasi
meyakinkan dalam Tuanku Rao (1964) oleh Mangaraja Onggang
Parlindungan maupun dalam Kalidjaga (1956) oleh Hadiwidjaja.
Spekulasi ini hanya meyakinkan sejauh menyangkut Raden Patah, sultan
Demak yang pertama, seperti terbahas dalam Arus Cina-Islam-Jawa:
Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam
di Nusantara Abad XV & XVI (2003) karya Sumanto Al Qurtuby. Tentang
para wali, jangankan sebagai keturunan Tionghoa, sedangkan
keberadaan mereka secara historik saja hanya bisa dibeberkan dengan
spekulasi yang sangat hati-hati, melalui analisis teliti terhadap
sumber-sumber yang nyaris merupakan dongeng. Para sejarawan lebih
cenderung merujukkan cerita tentang ketionghoaan itu, untuk menafsir
fakta keberadaan komunitas Muslim Tionghoa, yang sudah bertebaran di
berbagai daerah pantai di Jawa Timur sejak abad ke-15. Hilda
Soemantri dalam Majapahit Terracotta Art (1997) misalnya menunjuk
keramik "orang berturban" di antara keramik "orang
Tartar", "Tionghoa tertawa", maupun "Tionghoa bertopi", yang
menunjukkan ketertarikan para seniman keramik Majapahit kepada orangorang asing, termasuk yang beragama Muslim, di daerah pantai.
Ini tentu saja mendukung "teori Cina" sebagai salah satu teori
tentang kedatangan Islam di Pulau Jawa, terutama melalui Tuban dan
Gresik. Pengembara dari Tiongkok, Ma Huan, mencatat adanya Xin Cun
(Kampung Baru) di Gresik yang berpenduduk seribu orang Tionghoa asal
Guangdong dan Zhangzhou. Sebegitu jauh, pelacakan atas keberadaan
Sunan Ngampel Denta, yang disebut sebagai ayah Sunan Bonang, hanya
terujuk kepada keberadaan bangsa Cam dan terdapatnya poros Jawa
Timur-Campa - dan kitab seperti Serat Dermagandul adalah
bentuk "perlawanan" kepercayaan lama setelah Islam menjadi dominan
di Jawa pada abad ke-19.

Tentang "kitab Bonang"


Sarjana Belanda B.Schrieke menulis tesis Het Boek van Bonang pada
1916, seperti mengandaikan bahwa manuskrip yang dibahasnya adalah
karya atau ajaran Sunan Bonang. Sayang sekali bahwa penamaan "Kitab
Bonang" itu tidak dianggap tepat, juga oleh Graaf dan Pigeaud,
karena tidak ada bukti meyakinkan bahwa naskah itu memang ditulis
oleh Sunan Bonang. Meski begitu, disetujui bahwa manuskrip tersebut
memberi gambaran tentang ajaran Islam macam apa yang dominan
didakwahkan pada abad ke-16, jadi mungkin pula diajarkan seorang
wali seperti Sunan Bonang, sebagai pengenalan pertama kepada orangorang yang jika tidak memeluk agama Buddha atau Hindu, tentu memeluk
kepercayaan sebelum agama besar yang mana pun tiba di Jawa.
Tesis Schrieke itu kemudian dikoreksi oleh Drewes, dan diberi
terjemahan bahasa Inggris sebagai The Admonitions of Seh Bari
(1969). Manuskrip yang dimaksud, seperti diuraikan Abdul Hadi WM,
rupanya terdiri dari sejumlah suluk - suatu genre dalam kesusastraan
Jawa, Sunda, dan Madura yang memang muncul pertama kali abad ke-15
bersama penyebaran Islam. Bukan kebetulan agaknya, karena suluk
berarti jalan kerohanian, isinya adalah ajaran-ajaran tasawuf. Dalam
hal manuskrip terbincangkan ini, khususnya yang berjudul Suluk Wujil
(koreksian Purbatjaraka terhadap Schrieke yang menyebutnya Suluk
Dulil), disebutkan Purbatjaraka sebagai ajaran rahasia untuk orangorang tertentu saja. Rahasia artinya tidak begitu saja bisa
dipahami, seperti dapat diperiksa dari kutipan-kutipan berikut:
"Tak ada orang tahu di mana Mekkah yang hakiki berada, sekalipun
mereka melakukan perjalanan sejak muda hingga tua renta. Mereka tak
akan sampai ke tujuan. Kecuali apabila seseorang mempunyai bekal
ilmu yang cukup, ia akan dapat sampai di Mekkah dan malahan sesudah
itu akan menjadi wali.
"Apabila seseorang sembahyang di sana, maka hanya ada ruangan untuk
satu orang saja. Jika ada dua atau tiga orang yang bersembahyang,
maka ruangan itu juga akan cukup untuk dua tiga orang itu saja.

Namun jika terdapat 10.000 orang bersembahyang di sana, maka Ka'bah


dapat menampung mereka semua. Bahkan seandainya seluruh dunia akan
dimasukkan ke sana, maka seluruh dunia akan tertampung juga."
Teks seperti ini, disebutkan Abdul Hadi WM sebagai, "... kerap
menimbulkan persoalan. Baik golongan kebatinan maupun ortodoks
jarang dapat memberi tafsir yang sesuai dan bermanfaat terhadap
hakikat ajaran para sufi." Manuskrip ini disalah tafsirkan Schrieke
sebagai karya Sunan Bonang, kemungkinan besar karena tokoh bernama
Sunan Bonang muncul dalam Suluk Wujil, sebagai guru tasawuf tokoh
Wujil yang berarti cebol. Purbatjaraka dalam Kepustakaan Djawa
(1952) menduga karya itu ditulis oleh "sastrawan Jawa yang menjadi
murid sang wali". Sementara berdasarkan penelitiannya, menurut
Drewes penulisnya adalah Seh Bari dari Karang, daerah Banten.
Terutama dalam suluk tersebut, unsur-unsur kerohanian Jawa klasik
dan tasawuf Islam terpadukan. Kisahnya sendiri mewadahi gagasan
zaman peralihan: Wujil, seorang terpelajar Majapahit yang
meninggalkan aga Hindu dan beralih menjadi penganut Islam.
Dengan demikian, meski dari sudut ilmu sejarah tidak bisa dipastikan
bahwa Sunan Bonang yang menulis Suluk Wujil, dari manuskrip tersebut
tergambarkan segi-segi wajd (ekstase mistis) dan kasyf
(tersingkapnya mata batin) yang akan membawa seseorang kepada
kesadaran supralogis, atau bisa disebut dimensi mistik, yang layak
diduga sebagai daya tarik bagi orang-orang Jawa abad ke-15 dan 16
untuk menerima Islam.

Agama Islam telah menyebar luas di tanah Jawa hingga sampailah berita ini kepada para pendeta Brahmana dari India. Salah
seorang Brahmana tersebut adalah Sakyakirti.
Maka, bersama beberapa orang muridnya, ia berlayar menuju Pulau Jawa. Tak lupa, dibawanya juga kitab-kitab referensi yang
telah dipelajari untuk dipergunakan adu debat dengan para penyebar Islam di Tanah Jawa itu.
"Aku Brahmana Sakyakirti, akan menantang Sunan Bonang untuk berdebat dan adu kesaktian," sumpah Brahmana sembari
berdiri di atas geladak di buritan kapal layar.

"Jika dia kalah, maka akan aku tebas batang lehernya. Jika dia yang menang aku akan bertekuk lutut untuk mencium telapak
kakinya. Akan aku serahkan jiwa ragaku kepadanya," si Brahmana melanjutkan sumpah. Murid-muridnya yang setia berdiri dan
mengikutinya dari belakang untuk menjadi saksi atas sumpah yang diucapkan di tengah samudera.
Badai Datang.
Namun ketika kapal yang ditumpanginya sampai di perairan Tuban, mendadak laut yang tadinya tenang tiba-tiba bergolak hebat.
Angin dari segala penjuru seolah berkumpul menjadi satu, menghantam air laut sehingga menimbulkan badai setinggi bukit.
Dengan kesaktiannya, Brahmana Sakyakirti mencoba menggempur badai yang hendak menerjang kapal layarnya. Satu kali, dua
kali hingga empat kali Brahmana ini dapat menghalau terjangan badai. Namun kali ke lima, dia sudah mulai kehabisan tenaga
hingga membuat kapal layarnya langsung tenggelam ke dalam laut. Dengan susah payah dicabutnya beberapa batang balok kayu
untuk menyelamatkan diri dan menolong beberapa orang muridnya agar jangan sampai tenggelam ke dasar samudera.
Walaupun pada akhirnya ia dan para pengikutnya berhasil menyelamatkan diri, namun kitab-kitab referensi yang hendak
dipergunakan untuk berdebat dengan Sunan Bonang telah kut tenggelam ke dasar laut.
Padahal kitab-kitab itu didapatkannya dengan susah payah dan cara mempelajarinya pun juga tidak mudah. Ia harus belajar
Bahasa Arab terlebih dahulu, pura-pura masuk Islam dan menjadi murid ulama besar di negeri Gujarat. Kini, setelah sampai di
perairan Laut Jawa, tiba-tiba kitab-kitab yang tebal itu hilang musnah di telan air laut.
Meski demikian, niatnya untuk mengadu ilmu dengan Sunan Bonang tak pernah surut.
Ia dan murid-muridnya telah terdampar di tepi pantai yang tak pernah dikenalnya. Ia bingung harus kemana untuk mencari
Sunan Bonang. Ia menoleh ke sana kemari namun tak seorang pun yang lewat di daerah itu.
Bertemu Lelaki Berjubah Putih.

Pada saat hampir dalam keputusasaan, tiba-tiba di kejauhan ia melihat seorang lelaki berjubah putih sedang berjalan sembari
membawa tongkat. Ia dan murid-muridnya segera berlari menghampiri dan menghentikan langkah orang itu. Lelaki berjubah
putih itu menghentikan langkahnya dan menancapkan tongkatnya ke pasir.
"Kisanak, kami datang dari India hendak mencari seorang ulama besar bernama Sunan Bonang. Dapatkah kisanak memberitahu
di mana kami bisa bertemu dengannya?" tanya sang Brahmana.
"Untuk apa Tuan mencari Sunan Bonang?" tanya lelaki itu.
"Akan saya ajak berdebat tentang masalah keagamaan," jawab sang Brahmana.
"Tapi sayang, kitab-kitab yang saya bawa telah tenggelam ke dasar laut. Meski demikian niat saya tak pernah padam. Masih ada
beberapa hal yang dapat saya ingat sebagai bahan perdebatan," kata Sakyakirti.
Tanpa banyak bicara, lelaki berjubah putih itu mencabut tongkatnya. Mendadak saja tersembur air dari bekas tongkat tersebut
dan air itu membawa keluar semua kitab yang dibawa sang Brahmana.
"Itukah kitab-kitab Tuan yang tenggelam ke dasar laut?" tanya lelaki itu.
Sang Brahmana dan pengikutnya kemudian memeriksa kitab-kitab itu, dan tenyata benar milik sang Brahmana. Berdebarlah hati
sang Brahmana sembari menduga-duga siapakah sebenarnya lelaki berjubah putih itu.
Murid-murid sang Brahmana yang kehausan sejak tadi segera saja menyerobot air jernih yang memancar itu. Brahmana
Sakyakirti memandangnya dengan rasa kuatir, jangan-jangan murid-muridnya itu akan segera mabuk karena meminum air di tepi
laut yang pastilah banyak mengandung garam.
"Segar...Aduuh...segarnya..." seru murid-murid sang Brahmana dengan girangnya.
Brahmana Sakyakirti termenung.Bagaimana mungkin air di tepi pantai terasa segar. Ia mencicipinya sedikit dan ternyata
memang segar rasanya.

Rasa herannya menjadi-jadi terlebih jika berpikir tentang kemampuan lelaki berjubah putih itu yang mampu menciptakan lubang
air yang memancar dan mampu menghisap kitab-kitab yang tenggelam ke dasar laut.
Sang Brahmana berpikir bahwa lelaki berjubah putih itu bukanlah lelaki sembarangan.
Dia mengira bahwa lelaki itu telah mengeluarkan ilmu sihir, akhirnya dia mengerahkan ilmunya untuk mendeteksi apakah semua
itu benar hanya sihir. Namun setelah dikerahkan segala kemampuannya, ternyata bukan sulap, bukan ilmu sihir, tapi nyata.
Bukti, yang menurut urang Sunda sih bukti kalawan nyata, bubuk roti dina mata.
Sang Brahmana Jatuh Tersungkur.
Seribu Brahmana yang ada di India pun tak akan mampu melakukan hal itu, pikir Brahmana dalam hati. Dengan perasaan takut
dan was-was, ia menatap wajah lelaki berjubah itu.
"Mungkinkah lelaki ini adalah Sunan Bonang yang termasyhur itu?" gumannya dalam hati.
Akhirnya sang Brahmana memberanikan diri untuk bertanya kepada lelaki itu.
"Apakah nama daerah tempat saya terdampar ini?" tanya Brahmana dengan hati yang berkebat-kebit.
"Tuan berada di pantai Tuban," jawab lelaki berjubah putih itu.
Begitu mendengar jawaban lelaki itu, jatuh tersungkurlah sang Brahmana beserta murid-muridnya. Mereka menjatuhkan diri
berlutut di hadapan lelaki itu. Mereka sudah yakin sekali bahwa lelaki inilah yang bernama Sunang Bonang yang terkenal
sampai ke Negeri India itu.
"Bangunlah, untuk apa kalian berlutut kepadaku? Bukankah sudah kalian ketahui dari kitab-kitab yang kalian pelajari bahwa
sangat terlarang bersujud kepada sesama makhluk. Sujud hanya pantas dipersembahkan kepada Allah Yang Maha Agung," kata
lelaki berjubah putih itu yang tak lain memang benar Sunan Bonang.

"Ampun...Ampunilah saya yang buta ini, tak melihat tingginya gunung di depan mata, ampunkan saya...," rintih sang Brahmana
meminta dikasihani.
"Bukankah Tuan ingin berdebat denganku dan mengadu kesaktian?" kata Sunan Bonang.
"Mana saya berani melawan paduka, tentulah ombak dan badai yang menyerang kapal kami juga ciptaan paduka, kesaktian
paduka tak terukur tingginya. Ilmu paduka tak terukur dalamnya," kata Brahmana Sakyakirti.
"Engkau salah, aku tidak mampu menciptakan ombak dan badai, hanya Allah SWT saja yang mampu menciptakan dan
menggerakkan seluruh makhluk. Allah melindungi orang yang percaya dan mendekat kepada-Nya dari segala macam bahaya
dan niat jahat seseorang," ujar Sunan Bonang.
Memang kedatangannya bermaksud jahat ingin membunuh Sunan Bonag melalui adu kepandaian dan kesaktian. Ternyata
niatnya tak kesampaian. Apa yang telah dibacanya dalam kitab-kitab yang telah dipelajari telah terbukti.
Bahwa Barang siapa yang memusuhi para wali-Nya, maka Allah akan megumumkan perang kepadanya. Menantang Sunan
Bonang sama saja dengan menantang Allah SWT yang mengasihi Sunan Bonang sendiri. Hatinya ketakutan, bagaimana jadinya
bilamana niatnya kesampaian. Bukan Sunan Bonang yang akan dibunuh, malah bisa sebaliknya dia sendiri yang akan binasa
karena murka Tuhan.
Setelah kejadian tersebut, akhirnya sang Brahmana dan murid-muridnya rela memeluk agama islam atas kemauannya sendiri tanpa paksaan. Sang
Brahmana dan pengikutnya telah menjadi murid dari Sunan Bonang. [ ]

Fakta mengenai Sunan Kudus[sunting | sunting sumber]


Sunan Kudus berhasil menampakkan warisan budaya dan tanda dakwah islamiyahnya yang dikenal dengan pendekatan kultural yang begitu kuat. Hal ini sangat nampak jelas pada Menara
Kudus yang merupakan hasil akulturasi budaya antara Hindu-China-Islam yang sering dikatakan sebagai representasi menara multikultural. Aspek material dari Menara Kudus yang
membawa kepada pemaknaan tertentu melahirkan ideologi pencitraan tehadap Sunan Kudus. Oleh Roland Barthes disebut dengan mitos (myth), yang merupakan system komunikasi yang
memuat pesan (sebuah bentuk penandaan). Ia tak dibatasi oleh obyek pesannya, tetapi cara penuturan pesannya. Mitos Sunan Kudus selain dapat ditemui pada peninggalan benda cagar
budayanya, juga bisa ditemukan di dalam sejarah, gambar, legenda, tradisi, ekspresi seni maupun cerita rakyat yang berkembang di kalangan masyarakat Kudus. Kini ia populer sebagai
seorang wali yang toleran, ahli ilmu, gagah berani, kharismatik, dan seniman.

Satu fakta utama yang dapat masyarakat lihat pada mata uang kertas Rp. 5.000,00 dengan gambar Menara Kudus. Ini merupakan suatu bentuk apresiasi dari Gubernur Bank Indonesia
yang dijabat oleh Arifin Siregar pada masa itu. Berikut petikan sambutannya: Kami sewaktu bertugas sebagai Gubernur Bank Indonesia mendapat kesempatan untuk mengeluarkan
uang kertas Lima Ribu Rupiah dengan gambar Menara Kudus. Hal ini kami lakukan antara lain mengingat keindahan dan kenggunan Menara Kudus. Disamping itu Menara Kudus
merupakan salah satu peninggalan sejarah Indonesia yang perlu dilestarikan dan diperkenalkan kepada masyarakat kita dan juga khalayak luar negeri.
Mengenai hari jadi kota Kudus sendiri (23 September 1549, berdasarkan Perda No. 11 Tahun 1990 yang diterbitkan tanggal 6 Juli 1990) memang tak bisa dilepaskan dari patriotisme
Sunan Kudus sendiri. Bukti nyatanya dapat dilihat dalam inskripsi yang terdapat pada Mihrab di Masjid Al-Aqsa Kudus yang dibangun pada 956 H/1549 M oleh Sunan Kudus. Maka
dalam setiap perayaan hari jadinya tak pernah lupa semangat dan patriotisme Sunan Kudus dalam memajukan rakyat dan ummatnya. [3]
Menurut Muliadi via Castles (1982); Ismudiyanto dan Atmadi (1987); dan Suharso (1992), menyebutkan bahwa: Dalam sejarah, Kudus Kulon dikenal sebagai kota lama dengan diwarnai
oleh kehidupan keagamaan dan adat istiadatnya yang kuat dan khas serta merupakan tempat berdirinya Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus; serta merupakan pusat tempat berdirinya
rumah-rumah asli (adat pencu). Sementara Kudus Wetan terletak di sebelah Timur Sungai Gelis, dan merupakan daerah pusat pemerintahan, pusat transportasi, dan daerah pusat
perdagangan.
Salah satu bentuknya ialah tarian Buka Luwur yang menggambarkan sejarah perjalanan masyarakat Kudus sepeninggal Sunan Kudus hingga terbentuk satuan wilayah yang disebut Kudus.
Tradisi ini telah menjadi kegiatan rutin pengurus Menara Kudus setiap tanggal 10 Muharram dengan dukungan umat Islam baik di Kudus maupun sekitarnya. Ini merupakan prosesi
pergantian kelambu pada makam Sunan Kudus diiringi doa-doa dan pembacaan kalimah toyyibah (tahlil, shalawat, istigfar, dan surat-surat pendek al-quran yang sebelumnya telah
didahului dengan khataman quran secara utuh).
Ada lagi tradisi Dhandangan yang digelar setahun sekali menjelang bulan Ramadhan. Pada masa Sunan Kudus tradisi ini ditandai dengan pemukulan bedug di atas Menara Kudus
(berbunyi dhang dhang dhang). Tradisi ini pun memperkuat eksistensi Sunan Kudus. Selain itu masyarakat Kudus hingga saat ini tak pernah berani menyembelih sapi/lembu sebagai suatu
penghormatan kepada Sunan Kudus yang mana dakwahnya menekankan unsure kebijaksanaan dan toleransi karena kala itu masyarakat Kudus masih beragama Hindu yang menyucikan
hewan lembu. Kini, setiap Kamis malam makam Kanjeng Sunan Kudus selalu ramai oleh peziarah dengan beragam latar beragam latar belakang dan etnis, dari berbagai daerah. Mereka
datang dengan beragam cara, baik sendiri maupun bersama rombongan. Pada momen-momen tertentu ada yang datang dari mancanegara. [4]
Fenomena pencitraan ini berhasil menjadi sumber penggerak dalam bertindak (untuk beberapa hal), Bourdieu menyebutnya sebagai tindakan yang bermakna baik keberagamaan maupun
fenomena budaya lainnya. Citra Sunan Kudus dalam masyarakat Kudus telah melewati kuasa dan pertarungan sistem tanda yang merekontruksi budaya lokal mereka. Suatu tandanya dapat
dihubungkan dengan tanda lain yang dapat ditemui dalam model keberagamaan maupun kontruksi budaya masyarakat agama (Islam). Jadilah mereka memiliki identitas keislaman yang
khas dan unik serta memiliki warisan spirit dan patriotisme yang melegenda. Hal ini terus digali hingga menjadi model dalam sosial-budaya dan sikap keberagamaan umat Islam (suatu
identitas kultural).[5]

Pendidikan Sunan Kudus[sunting | sunting sumber]


Kanjeng Sunan Kudus (selanjutnya disingkat KSK) banyak berguru kepada Sunan Kalijaga dan ia menggunakan gaya berdakwah ala gurunya itu yang sangat toleran pada budaya
setempat serta cara penyampaian yang halus. Didekatinya masyarakat dengan memakai simbol-simbol Hindu-Budha seperti yang nampak pada gaya arsitektur Masjid Kudus. Suatu waktu
saat KSK ingin menarik simpati masyarakat untuk mendatangi masjid guna mendengarkan tabligh akbarnya, ia tambatkan Kebo Gumarang (sapinya) di halaman masjid. Masyarakat yang

saat itu memeluk agama Hindu pun bersimpati, dan semakin bersimpati selepas mendengarkan ceramah KSK mengenai sapi betina atau Al-Baqarah dalam bahasa Al-qurannya. Teknik
lainnya lagi adalah dengan mengubah cerita ketauhidan menjadi berseri, betujuan menarik rasa penasaran masyarakat.

Dakwah Sunan Kudus[sunting | sunting sumber]


Ia adalah Sunan Kudus yang bernama asli Syekh Jafar Shodiq. Ia pula yang menjadi salah satu dari anggota Wali Sanga sebagai penyebar Islam di Tanah Jawa. Sosok Sunan Kudus begitu
sentral dalam kehidupan masyarakat Kudus dan sekitarnya. Kesentralan itu terwujud dikarenakan Sunan Kudus telah memberikan pondasi pengajaran keagamaan dan kebudayaan yang
toleran.
Tak heran, jika hingga sekarang makam ia yang berdekatan dengan Menara Kudus selalu ramai diziarahi oleh masyarakat dari berbagai penjuru negeri. Selain itu, hal tersebut sebagai bukti
bahwa ajaran toleransi Sunan Kudus tak lekang oleh zaman dan justru semakin relevan ditengah arus radikalisme dan fundamentalisme beragama yang semakin marak dewasa ini.
Dalam perjalanan hidupnya, Sunan Kudus banyak berguru kepada Sunan Kalijaga. Cara berdakwahnya pun sejalan dengan pendekatan dakwah Sunan Kalijaga yang menekankan kearifan
lokal dengan mengapresiasi terhadap budaya setempat.
Beberapa nilai toleransi yang diperlihatkan oleh Sunan Kudus terhadap pengikutnya yakni dengan melarang menyembelih sapi kepada para pengikutnya. Bukan saja melarang untuk
menyembelih, sapi yang notabene halal bagi kaum muslim juga ditempatkan di halaman masjid kala itu.
Langkah Sunan Kudus tersebut tentu mengundang rasa simpatik masyarakat yang waktu itu menganggap sapi sebagai hewan suci. Mereka kemudian berduyun-duyun mendatangi Sunan
Kudus untuk bertanya banyak hal lain dari ajaran yang dibawa oleh ia.
Lama-kelamaan, bermula dari situ, masyarakat semakin banyak yang mendatangi masjid sekaligus mendengarkan petuah-petuah Sunan Kudus. Islam tumbuh dengan cepat. Mungkin akan
menjadi lain ceritanya jika Sunan Kudus melawan arus mayoritas dengan menyembelih sapi.
Selain berdakwah lewat sapi, bentuk toleransi sekaligus akulturasi Sunan Kudus juga bisa dilihat pada pancuran atau padasan yang berjumlah delapan yang sekarang difungsikan sebagai
tempat berwudlu. Tiap-tiap pancurannya dihiasi dengan relief arca sebagai ornamen penambah estetika. Jumlah delapan pada pancuran mengadopsi dari ajaran Budha yakni Asta Sanghika
Marga atau Delapan Jalan Utama yang menjadi pegangan masyarakat saat itu dalam kehidupannya. Pola akulturasi budaya lokal Hindu-Budha dengan Islam juga bisa dilihat dari
peninggalan Sunan Kudus berupa menara. Menara Kudus bukanlah menara yang berarsitektur bangunan Timur Tengah, melainkan lebih mirip dengan bangunan Candi Jago atau serupa
juga dengan bangunan Pura di Bali.
Menara tersebut difungsikan oleh Sunan Kudus sebagai tempat adzan dan tempat untuk memukul bedug setiap kali datangnya bulan Ramadhan. Kini, menara yang konon merupakan
menara masjid tertua di wilayah Jawa tersebut dijadikan sebagai landmark Kabupaten Kudus.
Strategi (akulturasi) dakwah Sunan Kudus adalah suatu hal yang melampaui zamannya. Melampaui zaman karena dakwah dengan mengusung nilai-nilai akulturasi saat itu belumlah ramai
dipraktikkan oleh penyebar Islam di Indonesia pada umumnya.

Kini, toleransi beragama berada di titik nadir. Ironisnya, toleransi beragama tak cuma menjadi barang mahal tetapi sudah terlalu langka. Dengan jalan menghidupkan kembali esensi serta
spirit dakwah Sunan Kudus, kiranya masyarakat muslim bisa mengembalikan lagi wajah Islam yang ramah dan toleran setelah sebelumnya dihinggapi oleh stigma negatif.Ajaran Toleransi
Ala Sunan Kudus.[5]
Sunan Kalijaga atau Sunan Kalijogo adalah seorang tokoh Wali Songo yang sangat lekat dengan Muslim di Pulau Jawa, karena kemampuannya memasukkan pengaruh Islam ke dalam
tradisi Jawa. Makamnya berada di Kadilangu, Demak.
Daftar isi
[sembunyikan]

1Riwayat
o

1.1Kelahiran

1.2Silsilah

1.3Pernikahan

1.4Berda'wah
2Wafat

Riwayat[sunting | sunting sumber]


Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit(berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan
Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiranKerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang
pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.

Kelahiran[sunting | sunting sumber]


Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden Said. Dia adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan
Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa
Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan Kalijaga berdiam di sana, dia sering berendam di sungai (kali), atau jaga kali.

Silsilah[sunting | sunting sumber]


Mengenai asal usulnya, ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa ia juga masih keturunan Arab. Tapi, banyak pula yang menyatakan ia orang Jawa asli. Van Den Berg menyatakan
bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Sementara itu menurut Babad Tubanmenyatakan bahwa Aria
Teja alias 'Abdul Rahman berhasil mengislamkan Adipati Tuban, Aria Dikara, dan mengawini putrinya. Dari perkawinan ini ia memiliki putra bernama Aria Wilatikta. Menurut catatan
Tome Pires, penguasa Tuban pada tahun 1500 M adalah cucu dari peguasa Islam pertama di Tuban. Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said adalah putra Aria Wilatikta. Sejarawan lain seperti
De Graaf membenarkan bahwa Aria Teja I ('Abdul Rahman) memiliki silsilah dengan Ibnu Abbas, paman Muhammad. Sunan Kalijaga mempunyai tiga anak salah satunya adalah Umar
Said atau Sunan Muria.

Pernikahan[sunting | sunting sumber]


Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, dan mempunyai 3 putra: R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh danDewi
Sofiah. Maulana Ishak memiliki anak bernama Sunan Giri dan Dewi Saroh. Mereka adalah kakak beradik.

Berda'wah[sunting | sunting sumber]


Menurut cerita, Sebelum menjadi Walisongo, Raden Said adalah seorang perampok yang selalu mengambil hasil bumi di gudang penyimpanan Hasil Bumi. Dan hasil rampokan itu akan ia
bagikan kepada orang-orang yang miskin. Suatu hari, Saat Raden Said berada di hutan, ia melihat seseorang kakek tua yang bertongkat. Orang itu adalah Sunan Bonang. Karena tongkat
itu dilihat seperti tongkat emas, ia merampas tongkat itu. Katanya, hasil rampokan itu akan ia bagikan kepada orang yang miskin. Tetapi, Sang Sunan Bonang tidak membenarkan cara itu.
Ia menasihati Raden Said bahwa Allah tidak akan menerima amal yang buruk. Lalu, Sunan Bonang menunjukan pohon aren emas dan mengatakan bila Raden Said ingin mendapatkan
harta tanpa berusaha, maka ambillah buah aren emas yang ditunjukkan oleh Sunan Bonang. Karena itu, Raden Said ingin menjadi murid Sunan Bonang. Raden Said lalu menyusul Sunan
Bonang ke Sungai. Raden Said berkata bahwa ingin menjadi muridnya. Sunan Bonang lalu menyuruh Raden Said untuk bersemedi sambil menjaga tongkatnya yang ditancapkan ke tepi
sungai. Raden Said tidak boleh beranjak dari tempat tersebut sebelum Sunan Bonang datang. Raden Said lalu melaksanakan perintah tersebut. Karena itu,ia menjadi tertidur dalam waktu
lama. Karena lamanya ia tertidur, tanpa disadari akar dan rerumputan telah menutupi dirinya. Tiga tahun kemudian, [[[Sunan Bonang]] datang dan membangunkan Raden Said. Karena ia
telah menjaga tongkatnya yang ditanjapkan ke sungai, maka Raden Said diganti namanya menjadi Kalijaga. Kalijaga lalu diberi pakaian baru dan diberi pelajaran agama oleh Sunan
Bonang. Kalijaga lalu melanjutkan dakwahnya dan dikenal sebagai Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik
(pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil
memengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam
mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundulgundul Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu("Petruk Jadi Raja"). Lanskap pusat
kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.

Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen,Banyumas,
serta Pajang.

Wafat[sunting | sunting sumber]


Ketika wafat, ia dimakamkan di Desa Kadilangu, dekat kota Demak (Bintara). Makam ini hingga sekarang masih ramai diziarahi orang - orang dari seluruh indonesia

Sunan Muria dilahirkan dengan nama Raden Umar Said atau Raden Said. Menurut beberapa riwayat, dia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi Soejinah,
putri Sunan Ngandung. Nama Sunan Muria sendiri diperkirakan berasal dari nama gunung (Gunung Muria), yang terletak di sebelah utara kota Kudus, Jawa Tengah, tempat dia
dimakamkan.
Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah nama salah seorang Walisongo, yang dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia
dimakamkan di desa Gapurosukolilo, kota Gresik, Jawa Timur.
Daftar isi
[sembunyikan]

1Asal keturunan

2Penyebaran agama

3Legenda rakyat

4Filsafat

5Wafat

6Lihat pula

7Referensi

Asal keturunan[sunting | sunting sumber]


Tidak terdapat bukti sejarah yang meyakinkan mengenai asal keturunan Maulana Malik Ibrahim, meskipun pada umumnya disepakati bahwa ia bukanlah orang Jawa asli. Sebutan Syekh
Maghribi yang diberikan masyarakat kepadanya, kemungkinan menisbatkan asal keturunannya dari wilayah Arab Maghrib di Afrika Utara.
Babad Tanah Jawi versi J.J. Meinsma menyebutnya dengan nama Makhdum Ibrahim as-Samarqandy, yang mengikuti pengucapan lidah Jawa menjadi Syekh Ibrahim Asmarakandi. Ia
memperkirakan bahwa Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14.[1]

Dalam keterangannya pada buku The History of Java mengenai asal mula dan perkembangan kota Gresik, Raffles menyatakan bahwa menurut penuturan para penulis lokal, "Mulana
Ibrahim, seorang Pandita terkenal berasal dari Arabia, keturunan dari Jenal Abidin, dan sepupu raja Chermen (sebuah negaraSabrang), telah menetap bersama para Mahomedans[2] lainnya
di Desa Leran di Jang'gala".[3]
Namun, kemungkinan pendapat yang terkuat adalah berdasarkan pembacaan J.P. Moquette atas baris kelima tulisan pada prasasti makamnya di desa Gapura Wetan, Gresik; yang
mengindikasikan bahwa ia berasal dari Kashan, suatu tempat di Iran sekarang.[4]
Terdapat beberapa versi mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada umumnya dianggap merupakan keturunan Rasulullah SAW, melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal
Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi atsTsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal, Jamaluddin Akbar alHusaini (Maulana Akbar), dan Maulana Malik Ibrahim, [5][6][7][8] yang berarti ia adalah keturunan orang Hadrami yang berhijrah.

Penyebaran agama[sunting | sunting sumber]


Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk salah seorang yang pertama-tama menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, dan merupakan wali senior di antara para Walisongolainnya.
[9]
Beberapa versi babad menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan
Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara kota Gresik. Ia lalu mulai menyiarkan agama Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar.
Makam Maulana Malik Ibrahim di sekitar tahun 1900

Pertama-tama yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak
menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli, melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan kabaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat keramahtamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam agama Islam. [10]
Sebagaimana yang dilakukan para wali awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang sekarang
dinamakan desa Roomo, Manyar.[11] Perdagangan membuatnya dapat berinteraksi dengan masyarakat banyak, selain itu raja dan para bangsawan dapat pula turut serta dalam kegiatan
perdagangan tersebut sebagai pelaku jual-beli, pemilik kapal atau pemodal. [12]
Setelah cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan ke ibukota Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam tetapi
menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura. Cerita rakyat tersebut
diduga mengandung unsur-unsur kebenaran; mengingat menurut Groeneveldt pada saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota Majapahit telah banyak orang asing termasuk dari Asia
Barat. [13]
Demikianlah, dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan menegakkan ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang merupakan
tempat mendidik pemuka agama Islam pada masa selanjutnya. Hingga saat ini makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan agama Islam berabad-abad
yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai berkunjung untuk berziarah. Ritual ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabi'ul Awwal, sesuai
tanggal wafat pada prasasti makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman Al-Quran, mauludan (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan khas bubur
harisah.[14]

Legenda rakyat[sunting | sunting sumber]

Menurut legenda rakyat, dikatakan bahwa Syeh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik berasal dari Persia. Syeh Maulana Malik Ibrahim dan Syeh Maulana Ishaq disebutkan sebagai
anak dari Syeh Maulana Ahmad Jumadil Kubro, atau Syekh Jumadil Qubro. Syeh Maulana Ishaq disebutkan menjadi ulama terkenal di Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Raden Paku
atau Sunan Giri. Syeh Jumadil Qubro dan kedua anaknya bersama-sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah; Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Syeh Maulana
Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan; dan adiknya Syeh Maulana Ishak mengislamkan Samudera Pasai.
Syeh Maulana Malik Ibrahim disebutkan bermukim di Champa (dalam legenda disebut sebagai negeri Chermain atau Cermin) selama tiga belas tahun. Ia menikahi putri raja yang
memberinya dua putra; yaitu Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan Sayid Ali Murtadha atau Raden Santri. Setelah cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, ia hijrah ke pulau Jawa
dan meninggalkan keluarganya. Setelah dewasa, kedua anaknya mengikuti jejaknya menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.
Syeh Maulana Malik Ibrahim dalam cerita rakyat kadang-kadang juga disebut dengan nama Kakek Bantal. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat
bawah, dan berhasil dalam misinya mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.
Selain itu, ia juga sering mengobati masyarakat sekitar tanpa biaya. Sebagai tabib, diceritakan bahwa ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Champa. Besar
kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.

Filsafat[sunting | sunting sumber]


Mengenai filsafat ketuhanannya, disebutkan bahwa Maulana Malik Ibrahim pernah menyatakan mengenai apa yang dinamakan Allah. Ia berkata: "Yang dinamakan Allah ialah
sesungguhnya yang diperlukan ada-Nya."

Wafat[sunting | sunting sumber]


Setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, Syeh Maulana Malik Ibrahim wafat tahun 1419. Makamnya kini terdapat di desa Gapura, Gresik, Jawa
Timur.
Inskripsi dalam bahasa Arab yang tertulis pada makamnya adalah sebagai berikut:

Ini adalah makam almarhum seorang yang dapat diharapkan mendapat pengampunan Allah dan yang mengharapkan kepada rahmat Tuhannya Yang Maha Luh

Saat ini, jalan yang menuju ke makam tersebut diberi nama Jalan Malik Ibrahim. [15]
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah[1], lahir sekitar 1450 M, namun ada juga yang mengatakan bahwa ia lahir pada sekitar1448 M. Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari
kelompok ulama besar di Jawa bernama walisongo. Sunan Gunung Jati merupakan satu-satunya Walisongo yang menyebarkan Islam di Jawa Barat.

Proses belajar[sunting | sunting sumber]


Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh Maulana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Datuk Kahfi ia
meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian
dari ibadah haji untuk umat Islam.
Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuwana membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayatullah
mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya wafat.

Pernikahan[sunting | sunting sumber]


Memasuki usia dewasa sekitar di antara tahun 1470-1480, ia menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini, ia mendapatkan seorang putri
yaitu Ratu Wulung Ayu dan Maulana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I.

Kesultanan Demak[sunting | sunting sumber]


Masa ini kurang banyak diteliti para sejarawan hingga tiba masa pendirian Kesultanan Demak tahun 1487 yang mana ia memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan Muballigh
yang sekarang kita kenal dengan nama Walisongo. Pada masa ini, ia berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I
bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh Maulana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunannya juga tapi dari pihak ibu yang lahir di
Campa.
Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari kesultanan Demak,
terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.
Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di P. Jawa dengan Kesultanan
Demak sebagai pelopornya.

Gangguan proses Islamisasi[sunting | sunting sumber]


Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit, baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah karena proses Islamisasi secara damai
mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugisyang telah mulai
expansi di Asia Tenggara.
Tentang personaliti dari Syarif Hidayat yang banyak dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik, dalam beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh
Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Ia ikut membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan
tubuhnya.

Eksekusi yang dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan wafatnya Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging di Kesultana Demak telah tercabut.
Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan
Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.
Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di P. Jawa dengan misi
utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 pada tahun 1511.
Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal pada tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkatTubagus
Pasai (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing
Portugis bertempur di P. Jawa.
Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang telah
dijepit oleh Kesultanan Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di Timur.
Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota pelabuhan di P.
Jawa setelah Banten dan Cirebon menjadi kerajaan-kerajaan Islam.
Tahun 1527 bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di
Malaka 1521.
Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah.
Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga
keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.

Perundingan Yang Sangat Menentukan[sunting | sunting sumber]


Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayatullah adalah dalam riwayat jatuhnya Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda pada tahun 1568 hanya setahun sebelum ia wafat
dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.
Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di
keraton masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di
pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang.
Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan
Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus
menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.

Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap
memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.
Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa
reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah
dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun
sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan.
Bagi para sejarawan, ia adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya
1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji.
Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggilnya dengan nama lengkap Syekh Maulana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.

Referensi[sunting | sunting sumber]


Ayah[sunting | sunting sumber]
Sunan Gunung Jati bernama Syarif Hidayatullah, lahir sekitar tahun 1450. Ayahnya adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar, seorang Mubaligh dan Musafir besar
dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul
Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucunya Imam Husain.

Ibu[sunting | sunting sumber]


Ibu Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang (Syarifah Muda'im) yaitu putri dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Nyai Subang Larang, dan merupakan adik dari Kian
Santang dan Pangeran Walangsungsang yang bergelar Cakrabuwana / Cakrabumi atau Mbah Kuwu Cirebon Girang yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh
asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi bin Ahmad. Ia dimakamkan bersebelahan dengan putranya yaitu Sunan Gunung Jati di Komplek Astana Gunung Sembung ( Cirebon )

Silsilah[sunting | sunting sumber]

Sunan Gunung Jati @ Syarif Hidayatullah Al-Khan bin

Sayyid 'Umadtuddin Abdullah Al-Khan bin

Sayyid 'Ali Nuruddin Al-Khan @ 'Ali Nurul 'Alam bin

Sayyid Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar al-Husaini

Sayyid Ahmad Shah Jalal @ Ahmad Jalaludin Al-Khan bin

Sayyid Abdullah Al-'Azhomatu Khan bin

Sayyid Amir 'Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad, India) bin

Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin

Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut) bin

Sayyid Ali Kholi' Qosim bin

Sayyid Alawi Ats-Tsani bin

Sayyid Muhammad Sohibus Saumi'ah bin

Sayyid Alawi Awwal bin

Sayyid Al-Imam 'Ubaidillah bin

Ahmad al-Muhajir bin

Sayyid 'Isa Naqib Ar-Rumi bin

Sayyid Muhammad An-Naqib bin

Sayyid Al-Imam Ali Uradhi bin

Sayyidina Ja'far As-Sodiq bin

Sayyidina Muhammad Al Baqir bin

Sayyidina 'Ali Zainal 'Abidin bin

Al-Imam Sayyidina Hussain

Al-Husain putera Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahra binti Muhammad

Silsilah dari Raja Pajajaran[sunting | sunting sumber]

Sunan Gunung Jati @ Syarif Hidayatullah

Rara Santang (Syarifah Muda'im)

Prabu Jaya Dewata @ Raden Pamanah Rasa @ Prabu Siliwangi II

Prabu Dewa Niskala (Raja Galuh/Kawali)

Niskala Wastu Kancana @ Prabu Siliwangi I

Prabu Linggabuanawisesa @ Prabu Wangi (Raja yang tewas di Bubat)

Pertemuan orang tuanya[sunting | sunting sumber]


Pertemuan Rara Santang dengan Syarif Abdullah cucu Syekh Maulana Akbar masih diperselisihkan. Sebagian riwayat (lebih tepatnya mitos) menyebutkan bertemu pertama kali di Mesir,
tapi analisis yang lebih kuat atas dasar perkembangan Islam di pesisir ketika itu, pertemuan mereka di tempat-tempat pengajian seperti yang di Majelis Syekh Quro, Karawang (tempat
belajar Nyai Subang Larang ibu dari Rara Santang) atau di Majelis Syekh Datuk Kahfi, Cirebon (tempat belajar Kian Santang dan Pangeran Walangsungsang, kakanda dari Rara Santang).
Syarif Abdullah cucu Syekh Maulana Akbar, sangat mungkin terlibat aktif membantu pengajian di majelis-majelis itu mengingat ayah dan kakeknua datang ke Nusantara sengaja untuk
menyokong perkembangan agama Islam yang telah dirintis oleh para pendahulu.
Pernikahan Rara Santang putri dari Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang dengan Abdullah cucu Syekh Maulana Akbar melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Syarif
Hidayatullah.
Sunan Giri adalah nama salah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton, yang berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur. Sunan Giri membangun Giri Kedaton sebagai
pusat penyebaran agama Islam di Jawa, yang pengaruhnya bahkan sampai keMadura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan,
yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudro. Ia lahir di Blambangan tahun 1442, dan dimakamkan didesa Giri, Kebomas, Gresik.
Daftar isi
[sembunyikan]

1Silsilah

2Kisah

3Dakwah dan kesenian

4Pranala luar

Silsilah[sunting | sunting sumber]

Pemakaman Sunan Giri

Tangga dan candi bentar masuk ke pemakaman Sunan Giri pada tahun 1932

Beberapa babad menceritakan pendapat yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian babad berpendapat bahwa ia adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang
dari Asia Tengah. Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu putri dari Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan
Majapahit.
Pendapat lainnya yang menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW, yaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad alBaqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad an-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali'
Qasam,Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar alHusaini (Maulana Akbar), Ibrahim Zainuddin Al-Akbar As-Samarqandy (Ibrahim Asmoro), Maulana Ishaq, dan Ainul Yaqin (Sunan Giri). Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan
riwayat pesantren-pesantren Jawa Timur, dan catatan nasab Sa'adah BaAlawi Hadramaut.
Dalam Hikayat Banjar, Pangeran Giri (alias Sunan Giri) merupakan cucu Putri Pasai (Jeumpa?) dan Dipati Hangrok (aliasBrawijaya VI). Perkawinan Putri Pasai dengan Dipati Hangrok
melahirkan seorang putera. Putera ini yang tidak disebutkan namanya menikah dengan puteri Raja Bali, kemudian melahirkan Pangeran Giri. Putri Pasai adalah puteri Sultan Pasai yang
diambil isteri oleh Raja Majapahit yang bernama Dipati Hangrok (alias Brawijaya VI). Mangkubumi Majapahit masa itu adalaha Patih Maudara.

Kisah[sunting | sunting sumber]


Sunan Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu penguasa wilayah
Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit. Namun kelahirannya dianggap telah membawa kutukan berupa wabah penyakit di wilayah tersebut. Maka ia dipaksa ayahandanya
(Prabu Menak Sembuyu) untuk membuang anak yang baru dilahirkannya itu. Lalu, Dewi Sekardadu dengan rela menghanyutkan anaknya itu ke laut/selat bali sekarang ini.
Versi lain menyatakan bahwa pernikahan Maulana Ishaq-Dewi Sekardadu tidak mendapat respon baik dari dua patih yang sejatinya ingin menyunting dewi sekardadu (putri tunggal Menak
sembuyu sehingga kalau jadi suaminya, merekalah pewaris tahta kerajaan. Ketika Sunan Giri lahir, untuk mewujudkan ambisinya, kedua patih membuang bayi sunan giri ke laut yang
dimasukkan ke dalam peti.[butuh rujukan]
Kemudian, bayi tersebut ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) - yakni sabar dan sobir - dan dibawa ke Gresik. Di Gresik, dia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan
pemilik kapal, Nyai Gede Pinatih. Karena ditemukan di laut, dia menamakan bayi tersebut Joko Samudro.
Ketika sudah cukup dewasa, Joko Samudro dibawa ibunya ke Ampeldenta (kini di Surabaya) untuk belajar agama kepadaSunan Ampel. Tak berapa lama setelah mengajarnya, Sunan
Ampel mengetahui identitas sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Kemudian, Sunan Ampel mengirimnya beserta Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam
di Pasai. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayah Joko Samudro. Di sinilah, Joko Samudro yang ternyata bernama Raden Paku mengetahui asal-muasal dan alasan
mengapa dia dulu dibuang.

Dakwah dan kesenian[sunting | sunting sumber]


Setelah tiga tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden 'Ainul Yaqin kembali ke Jawa. Ia kemudian mendirikan sebuah pesantren giri di sebuah
perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa, giri berarti gunung. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.
Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi,
dan Maluku. Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya
ditumbangkan oleh Sultan Agung.

1.

2.

Terdapat beberapa karya seni tradisional Jawa yang sering dianggap berhubungkan dengan Sunan Giri, diantaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan, danCublak
Suweng; serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.

SYEKH MAULANA ISHAK


Di awal abad 14 M, kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Mena Sembuyu, salah seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan
Majapahit. Raja dan rakyatnya memeluk agam Hindu dan sebagian ada yang memeluk agama Budha.
Pada suatu hari Parbu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula permaisurinya pasalnya puteri mereka satu-satunya jatuh selama beberapa bulan.
Sudah diusahakan mendatangkan tabib dan dukun untuk mengobati tapi sang puteri belum sembuh juga.
Memang pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda wabah penyakit. Banyak sudah korban berjatuhan. Menurut gambaran babad tanah
jawa esok sakit sorenya mati. Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka dan hampir semua kegiatan sehari-hari menjadi macet total.
Atas saran permaisuri Prabu Menak Sembuyu mengadakan sayembara, siapa yang dapat menyembuhkan puterinya akan diambil menantu dan
siapa yang dapat mengusir wabah penyakit di Blambangan akan diangkat sebagai Bupati atau Raja Muda. Sayembara disebar hampir keseluruh
pelosok negeri. Tapi sudah berbulan-bulan tidak juga ada yang dapat memenangkan sayembara tersebut.
Permaisuri makin sedih hatinya, prabu Menak Sembuyu berusaha menghibur isterinya dengan menugaskan Patih Baju Sengara untuk mencari
pertapa sakti guna mengobati penyakit puterinya.
Diiringi beberapa prajurit pilihan, Patih Baju Sengara berangkat melaksanakan tugasnya. Para pertapa biasanya tinggal dipuncak lereng-lereng
gunung, maka kesanalah tujuan Patih Bajul Sengara.
Patih Bajul Sengara akhirnya bertemu dengan Resi Kandabaya yang mengetahui adanya tokoh sakti dari negeri seberang. Orang yang dimaksud
adalah Syekh Maulana Ishak yang sedang berdakwah secara sembunyi-sembunyi dinegeri Blambangan.
Patih Bajul Sengara bertemu dengan Syekh Maulana Ishak yang sedang bertafakkur disebuah goa. Syekh Maulana Ishak mau mengobati puteri
Prabu Menak Sembuyu dengan syarat Prabu mau masuk atau memeluk agama Islam. Syekh Maulana Ishak memang piawai dibidang ilmu
kedokteran, puteri Dewi Sekar Dadu sembuh sekali diobati. Wabah penyakit juga lenyap dari wilayah Blambangan. Sesuai janji Raja maka Syekh
Maulana Ishak dikawinkan dengan Dewi Sekardadu. Kemudian diberi kedudukan sebagai Adipati untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan.
Hasutan Sang Patih

3.

Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di Blambangan, makin hari semakin bertambah banyak penduduk Blambangan yang
memeluk agama Islam. Sementara Patih Bajul Sengara tak henti-hentinya mempengaruhi sang prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya. Hati Prabu
Menak Sembuyu jadi panas mengetahui hal ini.
Patih Bajul Sengara sendiri sepengetahuan sang Prabu sudah mengadakan teroe pada pengikut Syekh Maulana Ishak. Tidak sedikit penduduk
Kadipaten yang dipimpin Syekh Maulana Ishak diculik, disiksa dan dipaksa kembali pada agama lama.
Pada saat itu Dewi Sekardadu sedang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak sadar bila diteruskan akan terjadi pertumpahan darah yang
seharusnya tidak perlu. Kasihan rakyat jelata yang harus menanggung akibatnya. Maka dia segera pamit kepada isterinya untuk meninggalkan
Blambangan.
Akhirnya, pada tengah malam dengan hati yang berat karena harus meninggalkan isteri tercinta yang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak
berangkat meninggalkan Blambangan seorang diri. Esok harinya sepasukan besar prajurit Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara
menerobos masuk wilayah Kadipaten yang sudah ditinggalkan Syekh Maulana Ishak.
Dua bulan kemudian dari rahim Sekardadu lahir bayi laki-laki yang elok rupanya. Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan permaisurinya
merasa senagn dan bahagia melihat kehadiran cucunya yang montok dan rupawan itu. Bayi itu lain daripada yag lain, wajahnya mengeluarkan
cahaya terang.
Lain halnya dengan Patih Bajul Sengara, dibiarkannya bayi itu mendapat limpahan kasih sayang keluarganya selama empat puluh hari. Sesudah itu
dia menghasut Prabu Menak Sembuyu. Kebetulan pada saat itu wabah penyakit berjangkit kembali di Blambangan, maka Patih baju Sengara
berulah lagi..
Bayi itu! Benar Gusti Prabu! Cepat atau lambat bayi itu akan menjadi bencan dikemudian hari. Wabah penyakit inipun menurut dukun-dukun
terkenal diBlambangan ini disebabkan adanya hawa panas yang memancar dari jiwa bayi itu! Kilah patih Bajul Sengara dengan alasan yang dibuatbuat.
Sang Prabu tidak cepat mengambil keputusan, dikarenakan dalam hatinya dia terlanjur menyukai kehadiran cucunya itu. Namun sang Patih tiada
bosan-bosannya menteror dengan hasutan dan tuduhan keji yang akhirnya sang Prabu terpengaruh juga.
Walau demikian tiada tega juga dia memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu secara langsung. Bayi yang masih berusia empat puluh hari
dimasukkan kedalam peti dan diperintahkan untuk dibuang ke samudera.
Joko Samudra

Pada suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintasi selat Bali. Ketika perahu itu berada ditengah-tengah selat Bali tiba-tiba terjadi
keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa mundurpun tak bisa.
Nahkota memerintahkan awak kapal untuk memeriksa sebab-sebab kemacetan ini, meungkinkah perahunya membentur karang. Setelah diperiksa
ternyata perahu itu hanya menabrak sebuah peti berukir indah, seperti peti milik kaum bangsawan yang digunakan menyimpan barang berharga.
Nahkoda memerintahkan mengambil peti itu. Semua orang terkejut karena didalamnya terdapat seorang bayi mungil yang bertubuh montok dan
rupawan. Nahkoda merasa gembira menyelamatkan jiwa si bayi mungil itu, tapi juga mengutuk orang yang tidak berprikemanusiaan.
Nahkoda kemudian memerintahkan awak kapal untuk melanjutkan pelayaran ke pulau Bali. Tapi perahu tidak dapat bergerak maju. Ketika perahu
diputar dan digerakkan kearah Gresik ternyata perahu itu melaju dengan cepatnya.
Dihadapan Nyai Ageng Pinatih janda kaya raya pemilik Kapal Nahkoda berkata sambil membuka peti itu. Peti inilah yang menyebabkan kami
kembali ke Gresik dalam waktu secepat ini. Kami tak dapat meneruskan pelayaran ke Pulau Bali, kata sang nahkoda.
Bayi? Bayi siapa ini ? gumam Nyai Ageng Pinatih sembari mengangkat bayi itu dari dalam peti.
Kami menemukannya di tengah samudera selat Bali, jawab nahkoda kapal.
Bayi ini kemudian mereka serahkan kepada Nyai Ageng Pinatih untuk diambil sebagai anak angkat. Memang sudah lama dia menginginkan
seorang anak. Karena bayi ini ditemukan di tengah smudera maka Nyai Ageng Pinatih kemudian memberinya nama Joko Samudra.
Ketika berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samudra untuk berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya.
Menurut beberapa sumber mula pertama Joko Samudra setiap hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian
menyarankan agar anak itu mondok saja dipesantren Ampeldenta supaya lebih konsentrasi dalam mempelajari agama Islam.
Pada suatu malam, seperti biasanya Raden Rahmat hendak mengambil air wudhu guna melaksanakan sholat Tahajjud, mendoakan muridnya dan
mendoakan umat agar selamat di dunia dan di akhirat. Sebelum berwudhu Raden Rahmat menyempatkan diri melihat-lihat para santri yang tidur di
asrama.
Tiba-tiba Raden Rahmat terkejut. Ada sinar terang memancar dari salah seorang santrinya. Selama beberpa saat beliau tertegun, sinar terang itu
menyilaukan mata. Untuk mengetahui siapakah murid yang wajahnya bersinar itu maka Sunan ampel memberi ikatan pada sarung murid itu.
Esok harinya, sesudah sholat subuh Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu.
Siapakah diantara kalian yang waktu bangun tidur kain sarungnya ada ikatan? Tanya Sunan Ampel.

4.

Saya Kanjeng Sunan..ujar Joko Samudra.


Melihat yang mengacungkan tangan adalah Joko Samudra, Sunan Ampel makin yakin bahwa anak itu pastilah bukan anak sembarangan. Kebetulan
pada saat itu Nyai Ageng Pinatih datang untuk menengok Joko Samudra, kesempatan itu digunakan Sunan Ampel untuk bertanya lebih jauh
tentang asal-usul Joko Samudra.
Nyai Ageng Pinatih menjawab sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samudra ditemukan ditengah selat Bali ketika masih bayi. Peti yang digunakan untuk
membuang bayi itu hingga sekarang masih tersimpan rapi dirumah Nyai Ageng Pinatih.
Teringat pada pesan Syekh Maulana Ishak sebelum berangkat ke negeri Pasai maka Sunan Ampel kemudian mengusulkan Nyai Ageng Pinatih agar
nama anak itu diganti menjadi Raden Paku. Nyai Ageng Pinatih menurut saja apa kata Sunan Ampel, dia percaya penuh kepada wali besar yang
dihormati masyarakat bahkan juga masih terhitung seorang Pangeran Majapahit itu.
Raden Paku
Sewaktu mondok dipesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab bersahabat dengan putera Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum
Ibrahim. Keduanya bagai saudara kandung saja, saling menyayangi dan saling mengingatkan.
Setelah berusia 16 tahu, kedua pemuda itu dianjurkan untuk menimba ilmu pengetahuan yang lebih tinggi di negeri seberang sambil meluaskan
pengetahuan.
Di negeri Pasai banyak orang pandai dari berbagai negeri. Disana juga ada ulama besar yang bergelar Syekh Awwallul Islam. Dialah ayah kandung
yang nama aslinya adalah Syekh Maulana Ishak. Pergilah kesana tuntutlah ilmunya yang tinggi dan teladanilah kesabarannya dalam mengasuh para
santri dan berjuang menyebarkan agama Islam. Hal itu akan berguna kelak bagi kehidupanmu di masa yang akan datang.
Pesan itu dilaksanakan oleh Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim. Dan begitu sampai di negeri Pasai keduanya disambut gembira, penuh rasa
haru dan bahagia oleh Syekh Maulana Ishak ayah kandung Raden Paku yang tak pernah melihat anaknya sejak bayi.
Raden Paku menceritakan riwayat hidupnya sejak masih kecil ditemukan ditengah samudera dan kemudian diambil anak angkat oleh Nyai Ageng
Pinatih dan berguru pada Sunan Ampel di Surabaya.
Sebaliknya Syekh Maulana Ishak kemudian menceritakan pengalamannya di saat berdakwah di Blambangan sehingga dipaksa harus meninggalkan
isteri yang sangat dicintainya.
Raden Paku menangis sesegukan mendengar kisah itu. Bukan menangis kemalangan dirinya yang disia-siakan kakeknya yaitu Prabu Menak
Sembuyu tetapi memikirkan nasib ibunya yang tak diketahui lagi tempatnya berada. Apakah ibunya masih hidup atau sudah meninggal dunia.

5.

Di negeri Pasai banyak ulama besar dari negeri asing yang menetap dan membuka pelajaran agama Islam kepada penduduk setempat, hal ini tidak
disia-siakan oleh Raden Paku dan Maulana Makdum Ibrahim. Kedua pemuda itu belajar agama dengan tekun, baik kepada Syekh Maulana Ishak
sendiri maupun kepada guru-guru agama lainnya.
Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku dikaruniai Ilmu Laduni yaitu ilmu yang langsung berasal dari Tuhan, sehingga kecerdasan otaknya
seolah tiada bandingnya. Disamping belajar ilmu Tauhid mereka juga mempelajari ilmu Tasawuf dari ulama Iran, Bagdad dan Gujarat yang banyak
menetap di negeri Pasai.
Ilmu yang dipelajari itu berpengaruh dan menjiwai kehidupan Raden Paku dalam perilakunya sehari-hari sehingga kentara benar bila ia
mempunyai ilmu tingkat tinggi, ilmu yang sebenarnya hanya dimiliki ulama yang berusia lanjut dan berpengalaman. Gurunya kemudian
memberinya gelar Syekh Maulana Ainul Yaqin.
Setelah tiga tahun berada di pusat Pasai. Dan masa belajarnya itu sudah dianggap cukup oleh Syekh Maulana Ishak, kedua pemuda itu
diperintahkan kembali ke tanah jawa. Oleh ayahnya, Raden Paku diberi sebuah bungkusan kain putih berisi tanah.
Kelak, bila tiba masanya dirikanlah pesantren di Gresik, carilah tanah yang sama betul dengan tanah dalam bungkusan ini disitulah kau
membangun pesantren, demikianlah pesan anahnya.
Kedua pemuda itu kemudian kembali ke Surabaya. Melaporkan segala pengalamannya kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel memerintahkan
Makdum Ibrahim berdakwah di Tuban, sedangkan Raden Paku diperintah pulang ke Gresik kembali ke ibu angkatnya yaitu Nyai Ageng Pinatih.
Membersihkan Diri
Pada usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh ibunya untuk mengawal barang dagangan ke pulau Banjar atau Kalimantan. Tugas ini diterimanya
dengan senang hati. Nahkoda kapal diserahkan kepada pelaut kawakan yaitu Abu Hurairah. Walau pucuk pimpinan berada di tangan Abu Hurairah
tapi Nyai Ageng Pinatih memberi kuasa pula kepada Raden Paku untuk ikut memasarkan dagangan di Pulau Banjar.
Tiga buah kapal berangkat meninggalkan pelabuhan Gresik dengan penuh muatan. Biasanya, sesudah dagangan itu habis terjual di Pulau Banjar
maka Abu Hurairah diperintah membawa barang dagangan dari pulau Banjar yang sekiranya laku di pulau Jawa, seperti rotan, damar, emas dan
lain-lain. Dengan demikian keuntungan yang diperoleh menjadi berlipat ganda, tapi kali tidak, sesudah kapal merapat dipelabuhan Banjar, Raden
paku membagi-bagikan barang dagangannya dari Gresik itu secara gratis kepada penduduk setempat.
Tentu saja hal ini membuat Abu Hurairah menjadi cemas. Dia segera memprotes tindakan Raden Paku, Raden.kita pasti akan mendapat murka
Nyai Ageng Pinatih. Mengapa barang dagangan kita diberikan secara cuma-cuma?

6.

Jangan kuatir paman, kada Raden Paku. Tindakan saya ini sudah tepat. Penduduk Banjar saat ini sedang dilanda musibah. Mereka dilanda
kekeringan dan kurang pangan. Sedangkan ibu sudah terlalu banyak mengambil keuntungan dari mereka, sudahkah ibu memberikan hartanya
dengan membayar zakat kepada mereka? Saya kira belum, nah sekaranglah saatnya ibu mengeluarkan zakat untuk membersihkan diri.
Itu diluar wewenang saya Raden, kata Abu Hurairah. Jika kita tidak memperoleh uang lalu dengan apa kita mengisi perahu supaya tidak oleng
dihantam gelombang dan badai?
Raden Paku terdiam beberapa saat. Dia sudah maklum bila dagangan habis biasanya Abu Hurairah akan mengisi kapal atau perahu dengan barang
dagangan dari Kalimantan. Tapi sekarang tak ada uang dengan apa dagangan pulau Banjar akan dibeli.
Paman tak usah risau, kata Raden Paku dengan tenangnya. Supaya kapal tidak oleng isilah karung-karung kita dengan batu dan pasir.
Memang benar, mereka dapat berlayar hingga dipantai Gresik dalam keadaan selamat. Tapi hati Abu Hurairah menjadi kebat-kebit sewaktu
berjalan meninggalkan kapal untuk bertemu dengan Nyai Ageng Pinatih.
Dugaan Abu Hurairah benar. Nyai Ageng Pinatih terbakar amarahnya demi mendengar perbuatan Raden Paku yang dianggap tidak normal.
Sebaiknya ibu lihat dulu pinta Raden Paku.
Sudah, jangan banyak bicara. Buang saja pasir dan batu itu. Hanya mengotori karung-karung kita saja hardik Nyai Ageng Pinatih.
Tapi ketika awak kapal membuka karung-karung itu mereka terkejut. Karung-karung itu isinya menjadi barang-barang dagangan yang biasa
mereka bawa dari banjar, seperti rotan, damar , kain dan emas serta intan. Bila ditaksir harganya jauh lebih besar ketimbang dagangan yang
disedekahkan kepada penduduk Banjar.
Perkawinan Raden Paku
Al-kisah ada seorang bangsawan Majapahit bernama Ki Ageng Supa Bungkul ia mempunyai sebuah pohon delima yang aneh didepan rumahnya.
Setiap kali ada orang yang hendak mengambil buah delima yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib celaka, kalau tidak ditimpa penyakit berat
tentulah orang tersebut meninggal dunia. Suatu ketika Raden Paku tanpa sengaja lewat didepan pekarangan Ki Ageng Supa Bungkul. Begitu ia
berjalan dibawah pohon delima tiba-tiba pohon itu jatuh mengenai kepala Raden Paku.
Ki Ageng Bungkul pun tiba-tiba muncul dan mencegat Raden Paku dan ia berkata, kau harus kawin dengan puteriku Dewi Wardah.

Memang, Ki Ageng Bungkul telah mengadakan sayembara, siapa saja yang dapat memetik buah delima itu dengan selamat maka ia akan
dijodohkan dengan puterinya yang bernama Dewi Wardah. Raden Paku bingung menghadapi hal itu. Maka peristiwa itu disampaikan kepada
Sunan Ampel.
Tak usah bingung, Ki Ageng Bungku adalah serang muslim yang baik. Aku yakin Dewi Wardah juga seorang muslimah yang baik. Karena hal itu
menjadi niat Ki Ageng Bungkul kuharap kau tidak mengecewakan niat baiknya itu. Demikian kata Sunan Ampel.
Tapi.bukankah saya hendak menikah dengan puteri Kanjeng Sunan Yaitu dengan Dewi Murtasiah ujar Raden Paku.
Tidak mengapa? Kata Sunan Ampel. Sesudah melangsungkan akad nikah dengan Dewi Murtasiha selanjutnya kau akan melangsungkan
perkawinan dengan Dewi Wardah.
Itulah liku-liku perjalan hidup Raden Paku. Dalam sehari ia menikah dua kali. Menjadi menantu Sunan Ampel, kemudian menjadi menantu Ki
Ageng Bungkuk seorang bangsawan Majapahit yang hingga sekarang makamnya terawat baik di Surabaya.
Sesudah berumah tangga, Raden Paku makin giat berdagang dan berlayar antar pulau. Sambil berlayar itu beliau menyiarkan agama Islam pada
penduduk setempat sehingga namanya cukup terkenal di kepulauan nusantara.
Lama-lama kegiatan dagang tersebut tidak memuaskan hatinya, ia ingin berkonsentrasi menyiarkan agama Islam dengan mendirikan pondok
pesantren. Ia pun minta izin kepada ibunya untuk meninggalkan dunia perdagangan.
Nyai Ageng Pinatih yang kaya raya itu tidak keberatan, andaikata hartanya yang banyak itu dimakan setiap hari dengan anak dan menantunya
rasanya tiada akan habis, terlebih juragan Abu Hurairah orang kepercayaan Nyai Ageng Pinatih menyatakan kesanggupannya untuk mengurus
seluruh kegiatan perdagangan miliknya, maka wanita itu ikhlas melepaskan Raden Paku yang hendak mendirikan pesantren.
Mulailah Raden Paku bertafakkur digoa yang sunyi, 40 hari 40 malam beliau tidak keluar goa. Hanya bermunajat kepada Allah. Tempat Raden
Paku bertafakkur itu hingga sekarang masih ada yaitu desa Kembangan dan Kebomas.
Usai bertafakkur teringatlah Raden Paku pada pesan ayahnya sewaktu belajar di negeri Pasai. Dia pun berjalan berkeliling daerah yang tanahnya
mirip dengan tanah yang dibawa dari negeri Pasai.
Melalui desa Margonoto, sampailah Raden Paku didaerah perbukitan yang hawanya sejuk, hatinya terasa damai, ia pun mencocokkan tanah yang
dibawanya dengan tanah ditempat itu. Ternyata cocok sekali. Maka di desa Sidomukti itulah ia kemudian mendirikan pesantren. Karena tempat itu
adalah dataran tinggi atau gunung maka dinamakanlah Pesantren Giri. Giri dalam bahasa sansekerta artinya gunung.

7.

Atas dukkungan isteri-isteri dan ibunya juga dukungan spiritual dari Sunan ampel, tidak begitu lama hanya dalam waktu tiga tahun pesantren Giri
sudah terkenal ke seluruh nusantara.
Menurut Dr.H.J. De Graaf, sesudah pulang dari pengembaraannya atau berguru ke negeri Pasai, ia memperkenalkan diri kepada dunia, kemudian
berkedudukan diatas bukit di Gresik dan ia menjadi orang pertama yang paling terkenal dari Sunan-sunan Giri yang ada. Diatas gunung tersebut
seharusnya ada istana karena dikalangan rakyat dibicarakan adanya Giri Kedatin (Kerajaan Giri). Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari segala
penjuru, seperti Maluku, Madura, Lomnok, Makasar, Hitu dan Ternate. Demikian menurut De Graaf.
Menurut babad tanah jawa murid-murid Sunan Giri itu justru bertebaran hampir diseluruh penjuru benua besar, seperti Eropa (Rum), Arab, Mesir,
Cina dan lain-lain. Semua itu adalah penggambaran nama Sunan Giri sebagai ulama besar yang sangat dihormati orang pada jamannya. Disamping
pesantrennya yang besar ia juga membangun mesjid sebagai pusat ibadah dan pembentukan iman umatnya. Untuk para santri yang datang dari jauh
beliau juga membangun asrama yang luas.
Disekitar bukti tersebut sebenarnya dahulu jarang dihuni oleh penduduk dikarenakan sulitnya mendapatkan air. Tetapi dengan adanya Sunan Giri
masalah air itu dapat diatasi. Cara Sunan Giri membuat sumur atau sumber air itu sangat aneh dan gaib hanya beliau seorang yang mampu
melakukannya.
Peresmian Mesjid Demak
Dalam peresmian mesjid Demak Sunan Kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan pertunjukkan wayang kulit yang pada waktu itu bentuknya
masih wayang beber yaitu gambar manusia yang dibeber pada sebuah kulit binatang.
Usul Sunan Kalijaga ditolak oleh Sunan Giri, karena wayang yang bergambar manusia haram hukumnya dalam ajaran Islam, demikian menurut
Sunan Giri.
Jika sunan Kalijaga mengusulkan peresmian mesjid Demak dengan membuka pagelaran wayang kulit, kemudian diadakan dakwah dan rakyat
berkumpul boleh masuk setelah mengucapkan syahadat, maka Sunan Giri mengusulkan agar mesjid Demak diresmikan pada saat hari Jumat
sembari melaksanakan Sholat jamaah Jumat.
Sunan Kalijaga berjiwa besar kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan Giri. Sebelum Sunan Kalijaga telah merubah bentuk wayang kulit
sehingga gambarannya tidak bisa disebut sebagai gambar manusia lagi, lebih mirip karikatur seperti bentuk wayang yang ada sekarang ini.
Sunan Kalijaga membawa wayang kreasinya itu dihadapan Sidang para wali. Keran tidak bisa disebut gambar manusia maka akhirnya Sunan Giri
menyetujui wayang kulit itu digunakan sebagai media dakwah.

8.

9.

Perubahan bentuk wayang kulit itu adalah dikarenakan sanggahan Sunan Giri. Karena itu Sunan Kalijaga memberi tanda khusus pada momentum
penting itu. Pemimpin para dewa dalam pewayangan oleh Sunan Kalijaga dinamakan Sang Hyang Girinata yang arti sebenarnya adalah sunan Giri
yang menata.
Maka perdebatan tentang peresmian mesjid Demak bisa diatasi. Peresmian itu akan diawali dengan sholat jumat kemudian diteruskan dengan
pertunjukkan wayang kulit yang dimainkan oleh ki dalang Sunan Kalijaga.
Jasa-jasa Sunan Giri
Jasa yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam di tanah jaw bahkan ke nusantara.
Beliau pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti Jenar, seorang wali yang dianggap murtad karena menyebarkan faham
Pantheisme dan meremehkan syariat Islam yang disebarkan para wali lainnya. Dengan demikian sunan Giri ikut menghambat tersebarnya aliran
yang bertentangan dengan faham Ahlussunnah wal jamaah.
Keteguhannya dalam menyiarkan agama Islam secara murni dan konsekuen membawa dampak positif bagi generasi Islam berikutnya. Islam yang
disiarkannya adalah Islam sesuai ajaran Nabi tanpa dicampuri dengan adat istiadat lama.
Di dalam kesenian beliau juga berjasa besar, karena beliaulah yang pertama kali menciptakan Asmaradana dan Pucung, beliau pula yang
menciptakan tembang dan tembang dolanan anak-anak yang bernafas Islam antara lain: jamuran, Cublak-ublak Suweng, Jithungan dan Delikan.
Sembari melakukan permainan yang disebut jelungan itu biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu Padhang Bulan :
Padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan,
Dolanane na ing latar,
Ngalap padhang gilar-gilar,
Nundhung begog hangetikar.
(malam terang bulan, marilah lekas bermain, bermain dihalaman, mengambil dihalaman, mengambil manfaat benderangnya rembulan, mengusir
gelap yang lari terbirit-birit)
Maksud dari lagu dolanan padhang bulan ;
Agama Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan, dimuka bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar
hilang lenyaplah kebodohan dan kesesatan.
Para Pengganti Sunan Giri

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1412 M, memerintah kerajaan Giri kurang lebih 20 tahun. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau
bergelar Prabu Satmata.
Pengaruh Sunan giri sangatlah besar terhadap kerajaan Islam di jawa maupun di luar jawa. Sebagi buktinya adalah adanya kebiasaan bahwa apabila
seorang hendak dinobatkan menjadi raja haruslah mendapat pengesahan dari Sunan Giri.
Giri Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung selama 200 tahun. Sesudah Sunan Giri meninggal dunia beliau digantikan anak keturunannya yaitu:
Sunan Dalem
Sunan Sedomargi
Sunan Giri Prapen
Sunan Kawis Guwa
Panembahan Ageng Giri
Panembahan Mas Witana Sideng Rana
Pangeran Singonegoro (bukan keturunan Sunan Giri
Pengeran Singosari
Pangeran Singosari ini berjuang gigih mempertahankan diri dari serbuan Sunan Amangkurat II yang dibantu oleh VOC dan Kapten Jonker.
Sesudah pangeran Singosari wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri Kedaton. Meski demikian kharisma Sunan Giri sebagai ulama besar
wali terkemuka tetap abadi sepanjang masa.

LAPORAN KAGIA
TAN
PUBLISHED DESEMBER 27, 2011 BY FAJRINFAUZIAH
Laporan Kagiatan
Diajeungkeun kanggo nohonan tugas Basa Sunda
Panyusun :
Fajrin Siti Fauziah (080910042)
XI A 2
SMA Negeri 2 Ciamis
Jl. KH. Ahmad Dahlan No.2 Ciamis
Laporan Kagiatan
Perkawis Bahaya Narkoba bagi kaum Remaja
1. Tujuan
Masihan elmu pangaweruh ka masyarakat utamina para nonoman perkawis bahayana narkoba
2. Waktos sareng Tempat Pelaksanaan
Waktos : 30 November 2009
Tempat : Kampus SMA Negeri 2 Ciamis
3. Pamilon
a) Kapala Sakola
b) Kapolisian
c) Siswa/siswi kelas XII
4. Kacindekan
Dina raraga ngalaksanakeun kagiatan perkawis bahaya narkoba hasilna tiasa disimpulkeun sapertos kieu :
a) Bahaya narkoba di Indonesia tos ngarambah ka sagala lapisan masyarakat. Korbanna, aya nu tos sepuh dugi ka murangkalih. Kukituna urang
sadaya kedah tiasa ngajagi kaluarga urang sadaya ulah dugi ka ngarandapan sareng ngaraosan narkoba.
b) Para nonoman anu mana salaku panerus pangwangunan kedah tiasa nahan cocobi anu matak nyilakakeun ka diri. Nyaeta ulah ngalaman,

ngaraosan sareng ngedarkeun narkoba.


c) Pamarentah khususna pihak kapolisian RI teu talangke teras ngalaksanakeun panindakan ka para palaku nu kalibet ku narkoba. Sangsina tiasa
dugi ka pidana mati.
5. Panutup
Sakitu anu kapihatur, kirang langkungna mugia ageung sihapuntenna, dina raraga ngalaksanakeun kagiatan perkawis bahayana narkoba, mugia aya
mangpaatna.
Ciamis, 30 November 2009
Panitia,

Girang Serat,

Andini Ratna
NIS. 08095375

M. Hakim Fajar
NIS 08094573

LAPORAN KEGIATAN LOMBA PIDATO

1. Judul atau ngaran kegiatan.


Lomba pidato SMAN 10 CIREBON.

2. Maksud jeng Tujuan kegitan .


Maksud jeng tujuan diaya keunana ieu kegitan teh nya eta diantarana :
Supados siswa langkung maher berpidato.
Siswa langkung percanten salira dina berbahasa kalawan sae.
Nyalurkeun kerertarikan siswa kanggo berbahasa.

3. Waktu jeng Tempat kegiatan


Waktu
: Senin, 10 Pebruari 2014.
Tempat
: Aula SMAN 10 CIREBON.

4. Jenis kegiatan

Jenis kegitan anu dilaksanakeun mangrupa widang perlombaan nalika Indonesia, nalika Inggris, nalika Jepang, nalika Jerman,
serta nalika Sunda.

5. Personil atau organisasi anu kelibet dina kegitan.


Pamilon
Anu jadi pamilon dina ieu kegiatan teh nya eta sakumna siswa kelas X, XI, jeung XII. Jumlah pamilon diwatesanan dina unggal
widang perlombaan. Unggal kelas mung bisa ngirimkeun pamilonna masing masing lima unggal katagorina.
Penanggung jawab
: Gina tanyas
Pupuhu calagara
: Uta lingga
Girang serat
: Enalis unita
Panata harta
: Rinasyta rahmat
Seksi lomba
: Sabrina asyta
Seksi danus
: Lita maylina
Seksi humas
: Doni tambas sukro
Seksi acara
: Halim kusuma
Seksi dokumentasi
: Chandra Inamuel
Seksi konsumsi
: Abay betarisyah

6. Hasil kagiatan
Para patandang anu jadi juara teh nya eta :
Jenis
Juara 1
Juara 2
lomba
Nalika
X2
XI A1
Indonesia
Nalika Inggris
XI A5
XI A3
Nalika Jepang
XI S2
XII S4
Nalika Jerman
X4
XI A5
Nalika Sunda
XI A5
X10

Juara 3
XI A5
XII A2
XII S3
X9
XII A5

7. Waragad
PEMASUKAN

PENGELUARAN

N
URAIAN
O
1 Anggaran
Sakola
2 Kas OSIS
3 Luaran
Patandang
4 Sponsor
5 Donatur
JUMLAH

JUMLAH
500.000;00

N
URAIAN
O
1 hadiah

600.000;00

250.000;00
250.000;00

2
3

150.000;00
100.000;00

300.000;00
200.000;00
1.500.000;0
0

Transport Juri
Kesekretariat
an
4 Konsumsi
5 Pubdok
JUMLAH

JUMLAH

500.000;00
150.000;00
1.500.000;0
0

Contoh laporan kegiatan 17 agustusan singkat


LATAR BELAKANG
Tema HUT RI ke-65: Dengan Semangat Proklamasi 17 Agustus 1945, Kita Lanjutkan Pembangunan Ekonomi Menuju Peningkatan Kesejahteraan Rakyat, serta Kita Perkuat Ketahanan Nasional
Menghadapi Tantangan Global.
*

MAKSUD DAN TUJUAN

Adapun maksud diadakannya kegiatan ini adalah sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan YME dan kegembiraan dalam menyambut Hari Ulang Tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-65 pada
tanggal 17 Agustus 2010

Adapun tujuan diadakannya acara ini :


a. Mempererat tali silaturahmi antar sesama warga RT 06/RW 01 Bukit Jarian , Kel. Hegarmanah Bandung Utara
b. Meningkatkan semangat juang dalam meraih prestasi diantara anak-anak.
c. Memupuk jiwa sportifitas dalam berlomba di antara anak-anak
d. Memupuk semangat kebangsaan antar generasi untuk memperkuat ketahanan nasional menghadapi tantangan global.
*

DASAR KEGIATAN

Kegiatan ini dilaksanakan berdasarkan :


1. Pancasila sila ke-3, Persatuan Indonesia.
2. Petunjuk dan arahan bapak Ketua RW 01 tentang pelaksanaan kegiatan dalam rangka peringatan HUT RI ke-65 di tingkat RT dilingkungan RW 01 Bukit Jarian, Kel. Hegarmanah Bandung Utara.

TEMA KEGIATAN

Kegiatan yang mengedepankan kebersamaan warga antar generasi serta kegiatan anak-anak yang bersifat mengembangkan daya kreatifitas, ketrampilan, ketangkasan dan sportifitas.

MACAM KEGIATAN

1. Acara syukuran HUT RI ke-65 , 17 Agustus 2010


a. Syukuran & Doa
b. Santap Malam Bersama & Ramah Tamah
Detil pelaksanaan akan ditetapkan kemudian
2. Perlombaan balita dan anak-anak
a. Tingkat Balita (usia 0 5 tahun) 3 lomba
b. Tingkat SD (usia 6 12 tahun) 5 lomba
c. Tingkat SMP SMA (usia 13 18 tahun) 6 lomba
Jenis perlombaan akan ditetapkan kemudian

PESERTA : Seluruh warga RT 06/RW 01 Bukit Jarian, Kel. Hegarmanah Bandung Utara.

WAKTU dan TEMPAT PELAKSANAAN

a. Perlombaan balita, anak-anak dan remaja

Hari, tanggal

: Selasa, 17 Agustus 2010

Waktu

: Pukul 07.30 WIB s.d. selesai

Tempat

: Lapangan Volley RT 06/RW 01 Bukit Jarian

b. Acara syukuran HUT RI ke-65


Hari, tanggal

: Selasa, 24 Agustus 2010

Waktu

: Pukul 19.30 WIB s.d. selesai

Tempat

: Lapangan Volley RT 06/RW 01 Bukit Jarian

SUSUNAN KEPANITIAAN

Penasehat
Penanggung Jawab

: Bapak Agus Ari


: Bapak Ronald Agustin

*Panitia Pelaksana*

Ketua Pelaksana

: Rama Ramadan

Sekretaris

: Anto Setiawan

Bendahara

: Risa Septiani

*Seksi-seksi*

1. Seksi Acara Malam Syukuran


Koordinator : Iwan
Anggota

: Endah, Bambang, Iis, Novi, Fauzi, Ari , Abdul Rahman, Sandi.

2. Seksi Perlombaan Anak-Anak


Koordinator

: Sigit

Anggota

: Tuti, Hari, Susi, Evi, Linda, Agus, Septia, Dendi, Aji.

3. Seksi Umum & Dokumentasi


Koordinator

: Febi Silvia

Anggota

: Imam dan Titan

JADWAL PELAKSANAAN KEGIATAN

Selasa, 17 Agustus 2011 Pukul 07.30 WIB s.d. selesai DI Lapangan Volley RT 06/RW 01 Bukit Jarian

PENGELUARAN

1. Seksi Kesekretariatan
- Pembuatan Proposal

: Rp. 25.000

- Foto kopi

: Rp. 25.000

2. Seksi Acara Malam Syukuran


- Konsumsi

: Rp. 800.000

- Hiburan Organ Tunggal

: Rp. 1.000.000

3. Seksi Perlombaan Anak-Anak


- Alat dan bahan perlombaan

: Rp. 100.000

- Hadiah-hadiah

: Rp. 800.000

- Snack untuk 60 orang @Rp. 10.000

: Rp. 600.000

4. Seksi Umum & Dokumentasi


- Cuci cetak foto

: Rp. 50.000

- Transport

: Rp. 100.000

Total
Terbilang: (Tiga Juta Lima Ratus Ribu Rupiah)

SUMBER DANA

Kegiatan ini memperoleh dana dari :

: Rp. 3.500.000

- Bantuan kas RT

: Rp.500.000

- Arisan ibu-ibu

: Rp.250.000

- Donasi para donatur RT06/RW01 yang budiman

: Rp.1.750.000

- Partisipasi warga minimal Rp. 25.000/rumah

: Rp.1.000.000

Total

keseluruhan

Terbilang:

: Rp. 3.500.000

(Tiga Juta Lima Ratus Ribu Rupiah)

PENUTUP

Demikian laporan ini kami buat. Kami berterima kasih atas partisipasi Bapak/Ibu. Semoga laporan ini dapat menjadi acuan untuk kegitan tahun depan .

KETUA RT 06 /RW 01 Kel. Hegarmanah Bandung Utara

Ronald Agustin

Ketua Pelaksana

Sekretaris

Rama Ramadan

Anto Setiawan

Laporan kagiatan
Kunjungan ka museum konferensi asia afrika
Tujuan :
Para siswa kelas VIII B SMP Negeri 32 bandung ngayakeun kunjungan ka museum konferensi asia afrika. Ieu kagiatan di ayakeun kalawan tujuan sangkan para siswa bias
mikanyaho jerona museum jeung sajarah konferensi asia afrika.
Waktu :
Kunjungan ka museum konferensi asia afrika dilaksanakeun dina dinten salasa tanggal 9 april 2013. Angkat ti sakola tabuh 8 enjing nepi ka museum tabuh 9 enjing.
Pamilon :
Abdi angkat ka museum sareng 9 rerencangan abdi nyaeta kinasih, devi, suzan, herawati, nendah, herman, viki, novan jeung m.imam.
Kagiatan :
Di museum abdi sareng rerencangan ninggal seueur sajarah, diantarana nyaet sajarah konferensi asia afrika, persiapan konferensi asia afrika, ruangan nu aya di museum konferensi
asia afrika, jeung tokoh gerakan non-block.
Sajarah konferensi asia afrika nyaeta konferensi asia afrika mangrupakeun gagasan presiden soekarno ti taun 1933 karek ka wujud dina tanggal 18 apriltaun 1955 antar 30 nagara
nu aya di benua asia afrika. Pangaruh konferensi asia afrika nyaerta lahirna nagara-nagara anyar, perananan PBB beuki alus, lahirna kerja sama di sagala bidang, jeun lahirna gerakan nonblock. Persiapan konferensi asia afrika aya dua nyaeta, nu mimiti presiden soekarno ngaganti nami gedung Concordia jadi gedung merdeka, gedung pension jadi gedungdwi warna, jeung
jalan raja (raya) timur jadi jalan asia afrika. Nukadua kota bandung nyiapkeun 14 hotel ageung jeung alit, 31 bunglow di sapanjang jalan cipaganti, jalan lembang jeung jalan ciumbeleung
keur kurang leuwih 1500 tamu paserta jeung fasilitas akomodasi keur kurang leuwih 5000 wartawan jeuro jeung luar negeri. Disadiakeun ogeun oge 143 mobil sedan, 30 taksi, jeung 20
bus. Ruangan nu aya di museum diantarana nyaeta, perpustakaan, audiovisual, jeung sekertariat. Tokoh gerakan non block nyaeta, gaumal abdul Nasser ti nagara messir, awame nkromah ti
naara Ghana, Jawaharlal nehra ti nagara india, soekarno hatta ti nagara Indonesia, jeung josip broz tito ti nagara yugoslawia.
Tabuh sabelas, sabada rengse ngurilingan musum, abdi jeung babaturan tuluy kaluar museum teras papanggih jeung babaturan nu sejen. Tabuh sabelas langkung sapuluh abdi
sareng rerencangan uih ka bumi na masing- masing.

Laporan Pertanggungjawaban
Kegiatan Pesantren Kilat
SMAN 3 Suka Maju

I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Kegiatan
Bulan ramadhan atau yang dikenal dengan bulan suci ramadhan adalah bulan yang penuh dengan rahmat dan pahala dari Allah SWT. Bulan ini merupakan bulan yang sangat baik untuk
beribadah kepada Allah SWT. Hal ini dikarenakan Allah SWT akan menggandakan pahala terhadap amal perbuatan baik yang kita lakukan di bulan ini.
Mengingat pentingnya bulan ini, maka sekolah melaksanakan sebuah kegiatan yang dilakukan untuk menyambut bulan yang penuh berkah ini. Sekolah telah mengadakan kegiatan yang
disebut dengan pesantren kilat. Kegiatan ini perlu dilakukan untuk menumbuhkan rasa semangat siswa siswi SMAN 3 Suka Maju dalam menyambut bulan ini, sehingga mereka bisa
beribadah dengan semangat di dalam bulan ini.

1.2 Maksud dan Tujuan Kegiatan


Kegiatan pesantren kilat ini dilaksanakan untuk menyambut bulan suci ramadhan. Selain itu kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan iman dan takwa siswa siswi SMAN 3 Suka Maju
supaya bisa menjalani bulan suci ini dengan semangat.

II. Isi Laporan


2.1. Nama dan Jenis kegiatan
Kegiatan ini adalah pesantren kilat yang akan dilaksanakan selama 3 hari 2 malam di lingkungan SMAN 3 Suka Maju. Untuk melaksanakan kegiatan ini, sekolah mewajibkan siswa
siswi SMAN 3 Suka Maju, khususnya siswa - siswi kelas 1 dan 2 untuk menginap di sekolah. Kegiatan ini akan diisi dengan kegiatan kegiatan keagamaan, dan out bond di lingkungan
sekolah dengan dibimbing oleh guru guru dan OSIS SMAN 3 Suka Maju.
2.2 Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Adapun waktu dan tempat pelaksanaan kegiatan ini adalah :
Tanggal : Rabu, 3 s.d 5 Juni 2015
Tempat : SMAN 3 Suka Maju
2.3 Peserta Kegiatan
Kegiatan ini diikuti oleh seluruh siswa siswi SMAN 3 Suka Maju yang beragama muslim, khususnya kelas 1 dan kelas 2.
2.4 Susunan Panitia
Susunan panitia kegiatan ini terlampir di lampiran.
2.5. Anggaran
Biaya biaya pemasukan dan pengeluaran untuk kegiatan ini terlampir di lampiran.
2.6 Pelaksanaan kegiatan
Hari pertama
09. 00 12. 00 = Pembukaan Kegiatan
12. 00 13. 00 = Ishoma
13. 00 15. 00 = Materi tentang bulan ramadhan
15. 00 17. 00 = Istirahat

17. 00 18. 00 = Kajian sore


18. 00 19.00 = Ishoma
19. 00 22.00 = Materi malam
22. 00 24.00 = Istirahat malam
Advertisement
Hari kedua
04.30 05. 00 = Sholat Subuh
05.00 06. 00 = Kultum
06. 00 07. 30 = Olahraga
07. 30 09. 00 = Ishoma
09. 00 12. 00 = Materi
12. 00 13. 00 = Ishoma
13. 00 15. 00 = Outbond
15. 00 17. 00 = Ishoma
17. 00 18. 00 = Kajian sore
18. 00 19. 00 = Ishoma
19. 00 22. 00 = Materi malam
22. 00 02. 30 = Istirahat
Hari ketiga
02. 30 03. 00 = Tahajud
05. 00 06. 00 = Sholat subuh dan kultum
06. 00 08.00 = Olahraga dan ishoma
08. 00 10. 00 = Materi dan muhasabah
10. 00 12. 00 = penutup

III. Penutup
Demikanlah laporan kegiatan pesantren kilat ini, semoga kegiatan ini dapat bermanfaat bagi siswa dan siswi yang telah mengikuti kegiatan ini.

Lampiran
Lampiran 1 Susunan Panitia
Penanggung Jawab
Pembimbing

: Drs. Ibnu Baihaqi, M. pd


: Muzaki Saputra, M. Pd

Ketua Pelaksana
Sekretaris

: Aria Nugraha
: Fatimah Azzahra

Seksi Acara

: Dian Permata
Budi Sudarsono
Cintia Tria Delima

Seksi Konsumsi

: Ratih Widia Sari


Nitta Sitta Rahma
Sofie Permata

Seksi Perlengkapan

: Chairul Ichwan
Afif Albaironi
Agung Restu

Pubdekdok

: Defrian Mustafa
Nivia Anda Ningrum

Lampiran 2 Anggaran
Pemasukan :
Kas Sekolah
Sumbangan Komite
Sponsor
Lasegar
LBG Kursus

: 5.000.000,: 6.000.000,: 500.000,: 50. 000,-

Total pemasukan

: 11.000.000.-

Pengeluaran :
Div Konsumsi
Div Acara
Div Perlengkapan
Pubdekdok
Total Pengeluaran

70 x @15.000 x 7

= 7.350.000,= 1.500.000,= 3.000.000,= 5.00.000,= 11.000.000,-

Total Anggaran
Pemasukan
Pengeluaran
Sisa dana

= 11.000.000,= 11.000.000,= 0,-

Kepada Yth
Kepala MAN Lhokseumawe
di- Tempat
Dengan Hormat
Dengan ini pengurus Jurnalis dan Infokom MAN Lhokseumawe melaporkan pertanggungjawaban kegiatan pelatihan menulis yang telah berlangsung dengan sukses pada hari Rabu, tanggal 12
November 2014. Hal-hal yang perlu kami laporkan dalam laporan ini adalah sebagai berikut :
1. Dasar Kegiatan
Menulis merupakan tradisi intelektual muslim yang harus dipertahankan. Menulis merupakan kegemeran ilmuan muslim yang perlu diwariskan kepada generasi muda Islam di masa yang akan datang
agar kejayaan Islam yang sudah mengakar tidak punah seiring perkembangan zaman. Salah satu cara mengikat dan merangkai ilmu adalah dengan menulis, karena menulis merupakan tradisi mengikat ilmu
dengan pena. Oleh karena itu maka kiranya perlu diselengarakan suatu pelatihan bagi generasi muda Islam khususnya siswa/siswi dan guru MAN Lhokseumawe dalam rangka meningkatkan pemahaman
serta menumbuhkan kreativitas dalam menulis sebagai tradisi intelektual muslim. Juga untuk melengkapi tugas Pembina Jurnalis dalam membimbing siswa untuk meningkatkan kemampuan menulis.

2. Tujuan
Tujuan diselenggarakannya pelatihan menulis tersebut adalah sebagai berikut :
a.
Untuk menumbuhkan bakat dan minat siswa/siswi MAN Lhokseumawe dalam menulis.
b. Untuk melatih kreativitas siswa dalam meningkatkan kemampuan menulis.
c. Untuk menumbuhkan rasa cinta bagi siwa/siswi dan guru MAN Lhokseumawe untuk menulis sebagai tradisi intelektual muslim.
3. Waktu dan Tempat Acara
Acara pelatihan menulis dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 12 November 2014 yang bertempat di aula MAN Lhokseumawe. Sebanyak 8 jam pelajaran. Serta pelatihan lainnya yang direncanakan
pada setiap hari Selasa dan Rabu setelah pulang sekolah.
4. Peserta dan Sasaran
Peserta acara pelatihan menulis ini adalah siswa/siswi MAN Lhokseumawe dan guru. Siswa yang hadir pada acara pelatihan menulis sebanyak 95 orang, guru 2 orang, dan seorang staf Tata Usaha
yang terlampir pada absen peserta.
5. Jadwal Kegiatan
Jadwal kegiatan acara pelatihan menulis adalah sebagai berikut :

No

Jenis Kegiatan

Protokol

Pembacaan ayat suci AlQuran

Pelaksana
Misbahul
Muharir Al-Annas

Tanggal
Kegiatan
Rabu,
12 November
2014
s.d.a

Waktu
14.30 - 14.40
WIB
14.30 - 14.35
WIB

Pembukaan

Kepala MAN
Lhokseumawe, Abdul
Razak, S.Ag.
Hamdani, S.Pd.
(Pembina Jurnalis)
Tgk. Mahdi Idris
(Penulis buku dan
sastrawan)

s.d.a

14.35 - 14.40
WIB

Moderator

s.d.a

14.40 -16.30
WIB
14.40 - 16.30
WIB

Teori menulis cerpen dan


motivasi menjadi seorang
penulis muslim

Audiensi/Tanya jawab

Pemateri/peserta

s.d.a

Shalat Ashar

Pemateri/peserta

s.d.a

s.d.a

15.00 - 15.15
WIB
16.00 - 16.15
WIB

6. Sumber Dana dan Alokasi Dana


Untuk kelancaran acara pelatihan menulis buku yang berlangsung menggembirakan tersebut pihak pengurus Jurnalis dan Infokom mendapat bantuan dana dari pihak Kepala MAN Lhokseumawe
sebanyak Rp. 325.000 (Tiga Ratus Dua Puluh Lima Ribu Rupiah). Yang diterima oleh Bapak Hamdani, S.Pd. sebagai Pembina Jurnalis dari Ibu Sry Dahliyuana sebagai pihak bendahara pencair dana setelah
mendapat persetujuan dari Kepala MAN Lhokseumawe Bapak Abdul Razak, S.Ag. pada hari Selasa, tanggal 11 November 2014. Dana tersebut rencananya diperuntukan sebagai berikut :

No
1
2
3
4

Peruntukan Dana
Honorarium pemateri luar, Tgk. Mahdi Idris (penulis buku
dan sastrawan)
Transpor Pembina Jurnalis Hamdani, S.Pd. (moderator)
Foto kopi bahan materi pelatihan 20 eks
Konsumsi pemateri dan minum peserta
Jumlah

Jumlah Dana
Rp. 200.000
Rp. 50.000
Rp. 50.000
Rp. 25.000
Rp. 325.000 (Tiga Ratus Dua
Puluh Lima Ribu Rupiah)

7. Penggunaan Dana
Untuk kelancaran acara pelatihan menulis buku tersebut dengan ini kami menggunakan dana yang kami terima sesuai dengan sasaran dan kami laporkan kepada pihak Kepala MAN Lhokseumawe
dengan perincian sebagai berikut :

No
1
2
3
4
5
6
7
8

Penggunaan Dana
Honorarium pemateri luar, Tgk. Mahdi Idris (penulis buku
dan sastrawan)
Transpor Pembina Jurnalis Hamdani, S.Pd. (moderator)
Foto kopi bahan materi pelatihan 20 eks (makalah)
Beli makanan ringan pemateri dan panitia 3 kotak
Beli nasi pembina dan panitia 2 bungkus
Beli Aqua sedang 4 botol untuk pemateri dan panitia
Foto kopi proposal
Beli Aqua gelas untuk peserta 1 kardus
Jumlah

Jumlah Dana
Rp. 200.000
Rp. 11.000
Rp. 30.000
Rp. 12.000
Rp. 28.000
Rp. 12.000
Rp. 4000
Rp. 28.000
Rp. 325.000 (Tiga Ratus Dua
Puluh Lima Ribu Rupiah)

8. Hasil yang Dicapai


Acara pelatihan menulis buku tersebut sangat memuaskan para siswa peserta dan guru pembimbing, karena acara seperti ini jarang dilakukan. Para peserta mengharapkan agar acara serupa dilakukan
secara rutin. Dari pihak pengurus akan terus berusaha minimal dalam sebulan sekali akan melaksanakan bimbingan secara bervariasi.
Hasil yang telah dicapai dari diselenggarakannya pelatihan menulis tersebut adalah sebagai berikut :
1. Telah menumbuhkan bakat dan minat siswa/siswi MAN Lhokseumawe dalam menulis. Dengan mendengar langsung pengalaman-pengalaman dan motivasi tentang menulis dari Tgk. Mahdi Idris
sebagai seorang penulis buku, sastrawan, dan juga ulama dayah Aceh.
2. Telah melatih kreativitas siswa dalam meningkatkan kemampuan menulis. Dengan memberikan beberapa tugas seperti menulis kumpulan puisi, cerpen, dan tulisan sastra lainnya untuk selanjutnya
dikirim ke redaksi beberapa media surat kabar.
3. Minimal telah menumbuhkan rasa cinta bagi siwa/siswi dan guru MAN Lhokseumawe untuk menulis sebagai tradisi intelektual muslim. Hal ini terbukti dengan minat beberapa siswa yang akan
mengirimkan karya tulis ke email Tgk. Mahdi Idris untuk dinilai dan diapresiasikan, jika lulus seleksi akan dikirim ke beberapa media surat kabar. Atau minimal tulisan siswa sebagai penulis
muslim dapat dipublikasikan di majalah dinding madrasah untuk membangkitkan semangat siswa lain untuk menulis.
9. Saran-Saran
Dari pihak pengurus dan panitia mengucapkan terimakasih kepada Kepala MAN Lhokseumawe, Wakamad, Staf Tata Usaha, dan semua pihak yang telah ikut berpartisipasi dan membantu baik
berupa dana, tenaga, pikiran, maupun sarana dalam acara pelatihan menulis ini sehingga berlangsung sukses. Dan kami menyarankan kepada pihak kepala madrasah untuk terus membantu dan mendukung
jika acara serupa dilaksanakan pada masa yang akan datang.
Demikian laporan ini kami susun beserta lampiran-lampirannya atas perhatian dan bantuan pihak Kepala MAN Lhokseumawe kami ucapkan terimakasih.

Lhokseumawe, 13 November 2014


Disetujui Oleh :
Kepala MAN Lhokseumawe,

Abdul Razak, S.Ag.


NIP. 196702052007011053

Mengetahui :
Pembina Jurnalis dan Infokom,

Hamdani, S.Pd.
NIP. 197905102006041004

1.

SUNAN MURIA
Asal Usul Sunan Muria

Beliau adalah putera Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said. Seperti ayahnya, dalam berdakwah beliau
menggunakan cara halus, ibarat mengambil ikan tidak sampai mengeruhkan airnya. Itulah cara yang ditempuh untuk menyiarkan agama Islam di
sekitar Gunung Muria.

Tempat tinggal beliau di gunung Muria yang salah satu puncaknya bernama Colo. Letaknya disebelah utara kota Kudus. Sasaran dakwah beliau
adalah para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata. Beliau lah satu-satu wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan dan wayang
sebagai alat dakwah untuk menyampaikan Islam. Dan beliau pula yang menciptakan tembang Sinom dan Kinanti.

2.

Sakti Mandraguna

Bahwa Sunan Muria itu adalah wali yang sakti, kuat fisiknya dapat dibuktikan dengan letak padepokannya yang terletak di atas gunung. Menuju ke
makam Sunan Muria pun perlu tenaga ekstra karena berada diatas bukit yang tinggi.

Bayangkanlah, jika sunan Muria dan isterinya atau dengan muridnya setiap hari harus naik turun guna menyebarkan agama Islam kepada penduduk
setempat, atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para pedagang. Hal itu tidak dapat dilakukannya tanpa adanya fisik yang kuat.
Soalnya menunggang kuda tidak mungkin dapat dilakukan untuk mencapai tempat tinggal Sunan Muria. Harus dengan jalan kaki. Itu berarti Sunan
Muria memiliki kesaktian yang tinggi, demikian pula dengan murid-muridnya.
Bukti bahwa Sunan Muria adalah guru yang sakti mandraguna dapat ditemukan dalam kisah perkawinan dengan Dewi Roroyono. Dewi Roroyono
adalah puteri Sunan Ngerang, yaitu seorang ulama yang disegani masyarakat karena ketinggian ilmunya, tempat tinggalnya di Juana.

Demikian saktinya Sunan Ngerang ini sehingga Sunan Muria dan Sunan Kudus sampai-sampai berguru kepada beliau.

Pada suatu hari Sunan Ngerang mengadakan syukuran atas usia Dewi Roroyono yang genap 20 tahun. Murid-muridnya diundang semua. Seperti :
Sunan Muria, Sunan Kudus, Adipati Pathak Warak, Kapa dan Adiknya Gentiri. Tetangga dekat jua diundang, demikian pula snak kadang yang dari
jauh.

Setelah tamu berkumpul Dewi Roroyono dan adiknya Dewi Roro Pujiwati keluar menghidangkan makanan dan minuman. Keduanya adalah daradara yang cantik jelita. Terutama Dewi Roroyono yang telah berusia 20 tahun, bagaikan bunga yang sedang mekar-mekarnya.

Bagi Sunan Kudus dan Sunan Muria yang sudah berbekal ilmu agama dapat menahan pandangan matanya sehingga tidak terseret oleh godaan
setan. Tapi seorang murid Sunan Ngerang yang lain yaitu Adipati Pathak Warak memandang Dewi Roroyono dengan mata tidak berkedip melihat
kecantikan gadis itu.

Sewaktu menjadi cantrik atau murid Sunan Ngerang, yaitu ketika Pthak Warak belum menjadi seorang Adipati, Roroyono masih kecil, belum
nampak benar kecantikannya yang mempesona, sekarang gadis itu benar-benar membuat Adipati Pathak Warak tergila-gila. Sepasang matanya
hampir melotot memandangi gadis itu terus menerus.

Karena dibakar api asmara yang menggelora, Pathak Warak tidak tahan lagi. Dia menggoda Roroyono dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas.
Lebih-lebih setelah lelaki itu bertindak kurang ajar.

Tentu saja Roroyono merasa malu sekali, lebih-lebih ketiak lelaki itu berlaku kurang ajar dengan memegangi bagian-bagian tubuhnya yang tak
pantas disentuh. Si gadis naik pitam, nampan berisi minuman yang dibawanya sengaja ditumpahkan ke pakaian sang adipati.

Pathak Warak menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali diperlakukan seperti itu. Apalagi dilihatnya para tamu undangan menertawakan
kekonyolan itu, diapun semakin malu. Hampir saja Roroyono ditamparnya kalau tidak ingat bahwa gadis itu adalah puteri gurunya.

Roroyono masuk kedalam kamarnya, gadis itu menangis sejadi-jadinya karena dipermalukan oleh Pathak Warak.

Malam hari tamu-tamu dari dekat sudah pulang ketempatnya masing-masing. Tamu dari jauh terpaksa menginap di rumah Sunan Ngerang,
termasuk Pathak Warak dan Sunan Muria. Namun hingga lewat tengah malam Pathak Warak belum dapat memejamkan matanya.

Pathak Warak kemudian bangkit dari tidurnya. Mengendap-ngendap ke kamar Roroyono. Gadis itu diserepnya sehingga tidak sadarkan diri,
kemudian melalui genteng Pathak Warak masuk dan membawa lari gadis itu melalui jendela. Dewi Roroyono dibaw alari ke Mandalika, wilayah
Keling atau Kediri.

Setelah Sunan Ngerang mengetahui bahwa puterinya diculik oleh Pathak Warak, maka beliau berikrar siapa saja yang berhasil membawa puterinya
kembali ke ngerang akan dijodohkan dengan puterinya itu dan bila perempuan akan dijadikan saudara Dewi Roroyono. Tak ada yang menyatakan
kesanggupannya. Karena semua orang telah maklum akan kehebatan dan kekejaman Pathak Warak. Hanya Sunan Muria yang bersedia memnuhi
harapan Sunan Ngerang.

Saya akan berusaha mengambil Diajeng Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, kata Sunan Muria.

Tetapi ditengah perjalan Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan Gentiri, adik seperguruan yang lebih dulu pulang sebelum acara syukuran
berakhir. Kedua orang itu merasa heran melihat Sunan Muria berlari cepat menuju arah daerah Keling.

Mengapa kakang tampak tergesa-gesa? Tanya Kapa. Sunan Muria lalu menceritakan penculikan Dewi Roroyono yang dilakukan oleh Pathak
Warak.

Kapa dan Gentiri sangat menghormati Sunan Muria sebagai saudara seperguruan yang lebih tua. Keduanya lantas menyatakan diri untuk
membantu Sunan Muria merebut kembali Dewi Roroyono.

Kakang sebaiknya pulang ke Padepokan Gunung Muria. Murid-murid kakang sangat membutuhkan bimbingan. Biarlah kami berusaha merebut
diajeng Dewi Roroyono kembali. Kalau berhasil kakang tetap berhak mengawininya, kami hanya sekedar membantu, kata kapa.

Aku masih sanggup untuk merebutnya sendiri, ujar Sunan Muria.

Itu benar, tapi membimbing orang memperdalam agama Islam lebih penting, percayalah pada kami. Kami pasti sanggup merebutnya kembali, kata
kapa ngotot.

Sunan Muria akhirnya meluluskan permintaan adik seperguruannya itu. Rasanya tidak enak menolak seseorang yang hendak berbuat baik. Lagi
pula ia harus menengok para santrinya di padepokan Gunung Muria.

Untuk merebut Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, Kapa dan Gentiri ternyata minta bantuan seorang Wiku Lodhang Datuk di pulau Sprapat
yang dikenal sebagai tokoh sakti yang jarang tandingannya. Usaha itu berhasil. Dewi Roroyono dikembalikan ke Ngerang.

Hari berikutnya Sunan Muria hendak ke Ngerang. Ingin mengetahui perkembangan usaha Kapa dan Gentiri. Ditengah jalan beliau bertemu dengan
Adipati Pathak Warak.

Hai Pathak Warak berhenti kau, bentak Sunan Muria.

Pathak Warak yang sedang naik kuda terpaksa berhenti karena Sunan Muria menghadang didepannya.

Minggir!! Jangan menghalangi Jalanku, hardik Pathak Warak.

Boleh, asal kau kembalikan Dewi Roroyono !

Goblok!! Dewi Roroyono sudah dibawa Kapa dan Gentiri!! Kini aku hendak mengejar mereka!! Umpat Pathak Warak.

Untuk apa kau mengejar mereka?

Merebutnya kembali! Jawab Pathak Warak dengan sengit.

Kalau begitu langkahi dulu mayatku, Dewi Roroyono telah dijodohkan denganku, ujar Sunan Muria sambil pasang kuda-kuda.

Tanpa basa basi Pathak Warak melompat dari punggung kuda. Dia merangkak ke arah Sunan Muria dengan jurus-jurus cakar harimau. Tapi dia
bukan tandingan putera Sunan Kalijaga yang memiliki segudang kesaktian.

Hanya dalam beberapa kali gebrakan, Pathak Warak telah jatuh atau roboh di tanah dalam keadaan fatal. Seluruh kesaktiannya lenyap dan ia
menjadi lumpuh, tak mampu untuk bangkit berdiri apalagi berjalan.

Sunan Muria kemudian meneruskan perjalanan ke Juana. Kedatangannya disambut gembira oleh Sunan Ngerang. Karena Kapa dan entiri telah
bercerita jujur bahwa mereka sendirilah yang memaksa mengambil alih tugas Sunan Muria mencari Dewi Roroyono, maka Sunan Ngerang pada
akhirnya menjodohkan Dewi Roroyono dengan Sunan Muria. Upacara pernikahan pun segera dilaksanakan.

Kapa dan Gentiri yang berjasa besar itu diberi hadiah tanah di desa Buntar. Dengan hadiah itu keduanya sudah menjadi orang kaya yang hidupnya
serba berkecukupan.

Sedang Sunan Muria memboyong isterinya ke Padepokan Gunung Muria. Mereka hidup Bahagia, karena merupakan pasangan yang ideal.

Tidak demikian halnya dengan Kapa dan Gentiri. Sewaktu membawa Dewi Roroyono dari keling ke Ngerang agaknya mereka terlanjur terpesona
oleh kecantikan wanita jelita itu. Siang malam mereka tidak bisa tidur. Wajah wanita itu senantiasa terbayang. Namun karena wanita itu sudah
diperisteri kakak seperguruannya mereka tak dapat berbuat apa-apa lagi. Hanya penyesalan yang menghujam didada. Mengapa mereka dulu
terburu-buru menawarkan jasa baiknya. Betapa enaknya Sunan Muria, tanpa bersusah payah sekarang menikmati kebahagiaan bersama gadis yang
mereka dambakan. Inilah hikmah ajaran agama agar lelaki diharuskan menahan pandangan matanya dan menjaga kehotmatan (kemaluan) mereka.

Andaikata Kapa dan Gentiri tidak memandang terus menerus kearah wajah dan tubuh Dewi Roroyono yang indah itu pasti mereka tidak akan
terpesona dan tidak terjerat oleh iblis yang memasang perangkap pada pandangan mereka.

Kini Kapa dan Gentiri benar-benar telah dirasuki iblis. Mereka bertekad hendak merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan Muria. Mereka telah
sepakat untuk menjadikan wanita itu sebagai isteri bersama secara bergiliran. Sungguh keji rencana mereka.

Gentiri berangkat lebih dahulu ke Gunung Muria. Namun ketika ia hendak melaksanakan niatnya dipergoki oleh murid Sunan Muria, terjadilah
pertempuran dahsyat. Apalagi ketika Sunan Muria keluar menghadapi Gentiri, suasana menjadi semakin panas. Akhirnya gentiri tewas menemui
ajalnya di puncak Gunung Muria.

Kematian Gentiri cepat tersebar ke berbagai daerah. Tapi tidak membuat surut niat Kapa. Kapa cukup cerdik. Dia datang ke gunung Muria secara
diam-diam dimalam hari. Tak seorangpun yang mengetahuinya.
Kebetulan pada saat itu Sunan Muria dan beberapa murid pilihannya sedang bepergian ke Demak Bintoro. Kapa menyerep murid-murid Sunan
Muria yang berilmu rendah, yang ditugaskan menjaga Dewi Roroyono. Kemudian yang dengan mudahnya Kapa menculik dan membawa wanita
impiannya itu ke pulau sprapat.

Pada saat yang sama, sepulangnya dari Demak Bintoro. Sunan Muria bermaksud mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang Datuk di pulau
Sprapat. Ini biasanya dilakukannya bersahabat dengan pemeluk agama lain bukanlah suatu dosa. Terlebih sang Wiku itu pernah meneolongnya
merebut Dewi Roroyono dari Pathak Warak.

Seperti ajaran Sunan Kalijaga yang mampu hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain dalam suatu negeri. Lalu ditunjukkan akhlak Islam
yang mulia dan agung. Bukannya berdebat tentang perbedaan agama itu sendiri. Dengan menerapkan ajaran-ajaran akhlak yang mulia itu nyatanya
banyak pemeluk agama lain yang pada akhirnya tertarik dan masuk Islam secara sukarela.

Ternyata, kedatangan Kapa ke pulau Sparapat itu tidak disambut baik oleh Wiku Lodhang Datuk.

Memalukan! Benar-benar nista perbuatanmu itu! Cepat kembalikan isteri kakang seperguruanmu sendiri itu! Hardik Wiku Lodhang Datuk dengan
marah.

Bapa Guru ini bagaiman, bukakah aku ini muridmu? Mengapa tidak kau bela? Protes Kapa.

Sampai matipun aku takkan sudi membela kebejatan budi pekerti walau pelakunya itu muridku sendiri !

Perdebatan antara guru dengan murid itu berlangsung lama. Tanpa mereka sadari Sunan Muria sudah sampai ditempat itu. Betapa terkejutnya
Sunan Muria melihat isterinya sedang tergolek ditanah dalam keadaan terikat kaki dan tangannya. Sementara Kapa dilihatnya sedang adu mulut
dengan gurunya yaitu Wiku Lodhang Datuk.

Begitu mengetahui kedatangan Sunan Muria, Kapa Langsung melancarkan serangan dengan jurus-jurus maut. Wiku Lodhang Datuk menjauh,
melangkah menuju Dewi Roroyono untuk membebaskan belenggu yang dilakukan Kapa.

Bersamaan dengan selesainya sang Wiku membuka tali yang mengikat tubuh Dewi Roroyono. Tiba-tiba terdengar jeritan keras dari mulut Kapa.

Ternyata serangan dengan pengerahan aji kesaktian yang dilakukan Kapa berbalik menghantam dirinya sendiri. Itulah ilmu yang dimiliki Sunan
Muria. Mampu membalikkan serangan lawan.

Karena Kapa menggunakan aji pamungkas yaitu puncak kesaktian yang dimilikinya maka ilmu itu akhirnya merenggut nyawanya sendiri.

Maafkan saya tuan Wiku.,ujar Sunan Muria agak menyesal. Tidak mengapa. Menyesal aku turut memberikan ilmu kepadanya. Ternyata ilmu itu
digunakan untuk jalan kejahatan, gumam Sang Wiku.

Bagaimanapun Kapa adalah muridnya, pantaslah kalau dia menguburkannya secara layak.

Pada akhirnya Dewi Roroyono dan Sunan Muria kembali ke Padepokan dan hidup bahagia.

Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat Sunda di Pulau Jawa bagian b
Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga mengh
bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Dictionary of the Sunda Languag
Jonathan Rigg, yang diterbitkan pada tahun 1862 di Batavia, menuliskan bahwa angklung adalah alat musik yang terbuat dari pipa-pipa bamb
dipotong ujung-ujungnya, menyerupai pipa-pipa dalam suatu organ, dan diikat bersama dalam suatu bingkai, digetarkan untuk menghasilkan
Angklung terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak November 2010.
Tidak ada petunjuk sejak kapan angklung digunakan, tetapi diduga bentuk primitifnya telah digunakan dalam kultur Neolitikum yang berkem
Nusantara sampai awal penanggalan modern, sehingga angklung merupakan bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan Nusantara.
Catatan mengenai angklung baru muncul merujuk pada masa Kerajaan Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik ba
seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan
pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip).
Masyarakat Baduy, yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian dari ritual mengawali
penanaman padi. Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau.
Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi agar tanaman padi rakya
tumbuh subur.
Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah bambu hitam (awi wulung) dan bambu putih (awi temen). Tiap nada (lar
dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk bilah (wilahan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.
Teknik permainan angklung
emainkan sebuah angklung sangat mudah. Seseorang tinggal memegang rangkanya pada salah satu tangan (biasanya tangan kiri) sehingga angklung te
bas, sementara tangan lainnya (biasanya tangan kanan) menggoyangnya hingga berbunyi. Dalam hal ini, ada tiga teknik dasar menggoyang angklung:
Kurulung (getar), merupakan teknik paling umum dipakai, dimana tangan kanan memegang tabung dasar dan menggetarkan ke kiri-kanan berkali-kali s
da ingin dimainkan
Centok (sentak), adalah teknik dimana tabung dasar ditarik dengan cepat oleh jari ke telapak tangan kanan, sehingga angklung akan berbunyi sekali saja
acato).
engkep, mirip seperti kurulung namun salah satu tabung ditahan tidak ikut bergetar. Pada angklung melodi, teknik ini menyebabkan angklung mengelu
da murni (satu nada melodi saja, tidak dua seperti biasanya). Sementara itu pada angklung akompanimen mayor, teknik ini digunakan untuk memainka
ayor (3 nada), sebab bila tidak ditengkep yang termainkan adalah akord dominan septim (4 nada).
Fungsi
Masa kerajaan Sunda, angklung digunakan di antaranya sebagai penyemangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa seman
rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan
angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya dimainkan oleh anak- anak pada waktu itu.

Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu
dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Demikian pula pada saat p
panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian
menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdan
Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.

HALO

Anda mungkin juga menyukai