Anda di halaman 1dari 5

Sunan Ampel

Keterangan 'tag' di halaman ini

Sunan Ampel adalah salah seorang wali diantara Walisongo yang menyebarkan ajaran Islam di Pulau
Jawa. Ia lahir 1401 di Champa. Ada dua pendapat mengenai lokasi Champa ini. Encyclopedia Van
Nederlandesh Indie mengatakan bahwa Champa adalah satu negeri kecil yang terletak di Kamboja.
Pendapat lain, Raffles menyatakan bahwa Champa terletak di Aceh yang kini bernama Jeumpa. Menurut
beberapa riwayat, orang tua Raden Rahmat, nama lain Sunan Ampel, adalah Maulana Malik Ibrahim
(menantu Sultan Champa dan ipar Dwarawati). Dalam catatan Kronik Cina dari Klenteng Sam Po Kong,
Sunan Ampel dikenal sebagai Bong Swi Hoo, cucu dari Haji Bong Tak Keng - seorang Tionghoa (suku Hui
beragama Islam mazhab Hanafi) yang ditugaskan sebagai Pimpinan Komunitas Cina di Champa oleh Sam
Po Bo. Sedangkan Yang Mulia Ma Hong Fu - menantu Haji Bong Tak Keng ditempatkan sebagai duta
besar Tiongkok di pusat kerajaan Majapahit, sedangkan Haji Gan En Cu juga telah ditugaskan sebagai
kapten Cina di Tuban. Haji Gan En Cu kemudian menempatkan menantunya Bong Swi Hoo sebagai
kapten Cina di Jiaotung (Bangil).[1][2]

Sementara itu seorang putri dari Kyai Bantong (versi Babad Tanah Jawi) alias Syaikh Bantong (alias Tan
Go Hwat menurut Purwaka Caruban Nagari) menikah dengan Prabu Brawijaya V (alias Bhre Kertabhumi)
kemudian melahirkan Raden Fatah. Namun tidak diketahui apakah ada hubungan antara Ma Hong Fu
dengan Kyai Bantong.

Dalam Serat Darmo Gandhul, Sunan Ampel disebut Sayyid Rahmad merupakan keponakan dari Putri
Champa permaisuri Prabu Brawijaya yang merupakan seorang muslimah.

Raden Rahmat dan Raden Santri adalah anak Makhdum Ibrahim (putra Haji Bong Tak Keng), keturunan
suku Hui dari Yunnan yang merupakan percampuran bangsa Han/Tionghoa dengan bangsa Arab dan
Asia Tengah (Samarkand/Asmarakandi). Raden Rahmat, Raden Santri dan Raden Burereh/Abu Hurairah
(cucu raja Champa) pergi ke Majapahit mengunjungi bibi mereka bernama Dwarawati puteri raja
Champa yang menjadi permaisuri raja Brawijaya. Raja Champa saat itu merupakan seorang muallaf.
Raden Rahmat, Raden Santri dan Raden Burereh akhirnya tidak kembali ke negerinya karena Kerajaan
Champa dihancurkan oleh Kerajaan Veit Nam.

Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (= Hikayat Banjar resensi I), nama asli Sunan Ampel adalah
Raja Bungsu, anak Sultan Pasai. Dia datang ke Majapahit menyusul/menengok kakaknya yang diambil
istri oleh Raja Mapajahit. Raja Majapahit saat itu bernama Dipati Hangrok dengan mangkubuminya Patih
Maudara (kelak Brawijaya VII) . Dipati Hangrok (alias Girindrawardhana alias Brawijaya VI) telah
memerintahkan menterinya Gagak Baning melamar Putri Pasai dengan membawa sepuluh buah perahu
ke Pasai. Sebagai kerajaan Islam, mulanya Sultan Pasai keberatan jika Putrinya dijadikan istri Raja
Majapahit, tetapi karena takut binasa kerajaannya akhirnya Putri tersebut diberikan juga. Putri Pasai
dengan Raja Majapahit memperoleh anak laki-laki. Karena rasa sayangnya Putri Pasai melarang Raja
Bungsu pulang ke Pasai. Sebagai ipar Raja Majapahit, Raja Bungsu kemudian meminta tanah untuk
menetap di wilayah pesisir yang dinamakan Ampelgading. Anak laki-laki dari Putri Pasai dengan raja
Majapahit tersebut kemudian dinikahkan dengan puteri raja Bali. Putra dari Putri Pasai tersebut wafat
ketika istrinya Putri dari raja Bali mengandung tiga bulan. Karena dianggap akan membawa celaka bagi
negeri tersebut, maka ketika lahir bayi ini (cucu Putri Pasai dan Brawijaya VI) dihanyutkan ke laut, tetapi
kemudian dapat dipungut dan dipelihara oleh Nyai Suta-Pinatih, kelak disebut Pangeran Giri. Kelak
ketika terjadi huru-hara di ibukota Majapahit, Putri Pasai pergi ke tempat adiknya Raja Bungsu di
Ampelgading. Penduduk desa-desa sekitar memohon untuk dapat masuk Islam kepada Raja Bungsu,
tetapi Raja Bungsu sendiri merasa perlu meminta izin terlebih dahulu kepada Raja Majapahit tentang
proses islamisasi tersebut. Akhirnya Raja Majapahit berkenan memperbolehkan penduduk untuk beralih
kepada agama Islam. Petinggi daerah Jipang menurut aturan dari Raja Majapahit secara rutin
menyerahkan hasil bumi kepada Raja Bungsu. Petinggi Jipang dan keluarga masuk Islam. Raja Bungsu
beristrikan puteri dari petinggi daerah Jipang tersebut, kemudian memperoleh dua orang anak, yang
tertua seorang perempuan diambil sebagai istri oleh Sunan Kudus (tepatnya Sunan Kudus
senior/Undung/Ngudung), sedang yang laki-laki digelari sebagai Pangeran Bonang. Raja Bungsu sendiri
disebut sebagai Pangeran Makhdum.

Silsilah
Sunan Ampel / Raden Rahmat / Sayyid Ahmad Rahmatillah bin

Maulana Malik Ibrahim / Ibrahim Asmoro bin

Syaikh Jumadil Qubro / Jamaluddin Akbar al-Husaini bin

Ahmad Jalaludin Khan bin

Abdullah Khan bin

Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad,India) bin

Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin

Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut)

Ali Kholi' Qosam bin

Alawi Ats-Tsani bin

Muhammad Sohibus Saumi'ah bin

Alawi Awwal bin


Ubaidullah bin

Ahmad al-Muhajir bin

Isa Ar-Rumi bin

Muhammad An-Naqib bin

Ali Uraidhi bin

Ja'far ash-Shadiq bin

Muhammad al-Baqir bin

Ali Zainal Abidin bin

Imam Husain bin

Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra binti Muhammad

Jadi, Sunan Ampel memiliki darah Uzbekistan dan Champa dari sebelah ibu. Tetapi dari ayah leluhur
mereka adalah keturunan langsung dari Ahmad al-Muhajir, Hadhramaut. Bermakna mereka termasuk
keluarga besar Saadah BaAlawi.

Keturunan

Isteri Pertama, yaitu: Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo Al-Abbasyi, berputera:

Maulana Mahdum Ibrahim/Raden Mahdum Ibrahim/ Sunan Bonang/Bong Ang

Syarifuddin/Raden Qasim/ Sunan Drajat

Siti Syari’ah/ Nyai Ageng Maloka/ Nyai Ageng Manyuran

Siti Muthmainnah

Siti Hafsah

Isteri Kedua adalah Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera:

Dewi Murtasiyah/ Istri Sunan Giri

Dewi Murtasimah/ Asyiqah/ Istri Raden Fatah


Raden Husamuddin (Sunan Lamongan)

Raden Zainal Abidin (Sunan Demak)

Pangeran Tumapel

Raden Faqih (Sunan Ampel 2)

Sejarah dakwah
Syekh Jumadil Qubro (alias Haji Bong Tak Keng), dan kedua anaknya, Maulana Malik Ibrahim dan
Maulana Ishak bersama sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah, Syekh Jumadil Qubro
tetap di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan, dan adiknya Maulana Ishak
mengislamkan Samudra Pasai.

Di Kerajaan Champa, Maulana Malik Ibrahim berhasil mengislamkan Raja Champa, yang akhirnya
mengubah Kerajaan Champa menjadi Kerajaan Islam. Akhirnya dia dijodohkan dengan putri raja Champa
(adik Dwarawati), dan lahirlah Raden Rahmat. Di kemudian hari Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau
Jawa tanpa diikuti keluarganya.

Sunan Ampel (Raden Rahmat) datang ke pulau Jawa pada tahun 1443, untuk menemui bibinya,
Dwarawati. Dwarawati adalah seorang putri Champa yang menikah dengan raja Majapahit yang
bernama Prabu Kertawijaya.

Sunan Ampel menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri seorang adipati di Tuban yang bernama Arya
Teja. Mereka dikaruniai 4 orang anak, yaitu:

Putri Nyai Ageng Maloka,

Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang),

Syarifuddin (Sunan Drajat)

Syarifah, yang merupakan istri dari Sunan Kudus.


Mohlimo[3] atau Molimo, Moh (tidak mau), limo (lima), adalah falsafah dakwah Sunan Ampel untuk
memperbaiki kerusakan akhlak di tengah masyarakat pada zaman itu yaitu:

Moh Mabok: tidak mau minum minuman keras, khamr dan sejenisnya.

Moh Main: tidak mau main judi, togel, taruhan dan sejenisnya.

Moh Madon: tidak mau berbuat zina, homoseks, lesbian dan sejenisnya.

Moh Madat: tidak mau memakai narkoba dan sejenisnya.

Moh Maling: tidak mau mencuri, korupsi, merampok dan sejenisnya.

Pada tahun 1479, Sunan Ampel mendirikan Mesjid Agung Demak. Dan yang menjadi penerus untuk
melanjutkan perjuangan dakwah dia di Kota Demak adalah Raden Zainal Abidin yang dikenal dengan
Sunan Demak, dia merupakan putra dia dari istri dewi Karimah.Sehingga Putra Raden Zainal Abidin yang
terakhir tercatat menjadi Imam Masjid Agung tersebut yang bernama Raden Zakaria (Pangeran
Sotopuro).

Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid
Ampel, Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai