Anda di halaman 1dari 26

WALI PITU (WALI TUJUH 7) SULAWESI

Oleh : Ahmad Risal SM, S,Pd.I


(ahmadrisalsmbizot@yahoo.co.id)

Wali Pitue Wali Pitue Masyarakat Sulawesi Selatan Siapakah dia ?


1. Syeck Yusuf (Toanta Salamaka)
2. Petta Lasinrang (Petta Lolo),
3. Arung Palakka (Petta to malampe gemmena),
4. KH. Harun,
5. Pettabarang,
6. Imam Lapeo,
7. Dt. Sangkala.

1. Syeck Yusuf (Toanta Salamaka)


Syeikh Yusuf Makasar pembela dan penjunjung kebenaran - Syahdan, di Negeri Tallo, pada
13 Juli 1626 M atau bertepatan 8 Syawal 1036 H, muncul dari langit cahaya terang benderang
menyinari negeri itu hingga Negeri Gowa. Maka, gemparlah masyarakat Gowa melihat
cahaya itu. Mereka pun berangkat ke Tallo menceritakan serta mencari tahu fenomena luar
biasa yang terlihat di Gowa. Namun orang Tallo tak tahu apa-apa. Yang mereka tahu, di
negerinya telah lahir seorang anak bernama Yusuf. Kisah yang tertoreh dalam lontara
Riwayakna Tuanta Salamaka ri Gowa (RTSG) itu menggambarkan kelahiran seorang ulama
besar yang juga termasyhur sebagai sufi dan pejuang bernama Asy-Syaikh al-haj Yusuf Abu
al-Mahasin Hidayatullah Taj Al-Khalwati al-Makasari atau Syekh Yusuf. Syekh Yusuf,
menurut Abu Hamid dalam bukunya Syekh Yusuf: Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang lahir
dalam masyarakat yang kompleks dan penuh dinamika. Saat itu, peperangan tengah
berkecamuk di antara kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan dan terjadi persaingan melawan
kompeni Belanda yang tengah sibuk berebut jalur perdagangan. Suasana keagamaan juga
berada dalam masa transisi, sehingga kepercayaan lama dan Islam masih bercampur-baur.

Asal-usul ulama besar itu memang tak dapat dipastikan kebenarannya, karena bersumber dari
cerita dan legenda. Menurut lontarak RTSG versi Gowa, ibu Syekh Yusuf bernama Aminah
puteri Gallarang Moncongloe dan ayahnya seorang tua yang tak diketahui asal
kedatangannya. Orang tua itu dikenal sebagai orang suci yang konon mempunyai banyak
keramat. Buya Hamka dalam bukunya Sejarah Umat Islam Jilid IV meyebutkan ayah Syekh
Yusuf bernama Abdullah.

Setelah 40 hari kelahiran Yusuf, Aminah dipersunting Raja Gowa setelah diceraikan
suaminya. Yusuf dan sang ibu pun berpindah ke istana. Nabilah Lubis dalam bukunya Syekh
Yusuf Al-Taj Al-Makari:Menyingkap Intisari Segala Rahasia menyebutkan, `'Yusuf bukanlah
seorang bangsawan. Dia diangkat oleh Sultan Alaudin dan dibesarkan di istana Sultan, namun
tak pernah mendapat gelar kebangsawanan.''

Yusuf kecil dibesarkan dalam kehidupan Islami. Selepas mengkhatamkan Alquran dari
gurunya Daeng ri Tasammang, ia menimba ilmu sharaf, nahwu, mantik dan beragam kitab
dari Syed Ba' Alwy bin Abdullah al-Allamah Thahir di Bontoala. Dalam waktu singkat,
Yusuf belia sudah menguasai dan tamat mempelajari kitab-kitab fikih dan tauhid.

Sejak kecil, ilmu tasawuf begitu membetot perhatiannya. Sebagain besar perhatiannya
tercurah pada ilmu yang kelak mengantarnya sebagai seorang guru besar. Dianggap telah
cakap, pada usia 15 tahun Yusuf disarankan untuk menimba ilmu di negeri lain. Yusuf muda
pun berguru pada Syekh Jalaludin al-Aidit pun di Cikoang, selatan Sulawesi Selatan.

Rasa ingin tahunya yang begitu besar tentang ilmu-ilmu keislaman mengantrakannya ke luar
negeri. Tepat pada 22 September 1644, saat Kerajaan Gowa dipimpin Sultan Malikussaid, di
usia 18 tahun, ia meninggalkan tanah kelahirannya menuju Makkah menumpang kapal
Melayu dari Somba Opu.

Delapan hari mengarungi lautan, Yusuf kemudian singgah di Banten. Di tanah para jawara
itu, Yusuf muda yang supel berkenalan dengan ulama, ahli agama dan pejabat. Yusuf
bersahabat dengan Pengeran Surya, putera mahkota Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul
Kadir. Kelak, Pangeran Surya menjadi, Sultan Ageng Tirtayasa.

Ia begitu tertarik dengan Syekh Nuruddin ar-Raniri, seorang ulama kondang yang bermukim
di Aceh. Syekh Yusuf menemui Syekh Nuruddin dan berguru sampai mendapat ijazah tarekat
Qadiriyah. `'Tarket Qadiriyah saya terima dari Syekh kami yang alim, arif sempurnadan
menyatukan antara ilmu Syariat dengan ilmu Hakikat, penghulu kami Syekh Nuruddin
Hasanji bin Muhammad Hamid Al-Quraisyi ar-Raniri,'' ungkapnya dalam risalah Safinat an-
Naja.

Lima tahun sudah Yusuf berkelana di Banten dan Aceh. Timur Tengah, kini menjadi tujuan
berikutnya. Bertolak dari Pelabuhan Banten, Syekh Yusuf akhirnya sampai ke Timur Tengah.
Yaman adalah negeri pertama yang dikunjunginya. Ia berguru pada Sayed Syekh Abi
Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-
Naqsyabandi sampai mendapat ijazah tarket Naqsyabandi.

Di negeri itu pula, Syekh Yusuf mendapat ijazah tarekat al-Baalawiyah dari Syekh Maulana
Sayed Ali. Setelah menunaikan ibadah haji di Makkah, ia kemudian menemui Syekh Ibrahim
Hasan bin Syihabuddin al-Kurdi al-Kaurani di Madinah hingga mendapatkan ijazah tarekat
Syattariyah. Empat ijazah yang telah digengamnya masih belum dirasa cukup. ia pun
mengunjungi Syekh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Quraisyi.
Ijazah tarekat Khawatiyah pun kembali digenggamnya dan mendapat gelar Tajul Khalwati
Hadiyatullah.

Di usia 38 tahun, Syekh Yusuf akhirnya kembali ke Gowa dan telah menjadi seorang guru
yang besar. Menurut sumber lontara, sesampainya di kampung halaman Syekh Yusuf begitu
kecewa, Gowa telah berubah. Nabilah Lubis dalam bukunya mengutip sumber sejarah yang
bersifat separuh dongeng menuturkan pada masa itu syariat Islam seolah-olah telah
dikesampingkan, maksiat dan kemungkaran merajalela.

Setelah tak berhasil meyakinkan Sultan untuk melaksanakan kembali Syariat Islam, Syekh
Yusuf meninggalkan Gowa menuju Banten. Pada 1664, Banten pun telah berubah.
Sahabatnya, telah menjadi Sultan bergelar Ageng Tirtayasa. Ia kini didaulat sebagai ulama
tasawuf dan syekh tarekat. Dalam sekejap, namanya sudah termasyhur, karena keluhuran
ilmunya.

Sebagai sufi, Syekh Yusuf juga dikenal memiliki kepribadian yang menarik. Ia dipercaya
mendidik anak-anak Sultan di bidang agama Islam dan membuka pengajian bagi penduduk.
Sejumlah karya mengenai ajaran tasawuf ditulisnya di Banten.

Banten pun berubah ketika Pangeran Gusti - putera mahkota Banten yang kemudian
mendaulat menjadi Sultan Haji -- tiba dari Makkah. Kompeni Belanda mulai menghasut
Pangeran Gusti untuk memberontak pada sang ayah. Maret 1682, pertempuran antara
kompeni Belanda yang mendukung Sultan Haji dan Sultan Ageng pun meletus. Syekh Yusuf
dan Sultan Ageng serta Pangeran Purabaya bahu membahu melawan kompeni.

Setahun kemudian, Sultan Ageng ditangkap kompeni setelah ditipu anaknya. Perjuangan
belum habis. Syekh Yusuf memimpin 5.000 pasukan termasuk 1.000 orang dari Makassar
bersama Pangeran Purabaya mengobarkan perang gerilya. Pasukan yang dipimpinnya
bergerilya hingga ke Karang dekat Tasikmalaya. Pada 1683, Syekh Yusuf ditangkap Belanda
di Sukapura.

Awalnya, ia ditahan di Cirebon dan Batavia (Jakarta). Pengaruhnya yang begitu besar
dianggap membahayakan kompeni Belanda. Ia dan keluarga kemudian diasingkan ke
Srilanka, bulan September 1684. Di tempat baru itu, Syekh Yusuf memulai perjuangan baru,
menyebarkan agama Islam.

Di Srilanka, ia bertemu dengan para ulama dari berbagai negara Islam. Salah satunya adalah
Syekh Ibrahim Ibn Mi'an, ulama besar dari India. Ia pula yang meminta Syekh Yusuf untuk
menulis sebuah buku tentang tasawuf, berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf.

Syekh Yusuf pun leluasa bertemu dengan sanak keluarga dan muridnya di negeri Srilanka.
Kabar dari dan untuk keluarganya, ia terima dan sampaikan melalui jamaah haji singgah di
Srilanka. Lewat jalur itu, ajarannya sampai kepada muridnya. Belanda kembali kebakaran
jenggot dan menganggap Syekh Yusuf masih mejadi ancaman. Pengaruhnya masih begitu
besar, meski berada jauh dari tanah kelahiran.

Guna menjauhkan pengaruh Syekh Yusuf di Tanah Airnya, Belanda membuangnya ke Afrika
Selatan. Bulan Juli 1693 adalah kali pertama bagi Syekh Yusuf dan 49 pengikutnya
menginjakkan kaki di Afrika selatan. Mereka sampai di Tanjung Harapan dengan kapal De
Voetboog dan ditempatkan di daerah Zandvliet yang kemudian dikenal dengan Madagaskar.

Ulama Besar dengan Enam Makam

Berada di tanah buangan tak meyurutkan semangat Syekh Yusuf untuk berdakwah. Terlebih,
waktu itu Islam di Afrika Selatan (Afsel) tengah berkembang. Adalah Imam Abdullah ibn
Kadi Abdus Salaam atau lebih dikenal dengan julukan Tuan Guru yang lahir di Tidore
pelopor penyebaran Islam di negara itu.

Dalam waktu singkat, Syekh Yusuf pun telah mengumpulkan banyak pengikut. Awalnya, ia
memantapkan pengajaran agama bagi pengikutnya. Kemudian, syiar Islam diserukannya
kepada orang-orang buangan yang diasingkan ke Kaap. Mereka kemudian bersatu
membentuk komunitas Muslim. Hingga kini, di Cape Town terdapat 600 ribu warga yang
memeluk agama Islam.

Meski Syekh Yusuf telah wafat pada 23 Mei 1699 di usianya yang ke-73 tahun, pengaruh
Syekh Yusuf di Afsel hingga kini masih sangat besar. Mantan Presiden Afsel, Nelson
Mandela menyebut Syekh Yusuf sebagai 'salah seorang putera Afrika terbaik'. Bahkan,
Presiden Afsel, Thabo Mbeki berencana menganugerahkan gelar pahlawan nasional bagi
Syekh Yusuf. Pemerintah Indonesia telah menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional pada
1995.

Guna mengenang Sang Guru, bangunan bekas tempat tinggalnya di Afsel dijadikan bangunan
peringatan yang diberi nama 'Karamat Syaikh Yusuf'. Meski Syekh Yusuf tak dimakamkan di
Afsel, hingga kini bangunan peringatan itu masih tetap dikunjungi warga Afsel yang
mengagumi dan menghormati Tuan Guru.

Jenazah Syekh Yusuf dimakamkan dibawa ke Gowa oleh Belanda setelah diminta Sultan
Abdul Jalil. April 1705, kerandanya tiba di Gowa untuk kemudian dimakamkan di di Lakiung
keesokan harinya. `'Makam Syekh Yusuf yang sebenarnya berada di Lakiung, Sulawesi
Selatan,'' ujar sejarawan Prof Anhar Gonggong, kepada Republika, saat berziarah ke makam
Syekh Yusuf beberapa waktu lalu.
Pengaruhnya yang begitu besar, membuat masyarakat di wilayah yang pernah disinggahi
Syekh Yusuf meyakini ulama besar itu dimakamkan di tempat mereka. Selain di Makassar,
pemakaman Syekh Yusuf juga dapat diyakini berada di Banten; Pelambang, Sumatera
Selatan; Srilanka dan di Talango, Madura. Makam-makam itu, hingga kini masih tetap
didatangi para peziarah. Meski telah berpulang empat abad lalu, kemasyhuran dan keluhuran
akhlak serta ilmu Syekh Yusuf hingga masih tetap dikenang.

Tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf

Berbagai tarekat telah dikuasai Syekh Yusuf selama berguru di Timur Tengah. Menurut
Martin Van Bruinessen,sepulang ke Nusantara, Syekh Yusuf justru mengajarkan tarekat
Khalwatiyah, bukan tarekat Qadariyah. Tarekat itu dipelajarinya dari Syekh Abu al-Barakat
Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Quraisyi di Damaskus.

Dari sang guru, Syekh Yusuf mendapat gelar Tajul Khalwati Hadiyatullah. Tarekat
Khalwatiyah justru diambil dari kata 'khalwat', yang berarti menyendiri untuk merenung.
Konon, nama itu dikarenakan seringnya Syekh Muhammad Al-Khalwati, pendiri Tarekat
Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempat-tempat sepi.

Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang dari Tarekat Az-Zahidiyah, cabang dari Al-
Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh Syekh Syihabuddin Abi
Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H). Tarekat Khalwatiyah berkembang
secara luas di Mesir. Ia dibawa oleh Musthafa al-Bakri (lengkapnya Musthafa bin
Kamaluddin bin Ali al-Bakri as-Shiddiqi), seorang penyair sufi asal Damaskus, Syiria.

Di Indonesia, Tarekat Khalwatiyah disebarkan Syekh Yusuf. Penyebaran tarekat Khalwatiyah


Yusuf di Sulawesi Selatan mulai dikenal sejak adanya peran yang dimainkan Syekh Abdul
Fathi Abdul Bashir al-Dhahir al-Khalwati yang lazim disebut Tuang Rappang I Wodi. Tuang
Rappang berguru tarekat itu dari Syekh Yusuf, sejak di Makkah dan banten.

Syekh Yusuf menganugerahkan ijazah dan mengangkatnya sebagai khalifah untuk


menyebarkan tarekat Khalwatiyah di Sulawesi Selatan. Awalnya, penyebaran tarekat
Khalwatiyah Yusuf berlangsung di kalangan bangsawan, dan secara berangsur-angsur
diterima pula rakyat kebanyakan.

Kelompok tarekat itu kemudian tersebar di berbagai kampung dan secara bersama mereka
melakukan ibadah zikir khaafi (suara kecil) di rumah dan tempat ibadah. Dalam Tarekat
Khalwatiyah dikenal adanya sebuah amalan yang disebut Al-Asma' As-Sab'ah (tujuh nama),
yakni tujuh macam dzikir atau tujuh tingkatan jiwa. Hingga kini, tarekat Khalwatiyah Yusuf
itu masih tetap eksis di Sulawesi Selatan.
2. Petta Lasinrang (Petta Lolo)

Sekitar tahun 1856, keluarga raja dan pembesar kerajaan Sawitto, diliputi suasana bahagia
atas lahirnya putra La Tamma yaitu La Sinrang. Kemudian dikenal dengan nama Petta Lolo
La Sinrang. Putra La Tamma Addatuang Sawitto ini, dilahirkan di Dolangeng sebuah kota
kecil yang terletak kira-kira 17 km sebelah selatan kota Pinrang. Karena ibunya bernama I
Raima (Keturunan rakyat biasa) berasal dari Dolangeng. Sejak lahirnya La Sinrang memang
memiliki keistimewaan dimana dadanya ditumbuhi buluh dengan arah berlawanan yaitu arah
keatas ke atas (bulu sussang).Dalam perjalanan hidupnya, La Sinrang banyak mendapat
bimbingan dan pendidikan dari pamannya (saudara I Raima), yaitu orang yang mempunyai
pengaruh dan disegani serta dikenal sebagai ahli piker kerajaan. Sehingga, La Sinrang
menjadi seorang pemuda yang cukup berwibawa dan jujur. Hal ini merupakan suatu cirri
bahwa putra Addatuang sawitto ini, adalah seorang calon pemimpin yang baik.Diwaktu kecil
La Sinrang gemar permaianan rakyat seperti dalam bahasa bugis mallogo, maggasing,
massaung dan lain-lain. Namun, kegemaran utamanya yang berlanjut sampai usia menanjak
dewasa yaitu “ Massaung “. Menyabung ayam. Dari kegemaran ini, La Sinrang selalu
menggunakan “ Manu “ bakka “ (ayam yang bulunya berwarna putih berbintik-bintik merah
padabagian dada melingkar kebelakang), ayam jenis ini jarang dimiliki orang.

Kegemaran menyabung ayam dengan “ manu bakka “ tersiar keluar daerah, sehingga La
Sinrang dikenal dengan julukan “ Bakka Lolona Sawitto “ juga dapat diartikan “ Pemuda
berani dari Sawitto . Julukan ini semakin popular disaat La Sinrang mengadakan perlawanan
terhadap belanda.

Juga kegemaran La Sinrang di usia remaja/dewasa adalah permainan “Pajjoge” yaitu tari-
tarian dari asal Bone, sehingga ketika Pajjoge dari Pammana (Wajo) mengadakan
pertunjukan di Sawitto maka La Sinrang semakin tertarik dengan Permian tersebut.
La sinrang ke Pammana, dimana setelah tinggal di Pammana dia memperlihatkan gerak-gerik
yang menarik perhatian orang banyak, utamanya Datu Pammana sendiri. Datu Pammana La
Gabambong ( La Tanrisampe) juga merangkap Pilla Wajo tertarik untuk menanyakan asal-
usul keturunannya.

La Sinrang pun dididik dan diterima Datu Pammana menjadi pemberani, terutama dalam hal
menghadapi peperangan. Setelah itu, La Sinrang kembali ke daerah asalnya yaitu Sawitto,
saat itu La Sinrang mempunyai dua orang putra yakni La Koro dan La Mappanganro darihasil
perkawinan dengan Indo Jamarro dan Indo Intang.

Tiba di Sawitto diajaknya kerajaan Suppa, Alitta, binanga Karaeng, Ruba’E, Madallo,
Cempa, JampuE, dll kerajaan kecil disekitar Sawitto untuk berperang, dan apabila kerajaan
tersebut tidak bersedia, berarti bahwa kerajaan itu berada dibawah kekuasaan Sawitto.
Dengan demikian, dalam waktu singkat terkenallah La Sinrang keseluruh pelosok, baik
keberanian, kewibaan, maupun kepemimpinannya

La Sinrang selama berada di Sawitto semakin nakal, akhirnya diasingkan ke Bone, baru
setahun di Bone, terpaksa menyingkir ke Wajo karena membunuh salah seorang pegawai
istana di Bone yaitu Pakkalawing Epu’na Arungpone.

Selama di Wajo ia mendapat didikan dari La Jalanti Putra Arung Matawo Wajo yaitu La
Koro Arung Padali yang bergelar Batara Wajo. La Janlanti diangkat menjadi komandan
Pasukan Wajo di Tempe dengan pangkat Jenderal.

Setelah serangan Belanda terhadap kerajaan sawitto semakin hebat, maka La Sinrang
dipanggil pulang oleh ayahnya, dan diangkat menjadi panglima perang. Dalam
kepemimpinannya sebagai panglima perang kerjaan Sawitto, senjata yang dipergunakan
adalah tombak dan keris. Tombak bentuknya besar menyerupai dayung diberi nama “ La
Salaga ‘ sedang kerisnya diberi nama “ JalloE”.
3. RAJA BONE KE-15 (ARUNG PALAKKA)

La Tenri Tatta Arung Palakka (1667–1696)

Setelah La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka meninggal dunia, maka digantikanlah oleh


kemanakannya yang bernama La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na Petta To
RisompaE. La Tenri Tatta To Unru adalah anak dari We Tenri Sui Datu Mario Riwawo
dengan suaminya yang bernama La Pottobune Arung Tanatengnga Datu Lompulle. Ibu dari
We Tenri Sui adalah We Baji atau We Dangke LebaE ri Mario Riwawo dengan suaminya La
Tenri Ruwa Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng. La Tenri Ruwalah yang mula-mula
menerima agama Islam dari KaraengE ri Gowa yang juga dianggap sebagai orang pertama
menerima agama Islam di Celebes Selatan. Karena pada waktu itu orang Bone menolak
agama Islam, maka Arumpone La Tenri Ruwa pergi ke Bantaeng dan disanalah ia meninggal
dunia sehingga dinamakan MatinroE ri Bantaeng. Ketika La Tenri Tatta To Unru baru
berusia 11 tahun, Bone dibawah kepemimpinan La Tenri Ruwa, Bone diserang dan
dikalahkan oleh Gowa. Orang tuanya La Pottobune ditangkap dan ditawan bersama
Arumpone La Tenri Ruwa serta beberapa anak bangsawan Bone lainnya oleh KaraengE ri
Gowa dalam peristiwa yang disebut Beta Pasempe ( Kekalahan di Pasempe ). Pasempe
adalah sebuah kampung kecil yang dipilih oleh Arumpone La Tenri Ruwa untuk melakukan
perlawanan dan disitulah dia dikalahkan. Semua tawanan Gowa termasuk orang tua La Tenri
Tatta Arung Palakka dibawa ke Gowa.

Sesampainya di Gowa, tawanan-tawanan itu dibagi-bagi kepada Bate SalapangE ri Gowa. La


Pottobune, isterinya We Tenri Sui dan anaknya La Tenri Tatta To Unru diambil oleh
KaraengE ri Gowa. Ditempatkan di SalassaE (Istana) Gowa dan ditunjukkan sebidang tanah
untuk digarap dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Disitu pulalah membuat pondok untuk
ditempatinya.
Karena La Tenri Tatta To Unru dianggap masih anak-anak, maka To Unru selalu diikutkan
oleh KaraengE ri Gowa apabila bepergian. La Tenri Tatta biasanya ditugasi untuk membawa
tombak atau sebagai –pakkalawing epu (pembawa perlengkapan) yang diperlukan oleh
KaraengE ri Gowa dalam perjalanan itu. Sejak itu La Tenri Tatta dikenal banyak kalangan,
termasuk para anggota Bate SalapangE ri Gowa. La Tenri Tatta To Unru memiliki sifat-sifat
yang baik, jujur dan cerdas. Oleh karena itu La Tenri Tatta To Unru diambil oleh Karaeng
Patingalloang untuk diajari tentang adat-istiadat Mangkasar (Gowa).

Setelah Karaeng Patingalloang Tu Mabbicara Butta ri Gowa meninggal dunia, maka yang
menggantikannya adalah saudaranya yang bernama Karaeng Karunrung. Karaeng Karunrung
inilah yang terkenal sangat kejam terhadap orang-orang Bone yang menjadi tawanan Gowa.
Ini pulalah sebagai Tu Mabbicara Butta ri Gowa yang minta kepada Tobala Jennang Bone
untuk dikirimi sebanyak 10.000 orang Bone yang akan dipekerjakan sebagai penggali parit
dan pembuat benteng.

Jumlah tersebut tidak bisa dikurangi, diganti atau dibayar. Walaupun seseorang yang telah
ditunjuk itu ada yang bisa menggantikannya atau mampu untuk membayarnya, namun oleh
Karaeng Karunrung tidak membenarkannya.

Ketika orang Bone yang jumlahnya 10.000 itu tiba, langsung dipekerjakan sebagai penggali
parit dan pembuat benteng. Tiap-tiap 10 orang diawasi oleh seorang mandor dari orang Gowa
sendiri. Mereka dipekerjakan mulai pagi sampai malam dan hanya diberi kesempatan istirahat
pada waktu makan. Makanannya tidak ditanggung oleh Karaeng Karunrung, tetapi harus
dibawa sendiri dari Bone.

Adapun La Tenri Tatta To Unru Daeng Serang, sudah kawin dengan seorang anak bangsawan
Gowa yang bernama I Mangkawani Daeng Talele. Pada saat orang Bone yang jumlahnya
10.000 itu bekerja, La Tenri Tatta To Unru menggabungkan diri dan bekerja juga sebagai
penggali parit dan pembuat benteng. Ia juga merasakan bagaimana penderitaan orang Bone
disiksa oleh mandor-mandor orang Gowa yang mengawasi pekerjaan itu.

Suatu ketika, KaraengE ri Gowa akan memperingati Ulang Tahunnya, maka diadakanlah
perburuan rusa di Tallo. Seluruh rakyat diharuskan mengikuti perburuan tersebut. La Tenri
Tatta Daeng Serang yang biasa membawakan tombak KaraengE, kebetulan tidak ikut. Oleh
karena itu orang tuanya La Pottobune’lah yang ditunjuk oleh KaraengE ri Gowa untuk
membawakan tombaknya.

Sesampainya KaraengE ri Gowa pada lokasi perburuan rusa di Tallo, terpencarlah orang
banyak baik sebagai pemburu atau sebagai penunggang kuda untuk menelusuri hutan-hutan
mencari rusa. Kebetulan ada dua orang pekerja parit yang melarikan diri dan bersembunyi
dihutan, karena disangkanya dirinya yang dikepung. Kedua orang tersebut ditangkap oleh
pemburu dan dihadapkan kepada Karaeng Karunrung. Keduanya disiksa, dipukuli sampai
meninggal dunia.

La Pottobune’ orang tua La Tenri Tatta sangat prihatin menyaksikan penyiksaan itu, sehingga
tidak dapat menahan perasaannya. Datu Lompulle tidak mampu menahan emosinya dan pada
saat itu juga ia mengamuk dengan menggunakan tombak Karaeng Karunrung yang
dibawanya. Setelah membunuh banyak orang Gowa, barulah ia ditangkap dan disiksa seperti
layaknya pekerja parit yang melarikan diri tadi. Karena La Pottobune’ memiliki ilmu kebal
terhadap senjata tajam, maka nantilah dia meninggal dunia setelah dimasukkan dalam lesung
dan ditumbuk dengan alu.

Sejak kejadian itu, La Tenri Tatta To Unru Daeng Serang tidak bisa lagi tidur. Setiap saat ia
selalu berdoa kepada Dewata SeuwaE agar diberi jalan yang lapang untuk kembali
menegakkan kebesaran Tanah Bone.
Suatu saat pagi-pagi sekali La Tenri Tatta To Unru tiba di tempat penggalian. Lalu
dipanggilnya keluarga dekatnya, seperti Arung Belo, Arung Pattojo Arung Ampana dan lain-
lain. Semua keluarga dekatnya itu memang tidak pernah berpisah dengannya. Dalam
kesempatan itu, dibuatnya suatu kesepakatan untuk membebaskan seluruh orang Bone dari
penyiksaan orang Gowa di tempat penggalian tersebut. Kesepakatan ini sangat
dirahasiakannya, tidak seorangpun yang bisa mengetahuinya termasuk kepada isteri mereka.
Pada waktu diadakan perburuan rusa terakhir di Tallo, rencana pembebasan yang akan
dilakukan oleh La Tenri Tatta Daeng Serang, Arung Belo, Arung Pattojo dan Arung Ampana
juga sudah cukup matang. Semua keluarganya sudah dipersiapkan dan barang-barang bawaan
sudah dikemas dengan rapi. Saat itulah La Tenri Tatta Arung Palakka memerintahkan kepada
seluruh pekerja parit dan pembuat benteng untuk melarikan diri meninggalkan tempat itu.
Sebelumnya seluruh mandor dari orang Gowa dibunuh dan dirampas senjata dan
perlengkapan lainnya.

Sesampainya di Bone La Tenri Tatta To Unru langsung menemui Jennang Tobala dan Datu
Soppeng yang bernama La Tenri Bali yang tidak lain adalah pamannya sendiri. Datu Soppeng
La Tenri Bali dengan Jennang Tobala memang telah membuat suatu kesepakatan untuk
membangkitkan kembali semangat orang Bone melawan Gowa. Kesepakatan antara Jennang
Tobala dengan Datu Soppeng inilah yang kemudian dikenal dengan nama Pincara LopiE ri
Attapang.

Kepada pamannya Datu Soppeng, La Tenri Tatta To Unru minta bekal untuk dipakai dalam
perjalanan, karena dia akan pergi jauh mencari teman yang bisa diajak kerja sama melawan
Gowa. Sebab menurut perkiraannya perjalanan ini akan memakan waktu yang lama dan akan
menelan banyak pengorbanan. Tidak berapa lama, datanglah orang Gowa dengan jumlah
yang sangat besar lengkap dengan persenjataan perangnya mencari jejaknya. Terjadilah
pertempuran yang sangat dahsyat antara La Tenri Tatta To Unru bersama pasukannya
melawan orang Gowa di Lamuru. Tetapi karena kekuatan Gowa ternyata lebih kuat, akhirnya
La Tenri Tatta To Unu bersama pasukannya mundur kearah utara. Sementara orang Gowa
yang merasa kehilangan jejak, melanjutkan perjalanan ke Bone. Di Bone orang Gowa
betempur lagi melawan Tobala dengan pasukannya yang berakhir dengan tewasnya Jennang
Tobala Petta PakkanynyarangE.
Setelah Tobala Petta PakkanynyarangE tewas dalam pertempuran, orang Gowa terus ke
Soppeng untuk menangkap Datu Soppeng La Tenri Bali dan selanjutnya dibawa ke Gowa (
Mangkasar ). Sedangkan pencaharian terhadap La Tenri Tatta Arung Palakka tetap
dilanjutkan.

Tewasnya Tobala Arung Tanete Petta PakkanynyarangE, oleh KaraengE ri Gowa yang
bernama I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin
merasa perlu untuk mengangkat Jennang yang baru di Bone. Ditunjuklah La Sekati Arung
Amali sebagai pengganti Tobala, sementara Datu Soppeng La Tenri Bali ditawan di Gowa
dan ditempatkan di Sanrangeng bersama Arumpone La Maddaremmeng.

Karena merasa selalu diburu oleh orang Mangkasar ( Gowa ), La Tenri Tatta To Unru
bersama seluruh pengikutnya semakin terjepit dan sulit untuk tinggal di Tanah Ugi. Oleh
karena itu bersama Arung Belo, Arung Pattojo dan Arung Ampana sepakat untuk
menyeberang ke Butung Tanah Uliyo. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan siapa tahu
nanti di Butung Tanah Uliyo bisa mendapatkan teman yang dapat diajak bekerja sama
melawan Gowa. Dipersiapkanlah sejumlah perahu dan pada saat yang tepat La Tenri Tatta To
Unru bersama seluruh pengikutnya bertolak dari pantai Cempalagi Ujung Pallette menuju ke
Butung Tanah Uliyo.

Beberapa saat saja setelah meninggalkan Cempalagi Ujung Pallette, orang Gowapun datang
mencari jejaknya. Tetapi La Tenri Tatta To Unru bersama pengikutnya telah berada ditengah
laut menuju ke Butung Tanah Uliyo. Dengan demikian orang Gowa segera kembali untuk
menyampaikan kepada KaraengE ri Gowa bahwa La Tenri Tatta To Unru bersama seluruh
pengikutnya tidak berada lagi di daratan Tanah Ugi. Besar kemungkinannya ia menyeberang
ke Butung Tanah Uliyo untuk minta perlindungan kepada Raja Butung.
Mendengar laporan itu, KaraengE ri Gowa memerintahkan Arung Gattareng untuk
menyusulnya. Arung Gattareng berhasil bertemu La Tenri Tatta To Unru di tengah laut.
Setelah berbicara sejenak, Arung Gattareng lalu membelokkan perahunya dan kembali ke
Gowa . Sementara La Tenri Tatta Arung Palakka bersama pengikutnya tetap melanjutkan
perjalanan menuju ke Butung.

Sesampainya di Tanah Uliyo, La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka diterima baik oleh Raja
Butung dan diberinya tempat untuk istirahat dengan pengikutnya. Kepada La Tenri Tatta To
Unru, Raja Butung berkata,

”Tinggallah sementara disini, nanti kalau kapal Kompeni Belanda yang akan menuju ke
Ambon dan Ternate singgah disini, barulah saya pertemukan denganmu. Sebab sesungguhnya
saya sangat menghawatirkan kalau nantinya orang Gowa yang disuruh oleh KaraengE ri
Gowa bisa menemukan tempatmu disini. KaraengE ri Gowa memang sangat marah kepada
saya, karena kapal-kapal Kompeni Belanda selalu singgah disini apabila akan berangkat
menuju ke Ambon dan Ternate”.

Pada saat La Tenri Tatta To Unru akan bertolak ke Butung, ia singgah bernazar di gunung
Cempalagi dekat Pallette. Dalam nazarnya tersebut, La Tenri Tatta To Unru bertekad tidak
akan memotong rambutnya sebelum dirinya bersama seluruh pengikutnya kembali dengan
selamat di Tanah Ugi. Sejak itu rambutnya dibiarkan menjadi panjang dan digelarlah
MalampeE Gemme’na.

KaraengE ri Gowa sudah mengetahui bahwa La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka bersama
pengikutnya telah berada di Butung Tanah Uliyo. Oleh karena itu disiapkanlah pasukan
dengan jumlah besar yang diperlengkapi dengan senjata perang untuk menyerang Butung
Tanah Uliyo. Apalagi maksud untuk menyerang Butung memang telah lama direncanakan,
karena Butung selalu menjadi tempat persinggahan kapal-kapal Kompeni Belanda kalau akan
berangkat ke Ambon dan Ternate.

Tidak lama kemudian utusan KaraengE ri Gowa datang ke Butung untuk mencari La Tenri
Tatta bersama pengikutnya. Tetapi sebelum utusan itu naik kedarat, Raja Butung
menyampaikan kepada La Tenri Tatta To Unru bersama pengikutnya untuk bersembunyi
disebuah sumur besar dan tidak berair tidak jauh dari istana Raja Butung. Kepada La Tenri
Tatta To Unru, Raja Butung berkata ;” Saya akan bersumpah nanti kalau utusan KaraengE ri
Gowa naik untuk menanyakan keberadaanmu, bahwa kamu dengan seluruh pengikutmu tidak
berada diatas Tanah Uliyo”.

Karena pernyataan Raja Butung bahwa La Tenri Tatta bersama seluruh pengikutnya tidak
berada diatas Tanah Uliyo dan utusan KaraengE ri Gowa memang tidak melihat adanya tanda
bahwa orang yang dicarinya ada di tempat itu, maka utusan itupun pamit dan kembali ke
Gowa.

KaraengE ri Gowa rupanya tidak kehabisan akal, maka disusunlah strategi baru dengan
memperbanyak pasukan dan diperlengkapi dengan persenjatan untuk menyerang Butung
sampai ke Ternate. Dipanggilah Datu Luwu La Setiaraja bersama Karaeng Bonto Marannu
untuk memimpin pasukan ke Tanah Uliyo. Menurut rencananya setelah Butung kalah,
serangan akan dilanjutkan ke Ternate untuk menangkap Raja Ternate.
Berita tentang rencana KaraengE ri Gowa yang akan menyerang Butung dan Ternate telah
sampai kepada Kompeni Belanda di Jakarta. Oleh karena itu Kompeni Belanda
mempersiapkan sejumlah kapal dan perlengkapan perang untuk melawan Gowa. Kepada La
Tenri Tatta To Unru yang sementara berada di Butung dipesankan untuk memperlengkapi
pasukannya dengan persenjataan. Begitu pula kepada Raja Butung agar bersiap-siap
menunggu kedatangan Kompeni Belanda.

Atas perintah KaraengE ri Gowa, Datu Luwu bersama Karaeng Bonto Marannu berlayar ke
Butung membawa pasukan untuk menyerang Butung dan selanjutnya Ternate. Sementara itu,
berita tentang keberangkatan pasukan Kompeni Belanda bersama La Tenri Tatta ke Butung
telah sampai pula pada KaraengE ri Gowa. Oleh karena itu, KaraengE ri Gowa segera
mengembalikan Arumpone La Maddaremmeng ke Bone dan Datu Soppeng yang bernama La
Tenri Bali dikembalikan ke Soppeng. Didudukkanlah Bone sebagai Palili (daerah bawahan)
dari Gowa yang berarti Bone telah lepas dari penjajahan Gowa.

Adapun maksud KaraengE ri Gowa mengembalikan Arumpone La Maddaremmeng untuk


menduduki kembali Mangkau’ Bone, agar orang Bone tidak lagi melihat Gowa sebagai lawan
yang sedang bermusuhan dengan Kompeni Belanda. Sementara La Tenri Bali Datu Soppeng
yang tadinya ditempatkan di Sanrangeng bersama Arumpone La Maddaremmeng sebagai
tawanan, dikembalikan pula ke Soppeng. Selanjutnya Soppeng didudukkan pula sebagai
Palili dari Gowa sebagaimana halnya Bone. Sejak itu Soppeng bukan lagi sebagai jajahan
Gowa melainkan sebagai daerah bawahan saja.

Kapal-kapal Kompeni Belanda yang memuat pasukan tempur yang dipimpin oleh Cornelis
Speelman tiba di Butung. Diatas kapal ada La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka bersama
dengan seluruh pengikutnya. Sesampainya di Butung, La Tenri Tatta To Unru Arungt
Palakka MalampeE Gemme’na memperoleh informasi bahwa yang memimpin pasukan
Gowa adalah Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto Marannu. Oleh karena itu La Tenri
Tatta berkata kepada Cornelis Speelman agar jangan melepaskan tembakan. La Tenri Tatta
memberi penjelasan kepada Cornelis Speelman bahwa Bone dengan Luwu sama-sama
jajahan Gowa dan tidak pernah bermusuhan. Begitu pula Karaeng Bonto Marannu tidak
pernah terjadi perselisihan faham dengannya. Keduanya hanya disuruh oleh KaraengE ri
Gowa unuk menyerang orang Bone.

Selanjuitnya La Tenri Tatta mengajak kepada Cornelis Speelman untuk mengirim utusan
kedarat guna menemui Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu.Siapa tahu ada jalan yang
bisa ditempuh dan tidak saling bermusuhan sesama saudara. Ajakan itu disetujui oleh
Speelman dan diutuslah beberapa orang naik menemui Datu Luwu dan Karaeng Bonto
Marannu. Sesampainya ditempat Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu, utusan itu
menyampaikan bahwa Arung Palakka bersama Cornelis Speelman mengharapkan Datu Luwu
bersama Karang Bonto Marannu turun ke kapal dengan mengibarkan bendera putih untuk
berbicara secara baik-baik.

Mendengar apa yang disampaikan oleh utusan itu, Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng
Bonto Marannu sependapat bahwa lebih banyak buruknya dari pada baiknya jika kita saling
bermusuhan sesama saudara. Kalau kita berdamai, hanyalah senjata kita yang diambil. Tetapi
kalau kita bertahan untuk berperang, maka senjata beserta seluruh pasukan kita ikut diambil.

Setelah saling bertukar pendapat antara Datu Luwu dengan Karaeng Bonto Marannu yang
mendapat persetujuan dari seluruh pasukannya, maka turunlah ke kapal Kompeni Belanda
menemui La Tenri Tatta Arung Palakka dan Cornelis Speelman sebagai pimpinan pasukan
Kompeni Belanda. Dari atas kapal nampak Arung Belo, Arung Pattojo, Arung Ampana serta
Arung Bila menjemput kedatangan Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu beserta
beberapa pengikutnya.

Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto Marannu menyatakan bergabung dengan Arung
Palakka, makanya keduanya minta perlindungan Kompeni Belanda. Untuk mengamankan
keduanya dari KaraengE ri Gowa, dibawa ke sebuah pulau oleh Cornelis Speelman. Nanti
setelah perang selesai, barulah kembali ke negerinya. Sedangkan pasukannya dinaikkan ke
kapal untuk dibawa pulang ke kampungnya setelah dilucuti seluruh senjatanya.

Sementara itu, berita tentang dikembalikannya La Maddaremmeng ke Bone dan La Tenri


Bali ke Soppeng oleh KaraengE ri Gowa dimana Bone dan Soppeng didudukkan sebagai
Palili (daerah bawahan), telah sampai kepada La Tenri Tatta Arung Palakka. Lalu Arung
Palakka mengirim utusan ke Bone dan Soppeng agar Arumpone dan Datu Soppeng tetap
mengangkat senjata untuk melawan KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin.

La Tenri Tatta Arung Palakka bersama Cornelis Speelman dengan persenjatan yang lengkap
meninggalkan Butung menyusuri daerah-daerah pesisir yang termasuk kekuasan KaraengE ri
Gowa. Banyak daerah pesisir yang tadinya berpihak kepada Gowa, berbalik dan menyatakan
berpihak kepada La Tenri Tatta Arung Palakka. Sementara melalui darat, Arung Bila, Arung
pattojo, Arung Belo dan Arung Ampana terus membangkitkan semangat orang Bone dan
orang Soppeng untuk berperang melawan Gowa. Beberapa daerah di Tanah Pabbiring Barat
berbalik pula melawan KaraengE ri Gowa.

Dengan demikian keadaan KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin sudah terkepung. Kompeni
Belanda dibawah komando Cornelis Speelman menghantam dari laut, sementara Arung
Palakka dengan seluruh pasukannya menghantam dari darat. Semua arung yang tadinya
membantu Gowa kembali berbalik menjadi lawan, kecuali Wajo tetap membantu Gowa.

Karena merasa sudah sangat terdesak dan pertempuran telah banyak memakan korban
dipihak Sultan Hasanuddin, maka pada hari Jumat tanggal 21 November 1667 M. KaraengE
ri Gowa I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin
bersedia mengakhiri perang. Kesediaannya itu ditandai dengan suatu perjanjian yang
bernama Perjanjian Bungaya. Perjanjian mana ditanda tangani oleh Sultan Hasanuddin
dengan Cornelis Speelman Admiral Kompeni Belanda. Sementara perjanjian Sultan
Hasanuddin dengan Arung Palakka adalah melepaskan Bone dan Soppeng sebagai jajahan
Gowa.
Setelah perang berakhir, barulah La Tenri Tatta Arung Palakka bersama pengikutnya masuk
ke Bone. Sesampainya di Bone, dijemput oleh Arumpone La Maddaremmeng. Keduanya
saling mengucapkan selamat atas kemenangannya melawan Gowa. Berkatalah La
Maddaremmeng kepada kemenakannya La Tenri Tatta ; ”Saya sekarang sudah tua dan
semakin lemah, walaupun saya telah dikembalikan oleh KaraengE ri Gowa untuk menduduki
Mangkau’ di Bone, namun hanyalah sebagai simbol. Sebab Bone hanya ditempatkan sebagai
daerah palili yang berarti harus tetap mengabdi kepada Gowa. Oleh karena itu saya
berpendapat sebaiknya engkaulah yang memangku Mangkau’ di Bone. Sebab memang
warisanmu dari MatinroE ri Bantaeng. Hanya karena orang Bone pada mulanya tidak mau
menerima Islam, sehingga ia meninggalkan Bone”.

La Tenri Tatta Arung Palakka menjawab ; ”Saya menjunjung tinggi keinginan Puatta, tetapi
saya tetap berpendapat bahwa nantilah api itu padam baru dicarikan penggantinya, artinya
nantilah Arumpone benar-benar sudah tidak ada baru diganti”.

Oleh karena itu La Maddaremmeng tetap memangku Mangkau’ di Bone sampai ia meninggal
dunia. Akan tetapi hanyalah simbol belaka, sebab yang melaksanakan pemerintahan adalah
kemenakannya yang bernama La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka.

Bagi Kompeni Belanda hubungannya dengan arung-arung di Tanah Ugi harus melalui La
Tenri Tatta Arung Palakka. Cornelis Speelman meminta kepada Gubernur Jenderal di Betawe
agar Arung Palakka diangkat menjadi Arumpone. Selain itu ia juga diangkat menjadi
pimpinan bagi arung-arung di Tanah Ugi, karena itu digelarlah To RisompaE.

Dalam tahun 1672 M. Arumpone La Maddaremmeng meninggal dunia, barulah Arung


Palakka resmi menjadi Arumpone. Diseranglah Wajo pada bulan Agustus 1670 M, karena
Arung Matowa Wajo yang bernama La Tenri Lai belum mau mengalah pada saat
diadakannya Perjanjian Bungaya. La Tenri Lai menyatakan kepada KaraengE ri Gowa Sultan
Hasanuddin bahwa perang antara KaraengE dengan Kompeni Belanda telah berakhir, tetapi
perang Wajo dengan Arung Palakka belum selesai.

Oleh karena itu Sultan Hasanuddin menganjurkan kepada La Tenri Lai untuk kembali ke
Wajo bersama seribu pengikutnya. Sesampainya di Wajo, disusul kemudian oleh Arung
Palakka bersama seluruh pengikutnya dan berperanglah selama empat bulan. Korban
berguguran baik dari Bone, Soppeng maupun Wajo. Batal sudah Perjanjian TellumpoccoE,
akhirnya Wajo kalah. Tosora terbakar, bobol sudah pertahanan Wajo.

Dalam peperangan yang dahsyat ini, Arung Matowa Wajo La Tenri Lai To Sengngeng gugur
terbakar, maka digelarlah MatinroE ri Salokona. Dengan demikian datanglah utusan PillaE
PatolaE minta untuk diadakan gencatan senjata atau menghentikan perang kepada Bone dan
Soppeng.

Permintaan itu dijawab oleh Arung Palakka bahwa hanya diberi kesempatan selama tiga hari
untuk mengurus jenazah Arung MatowaE ri Wajo. Setelah itu, sepakatlah orang Wajo untuk
mengangkat La Palili To Malu menggantikan La Tenri Lai To Sengngeng sebagai Arung
Matowa Wajo yang baru.

Arung Matowa Wajo inilah yang menyatakan diri kalah dengan Bone dan Soppeng. Pada
tanggal 23 Sepetember 1670 M. La Palili To Malu naik ke Ujungpandang untuk menanda
tangani perjanjian dalam Benteng Rotterdam. Arung Palakka MalampeE Gemme’na, ArungE
ri Bantaeng, Datu Soppeng, Arung Tanete serta beberapa petinggi lainnya yang mengantar
Arung Matowa Wajo La Palili To Malu masuk ke Benteng Rotterdam. Arung Matowa Wajo
brsama dengan PillaE yang bernama La Pakkitabaja, PatolaE yang bernama La Pangabo,
CakkuridiE yang bernama La Pedapi, inilh yang dinamakan TelluE Bate Lompo ri Wajo.

Setelah selesai berperang dengan Wajo tahun 1671 M. dikawinkanlah adik perempuannya
yang bernama We Mappolo BombangE yang juga diangkat menjadi Maddanreng di Palakka.
We Mappolo BombangE dikawinkan dengan La PakokoE Toangkone Arung Timurung yang
juga Arung Ugi anak dari La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka dengan isterinya yang
bernama We Hadijah I Dasaleng Arung Ugi.

Lima bulan setelah perkawinan adik perempuannya We Mappolo BombangE Maddanreng


Palakka, dalam tahun 1671 M. Arung Palakka MalampeE Gemme’na mengadakan keramaian
untuk melepaskan nazarnya ketika hendak meninggalkan Tanah Ugi. Nazarnya itu adalah,

“Kalau nantinya saya selamat kembali ke Tanah Ugi menegakkan kembali kebesaran Bone
dan Soppeng, saya akan membuat sokko (nasi ketang) tujuh macam setinggi gunung
Cempalagi. Akan kusembelih seratus kerbau camara (belang) bertanduk emas, sebagai
tebusan anak bangsawan Gowa –maddara takku – (berdarah biru) dan sebagai ganti kepala
Karaeng Mangkasar (bangsawan tinggi) di Gowa.

Pada saat itulah La Tenri Tatta Arung Palakka menyampaikan kepada pengikutnya bahwa ia
memanjangkan rambutnya selama dalam perantauan dan nanti akan dipotong setelah kembali
menegakkan kebesaran Bone. Maka setelah melepaskan nazarnya di Cempalagi, iapun
memotong rambutnya, kemudian mangosong (bernyanyi),

”Muaseggi belobelo, weluwa sampo genoaE mattipi nattowa wewe. Muaseggi culecule
weluwa sampo palippaling ri accinaongi awana”.

Ketika acara potong rambutnya yang diikuti oleh seluruh pengikutnya selesai, La Tenri Tatta
To Unru melepaskan nazarnya dengan memotong 400 ekor kerbau dilereng gunung
Cempalagi. Seratus ekor kerbau camara (Bulu hitam dengan belang dibagian ekor dan
kepala) bertanduk emas (ditaruh emas pada tanduknya). Tiga ratus ekor sebagai pengganti
kepala bangsawan Gowa dan bangsawan Mangkasar.
Setelah itu, diseranglah seluruh negeri yang belum menyatakan diri takluk kepada Bone.
Negeri-negeri itu antara lain, Mandar, Palilina Tanah Luwu yang masih mengikut kepada
Gowa. Selanjutnya serangannya ditujukan kepada Pasuruan Jawa Timur, Galingkang dan
Sangalla. Semua negeri tersebut dikalahkan dan terakhir adalah Letta.

Pada tanggal 3 – 11 – 1672 M. We Mappolo Bombang Maddanreng Palakka melahirkan anak


laki-laki yang bernama La Patau Matanna Tikka WalinonoE La Tenri Bali MalaE Sanrang.
Anak ini lahir dari perkawinannya denga La PakokoE Toangkone Arung Timurung.

Atas kelahiran La Patau Matanna Tikka membuat La Tenri Tatta Arung Palakka Petta To
RisompaE sangat gembira. Karena menurut pikirannya, sudah ada putra mahkota yang bisa
melanjutkan akkarungeng di Tanah Bone. La Tenri Tatta Arung Palakka yang tidak memiliki
anak, menganggap bahwa anak dari adik perempuannya itulah yang menjadi anak pattola
(putra mahkota).

Setelah Arumpone La Maddaremmeng meninggal dunia dalam tahun 1672 M. sepakatlah


anggota Hadat Bone yang didukung oleh seluruh orang Bone serta Pembesar Kompeni
Belanda untuk mengangkat La Tenri Tatta Arung Palakka menjadi Arumpone menggantikan
pamannya.

Agar dapat memperoleh keturumnan La Tenri Tatta Arung Palakka kawin dengan We Yadda
Datu Watu anak dari La Tenri Bali Datu Soppeng MatinroE ri Datunna dengan isterinya yang
bernama We Bubungeng I Dasajo. Namun dari perkawinannya itu, tetap tidak memperoleh
keturunan.

Adapun saudara perempuan La Tenri Tatta yang bernama We Kacimpureng yang kawin
dengan To Dani juga tidak memiliki keturunan. Saudara perempuaannya yang tua yang
bernama We Tenri Abang, dialah yang diberikan Mario Riwawo. Dia pula yang diikutkan
sewaktu La Tenri Tatta pergi ke Jakarta dimasa berperang dengan Gowa. We Tenri Abang
kawin dengan La Mappajanji atau biasa juga dinamakan La Sulo Daeng Matasa. Dari
perkawinannya itu lahir seorang anak perempuan yang bernama We Pattekke Tana Daeng
Risanga.

Melihat bahwa tidak ada lagi musuh yang berarti, maka Arumpone La Tenri Tatta To Unru
Arung Palakka mengumpulkan seluruh Bocco (Akkarungeng Tetangga) di Baruga TelluE
Coppo’na di Cenrana. Diadakanlah suatu pesta untuk disaksikan oleh arung-arung yang
pernah ditaklukkannya, termasuk pembesar-pembesar Kompeni Belanda. Dalam kesempatan
itu, Arumpone La Tenri Tatta Arung Palakka menyampaikan kepada semua yang hadir
bahwa dirinya telah melepaskan nazar dan telah meletakkan samaja (sesaji) dan juga telah
memotong rambutnya. Seluruh yang hadir pada pesta tersebut mendengarkan dengan baik
tentang apa yang disampaikan oleh Petta To RisompaE.

“Dengarkanlah wahai seluruh orang Bone dan juga seluruh daerah passeyajingeng Tanah
Bone, termasuk passeyajingeng keturunan MappajungE. Besok atau lusa datang panggilan
Allah kepadaku, hanyalah kemanakan saya yang dua bisa mewarisi milikku. Yang saya tidak
berikan adalah harta yang masih dimiliki oleh isteriku I Mangkawani Daeng Talele. Sebab
saya dengan isteriku I Mangkawani Daeng Talele tidak memiliki keturunan.

Adapun kemanakanku yang bernama La Patau Matanna Tikka, anak dari Maddanreng
Palakka saya berikan akkarungeng ri Bone. Sedangkan kemanakanku yang satu anak Datu
Mario Riwawo, saya wariskan harta bendaku, kecuali yang masih ada pada isteriku I
Mangkawani Daeng Talele”.

La Patau Matanna Tikka berkata ; “Saya telah mendengarkan pesan pamanku Petta To
RisompaE bahwa saya diharapkan untuk menggantikannya kelak sebagai Mangkau’ di Bone.
Namun saya sampaikan kepada orang banyak bahwa sebelum saya menggantikan Puatta
selaku Arumpone, apakah merupakan kesepakatan orang banyak dan bersedia berjanji
denganku?”

Seluruh anggota Hadat dan orang banyak berkata ; “Katakanlah untuk didengarkan oleh
orang banyak”.
Berkata lagi La Patau Matanna Tikka ; “Saya akan menerima kesepakatan orang banyak dari
apa yang dikatakan oleh Puatta To RisompaE, apabila orang banyak mengakui dan
mengetahui bahwa ;
- Tidak akan ada lagi Mangkau’ di Bone kalau bukan keturunanku.
- Ketahui pula bahwa keturunanku adalah anak cucu MappajungE tidak akan dipilih dan
didudukkan oleh keturunan LiliE. Begitulah yang saya sampaikan kepada orang banyak”.

Seluruh orang banyak berkata ; ”Angikko Puang kiraukkaju Riyao miri riyakeng
mutappalireng – muwawa ri peri nyameng” (Baginda angin dan kami semua daun kayu –
dimana Baginda berhembus, disanalah kami terbawa – menempuh kesulitan dan kesenangan).

La Tenri Tatta To RisompaE, adalah Datu Mario Riwawo, Arung di Palakka sebelum
memangku Mangkau’ di Bone menggantikan MatinroE ri Bukaka.

Sesudah perjanjian Bungaya 18 November 1667 M. dia menegakkan kembali kebesaran


Bone, melepaskan dari jajahan Gowa. Begitu pula Soppeng, Luwu dan Wajo, semuanya
dilepaskan dari jajahan Gowa. Datu Luwu MatinroE ri Tompo’tikka yang menguasai Tanah
Toraja sampai di pegunungan Latimojong yang ikut membantu Bone, diangkat sebagai
daerah passeyajingeng (daerah sahabat).

Oleh karena itu Arumpone La Tenri Tatta digelar Petta To RisompaE atas dukungan
Kompeni Belanda yang memberinya kekuasaan sebagai Mangkau’ dari seluruh Mangkau’ di
Tanah Ugi. La Tenri Tatta To Unru lalu membuat payung emas dan payung perak di samping
Bendera SamparajaE. Oleh Kompeni Belanda diberinya selempang emas dan kalung emas
sebagai tanda kenang-kenangan Kompeni Belanda atas jasa baiknya menjalin kerja sama.

Selaku Mangkau’ dari seluruh Mangkau’ di Celebes Selatan, La Tenri Tatta Petta To
RisompaE belum merasa puas kalau TelluE Cappa’ Gala yaitu Kerajaan Besar Bone, Gowa
dan Luwu tidak bersatu. Oleh karena itu, ia mengawali dengan mengawinkan bakal
penggantinya sebagai Arumpone kelak yaitu La Patau Matanna Tikka WalinonoE dengan
anak PajungE ri Luwu La Setiaraja MatinroE ri Tompo’tikka dari isterinya yang bernama We
Diyo Opu Daeng Massiseng Petta I Takalara. Anak Datu Luwu tersebut bernama We
Ummung Datu Larompong.

We Ummung Datu Larompong kemudian diangkat menjadi Maddanreng TellumpoccoE


(Bone, Soppeng dan Wajo) dan seluruh daerah sahabat Bone dalam tahun 1686 M. Untuk
Wajo diangkat dua orang berpakaian kebesaran, begitu pula Soppeng, Ajatappareng,
Massenrempulu, Mandar PituE Babanna Minanga tiga orang, Kaili, Butung, Tolitoli masing-
masing tiga orang. Sedangkan Ajangale’ dan Alau Ale’ masing-masing dua orang.

Adapun perjanjian La Tenri Tatta Petta To RisompaE dengan Datu Luwu La Setiaraja
MatinroE ri Tompo’tikka, adalah,

”Apabila La Patau bersama We Ummung Datu Larompong melahirkan anak, maka anaknya
itulah yang akan menjadi Datu di Luwu”.

Selanjutnya La Patau Matanna Tikka dikawinkan lagi di Tanah Mangkasar dengan


perempuan yang bernama We Mariama (Siti Maryam) Karaeng Patukangang. Anak dari La
Mappadulung Daeng Mattimung KaraengE ri Gowa yang juga dinamakan Sultan Abdul Jalil
dengan isterinya Karaeng Lakiung. Dalam acara perkawinannya itu, datang semua daerah
sahabat Bone menyaksikannya.

Adapun perjanjian Petta To RisompaE dengan KaraengE ri Gowa, pada saat dikawinkannya
La Patau Matanna Tikka dengan We Mariama adalah,
”Kalau nantinya La Patau dengan We Mariama melahirkan anak laki-laki, maka anaknya
itulah yang diangkat menjadi Karaeng di Gowa”. Oleh karena itu maka hanyalah anak We
Ummung dari Luwu dan anak We Mariama dari Gowa yang bisa diangkat menjadi Mangkau’
di Bone. Sementara yang lain, walaupun berasal dari keturunan bangsawan tinggi, tetapi dia
hanya ditempatkan sebagai cera’ biasa (tidak berhak menjadi Mangkau’). Kecuali kalau anak
We Ummung dan We Mariama yang menunjuknya.

Aturan yang berlaku di TellumpoccoE dan TelluE Cappa’ Gala adalah -tenri pakkarung
cera’E – tenri attolang rajengE (cera’ tidak bisa menjadi Arung dan rajeng tidak bisa
menggantikan Arung). Kecuali semua putra mahkota telah habis dan tidak ada lagi pilihan
lain.

Ketika kemanakan Petta To RisompaE yang bernama We Pattekke Tana Daeng Tanisanga
Petta MajjappaE Datu TelluE Salassana – digeso’ (tradisi orang Bugis menggosok gigi
dengan batu pada saat anak mulai dewasa), diundanglah seluruh Bocco dan seluruh Lili
Passeyajingeng Bone. Pada saat itulah Petta To RisompaE memberikan kepada
kemanakannya itu Pattiro dan harta benda yang pernah dipersaksikan kepada orang banyak
sesudah memotong rambutnya.

Selanjutnya We Pattekke Tana diberikan oleh ibunya Mario Riwawo beserta isinya, dan
ayahnya memberikan Tanete beserta isinya.

Pada acara maggeso’nya We Pattekke Tana, hadir semua Lili Passeyajingeng Bone, seperti
TellumpoccoE, LimaE Ajattappareng, PituE Babanna Minanga, LimaE Massenreng Pulu,
TelluE Batupapeng, Butung, Toirate, BukiE, Gowa, Cappa’galaE dan petinggi-petinggi
Kompeni Belanda.

Pada saat itu juga datang utusan PajungE ri Luwu untuk melamarkan putranya yang bernama
La Onro To Palaguna kepada We Pattekke Tana. Petta To RisompaE mengatakan kepada
utusan Datu Luwu,

”Saya bisa menerima lamaranmu wahai orang Ware, tetapi dengan perjanjian We Tekke
(Pattekke Tana) engkau angkat menjadi datu di Luwu. Walaupun dia nantinya tidak memiliki
anak dengan suaminya (La Onro To Palaguna), apalagi kalau dia berdua melahirkan anak,
maka harus mewarisi secara turun temurun tahta sebagai Datu Luwu”.

Permintaan tersebut diakui oleh orang Ware, berjanjilah Puatta MatinroE ri Bontoala dengan
MatinroE ri Tompo’tikka untuk mengangkat We Pattekke Tana sebagai Datu Luwu sampai
kepada anak cucunya. Kesepakatan ini disetujui oleh orang Ware yang disaksikan oleh
TellumpoccoE.

Dari perkawinan We Pattekke Tana dengan La Onro To Palaguna lahirlah Batara Tungke
Sitti Fatimah. Kemudian Sitti Fatimah kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La
Rumpang Megga To Sappaile Cenning ri Luwu. Anak dari We Yasiya Opu Pelai Lemolemo
dengan suaminya yang bernama La Ummareng Opu To Mallinrung.

We Fatimah melahirkan tiga orang anak, yaitu We Tenri Leleang, inilah yang menjadi
pewaris Datu Luwu. Yang kedua La Tenri Oddang atau La Oddang Riwu Daeng Mattinring,
dialah yang menjadi pewaris Arung Tanete. Sedangkan yang ketiga La Tenri Angke Datu
WaliE, dialah Datu Mario Riwawo.
Merasa usianya semakin renta, La Tenri Tatta To Unru Petta To RisompaE MalampeE
Gemme’na memilih untuk menetap di Tanah Makassar. Tahun 1696 M. ia meninggal dunia
di rumahnya di Bontoala, maka dinamakanlah MatinroE ri Bontoala. La Tenri Tatta Arung
Palakka yang juga bernama Sultan Saaduddin dikuburkan di Bonto Biraeng berdampingan
dengan makam Sultan Hasanuddin MatinroE ri Bontoala.

4. KH. HARUN

Beliau berasal dari Kerajaan Tallo, Petta Barang atau petta To risappae konon beliau
mallajang diatas kudanya dan penunggu kudanya hingga sekarang masih ada. beliau adalah
keturunan raja barru yang kuat akan agama.

5. Pettabarang,
Maaf belum ada imformasi beserta referensi terpercaya yang membahas tentang Walli Ini.
Petta Barang atau Petta To Risappae= konon beliau mallajang (menghilang) diatas kudanya
dan penunggu kudanya hingga sekarang masih ada. beliau adalah keturunan raja Barru
yang kuat akan agama,
6. IMAM LAPEO
Wali Masyhur di Tanah Mandar Sulawesi Barat

Seorang imam di desa Lapeo yang sederhana dan menyebarkan agama Islam sampai ketanah
bugis. sering memperlihatkan mukzisat dari sang Kuasa.
Beliau berasal dari Kerajaan Tallo, Petta Barang atau petta To risappae konon beliau
mallajang diatas kudanya dan penunggu kudanya hingga sekarang masih ada. beliau adalah
keturunan raja barru yang kuat akan agama.

Seorang imam di desa Lapeo yang sederhana dan menyebarkan agama Islam sampai ketanah
bugis. sering memperlihatkan mukzisat dari sang Kuasa.

KH.Muh thohiir atau yg lebih dikenal dg Imam lapeo...adalah seorang wali masyhur di Tanah
Mandar Sulawesi Barat dan Selatan.....beliau Menguasai Banyak cabang ilmu Islam..seperti
Fiqh.tasawwuf...hadits.dll....dibawah bimbingan para ulama khususnya dari Saadah
ALAWIYYIN....atau Ahlul bait Rasulullah SAW....yang Di mandar lbh dikenal di istilah
"Tuan Sayyid"..yg diserap dl bahasa mandar menjadi Puang Sayyid....Syek Fath beliau...yg
utama adalah Al Habib As Sayyid Alwy bin Abdillah bin Sahl Jamalullail...

Dari beliaulah Kyai Haji Muhammad Thohir mengambil Ilmu dan Sanad Ilmu
Tasawwuf....Keturunan Habib Alwy Bin Sahl Jamalullail..banyak ditemukan di Sulawesi
Barat hingga kini...Bahkan Habib Hasan putra dari Habib Alwy Bin Sahl...menjadi Mufti di
daerah Sulawesi saat itu...stlh Menuntut Ilmu di Makkah Almukarromah selama 30
tahun.....berikut foto Kyai Haji Muhammad Thohir Dan Al Habib Hasan bin Sahl mufti
Sulawesi....putra dari Al Allamah Al Habib Alwy bin Abdillah bin Sahl jamalullail......
Hubungan Guru dengan Murid

Habib Alwy merupakan guru dari Imam Lapeo. Imam lapeo yang nama aslinya Junaihin
Namli, diganti namanya dengan sebutan Muhammad Thahir ketika menjadi murid beliau.
Pernah suatu ketika Habib Alwy bin Sahil mengajak beberapa orang termasuk Imam Lapeo
untuk “berhalwat” (mengasingkan diri dari khalayak ramai) di suatu tempat, dan dari sekian
banyak orang itu, Imam Lapeo satu-satunya yang dapat bertahan menerima cobaan-cobaan
yang muncul pada saat berhalwat dan Habib Alwy bin Sahil berkata kepadanya :
“Kamu telah lulus, segala ilmu dzohir dan hakikat ada padamu, dan kita bersaudara dunia
akhirat”.

Ungkapan kedua tokoh agama ini tidak hanya berlaku pada keduanya tapi sampai kepada
anak cucu dan keturunannya masih tetap terjalin persaudaraan dan silaturrrahmi dengan baik.

Pernah juga suatu ketika rombongan Habib Alwi beserta murid-muridnya dari Pambusuang
datang ke kampong Laliko untuk menyebarkan agama islam sempat mendapat kendala dari
warga setempat dengan menembaki rombongan dengan senapan. Melihat keadaan tersebut,
Imam Lapeo pergi menghadapi mereka, seraya berkata :
“Kalian telah melakukan perbuatan yang sia-sia dan konyol serta pengecut, menembaki habib
yang tak bersenjata, itu bukan perbuatan laki-laki sejati, jika ada yang berani hadapilah aku.”

Lalu tampaklah seorang dari mereka yang berani menantang beliau, kemudian beliau berkata
:
“ Silahkan tusuk saya dengan tombakmu itu sebanyak tujuh kali, selesai itu giliran saya
menusukmu dengan tombak sebanyak tujuh kali pula.”

Ternyata orang itu tidak kuasa melukai (karena bantuan Allah SWT) walau sudah berusaha
sekuat tenaga hingga putus asa, tibalah giliran Imam Lapeo untuk menusuk sebanyak tujuh
kali pula. Beliau memegang tombak itu dengan gagah berani, namun dalam hatinya tiada
terbetik kecuali kematian dan tiada lagi kehidupan apabila benar-benar beliau berkehendak
menusuknya. Di saat beliau menatap orang itu, beliau menampakkan rasa kasih sayang dan
menjatuhkan tombak itu dan memaafkannya. Dengan kekuasaan Allah, hati orang itu
digerakkan bersama kelompoknya menyatakan tunduk, patuh dan menjadi pengikutnya.

Melihat hal itu, Habib Alwi meminta supaya Imam lapeo lah yang membina dan mengasuh
masyarakat itu, mengeluarkan dari jurang kebodohan dan dari keterbelakangan kepada
pelaksanaan syariat islam yang sebenar-benarnya. Habib Alwi memberikan isyarat bahwa
tempat ini menjadi tempat utama bagi beliau yang akan datang, Habib lalu merestui dan
mendo’akan.

=============================
K.H. Muhammad Thahir adalah ulama kharismatik di tanah mandar, lahir pada tahun 1838
M. Beliau seorang imam di desa lapeo yang sederhana dan menyebarkan agama islam sampai
ketanah bugis.

Keluarga Imam Lapeo berakar dari sebuah kampung tua yang sejak dulu menjadi tanah
kelahiran tokoh-tokoh di Tana Mandar. Kampung itu bernama Pambusuang. Seorang tokoh
nasional yang pernah lahir di kampung ini adalah Almarhum Baharuddin Lopa (mantan Jaksa
Agung RI). Pambusuang saat ini sudah menjadi kota kecamatan Pambusuang dalam wilayah
Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Propinsi Sulawesi Barat.
Ayahanda Imam Lapeo bernama H.Muhammad bin Abd.Karim bin Aba Talha. Ayahanda
Imam Lapeo mempunyai dua saudara yakni yang dikenal dengan panggilan Kanne Paung dan
Kanne Kina. Kanne Paung tidak memiliki keturunan sedangkan Kanne Kina kemudian
mempunyai anak cucu yang berkembang di Pambusuang sebagai sepupu-sepupu Imam
Lapeo. Sedangkan ibunda Imam Lapeo bernama Siti Rajiah berasal dari keturunan hadat
Tenggelang, sebuah wilayah yang saat ini berada di Kecamatan Campalagian Kab. Polman.
Sebagaimana dalam silsilah keturunan yang paternalistik, silsilah keturunan Ibu kurang
dikembangkan sehingga sampai saat ini belum ada yang mencoba menggambarkan sepupu-
sepupu Imam lapeo dari garis Ibu.

Dalam kehidupannya Imam Lapeo telah menikah sebanyak enam kali. Tiga dari perkawinan
beliau tidak mendapatkan anak keturunan.

Imam Lapeo sukses dalam dakwahnya sehingga mereka bertaubat, dan inilah yang menjadi
salah satu alasan nama masjidnya Masjid Jami’ At-Taubah Lapeo, kemudian dialihkan
namanya masjid Nuruttaubah Lapeo.

Dalam menyebarkan agama Islam berbagai cara yang ditempuh oleh imam lapoe, dimana ia
menarik perhatian masyarakat atau orang disekitarnya dalam mengajarkan agama, secara
bartahap beliau mengikuti kebudayaan-kebudayaan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut.

Beliau mengajak masyarakat sekitar membangun mesjid tetapi dalam kenyataannya tak
semudah dibayangkan. Imam Lapeo harus berhadapan dengan maraknya perjudian, ramainya
warga Mandar yang masih mabuk-mabukkan dengan minuman kebanggaannya adalah
Manyang Pai’. (Tuak).

Masyarakat sendiri secara bertahap menghilangkan kebiasaan yang mereka lakukan. Bukan
hanya dengan mengajak masyarakat di sekitarnya membangun masjid Imam Lapeo juga
sering bertamu di rumah masyarakat jika sedang berjalan-jalan dan juga terkadang
masyarakat mendatangi rumah beliau untuk meminta doa dan petunjuk jika ada masalah yang
mereka hadapi atau mempunyai keiinginan. Beliau juga terkenal dengan sikap dermawannya
sampai-sampai beliau berhutang jika ada masyarakat yang memerlukan bantuan. Hal ini
dituturkan oleh penulis sejarah Imam Al-Lapeo.

Dalam buku yang memuat tentang perjalanan hidup Imam Lapeo yang ditulis oleh cucu
Imam Lapeo sendiri Syarifuddin Muhsin, ada 74 karamah (kelebihan) dalam kisah hidup
Imam Lapeo. Sebagian di antaranya, menyelamatkan orang tenggelam, melerai perkelahian
di Parabaya, menghentikan penyiksaan KNIL, jadi perlindungan Arajang Balanipa, berbicara
dengan orang mati, menangkap ikan di laut tanpa kail, memendekkan kayu, menghardik
jenazah, mengatasi pendoti-doti (guna-guna), sholat jum'at pada tiga tempat pada waktu
bersamaan, menebang kayu dengan tangisan bayi.

Peran Imam Lapeo, tidak terlepas dengan karamah kesufian yang ada pada dirinya. Misalnya,
tangannya kebal terhadap api. Diceritakan, selama belajar di hadapan Sayyid Alwi bin Sahil
Jamalulail, Imam Lapeo juga bertindak sebagai penuntun unta terhadap gurunya dalam
berbagai perjalanan.

Saat sang guru Sayyid Alwi bin Sahil Jamalulail bersama muridnya Imam Lapeo melakukan
perjalanan antara Mekkah dan Madinah, karena keamanan di jalan kurang terjamin, mereka
singgah istirahat dan berkemah di jalanan. Ketika itu, sang gurunya mengetahui Imam Lapeo
mengisap rokok. Sang Guru langsung mengambil rokok tersebut dari tangannya, dan rokok
yang terbakar itu ditekankan ke telapak tangan muridnya. Dalam keadaan demikian, Imam
Lapeo tidak merintih dan tidak merasakan kesakitan, malah hal itu dibiarkannya sampai
semuanya selesai.

Sementara, pengalaman pertama Imam Lapeo ketika baru saja berada di Mandar, adalah
penduduk setempat mencoba mengujinya, melakukan semacam permainan berbahaya. Waktu
itu, Imam Lapeo sedang khutbah di atas mimbar pada hari Jumat, dan bersamaan itu pula
muncul suatu gumpalan api yang sangat tajam cahayanya.

Gumpalan api yang pada mulanya laksana sebutir telur yang sinarnya sangat tajam itu, tiba-
tiba menjadi besar dan bergerak dari depan dengan kencangnya menuju ke hadapan Imam
Lapeo. Pada saat menentukan, dan sejengkal lagi gumpalan api itu mengenai mukanya, Imam
Lapeo hanya bergerak dengan isyarat matanya. Akhirnya gumpalan api itu menyingkir dari
hadapannya dan mengenai tembok di belakang mimbar. Tembok masjid tersebut hancur rata
dengan tanah.

Kisah lain adalah, Imam Lapeo menundukkan ular. Suatu ketika, Imam Lapeo diundang
mengahadiri pesta walimah di Tapalang, daerah Mamuju. Ketika resepsi makan dimulai, tiba-
tiba muncul ular-ular di piringnya yang ingin digunakannya untuk makan. Ular-ular tersebut,
tiada lain dari orang tertentu yang konon kabarnya ingin mempermalukan Imam Lapeo di
tengah pesta.

Karomah yang lain Imam Lapeo waktu itu sekitar tahun 60an masjid lapeo sedang dibangun
disamping makam lapeo namun terhambat masalah dana akhirnya tidak lama kemudian
datang beberapa unit truck dari makassar membawa semen pasir dan beberapa bahan
bangunan yang lain, warga sekitar heran karena tidak ada satupun dari mereka yang memesan
apalagi dana tidak ada. Mereka memutuskan untuk membicarakannya di rumah salah satu
warga di sana,ketika ditanyakan tentang siapa orang misterius yang memesan bahan
bangunan ini,si supir mengatakan bahwa yang memesan adalah seorang kakek berpakaian
serba putih bersorban dan kebetulan si supir melihat foto imam lapeo yang ada di lama rumah
warga tersebut,dan mengatakan bahwa orang itulah yang memesan bahan bangunan.

Imam Lapeo sebagai ulama sufi yang tawadhu, hanya menyaksikan ular-ular itu meliuk-
liukkan badannya, sampai akhirnya jumlah ular bertambah banyak dan meloncat-loncat.
Walhasil, hanya dengan mengancam ular-ular itu dengan memberi isyarat, maka dengan
seketika ular-ular tadi hilang dengan sendirinya.

Selain itu, sepeninggalan beliau, hingga saat ini, kuburannya banyak didatangi orang. Ada
suatu kaedah dalam kewalian dan kesufian yang menyatakan seorang waliyullah apabila
nampak karamah (keluarbiasaan) pada waktu hidupnya pada dirinya. Maka akan nampak pula
keramat pada waktu sesudah matinya.

Seorang sufi, apabila dikunjungi orang pada waktu hidupnya, maka dikunjungi pula banyak
orang sesudahnya matinya/makamnya. Hal inilah yang terjadi pada diri Imam Lapeo, dimana
kuburannya dikunjungi oleh banyak orang, terutama pada hari-hari tertentu, misalnya pada
saat-saat sebelum pemberangkatan dan setelah kembali dari tanah suci Mekkah.

Walaupun kiprah dan perjuangan Imam Lapeo sering direduksi dan dibumbui dengan hal-hal
yang berbau supranatural seperti cerita tentang kemampuannya berada di tiga tempat
sekaligus; menaklukkan para tukang Doti, namun intelektual sekelas Emha Ainun Najib
meyakini kisah-kisah Imam Lapeo.

Ada banyak nelayan Mandar yang percaya, bila terhadang badai di tengah laut, mengingat
sang panrita untuk kemudian memanggil namanya adalah salah satu cara menaklukkan badai.
Ya, itulah salah satu bentuk betapa orang Mandar menganggap Imam Lapeo sebagai ulama
berkaramah. Banyak rumah di Mandar memasang fotonya di dinding rumah.

K. H. Muhammad Thahir adalah ulama yang tidak mendakwah dalam lisan saja. Dia juga
ulama yang konkrit peranannya. Di tengah masa penuh kesulitan (perang, sarana transportasi
yang tidak memadai, penduduk pribumi yang belum mengamalkan Islam). K. H. Muhammad
Thahir bermukim di banyak kampung di pesisir Sulawesi Barat, hingga ke Bambang Loka.
Menurut hasil pencatatan anak cucunya, setidaknya ada 17 mesjid yang tersebar di pesisir
Sulbar yang pembangunannya diprakarsai oleh K. H. Muhammad Thahir. Sepertinya belum
ada ulama, tokoh, dan pejabat di Sulbar yang bisa menyamai rekor Imam Lapeo

Menurut beliau sendiri dalam pengakuannnya guru-gurunya adalah:

1. Ayahnya sendiri, Muhammad (Penghafal Al-Qur’an)

2. Kakenya, Abdul Karim/Sapparaja/Kanne’ Buta (penghafal Al-Qur;an)

3. Guru Langgo’ di Pambusuang.

4. Guru-guru di pulau Salemo (Pangkep)

5. Guru-guru di Pare-Pare antara lain Al Yafi’I (ayahanda Prof. H. M. Ali Al Yafi’)

6. Guru-guru di pulau Madura (antara lain K.H. Kholil Bangkalan) dan pulau Jawa.

7. Guru-guru di Singapura, Malaka dsb.

8. Guru-guru di Padang (Sumatra Barat)

9. Habib Sayyid H.M. Alwi bin Sahal Jamalul Lail

10. Syekh Hasan Al Yamani

11. Dan lain-lain.

Imam Lapeo wafat pada usia 114 tahun, tanggal 17 Juni 1952 di Lapeo (sekarang wilayah
Kec. Campalagian, Kab. Polman). Dimakamkan di halaman Masjid Nur Al-Taubah di Lapeo
yang dibangunnya. (Di daerah Mandar lebih dikenal dengan sebutan Masigi Lapeo ‘Masjid
Lapeo’ yang terkenal dengan menaranya yang tinggi). Makamnya, sampai saat sekarang ini
banyak dikunjungi/diziarahi oleh masyarakat yang datang dari berbagai daerah..
7. Dt. Sangkala.

Hingga saat ini belum ada info detail tentangnya. Maaf sebelumnya belum ada referenci
yang kuat dan detail yang membahas sejarah riwayat beliau.

Label: Artikel Pendidikan

2 Responses so far.

1.

WINELOSE says:

29 Agustus 2015 16.03

Numpang ya kakak admin terima kasih juga untuk info nya


Agen Sbobet
Agen Sbobet
Agen Judi
Agen Bola
Baccarat Online
Casino Online
Agen Asia77
Agen IBCBET ONLINE
Agen SBOBET ONLINE
Agen JUDI ONLINE
Agen CASINO ONLINE
Agen Bonus Sbobet
Prediksi Bola

2.

bpk muliadi says:

25 April 2016 03.30

KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS


BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK
SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH
HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI.
JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_
terima kasih.‫للا ىلص هلهتوكيلعوملسو هيلع هللا ىلص هللالا‬

KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS


BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK
SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH
HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI.
JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_
terima kasih.‫للا ىلص هلهتوكيلعوملسو هيلع هللا ىلص هللالا‬

KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS


BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK
SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH
HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI.
JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_
terima kasih.‫للا ىلص هلهتوكيلعوملسو هيلع هللا ىلص هللالا‬

Leave a Reply

Posting Lebih Baru Posting Lama


Search my

Anda mungkin juga menyukai