Anda di halaman 1dari 3

AHMAD SURKATI DAN AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH

Ahmad Surkati menurut ejaan dan nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad As-
Soorkattiy Al-Anshary. Ahmad adalah nama yang diberikan ketika beliau lahir, Muhammad
nama ayahnya, sedang As-Soorkattiy menurut bahasa/dialek Sudan, Soor berarti buku-buku,
kitab-kitab - Kattiy adalah banyak. As adalah awalan sebagaimana bahasa Arab Al-Kitab, As-
Syams, An-Nur dan seterusnya. As-Soorkattiy disini berarti : suka membaca, gemar
membaca atau banyak ilmu. Gaya nama seperti itu tampaknya memiliki persamaan dengan
kebiasaan nama-nama Jawa, seperti; Sugiarto, Sugih - Kaya dan Arto - Harta. Al-Anshary
adalah nama marga beliau yang menunjukkan bahwa beliau dari kelompok Anshar. Suku
Ahmad Assoorkattiy Al-Anshary didalam tulisan ini akan ditulis dengan ejaan Ahmad Surkati
sebagai ejaan yang lazim dipakai untuknya di Indonesia.

Ahmad Surkati dilahirkan di desa Udhfu dan sebagian orang mengatakan didesa Argu -
kedua desa ini berada dalam wilayah Dunggula Sudan, beliau lahir pada tahun 1292 H atau
1874 M.

Menurut cerita beliau kepada G.F. Fijper juga pada Otobiografi (ditulis oleh Muhammad Noor
Al-Anshary, karena pada usia tuanya beliau menderita 'buta'), beliau meninggalkan Sudan
dalam usia muda dengan tujuan ke Mekkah untuk memperdalam ilmu yang telah ia miliki.
Ternyata sasaran yang dibutuhkan bagi kepentingan yang dimaksud berada di Madinah dan
beliau pun kesana. Disana, Ahmad Surkati memperdalam ilmu yang berkaitan langsung
dengan agama Islam seperti Tata Bahasa, Sastra dan lain-lain yang diperlukan untuk
kepentingan pemahaman kandungan Al-Qur'an disamping Ilmu Tafsir, Hadits, Fiqh dan
Tauhid.

Selain dari itu beliau juga menyelami Falsafah, Falak dan Ilmu Ketabiban yang disebutnya
dengan Tibb Yunani. Di Madinah ini pula beliau menyerap Tajdid lewat karangan Ibn
Taymiyyah dan Ibn Qayyim Al-Jawziyyah sekalipun dalam kondisi sembunyi-sembunyi karena
buku-buku Tajdid dari Ibn Taymiyyah, Ibn Qayyim, Al-Afghany dan Abduh adalah buku-buku
yang tidak dibenarkan beredar oleh pemerintah waktu itu.

Dengan pengetahuan dan semangat pembaharuan ini kemudian (di Indonesia) Ahmad
Surkati dituduh lawan-lawan perjuangan pembaharuan sebagai Wahabi. Ahmad Surkati tidak
dapat disebut Wahabiyah karena disamping beberapa perbedaan sikap terhadap
pembaharuan didalamnya, Ahmad Surkati juga membantahnya. "Tangan saya gemetar ketika
menulis bantahan ini (Wahabiyyah - yang dituduhkan pada saya) bukan karena saya takut
terhadap gerakan yang keras itu. Melainkan karena saya memang tidak mengetahui apalagi
mengikutinya".

Menurut G.F. Fijper : "Tetapi Al-Surkati tidak dapat disebut sebagai seorang wahabi yang
merebut Mekkah dalam tahun 1924, Al-Surkati sudah lama meninggalkan Mekkah dan
menetap di Jawa".

Surkati merupakan orang Sudan pertama yang memperoleh gelar Allamah. Disamping gelar
ini, pengetahuan Surkati yang menonjol adalah salah satu dari penyebab kehadirannya di
Batavia (Jakarta) 1911 M.

Surkati datang ke Indonesia atas permintaan lembaga pendidikan Jamiat Khair. Jamiat Khair
adalah suatu organisasi pendidikan yang menggunakan metode modern. Jamiat Khair
didirikan 1905. Anggota-anggota organisasi ini sebagian besar adalah orang-orang Arab
tetapi Jamiat Khair bukan organisasi Arab, Hussein Djayadiningrat, Ahmad Dahlan (pendiri
Muhammadiyah) dan beberapa orang lagi yang kemudian berpengaruh pada pergerakan
bangsa, merupakan anggota dari organisasi ini.

Sekalipun Jamiat Khair tergolong organisasi yang memiliki cara dan fasilitas modern namun
pandangan keagamaan khususnya yang menyangkut persamaan derajat yang merupakan
bagian penting dari ajaran Islam belum terserap dengan baik, apalagi bagi kelompok-
kelompok kolot. Ini dibuktikan dengan kerasnya pemuka-pemuka Jamiat Khair dalam
menentang Surkati yang memfatwakan persamaan derajat, yang kemudian populer dengan
"Masalah Kafaah".

Kekurangan pengetahuan pemuka-pemuka Jamiat Khair akan pandangan Ahmad Surkati


yang tidak membedakan sesama manusia kecuali atas dasar taqwa sebagaimana ajaran
Islam yang murni, menyebabkan Jamiat Khair terantuk ketika Surkati menyampaikan fatwa
yang menyangkut persamaan derajat itu.

Bermula dari fatwa inilah keluarnya Surkati dari Jamiat Khair dan berhenti selaku Kepala
Bidang Pendidikan dari lembaga tersebut yang kemudian mendirikan Al-Irsyad Al-Islamiyyah.

Pada mulanya hubungan Surkati dengan pemuka-pemuka Jamiat Khair yang kolot (kelompok
yang menerjemahkan Sayyid atau Syarifah bermakna Ningrat) berjalan cukup lancar.
Perbedaan pandangan atau permasalahan khilafah tidak menjadikan hubungan mereka
putus. Kurang lebih 3 (tiga) tahun Surkati memimpin lembaga pendidikan ini. Namun ketika
Surkati berfatwa tentang kafaah, tentang persamaan derajat kelompok ini serta merta
memandang Surkati orang yang tidak patut duduk di bidang pendidikan mereka.

Hubungan Surkati dengan Ahmad Dahlan sudah terjalin sebelum adanya Muhammdiyyah
maupun Al-Irsyad, yaitu kala keduanya masih berkecimpung di Jamiat Khair.

Seperti disampaikan tadi bahwa Ahmad Dahlan adalah anggota Jamiat Khair dan Surkati
sebagai Kepala Bidang Pendidikan Jamiat Khair. Sebagai orang pergerakan yang berpikiran
maju maka bagi Ahmad Dahlan kehadiran Surkati di lembaga ini berlanjut dengan
persahabatan. Untuk diri KH. Ahmad Dahlan, Surkati menyatakan : "Tidak ada ketakabburan
dan kefanatikan (Ta'assub) pada dirinya, dia adalah seorang yang mengabdi pada agama
Islam dengan segala keikhlasannya. Ahmad Dahlan telah berunding dengan saya perihal
akan didirikannya Muhammadiyyah. Dia telah membaca karangan Ibn Taymiyyah, Ibn
Qayyim Al-Jawziyyah, Muhammad Abduh dan karangan-karangan lain yang senada".

Perundingan antara Surkati dengan KH. Ahmad Dahlan sama sekali bukan perunding
pembagian porsi (Surkati bergerak dikalangan Arab dan Ahmad Dahlan dikalangan pribumi)
seperti yang banyak beredar, khususnya dikalangan Muhammadiyyah, sama sekali tidak
benar.

Seperti diketahui bahwa mulai 1911 hingga 1914 Surkati masih terikat perjanjian pada Jamiat
Khair, sedang Muhammadiyyah berdiri 18 November 1912, dengan itu tidak memungkinkan
Surkati berkecimpung langsung di Muhammadiyyah.

G.F. Fijper menyatakan : "Yang benar-benar merupakan gerakan pembaharuan dan ada
persamaannya dengan gerakan pembaharuan reformis di Mesir adalah gerakan
pembaharuan Al-Irsyad yang artinya "Pimpinan". Nama lengkapnya ialah Jam'iyyat al-Ishlah
wal Irshad artinya : Perhimpunan bagi Reformis dan Pimpinan. Rupanya nama ini diambil
dari Jam'iyyat al-Da'wa wal Irshad di Mesir yang didirikan oleh Muhammad Rashid Ridha.
Pendiri Al-Irshad di Indonesia adalah Ahmad bin Muhammad al-Surkati al-Anshary, seorang
asing keturunan Arab berasal dari Sudan. Saya pribadi kenal baik dengan alim ini di Jakarta".

Dalam bukunya yang berjudul : Sejarah Islam di Indonesia 1900 - 1950 - Pijper menerangkan
juga : "Haji Agus Salim meyakinkan saya bahwa kiai Haji Ahmad Dahlan mengetahui tentang
Reformisme Mesir itu, tetapi pemimpin Muhammdiyyah yang kemudian tidak mengadakan
penyelidikan dalam hal ini. Seperti sudah dikatakan di depan, bahwa Muhammadiyyah timbul
sebagai reaksi terhadap zending Protestan dan misi Roma Katolik, baru kemudian boleh
disebut Gerakan Reformisme".

Anda mungkin juga menyukai