Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

MASAILUL FIQHIYYAH

Presiden Non Muslim


Makalah Ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Masailul Fiqhiyyah

Dosen Pengampu:

Muhammad Luthvi Al Hasyimi, M.pd

Disusun Oleh:

Dany Erik Prastio


Riski Adi Pratama
Shofiyatul Mukarromah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MA’RIF MAGETAN


PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
2021

1
Kata Pengantar
Puji serta rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang terus menerus
tanpa berhenti sedikitpun memberikan dan melimpahkan rahmat dan nikmatnya yang tidak
terhitung kepada kami dan kita semua, terutama nikmat iman, islam dan kesehatan serta
kekuatan, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami meyakini bahwa penulisan
makalah ini, mustahil selesai tanpa pertolongan dan bimbingan Allah SWT. Shalawat serta
salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada sang panutan Nabi Muhammad SAW
beserta keluarganya, para sahabatnya, serta para pengikutnya yang setia mengikuti ajarannya
hingga akhir zaman.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dosen Muhammad Luthvi Al


Hasyimi, M.Pd. selaku pengampu Mata Kuliah Masailul Fiqiyah yang telah memberikan
tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan kami sesuai dengan bidang
studi yang kami tekuni.

Kami sadar bahwa makalah ini masih sangat sederhana dan jauh dari kata sempurna.
Memang tidak mudah bagi penulis untuk menyelesaikan makalah ini, karena banyak
hambatan dan tantangan yang harus kami hadapi baik dari faktor internal maupun eksternal.
Maka disinilah pertolongan Allah SWT dan peran orang-orang terdekat yang dapat
memberikan pemikiran dan motivasi, serta dukungan semua pihak penulis rasakan.

Kami juga tidak lupa memohon untuk dibukakan pintu maaf yang setulus-tulusnya
jika dalam penulisan ini terdapat hal yang tidak berkenan. Namun demikian penulis berharap
semoga karya tulis ini bermanfaat bagi diri pribadi khususnya dan para pembaca umumnya.

Magetan,15 November 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………..... 2

DAFTAR ISI ……………………………………………………………….... 3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………………………………………………………. 4


B. Rumusan Masalah ………………………………………………....… 4
C. Tujuan Penulisan ……………………………………………….......... 4

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Pemimpin ………………………………………………....…. 5


B. Macam-Macam Istilah Pemimpin di dalam Alquran ……………....… 5
C. Hukum Mengangkat Pemimpin non Muslim…………....……….....… 7
D. Kriteria Seorang Pemimpin menurut Islam ……………………......... 10
E. Tujuan Adanya Pemimpin ………………………………………....... 10

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ………………………………………………………..... 11
B. Saran ………………………………………………………….......... 11

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………...…....12

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Polemik tentang boleh-tidaknya seorang non-Muslim memimpin sebuah negara yang


penduduknya mayoritas beragama Islam merupakan konsekuensi logis dari sebuah negara
yang lebih memilih menjadi negara abu-abu dari pada memilih secara tegas apakah ia negara
agama atau negara sekuler, meskipun wacana negara agama masih perlu ditinjau ulang
relevansinya karena setiap pilihan memiliki konsekuensi logis yang berbeda pula. Hak-hak
politik warga negara sangat ditentukan oleh bentuk negara.
Sebuah negara Islam di mana konstitusi dan segala bentuk peraturan perundang-undangan
harus berdasarkan pada kitab suci tidak mungkin melanggengkan seorang non-Muslim
menjadi pemimpin negara, sebab pemimpin negara Islam harus orang yang memiliki
pemahaman komprehensif mengenai Islam, sehingga mustahil tugas tersebut diemban non-
Muslim. Sebaliknya, negara sekuler yang konstitusi dan peraturan perundangundangannya
tidak didasarkan pada ajaran agama tidak memberikan prasyarat agama tertentu bagi calon-
calon pemimpin. Dilema inilah yang terjadi di Indonesia di mana secara normatif, konstitusi
Indonesia tidak mensyaratkan menjadi Muslim untuk dapat mencalonkan diri menjadi
presiden.

B. Rumusan masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan pemimpin ?


2. Apa saja macam macam pemimpin menurut Al Qur an ?
3. Bagaimana hukum mengangkat pemimpin non muslim ?
4. Bagaimana kriteria seorang pemimpin sesuai Islam ?
5. Apakah tujuan adanya pemimpin ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pemimpin.


2. Untuk mengetahui apa saja macam macam pemimpin menurut Al-Qur’an.
3. Untuk mengetahui bagaimana hukum mengangkat pemimpin non muslim.
4. Untuk mengetahui bagaimana kriteria pemimpin sesuai Islam.
5. Untuk mengetahui apakah tujuan adanya pemimpin.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Pemimpin
Definisi tentang pemimpin memiliki banyak variasi dan banyak yang
mencoba untuk mendefinisikan tentang pemimpin ini. Pemimpin adalah orang
yang memiliki segala kelebihan dari orang-orang lain. Pemimpin dalam
pandangan orang kuno adalah mereka yang dianggap paling pandai tentang
berbagai hal yang ada hubungannya kepada kelompok, dan pemimpin harus
pandai melakukannya (pandai memburu, cakap dan pemberani dalam berperang).
Istilah pemimpin dalam kamus besar Indonesia berasal dari kata “pimpin” yang
mempunyai arti “dibimbing”. Jadi pemimpin adalah orang yang memimpin, atau
ia ditunjuk menjadi. Pemimpin bisa diartikan sebagai individu yang menduduki
suatu status tertentu di atas individu yang lain di dalam kelompok, dapat dianggap
seorang pimpinan atau pemimpin. Hal ini memungkinkan bahwa dalam
menduduki posisinya melalui pemberian atribut-atribut secara formal atau
tertentu.
B. Macam-Macam Istilah Pemimpin di dalam Alquran
Kata pemimpin dalam Alquran sering digunakan dalam beberapa istilah, yaitu:
1. Term Khalīfah (‫}خهيفة‬
Kata khalīfah berasal dari akar kata ‫ خهف‬yang berarti dibelakang, dari
arti kata tersebut, lahir beberapa kata yang lain. yaitu, (‫}خهيفة‬Istilah lain
khalīfah adalah seseorang yang dilantik sebagai ketua negara yang
berautoriti dalam mentadbir urusan agama dan politik dunia secara adil.
Dalam pandangan kaum muslimin, khalīfah adalahkepemimpinan umum
dalam urusan agama dan dunia menggantikan Nabi SAW. Dalam Alquran
sendiri, kata khalīfah disebut pada tiga konteks. Pertama, dalam konteks
pembicaraan tentang Nabi Adam as. Konteks ayat ini menunjukkan bahwa
manusia dijadikan khalīfah di atas bumi ini bertugas memakmurkannya
atau membangunnya sesuai dengan konsep yang ditetapkan oleh Allah.
Kedua, dalam konteks pembicaraan tentang Nabi Daud as. Konteks ayat
ini menunjukkan bahwa Daud menjadi khalīfah yang diberi tugas untuk
mengelola wilayah yang terbatas. Ketiga, siapapun yang memegang
kekuasaan dan menggunakan kekuasaan itu sesuai dengan norma-norma
dan hukum-hukum Tuhan, maka dengan sendirinya ia menjadi khalīfah.
Melihat penggunaan kata khalīfah dalam beberapa ayat tersebut, dapat
dipahami bahwa kata ini lebih dikonotasikan pada pemimpin yang diberi
kekuasaan untuk mengelola suatu wilayah di bumi. Dalam mengelola
wilayah kekuasaan itu, seorang khalīfah tidak boleh berbuat sewenang-
wenang atau mengikuti hawa nafsunya.

5
2. Term Imam (‫) اياو‬

Kata Imām dalam Maqas al-Lughah dijelaskan bahwa pada mulanya


berarti pemimpin shalat. Disamping itu, Imām juga berarti misal (contoh,
teladan). Ima>m juga berarti benang yang dibentangkan di atas bangunan
untuk dibangun dan guna menyamakan bangunan tersebut. Sedangkan
menurut Ibn Faris di dalam Maqāyis al-Lughah menyebutkan bahwa, kata
imām memiliki dua makna dasar, yaitu setiap orang yang diikuti jejaknya
dan didahulukan urusannya, karena itulah Rosūlullah SAW disebut
sebagai imām alammah dan khalīfah. Disamping itu, Melihat pengertian
diatas, juga dengan menggunakan term imām dalam shalat yang memiliki
banyak makna filosofi, di antaranya memiliki aspek spiritual, yakni
kedekatan dengan Tuhan. Ibadah tersebut juga mengarah kepada makna
jama‟ah yang berarti seorang ima>m haruslah diikuti, sehingga term
ima>m lebih dikonotasikan sebagai orang yang menempati kedudukan
atau jabatan yang diadakan untuk mengganti tugas kenabian di dalam
memelihara agama dan mengendalikan dunia.

3. Term Amir (‫)أييش‬

Kata ‫ أييش‬amīr merupakan bentuk isim fi‟il dari akar kata amara yang
berarti memerintahkan atau menguasai.28 Namun pada dasarnya kata
amara memiliki lima makna pokok, yaitu antonim kata larangan, tumbuh
atau berkembang, urusan, tanda, dan sesuatu yang menakjubkan. Hanya
saja bila merujuk ke Alquran tidak pernah ditemukan di sana, yang ada
hanya kata ulil amri yang mengarah kepada makna pemimpin, meskipun
para ulama berbeda pendapat tentang arti ulil amri tersebut. Ada yang
menafsirkan dengan kepala negara, pemerintah dan ulama. Dalam suatu
riwayat dikatakan bahwa ulil amri atau pejabat adalah orang yang
mendapat amanah untuk mengurus urusan orang lain. Dengan kata lain,
pemimpin itu adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan
rakyat. Jika ada pemimpin yang tidak mengurus kepentingan rakyat, maka
ia bukan pemimpin.

4. Term Auliya (‫) اونياء‬

Kata (‫ ) اونياء‬auliyā adalah bentuk jamak dari kata (‫)وني‬waliy. yang


makna dasarnya adalah dekat. Dari sini kemudian berkembang makna-
makna baru seperti pemimpin, penguasa, pembela, pelindung, yang
mencintai, dan lain-lain. Kata tersebut merupakan satu bentuk kedekatan
kepada sesuatu yang menjadikan terangkat dan hilangnya batas antara
yang mendekat dan yang didekati dalam tujuan kedekatan itu. Kalau
tujuan dalam konteks ketakwaan dan pertolongan, auliyā’ adalah
penolong-penolong, apabila dalam konteks pergaulan dan kasih sayang

6
auliya’ adalah ketertarikan jiwa, dan kalau dalam konteks ketaatan, waliy
adalah siapa yang memerintah dan harus ditaati ketetapannya.

C. Hukum Mengangkat Pemimpin non Muslim

Pemimpin menempati posisi penting dalam Islam. Karena pemimpin


memegang kebijakan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak mulai
dari kesehatan, transportasi, tata kelola sumber daya alam, kesejahteraan, dan
pelbagai kebijakan publik lainnya. Penanya yang budiman, ulama berbeda
pendapat perihal memilih pemimpin dari kalangan non muslim. Misalnya
Badruddin Al-Hamawi As-Syafi’i yang wafat di abad 8 H. Ia menyatakan
dengan jelas keharaman memilih pemimpin dan juga aparat dari kalangan
kafir dzimmi

‫ي ت َْى ِن َية يجىص َو َلا‬ َ ٍ‫ل ْان ًُسهًيٍ وليات ي‬


‫ش ْيء فِي ان ِزّ ِ ّي ّا‬ ‫َيا جباية أَو ان ِزّ َية أهم يٍ ْان ِج ْض َية جباية فِي ِإ َ ا‬
‫اسات يٍ يُؤْ خَز‬ َ ‫ان ًُ ْششكيٍ تِ َج‬. ْ ‫ل رَ ِنك غيش أَو عشش أَو خشاج يٍ ْان ًُسهًيٍ يٍ يجبى َيا فَأَيا‬ ‫ت َْى ِن َية يجىص فَ َ ا‬
‫ ان ِزّ ِ ّي ّا‬،‫ل فِي ِه‬
‫ي‬ ‫ش ْيء ت َْى ِن َية َو َ ا‬ ُ
َ ٍ‫ أ ُيىس ي‬،ٍ‫ل ْان ًُسهًي‬‫ت َ َعانَى قَا َا‬: {‫نٍا‬ ْ ‫ْان ًُؤيُِيٍَا عهى ْنهكَافِ ِشيٍَا هللا َيجْ َعم َو‬
‫س ِبيل‬ َ } ٍ‫س ِبيل نَ اه ُ جعم فقذ ُيسهى عهى ِر ِ ّييا ونى َوي‬ َ ‫ َعهَ ْي ِاه‬.

Tidak boleh mengangkat dzimmi untuk jabatan apapun yang mengatur umat
Islam kecuali untuk memungut upeti penduduk kalangan dzimmi atau untuk
memungut pajak transaksi jual-beli penduduk dari kalangan musyrikin.
Sedangkan untuk memungut upeti, pajak seper sepuluh, atau retribusi lainnya
dari penduduk muslim, tidak boleh mengangkat kalangan dzimmi sebagai
aparat pemungut retribusi ini. Dan juga tidak boleh mengangkat mereka untuk
jabatan apapun yang menangani kepentingan umum umat Islam.

Allah berfirman, “Allah takkan pernah menjadikan jalan bagi orang


kafir untuk mengatasi orang-orang beriman.” Siapa yang mengangkat dzimmi
sebagai pejabat yang menangani hajat muslim, maka sungguh ia telah
memberikan jalan bagi dzimmi untuk menguasai muslim. (Lihat Badruddin
Al-Hamawi As-Syafi’i, Tahrirul Ahkam fi Tadbiri Ahlil Islam, Daruts
Tsaqafah, Qatar, 1988).

Sementara ulama lain yang membolehkan pengangkatan non muslim


untuk jabatan publik tertentu antara lain Al-Mawardi yang juga bermadzhab
Syafi’i. Ulama yang wafat pada pertengahan abad 5 H ini memberikan tafshil,
rincian terhadap jabatan.

‫يُهى انتفىيض وصيش يكىٌ أٌ يجض نى وإٌ انزية أهم يٍ انىصيش هزا يكىٌ أٌ ويجىص‬

Posisi pejabat ini (tanfidz/eksekutif) boleh diisi oleh dzimmi (non


muslim yang siap hidup bersama muslim). Namun untuk posisi pejabat
tafwidh (pejabat dengan otoritas regulasi, legislasi, yudikasi, dan otoritas

7
lainnya), tidak boleh diisi oleh kalangan mereka. (Lihat Al-Mawardi, Al-
Ahkamus Sulthoniyah wal Wilayatud Diniyah, Darul Fikr, Beirut, Cetakan 1,
1960, halaman 27).

Al-Mawardi dalam Al-Ahkamus Sulthoniyah menguraikan lebih rinci.


Menurutnya, kekuasaan dibagi setidaknya menjadi dua, tafwidh dan tanfidz.
Kuasa tafwidh memiliki cakupan kerja penanganan hukum dan analisa
pelbagai kezaliman, menggerakkan tentara dan mengatur strategi perang,
mengatur anggaran, regulasi, dan legislasi. Untuk pejabat tafwidh,

Al-Mawardi mensyaratkan Islam, pemahaman akan hukum agama,


merdeka. Sementara kuasa tanfidz (eksekutif) mencakup pelaksanaan dari
peraturan yang telah dibuat dan dikonsep oleh pejabat tafwidh. Tidak ada
syarat Islam, alim dalam urusan agama, dan merdeka.

Menurut kami, memilih penjabat eksekutif seperti gubernur, walikota,


bupati, camat, lurah, atau ketua RW dan RT dari kalangan non muslim dalam
konteks Indonesia dimungkinkan. Pasalnya, pejabat tanfidz itu hanya bersifat
pelaksana dari UUD 1945 dan UU turunannya. Dalam konteks Indonesia
pemimpin non muslim tidak bisa membuat kebijakan semaunya, dalam arti
mendukung kekufurannya. Karena ia harus tunduk pada UUD dan UU turunan
lainnya. Pemimpin non muslim, juga tidak memiliki kuasa penuh. Kekuasaan
di Indonesia sudah dibagi pada legislatif dan yudikatif di luar eksekutif.
Sehingga kinerja pemimpin tetap terpantau dan tetap berada di jalur konstitusi
yang sudah disepakati wakil rakyat. Mereka seolah hanya sebagai jembatan
antara rakyat dan konstitusi. Kecuali itu, sebelum menjadi pemimpin, mereka
telah melewati mekanisme pemilihan calon, penyaringan ketat dan verifikasi
KPU. Mereka juga sebelum dilantik diambil sumpah jabatan. Jadi dalam hal
ini kami lebih cenderung sepakat dengan pendapat Al-Mawardi yang
membolehkan non muslim menduduki posisi eksekutif. Di sinilah letak
kearifan hukum Islam. Sedangkan ayat pengharaman memilih pemimpin non
muslim sering beredar menjelang pemilihan.

Sebut saja ayat berikut ini.

‫ل آ َيُُىا اانَزِيٍَا أَيُّ َها يا‬ ‫َاب أُوتُىا انَزِيٍَا ِيٍَا َونَ ِعبًا ه ُُض ًوا دِيَُ ُك ْاى ات َ َخزُوا انَزِيٍَا تَت َ ِخزُوا َ ا‬
‫اس قَ ْب ِه ُك ْاى ِي ٍْا ْان ِكت َا‬
‫َو ْان ُكفَ َا‬
‫ّللاَ َواتَقُىا أ َ ْو ِنيَا َاء‬
‫ٌ َا‬ ‫ُيؤْ ِيُِيٍَا ُك ُْت ُ ْاى ِإ ْا‬

“Hai orang-orang beriman, janganlah jadikan orang-orang yang membuat


agamamu sebagai olok-olok dan mainan baik dari kalangan ahli kitab sebelum
kamu maupun orang kafir sebagai wali. Bertaqwalah kepada Allah jika kamu
orang yang beriman.” Apakah kata “wali” yang dimaksud itu pemimpin?
Penerjemahan “wali” inilah, menentukan jawaban dari yang saudara

8
Abdurrahman pertanyakan. Imam Ala’uddin Al-Khazin menyebutkan dalam
tafsirnya sebagai berikut.

‫عٍ انُهي عهة وتعانى سبحاَه بيٍ ثى يهتكى أهم غيش يٍ أصفياء ول أونياء تتخزوا ل وانًعُى‬
‫تعانى فقال يباطُتهى‬: ‫َبال يَأْنُىََ ُك ْاى ل‬
‫خ ًا‬

Maknanya, “Janganlah kamu jadikan orang-orang yang tidak seagama


denganmu sebagai wali dan kawan karib.” Allah sendiri menjelaskan alasan
larangan untuk bergaul lebih dengan sehingga saling terbuka rahasia dengan
mereka dengan ayat “Mereka tidak berhenti menjerumuskanmu dalam
mafsadat”. (Lihat Al-Khazin, Lubabut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil, Darul Kutub
Al-Ilmiyah, Beirut).

Pengertian “wali” di atas ialah teman dekat. Sehingga saking dekatnya,


tidak ada lagi rahasia antara keduanya. Ayat ini turun dalam konteks perang.
Sehingga sangat berisiko bergaul terlalu dekat dengan ahli kitab dan orang-
orang musyrik dalam suasana perang karena ia dapat mengetahui segala taktik
perang, pos penjagaan, dapur umum, dan segala strategi dan rencana perang
yang dapat membahayakan pertahanan umat Islam. Sementara komunitas-
komunitas sosial saat itu berbasis agama. Karenanya, mencermati ketarangan
ulama di atas kita akan menemukan tidak sambung dan tidak tepat kalau ayat
ini dijadikan dalil sebagai pengharaman atas pengangkatan calon pemimpin
dari kalangan non muslim. Menurut hemat kami, kitab-kitab terjemah Al-
Quran yang mengartikan “wali” sebagai pemimpin ada baiknya menelaah
kembali tafsir-tafsir Al-Quran.

Di kalangan ulama terjadi variasi pendapat mengenai hukum


mengangkat pemimpin. Menurut semua Ulama Sunni, Syi‟ah, dan Murjiah,
mayoritas pengikut Mu‟tazilah dan Khawarij, kecuali pengikut sakte Najdat,
mengangkat kepala negara itu wajib hukumnya karena itu akan berdosa bila
meninggalkannya.

9
D. Kriteria Seorang Pemimpin menurut Islam

Dalam Alquran dan Sunnah ada beberapa syarat yang harus disandang oleh
seseorang untuk bisa mengajukan diri sebagai pemimpin. Berikut ini syarat-
syarat pemimpin menurut Islam :

1. Harus seorang muslim

2. Harus seorang laki-laki.

3. Harus sudah dewasa

4. Harus adil

5. Harus pandai menjaga amanah dan profesionalharus seorang


warga negara Islam yang berdomisili dalam wilayah negara
Islam

E. Tujuan Adanya Pemimpin

Tujuan akhir setiap pemimpin adalah menciptakan kebahagiaan bagi


rakyatnya. Tujuan pemimpin tidak hanya mencegah rakyat untuk saling
memeras, untuk melindungi kebebasan mereka, melindungi seluruh rakyatnya
dari invasi asing, bertujuan untuk mengembangkan sistem keadilan sosial yang
berkeseimbangan. Asad mengatakan bahwa tujuan kepemimpinan adalah
terwujudnya satu masyarakat yang selalu mengamalkan kebajikan dan
keadilan, membela kebenaran dan meruntuhkan kebatilan. Maka dari
pengertian ini tampak bahwa tugas utama kepala negara adalah mengatur dan
melayani kehidupan masyarakat serta melaksanakan ajaran-ajaran agama
Islam. Atau seperti disebutkan oleh Abdul Qadir Audah, tugas khalīfah yang
utama itu, ada dua yakni, menegakkan agama Islam dan melaksanakan
hukum-hukumnya, dan mengatur negara dalam batasanbatasanya yang telah
digariskan Islam. Berdasarkan tugas utama tersebut, maka kewajiban-
kewajiban kepala negara itu meliputi semua kewajiban umum, baik yang
berkenaan dengan tugas-tugas keagamaan maupun kemasyarakatan, yang
terdapat dalam Alquran dan sunnah Rasulullah seperti mempertahankan
agama, menegakkankeadilan atau menyelesaikan perselisihan pihak yang
bersengketa melalui penerapan hukum, mencegah kerusuhan dan melindungi
wilayah Islam, melindungi hak-hak rakyat, melaksanakan amar ma‟ruf nahi
munkar dan jihad, mengatur perekonomian negara, dan sebagainya.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Orang- orang non-Muslim menjadi pemimpin negara, sebab pemimpin negara


Islam harus orang yang memiliki pemahaman komprehensif mengenai Islam,
sehingga mustahil tugas tersebut diemban non-Muslim. Sebaliknya, negara sekuler
yang konstitusi dan peraturan perundangundangannya tidak didasarkan pada ajaran
agama tidak memberikan prasyarat agama tertentu bagi calon-calon pemimpin.
Dilema inilah yang terjadi di Indonesia di mana secara normatif, konstitusi Indonesia
tidak mensyaratkan menjadi Muslim untuk dapat mencalonkan diri menjadi presiden.
Namun anggapan umum sepertinya lebih cenderung pada logika proporsionalitas, di
mana karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, maka semestinya non-
Muslim mustahil terpilih menjadi presiden di Indonesia. Pertanyaannya kemudian,
apakah keberagamaan mayoritas lantas menjamin akan ditolaknya kepemimpinan dari
minoritas? Untuk hal ini sepertinya kita dapat merujuk beberapa negara di dunia yang
kaum minoritasnya sanggup menduduki tampuk kekuasaan muslim.

B. Saran

Dengan mrngucapkan Alhamdulillah pemakalah patut bersyukur dengan


selesainya makalah ini dan saya meminta kepada teman teman agar memberikan
masukan dan kritikan dalam makalah ini agar menambah wawasan kami sebagai
pemakalah

11
DAFTAR PUSTAKA

Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqy, Tafsir al-Qura>nul Majid An-Nuur, Cet. II,
Jilid. V (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2000), 893. 54Sayyid Quthb, Tafsir Fi
Zhilalil al-Qura>n, Ter. As‟Ad Yasin, Cet. I, Jilid. III, (Jakarta: Gema Insani Press,
2002), 265

12

Anda mungkin juga menyukai