Meninggal : 1506
Giri Kedaton, Majapahit
Agama : Islam
Pasangan
: 1. Dewi Murtasiyah (Putri Sunan Ampel)
2. Dewi Wardah
Orang tua
1. Maulana Ya'qub bin Maulana Ishaq (ayah)
2. Dewi Sekardadu (ibu)
Denominasi : Sunni
Dikenal sebagai : Wali Songo
Sunan Giri adalah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton, yang berkedudukan di daerah
Kabupaten Gresik. Sunan Giri membangun Giri Kedaton sebagai pusat penyebaran agama Islam di Pulau Jawa
yang pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.
Sunan Giri memiliki beberapa nama, yakni Raden Paku, Prabu Satmata, Sang Hyang Giri Nata, Sultan Abdul
Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Jaka Samudra. Ia lahir di Blambangan tahun 1442 dan dimakamkan di desa
Giri, Kebomas Gresik.
Bayi yang tersangkut di kapal itu diambil oleh awak kapal dan diserahkan kepada Nyai Pinatih yang kemudian
memungutnya menjadi anak angkat. Karena ditemukan di laut, maka bayi itu dinamai Jaka Samudra. Setelah
cukup umur, Jaka Samudra dikirim ke Ampeldenta untuk berguru kepada Sunan Ampel. Menurut Babad Tanah
Jawi, sesuai pesan Maulana Ishak, oleh Sunan Ampel nama Jaka Samudra diganti menjadi Raden Paku.
Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan
pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera (terutama bagian selatan) dan Maluku.
Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri Kedaton, yang menguasai
Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan Agung.
Terdapat beberapa karya seni tradisional Jawa yang sering dianggap berhubungkan dengan Sunan Giri,
diantaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan, dan Cublak Suweng; serta beberapa gending (lagu
instrumental Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.
As-Syekh
Umar Said
( Sunan Muria )
Informasi pribadi
Syech Jangkung
Sunan Nyamplungan
Raden Ayu Nasiki
Anak Pangeran Santri
(Sunan Kadilangu)
Pangeran Jogodipo
Said
(Sunan Kalijaga) (ayah)
Orang tua
Dewi Saroh binti Maulana Ishaq (ibu)
Denominasi Sunni
Dikenal sebagai Wali Songo
Pemimpin Muslim
Pendahulu Sunan Kalijaga
Penerus Panembahan Pekaos
Sunan Muria adalah Ulama yang termasuk dalam anggota dewan Wali Songo. Nama lahirnya adalah Umar Said.
Ia adalah putra Sunan Kalijaga dan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq.[1][2]
Nama Sunan Muria sendiri diperkirakan berasal dari nama gunung (Gunung Muria), yang terletak di sebelah utara
kota Kudus, Jawa Tengah, tempat Sunan Muria dimakamkan. Sunan Muria wafat pada tahun 1560 M.
Di dalam tradisi penulisan tembang, Sunan Muria dianggap sebagai pencipta tembang-tembang cilik (sekar alit)
jenis Sinom dan Kinanthi.
Sunan Muria menjalankan dakwah melalui pendekatan budaya. Dalam seni pewayangan, misal, Sunan Muria
diketahui suka menggelar sejumlah lakon carangan pertunjukan wayang gubahan Sunan Kalijaga, seperti : Dewa
Ruci, Dewa Srani, Jamus Kalimasada, Begawan Ciptaning, Semar Ambarang Jantur, dan sebagainya.
Melalui media pertunjukan wayang, Sunan Muria memberikan penerangan-penerangan kepada masyarakat tentang
berbagai hal dalam kaitan dengan tauhid. Dengan pendekatan lewat pertunjukan wayang, tembang-tembang,
tradisi-tradisi lama, dan praktik-praktik keagamaan lama yang sudah diislamkan, Sunan Muria berhasil
mengembangkan dakwah Islam di daerah Jepara, Tayu, Juwana, bahkan sekitar Kudus.
Sumber versi catatan sejarah menyebutkan asal usul Sunan Muria sebagai anak kandung dari sunan ngudung/sunan
mandalika sangat tidak sesuai karena bukti kebenaran otentik dewi sujinah istri sunan muria adalah putri dari
Sunan Ngudung "Raden Usman Haji" bin As-Sayyid Ali Murtadho Sunan Gisik kakak sunan ampel
Silsilah
Silsilah Raden Umar Said atau Sunan Muria menurut Naskah Pustoko Darah Agung Rangkaiannya sebagai
berikut :
1. Abdul Muthalib
2. Abbas bin Abdul-Muththalib
3. Abdullah bin Abbas berputra
4. Sayyid Abdul Azhar/ Abdullah Al Akbar / Syekh Abdul 'Wahid' Qurnayn Al baghdadi
5. Syaikh Wais / Waqid Arumni
6. Syaikh Mudzakir Arumni
7. Syaikh Abdullah
8. Syaikh Kharmia / kharmis (Kurames)
9. Syaikh Mubarak
10. Syaikh Abdullah
11. Syaikh Ma'ruf / Madhra'uf
12. Syaikh Arifin
13. Syaikh Hasanuddin
14. Syaikh Jamal
15. Syaikh Ahmad
16. Syaikh Abdullah
17. Syaikh Abbas
18. Syaikh Abdullah
19. Syaikh Kurames / Khoromis (Ulama di Mekah)
20. Abdur Rahman / Kyai Lanang Baya / Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka (Ario Teja, Bupati Tuban)
21. Ario Teja I (Bupati Tuban)
22. Ario Teja Laku (Bupati Tuban)
23. Ario Teja II/Raden Arya Tejakusuma (Bupati Tuban)
24. Raden Sahur Tumenggung Wilatikta/Raden Arya Malayakusuma (Bupati Tuban & Jepara)
25. Raden Mas Said (Sunan Kalijaga)
26. Raden Umar Said (Sunan Muria)
1. Raden Umar Said (Sunan Muria) Bin Sayyidah Dewi Saroh Bin Maulana Ishaq Tamsyi Bin Maulana Muhammad
Abu Ishaq Bin Junaid al-Maghribi Bin Abdul Qadir al-Maghribi Bin Syuaib al-Maghribi Bin Abdul Jabbar Bin
Abdurrazzaq Bin Abdul Aziz Bin Shalih Bin Abdul Qadir al-Jilani (leluhur al-Qadiri al-Jilani) Bin Abu ash-Shalih
Musa Jangi Dausat Bin Abdullah III Bin Yahya az-Zahid Bin Muhammad I Bin Daud al-Amir Bin Musa II Bin
Abdullah II Bin Musa al-Jun Bin Sulaiman Bin Idris Bin Yahya Bin Ibrahim Bin Muhammad Bin Abdullah al-Kamil
al-Mahdi Bin Hasan al-Mutsanna Bin Hasan al-Mujtaba (leluhur al-Hasani) Bin Ali (Beristrikan putri dari Nabi
Besar Muhammad Saw;Fathimah az-Zahra) Bin Abi Thalib Al Quraisy (ayah
Rekam Jejak
Menjadi Murid sekaligus menantu Sunan Ngerang
Selama berguru kepada Sunan Ngerang, dikisahkan bahwa suatu saat Sunan Ngerang mengadakan syukuran untuk
putrinya, Dewi Roroyono yang usianya genap dua puluh tahun.
Para murid seperti Sunan Muria, Sunan Kudus, Adipati Pathak Warak dari Mandalika Jepara, Kapa dan adiknya,
Gentiri, diundang untuk hadir.
Ketika Dewi Roroyono dan adiknya, Roro Pujiwati, keluar menghidangkan makanan dan minuman, hati Adipati
Pathak Warak terpesona oleh kecantikan putri gurunya itu. Ia memandang Dewi Roroyono dengan mata tidak
berkedip.
Putri Sunan Ngerang itu telah membuat Adipati Pathak Warak tergila-gila dan melakukan tindakan tidak pantas
terhadap putri gurunya itu. Bahkan, pada malam hari, Dewi Roroyono dibawa lari ke Mandalika.
Sewaktu Sunan Ngerang mengetahui bahwa putrinya diculik oleh Pathak Warak, ia berikrar akan menikahkan
putrinya itu dengan siapa saja yang berhasil membawanya kembali.
Setelah melalui berbagai rintangan yang berat termasuk melumpuhkan Adipati Pathak Warak, membinasakan
Kapa dan Gentiri yang berkhianat.
Raden Umar Said berhasil membawa kembali Dewi Roroyono. Lalu Sunan Ngerang menjodohkan putrinya, Dewi
Roroyono, dengan Raden Umar Said (Sunan Muria).
Pernikahan
Sunan Muria menikah dengan Dewi Sujinah putri Sunan Ngudung, adik dari Sunan Kudus dan Sunan Muria
menikah dengan dewi Roroyono Putri Ki Ageng Ngerang dan Nyai Ageng Ngerang.[3] Sunan Muria menikah
dengan dewi sujinah dikaruniai seorang anak bernama Syech Jangkung.
Sedangkan, pernikahan Sunan Muria dengan dewi Roroyono Putri Ki Ageng Ngerang dan Nyai Ageng Ngerang
dikaruniai tiga orang anak, yaitu :
1. Sunan Nyamplungan
2. Raden Ayu Nasiki
3. Pangeran Santri (Sunan Kadilangu).
Selain itu adapula putra Sunan Muria yang terkenal ialah (Panembahan Pangulu) Pangeran Jogodipo, yang
makamnya berada satu kompleks di Colo.
Pemakaman
Kompleks Makam Sunan Muria berada di Bukit Muria yang terletak di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten
Kudus, Provinsi Jawa Tengah dan berada pada ketinggian lebih dari 1600 meter di atas permukaan laut.
As-Syekh
Said
( Sunan Kalijaga )
Informasi pribadi
Said
Lahir 1450 Tuban, Majapahit
1592
Meninggal
Kadilangu, Demak, Kesultanan Mataram
Agama Islam
Dewi Sarah Binti Maulana Ishaq
Dewi Sarokah Binti Sunan Gunung Jati
Pasangan
Syarifah Zaenab binti Syekh Siti Jenar
Orang tua
Raden Ahmad Sahur / Raden Arya Mlayakusuma / Tumenggung Wilwatikta (ayah)
Dewi Nawang Arum (ibu)
Denominasi Sunni
Dikenal sebagai Wali Songo
Pemimpin Muslim
Pendahulu Syekh Subakir
Penerus Sunan Muria
Sunan Kalijaga merupakan Waliyullah yang tergabung dalam anggota dewan Walisongo.
Beliau dikenal sebagai wali yang berperan penting dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Selain menjadi
Ulama' ia juga menjadi penasihat keraton, seniman, dan arsitek yang ulung.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya.
Maka mereka harus didekati secara bertahap, mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika
Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Oleh karena itulah, beliau menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di
antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang.Makamnya berada di
Kadilangu, Demak.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa
akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga
Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan
Senopati.
Silsilah
Sunan Kalijaga merupakan anggota dewan Wali Songo yang masih keturunan Rakryan Mantri Arya Wiraraja
Makapramuka Sesuai Penetapan Pejabat Majapahit Surat Keputusan Raja di Prasasti Kudadu halaman II no 7 hari
Sabtu legi tanggal 52 bulan bhadrapada tahun 1216 saka/1294 masehi), Pendapat ini didasarkan pada catatan
historis Babad Tuban dan data keluarga besar keturunan Sunan Kalijaga.
Di dalam babad tersebut diceritakan, Aria Teja alias Tumenggung Wilwatikta berhasil mengislamkan Adipati
Tuban, Aria Dikara, dan mengawini putrinya. Dari perkawinan tersebut Aria Teja kemudian memiliki putra
bernama Aria Wilatikta. Catatan Babad Tuban ini diperkuat juga dengan catatan masyhur penulis dan bendahara
Portugis Tome Pires (1468 - 1540).
Menurut catatan Tome Pires, penguasa Tuban pada tahun 1400M adalah cucu dari peguasa Islam pertama di
Tuban yakni Aria Wilakita, dan Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said adalah putra Aria Wilatikta.
Rekam Jejak
Menjadi Murid Sunan Bonang
Menurut cerita, Sebelum menjadi Walisongo, Raden Said adalah seorang perampok yang selalu mengambil hasil
bumi di gudang penyimpanan Hasil Bumi di kerajaannya, merampok orang-orang yang kaya. Hasil curiannya, dan
rampokanya itu akan ia bagikan kepada orang-orang yang miskin.
Suatu hari, saat Raden Said berada di hutan, ia melihat seseorang kakek tua yang bertongkat. Orang itu adalah
Sunan Bonang. Karena tongkat itu jika dilihat seperti tongkat emas, ia merampas tongkat itu. Katanya, hasil
rampokan itu akan ia bagikan kepada orang yang miskin. Tetapi, Sang Sunan Bonang tidak membenarkan cara itu.
Ia menasihati Raden Said bahwa Allah S.W.T tidak akan menerima amal yang buruk. Lalu, Sunan Bonang
menunjukan pohon aren emas dan mengatakan bila Raden Said ingin mendapatkan harta tanpa berusaha, maka
ambillah buah aren emas yang ditunjukkan oleh Sunan Bonang.
Karena itu, Raden Said ingin menjadi murid Sunan Bonang. Raden Said lalu menyusul Sunan Bonang ke sungai.
Raden Said berkata bahwa ingin menjadi muridnya. Sunan Bonang lalu menyuruh Raden Said untuk bersemedi
sambil menjaga tongkatnya yang ditancapkan ke tepi sungai. Raden Said tidak boleh beranjak dari tempat tersebut
sebelum Sunan Bonang datang. Raden Said lalu melaksanakan perintah tersebut. Karena itu, ia menjadi tertidur
dalam waktu lama. Karena lamanya ia tertidur, tanpa disadari akar dan rerumputan telah menutupi dirinya.
Tiga tahun kemudian, Sunan Bonang datang dan membangunkan Raden Said. Karena ia telah menjaga tongkatnya
yang ditanjapkan ke sungai, maka Raden Said diganti namanya menjadi Kalijaga. Kalijaga lalu diberi pakaian baru
dan diberi pelajaran agama oleh Sunan Bonang. Kalijaga lalu melanjutkan dakwahnya dan dikenal sebagai Sunan
Kalijaga.
Pernikahan
Berdasarkan naskah Pustaka Darah Agung, Sunan Kalijaga diketahui menikah dengan Dewi Sarah binti Maulana
Ishaq, dan mempunyai 3 putra :
1. Sunan Muria,
2. Dewi Ruqayyah,
3. Dewi Sofiah
Sunan Kalijaga juga memiliki istri bernama Dewi Sarokah, yang merupakan puteri Sunan Gunung Jati dan
memperoleh 5 orang anak, yaitu :
Selain itu, Sunan Kalijaga juga menikah dengan Syarifah Zainab putri Syekh Siti Jenar Dan memperoleh seorang
putri bernama Nyai Ratu Mandoko (Ibu dari Sultan Hadiwijaya).
Penerus Dakwah
Setelah Sunan Kalijaga Wafat, Perjuangan dakwah dilanjutkan oleh putranya sendiri yakni Sunan Hadi sebagai
pemimpin kadilangu, pada tahun 1601 masehi gelar berubah menjadi Panembahan Hadi, (karena gelar Sunan
digunakan Sunan Hanyokrowati sebagai Raja Mataram) sampai dengan keturunan sekarang trah Panembahan
widjil di kadilangu Demak.
Pemakaman
Sunan Kalijaga wafat pada tanggal 12 Muharram 1513 saka (sekitar 17 Oktober 1592 M).
Beliau dimakamkan di Daerah Kadilangu, Kabupaten Demak. Makam ini hingga sekarang, ramai diziarahi orang -
orang dari seluruh indonesia.
Haul Sunan Kalijaga diperingati setiap tanggal 10 Muharram oleh masyarakat di Kadilangu, Demak.
Warisan Budaya
Berikut adalah daftar warisan budaya dari Sunan Kalijaga, yaitu :
Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk
ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul.
Dialah Penggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan
Petruk Dadi Ratu ("Petruk Jadi Ratu").
Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan
Kalijaga.
Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan
kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Pusat Inspirasi
Kisah perjalanan hidup Sunan Kalijaga juga sudah dibuatkan Film, diantaranya :
Dalam film Sunan Kalijaga (1983), Sunan Kalijaga diperankan oleh Deddy Mizwar.
Dalam film Sunan Kalijaga dan Syech Siti Jenar (1985), Sunan Kalijaga diperankan oleh Deddy Mizwar.
Referensi
Situs web
Buku
Soekirno, Ade (1994). Sunan Kalijaga: asal-usul mesjid agung demak: cerita rakyat Jawa Tengah. Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia. ISBN 9795534629.
Nasuhi, Hamid (2017). "Shakhṣīyat Sunan Kalijaga fī taqālīd Mataram al-Islāmīyah". Studia Islamika. Vol. 24 no. 1.
Republic of Indonesia: Syarif Hidayatullah State Islamic University of Jakarta. ISSN 2355-6145.
Chodjim, Achmad (2013). Sunan Kalijaga: Mistik dan Makrifat. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. ISBN 9789790242920.
Ricklefs, M.C. (1991). A History of Modern Indonesia since c.1300, 2nd Edition. London: MacMillan. p. 10. ISBN 0-333-
57689-6.
Sunyoto, Agus (2014). Atlas Wali Songo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah. 6th edition.
Depok: Pustaka IIMaN. ISBN 978-602-8648-09-7
As-Syekh
Informasi pribadi
Lahir Ja'far Ash-Ṣhadiq
9 September 1500 M
Meninggal 5 Mei 1550 M
Kudus, masa Kesultanan Demak
Agama Islam
Pasangan
Syarifah Dewi Rahil binti Sunan Bonang
Denominasi Sunni
Dikenal sebagai Wali Songo
Pemimpin Muslim
Pendahulu Maulana Malik Isro'il
Penerus Amir Hasan
Sunan Kudus adalah Ulama dan Panglima perang Kesultanan Demak yang termasuk dalam anggota dewan Wali
Songo. Nama lahirnya adalah Ja'far Ash-Shadiq. Ia adalah putra Sunan Ngudung dan Dewi Sari binti Ahmad
Wilwatikta
Peninggalan lain dari Sunan Kudus adalah permintaannya kepada masyarakat untuk tidak memotong hewan
kurban sapi dalam perayaan Idul Adha untuk menghormati masyarakat penganut agama Hindu dengan mengganti
kurban sapi dengan memotong kurban kerbau, pesan untuk memotong kurban kerbau ini masih banyak ditaati oleh
masyarakat Kudus hingga saat ini.
Referensi
Ibrahim, Zahrah. 1986. Sastera Sejarah Interpretasi dan Penilaian. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia.
Purwadi dan Enis Niken H. 2007. Dakwah Wali Songo: Penyebaran Islam Berbasis Kultural di Tanah
Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka.
Said, Nur. 2009. Pendidikan Multikultural Warisan Kanjeng Sunan Kudus. Kudus: CV Brillian Media
Utama
Sutrisno, Budiono Hadi. 2007. Sejarah Wali Songo: Misi Pengislaman di Jawa. Yogyakarta: Graha
Pustaka.
Wahyudi, A, Khalid, A. Kisah Wali Songo Para Penyebar Agama Islam Di Tanah Jawa. Surabaya : Karya
Ilmu.
Pranala luar
(Indonesia) Sejarah Sunan Kudus dan Sunan Ngudung Diarsipkan 2008-08-13 di Wayback Machine.
(Indonesia) Dongeng tentang Sunan Kudus Diarsipkan 2010-12-14 di Wayback Machine.
(Indonesia) Silsilah Wali
As-Syekh
Ahmad Rahmatullah
( Sunan Ampel )
Informasi pribadi
Ahmad Rahmatullah
Lahir
1401 Champa, Vietnam
1481
Meninggal
Surabaya, Majapahit
Agama Islam
Pasangan Dewi Candrawati
Dewi Karimah
Denominasi Sunni
Pemimpin Muslim
Beliau menjadi pemimpin Wali Songo menggantikan Sunan Gresik yang wafat pada tahun 1419.
Sunan Ampel adalah Putra dari Syaikh Ibrahim As-Samarqandi dengan Dewi Candrawulan. Sunan Ampel juga
merupakan keponakan Dyah Dwarawati, istri Bhre Kertabhumi raja Majapahit.
Dalam catatan Kronik Tiongkok dari Klenteng Sam Po Kong, Sunan Ampel alias Bong Swi Hoo, cucu dari Haji
Bong Tak Keng - seorang Tionghoa (suku Hui beragama Islam mazhab Hanafi) yang ditugaskan sebagai Pimpinan
Komunitas Tionghoa di Champa oleh Sam Po Bo. Sedangkan Yang Mulia Ma Hong Fu - menantu Haji Bong Tak
Keng ditempatkan sebagai duta besar Tiongkok di pusat kerajaan Majapahit, sedangkan Haji Gan En Cu juga telah
ditugaskan sebagai kapten Tionghoa di Tuban. Haji Gan En Cu kemudian menempatkan menantunya Bong Swi
Hoo sebagai kapten Tionghoa di Jiaotung (Bangil).[1][2]
Keturunan
Isteri pertama adalah Dyah Candrawati alias Nyai Ageng Manila binti Arya Teja Al-Abbasyi, berputera:
Isteri kedua adalah Dyah Karimah binti Ki Kembang Kuning, melahirkan beberapa anak yaitu :
Sejarah
Sunan Ampel (Raden Rahmat) datang ke pulau Jawa pada tahun 1443, untuk menemui bibinya, Dyah Dwarawati.
Dyah Dwarawati adalah seorang putri Champa yang menikah dengan raja Majapahit yang bergelar Bhre
Kertabhumi.
Ajaran
Moh limo Mohlimo atau Molimo, Moh (tidak mau), limo (lima), adalah falsafah dakwah Sunan Ampel untuk
memperbaiki kerusakan akhlak di tengah masyarakat pada zaman itu yaitu:
1. Moh Mabok: tidak mau minum minuman keras, khamr dan sejenisnya.
2. Moh Main: tidak mau main judi, togel, taruhan dan sejenisnya.
3. Moh Madon: tidak mau berbuat zina, homoseks, lesbian dan sejenisnya.
4. Moh Madat: tidak mau memakai narkoba dan sejenisnya.
5. Moh Maling: tidak mau mencuri, korupsi, merampok dan sejenisnya.
Makam
Pada tahun 1479, Sunan Ampel mendirikan Mesjid Agung Demak. Dan yang menjadi penerus untuk melanjutkan
perjuangan dakwah dia di Kota Demak adalah Raden Zainal Abidin yang dikenal dengan Sunan Demak, dia
merupakan putra dia dari istri dewi Karimah.Sehingga Putra Raden Zainal Abidin yang terakhir tercatat menjadi
Imam Masjid Agung tersebut yang bernama Raden Zakaria (Pangeran Sotopuro).
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 di Demak.[butuh rujukan] Namun, ia dimakamkan di Kota Surabaya,
Jawa Timur.[4] Lokasi makamnya berada di Masjid Ampel.[butuh rujukan]
Referensi
(Indonesia) Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam
di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 63. ISBN 9798451163.ISBN 978-979-8451-16-4
Bong (Wong) marga Tionghoa muslim bermazhab Hanafi dari Yunnan
Mursidi, A., dan Soetopo, D. (Juli 2021). Andriyanto, ed. Toponimi Kecamatan Kabupaten Banyuwangi
Pendekatan Historis (PDF). Klaten: Penerbit Lakeisha. hlm. 112. ISBN 978-623-6322-59-8.
Sukandar, dkk. (Desember 2016). Profil Desa Pesisir Provinsi Jawa Timur Volume 1 (Utara Jawa Timur)
(PDF). Surabaya: Bidang Kelautan, Pesisir, dan Pengawasan, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi
Jawa Timur. hlm. 2.
As-Sayid As-Syarif
Raden Sayid Maulana Makhdum Ibrahim
( Sunan Bonang )
Masa jabatan
1490 – 1506/12 (?)
Pendahulu Jabatan Baru
Raden Sayid Maulana Makhdum Husein / Sayid Husein
Pengganti
( 1506/12 (?) - 1515 )
Informasi pribadi
Lahir
Maulana Makhdum Ibrahim
1465
Surabaya, Majapahit
Meninggal 1525
Tuban, Kesultanan Demak
Agama Islam
Anak Raden Sayid Maulana Makhdum Husein / Sayid Husein (Makhdum Sampang)
Sunan Ampel (ayah)
Orang tua Nyai Ageng Manila (ibu)
Denominasi Sunni
Dikenal sebagai Wali Songo
Pemimpin Muslim
Pendahulu Maulana Hasanuddin
Penerus Raden Husamuddin (Sunan Lamongan)
Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465 di Rembang dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim.
Beliau adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila.
Pendidikan
Dalam hal pendidikan, Sunan Bonang belajar pengetahuan dan ilmu agama dari ayahandanya sendiri, yaitu Sunan
Ampel. Ia belajar bersama santri-santri Sunan Ampel yang lain seperti Sunan Giri, Raden Patah dan Raden Kusen.
Selain dari Sunan Ampel, Sunan Bonang juga menuntut ilmu kepada Syaikh Maulana Ishak, yaitu sewaktu
bersama-sama Raden Paku Sunan Giri ke Malaka dalam perjalanan haji ke tanah suci.
Sunan Bonang dikenal sebagai seorang penyebar Islam yang menguasai ilmu fikih, ushuluddin, tasawuf, seni,
sastra, arsitektur, dan ilmu silat dengan kesaktian dan kedigdayaan menakjubkan.
Bahkan, masyarakat mengenal Sunan Bonang sebagai seseorang yang sangat pandai mencari sumber air di tempat-
tempat yang sulit air.
Babad Daha-Kediri menggambarkan bagaimana Sunan Bonang dengan pengetahuannya yang luar biasa bisa
mengubah aliran Sungai Brantas, sehingga menjadikan daerah yang enggan menerima dakwah Islam di sepanjang
aliran sungai menjadi kekurangan air, bahkan sebagian yang lain mengalami banjir.
Sepanjang perdebatan dengan tokoh Buto Locaya yang selalu mengecam tindakan dakwah Sunan Bonang, terlihat
sekali bahwa tokoh Buto Locaya itu tidak kuasa menghadapi kesaktian yang dimiliki Sunan Bonang.
Demikian juga dengan tokoh Nyai Pluncing, yang kiranya seorang bhairawi penerus ajaran ilmu hitam Calon
Arang, yang dapat dikalahkan oleh Sunan Bonang.[1]
Karya Sastra
Sunan Bonang banyak menggubah sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil. Antara lain Suluk Wijil yang
dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr. Sunan Bonang juga menggubah tembang Tamba Ati (dari
bahasa Jawa, berarti penyembuh jiwa) yang kini masih sering dinyanyikan orang.
Ada pula sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa yang dahulu diperkirakan merupakan karya Sunan Bonang dan
oleh ilmuwan Belanda seperti Schrieke disebut Het Boek van Bonang atau buku (Sunan) Bonang. Tetapi oleh
G.W.J. Drewes, seorang pakar Belanda lainnya, dianggap bukan karya Sunan Bonang, melainkan dianggapkan
sebagai karyanya.
Dia juga menulis sebuah kitab yang berisikan tentang Ilmu Tasawwuf berjudul Tanbihul Ghofilin. Kitab setebal
234 halaman ini sudah sangat populer dikalangan para santri.
Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa
baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang.
Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam
malakut). Tembang "Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang.
Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya
adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa
Keilmuan
Sunan Bonang juga terkenal dalam hal ilmu kebathinannya. Ia mengembangkan ilmu (dzikir) yang berasal dari
Rasullah SAW, kemudian dia kombinasi dengan kesimbangan pernapasan[butuh rujukan] yang disebut dengan rahasia
Alif Lam Mim ( ) ا ل مyang artinya hanya Allah SWT yang tahu.
Sunan Bonang juga menciptakan gerakan-gerakan fisik atau jurus yang Dia ambil dari seni bentuk huruf Hijaiyyah
yang berjumlah 28 huruf dimulai dari huruf Alif dan diakhiri huruf Ya'. Ia menciptakan Gerakan fisik dari nama
dan simbol huruf hijayyah adalah dengan tujuan yang sangat mendalam dan penuh dengan makna, secara awam
penulis artikan yaitu mengajak murid-muridnya untuk menghafal huruf-huruf hijaiyyah dan nantinya setelah
mencapai tingkatnya diharuskan bisa baca dan memahami isi Al-Qur'an.
Penekanan keilmuan yang diciptakan Sunan Bonang adalah mengajak murid-muridnya untuk melakukan Sujud
atau Salat dan dzikir. Hingga sekarang ilmu yang diciptakan oleh Sunan Bonang masih dilestarikan di Indonesia
oleh generasinya dan diorganisasikan dengan nama Padepokan Ilmu Sujud Tenaga Dalam Silat Tauhid Indonesia.
Sunan Bonang atau Makhdum Ibrahim. Beliau putra dari Sunan Ampel, yang berarti beliau adalah keturunan Nabi
Muhammad SAW.