Anda di halaman 1dari 21

Sunan Kudus

Lahir 9 September 1400 Masehi/ 808 Hijriyah


,Al-Quds (Palestina)

Meninggal 5 Mei 1550 Masehi/ 958 Hijriyah


,Kudus Jawa Tengah(Indonesia)

Sebab meninggal Meninggal dalam keadaan bersujud ketika sholat

subuh

Tempat tinggal Kudus Jawa Tengah

Pekerjaan 1. Penasehat Khalifah (Sultan Demak)

2. Panglima Perang

3. Qadhi

4. Mufti

5. Imam Besar Masjid Demak & Masjid Kudus

6. Mursyid Tarekat

7. Naqib Nasab Keturunan Azmatkhan

8. Ketua Pasar Islam Walisongo

9. Penanggung Jawab Pencetak Dinar Dirham

Islam
10. Ketua Baitulmal Walisongo 

Tempat kerja Kekhalifahan Islam Demak

Dikenal atas Anggota Walisongo yang paling alim (Waliyyul

Ilmi)

Gaji 7 Dinar Emas (1 Dinar Emas=24Karat,4.44

gram)/hari

Tinggi 180 cm (5 ft 11 in)


Berat 81 kg (179 lb)

Gelar Waliyyul Ilmi

Masa jabatan 1400M-1550M/ 808H-958H (150 tahun)

Pendahulu Sayyid Usman Haji (Sunan Ngudung) (Ayah)

Pengganti Sayyid Amir Hasan (Anak Pertama)

Anggota dewan Majelis Dakwah Walisongo

Pasangan serumah Syarifah Dewi Rahil binti Sunan Bonang

Anak 1. Amir Hasan

2. Panembahan Kudus

3. Nyai Ageng Pambayun

4. Amir Hamzah (Panembahan Palembang)

5. Panembahan Makaos Honggokusumo

6. Panembahan Kadhi

7. Panembahan Karimun

8. Panembahan Jaka

9. Ratu Pajaka

10. Ratu Probodinalar 

Kerabat Syarifah Dewi Sujinah (adik perempuan/isteri

Sunan Muria)

Sunan Kudus adalah salah satu penyebar agama Islam di Indonesia yang tergabung
dalam walisongo, yang lahir pada 9 September 1400M/ 808 Hijriah. Nama lengkapnya adalah nama
Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan. Ia adalah putra dari pasangan Sunan Ngudung.
Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. Bapaknya
yaitu Sunan Ngudung adalah putra Sultan di Palestina yang bernama Sayyid Fadhal Ali Murtazha
(Raja Pandita/Raden Santri) yang berhijrah fi sabilillah hingga ke Jawa dan sampailah di Kesultanan
Islam Demak dan diangkat menjadi Panglima Perang.
Jati diri Sunan Kudus[sunting | sunting sumber]
Nama Ja'far Shadiq diambil dari nama datuknya yang bernama Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad al-
Baqir bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib yang beristerikan Fatimah az-Zahra binti Muhammad.
Sunan Kudus sejatinya bukanlah asli penduduk Kudus, ia berasal dan lahir di Al-Quds negara
Palestina. Kemudian bersama kakek, ayah dan kerabatnya berhijrah ke Tanah Jawa.

Nasab Sunan Kudus[sunting | sunting sumber]


Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau
Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan
Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal
Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin
Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali
Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin
Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-
Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah.[1]

Sunan Kudus dalam Babad Tanah Jawi[sunting | sunting sumber]


Babad Tanah Jawi (selanjutnya disebut BTJ) adalah terjemahan dari Punika Serat Babad Tanah
Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegiing Taoen 1647 yang disusun oleh W. L. Olthof di Leiden,
Belanda, pada tahun 1941. Seperti pada pengertian babad pada umumnya, di sini terdapat cerita-
cerita tentang pendirian sebuah negara (kerajaan) dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar
kerajaan tersebut.
“…Orang di tanah Jawa taat serta menganut agama Islam. Mereka bermusyawarah akan
mendirikan masjid di Demak. Para wali saling berbagi tugas, semua sudah siap sedia. Hanya Sunan
Kali Jaga yang masih ketinggalan, bagian garapannya belum berbentuk, sebab sedang tirakat di
Pamantingan. Sekembalinya ke Demak, masjid sudah akan didirikan. Sunan Kali Jaga segera
mengumpulkan sisa-sisa kayu bekas sudah menjadi tiang.Pagi harinya tanggal 1 bulan Dulkangidah
masjid didirikan dengan sengkalan tahun 1428. Kiblat di masjid searah dengan ka’bah di Mekkah.
Penghulunya Sunan Kudus. Setelah beberapa Jumat berdirinya masjid tadi, ketika para wali sedang
berdzikir bersama di masjid itu, Sunan Kudus duduk khusuk bertafakur di bawah beduk, tiba-tiba
ada bungkusan jatuh dari atas-buku kulit kambing, di dalamnya ada sajadah serta selendang
Kanjeng Rasul.” [2]
“Pada waktu itu banyak orang Jawa yang belajar agama Islam, kedigdayaan, dan kekuatan badan.
Ada dua orang guru yang terkenal, yaitu Sunan Kali Jaga dan Sunan Kudus. Sunan Kudus itu
muridnya tiga orang, yaitu Arya Penansang di Jipang, Sunan Prawata, dan Sultan Pajang. Yang
paling disayang adalah Arya Penansang.
Waktu itu Sunan Kudus sedang duduk-duduk di rumahnya dengan Pangeran Arya Penansang,
Sunan Kudus berkata kepada Arya Penansang, “Orang membunuh sesama guru itu, hukumnya
apa?” Perlahan jawab Arya Penangsang, “Hukumnya harus dibunuh, tetapi saya belum tahu siapa
yang berbuat demikian itu.” Sunan Kudus berkata,”Kakakmu di Prawata.” Arya Penansang setelah
mendengar perintah Sunan Kudus, bersedia membunuh Sunan Prawata. Ia lalu mengutus abdi
pengawalnya bernama Rangkud dan diperintah untuk membunuh Sunan Prawata. Rangkud lalu
berangkat. Sesampai di Prawata ketemu dengan Sunan Prawata yang sedang sakit dan bersandar
pada istrinya. Setelah melihat Rangkud Sunan Prawata bertanya, “Kamu itu orang siapa?” Rangkud
menjawab, “Saya adalah utusan Arya Penansang, memerintahkan untuk membunuhmu.” Sunan
Prawata berkata, “Ya, terserah, tetapi saya sendiri sajalah yang engkau bunuh, jangan mengikutkan
orang lain.” Rangud lalu menusuk sekuat-kuatnya. Dada Sunan Prawata tembus sampai ke
punggungnya serta menembus dada istrinya. Sunan Prawata setelah melihat istrinya terluka, segera
mencabut kerisnya yang bernama Kyai Betok, lalu dilemparkan ke Rangkud. Si Rangkud tergores
oleh kembang kacang (hiasan pada pangkal keris), ia jatuh di tanah lalu tewas. Sunan Prawata dan
isterinya juga meninggal dunia. Meninggalnya ber-sinengkalan tahun 1453. Arya Penangsang begitu
tega membunuh Sunan Prawata sebab ayahnya juga dibunuh oleh Sunan Prawata, saat pulang dari
sholat Jum'at. Ia dicegat di tengah jalan oleh utusan Sunan Prawata bernama Sura Yata. Ki Sura
Yata tadi juga sudah dibunuh oleh teman ayahnya Arya Jipang.
Sunan Prawata tadi mempunyai saudara perempuan namanya Ratu Kali Nyamat. Dia begitu tidak
terima atas kematian saudara laki-lakinya itu. Lalu berangkat ke Kudus bersama suaminya berniat
minta keadilan kepada Sunan Kudus. Lalu jawab Sunan Kudus, “Kakakmu itu sudah hutang pati
pada Arya Penangsang. Sekarang tinggal membayar hutang itu saja.” Ratu Kali Nyamat mendengar
jawaban Sunan Kudus itu sangat sakit hatinya. Lalu kembali pulang. Di tengah jalan dibegal
utusannya Arya Penansang. Laki-lakinya dibunuh. Ratu Kali Nyamat sangat terpukul hatinya. Sebab
baru saja kehilangan saudaranya, lalu kehilangan suaminya. Ia jadi sangat menderita. Lalu bertapa
telanjang di Bukit Dana Raja. Sebagai ganti kain untuk menutup auratnya adalah rambutnya yang
diurai. Ratu Kalinyamat berprasetia tidak mau memakai kain selama hidup jika Arya Penansang
belum meninggal. Ia bernadar barangsiapa dapat membunuh Arya Jipang, dia akan mengabdi
kepadanya dan akan menyerahkan seluruh kekayaannya.
Pada suatu ketika Sunan Kudus sedang berbincang-bincang dengan Arya Penangsang, Sunan
Kudus berkata, “Kakakmu Sunan Prawata dan Kali Nyamat sekarang sudah mati, tetapi belum lega
rasanya kalau belum menguasai tanah Jawa semua. Jika masih ada adikmu Sultan Pajang saya
kira tidak mungkin bisa jadi raja, sebab dia adalah penghalang.” Arya Penansang berkata, “Jika
diperkenankan atas izin Sunan Kudus, Pajang akan saya gempur dengan perang, adik saya di
Pajang akan saya bunuh supaya tidak ada penghalang.” Sunan Kudus menjawab, “Maksudmu itu
saya kurang setuju sebab akan merusak negara serta banyak korban. Adapun maksud saya,
kakakmu di Pajang bisa mati, secara diam-diam saja, jangan diketahui banyak orang.” Arya
Penangsang menjawab sangat setuju. Lalu mengutus abdi pengawal untuk menculik dan
membunuh Sultan Pajang. Utusan segera berangkat. Datang di Pajang tengah malam, lalu masuk
ke dalam istana. Sultan Pajang sedang tidur berselimut kain kampuh, jarik/kain sarung. Para istrinya
tidur di bawah. Utusan menerjang dan menusuk dengan sekuat tenaga. Sultan Pajang tidak
mempan (kebal), masih enak tidur saja. Kain yang digunakan untuk berselimut itu pun tidak
tertembus. Para isrti terkejut, bangun, menangis, dan menjerit. Sultan Pajang terkejut juga dan
bangun. Kain selimut terlempar menerpa para utusan itu, mereka terjatuh terkapar di tanah, tidak
ada yang dapat pergi.

Asal usul nama kota Kudus[sunting | sunting sumber]


Dahulu kota Kudus masih bernama Tajug. Kata warga setempat, awalnya ada Kyai Telingsing yang
mengembangkan kota ini. Telingsing sendiri adalah panggilan sederhana kepada The Ling Sing,
seorang Muslim Cina asal Yunnan, Tiongkok. Ia sudah ada sejak abad ke-15 Masehi dan menjadi
cikal bakal Tionghoa muslim di Kudus. Kyai Telingsing seorang ahli seni lukis dari Dinasti Sung yang
terkenal dengan motif lukisan Dinasti Sung, juga sebagai pedagang dan mubaligh Islam terkemuka.
Setelah datang ke Kudus untuk menyebarkan Islam, didirikannya sebuah masjid dan pesantren di
kampung Nganguk. Raden Undung yang kemudian bernama Ja’far Thalib atau lebih dikenal dengan
nama Sunan Kudus adalah salah satu santrinya yang ditunjuk sebagai penggantinya kelak.
Kota ini sudah ada perkembangan tersendiri sebelum kedatangan Ja’far Shodiq. Beberapa kiah
tutur percaya bahwa Ja’far itu seorang penghulu Demak yang menyingkir dari kerajaan. Awal
kehidupan Sunan Kudus di Kudus adalah dengan berada di tengah-tengah jamaah dalam kelompok
kecil. Penafsiran lainnya itu memperkirakan bahwa kelompok kecilnya itu adalah para santrinya
sendiri yang dibawa dari Demak sana, sekaligus juga tentara yang siap memerangi Majapahit. Versi
lainnya mereka itu adalah warga setempat yang dipekerjakannya untuk menggarap tanah ladang.
Berarti ada kemungkinan juga Ja’far memenuhi kebutuhan hidupnya di Kudus dimulai dengan
menggarap ladang.
Fakta mengenai Sunan Kudus[sunting | sunting sumber]
Sunan Kudus berhasil menampakkan warisan budaya dan tanda dakwah islamiyahnya yang dikenal
dengan pendekatan kultural yang begitu kuat. Hal ini sangat tampak jelas pada Menara Kudus yang
merupakan hasil akulturasi budaya antara Hindu-China-Islam yang sering dikatakan sebagai
representasi menara multikultural. Aspek material dari Menara Kudus yang membawa kepada
pemaknaan tertentu melahirkan ideologi pencitraan tehadap Sunan Kudus. Oleh Roland Barthes
disebut dengan mitos (myth), yang merupakan system komunikasi yang memuat pesan (sebuah
bentuk penandaan). Ia tak dibatasi oleh objek pesannya, tetapi cara penuturan pesannya. Mitos
Sunan Kudus selain dapat ditemui pada peninggalan benda cagar budayanya, juga bisa ditemukan
di dalam sejarah, gambar, legenda, tradisi, ekspresi seni maupun cerita rakyat yang berkembang di
kalangan masyarakat Kudus. Kini ia populer sebagai seorang wali yang toleran, ahli ilmu, gagah
berani, kharismatik, dan seniman.
Satu fakta utama yang dapat masyarakat lihat pada mata uang kertas Rp. 5.000,00 dengan gambar
Menara Kudus. Ini merupakan suatu bentuk apresiasi dari Gubernur Bank Indonesia yang dijabat
oleh Arifin Siregar pada masa itu. Berikut petikan sambutannya: “…Kami sewaktu bertugas sebagai
Gubernur Bank Indonesia mendapat kesempatan untuk mengeluarkan uang kertas Lima Ribu
Rupiah dengan gambar Menara Kudus. Hal ini kami lakukan antara lain mengingat keindahan dan
kenggunan Menara Kudus. Disamping itu Menara Kudus merupakan salah satu peninggalan sejarah
Indonesia yang perlu dilestarikan dan diperkenalkan kepada masyarakat kita dan juga khalayak luar
negeri.”
Mengenai hari jadi kota Kudus sendiri (23 September 1549, berdasarkan Perda No. 11 Tahun 1990
yang diterbitkan tanggal 6 Juli 1990) memang tak bisa dilepaskan dari patriotisme Sunan Kudus
sendiri. Bukti nyatanya dapat dilihat dalam inskripsi yang terdapat pada Mihrab di Masjid Al-Aqsa
Kudus yang dibangun pada 956 H/1549 M oleh Sunan Kudus. Maka dalam setiap perayaan hari
jadinya tak pernah lupa semangat dan patriotisme Sunan Kudus dalam memajukan rakyat dan
ummatnya.[3]
Menurut Muliadi via Castles (1982); Ismudiyanto dan Atmadi (1987); dan Suharso (1992),
menyebutkan bahwa: “ Dalam sejarah, Kudus Kulon dikenal sebagai kota lama dengan diwarnai
oleh kehidupan keagamaan dan adat istiadatnya yang kuat dan khas serta merupakan tempat
berdirinya Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus; serta merupakan pusat tempat berdirinya
rumah-rumah asli (adat pencu). Sementara Kudus Wetan terletak di sebelah Timur Sungai Gelis,
dan merupakan daerah pusat pemerintahan, pusat transportasi, dan daerah pusat perdagangan.”
Salah satu bentuknya ialah tarian Buka Luwur yang menggambarkan sejarah perjalanan masyarakat
Kudus sepeninggal Sunan Kudus hingga terbentuk satuan wilayah yang disebut Kudus. Tradisi ini
telah menjadi kegiatan rutin pengurus Menara Kudus setiap tanggal 10 Muharram dengan dukungan
umat Islam baik di Kudus maupun sekitarnya. Ini merupakan prosesi pergantian kelambu pada
makam Sunan Kudus diiringi doa-doa dan pembacaan kalimah toyyibah (tahlil, shalawat, istigfar,
dan surat-surat pendek al-quran yang sebelumnya telah didahului dengan khataman quran secara
utuh).
Ada lagi tradisi Dhandangan yang digelar setahun sekali menjelang bulan Ramadhan. Pada masa
Sunan Kudus tradisi ini ditandai dengan pemukulan bedug di atas Menara Kudus (berbunyi dhang
dhang dhang). Tradisi ini pun memperkuat eksistensi Sunan Kudus. Selain itu masyarakat Kudus
hingga saat ini tak pernah berani menyembelih sapi/lembu sebagai suatu penghormatan kepada
Sunan Kudus yang mana dakwahnya menekankan unsure kebijaksanaan dan toleransi karena kala
itu masyarakat Kudus masih beragama Hindu yang menyucikan hewan lembu. Kini, setiap Kamis
malam makam Kanjeng Sunan Kudus selalu ramai oleh peziarah dengan beragam latar beragam
latar belakang dan etnis, dari berbagai daerah. Mereka datang dengan beragam cara, baik sendiri
maupun bersama rombongan. Pada momen-momen tertentu ada yang datang dari
mancanegara.Kesalahan pengutipan: Tag  <ref>  tidak sah; nama tidak sah;
misalnya, terlalu banyak
Fenomena pencitraan ini berhasil menjadi sumber penggerak dalam bertindak (untuk beberapa hal),
Bourdieu menyebutnya sebagai “tindakan yang bermakna” baik keberagamaan maupun fenomena
budaya lainnya. Citra Sunan Kudus dalam masyarakat Kudus telah melewati kuasa dan pertarungan
sistem tanda yang merekontruksi budaya lokal mereka. Suatu tandanya dapat dihubungkan dengan
tanda lain yang dapat ditemui dalam model keberagamaan maupun kontruksi budaya masyarakat
agama (Islam). Jadilah mereka memiliki identitas keislaman yang khas dan unik serta memiliki
warisan spirit dan patriotisme yang melegenda. Hal ini terus digali hingga menjadi model dalam
sosial-budaya dan sikap keberagamaan umat Islam (suatu identitas kultural).[4]

Pendidikan Sunan Kudus[sunting | sunting sumber]


Kanjeng Sunan Kudus (selanjutnya disingkat KSK) banyak berguru kepada Sunan Kalijaga dan ia
menggunakan gaya berdakwah ala gurunya itu yang sangat toleran pada budaya setempat serta
cara penyampaian yang halus. Didekatinya masyarakat dengan memakai simbol-simbol Hindu-
Budha seperti yang tampak pada gaya arsitektur Masjid Kudus. Suatu waktu saat KSK ingin menarik
simpati masyarakat untuk mendatangi masjid guna mendengarkan tabligh akbarnya, ia tambatkan
Kebo Gumarang (sapinya) di halaman masjid. Masyarakat yang saat itu memeluk agama Hindu pun
bersimpati, dan semakin bersimpati selepas mendengarkan ceramah KSK mengenai “sapi betina”
atau Al-Baqarah dalam bahasa Al-qurannya. Teknik lainnya lagi adalah dengan mengubah cerita
ketauhidan menjadi berseri, betujuan menarik rasa penasaran masyarakat.

Dakwah Sunan Kudus[sunting | sunting sumber]


Ia adalah Sunan Kudus yang bernama asli Syekh Ja’far Shodiq. Ia pula yang menjadi salah satu
dari anggota Wali Sanga sebagai penyebar Islam di Tanah Jawa. Sosok Sunan Kudus begitu sentral
dalam kehidupan masyarakat Kudus dan sekitarnya. Kesentralan itu terwujud dikarenakan Sunan
Kudus telah memberikan pondasi pengajaran keagamaan dan kebudayaan yang toleran.
Tak heran, jika hingga sekarang makam ia yang berdekatan dengan Menara Kudus selalu ramai
diziarahi oleh masyarakat dari berbagai penjuru negeri. Selain itu, hal tersebut sebagai bukti bahwa
ajaran toleransi Sunan Kudus tak lekang oleh zaman dan justru semakin relevan ditengah arus
radikalisme dan fundamentalisme beragama yang semakin marak dewasa ini.
Dalam perjalanan hidupnya, Sunan Kudus banyak berguru kepada Sunan Kalijaga. Cara
berdakwahnya pun sejalan dengan pendekatan dakwah Sunan Kalijaga yang menekankan kearifan
lokal dengan mengapresiasi terhadap budaya setempat.
Beberapa nilai toleransi yang diperlihatkan oleh Sunan Kudus terhadap pengikutnya yakni dengan
melarang menyembelih sapi kepada para pengikutnya. Bukan saja melarang untuk menyembelih,
sapi yang notabene halal bagi kaum muslim juga ditempatkan di halaman masjid kala itu.
Langkah Sunan Kudus tersebut tentu mengundang rasa simpatik masyarakat yang waktu itu
menganggap sapi sebagai hewan suci. Mereka kemudian berduyun-duyun mendatangi Sunan
Kudus untuk bertanya banyak hal lain dari ajaran yang dibawa oleh ia.
Lama-kelamaan, bermula dari situ, masyarakat semakin banyak yang mendatangi masjid sekaligus
mendengarkan petuah-petuah Sunan Kudus. Islam tumbuh dengan cepat. Mungkin akan menjadi
lain ceritanya jika Sunan Kudus melawan arus mayoritas dengan menyembelih sapi.
Selain berdakwah lewat sapi, bentuk toleransi sekaligus akulturasi Sunan Kudus juga bisa dilihat
pada pancuran atau padasan yang berjumlah delapan yang sekarang difungsikan sebagai tempat
berwudlu. Tiap-tiap pancurannya dihiasi dengan relief arca sebagai ornamen penambah estetika.
Jumlah delapan pada pancuran mengadopsi dari ajaran Budha yakni Asta Sanghika Marga atau
Delapan Jalan Utama yang menjadi pegangan masyarakat saat itu dalam kehidupannya. Pola
akulturasi budaya lokal Hindu-Budha dengan Islam juga bisa dilihat dari peninggalan Sunan Kudus
berupa menara. Menara Kudus bukanlah menara yang berarsitektur bangunan Timur Tengah,
melainkan lebih mirip dengan bangunan Candi Jago atau serupa juga dengan bangunan Pura di
Bali.
Menara tersebut difungsikan oleh Sunan Kudus sebagai tempat adzan dan tempat untuk memukul
bedug setiap kali datangnya bulan Ramadhan. Kini, menara yang konon merupakan menara masjid
tertua di wilayah Jawa tersebut dijadikan sebagai landmark Kabupaten Kudus.
Strategi (akulturasi) dakwah Sunan Kudus adalah suatu hal yang melampaui zamannya. Melampaui
zaman karena dakwah dengan mengusung nilai-nilai akulturasi saat itu belumlah ramai dipraktikkan
oleh penyebar Islam di Indonesia pada umumnya.
Kini, toleransi beragama berada di titik nadir. Ironisnya, toleransi beragama tak cuma menjadi
barang mahal, tetapi sudah terlalu langka. Dengan jalan menghidupkan kembali esensi serta spirit
dakwah Sunan Kudus, kiranya masyarakat muslim bisa mengembalikan lagi wajah Islam yang
ramah dan toleran setelah sebelumnya dihinggapi oleh stigma negatif.Ajaran Toleransi Ala Sunan
Kudus.[4]

Karya Sunan Kudus[sunting | sunting sumber]


Pada tahun 1530, Sunan Kudus mendirikan sebuah mesjid di desa Kerjasan, Kota Kudus, yang kini
terkenal dengan nama Masjid Agung Kudus dan masih bertahan hingga sekarang. Sekarang Masjid
Agung Kudus berada di alun-alun kota Kudus Jawa Tengah. Peninggalan lain dari Sunan Kudus
adalah permintaannya kepada masyarakat untuk tidak memotong hewan kurban sapi dalam
perayaan Idul Adha untuk menghormati masyarakat penganut agama Hindu dengan mengganti
kurban sapi dengan memotong kurban kerbau, pesan untuk memotong kurban kerbau ini masih
banyak ditaati oleh masyarakat Kudus hingga saat ini.

Wafatnya Sunan Kudus[sunting | sunting sumber]


Pada tahun 1550, Sunan Kudus meninggal dunia saat menjadi Imam sholat Subuh di Masjid Menara
Kudus, dalam posisi sujud. kemudian dimakamkan di lingkungan Masjid Menara Kudus.

Keturunan Sunan Kudus[sunting | sunting sumber]


Di antara keturunan Sunan Kudus yang menjadi Ulama' dan Tokoh di Indonesia adalah: Syekh
Kholil Bangkalan Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini, Syekh Bahruddin Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini,
dan Syekh Shohibul Faroji Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini.
Sunan Muria – Raden Umar Said atau Sunan Muria merupakan salah satu
anggota walisongo yang berperan penting dalam penyebaran agama Islam,
khususnya di gunung Muria, Jawa Tengah. Beliau merupakan putera Sunan
Kalijaga dan terkenal akan ilmunya yang sakti. Selain itu, beliau juga terkenal
sebagai pencipta tembang Sinom dan Kinanthi. Dalam melaksanakan
dakwahnya, Sunan Muria lebih menekankan pada kaum nelayan, pedagang,
dan rakyat jelata.
DAFTAR ISI
 Biografi Sunan Muria
 Wilayah Dakwah Sunan Muria
 Metode Dakwah Sunan Muria
 Sifat Teladan Yang Dimiliki Sunan Muria
 Kisah Dewi Roroyono dan Bukti Kesaktian Sunan Muria
 Letak Makam Sunan Muria
 Benda Peninggalan Sunan Muria yang Dianggap Keramat
Biografi Sunan Muria

Sunan Muria
Sunan Muria merupakan putera dari Sunan Kalijaga melalui pernikahannya
bersama Dewi Saroh, yang merupakan puteri dari Syekh Maulana Ishak,
seorang ulama terkenal di Samudra Pasai Aceh. Dengan demikian maka
Sunan Muria masih merupakan keponakan dari Sunan Giri. Saat masih kecil,
Sunan Muria memiliki nama Raden Prawoto. Selain itu, beliau juga sering
dipanggil dengan Raden Umar Said atau Raden Umar Syahid.
Menginjak dewasa, Sunan Muria menikah dengan Dewi Sujinah yang
merupakan puteri dari Sunan Ngudung (Raden Usman Haji). Sunan Ngudung
merupakan salah satu putera dari sultan di Mesir yang melakukan perjananan
hingga ke tanah Jawa. Sementara itu, Sunan Ngudung sendiri juga
merupakan ayah dari Sunan Kudus. Dari pernikahannya dengan Dewi
Sujinah, Sunan Muria dikaruniai putera bernama Pangen Santri atau Sunan
Ngadilangu.
Menurut beberapa kisah, selain menikah dengan Dewi Sujinah, Sunan Muria
juga mempersunting Dewi Roroyono yang terkenal dengan kecantikannya.
Dewi Roroyono merupakan puteri dari Sunan Ngerang, seorang ulama
terkenal di Juwana yang memiliki ilmu atau kesaktian yang tinggi, serta
merupakan guru dari Sunan Muria dan Sunan Kudus. Kecantikan Dewi
Roroyono banyak memicu pertumpahan darah yang juga membuktikan
kesaktian dari Sunan Muria.
Wilayah Dakwah Sunan Muria

Sunan Muria
Dalam berdakwah, Sunan Muria banyak mengadopsi metode ayahnya.
Namun, beliau lebih memusatkan pada daerah terpencil dan jauh dari pusat
kota. Tempat tinggal beliau terletak di salah satu puncak gunung Muria yaitu
desa Colo. Dan dari nama gunung tersebutlah maka muncul sebutan Sunan
Muria. Selain berdakwah, disana beliau juga berkumpul dengan rakyat jelata
untuk mengajarkan keterampilan bercocok tanam, melaut, dan berdagang.
Sementara itu, selain mengajarkan Islam di sekitar gunung dan lereng Muria,
Raden Umar Said atau Sunan Muria juga memperluas dakwahnya di wilayah
Tayu, Kudus, dan Juwana. Jadi beliau beserta keluarga dan para muridnya
terkenal dengan fisiknya yang sangat kuat. Bayangkan jika beliau dan para
pengikutnya harus naik turun gunung yang tingginya sekitar 750 meter, untuk
bisa berdakwah di wilayah-wilayah tersebut.
Metode Dakwah Sunan Muria
Sunan Muria
1. Menitik beratkan pada rakyat jelata
Dalam menyebarkan agama Islam, Sunan Muria lebih toleran dengan
memusatkan pada rakyat jelata dan bukan kaum bangsawan. Beliau lebih
senang mengasingkan diri bersama rakyat jelata dibandingkan tinggal di
pusat kerajaan Demak. Metode dakwah beliau sering disebut dengan Topo
Ngeli, yang berarti menghanyutkan diri di dalam masyarakat. Dengan begitu,
maka Sunan Muria lebih mudah dalam mengajak masyarakat untuk masuk
agama Islam.
Sementara itu, agar bisa berbaur dengan masyarakat sekitar pegunungan
tersebut, maka beliau kerap sekali memberikan kursus atau keterampilan
untuk para pelaut, nelayan, pedagang, dan rakyat jelata. Dengan demikian
maka beliau bisa mengumpulkan mereka yang notabennya adalah pekerja
yang sangat sulit untuk meluangkan waktu belajar agama. Jadi dengan
adanya kursus maka Sunan Muria dapat dengan mudah menyampaikan
ajaran Islam kepada mereka.
2. Dakwah bil hikmah dengan akulturasi budaya
Meskipun Sunan Muria diterima dengan baik oleh masyarakat, namun bukan
berarti proses dakwah beliau berjalan dengan lancar. Kebanyakan penduduk
yang berada di kawasan gunung Muria masih menganut kepercayaan turun
temurun yang sangat kental dan sulit untuk dirubah. Oleh karenanya beliau
sama seperti para wali yang lainnya yaitu lebih kepada metode dakwah bil
hikmah, atau dengan cara-cara bijak yang tidak memaksa.
Dalam menyikapi kebiasaan masyarakat yang sering melakukan adat
kenduren, maka Sunan Muria meniru gaya moderat ayahnya, yang tidak
mengharamkan tradisi peringatan telung dino hingga sewu dino. Tradisi yang
dilakukan untuk memperingati hari-hari tertentu kematian anggota keluarga ini
tidak dilarang, kecuali adat untuk membakar kemenyan atau memberikan
sesajen di tempat tertentu, yang kemudian diganti dengan sholawat dan do’a
untuk ahli kubur.
3. Mempertahankan kesenian gamelan dan wayang
Sama seperti para wali yang lain, Sunan Muria juga tetap mempertahankan
alat musik daerah seperti gamelan dan kesenian tradisional wayang untuk
media dakwahnya. Beliau tidak mengubah budaya yang ada, namun
memasukkan ajaran-ajaran Islam di dalamnya. Beberapa lakon pewayangan
dirubah karakternya dengan membawa pesan-pesan Islam, seperti kisah
Dewa Ruci, Petruk dadi Ratu, Jimat Kalimasada, Mustakaweni, Semar
ambarang Jantur, dan lain sebagainya.
4. Menciptakan beberapa tembang Jawa
Selain mempertahankan kesenian daerah seperti gamelan dan wayang,
Sunan Muria juga menciptakan beberapa tembang Jawa macapat yang berisi
tentang ajaran Islam. Beberapa karyanya yang terkenal hingga saat ini yaitu
tembang Sinom dan Kinanthi. Dengan menggunakan tembang atau lagu
maka masyarakat akan dengan mudah menerimanya, dan mampu mengingat
nilai-nilai serta ajaran Islam yang terkandung di dalamnya untuk bisa
diterapkan dalam kehidupan.
Sifat Teladan Yang Dimiliki Sunan Muria
Sunan Muria
Mengasingkan diri di tengah masyarakat jelata membuat kepribadian Sunan
Muria lebih peka dan lebih toleran terhadap berbagai masalah. Bahkan beliau
kerap sekali memberikan solusi untuk berbagai masalah yang rumit. Seperti
saat konflik internal di Kesultanan Demak tahun 1518-1530 M. Beliau mampu
menjadi penengah dan memberikan solusi terbaik yang bisa diterima oleh
berbagai pihak dan membuatnya sangat dihormati di berbagai kalangan.
Selain itu, keteladanan sifat Sunan Muria juga bisa tergambar dengan
caranya yang lebih memilih untuk berbaur dengan rakyat kecil dan
meninggalkan keramaian di dalam kerajaan Demak. Sikap yang demikian
patut dicontoh dalam kehidupan bermasyarakat. Yang mana dalam
memsosialisasikan kebijakan umum maka pemerintah sudah selayaknya bisa
menjangkau seluruh elemen masyarakat dan tidak berhenti pada orang-orang
tertentu saja.
Kisah Dewi Roroyono dan Bukti Kesaktian
Sunan Muria
Sunan Muria
Bukti kesaktian Sunan Muria diceritakah dalam kisah pertarungan beliau
untuk mendapatkan Dewi Roroyono. Alkisah, Dewi Roroyono yang
merupakan puteri dari Sunan Ngerang yang sangat disegani di desa Juwana,
tengah berulang tahun yang ke-20. Saat itu Sunan Ngerang mengadakan
syukuran dengan mengundang para tetangga, saudara, serta para muridnya
seperti Sunan Muria, Sunan Kudus, Kapa dan adiknya Gentiri, serta Adipati
Pathak Warak.
1. Terbius dengan kecantikan Dewi Roroyono
Ketika semua tamu berkumpul, Dewi Roroyono dan adiknya Dewi Roro
Pujiwati keluar untuk menghidangkan makanan dan minuman. Keduanya
merupakan wanita yang sangat cantik, terutama Dewi Roroyono yang sudah
menginjak 20 tahun. Bagi mereka yang tidak bisa menjaga pandangan
matanya seperti Adipati Pathak Warak akhirnya terseret oleh godaan setan. Ia
memandangi paras cantik Dewi Roroyono sampai matanya tidak berkedip
sama sekali.
Adipati kemudian menggoda Dewi Roroyono dengan ucapan yang tidak
pantas dan tindakan yang kurang ajar sehingga membuatnya merasa malu
dan marah. Dewi Roroyono akhirnya menumpahkan nampan berisi minuman
ke pakaian sang Adipati yang membuatnya marah dan menyumpahi Dewi
Roroyono. Bahkan ia juga hampir menampar Dewi Roroyono. Seketika Dewi
pun masuk dalam kamar dan menangis karena dipermalukan oleh Adipati
Pathak Warak.
2. Usaha penculikan Dewi Roroyono
Ketika malam hari, syukuran yang digelar telah selesai dan semua tamu
pulang kecuali yang datang dari jauh, termasuk Pathak Warak. Namun ia
tidak bisa tidur karena masih terngiang dengan wajah ayu Dewi Roroyono. Ia
pun akhirnya mengendap-endap ke kamar Dewi dan membiusnya dengan
ilmu sirep. Pathak Warak kemudian masuk melewati genteng dan membawa
Dewi keluar lewat jendela menuju Mandalika, Kediri.
Sunan Ngerang yang mengetahui putrinya diculik kemudian membuat
sayembara. Ia akan menjadikan saudara bagi anaknya jika yang
menyelamatkan Dewi adalah perempuan, dan menjodohkannya dengan Dewi
jika ia laki-laki. Namun tak seorang pun berani untuk menghadapi kesaktian
Pathak Warak, kecuali Sunan Muria. Di tengah perjalanannya mengejar Dewi,
Sunan Muria bertemu dengan adik seperguruannya Kapa dan juga Gentiri
yang lebih dahulu pulang.
3. Penyelamatan Dewi Roroyono
Sunan Muria menceritakan kejadian tersebut kepada Kapa dan adiknya
Gentiri. Keduanya yang sangat menghormati Sunan Muria kemudian
memutuskan untuk membantu beliau dan menyuruhnya agar kembali ke
padepokan untuk bertemu para murid yang lebih membutuhkan. Mereka juga
berjanji akan memberikan Dewi pada Sunan Muria jika berhasil. Sunan Muria
yang tidak ingin berdebat dan menolak permintaan adik seperguruannya
akhirnya mengabulkan permintaan tersebut.
Kedua bersaudara tersebut akhirnya berhasil merebut Dewi Roroyono dengan
bantuan datuk Wiku Lodhang dari pulau Sprapat yang dikenal sakti dan tidak
tertandingi. Mereka pun akhirnya mengembalikan Dewi ke Sunan Ngerang. Di
hari berikutnya, Sunan Muria hendak pergi memastikan usaha Kapa dan
Gentiri. Namun di tengah perjalanan beliau bertemu dengan Pathak Warak
yang sedang menunggangi kuda. Sunan muria pun akhirnya
menghadangnya.
4. Tumbangnya Pathak Warak oleh Sunan Muria
Beliau menanyakan keberadaan Dewi, namun Pathak Warak mengucapkan
jika Dewi telah dibawa oleh Kapa dan Gentiri, sedangkan ia berusaha untuk
merebutnya kembali. Sunan Muria kemudian memasang kuda-kuda sembari
mengucapkan jika Pathak Warak ingin merebut Dewi maka ia harus
melangkahi mayatnya. Pathak Warak kemudian turun dan menyerang Sunan
Muria dengan jurus cakar harimau. Namun ia kalah dengan hanya beberapa
gebrakan saja.
5. Hadiah Sayembara
Seluruh kesaktian Pathak Warak hilang seketika, bahkan ia juga tidak mampu
untuk berdiri dan juga berjalan. Sementara itu, Sunan Muria melajutkan
perjalanannya ke Juwana. Beliau disambut gembira oleh Sunan Ngerang
yang sudah diceritakan perjalanannya oleh Kapa dan Gentiri. Beliau
kemudian dijodohkan dengan Dewi Roroyono. Sementara Kapa dan Gentiri
mendapatkan hadiah tanah di daerah Buntar, yang menjadikan keduanya
kaya dan berkecukupan.
6. Rasa Sesal Kapa dan Gentiri
Sementara Sunan Muria dan istrinya berbahagia di padepokan Muria, Kapa
dan Gentiri yang membawa Dewi Roroyono kembali saat itu tampaknya telah
terpesona dengan kecantikannya. Mereka tidak bisa tidur dengan nyenyak
dan menyesali tawaran baik mereka kepada Sunan Muria kala itu. Mereka
selalu menghujam betapa enaknya Sunan Muria bisa mendapatkan Dewi
tanpa perjuangan, yang akhirnya menyulut dendam di hati mereka berdua.
7. Kematian Gentiri
Mereka yang dirasuki iblis akhirnya bertekad untuk merebut Dewi Roroyono
dari kakak seperguruannya, dan sepakat menjadikan Dewi sebagai istri
mereka secara bergiliran. Namun niat jahat mereka berakhir buruk, Gentiri
yang beraksi terlebih dahulu ke Muria, akhirnya kepergok oleh para murid
Sunan Muria dan menyebabkan pertempuran hebat diantara mereka. Hingga
akhirnya Gentiri menghadapi Sunan Muria dan menemui ajalnya di gunung
tersebut.
8. Penculikan Dewi Roroyono oleh Kapa
Berita kematian Gentiri tersebar dengan cepat ke berbagai daerah, namun tak
menyurutkan niat Kapa. Ia mendatangi gunung Muria secara diam-diam pada
malam hari dan tak ada yang mengetahuinya. Kebetulan saat itu, Sunan
Muria dan beberapa muridnya juga sedang berada di Demak Bintoro. Kapa
membius para murid Sunan Muria yang menjaga Dewi dan berhasil
membawanya ke pulau Sprapat dengan amat mudah.
9. Kejadian di pulau Sprapat
Sepulangnya dari Demak Bintoro, Sunan Muria juga bermaksud untuk
mendatangi datuk Wiku Lodhang yang ada di pulau Sprapat. Meskipun sang
Wiku Lodhang memeluk agama lain, namun beliau tetap bersahabat
dengannya. Terlebih lagi sang Wiku Lodhang juga telah membantu merebut
Dewi Roroyono dari Pathak Warak sebelumnya. Sementara itu, kedatangan
Kapa dengan membawa Dewi Roroyono tidak disambut baik oleh sang Wiku
Lodhang.
Datuk Wiku Lodhang menghardik dan menistakan perbuatan muridnya
tersebut. Ia juga menyuruh Kapa untuk mengembalikan istri dari kakak
seperguruannya, namun Kapa menolaknya. Mereka berdua pun akhirnya
berdebat cukup lama sehingga tidak menyadari kedatangan Sunan Muria.
Sunan Muria terkejut melihat istrinya terikat pada tangan dan kaki, sementara
melihat Kapa dan gurunya tengah bertengkar.
 Kematian Kapa
Disaat Wiku Lodhang berjalan untuk membebaskan Dewi dan selesai
melepaskan ikatannya, kemudian terdengar jeritan Kapa di saat yang
bersamaan. Ternyata Kapa yang saat itu mengetahui kedatangan Sunan
Muria kemudian mengeluarkan jurus aji pamungkasnya yang kemudian
berbalik menyerang dan membunuh dirinya sendiri. Itulah salah satu
kesaktian Sunan Muria yang mampu mengembalikan serangan lawan.
Sunan Muria yang agak menyesal kemudian meminta maaf pada Wiku
Lodhang karena telah membunuh muridnya. Namun sang Wiku Lodhang
membenarkan pembelaan Sunan Muria dan menyalahkan perbuatan
muridnya, karena tak sepantasnya orang berilmu melakukan kejahatan yang
demikian. Akhirnya dengan langkah gontai, sang Wiku Lodhang kemudian
mengangkat jenazah Kapa dan menguburkannya dengan layak. Sementara,
Sunan Muria dan Dewi Roroyono kembali ke padepokan.
Letak Makam Sunan Muria
Sunan Muria
Makam Sunan Muria terletak di puncak gunung Muria, sebelah utara kota
Kudus. Untuk mencapai makam maka Anda perlu menaiki sekitar 700 tangga
dari pintu gerbang. Letak makam Sunan Muria berada persis di belakang
masjid Sunan Muria. Yang membedakannya dari makam wali lainnya, yaitu
letak makam beliau yang menyendiri dan berada jauh dari para
punggawanya, sama seperti sifatnya yang suka menyendiri.
Benda Peninggalan Sunan Muria yang
Dianggap Keramat
Sunan Muria
1. Pelana kuda
Beberapa benda peninggalan Sunan Muria seperti pelana kuda sering
diigunakan oleh masyarakat sekitar untuk mendatangkan hujan. Ritual
tersebut dinamakan dengan guyang cekathak yang berati memandikan
pelana kuda, dan biasanya dilakukan pada hari Jumat Wage di saat musim
kemarau.  Untuk mengawali ritual biasanya mereka membawa pelana kuda
dari Masjid Muria ke mata air Sendang Rejoso, dan mencucinya di mata air
tersebut.
Mereka mencuci pelana kuda di Sendang Rejoso dilanjutkan dengan
memercikkan air ke warga. Setelah selesai kemudian mereka membacakan
doa dan menunaikan sholat istisqa’ untuk meminta hujan. Lalu ritual tersebut
ditutup dengan acara makan bersama dengan lauk-pauk berupa opor ayam,
gulai kambing, dan sayuran-sayuran yang dipadu dengan parutan kelapa.
Ada juga makanan penutup yaitu dawet yang setiap butirannya 
melambangkan rintik hujan.
2. Air gentong
Selain itu, ada juga gentong peninggalan Sunan Muria yang selalu menjadi
tujuan para peziarah. Menurut beberapa orang dan warga sekitar Gunung
Muria, air yang selalu mengalir dalam gentong tersebut mampu mencegah
dan menyembuhkan berbagai penyakit. Selain itu, air yang bersumber dari
pegunungan muria tersebut juga diyakini mampu untuk membersihkan jiwa
dan bermanfaat untuk kecerdasan.
Boleh copy paste, tapi jangan lupa cantumkan sumber. Terimakasih
Sunan Muria

Anda mungkin juga menyukai