Anda di halaman 1dari 16

Sejarah Walisanga – Kisah Walisongo Lengkap

Kisah Walisongo – Jika kita mempelajari sejarah penyebaran kebudayaan islam di nusantara
khususnya pulau jawa, maka tidak lepas dari kisah-kisah para sembilan walisongo. Karena
Walisongo merupakan simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Pada era
tersebut, merupakan masa/era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya nusantara yang
kemudian digantikan dengan kebudayaan islam. Pelopor atau Tokoh pendahulu walisongo yaitu
Syekh Jumadil Qubro yang merupakan anak dari seorang Putri Kelantan Tua/Putri Saadong II
yaitu Puteri Selindung Bulan.

Selain walisongo, sebenarnya banyak tokoh-tokoh yang ikut berperan aktif dalam penyebaran
islam di nusantara, namun peranan walisongo sangat begitu besar dibanding tokoh-tokoh yang
lain, sehingga membuat para walisongo memiliki nilai plus dan lebih banyak disebut namanya
dalam sejarah penyebaran islam di Jawa.

Dalam kisah-kisah walisongo, disebutkan bahwa para sembilan wali tidak hidup pada saat yang
persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan
darah juga dalam hubungan guru- murid. Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang
unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri
sebagai ” tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai
“paus dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan
nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa – yakni nuansa Hindu dan Budha.

Pesan Sponsor

Untuk mempelajari secara lengkap tentang sejarah walisongo serta kisah-kisah para sembilan
walisanga, sengaja duniabaca.com kutip langsung dari wikipedia dan berbagai sumber lain,
sebagai penambah ilmu pengetahuan kita tentang dunia sejarah.
Daftar Isi

KISAH DAN SEJARAH WALISONGO LENGKAP

 Pengertian/Arti Walisongo
 Sejarah Walisongo
 Tokoh Pendahulu Walisongo
 Teori Keturunan Hadramaut
 Teori Keturunan Cina
 Sumber Tertulis
 Refferensi

ARTI / PENGERTIAN WALISONGO – [ Kembali ke daftar isi ]

Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang
menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain
menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti
mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.

Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang pertama
kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808
Hijriah). Saat itu, majelis dakwah Walisongo beranggotakan Maulana Malik Ibrahim sendiri,
Maulana Ishaq (Sunan Wali Lanang), Maulana Ahmad Jumadil Kubro (Sunan Kubrawi);
Maulana Muhammad Al-Maghrabi (Sunan Maghribi); Maulana Malik Isra’il (dari Champa),
Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, Maulana ‘Aliyuddin, dan Syekh Subakir.

Dari nama para Walisongo tersebut, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal
sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:
1. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
2. Sunan Ampel atau Raden Rahmat
3. Sunan Drajat atau Raden Qasim
4. Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
5. Sunan Kudus atau Ja’far Shadiq
6. Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
7. Sunan Muria atau Raden Umar Said
8. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
9. Sunan Kalijaga atau Raden Said

Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya.
Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa,
mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan,
hingga ke pemerintahan.
SEJARAH WALISONGO / WALISANGA MENURUT PERIODE WAKTU – [ Kembali ke
daftar isi ]

Menurut buku Haul Sunan Ampel Ke-555 yang ditulis oleh KH. Mohammad Dahlan,[1] majelis
dakwah yang secara umum dinamakan Walisongo, sebenarnya terdiri dari beberapa angkatan.
Para Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan, namun satu sama lain mempunyai
keterkaitan erat, baik dalam ikatan darah atau karena pernikahan, maupun dalam hubungan guru-
murid. Bila ada seorang anggota majelis yang wafat, maka posisinya digantikan oleh tokoh
lainnya:

 Angkatan ke-1 (1404 – 1435 M), terdiri dari Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419),
Maulana Ishaq, Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi,
Maulana Malik Isra’il (wafat 1435), Maulana Muhammad Ali Akbar (wafat 1435),
Maulana Hasanuddin, Maulana ‘Aliyuddin, dan Syekh Subakir atau juga disebut Syaikh
Muhammad Al-Baqir.
 Angkatan ke-2 (1435 – 1463 M), terdiri dari Sunan Ampel yang tahun 1419
menggantikan Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq (wafat 1463), Maulana Ahmad
Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Sunan Kudus yang tahun 1435
menggantikan Maulana Malik Isra’il, Sunan Gunung Jati yang tahun 1435 menggantikan
Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin (wafat 1462), Maulana ‘Aliyuddin
(wafat 1462), dan Syekh Subakir (wafat 1463).
 Angkatan ke-3 (1463 – 1466 M), terdiri dari Sunan Ampel, Sunan Giri yang tahun 1463
menggantikan Maulana Ishaq, Maulana Ahmad Jumadil Kubro (wafat 1465), Maulana
Muhammad Al-Maghrabi (wafat 1465), Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan
Bonang yang tahun 1462 menggantikan Maulana Hasanuddin, Sunan Derajat yang tahun
1462 menggantikan Maulana ‘Aliyyuddin, dan Sunan Kalijaga yang tahun 1463
menggantikan Syaikh Subakir.
 Angkatan ke-4 (1466 – 1513 M, terdiri dari Sunan Ampel (wafat 1481), Sunan Giri
(wafat 1505), Raden Fattah yang pada tahun 1465 mengganti Maulana Ahmad Jumadil
Kubra, Fathullah Khan (Falatehan) yang pada tahun 1465 mengganti Maulana
Muhammad Al-Maghrabi, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, Sunan
Derajat, dan Sunan Kalijaga (wafat 1513).
 Angkatan ke-5 (1513 – 1533 M), terdiri dari Syekh Siti Jenar yang tahun 1481
menggantikan Sunan Ampel (wafat 1517), Raden Faqih Sunan Ampel II yang ahun 1505
menggantikan kakak iparnya Sunan Giri, Raden Fattah (wafat 1518), Fathullah Khan
(Falatehan), Sunan Kudus (wafat 1550), Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang (wafat 1525),
Sunan Derajat (wafat 1533), dan Sunan Muria yang tahun 1513 menggantikan ayahnya
Sunan Kalijaga.
 Angkatan ke-6 (1533 – 1546 M), terdiri dari Syekh Abdul Qahhar (Sunan Sedayu) yang
ahun 1517 menggantikan ayahnya Syekh Siti Jenar, Raden Zainal Abidin Sunan Demak
yang tahun 1540 menggantikan kakaknya Raden Faqih Sunan Ampel II, Sultan
Trenggana yang tahun 1518 menggantikan ayahnya yaitu Raden Fattah, Fathullah Khan
(wafat 1573), Sayyid Amir Hasan yang tahun 1550 menggantikan ayahnya Sunan Kudus,
Sunan Gunung Jati (wafat 1569), Raden Husamuddin Sunan Lamongan yang tahun 1525
menggantikan kakaknya Sunan Bonang, Sunan Pakuan yang tahun 1533 menggantikan
ayahnya Sunan Derajat, dan Sunan Muria (wafat 1551).
 Angkatan ke-7 (1546- 1591 M), terdiri dari Syaikh Abdul Qahhar (wafat 1599), Sunan
Prapen yang tahun 1570 menggantikan Raden Zainal Abidin Sunan Demak, Sunan
Prawoto yang tahun 1546 menggantikan ayahnya Sultan Trenggana, Maulana Yusuf cucu
Sunan Gunung Jati yang pada tahun 1573 menggantikan pamannya Fathullah Khan,
Sayyid Amir Hasan, Maulana Hasanuddin yang pada tahun 1569 menggantikan ayahnya
Sunan Gunung Jati, Sunan Mojoagung yang tahun 1570 menggantikan Sunan Lamongan,
Sunan Cendana yang tahun 1570 menggantikan kakeknya Sunan Pakuan, dan Sayyid
Shaleh (Panembahan Pekaos) anak Sayyid Amir Hasan yang tahun 1551 menggantikan
kakek dari pihak ibunya yaitu Sunan Muria.
 Angkatan ke-8 (1592- 1650 M), terdiri dari Syaikh Abdul Qadir (Sunan Magelang) yang
menggantikan Sunan Sedayu (wafat 1599), Baba Daud Ar-Rumi Al-Jawi yang tahun
1650 menggantikan gurunya Sunan Prapen, Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) yang tahun
1549 menggantikan Sultan Prawoto, Maulana Yusuf, Sayyid Amir Hasan, Maulana
Hasanuddin, Syekh Syamsuddin Abdullah Al-Sumatrani yang tahun 1650 menggantikan
Sunan Mojoagung, Syekh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri yang tahun 1650
menggantikan Sunan Cendana, dan Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos).

SYEKH JUMADIL QUBRO (TOKOH PENDAHULU WALISONGO) – [ Kembali ke


daftar isi ]

Syekh Jumadil Qubro adalah Maulana Ahmad Jumadil Kubra bin Husain Jamaluddin bin Ahmad
Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad
Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin
Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad
Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi
Muhammad Rasulullah Syekh Jumadil Qubro adalah putra Husain Jamaluddin dari isterinya
yang bernama Puteri Selindung Bulan (Putri Saadong II/ Putri Kelantan Tua). Tokoh ini sering
disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor penyebaran
Islam di tanah Jawa.

Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo (dekat
Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan kuburnya.

TEORI KETURUNAN HADRAMAUT – [ Kembali ke daftar isi ]

Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia
Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih
merupakan jalur penyebaran para mubaligh daripada merupakan asal-muasal mereka yang
sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh
Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa
Walisongo adalah keturunan Hadramaut (Yaman):
# L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-
1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l’archipel Indien (1886)[5]
mengatakan:

”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang
Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa
dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan
golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini
disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi
Muhammad SAW).”

# Van Den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):
”Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu
sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan
penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan
pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan
Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka
berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt
(Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-
peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya.”

Pernyataan van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik
kedatangan atau kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih
awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum
Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab,
Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.

# Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama seperti
mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia.
Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India
pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.

# Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi’i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul
Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa Nur
Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar,
Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i Fathul Muin yang
populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya memasukkan
pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan
kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah
Islam yang menggabungkan fiqh Syafi’i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul
Bait.

# Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah dan Pati
Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar yang
sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu
keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak
dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini terkenal
sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai
putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar,
Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.

TEORI KETURUNAN CINA – [ Kembali ke daftar isi ]

Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu
Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa Walisongo adalah keturunan Tionghoa Indonesia.
Pendapat tersebut mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo
adalah keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku
tersebut.

Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa Walisongo berasal dari atau keturunan
Tionghoa sampai saat ini masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud
hanya dapat diuji melalui sumber akademik yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk
kepada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada seseorang
yang bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga sekarang belum bisa
diketahui identitasnya serta kredibilitasnya sebagai sejarawan, misalnya bila dibandingkan
dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C. van den Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang banyak
mengkaji sejarah Islam di Indonesia yaitu Martin van Bruinessen, bahkan tak pernah sekalipun
menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat detail dan banyak dijadikan
referensi.

Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul Chinese
Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries adalah yang ditulis oleh Russell Jones. Di sana,
ia meragukan pula tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan bernama
lain, seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan mengingat ceritanya yang cukup lengkap dalam
tulisan Parlindungan.

SUMBER TERTULIS TENTANG WALISONGO – [ Kembali ke daftar isi ]

1. Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang Walisongo, antara lain Serat
Walisanga karya Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab Walisongo karya Sunan Dalem (Sunan
Giri II) yang merupakan anak dari Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad
Tanah Jawi.

2. Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962)
juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta:
Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin,
dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut.
3. Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh
Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, ‘Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah oleh
Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung
Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.

Refferensi – [ Kembali ke daftar isi ]

Sejarah Biografi Maulana Malik Ibrahim

Syekh Maulana Malik Ibrahim – Dalam sejarah perwalian wali songo, Maulana Malik Ibrahim
merupakan wali yang tertua dari Sembilan wali atau wali songo / wali sanga / wali 9.

Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di


Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma
menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy,
berubah menjadi Asmarakandi.

Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah
menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra
Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang
ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil
Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.

Pesan Sponsor

Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun
sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah
Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri.
Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim
hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.

Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang
ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan
Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara
kota Gresik.

Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung.
Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik
Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib,
kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar
kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.

Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah
kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di
hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai
membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik
Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.

Walisongo, Sunan Muria, profile sunan muria, sejarah sunan muria, kisah sunan muria – Ia
putra Dewi Saroh – adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan
Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat
tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus.

Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan
sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota
untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan
keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.

Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan
Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah
betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua
pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus
dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
Profile Sunan Ampel – biografi sunan ampel – Sunan Ampel adalah Anak Maulana Malik
Ibrahim yang tertua. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia
dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel
sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau
Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang).

Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M
bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di
Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik.
Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama
Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri
Kertawijaya.

Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia
dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan
Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus)
hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia
pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk
menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.

Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun
mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada
pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di
wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden
Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan
Madura.

Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya
memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-
lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat,
moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri,
tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”

Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah
barat Masjid Ampel, Surabaya.

Profile biodata Sunan kudus. Pada usia anak-anak (masa kecil) Sunan kudus bernama Jaffar
Shadiq. Ia adalah putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi
Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir
yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima
Perang.
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah
tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun
meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya
bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang
mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.

Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol
Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan
pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi
yang dilakukan Sunan Kudus.

Pesan Sponsor

Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk
itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid.
Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka
mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai
sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.

Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri,
sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang
tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah
Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.

Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga
pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah
kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.

Sunan Drajat Nama kecilnya adalah Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia
bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin
ini lahir pada tahun 1470 M. Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk
berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog –pesisir
Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1
kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa
Drajat, Paciran-Lamongan.

Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak
banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara
berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah
suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang
lapar/beri pakaian pada yang telanjang”. Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja
yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan
fakir miskin.

Kisah Perjalanan Hidup Sunan Drajat


Alkisah, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya di
Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk
berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang
kelak berkembang menjadi legenda.

Pesan Sponsor

Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah
perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah
barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia
ditolong ikan cucut dan ikan talang –ada juga yang menyebut ikan cakalang.

Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat yang
kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut tarikh, persitiwa ini terjadi pada
sekitar 1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah
Mayang Madu dan Mbah Banjar.

Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di
sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan
Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan
akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk.

Jelak, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi kampung
besar yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar. Selang tiga tahun, Raden Qasim
pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari
banjir pada musim hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.

Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih
menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin
oleh Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah
perbukitan di selatan. Lahan berupa hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai daerah angker.

Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan itu. Mereka
meneror penduduk pada malam hari, dan menyebarkan penyakit. Namun, berkat kesaktiannya,
Sunan Drajat mampu mengatasi. Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat bersama para
pengikutnya membangun permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.

Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan, yang
kini menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak
jauh di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah menyampaikan
ajaran Islam kepada penduduk.
Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522. Di tempat itu
kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan barang-barang peninggalan Sunan Drajat –
termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat
tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.

Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para
pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan. ”Bapang
den simpangi, ana catur mungkur,” demikian petuahnya. Maksudnya: jangan mendengarkan
pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.

Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa
memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan menempuh lima cara. Pertama, lewat
pengajian secara langsung di masjid atau langgar. Kedua, melalui penyelenggaraan pendidikan di
pesantren. Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu masalah.

Cara keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat tembang
pangkur dengan iringan gending. Terakhir, ia juga menyampaikan ajaran agama melalui ritual
adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring teken marang kang kalunyon lan wuta; paring
pangan marang kang kaliren; paring sandang marang kang kawudan; paring payung kang
kodanan. Artinya: berikan tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada yang kelaparan;
berikan pakaian kepada yang telanjang; dan berikan payung kepada yang kehujanan.

Sunan Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari perkampungan


pada malam hari. Penduduk merasa aman dan terlindungi dari gangguan makhluk halus yang,
konon, merajalela selama dan setelah pembukaan hutan. Usai salat asar, Sunan juga berkeliling
kampung sambil berzikir, mengingatkan penduduk untuk melaksanakan salat magrib.

”Berhentilah bekerja, jangan lupa salat,” katanya dengan nada membujuk. Ia selalu menelateni
warga yang sakit, dengan mengobatinya menggunakan ramuan tradisional, dan doa.
Sebagaimana para wali yang lain, Sunan Drajat terkenal dengan kesaktiannya. Sumur Lengsanga
di kawasan Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan ketika ia merasa kelelahan dalam suatu
perjalanan.

Ketika itu, Sunan meminta pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi hutan. Ketika Sunan
kehausan, ia berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi itu memancar air bening –yang
kemudian menjadi sumur abadi. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat disebut-sebut menikahi
tiga perempuan. Setelah menikah dengan Kemuning, ketika menetap di Desa Drajat, Sunan
mengawini Retnayu Condrosekar, putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga.

Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi. Menurut Babad Tjerbon, istri pertama
Sunan Drajat adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati. Alkisah, sebelum sampai di
Lamongan, Raden Qasim sempat dikirim ayahnya berguru mengaji kepada Sunan Gunung Jati.
Padahal, Syarif Hidayatullah itu bekas murid Sunan Ampel.
Di kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga kini, memang ada tradisi ‘’saling
memuridkan”. Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah menikahi Dewi Sufiyah, Raden Qasim
tinggal di Kadrajat. Ia pun biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Kadrajat, atau Pangeran
Drajat. Ada juga yang menyebutnya Syekh Syarifuddin.

Bekas padepokan Pangeran Drajat kini menjadi kompleks perkuburan, lengkap dengan cungkup
makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat, Kecamatan Kesambi. Di sana dibangun sebuah
masjid besar yang diberi nama Masjid Nur Drajat. Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat
mengisahkan bahwa dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga
putra.

Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran Sandi, dan
anak ketiga Dewi Wuryan. Ada pula kisah yang menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah
menikah dengan Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai empat putra. Namun, kisah ini agak
kabur, tanpa meninggalkan jejak yang meyakinkan.

Tak jelas, apakah Sunan Drajat datang di Jelak setelah berkeluarga atau belum. Namun, kitab
Wali Sanga babadipun Para Wali mencatat: ”Duk samana anglaksanani, mangkat
sakulawarga….” Sewaktu diperintah Sunan Ampel, Raden Qasim konon berangkat ke Gresik
sekeluarga. Jika benar, di mana keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah? Para ahli sejarah
masih mengais-ngais naskah kuno untuk menjawabnya.

Beliau wafat dan dimakamkan di desa Drajad, kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa
Timur. Tak jauh dari makam beliau telah dibangun Museum yang menyimpan beberapa
peninggalan di jaman Wali Sanga. Khususnya peninggalan beliau di bidang kesenian.

Kisah wali songo Sunan Giri – Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul
Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang
menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah
dibuang oleh keluarga ibunya, seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut.
Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).

Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak
berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia
meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.

Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden
Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia
membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa,
bukit adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.
Pesan Sponsor

Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga
sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -
konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya
untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat
kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut
sebagai Prabu Satmata.

Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah
melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima
militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak
lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-
Tanah Jawa.

Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal
sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.

Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau,
seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke
Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal
dari Minangkabau.

Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang
pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa.
Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi
Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat
dengan ajaran Islam.

Sunan Kalijaga, merupakan “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia
lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari
tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah
menganut Islam.

Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan
seperti Lokajaya,Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam
versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.

Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan
Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati.
Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai
(kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli
dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai ” penghulu suci” kesultanan.

Pesan Sponsor

Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia
mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan
Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran
Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang
pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu)
yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.

Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan
Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik
(pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.

Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika
diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil
mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya
kebiasaan lama hilang.

Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni
ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju
takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja.
Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai
karya Sunan Kalijaga.

Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui
Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta
Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan
Demak.

Kisah Sunan Gunung Jati – Dalam Naskah Klayan hal. xxii Babad Cirebon, dikisahkan sunan
gunung jati, bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, dan bertemu
Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir serta menerima wasiat Nabi Sulaeman yang semuanya itu
tidak masuk akal. Namun dari kisah-kisah sunan gunung jati tersebut hanyalah sebagai isyarat
kekaguman masyarakat saat itu pada sunan Gunung Jati.

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya
adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya
adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari
Palestina.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia
sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas
restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai
Kasultanan Pakungwati.

Pesan Sponsor

Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin
pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran
untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.

Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga
mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan
antar wilayah.

Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke
Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten
tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.

Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah.
Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati
wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung
Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.

Anda mungkin juga menyukai