Anda di halaman 1dari 67

2-1 Nafsiyyah dan Salbiyyah –

Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH.


Sholeh Darat

TERJEMAH TAUHID

‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬


Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah


Penerbit: Sahifa Publishing

Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid


Sabilul Abid KH. Sholeh Darat
TENTANG KETUHANAN (ILĀHIYYAT)

“Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah engkau untuk Nabi dan ucapkanlah
salam penghormatan kepadanya.”

(QS. al-Aḥzāb [33]: 56)

Sifat Wajib Allah

(Nafsiyyah dan Salbiyyah)

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī meneruskan pembahasan tentang sifat yang wajib dimiliki oleh
Allah s.w.t. Beliau berkata:

‫اب بِالْ َع َد ْم‬ ِ ِ


ُ ‫ َك َذا َب َقاءٌ اَل يُ َش‬                ‫ب لَهُ الْ ُو ُج ْو ُد َو الْق َد ْم‬
ٌ ‫َف َواج‬

“Maka wajb bagi Allah sifat wujud (ada) dan qidam (dahulu), begitu juga baqa’ (kekal)
yang tidak dicampuri oleh ‘adam (ketiadaan).”

Allah wajib bersifat wujud. Maksudnya, Dzāt yang pasti ada, tanpa didahului ketiadaan.
Ketika Allah bersifat wujud, maka Allah pasti bersifat qidam (tidak ada awal bagi wujudnya)
dan wajudnya abadi. Ketika Allah bersifat wujūd dan qidam, maka Allah pasti
bersifat baqā’ (kekal wujudnya, tidak akan tiada dan tidak diawali oleh ketiadaan).

Penjelasan

Sifat wajib Allah yang wajib diketahui oleh seorang mukallaf adalah sifat wujūd.
Menganggap bahwa wujūd merupakan sifat adalah bentuk kemoderatan (sikap longgar) para
ulama Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah. Sebab, menurut Imām al-Asy‘arī, wujud itu ‘ainu
maujūd, dzātu maujūd. Wujūd itu ‘Ainu Dzāt, bukan sifat. Sedangkan menurut Imām al-
Māturīdī, wujud adalah sifat, bukan ‘Ainu Dzāt. Sebab, definisi wujud adalah ḥāl (keadaan)
yang menetap pada dzāt, selagi dzāt itu ada, maka sifat wujud juga ada. Wujūd merupakan
batas antara ada dan tidak ada, karenanya wujūd tidak bisa naik ke derajat maujūd (sesuatu
yang ada) seperti warna putih, juga tidak bisa turun ke derajat ‘adam (sesuatu yang tidak
ada), karena ḥāl  (keadaan) bukan sesuatu yang ada, bukan pula sesuatu yang tidak ada.
Pahamilah masalah ini!

Sifat yang juga wajib bagi Allah adalah sifat qidam, yang berarti dahulu, tanpa didahului oleh
ketiadaan. Tidak didahului ketiadaan dinamakan qidam (dahulu), sedangkan tidak ada akhir
atau tidak menemui ketiadaan dinamakan baqā’ (kekal).

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:


‫ف بُْر َها ُن ه َذا الْ ِق َد ُم‬ ِ ُ َ‫َو أَنَّهُ لِ َما َين‬
ٌ ‫ خُمَال‬                      ‫ال الْ َع َد ُم‬

‫صافُهُ َسنِيَّ ْة‬ ِ َّ ِ‫قِيَ ُامهُ ب‬


ِ ‫الن ْف‬
َ ‫ ُمَنَّز ًها أ َْو‬                     ‫س َو ْح َدانيَّ ْة‬

‫َص ِدقَا‬ ٍ ٍ ٍِ ِ
ْ ‫ َو َوالَد َك َذا الْ َولَ ْد َو اأْل‬            ‫َع ْن ض ٍّد أ َْو شْبه َش ِريْك ُمطْلَ َقا‬

“Dan bahwasanya Allah menyalahi segala yang baru yang berhubungan dengan ‘adam
(ketiadaan) menjadi dalil sifat qidam (dahulu) ini.”

“(Wajib juga bagi Allah) memiliki sifat qiyāmuhu binafsihi (berdiri sendiri) dan
waḥdāniyyah (esa) seraya disucikan dan ditinggalkan sifat-sifatNya.”

“(Allah itu) disucikan dari yang berlawanan, dari yang menyerupai, dari sekutu secara
mutlak, serta dari wālid (ayah atau ibu), begitu juga dari anak dan teman.”

Sifat yang juga wajib bagi Allah adalah mukhālafatu lil-ḥawādits yang berarti berbeda
dengan sesuatu yang baru dan menerima ketiadaan (‘adam). Adapun tanda bahwa Allah
bersifat mukhālafatu lil-ḥawādits (berbeda dengan makhluk-Nya) adalah Allah
bersifat qidam (dahulu). Tidak ada satu pun makhluk yang bersifat qidam. Sebab,
arti qidam adalah tidak ada permulaan bagi wujudnya, sedangkan wujud semua makhluk
pasti didahului ketiadaan dan akan berakhir dengan ketiadaan lagi.

Sifat yang juga wajib bagi Allah adalah qiyāmuhu binafsihi  (berdiri sendiri), yakni Allah
berdiri dengan Dzāt-Nya sendiri, tidak butuh pada dzāt lain. Tidak seperti sifat warna putih
yang membutuhkan tempat untuk bertempat. Allah adalah Dzāt, bukan sifat yang menempati
dzātnya sendiri.

Sifat wajib bagi Allah yang keenam adalah Waḥdāniyyah (esa), yakni Esa dalam dzāt, sifat,
dan pekerjaan-Nya. Allah wajib memiliki sifat-sifat tersebut. Allah bersifat Maha Agung,
terhindar dari kebalikan sifat-sifat tersebut, tidak ada yang menyerupai-Nya, tidak ada sekutu
bagi Allah secara mutlak, baik dalam dzāt, sifat maupun pekerjaan, tidak ada satu pun yang
menyamai Allah. Allah tidak memiliki ayah, anak, ataupun saudara.

Penjelasan

Allah wajib memiliki sifat mukhālafatu lil-ḥawādits (berbeda dengan semua makhluk),


artinya berbeda dengan dzāt dan sifat makhluk, Allah bukan jirm, jauhar, ‘aradh, (51) bukan
pula juz’ (partikular), kull (menyeluruh atau umum), tidak memiliki arah, baik atas, bawah,
depan, belakang, kanan, maupun kiri, tidak berhubungan dengan posisi makhluk, tidak di
atasnya, di bawahnya, di depannya, di belakangnya, di kanan ataupun di kirinya. Adapun
yang tebersit dalam hatimu tentang Allah, maka Allah tidak seperti itu.

Jika syaithan berbisik di hatimu: “Wahai manusia, jika Allah bukan jirm,


‘aradh, juz’, kull, maka seperti apa hakikat Allah?” Maka jawablah: “Hai mal‘ūn (syaithan
yang dilaknat), tidakkah kau belum tahu.”

ُ‫اَل َي ْعلَ ُم اهللَ إِاَّل اهلل‬.


“Tidak ada yang mengetahui Allah selain Allah sendiri.”

ِ ‫الس ِميع الْب‬


‫صْي ُر‬ ِِ ِ
َ ُ ْ َّ ‫س َكمثْله َش ْيءٌ َو ُه َو‬
َ ‫لَْي‬.

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan
Maha Melihat.” (QS. asy-Syūrā [42]: 11).

“Wahai syaithan penggoda manusia, tidakkah kau tahu dan mengambil pelajaran dari ruh
yang ada dalam dirimu? Engkau tidak tahu seperti apa bentuknya, apa warnanya, di mana
tempatnya, menghadap ke mana, ke atas atau ke bawah, itu saja engkau tidak tahu, padahal
ruhmu adalah sesuatu yang baru, bagaimana engkau bisa tahu hakikat Dzāt
yang qadīm (dahulu)? Pastinya engkau juga tidak bisa mengetahuinya.”

Kewajibanmu hanya meyakini dengan pasti bahwa Allah wajib wujudnya, tidak perlu terlalu
banyak berpikir. Sepertihalnya engkau meyakini bahwa ruhmu itu ada, tapi tidak tahu seperti
apa, cukup meyakini keberadaannya saja, tidak harus mengetahui bentuknya, sama sekali
tidak.

Sifat yang juga wajib bagi Allah adalah qiyāmuhu binafsihi  (berdiri sendiri) artinya Allah
berdiri dengan Dzat-Nya sendiri, tidak butuh pada yang lain dan tidak butuh pada yang
menciptakan. Sebab, jika Allah butuh pada yang lain, berarti Allah adalah sifat, jika Allah
adalah sifat, Allah tidak bisa memiliki sifat ma‘ānī (52) dan ma‘nawiyyah (53). Jika Allah
butuh pada yang menciptakan, berarti Allah adalah Dzāt yang baru, sifat baru Allah ini
mustahil karena Allah telah bersifat qidam (dahulu) dan baqā’ (kekal).

Sifat yang juga wajib bagi Allah adalah Waḥdāniyyah (Esa), artinya, Allah Esa di dalam
dzāt, sifat dan pekerjaan-Nya. Waḥdāniyyah tidak boleh diartikan waḥdatu dzāt seperti
madzhab kāfir ḥulūliyyah, yang menyatakan bahwa Allah menyatu dengan makhluknya,
keyakinan seperti itu hukumnya kafir. Na‘ūdzu billāh.

Arti waḥdāniyyah dalam ilmu tauhid adalah menafikan al-kumūm-ul-khamsah (bilangan


lima):

Waḥdāniyyah dzāt, berarti meniadakan al-kamm-ul-muttashilu fidz-dzāt dan al-kamm-ul-


munfashilu fidz-dzāt, maksudnya Dzāt Allah tidak tersusun dan tidak ada makhluk lain yang
menyerupai Allah.

Waḥdāniyyah shifat, berarti meniadakan al-kamm-ul-muttashilu fish-shifat dan al-kamm-ul-


munfashilu fish-shifat. Maksudnya, tidak ada sifat Allah yang berbilangan (seperti dua
qudrah) dan tidak ada makhluk yang memiliki sifat yang menyamai Allah.

Waḥdāniyyah af‘āl, berarti menafikan al-kamm-ul-munfashilu fidz-dzāt. Maksudnya, tidak


ada makhluk yang mampu menciptakan sesuatu.

Kesimpulannya, tidak ada satu pun makhluk yang memiliki sifat dan pekerjaan seperti Allah.
Adapun jika kita melihat ada seseorang, misalnya saja Zaid bisa melakukan atau berbuat
sesuatu, maka itu hanya kasbu ‘abdi yang bersamaan dengan qudrah Allah, hamba
yang kasb, Allah yang menciptakan.

Allah s.w.t. berfirman:


‫اهللُ َخلَ َق ُك ْم َو َما َت ْع َملُ ْو َن‬.

“Padahal Allah-lah yang menciptakan engkau dan apa yang engkau perbuat itu.” (QS.
Shāffāt [37]: 96).

Sifat Allah yang telah disebutkan berjumlah 6 sifat. Pertama Shifat Wujūd, ini disebut
sifat nafsiyyah. Adapun yang lima sifat setelahnya (qidam, baqā’, mukhālafatu lil-ḥawādits,
qiyāmuhu binafsihi, dan waḥdāniyyah) disebut sifat salbiyyah.

Shifat Nafsiyyah adalah sifat yang menetap pada dzāt selama dzāt itu ada.
Sebagaimana jirm yang membutuhkan tempat atau ruang secukupnya untuk bertempat, hal itu
harus ada selama jirm masih ada.

Shifat Salbiyyah adalah sifat yang menolak segala hal yang tidak patut bagi Allah s.w.t.
Maka madlūl (yang ditunjuk atau yang diterangkan) dari lima Shifat Salbiyyah itu tidak ada,
tidak seperti madlūl-nya sifat qudrah  (berkuasa) dan irādah (berkehendak) yang tampak.

Makna sifat qidam adalah menolak adanya ketiadaan di awal, maka jadilah qidam (dahulu,


tidak ada awalnya). Makna sifat baqā’ adalah menolak ketiadaan di akhir, maka
jadilah baqā’ (kekal, tidak musnah). Sifat mukhālafatu lil-ḥawādits (berbeda dengan
makhluk-Nya) adalah menolak adanya persamaan Allah dengan makhluk-Nya, baik dari segi
dzāt, sifat maupun af‘āl (perbuatan). Makna sifat qiyāmuhu binafsihi (berdiri sendiri) adalah
menolak sifat butuh kepada yang lain atau kepada yang menciptakan.
Sifat waḥdāniyyah menolak bilangan dalam dzāt, sifat, dan af‘āl. Dari penjelasan ini menjadi
jelas bahwa sifat salbiyyah memang tidak ada madlūl-nya, tidak seperti sifat ma‘ānī.

Catatan:

51). Keterangan: 1. Jirm adalah setiap sesuatu yang membutuhkan ruang kosong secukupnya
untuk bertempa. 2. Jauhar ada 2 macam: jauhar fard dan jauhar murakkab.

1). Jauhar fard adalah jirm yang sangat kecil sehingga tak bisa dipecah atau dibagi lagi.

2). Jauhar murakkab adalah jirm kecil untuk menyempurnakan susunan jism.


1. Jism adalah jirm yang besar. 2. ‘Aradh adalah sifat yang menempel pada jirm.

52). Sifat ma‘ānī adalah sifat yang wujūd (ada) sehingga jika dibukakan hijab maka sifat-sifat
tersebut akan bisa dilihat ataupun didengar seperti ilmu, sifat itu benar-benar wujūd (ada).
(Lihat Syaikh Nawawī bin ‘Umar al-Jāwī, Fatḥ-ul-Majīd, Surabaya, al-hidāyah, tt. Hal. 37.
Lihat juga al-Imām Sayyid Muḥammad as-Sanusī, Umm-ul-Barāhīn, Surabaya, al-Ḥaramain,
tth. Hal. 97)

53). Sifat ma‘nawiyyah adalah amrun i‘tibārī, yakni sesuatu yang tidak ada dalam


kenyataannya, hanya dianggap ada oleh akal (Lihat: Syaikh Nawawī bin ‘Umar al-
Jāwī, Fatḥ-ul-Majīd, Surabaya, al-hidāyah, tt. Hal. 37).

Halaman:
2-2 Sifat Wajib Allah (Ma’ani) –
Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH.
Sholeh Darat

TERJEMAH TAUHID

‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬


Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah


Penerbit: Sahifa Publishing
Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid
Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

Sifat Wajib Allah

(Ma‘ānī)

Setelah selesai membahas sifat nafsiyyah dan salbiyyah, Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī


melanjutkan pembahasan pada sifat ma‘ānī. Beliau berkata:

.‫ت‬
ْ َ‫ضا َك َما ثَب‬ ِّ ‫أ َْمًرا َو ِعْل ًما َو‬
َ ‫الر‬

“Dan (wajib bagi Allah itu) sifat Qudrah dan Irādah. Dan (Irādah ini) berbeda dengan
‘Amr (perintah), ilmu, dan Ridhā sebagaimana yang telah tetap.”

Allah wajib bersifat qudrah (berkuasa), berkuasa dalam menciptakan ataupun meniadakan,


juga wajib bersifat irādah (berkehendak) yang mana kehendak Allah ini berbeda
dengan amr  (perintah), ‘ilmu, dan ridhā, sebagaimana pendapat ulama Ahl-us-Sunnah wal-
Jamā‘ah.

Penjelasan.

Allah s.w.t. bersifat qudrah (berkuasa). Makna qudrah secara bahasa (bagi makhluk) adalah


kekuatan dan kekuasaan. Sedangkan makna qudrah (bagi Allah) adalah sifat yang
memudahkan untuk menciptakan dan meniadakan sesuatu yang ada. Orang mu’min wajib
mengetahui wilayah sifat qudrah Allah dalam menciptakan dan meniadakan, karena Allah
bersifat mukhālafatu lil-ḥawādits (berbeda dengan makhluk).

Allah juga wajib bersifat irādah (berkehendak). Makna irādah bagi makhluk adalah


menyengaja, berkeinginan, atau berkehendak. Sedangkan makna irādah bagi Allah adalah
sifat yang menetap pada Dzāt-Nya yang memudahkan-Nya memastikan hal yang boleh
bagi mumkināt  (sesuatu yang mungkin ada atau mungkin tidak ada). Hal-hal yang boleh
bagi mumkināt ada enam, biasa disebut al-Mumkināt-ul-mutaqabbilat (perkara-perkara
mungkin yang saling berlawanan). (541).

1. Wujud, lawannya adalah tiada.


2. Sifat, seperti warna putih lawannya adalah warna hitam.
3. Masa, seperti masa terjadi angin topan pada masa Nabi Nūḥ a.s., lawannya adalah masa
Nabi ‘Īsā a.s.
4. Tempat, seperti ada di Mesir, lawannya adalah ada di selain Mesir.
5. Arah, seperti ada di barat, lawannya adalah ada di timur.
6. Ukuran, seperti panjang, lawannya adalah pendek.

Keberadaan enam hal tersebut adalah wazhīfah (fungsi)nya irādah, sedangkan


perwujudannya adalah wazhīfah qudrah. Contoh, Wujudnya Zaid
adalah wazhīfah sifat qudrah, adapun Zaid hidup pada zaman Nabi Muḥammad s.a.w., warna
kulitnya putih, badannya tinggi, bertempat tinggal di Negara Makkah, maka ini semua
adalah wazhīfah sifat irādah. Adapun bagaimana caranya, kita tidak tahu hakikat
sifat qudrah dan sifat irādah, kita hanya wajib mengetahui atsar (bekas atau hasil) dari
sifat qudrah dan irādah Allah s.w.t.

Haram mengatakan: “Sifat qudrah telah melakukan ini”, “Lihatlah apa yang telah dilakukan
oleh sifat qudrah”, kata-kata seperti ini menimbulkan pemahaman bahwa sifat qudrah yang
menciptakan, jika berkeyakinan seperti ini maka dihukumi kafir. Na‘ūdzu billāh.

Allah s.w.t. berfirman:

‫ال لِ َما يُِريْ ُد‬ َ َّ‫إِ َّن َرب‬.


ٌ َّ‫ك َفع‬

“Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.” (QS. Hūd
[11]: 107).

‫و اهللُ َعلَى ُك ِّل َش ْي ٍء قَ ِد ْيٌر‬.


َ

“Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. al-Mā’idah [5]: 40).

Orang awam tidak wajib mengetahui secara detail ta‘alluq (hubungan)


sifat qudrah dan irādah, karena hal itu sulit bagi pemahaman mereka. Di bagian belakang
nanti in syā’ Allāh akan dijelaskan ta‘alluq tersebut, sekedarnya saja, agar bisa dijangkau
oleh pemahaman orang awam.

Seorang mukallaf harus mengetahui dan meyakini bahwa ta‘alluq sifat irādah Allah itu tidak


selaras dengan amr (perintah) Allah. Maksudnya, tidak semua hal yang dikehendaki Allah
adalah hal yang diperintahkan-Nya. Misalnya, sejak zaman azali Allah menghendaki
kufurnya Fir‘aun dan Abū Jahal, tapi Allah tidak memerintahkan keduanya untuk kufur,
karenanya Allah mengutus Nabi Mūsā a.s. dan Nabi Hārūn a.s. Sebagaimana disebutkan
dalam firman-Nya:

‫ َف ُق ْواَل لَهُ َق ْواًل لَِّينًا لَ َعلَّهُ َيتَ َذ َّك ُر أ َْو خَيْ َشى‬.

“Maka berbicaralah engkau berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah-
lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thāhā [20]: 44).

Terkadang sesuatu yang diperintah oleh Allah adalah sesuatu yang tidak dikehendaki-Nya,
semisal imannya Fir‘aun dan Abū Jahal, hal itu diperintahkan oleh Allah, tapi tidak
dikehendaki oleh-Nya. Hanya Allah yang mengetahui hikmah dalam masalah ini.

Allah s.w.t. berfirman:

‫اَل يُ ْسأ َُل َع َّما َي ْف َع ُل َو ُه ْم يُ ْسأَلُْو َن‬.

“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.”
(QS. al-Anbiyā’ [21]: 23).

Terkadang Allah menghendaki sesuatu sekaligus memerintahkannya, seperti imannya


Sayyidinā Abū Bakar. Terkadang Allah tidak menghendaki sekaligus tidak memerintahkan,
seperti kufurnya orang-orang yang beriman.
Seorang mukallaf wajib meyakini bahwa sifat irādah bukan sifat ‘ilmu, karena ta‘alluq sifat
ilmu mencakup hal yang wājib, mustaḥīl, dan jā’iz, sedangkan ta‘alluq sifat irādah hanya
pada hal yang jā’iz saja. Wajib pula meyakini bahwa sifat irādah bukanlah ridha. Sebab,
tidak selalu apa yang dikehendaki Allah itu diridhai oleh-Nya, seperti kufur. Kufur
merupakan sesuatu yang dikehendaki oleh Allah, tapi tidak diridhai-Nya. Hal ini sesuai
dengan ketetapan para ulama Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah. Maka, Fahamilah masalah ini!

Berhukum kafir seseorang yang menisbatkan 20 sifat Allah ini pada dirinya, maksudnya dia
berkeyakinan bahwa 20 sifat ini ada dan melekat pada dirinya, misal: “Sifat qudrah Allah itu
ya sifat qudrah-ku ini.” Sebab, sebagaimana telah dijelaskan di awal, orang yang berkata:
“Sifat qudrah telah melakukan ini” maka dia dihukumi kafir.

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

.‫ب‬ ِّ ‫فَا ْتبَ ْع َسبِْي َل احْلَ ِّق َو اطَْر ِح‬


ْ َ‫الري‬

“Wajib pula bagi Allah sifat ilmu dan tidaklah dikatakan bahwa ilmu Allah itu muktasab
(diusahakan), maka ikutilah jalan yang ḥaqq dan campakkan segala keraguan!”

Allah wajib bersifat ‘ilmu, artinya Allah mengetahui segala hal, baik sesuatu yang wājib,
mustaḥīl maupun jā’iz. Secara syara‘ dan akal, tidak bisa dibenarkan apabila ilmu Allah
diperoleh dengan cara nazhar atau dengan dalil.

Ketika engkau sudah mengetahui wajibnya sifat qudrah, irādah, dan ‘ilmu bagi Allah, maka
pegangi dan ikutilah jalan yang benar, buanglah keragu-raguan dan kebingunganmu, ikutilah
yang benar dan buanglah yang batil.

Penjelasan

Allah wajib bersifat ‘ilmu. ‘Ilmu adalah sifat yang tetap pada Dzāt Allah, yang dapat meliputi
dan mengetahui segala hal yang wujud, baik yang wājib, mustaḥīl, maupun jā’iz
dengan ta‘alluq tanjizi qadīm (552) dan tanpa didahului ketidaktahuan. Pengetahuan Allah
terhadap segala sesuatu adalah secara ijmālī (global) dan tafshīlī (terperinci,
detail), juz’ī  (bagian-bagian), kullī (keseluruhan), semuanya terang dan jelas
dalam ‘ilmu Allah. ‘Ilmu Allah tidak ada batasnya. Tidak sah secara syara‘ mengatakan
bahwa ‘ilmu Allah diperoleh dengan proses kasb (adanya usaha).

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

َّ ‫ص ْر بِ ِذ ْي أَتَانَا‬
.‫الس ْم ُع‬ َ َ‫مُثَّ الْب‬

“(Wajib bagi Allah) sifat Ḥayāt (Maha Hidup), begitu juga Kalām (Maha Berfirman),
Sam‘ (Maha Mendengar) dan Bashar (Maha Melihat). Dengan (yang tiga) ini (yakni
Kalām, Sam‘ dan Bashar) telah datang pada kita dalil sam‘ī.”

Allah wajib bersifat ḥayāt (hidup). Sifat ḥayāt Allah tidak sama dengan ḥayāt makhluk yang


membutuhkan rūḥ dan nafas. Kita hanya wajib meyakini bahwa Allah bersifat ḥayāt, jangan
engkau berpikir seperti apa ḥayāt Allah.
Allah juga wajib bersifat kalām (berfirman) yang tanpa huruf, tanpa suara, dan tanpa apapun.
Allah juga wajib bersifat sam‘ (mendengar) yang tanpa membutuhkan telinga atau apapun.
Allah juga wajib bersifat bashar (melihat) yang tanpa membutuhkan perangkat mata atau
apapun. Sebab, semua sifat Allah itu mukhālafatu lil-ḥawādits (berbeda dengan makhluk-
Nya). Telah sampai kepada kita dalil al-Qur’ān yang menunjukkan bahwa Allah
bersifat kalām, sam‘ dan bashar.

Penjelasan

Sifat ḥayāt adalah sifat yang menjadikan tetapnya sifat qudrah, irādah, dan ‘ilmu. Contoh,


wujudnya Zaid adalah wazhīfah-nya sifat qudrah. Sedangkan apakah Zaid tinggi, pendek,
pandai, bodoh, awal, akhir, adalah wazhīfah-nya sifat irādah. Kekuatan yang dimiliki Zaid
yang asalnya hanya air mani kemudian bisa menjadi manusia yang punya kekuatan
adalah wazhīfah-nya sifat ‘ilmu. Dzāt yang memiliki tiga sifat tersebut (qudrah,
irādah dan ‘ilmu) harus memiliki sifat ḥayāt (hidup).

Makna sifat kalām adalah kalām Allah yang tanpa huruf dan tanpa


suara. Ta‘alluq sifat kalām pada sesuatu yang wājib, jā’iz dan mustaḥīl.

Adapun bentuk ta‘alluq sifat kalām Allah adalah sebagai berikut. (563).

1. Berupa perintah, seperti perintah shalat, maka dinamakan kalām amr.


2. Berupa larangan, seperti larangan berzina, maka dinamakan kalām nahi.
3. Berupa khabar (memberi informasi pada hambanya), seperti cerita Fir‘aun, maka
dinamakan kalām khabar.
4. Berupa informasi bahwa nanti orang mu’min akan masuk surga dan orang kafir akan masuk
neraka, maka dinamakan kalām wa‘du wal-wa‘īd (janji dan ancaman).
5. Firman Allah:

‫إِ َّن اهللَ َعلَى ُك ِّل َش ْي ٍء قَ ِد ْيٌر‬.

“Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.” (QS. al-Baqarah [2]: 20).

Maka ta‘alluq-nya adalah wājib ‘aqlī.

6. Firman Allah:

‫مَلْ يَلِ ْد َو مَلْ يُ ْولَ ْد‬.

“Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan.” (QS. al-Ikhlāsh [112]: 3).

Maka ta‘alluq-nya adalah mustaḥil ‘aqlī.

7. Firman Allah:

ِ ‫السم ِاء ماء فَأَخرج بِِه ِمن الثَّمر‬


‫ات ِر ْزقًا لَ ُك ْم‬ ِ
َ َ َ َ َ ْ ً َ َ َّ ‫و أَْنَز َل م َن‬. َ

“Dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu
segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu.” (QS. al-Baqarah [2]: 22).
Maka ta‘alluq-nya adalah ja’iz ‘aqlī.

Dari sini dapat diketahui bahwa ta‘alluq kalām ada bermacam-macam, semuanya


dinamakan kalām ibārah, yaitu kalām Allah yang telah tertulis dalam al-Qur’ān.

Tidak boleh mengatakan bahwa al-Qur’ān adalah jadīd (baru), kecuali dalam rangka belajar,
maka boleh menganggap bahwa al-Qur’ān itu baru, maksudnya meyakini bahwa huruf dan
suara al-Qur’ān itu baru, tetapi dalam ucapan, harus tetap mengatakan bahwa al-Qur’ān
itu qadīm (dahulu) sebagai bentuk tatakrama kepada Allah s.w.t. Adapun madlūl dari kalām
‘ibārah itu qadīm (dahulu) tanpa huruf dan tanpa suara.

Allah wajib bersifat sam‘ dan bashar, artinya mendengar dan melihat, di mana


keduanya mukhālafatu lil-ḥawādits (berbeda dengan pendengaran dan penglihatan makhluk).

Dalil bahwa Allah wajib memiliki sifat kalām, sam‘ dan bashar, telah disebutkan dalam al-
Qur’ān:

Allah s.w.t. berfirman:

‫و َكلَّ َم اهللُ ُم ْو َسى تَكْلِْي ًما‬.


َ

“Dan Allah telah berbicara kepada Mūsā dengan langsung.” (QS. an-Nisā’ [4]: 164).

Allah s.w.t. telah menghilangkan ḥijāb (574) dengan Nabi Mūsā a.s. maka beliau bisa
mendengar langsung kalām Allah tanpa huruf dan tanpa suara,
semua rūḥāniyyah dan jasmaniyyah beliau mendengar kalām Allah s.w.t.

Allah s.w.t. berfirman:

ِ ‫إِ َّن اهلل مَسِ يع ب‬.


‫صْيٌر‬ َ ٌْ َ

“Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Luqmān [31]: 28).

Para ulama Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah sepakat bahwa Allah wajib memiliki sifat kalām,
sam‘ dan bashar karena telah jelas disebutkan dalam al-Qur’ān dan hadits.

Catatan:

1. 54). Tuḥfat-ul-Murīd, hal. 122.


2. 55). Terbukanya segala sesuatu yang wajib, mustaḥīl dan jā’iz bagi Allah (Lihat Syaikh Nawawī bin
‘Umar al-Jāwī, Fatḥ-ul-Majīd, Surabaya, al-hidayah, tt. Hal. 27).
3. 56). Tuḥfat-ul-Murīd, hal. 130.
4. 57). Maksud ḥijāb di sini adalah penghalang. Dunia adalah ḥijāb, demikian pula akhirat juga
merupakan ḥijāb terhadap Allah s.w.t. Tegasnya, semua makhluk adalah ḥijāb penghalang yang
menghalangi seorang hamba untuk sampai kepada al-Ḥaqq ‘azza wa jalla. (lihat: Rafiq-
ul-‘Ajm, Mausū‘ātu Mushthalaḥāt-it-Tashawwuf-il-Islām, Beirut, Maktabah Lubnan Nasyirun.
1999 M. hal. 223-224).

Halaman:
2-3&4 Sifat Idrak & Asma’ Allah
yang Diambil dari Sifat-Nya –
Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH.
Sholeh Darat

TERJEMAH TAUHID

‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬


Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah


Penerbit: Sahifa Publishing
Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid
Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

Sifat Idrāk

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī melanjutkan pembahasan dengan membahas tentang perselisihan


ulama dalam masalah sifat idrāk.

Beliau berkata:

.‫ف‬ ِِ ٍ ِ
ُ ْ‫ص َّح فْيه ال َْوق‬
َ ‫َو عْن َد ُق ْوم‬

“Apakah Allah memiliki (sifat) idrāk atau tidak, diperselisihkan oleh ulama. Dan menurut
sebagian ulama: “Telah sah padanya tawaqquf”.”

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah apakah Allah memiliki sifat idrāk atau tidak.
Para ulama muta’akhirin berbeda pendapat dalam masalah ini, pendapat yang dianggap lebih
benar adalah mauqif, yakni tidak menetapkan dan juga tidak meniadakan sifat idrāk pada
Allah. Wallāhu a‘lam.

Lebih utama tidak membahas masalah ini dengan orang awam, karena bisa menimbulkan
prasangka yang tidak patut bagi Allah. Cukuplah mereka meyakini bahwa Allah Maha Kuasa
dan Maha Berkehendak. Adapun tentang idrāk dan takwīn, mereka tidak wajib mengetahui,
karena keduanya sudah masuk dalam ta‘alluq shifat qudrah yaitu shifat af‘āl. Semua
penjelasan di atas adalah pendapat Imām Abū Ḥasan al-Asy‘arī.

Asmā’ Allah yang Diambil dari Sifat-Nya

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī melanjutkan pembahasan tentang penetapan asmā’ (nama) untuk


menjelaskan sifat wajib bertempat pada maushūf (yang disifati).

Beliau berkata:

ِ ‫مَسِ ع ب‬
.‫صْيٌر َما يَ َشا يُِريْ ُد ُمتَ َكلِّ ٌم‬ ٌَ

“(Allah adalah) Dzāt yang Hidup, Ber‘ilmu, Berkuasa,

Berkehendak, Mendengar, dan Melihat. Apa saja yang Dia inginkan maka Dia
kehendaki”

“Dan wajib bagi Allah memiliki sifat Kalām, maka Dia adalah) Mutakallim (Dzāt yang
berfirman).”

Ketika Allah wajib bersifat ḥayāt (hidup) maka Allah menjadi Ḥayyun (Dzāt Yang Maha


Hidup). Ketika Allah wajib bersifat ‘ilmu (mengetahui) maka Allah menjadi ‘Ālimun (Dzāt
Yang Maha Mengetahui). Ketika Allah wajib bersifat qudrah (berkuasa)
dan irādah (berkehendak) maka Allah menjadi Qādirun (Dzāt Yang Maha Kuasa)
dan Murīdun (Dzāt Yang Maha Berkehendak). Ketika Allah wajib bersifat sam‘ (mendengar)
dan bashar (melihat) maka Allah menjadi Sāmi‘un (Dzāt Yang Maha Mendengar)
dan Bāshirun (Dzāt Yang Maha Melihat). Hal-hal yang dikehendaki dengan masyī’ah juga
dikehendaki dengan irādah, ini menunjukkan
bahwa masyī’ah dan irādah adalah murādif (beda lafazh tapi maknanya sama). Ketika Allah
wajib bersifat kalām (berfirman) maka Allah menjadi Mutakallimun (Dzāt Yang Maha
Berfirman). Telah cukup tujuh asmā’  (nama) untuk tujuh sifat ma‘ānī.

Penjelasan

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī mengikuti Imām Abū Ḥasan al-Asy‘arī yang berpendapat bahwa
Allah tidak memiliki ḥāl, maksudnya tidak memiliki shifat ma‘nawiyyah. Oleh karena itu,
beliau tidak berkata: “Kaunuhū Ḥayyan”, tapi beliau mengatakan “Ḥayyan” untuk
menetapkan asmā’ (nama) yang diambil dari tujuh shifat ma‘ānī yang telah disebutkan.
Harusnya qudrah adalah qādirun, harusnya Dzāt yang bersifat irādah adalah murīdun.

Menurut pendapat yang dipilih, Allah tidak memiliki ḥāl (581). Ḥāl itu mustaḥīl bagi Allah
s.w.t. Sebab, ḥāl bukanlah sesuatu yang wujūd (ada) juga bukan sesuatu yang ‘adam (tidak
ada), tapi di antara keduanya. Perkara yang ditolak oleh Imām Abū Ḥasan al-Asy‘arī adalah
tetapnya ḥāl, bukan meniadakan asmā’ (nama), seperti Qādirun, Murīdun, dan seterusnya.
Ketika Dzāt Allah telah bersifat qudrah dan irādah, maka secara otomatis wajib
memiliki asmā’ Qādirun, Murīdun.

Sedangkan menurut Imām as-Sanusī, mengikuti pendapat Imām Abū Manshūr al-Māturīdī,
berpendapat bahwa Allah memiliki ḥāl ma‘nawiyyah. Ketika Dzāt telah
bersifat qudrah dan irādah misalnya, maka menjadi tetaplah Dzāt tersebut “kaunuhū
qādirun, kaunuhū murīdun” sebagai konsekuensi dari sifat qudrah dan irādah.

Kesimpulannya, ‘ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah telah sepakat bahwa Allah


itu Qādiran, Murīdan, dan seterusnya, perbedaan hanya dalam masalah ḥāl. Menurut Imām
as-Sanusī, tetapnya Qudrah menetapkan ḥāl yang dinamakan ma‘nawiyyah,
maka qudrah adalah shifat ma‘ānī, kaunuhū qādiran itu shifat
ma‘nawiyyah, Qādiran itu mulāzim (menetap) pada qudrah. Sedangkan menurut ulama yang
meniadakan ḥāl, maka Qādiran itu hanya ‘ibārah (ungkapan) dari adanya sifat qudrah yang
menetap pada Dzāt, maka qādiran itu amrun i‘tibārī. (592).

Kedua pendapat ini sama-sama dari ‘ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah. Pendapat yang
mengingkari adanya ḥāl ma‘nawiyyah bukan berarti mengingkari bahwa
Allah Qādiran dan Murīdan, sama sekali tidak.  Sebab, orang yang
mengingkari Qādiran dan Murīdan Allah dihukumi kafir. Na‘ūdzubillāh. Oleh karena itu,
berhati-hatilah dalam memahami dua pendapat ini.

Madzhab Mu‘tazilah meniadakan sifat-sifat ma‘ānī yang ada tujuh. Menurut mereka, yang


dinamakan qudrah adalah kiasan dari qādirun, mereka bertaka: “Allāhu qādirun bi dzātihī,
Murīdun bi dzātihī” (Allah Maha Kuasa dengan Dzāt-Nya, Maha berkehendak dengan Dzāt-
Nya) tanpa mempertimbangkan sifat qudrah dan irādah. Ini madzhab sesat yang tidak boleh
diikuti.
Catatan:

1. 58). Ḥāl, yaitu sesuatu yang ada tetapi tidak sampai tingkatan maujūd sehingga bisa dilihat dan
juga tidak sampai tingkatan ma‘dūm sehingga benar-benar tidak ada. (Syaikh Ibrāhīm al-
Bajūrī, Tuḥfat-ul-Murīdi ‘alā Jauharat-it-Tauḥīd, tahqiq: Dr. ‘Ali Jum‘ah. Kairo – Mesir,
Darussalam, 2002, hal. 137).
2. 59). Menurut ‘Ulamā’ yang menetapkan adanya ḥāl, sesuatu itu ada empat macam:
1. Maujūd, yaitu sesuatu yang bisa ditemukan dalam kenyataannya, seperti: bisa dilihat.
2. Ma‘dūm, yaitu sesuatu yang benar-benar tidak ada.
3. Ḥāl, yaitu sesuatu yang ada tetapi tidak sampai tingkatan maujūd sehingga bisa dilihat
dan juga tidak sampai tingkatan ma‘dūm sehingga benar-benar tidak ada.
4. Amrun i‘tibārī, yakni sesuatu yang tidak ada pada kenyataannya tapi dianggap ada oleh
akal. Contoh. Pakaian, ketika awalnya ditaruh didalam kotak, kemudian dikeluarkan maka
pakaian tersebut menjadi “tampak jelas”, “tampak jelas” ini bukanlah sifat tambahan bagi
pakaian, hanya saja akal menganggap bahwa “tampak” adalah sifat yang baru bagi pakaian (yang
awalnya tidak tampak).

Sebagian ‘ulamā’ yang lain menyatakan bahwa “ḥāl” tidak ada.

(Syaikh Ibrāhīm al-Bajūrī, Tuḥfat-ul-Murīdi ‘alā Jauharat-it-Tauḥīd, tahqiq: Dr. ‘Ali Jum‘ah.


Kairo – Mesir, Darussalam, 2002, hal. 137), lihat juga Syaikh Nawawī bin ‘Umar al-Jāwī, Fatḥ-
ul-Majīd, Surabaya, al-hidayah, tth., hal. 37).

Halaman:

2-5 Definisi Sifat – Terjemah


Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh
Darat
TERJEMAH TAUHID

‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬


Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah


Penerbit: Sahifa Publishing

Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid


Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

Definisi Sifat

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

ِ ‫الذ‬
‫ات‬ َّ ِ ‫ت بِغَرْيٍ أ َْو بِ َعنْي‬
ْ ‫لَْي َس‬
“……. Kemudian sifat-sifat dzāt itu bukan lain dari dzāt atau ‘ain-udz-dzāt.”

Sesungguhnya sifat dzāt bukanlah selain dzāt. Maksudnya, sifat tidak lepas dari dzāt, tapi
bukan ‘ain-udz-dzāt (dzāt itu sendiri). Ringkasnya, sifat dan dzāt bukanlah sesuatu yang
tunggal.

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī menjelaskan bahwa sifat dari suatu dzāt, seperti sifat wujūd atau
sifat qudrah, itu tidak terpisah dari dzāt tapi bukan ‘ain-udz-dzāt. Pada hakikatnya, dzāt
bukanlah sifat atau dzāt tidak sama dengan sifat. Seperti halnya warna putih bukanlah kertas,
dan kertas bukanlah warna putih, tetapi warna putih tidak terlepas dari kertas. Pahamilah ini!.

Jadi, sifat suatu dzāt tidak terpisah dari dzāt, tapi bukan ‘ain-udz-dzāt (dzāt itu sendiri),
karenanya sifat bukanlah dzāt dan dzāt bukanlah sifat, tapi sifat tidak terpisah dari dzāt.

Karena sifat tidak terpisah dari dzāt, untuk menjelaskan hal ini para ‘ulamā’ berkata:

‫َج ِل قُ ْد َرتِِه‬ ‫َتواضع ُك ِّل َشي ٍء لِ ُق ْدرتِِه أ ِ ِِ أِل‬.


ْ ‫َي ل َذاته‬
ْ َ ْ ُُ َ

“Segala sesuatu menjadi tawādhu‘ karena Dzāt Allah, maksudnya sebab sifat qudrah Allah.”

Karena setiap sifat tidak terpisahkan dari dzāt, maka para ‘ulamā’ mengatakan “li qudratihī”
bukan “li dzātihī”. Seseorang yang beribadah, menyembah sifat Allah saja, tanpa Dzāt-Nya,
maka hukumnya kufur, sedangkan orang yang menyembah Dzāt Allah saja, tanpa sifat-Nya
maka hukumnya fasik. Inilah makna ucapan sebagian ‘ulamā’:

‫َّص َف ِة‬ َّ ُ‫ فَالْ ُم ْستَ ِقْيم ِعبَ َادة‬،‫ َو َم ْن َعبِ َدمُهَا َف َق ْد أَ ْشر َك‬،‫ َو َم ْن َعبِ َد الْ َمعْىَن ُد ْو َن اأْل َمْسَ ِاء َف ُهو ِزنْ ِديْ ٌق‬،‫َم ْن َعبِ َد اأْل َمْسَاء ُد ْو َن الْ َمعْىَن َف َق ْد َك َفر‬
ِ ‫الذ‬
ِ ‫ات الْمت‬
ُ ُ َ َ َ َ
‫الص َف ِة‬
َّ ِ‫ب‬.

“Barang siapa menyembah sifat, terpisah dari dzāt (tidak menyembah dzāt) maka dia benar-
benar telah kufur. Barang siapa menyembah dzāt, tanpa sifat, maka dia berhukum kafir
zindiq (sebagian ‘ulamā’ mengatakan fasik). Dan, barang siapa menyembah keduanya (dzāt
dan sifat secara terpisah) maka dia benar-benar telah menyekutukan Allah. Maka orang
yang berada di jalan yang lurus adalah orang yang menyembah Dzāt yang memiliki sifat.”

Perkataan Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī dalam hal bait ini menolak pandangan orang-orang
Mu‘tazilah yang mengingkari adanya sifat-sifat ma‘ānī. Mereka meniadakan sifat-
sifat ma‘ānī agar tidak ada dua hal qidām (dahulu) yang sama,
semisal qudrah dan qādirun maka akan bertumpuk dua hal yang sama. Pendapat Mu‘tazilah
ini ditolak dengan bait di atas. Pahamilah ini!

Halaman:
2-6 Ta’alluq Sifat Ma’ani –
Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH.
Sholeh Darat

TERJEMAH TAUHID

‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬


Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah


Penerbit: Sahifa Publishing
Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid
Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

Ta‘alluq Sifat Ma‘ānī

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

ِ ‫مِب‬
ْ ‫َف ُق ْد َرةٌ ُ ْمك ٍن َت َعلَّ َق‬
‫ت‬

“Maka sifat Qudrah yang berta‘alluq dengan segala yang mungkin tidak akan berakhir
oleh sesuatu yang dita‘alluq olehnya.”

Ta‘alluq sifat qudrah pada sesuatu yang mungkin itu secara terus-menerus, tidak ada


putusnya sampai ke surga.

Penjelasan

Ta‘alluq adalah hubungan atau tuntutan sifat pada perkara yang lain.


Misalnya, Ta‘alluq sifat qudrah terhadap mumkināt (segala sesuatu yang mungkin)
maksudnya adalah tuntutan sifat qudrah pada maqdūr (sesuatu yang dikuasai). Demikian
halnya sifat sam‘, bashar, dan kalām.

Ketahuilah, tujuh sifat ma‘ānī tersebut jika dilihat dari segi memiliki ta‘alluq atau tidaknya


dibagi menjadi empat: (60).

1. Ta‘alluq pada mumkināt (sesuatu yang mungkin) saja, yaitu sifat qudrah dan irādah.


2. Ta‘alluq pada Wājibāt, Jā’izāt, dan Mustaḥilāt, yaitu sifat ‘ilmu dan kalām.
3. Ta‘alluq pada maujūdāt (sesuatu yang ada) saja, yaitu sifat sam‘ dan bashar.
4. Tidak memiliki ta‘alluq, yaitu sifat ḥayāt.

Ta‘alluq-nya sifat qudrah pada mumkināt (sesuatu yang mungkin) tidak ada putusnya, mulai


dari tidak ada menjadi ada, kemudian dari ada menjadi tidak ada lagi, lalu diwujudkan lagi,
kemudian adakalanya dimasukkan ke surga atau ke neraka. Hal itu tidak ada putusnya sampai
merasakan kenikmatan surga.

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

‫ب هَلَا َو ِمثْ ُل ِذ ْي‬ ِ


ْ ‫َو َو ْح َدةً أ َْوج‬

“Dan wajibkan esa bagi-Nya. Dan seperti qudrah ini adalah

Irādah dan ‘Ilmu, tetapi sifat ‘Ilmu merata (ta‘alluq-nya) kepada segala yang mungkin.”

Yakinlah bahwa sifat qudrah Allah tunggal. Maksudnya, wajib meyakini bahwa


sifat qudrah Allah tunggal, tidak berbilangan. Sifat irādah juga seperti sifat qudrah, yaitu
tunggal, tidak berbilangan. Keduanya ber-ta‘alluq pada mumkināt (segala sesuatu yang
mungkin) secara terus-menerus tanpa terputus, bedanya, sifat qudrah mewujudkan atau
meniadakan, sedangkan sifat irādah hanya menentukan saja.

Sifat ‘Ilmu juga seperti sifat qudrah dalam segi ta‘alluq-nya, sama-sama pada mumkināt dan


secara terus-menerus. Bedanya, sifat qudrah itu Ījād (mewujudkan) sedangkan ta‘alluq sifat
‘ilmu inkisyāf; bedanya lagi, ta‘alluq sifat ‘ilmu pada mumkināt adalah secara umum, baik
sebelum atau setelah wujudnya. Sebab, Allah berfirman:

‫و اهللُ بِ ُك ِّل َش ْي ٍء َعلِْي ٌم‬.


َ

“Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Ḥujurāt [49]: 16).

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

‫ضا َو ِاجبًا َو ال ُْم ْمتَنِ ْع‬


ً ْ‫َو َع َّم أَي‬

“Dan merata pula kepada yang wajib dan mumtani‘ (dicegah).

Seperti ‘ilmu adalah kalāmullāh maka hendaklah kita mengikuti.”

Ta‘alluq sifat ‘ilmu juga mencakup wājib ‘aqlī, sebagaimana Allah mengetahui Dzāt dan


sifat-Nya, dan juga mencakup muḥāl ‘aqlī, sebagaimana Allah mengetahui mustaḥīlnya
sekutu dan anak bagi-Nya. Sifat yang menyerupai sifat ‘ilmu dalam hal ta‘alluq-nya pada tiga
hal (jā’iz, wājib, dan mustaḥīl) adalah sifat kalām. Maka, selayaknya kita mengikuti pendapat
para ‘ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah dalam hal ta‘alluq sifat-sifat Allah.

Penjelasan

Maksud perkataan Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī adalah bahwa ta‘alluq sifat ‘ilmu adalah


pada wājib ‘aqlī, sebagaimana ‘ilmu Allah atas Dzāt, sifat, dan wājib wujūd-Nya; juga
pada mustaḥīl ‘aqlī, sebagaimana ‘ilmu Allah atas mustaḥīlnya Allah memiliki sekutu dan
anak; juga pada Jā’iz ‘aqlī, sebagaimana ‘ilmu Allah atas kebolehan wujudnya sesuatu yang
mungkin.

Ta‘alluq sifat kalām Allah juga pada sesuatu yang wājib, mustaḥīl, dan jā’iz. Ini sama dengan
sifat ‘ilmu, tetapi ada sedikit perbedaan. Ta‘alluq sifat ‘ilmu adalah inkisyāf,
sedangkan ta‘alluq sifat kalām adalah dilālah (petunjuk). Maksudnya, firman Allah ada
beberapa macam:

1. Menunjukkan pada wājib ‘aqlī, seperti firman Allah:

‫الص َم ُد‬
َّ ُ‫ اهلل‬.‫َح ٌد‬
َ ‫قُ ْل ُه َو اهللُ أ‬.

“Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu.” (QS. al-Ikhlāsh [112]: 1-2).
2. Menunjukkan pada mustaḥīl ‘aqlī, seperti firman Allah:

‫َح ٌد‬ ِ
َ ‫ َو مَلْ يَ ُك ْن لَهُ ُك ُف ًوا أ‬،‫مَلْ يَل ْد َو مَلْ يُ ْولَ ْد‬.

“Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara
dengan Dia.” (QS. al-Ikhlāsh [112]: 3-4).

3. Menunjukkan pada jā’iz ‘aqlī, seperti firman Allah:

‫الس َم ِاء َماءً طَ ُه ْو ًرا‬


َّ ‫و أَْنَزلْنَا ِم َن‬.
َ

“Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih.” (QS. al-Furqān [25]: 48).

‫اج نَْبتَلِْي ِه‬


ٍ ‫إِنَّا َخلَ ْقنَا اإْلِ نْ َسا َن ِم ْن نُطْ َف ٍة أ َْم َش‬.

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang
Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan).” (QS. al-Insān [76]: 2).

‫ َو اجْلِبَ َال أ َْوتَ ًادا‬،‫ض ِم َه ًادا‬


َ ‫أَمَلْ جَنْ َع ِل اأْل َْر‬.

“Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan? Dan gunung-gunung
sebagai pasak?” (QS. an-Naba’ [78]: 6-7).

Adapun jika dilihat dari sisi hukum syarī‘at, firman Allah adakalanya menunjukkan wājib,
ḥarām, wa‘du (janji), wa‘īd (ancaman), khabar (memberi informasi), basyīrah (kabar
gembira), nidzārah (peringatan), qishshah (cerita), juga ḥukum dan ḥikmah lain seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya. Jangan terlalu banyak membahas sifat kalām Allah dengan
orang awam.

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

َّ ِ‫َو ُك ُّل َم ْو ُج ْو ٍد أَنِ ْط ل‬


‫لس ْم ِع بِِه‬

“Dan setiap yang wujūd, ta‘alluq-kanlah sifat sam‘ dengannya,

Begitu juga sifat bashar dan idrāk jika dikatakan dengannya.”

Yakinilah bahwa segala sesuatu yang wujūd (sesuatu yang ada) itu di-ta‘alluq-i oleh
sifat sam‘, artinya ta‘alluq sifat sam‘ adalah pada sesuatu yang wujūd, begitu juga
sifat bashar dan sifat idrāk. Ini menurut pendapat yang menyatakan bahwa Allah memiliki
sifat idrāk.
Penjelasan

Sifat sam‘ dan bashar itu ta‘alluq-nya ada sesuatu yang wujūd, maksudnya sesuatu yang bisa


dilihat dan didengar. Adapun seperti apa ta‘alluq sifat sam‘ dan bashar pada sesuatu
yang wujūd itu tidak diketahui, hanya Allah yang mengetahui hakikatnya.

Sebagian ‘ulamā’ berpendapat bahwa sifatt sam‘ yang azali ber-


ta‘alluq pada masmū‘āt (segala sesuatu yang didengar) dan sifat bashar yang azali
pada mubsharāt (segala sesuatu yang dilihat). Wallāhu a‘lam.

Adapun sifat idrāk, sebaiknya jangan dibahas lagi, karena malah akan membuat bingung
orang-orang awam.

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

ِِ ِ
ْ َ‫و َغْي ُر عْل ٍم هذه َك َما َثب‬
‫ت‬

“Dan (sifat-sifat) ini adalah selain sifat ‘Ilmu sebagaimana yang telah tetap. Kemudian
Ḥayāt adalah satu sifat yang tidak ta‘alluq dengan sesuatu.”

Adapun empat sifat ini, yakni, kalām, sam‘, bashar, dan idrāk, menurut pendapat para
‘ulamā’ berbeda dengan sifat ‘ilmu, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’ān.
Sifat ḥayāt tidak punya ta‘alluq pada sesuatu yang wujūd.

Penjelasan

Sifat kalām, sam‘, dan bashar berbeda dengan sifat ‘ilmu. Sebab, keempat sifat tersebut


memiliki madlūl sendiri-sendiri. Misal, jika diterapkan pada makhluq, maka madlūl-nya
sifat kalām adalah perkataan, madlūl-nya sifat sam‘ adalah telinga karena sifat sam‘ adalah
indera pendengar, madlūl-nya sifat bashar adalah mata, karena sifat bashar adalah indera
penglihat, sedangkan madlūl-nya sifat ‘ilmu adalah mengetahui. Dengan perumpamaan
seperti ini, menjadi jelas bahwa keempat sifat tersebut tidak sama. Wallāhu a‘lam.

Halaman:

2-7 Asma’ dan Sifat-sifat Allah –


Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH.
Sholeh Darat
TERJEMAH TAUHID

‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬


Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah


Penerbit: Sahifa Publishing

Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid


Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

Asmā’ dan Sifat-sifat Allah

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī meneruskan pembahasan tentang asmā’ (nama-nama) dan sifat-


sifat Allah. Beliau berkata:

‫َو ِعْن َدنَا أَمْسَ ُاؤهُ ال َْع ِظْي َم ْه‬


“Dan menurut kami (Ahl-us-Sunnah) nama-nama Allah yang agung, begitu juga sifat-
sifat Dzāt-Nya adalah qadīm (dahulu).”

Menurut kami, ‘ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah, sesungguhnya asmā’ (nama-nama


Allah) yang agung dan sifat-sifat Dzāt Allah adalah qadīm (dahulu).

Penjelasan

Menurut ‘ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah, seorang mukallaf wajib meyakini bahwa


nama-nama dan sifat-sifat Dzāt Allah wajib adanya dan bersifat qadīm (dahulu).
Maksudnya, madlūl-nya nama (yang dinamai) adalah yang qadīm, bukan lafazh “Allah”-nya.
Sifat-sifat Dzāt, seperti sifat ma‘ānī yang ada tujuh, adalah qadīm, bukan maqdūr-nya.

Ada pula yang berpendapat bahwa yang dihukumi qadīm adalah kalāmullāh azali yang


menunjukkan pada nama-nama, seperti “ar-Raḥmān, ar-Raḥīm, Allāhu Lathīfun” itu
dihukumi qadīm, bukan lafazhnya.

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

‫َن امْسَاهُ َت ْوقِْي ِفيَّ ْة‬


َّ ‫اختِْيَر أ‬
ْ ‫َو‬

Jumhur ‘ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah mengatakan bahwa penetapan nama-nama dan


sifat-sifat Allah s.w.t. berdasarkan keterangan dari al-Qur’ān, Hadits, dan Ijmā‘ para ‘ulamā’.
Maka, janganlah engkau menetapkan nama atau sifat pada Allah tanpa ada dasar dari al-
Qur’ān dan Hadits.

Penjelasan

Kesimpulannya, tidak diperolehkan menetapkan nama atau sifat bagi Allah kecuali dengan
adanya idzin dari syara‘ (disebutkan dalam al-Qur’ān dan Hadits). Hanya nama dan sifat yang
diidzini oleh syara‘ saja yang boleh ditetapkan pada Allah. Seperti shabūr, syakūr,
ḥalīm. Shabūr berarti kesabaran Allah, maksudnya tidak langsung menimpakan siksa pada
orang yang maksiat, syakūr berarti Allah memberi pahala pada ‘amal-‘amal kecil, sedangkan
arti kata ḥalīm sama dengan shabūr.

Halaman:

2-8 Ta’wil dan Tafwidh –


Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH.
Sholeh Darat
TERJEMAH TAUHID

‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬


Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah


Penerbit: Sahifa Publishing

Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid


Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

Ta’wīl dan Tafwīdh

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

‫ص أ َْو َه َم التَّ ْشبِْي َها‬


ٍّ َ‫فَ ُك ِّل ن‬
“Dan tiap-tiap nash yang membimbulkan prasangka adanya keserupaan maka
ta’wīlkanlah ia atau serahkan kepada Allah dan bermaksudlah untuk menyucikan.”

Setiap nash al-Qur’ān dan Hadits yang menggambarkan, menunjukkan, atau memberi
pemahaman pada makna yang mustaḥīl bagi Allah maka harus engkau ta’wīl. Maksudnya,
ditangguhkan pada makna yang patut atau layak bagi Allah. Hal ini menurut pendapat
‘ulamā’ Khalaf, yaitu para ‘ulamā’ yang hidup setelah tahun 500 H. Atau, pasrahkan saja
pada zhāhirnya nash dan yakinilah mustaḥīl-nya makna zhāhir nash al-Qur’ān tersebut, ini
menurut pendapat para ‘ulamā’ Salaf, yaitu ‘ulamā’ yang hidup pada masa sahabat, tābi‘īn
dan tābi‘it tābi‘īn, yakni sebelum tahun 500 H. (611).

Penjelasan

Dalam menghukumi nash al-Qur’ān dan Hadits yang menunjukkan pada sesuatu yang
mustaḥīl bagi Allah, para ‘ulamā’ Salaf dan Khalaf berbeda pendapat.

Misalnya dalam menafsirkan firman Allah:

‫ك ذُو اجْلَاَل ِل َو اإْلِ ْكَر ِام‬


َ ِّ‫و َيْب َقى َو ْجهُ ِرب‬.
َ

“Dan tetap kekal Dzāt Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. ar-
Raḥmān [55]: 27).

‫اهلل َف ْو َق أَيْ ِديْ ِه ْم‬


ِ ‫ي ُد‬.
َ

“Kekuasaan Allah di atas kekuasaan mereka.” (QS. al-Fatḥ [48]: 10).

‘Ulamā’ Salaf pasrah atas makna kata “wajhu” (wajah) dan “yadun” (tangan). Mustaḥīl bagi
Allah memiliki wajah dan tangan yang sama dengan makhluk, Allah yang lebih tahu makna
kedua lafazh tersebut, kita hanya meyakini bahwa itu adalah firman Allah s.w.t.

‘Ulamā’ Khalaf mena’wil kedua lafazh tersebut, makna kata “wajhu rabbika” adalah “dzātu
rabbika” (Dzāt Tuhanmu). Ini termasuk dalam bab tasmiyat-ul-juz wa irādat-ul-
kull  (menyebutkan sebagian, tapi menghendaki keseluruhan). Sedangkan makna “yadullāh”
adalah “qudrah dan irādah”, yaitu Allah menguasai semua makhluk.

Contoh lain seperti sabda Nabi Muḥammad s.a.w.:

‫ث اللَّْي ِل اآْل ِخ ِر‬ ُّ ‫الس َم ِاء‬


ُ ُ‫الد ْنيَا ِحنْي َ َيْب َقى ثُل‬ َّ ‫يْن ِز ُل َربُّنَا َتبَ َار َك َو َت َعاىَل ُك َّل لَْيلَ ٍة إِىَل‬.
َ

“Rabb kita tabāraka wa ta‘ālā turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam
terakhir.”

‘Ulamā’ Salaf berpendapat: “wallāhu a‘lam atas makna lafazh rabbunā. Yang pasti, mustaḥīl


bagi Allah turun seperti turunnya makhluk”. ‘Ulamā’ Khalaf berpendapat, lafazh “rabbunā”
bermakna “malā’ikatu rabbinā” (malaikat tuhan kita). Jadi, yang turun adalah Malaikat,
bukan Allah.

Contoh lain adalah sabda Nabi Muḥammad s.a.w.:


‫ص ْو َرتِِه‬ َ ‫إِ َّن اهللَ َخلَ َق‬.
ُ ‫آد َم َعلَى‬

“Sesungguhnya Allah menciptakan Nabi Ādam a.s. dalam bentuk rupanya.”

Maksudnya, Allah menciptakan Nabi Ādam a.s. dengan memiliki sifat mendengar, melihat,
berkata, dan hidup. Ini menurut ‘ulamā’ Khalaf.

Seperti halnya firman Allah s.w.t.:

ْ ‫الرَّمْح ُن َعلَى الْ َع ْر ِش‬.


‫اسَت َوى‬

‘Ulamā’ Salaf menyatakan: “Wallāhu a‘lam atas makna istiwā’, mustaḥil bila


Allah istiwā’ di atas ‘arsy”. ‘Ulamā’ Khalaf menyatakan, Lafazh “istiwā’” bermakna
“istaulā”, artinya “yang memerintah dan berkuasa di atas ‘arsy.”

Ada seseorang yang datang menghadap Imām Mālik, dia bertanya: “Wahai Imam, seperti
apakah makna ayat:

ْ ‫الرَّمْح ُن َعلَى الْ َع ْر ِش‬.


‫اسَت َوى‬

Imām Mālik menunduk sejenak, kemudian berkata: “Makna istiwā’ itu tidak


diketahui, kaifiyyah-nya ghairu ma‘qūl (seperti apa istiwā’ itu tidak bisa dinalar). Beriman
dan memperlihatkan ayat ini hukumnya wājib, orang yang bertanya masalah ini berarti telah
membuat bid‘ah”. (aku menyangka engkau adalah orang yang sesat, kemudian aku
menyuruhnya pergi dan dia pun pergi). (622).

Imām Zamakhsyarī pernah bertanya kepada Imām al-Ghazālī tentang makna ayat tersebut,
Imām al-Ghazālī berkata: “Jika untuk mengetahui bentuk dan tempat rūḥ yang ada di dirimu
saja engkau tidak mampu, maka buat apa yang engkau ingin mengetahui keadaan Tuhanmu?
Sungguh engkau orang yang bodoh dan sama sekali tak punya tatakrama.” (633).

Ketika engkau tidak bisa mengetahui secara yakin wujūd rūḥ yang ada di dirimu, tak tahu
letak, warna, menghadap ke mana, ke atas atau ke bawah, maka buat apa engkau ingin
mengetahui sifat atau kondisi Tuhanmu? Sungguh bodoh dan sesat dirimu.

Allah s.w.t. berfirman:

ِ ِ َ ِ‫ َكذل‬.
ُ‫ك يُض ُّل اهللُ َم ْن يَ َشاءُ َو َي ْهد ْي َم ْن يَ َشاء‬

“Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi


petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (QS. al-Muddatstsir [74]: 31).

Catatan:

1. 61). Tuḥfat-ul-Murīd, hal. 156.


2. 62). Tuḥfat-ul-Murīd, hal. 157.
3. 63). Tuḥfat-ul-Murīd, hal. 157.
Halaman:

2-9 Kalamullah – Terjemah Tauhid


Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

TERJEMAH TAUHID

‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬


Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah


Penerbit: Sahifa Publishing

Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid


Sabilul Abid KH. Sholeh Darat
Kalāmullāh

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

ْ ‫َو َنِّز ِه الْ ُقْرآ َن أ‬


‫َي كَاَل َم ْه‬

“Sucikanlah al-Qur’ān yakni kalāmullāh dari sifat baru dan takutlah terhadap siksa-
Nya.”

Wahai mukallaf, yakinilah kesucian al-Qur’ān, yakni kalāmullāh yang azali dan suci dari
sifat baru. Sebab, al-Qur’ān bukanlah makhluk. Takutlah pada siksa Allah jika engkau
meyakini bahwa kalāmullāh adalah sesuatu yang baru.

Penjelasan

Seorang mukallaf wajib meyakini bahwa sifat kalām Allah, yakni kalām nafsi, bukanlah


sesuatu yang baru dan bukan pula makhluk, tapi qadīm (dahulu) tanpa huruf dan tanpa suara.
Adapun al-Qur’ān yang kita baca, yang ada hurufnya, adalah makhluk dan bersifat baru.
Namun, tidak boleh dikatakan bahwa al-Qur’ān adalah makhluk dan bersifat baru. Oleh
karena itu, tetap wajib mengatakan bahwa al-Qur’ān itu qadīm (dahulu), agar tidak
menimbulkan pemahaman bahwa al-Qur’ān adalah makhluk dan bersifat baru. (641).

Perbedaan pendapat dalam masalah sifat kalām mengakibatkan banyak ‘ulamā’ Ahl-us-


Sunnah wal-Jamā‘ah mendapat ujian berupa fitnah seperti Imām-ul-Bukhārī yang sampai lari
dari negaranya, beliau pun berdoa memohon kepada Allah: (652).

َ ‫ضيِن ْ إِلَْي‬
‫ك َغْيَر َم ْفُت ْو َن‬ ْ ِ‫الله َّم اقْب‬.
ُ

“Ya Allah, ambillah nyawaku menghadap-Mu dalam keadaan tidak difitnah.”

Hanya berselang empat hari, Imām al-Ghazālī pun wafat. ‘Īsā bin Dīnār dipenjara selama 20
tahun karena menolak mengatakan bahwa al-Qur’ān adalah baru. Imām Aḥmad bin Ḥanbal
juga dipenjara karena tidak mau mengakui sifat barunya al-Qur’ān. Imām asy-Sya‘bī ditanya
perihal sifat kalām Allah, dia menjawab: “Adapun Taurāt, Injīl, Zabūr dan al-Furqān (al-
Qur’ūn), empat hal ini adalah sesuatu yang baru”. Beliau mengatakan hal itu sambil memberi
isyarat pada jari-jarinya, akhirnya beliau selamat dari fitnah. Maksud perkataan beliau adalah:
“keempat jari-jariku ini adalah sesuatu yang baru.” (663).

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

ِ ‫ص لِْلح ُدو‬
‫ث َداًّل‬ ْ ُ ٍّ َ‫فَ ُك ُّل ن‬
“Maka setiap nash yang menunjukkan kebaruan al-Qur’ān, bawalah maknanya kepada
lafazh al-Qur’ān yang menunjuk kepada (sifat yang qadīm).”

Setiap nash al-Qur’ān yang menunjukkan bahwa al-Qur’ān itu baru, tangguhkanlah pada
lafazh al-Qur’ān yang bisa dibaca yang menunjukkan pada kalām Allah yang qadīm.

Penjelasan

Setiap nash al-Qur’ān yang menunjukkan bahwa al-Qur’ān adalah baru, seperti firman Allah
s.w.t.:

‫إِنَّا أَْنَزلْنَاهُ يِف ْ لَْيلَ ِة الْ َق ْد ِر‬.

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’ān) pada malam kemuliaan.” (QS.


al-Qadr [97]: 1).

Maka, tetapkanlah pada lafazh al-Qur’ān yang biasa kita baca dengan huruf dan suara, yang
diturunkan kepada Nabi Muḥammad s.a.w. dengan lafazh dan makna. Ada pula yang
berpendapat al-Qur’ān diturunkan dengan makna saja, kemudian malaikat Jibrīl a.s. membuat
ibarat lafazhnya. Pendapat yang lain mengatakan yang membuat ibarat lafazh adalah Nabi
Muḥammad s.a.w.

Pendapat yang mu‘tamad (bisa dibuat pegangan) adalah yang pertama, yakni lafazh dan
makna karena Allah telah menuliskan al-Qur’ān di lauḥ-ul-maḥfūzh dengan susunan yang
sama dengan mushḥaf yang kita temui saat ini. Kemudian Allah
menurunkan shaḥīfah (lembaran-lembaran) dari lauḥ-ul-maḥfūzh ke langit dunia, lalu
berhenti di suatu tempat yang bernama Bait-ul-‘Izzah. Selanjutnya secara bertahap
diturunkan ke dunia selama 23 tahun, sesuai dengan kejadian atau peristiwa yang terjadi di
dunia, bukan berdasar susunan al-Qur’ān yang ada saat ini. (674).

Setelah al-Qur’ān diturunkan semua, Nabi Muḥammad s.a.w. dan malaikat Jibrīl a.s.
melakukan tadarrus, membaca al-Qur’ān dengan susunan sebagaimana yang kita ketahui saat
ini, mulai ayat yang pertama kali turun, yakni:

‫ك الَّ ِذ ْي َخلَ َق‬ ِ


ْ ِ‫ا ْقَرأْ ب‬.
َ ِّ‫اس ِم َرب‬

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan”. (QS. al-‘Alaq [96]: 1).

Sampai ayat yang terakhir turun, yaitu:

‫ت لَ ُك ُم اإْلِ ْساَل َم ِد ْينًا‬ ِ ِ


ُ ‫ت َعلَْي ُك ْم ن ْع َميِت ْ َو َرضْي‬
ِ
ُ ‫ت لَ ُك ْم د ْينَ ُك ْم َو أَمْتَ ْم‬
ُ ‫الَْي ْو َم أَ ْك َمْل‬.

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk engkau agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islami itu jadi agama bagimu.” (QS. al-Mā’idah
[5]: 3).

Ada juga yang menyatakan bahwa ayat yang terakhir turun adalah:
ِ ‫و َّات ُقوا يوما تُرجعو َن فِي ِه إِىَل‬.
‫اهلل‬ ْ ُْ َ ْ ً َْ ْ َ

“Dan peliharalah dirimu dari (‘adzab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu engkau
semua dikembalikan kepada Allah.” (QS. al-Baqarah [2]: 281).

Dua puluh satu hari kemudian, Rasūlullāh s.a.w. wafat, dan al-Qur’ān telah tersusun rapi
seperti yang ada saat ini, sebagaimana yang telah dibuat tadarrus dengan malaikat Jibrīl a.s.
setiap bulan Ramadhān.

Catatan:

1. 64). Tuḥfat-ul-Murīd, hal. 160.


2. 65). Ibid. hal. 160.
3. 66). Ibid, hal. 160.
4. 67). Ibid., hal. 162.

Halaman:

2-10 Sifat Mustahil dan Sifat Ja’iz


bagi Allah – Terjemah Tauhid
Sabilul Abid KH. Sholeh Darat
TERJEMAH TAUHID

‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬


Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah


Penerbit: Sahifa Publishing

Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid


Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

Sifat Mustaḥil dan Sifat Jā’iz bagi Allah

Setelah selesai membahas hal-hal yang wājib bagi Allah Yang Maha Agung dan Mulia, yaitu
20 sifat wājib bagi Allah, Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī meneruskan pembahasan tentang hal-
hal yang mustaḥīl dan jā’iz bagi Allah s.w.t.

 
Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

ِ ‫ِّه َكالْ ُكو ِن يِف اجْلِه‬


.‫ات‬ ِ ‫يِف حق‬
َ ْ َ ْ

“Dan mustaḥīl pada hak Allah s.w.t. lawan dari sifat-sifat ini seperti keberadaan-Nya di
berbagai arah.”

Secara akal, semua kebalikan dari 20 sifat wajib itu mustaḥīl bagi Allah, misalnya Allah
bertempat di salah satu dari enam arah.

Penjelasan

Seorang mukallaf wajib mengetahui sifat-sifat yang secara akal mustaḥīl bagi Allah s.w.t.,
yakni kebalikan dari 20 sifat wajib. Allah mustahil bersifat ‘adam (tidak ada) kebalikan dari
sifat wujūd (ada), mustaḥīl bersifat ḥudūts (baru) kebalikan dari sifat qidam (dahulu),
mustaḥīl bersifat fanā’ (rusak) kebalikan dari sifat baqā’ (kekal), mustaḥīl
bersifat mumātsalatu lil-ḥawādits (sama dengan makahluk) kebalikan dari sifat mukhālafatu
lil-ḥawādits (berbeda dengan semua makhluk).

Mumātsalatu lil-ḥawādits (sama dengan makhluk) memiliki 10 bentuk: (681).

1. Allah mustaḥīl berupa jirm, baik yang tersusun (jisim) atau tidak tersusun (jauhar fard).
2. Allah mustaḥīl berupa ‘aradh (sifat) yang menempati jirm.
3. Allah mustaḥīl bertempat di salah satu arah jirm. Karenanya mustaḥīl bagi Allah berada di
atas atau di bawah ‘arsy, dan di sebelah kanan atau di kiri ‘arsy.
4. Allah mustaḥīl memiliki arah, maka mustaḥīl bagi Allah berada di atas, di bawah, di sebelah
kanan, atau di sebelah kiri.
5. Allah mustaḥīl masuk dan menempati ruang kosong untuk menempatkan Dzāt-Nya.
6. Allah mustaḥīl masuk pada ruang dan waktu. Maksudnya, masuk pada cakrawala tujuh lapis
langit dan tujuh lapis bumi, baik masuk ke dalam langit atau bumi, berada di atas atau di bawah
keduanya, semua mustaḥīl bagi Allah.
7. Allah mustaḥīl masuk pada waktu malam maupun siang. Allah tidak masuk pada waktu
malam maupun siang. Sebab, waktu malam maupun siang adalah sesuatu yang baru, mustaḥīl
sesuatu yang baru dimasuki Dzāt yang Qadīm. Inilah maksud dari:

ِ
ِ ‫اهلل بكْرةً و أ‬
‫َصْياًل‬ َ َ ُ ‫سْب َحا َن‬.
ُ

“Maha Suci Allah, di waktu pagi dan petang.”

8. Allah mustaḥīl memilik sifat-sifat makhluk. Seperti qudrah dan irādah makhluk, bergerak,


diam, berwarna mereka, putih, hitam. Semuanya mustaḥīl bagi Allah.
9. Mustaḥīl bagi Allah bersifat atau memiliki ukuran kecil atau besar. Adapun arti “Allah Akbar”
adalah “Keagungan Allah dalam martabat, kerajaan, dan kekuasaan-Nya”. Allah berfirman:

ُ ‫الْ َكبِْي ُر الْ ُمَت َع‬.


‫ال‬

“Yang Maha Besar lagi Maha Tinggi.” (QS. ar-Ra‘d [13]: 9).
10. Mustaḥīl bagi Allah mengambil manfaat dari ketetapan hukum-Nya atau af‘āl-Nya. Allah
menciptakan manusia bukan untuk mengambil manfaat dari mereka, yakni bukan agar manusia
memberi kemaslahatan bagi Allah, sama sekali bukan. Begitu juga ketetapan Allah tentang wajibnya
shalat atau kewajiban lain bagi manusia, itu bukan untuk memberikan manfaat dan maslaḥat kepada
Allah, sehingga Allah menciptakan manusia dan mewajibkannya shalat, sama sekali tidak.

Sepuluh hal tersebut adalah kebalikan dari sifat mukhālafatu lil-ḥawādits (berbeda dengan


semua makhluk).

Mustaḥīl jika Allah tidak berdiri sendiri atau iḥtiyāju li-ghairihī (butuh kepada yang lain),
seperti jika Allah adalah sifat yang bertempat pada dzāt atau butuh kepada yang menciptakan,
hal itu mustaḥīl karena bertentangan dengan sifat qiyāmuhu bi nafsihī (berdiri sendiri).

Mustaḥīl jika Allah tidak esa. Maksudnya, Dzāt Allah tersusun, ada makhluk yang dzātnya
sama dengan Allah, sifat Allah berbilangan, ada makhluk yang sifatnya sama dengan Allah,
atau ada makhluk yang mampu memberi efek pada yang lain. Inilah lima hal yang disebut al-
kumum-ul-khamsah, kebalikan dari sifat waḥdāniyyah (esa).

Tidak ada sesuatu atau siapapun yang bisa memberi efek pada yang lain. Api, makanan, dan
minuman tidak bisa memberi efek terbakar, kenyang, segar, baik dengan watak atau
kekuatannya. Allah-lah yang membakar, menjadikan kenyang, dan menjadikan segar
bersamaan dengan adanya api, makanan, dan air, berdasarkan hukum adat (kebiasaan) yang
sah jika tidak seperti itu. Maksudnya, Allah membuat kekhususan pada api untuk membakar
kayu, makanan untuk mengenyangkan, dan air untuk menyegarkan dengan syarat adanya
kebersamaan dan pertemuan. Namun, bukan berarti api, makanan, dan air memiliki kekuatan
membakar, mengenyangkan, dan menyegarkan. Qiyaskanlah semua hal pada adat kebiasaan
yang ada.

Mustaḥīl Allah bersifat ‘ajzun (lemah), yaitu tidak mampu menciptakan sesuatu yang


mungkin. Ini adalah kebalikan dari sifat qudrah (kuasa).

Mustaḥīl bagi Allah menciptakan sesuatu karena terpaksa, bukan atas kehendak-Nya sendiri,
tanpa sadar, karena lupa, karena suatu alasan atau ikut-ikutan, bukan murni karena kehendak
Allah, seperti bergeraknya jari-jari akan menggerakkan cincin, semua hal tersebut mustaḥīl.
Allah-lah yang menggerakkan jari-jari manusia dan menggerakkan cincin berdasarkan
kehendak-Nya, bukan karena ikut-ikutan.

Mustaḥīl Allah menciptakan sesuatu berdasarkan watak sesuatu tersebut, seperti membakar
yang menjadi watak api. Maksudnya, watak api adalah membakar sesuatu, dengan syarat
saling bertemu dan tidak ada sesuatu yang mencegah. Pada hakikatnya Allah-lah yang
menciptakan api dan menciptakan kebakaran, api sama sekali tidak punya kekuasaan, tak
punya watak dan tak punya kekuatan yang bisa membakar sesuatu. Allah-lah Dzāt yang
melakukan, bukan selain-Nya. Semua hal tersebut adalah kebalikan dari
sifat irādah (berkehendak).

Mustaḥīl bagi Allah bersifat jahl  (bodoh), zhann (berprasangka), dan syakk (ragu-ragu) yang


merupakan kebalikan sifat ‘ilmu.

Mustaḥīl bagi Allah bersifat maut (mati) yang merupakan kebalikan dari sifat ḥayāt (hidup),


atau bersifat summ (bisu) kebalikan dari sifat kalām (berfirman), bersifat ‘amā (buta),
kebalikan sifat bashar (melihat), bersifat bukm (tuli), kebalikan dari sifat sam‘ (mendengar).
Qiyaskanlah sendiri kebalikan dari sifat-sifat ma‘nawiyyah, seperti kaunuhū ‘ajīzan, dan
seterusnya.

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī meneruskan pembahasan tentang sifat jā’iz Allah s.w.t. Beliau
berkata:

.‫إِجْيَ ًادا إِ ْع َد ًاما ك ِر ْزقِ ِه الْغِنَا‬

“Dan jā’iz pada hak Allah sesuatu yang mungkin menjadikan dan meniadakan, seperti
memberi rezeki dengan kekayaan.”

Kata (‫)جائٌِز‬
َ menjadi khabar muqaddam, dan lafazh (‫)ما أ َْم َكنَا‬
َ menjadi mubtada’ mu’akhkhar.

Adapun sifat jā’iz Allah adalah menciptakan sesuatu yang mungkin atau meniadakannya
setelah menciptakannya, seperti memberi rezeki atau tidak kepada hambanya, keduanya
boleh bagi Allah. Maksudnya, Allah boleh menjadikan hambanya kaya atau miskin,
menjadikan hambanya hidup atau mati, sehat atau sakit, dan juga boleh mengadakan atau
meniadakan hal-hal yang mungkin.

Catatan:

1. 68). Tuḥfat-ul-Murīd, hal. 163-164.

Halaman:

Keesaan Allah dalam Penciptaan –


Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH.
Sholeh Darat
TERJEMAH TAUHID

‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬


Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah


Penerbit: Sahifa Publishing

Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid


Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

Keesaan Allah dalam Penciptaan

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī melanjutkan pembahasan tentang keesaan Allah dalam


penciptaan, tidak ada selain Allah yang mampu menciptakan apapun. Beliau berkata:
ِ ‫موفِّق لِمن أَراد أَ ْن ي‬
.‫ص ْل‬ َ َ َ ْ َ ٌ َُ

“Maka Allah-lah yang menciptakan hamba-Nya dan apa-apa yang dia perbuat, serta
memberikan taufiq kepada siapapun yang Dia kehendaki untuk sampai (kepada ridha-
Nya).”

Allah s.w.t. adalah Dzāt yang menciptakan semua hambanya sekaligus perbuatan mereka,
perbuatan baik maupun buruk. Allah jugalah Dzāt yang memberi pertolongan dalam
melakukan ketaatan pada hamba yang dikehendaki mendapat kasih-sayangNya.

Penjelasan

Allah s.w.t. telah menciptakan semua makhluk sekaligus perbuatan mereka. Menurut
para ‘ārifīn, hal ini disebut “waḥdat-ul-af‘āl”. Inilah maka firman Allah:

‫و اهللُ َخلَ َق ُك ْم َو َما َت ْع َملُ ْو َن‬.


َ

“Padahal Allah-lah yang menciptakan engkau dan apa yang engkau perbuat itu.” (QS.
ash-Shāffāt [37]: 95).

Ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada satu pun makhluk, baik jinn, manusia, malaikat,
hewan maupun benda mati seperti batu yang punya kemampuan melakukan sesuatu, sama
sekali tidak bisa. Karenanya, barang siapa yang meyakini bahwa api mampu membakar, jinn
dan syaithan bisa memberi madarat atau memberi keni‘matan berupa kesehatan dan
kekayaan, maka orang tersebut dihukumi kafir secara ijma‘.

Jika muncul pemikiran di otak orang awam atau otak orang yang akan tersesat karena ingin
menggugat Allah dengan ucapan: “Ya Allah, Tuhanku, mengapa Engkau menyiksaku karena
melakukan maksiat? padahal semua perbuatanku adalah ciptaan-Mu”. Ucapan seperti ini
tidak akan pernah ada di akhirat kelak, karena tidak ada satu pun makhluk yang bisa
membuat aturan seperti itu. Allah s.w.t. telah berfirman:

‫اَل يُ ْسأ َُل َع َّما َي ْف َع ُل َو ُه ْم يُ ْسأَلُْو َن‬.

“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.”
(QS. al-Anbiyā’ [21]: 23).

Dan juga bagaimana bisa ada manusia menuntut Allah, sedangkan Allah s.w.t. telah
berfirman:

ُ‫قُ ْل فَلِلَّ ِه احْلُ َّجةُ الْبَالِغَة‬.

“Katakanlah: “Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat”.” (QS. al-An‘ām [6]: 149).

Maksudnya, Allah memiliki hujjah yang jelas dan kuat sehingga mampu mengalahkan hujjah
makhluk-Nya. Kesimpulannya, Allah tidak menghendaki jika manusia mengajukan hujjah.
Sebab, Allah s.w.t. telah berfirman:
‫اَل يُ ْسأ َُل َع َّما َي ْف َع ُل َو ُه ْم يُ ْسأَلُْو َن‬.

“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.”
(QS. al-Anbiyā’ [21]: 23).

Karenanya, jika Allah menghendaki mengasihi hamba-Nya, maka Allah akan memberinya
taufiq, yakni memberi kekuatan melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan, dengan
anugerah Allah.

Manusia tidak boleh pasrah kepada Allah dalam hal taufiq, dengan berkata: “Aku tidak
melakukan ketaatan karena belum dikehendaki oleh Allah, aku pasrah kepada Allah. Jika aku
ditaqdirkan menjadi orang yang bahagia, aku akan mendapat taufiq dan mau beramal baik.
Jika aku ditaqdirkan menjadi orang yang celaka, aku tidak akan bisa melakukan amal shalih,
juga tidak ada gunanya amal shalih jika aku telah ditaqdirkan menjadi orang yang celaka.”
Orang yang mengatakan hal ini dihukumi kafir karena mengingkari Allah, kitab-Nya, dan
rasūl-Nya. Ucapannya tersebut lebih besar dosanya dibanding meninggalkan melakukan amal
shalih. Sebab, kitab-kitab Allah dan rasūl-rasūlNya menjelaskan dan memerintahkan untuk
melakukan amal baik dan menjauhi kekufuran dan maksiat, bukan perintah untuk berpegang
pada taqdir.

Sedangkan dalam hal rezeki dan musibah, kita wajib tawakkal dan berpegang
pada qadhā’ dan qadar, bukan dalam hal amal. Karenanya, Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

‫إِ َذا ذُكَِر الْ َق َد ُر فَأ َْم ِس ُك ْوا‬.

“Ketika disebut-sebut perihal qadar, maka berhentilah, jangan kau lanjutkan.”

Kewajiban kita adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya, bukan pasrah
pada qadhā’ dan qadar.

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

.ُ‫َو ُمْن ِجٌز لِ َم ْن أ ََر َاد َو ْع َده‬

“Dan Allah meninggalkan orang yang ingin menjauh dari-Nya dan meluluskan apa-apa
yang telah Dia janjikan kepada orang yang dikehendaki-Nya.”

Allah adalah Dzāt yang menyesatkan hamba-Nya yang dikehendaki untuk dimurkai-Nya.


Makna Khādzil adalah dimampukan dan dimudahkan dalam melakukan maksiat, ini
kebalikan taufiq. Allah adalah Dzāt yang menepati janji-Nya dengan memberi pahala pada
hamba-Nya yang dikehendaki baik. Maksudnya, Allah menepati janji-Nya dengan
memasukkan ke surga hamba-Nya yang telah ditaqdirkan meninggal dalam keadaan iman.
Penjelasan

Allah tidak menghendaki memberi pertolongan dan memberi kekuatan melakukan ketaatan
kepada orang yang dikehendaki jauh dan tidak dikasihi oleh Allah. Makna Khādzil adalah
tidak berkehendaki memberi pertolongan untuk mampu melakukan ketaatan dan
dimampukan melakukan kemaksiatan. Kesimpulannya, semua tindakan orang itu adalah
maksiat karena dia tidak diberi kekuatan melakukan ketaatan, sedangkan orang yang diberi
taufiq senantiasa melakukan ketaatan karena tidak diberi kekuatan melakukan maksiat,
kalaupun dia melakukan maksiat, tidak akan terus-menerus dan segera bertaubat, berbeda
dengan orang yang dikehendaki bermaksiat, jika dia melakukan maksiat, dia akan terus-
menerus melakukannya dan tidak segera bertaubat.

Seseorang pernah bertanya pada Syaikh Junaid: “Apakah para waliyullāh (kekasih Allah)


pernah melakukan maksiat?” Syaikh Junaid menundukkan kepalanya sejenak, kemudian
membaca firman Allah:

ِ ‫و َكا َن أَمر‬.
‫اهلل قَ َد ًرا َم ْق ُد ْو ًرا‬ ُْ َ

“Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (QS. al-Aḥzāb [33]:
38).

Maksudnya, sah-sah saja para waliyullāh terpeleset melakukan dosa, tetapi mereka tidak


melanjutkannya dan tidak ada kesengajaan melakukannya, itu bisa terjadi karena
sifat Qahhār Allah (Maha Memaksa). Status mu’min tidak hilang karena melakuan maksiat.
Oleh karena itu, jika engkau melakukan maksiat, segeralah bertaubat. Status sebagai orang
yang bertaqwa juga tidak rusak karena melakukan maksiat, dengan syarat tidak dilanjutkan.

Syaikh Ibnu Faridh r.a. berkata:

.‫َو َم ْن لَهُ احْلُسْىَن َف َق ْط‬

“Siapakah yang tidak pernah melakukan maksiat sama sekali? Dan siapakah orang yang
hanya memiliki kebaikan?.”

Kemudian ada ḥātif (suara tanpa rupa) menjawab:

.‫َعلَْي ِه ِجرْبِ يْ ُل َهبَ ْط‬

“Yaitu Nabi Muḥammad s.a.w. yang memberi petunjuk kepada makhluk dan malaikat Jibrīl
a.s. turun kepadanya.”

Allah menepati janji-Nya kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya, yakni dengan memberi
taufiq untuk melakukan amal shalih dan mati dalam keadaan ḥusn-ul-khātimah. Orang
tersebut bisa masuk surga sesuai janji Allah:

‫ف الْ ِمْي َع َاد‬ ِ


ُ ‫إِ َّن اهللَ اَل خُيْل‬.
“Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 9).

Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

ِ ِ ِ
ُ‫ َف ُه َو بِاخْل يَا ِر إِ ْن َشاءَ َع َّذبَهُ َو إِ ْن َشاءَ َغ َفَر لَه‬،‫م ْن َو َع َدهُ اهللُ َعلَى َع َم ٍل َث َوابًا َف ُه َو ُمْنجٌز لَهُ َو َم ْن أ َْو َع َدهُ َعلَى َع َم ٍل ع َقابًا‬.
َ

“Siapa saja yang dijanjikan pahala oleh Allah atas amal yang dia lakukan, pasti Allah
akan menepatinya, dan siapapun yang diancam siksaan oleh Allah atas amal yang dia
lakukan, Allah berhak memilih sesuai kehendak-Nya,
menyiksanya atau mengampuninya.”

Kesimpulannya, janji tidak boleh berubah. Para ‘ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah sepakat
dalam hal ini. Sedangkan ancaman boleh berubah, kecuali ancaman siksa yang kekal bagi
orang kafir musyrik. Ini menurut Imām Abū Ḥasan al-Asy‘arī, sedangkan menurut Abū
Manshūr al-Māturīdī, janji dan ancaman tidak boleh berubah.

Halaman:

Bahagia dan Celaka – Terjemah


Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh
Darat
TERJEMAH TAUHID

‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬


Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah


Penerbit: Sahifa Publishing

Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid


Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

Bahagia dan Celaka

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

.‫َّق ُّي مُثَّ مَلْ َيْنتَ ِق ِل‬


ِ ‫َك َذا الش‬
“Keberuntungan orang yang bahagia itu ditaqdirkan pada zaman azali di sisi Allah s.w.t.
Begitu juga orang yang celaka, kemudian tidaklah dia berpindah-pindah.”

Keberuntungan orang yang bahagia telah ditetapkan sejak zaman azali, ilmu Allah telah
mengetahuinya sebelum manusia diciptakan. Begitupula celakanya orang yang celaka, juga
telah ditetapkan sejak zaman azali sebagaimana keberuntungan orang yang bahagia. Kedua
ketetapan ini tidak akan berubah-ubah lagi.

Penjelasan

Sa‘ādah (bahagia) dan syaqāwah (celaka) telah ditetapkan sejak zaman azali dalam sifat ilmu
Allah, jauh sebelum manusia diciptakan. Makna sa‘ādah dalah orang yang mati dengan
membawa iman, walaupun sebelumnya kafir dan ahli maksiat, matinya dinamakan ḥusn-ul-
khātimah. Akhir yang baik menunjukkan adanya awal yang baik. Orang-orang awam merasa
khawatir perihal akhir hidupnya, sedangkan orang-orang khawwāsh (691) khawatir perihal
kehidupannya.

Makna syaqāwah adalah orang yang mati tanpa membawa iman, atau mati dalam keadaan
kufur, walaupun sebelumnya dia beriman dan taat, maka dinamakan sū’-ul-khātimah. Akhir
yang buruk menunjukkan awal yang buruk. (702).

Kedua ketetapan ini (bahagia dan celaka) tidak dapat berubah atau tertukar, sebagaimana
disebutkan dalam sebuah hadits:

“Sesungguhnya salah satu dari kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka,
sampai tidak ada jarak antara orang tersebut dan neraka kecuali satu hasta (maksudnya
kematiannya tinggal sejengkal). Karena di zaman azali orang tersebut ditetapkan bahagia,
maka di akhir hayatnya dia melakukan amal ahli surga, sehingga dia bisa masuk surga,
(maksudnya dia mati secara ḥusn-ul-khātimah). Sesungguhnya salah satu dari kalian ada
yang melakukan perbuatan ahli surga, sampai tidak ada jarak antara orang tersebut dan
surga kecuali satu hasta (maksudnya kematiannya tinggal sejengkal). Karena di zaman
azali orang tersebut ditetapkan celaka, maka di akhir hayatnya dia melakukan amal ahli
neraka, sehingga dia masuk neraka (maksudnya dia mati secara sū’-ul-khātimah).”

Pengertian sa‘ādah dan syaqāwah di atas menurut pendapat Madzhab Abū Ḥasan al-Asy‘arī.


Sedangkan menurut madzhab Abū Manshūr al-Māturidī, sa‘ādah adalah orang yang saat ini
beriman, dan syaqāwah adalah orang yang saat ini kufur. Oleh karena itu, orang yang bahagia
adalah orang mu’min dan orang yang celaka adalah orang kafir. Ketika ada orang mu’min
dalam keadaan kufur, dia tidak lagi orang yang bahagia, tapi dia orang yang celaka, begitu
pula ketika ada orang yang awalnya kafir kemudian mati dalam keadaan iman, maka dia tidak
lagi orang yang celaka, tapi dia orang yang bahagia. (713).

Dari perbedaan pendapat antara madzhab Asy‘ariyyah dan Māturīdiyyah tersebut, maka
menurut Asy‘ariyyah seseorang boleh berkata: “Saya mu’min, in syā’ Allāh”, sedangkan
menurut Māturīdiyyah tidak boleh, orang tersebut harus berkata dengan mantap: “Saya
mu’min”. Sebab, menurut Asy‘ariyyah, kita tidak tahu awal dan akhir, maka ucapan “in syā’
Allāh” sebagai doa, semoga tetap mu’min sampai akhir hayat. Sedangkan menurut
Māturīdiyyah, tidak boleh mengatakan “in syā’ Allāh,” karena kata-kata itu menunjukkan
keragu-raguan, tidak ada kemantapan hati. (724).

Kesimpulannya, perbedaan tersebut hanya dari segi lafazh saja, adapun hakikatnya sama saja.
Maksudnya, perbedaan hanya dalam mengartikan sa‘ādah dan syaqāwah saja, sedangkan
maksud hukumnya sama. (735).

Catatan:

1. 69). Adalah orang-orang yang diberi keistimewaan oleh Allah s.w.t. dengan hakikat, ḥāl, dan
maqām. (Lihat: Mausū‘ah Musthalaḥāt at-Tashawwuf al-Islāmi, hal. 324).
2. 70). Tuḥfah al-Murīd, hal. 173.
3. 71). Ibid., hal. 174.
4. 72). Tuḥfah al-Murīd, hal. 174.
5. 73). Ibid.,

Halaman:

Kasb – Terjemah Tauhid Sabilul


Abid KH. Sholeh Darat
TERJEMAH TAUHID

‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬


Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah


Penerbit: Sahifa Publishing

Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid


Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

Kasb (741)

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

.‫َو مَلْ يَ ُك ْن ُم َؤثًِّرا َفْلَت ْع ِرفَا‬


“Dan menurut kami (Ahl-us-Sunnah) hamba itu mempunyai kasab yang (dengannya) dia
terkena taklif dan tidaklah (kasab itu) sebagai yang memberi bekas maka hendaklah
engkau mengetahui.”

Kata (‫ب‬ ِ
ٌ ‫ ) َك ْس‬berkedudukan menjadi mubtada’, sedangkan lafazh (‫ )عْن َدنَا‬menjadi khabar.

Adapun makna dari bait ini adalah: “Menurut kami, ‘ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah,
semua makhluk memiliki kasb yang dituntut oleh Allah s.w.t., tetapi kasb tersebut tidak bisa
memberi efek atau pengaruh pada apapun, maka ketahuilah batasan ini.”

Penjelasan

Dalam masalah kasb (752) ini, terdapat tiga madzhab:

1. Madzhab Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah.

Madzhab ini berpendapat bahwa semua makhluk tidak bisa menciptakan apapun,
hanya kasb pada perbuatan yang bersifat ikhtiyārī (pilihan), bukan majbūr (terpaksa) dan
tidak bisa memberi efek apapun. Artinya, kasb adalah ta‘alluq-nya
sifat qudrah dan irādah seorang hamba pada sesuatu bersamaan dengan
sifat qudrah dan irādah yang qadīm, seorang hamba hanya menjadi pengguna
zhahirnya qudrah yang qadīm, tidak bisa memberi efek apa-apa.

2. Madzhab Jabbāriyyah

Madzhab ini berpendapat bahwa semua makhluk tidak memiliki kasb sama sekali,


semua majbūr (terpaksa), tidak punya perbuatan yang bersifat ikhtiyārī sama sekali, seperti
bulu yang terbang tertiup angin, semuanya Allah yang menciptakan, hamba tidak
ikut ikhtiyār sama sekali.

3. Madzhab Qadariyyah

Madzhab ini berpendapat bahwa semua makhluk memiliki perbuatan yang dia ciptakan
sendiri dengan sifat qudrah yang telah diberikan oleh Allah kepadanya.

Madzhab Jabbāriyyah dan Qadariyyah ini sesat, adapun madzhab Ahl-us-Sunnah wal-
Jamā‘ah itu penengah antara keduanya, seperti air susu yang keluar di antara kotoran hewan
dan darah, sebagaimana perumpamaan Allah:

ِ ِ ِ ٍ ٍ ِ ِِ ‫ِ مِم‬ ِ ِ
ً ‫و إِ َّن لَ ُك ْم يِف اأْل َْن َعام لَعْبَر ًة نُ ْسقْي ُك ْم َّا يِف ْ بُطُْونه م ْن َبنْي ِ َف ْرث َو َدم لََبنًا َخال‬.
َ ‫صا َسائغًا للشَّا ِربِنْي‬ َ

“Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi
engkau. Kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa)
susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang
meminumnya.” (QS. an-Naḥl [16]: 66).
Air susu tidak terpengaruh oleh tahi dan darah. Pahamilah masalah ini.

Setelah jelas bahwa semua makhluk memiliki kasb yang tidak bisa memberi pengaruh
apapun, maka Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī melanjutkan pembahasan dengan menjelaskan
arti kasb, beliau berkata:

.‫اختِيَ َارا‬
ْ ‫س ُكاًّل َي ْف َع ُل‬
َ ‫َو لَْي‬

“Maka tidaklah hamba terpaksa dalam arti tidak mempunyai pilihan, dan bukanlah dia
menciptakan tiap-tiap perbuatan yang bersifat ikhtiyārī.”

Ketika engkau telah mengetahui bahwa semua hamba memiliki kasb dalam setiap perbuatan
yang bersifat ikhtiyārī, maka tidak ada pekerjaan seorang hamba yang majbūr (terpaksa),
maksudnya tidak memiliki ikhtiyār sama sekali, walaupun begitu, seorang hamba juga tidak
bisa menciptakan sendiri perbuatan yang bersifat ikhtiyārī.

Penjelasan

Lafazh (‫اختِيَ َارا‬


ْ ‫)و اَل‬
َ merupakan ‘athaf, penjelasan lafazh (‫س جَمُْب ْو ًرا‬
َ ‫) َفلَْي‬.

Seorang mukallaf wajib meyakini bahwa makhluk memiliki ikhtiyār dalam perbuatannya,
bukan terpaksa (tidak memiliki ikhtiyār sama sekali).

Makhluk memiliki ikhtiyār, tapi dia tidak bisa menciptakan sendiri perbuatan yang
bersifat ikhtiyārī, artinya tidak ada satu makhluk pun yang mampu menciptakan perbuatannya
sendiri, perbuatannya merupakan ciptaan Allah s.w.t.

Bait ini menolak pendapat golongan Jabbāriyyah yang meyakini bahwa seorang
hamba majbūr (terpaksa), seperti bulu yang berterbangan karena hembusan angin. Juga
menolak paham golongan Qadariyyah yang meyakini bahwa seorang hamba bisa
menciptakan perbuatannya sendiri. Kedua madzhab ini sesat.

Bait ini juga menolak pendapat madzhab Filsafat yang meyakini bahwa angkasa raya yang
berisi planet dan bintang-bintang memiliki kekuatan yang bisa memengaruhi kondisi
makhluk. Juga menolak pendapat madzhab Thabā‘ī yang meyakini bahwa watak bisa
memberi efek secara tetap dan pasti. Seperti makan yang menyebabkan kenyang, air
membuat segar, api yang bisa membakar, dan lain sebagainya. Orang yang meyakini hal
tersebut dihukumi kafir. Namun, apabila meyakini bahwa makan dan minum tidak memberi
efek karena wataknya, tapi karena Allah telah memberi kekuatan pada makanan dan
minuman sehingga membuat kenyang dan segar maka ia termasuk orang fasiq dan ahli
bid‘ah, sebagaimana penjelasan sebelumnya.

Catatan:

1. 74). Kasb adalah ta‘alluq-nya sifat qudrah yang baru, ada juga yang menyatakan sifat irādah yang


baru (Syaikh Ibrāhīm al-Bajūrī, Tuḥfat al-Murīd ‘alā Jauharah at-Tauḥīd, tahqiq: Dr. ‘Alī Jum‘ah,
Kairo – Mesir, Darussalam, 2002, hal. 175).
2. 75). Tuḥfat al-Murīd, hal. 175.
Halaman:

Sumber Kekufuran – Terjemah


Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh
Darat

TERJEMAH TAUHID

‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬


Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah


Penerbit: Sahifa Publishing
Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid
Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

Sumber Kekufuran

‘Ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah menyatakan bahwa akar dan pohon kekufuran ada 6
(enam) perkara. Seorang muslim wajib mengetahui, menjauhi, dan mencegahnya agar tidak
ada orang yang terjerumus ke dalam kekufuran. Adapun 6 hal tersebut adalah: (761), (772).

1. Ijāb dzāt (783).

Ini adalah penyebab kufurnya ahli filsafat yang berkeyakinan bahwa Allah s.w.t. menciptakan
sesuatu karena tuntutan pasti dari dzāt. Wujudnya alam raya ini merupakan efek dari
wujudnya Allah, bukan diciptakan oleh Allah. Oleh karena itu, mereka meyakini bahwa alam
raya ini qadīm (dahului) dan mengingkari sifat qudrah, irādah, dan semua sifat-sifat Allah.

‫ك ُعلًُّوا َكبِْيًرا‬ ِ
َ ‫َت َعاىَل َع ْن ذل‬.

“Allah Maha Suci dari itu semua dengan kesucian yang agung.”

2. Taḥsīn al-‘aqlī (794).

Ini penyebab kufurnya golongan Barāhimah (nama Barāhimah  berasal dari salah satu nama


berhala yang disembah di Negara Yaman, yang bernama buhram).
Kafir Barāhimah termasuk golongan ahli filsafat. Mereka meyakini mustahil jika ada
manusia yang mengaku menjadi utusan Allah. Sebab, bagaimana bisa dia bertemu dengan
Allah? selain itu, apa gunanya ada utusan Allah? Sebab, urusan kebaikan dan keburukan
cukup menggunakan akal. Sebagaimana telah dijelaskan di Bab Kufur.

3. At-Taqlīd ar-rādī (805).

Ini merupakan penyebab kufurnya orang-orang penyembah patung dan berhala, mereka
hanya mengikuti tradisi leluhurnya. Allah berfirman:

‫إِنَّا َو َج ْدنَا آبَاءَنَا َعلَى أ َُّم ٍة َو إِنَّا َعلَى آثَا ِر ِه ْم ُم ْقتَ ُد ْو َن‬.

“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan


sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (QS. az-Zukhruf [43]: 23).

Dalam masalah akidah, tidak diperbolehkan taqlīd. Orang-orang ‘Arab membuat sebuah


peribahasa:

ٍ ِ ٍ
‫اد‬ ُ ‫اَل َف ْر َق َبنْي َ ُم َقلِّد يُْن َق‬.
ُ ‫اد َو هَب ْي َمة ُت َق‬

“Tak ada bedanya antara seorang yang bertaqlid yang tunduk dengan hewan peliharaan
yang dituntun.”
4. Ar-ribthu al-‘adi (816).

Ini merupakan penyebab kufurnya golongan Thabā‘ī dan para pengikutnya, termasuk juga
orang-orang mu’min yang bodoh. Mereka meyakini adanya hubungan antara makan dengan
rasa kenyang, minum dengan rasa segar, kain dengan tertutupnya aurat, matahari dengan
sinar yang terang, dan hal-hal lainnya.

5. Al-Jahl al-murakkab (827).

Ini merupakan penyebab kufurnya orang-orang karena kebodohannya, mereka meyakini


sesuatu tanpa mengerti dan memahami kebenarannya. Tak cukup di situ, mereka juga
mengajarkan keselahan yang mereka yakini pada orang lain. Karenanya dinamakan jahl
murakkab. Seperti keyakinan para ahli filsafat bahwa cakrawala memiliki kekuatan untuk
memengaruhi yang lain dan mereka juga meyakini bahwa alam ini qadīm (dahulu).

6. Berpegang pada dalil akidah hanya pada zhahirnya teks al-Qur’ān dan Hadits, tanpa mau
melihat tafsir dari para ‘ulamā’. Ini merupakan penyebab kekufuran madzhab Hasywiyah (madzhab
antromorfis) yang meyakini bahwa Allah memiliki jisim, tempat, dan arah, karena disebutkan dalam
al-Qur’ān:

‫اسَت َوى‬
ْ ‫الرَّمْح ُن َعلَى الْ َع ْرش‬.

“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Thāhā [20]:
5).

‫ض فَِإذَا ِه َي مَتُْو ُر‬ ِ ِ َّ ‫أَأ َِمْنتم من يِف‬.


َ ‫ف بِ ُك ُم اأْل َْر‬
َ ‫الس َماء أَ ْن خَيْس‬ ْ َ ُْ

“Apakah engkau merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan
menjungkir-balikkan bumi bersama engkau, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu
bergoncang?” (QS. al-Mulk [67]: 16).

ِ ِ ‫ي أَستَكْبرت أَم ُكْن‬ ِ ِِ


َ ْ َ ْ َ ْ َّ ‫ت بِيَ َد‬
َ ‫ت م َن الْ َعالنْي‬ ُ ‫ك أَ ْن تَ ْس ُج َد ل َما َخلَ ْق‬
َ ‫س َما َمَن َع‬
ُ ‫ يَا إبْلْي‬:‫قَ َال‬.

“Allah berfirman: “Hai Iblīs, apakah yang menghalangi engkau sujud kepada yang telah
Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah engkau menyombongkan diri ataukah
engkau (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?” (QS. Shād [38]: 75).

Orang awam diharamkan menafsirkan al-Qur’ān sendiri tanpa mengikuti penafsiran para
‘ulamā’, juga diharamkan memberi makna lafazh al-Qur’ān dengan makna yang berbeda dari
makna yang diberikan oleh para ‘ulamā’ tafsir. Sebab, dalam al-Qur’ān ada ayat-
ayat muḥkam dan ada ayat-ayat mutasyābih. Ayat muḥkam adalah ayat-ayat yang jelas
maknanya dan tidak membingungkan, seperti firman Allah:

‫ب َعلَى الَّ ِذيْ َن ِم ْن َقْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم َتَّت ُق ْو َن‬ ِ


َ ‫الصيَ ُام َك َما ُكت‬
ِّ ‫ب َعلَْي ُك ُم‬ ِ ِ َّ
َ ‫يَا أَيُّ َها الذيْ َن َآمُن ْوا ُكت‬.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas engkau berpuasa sebagaimana


diwajibkan atas orang-orang sebelum engkau agar engkau bertaqwā.” (QS. al-Baqarah [1]:
183).
‫و َّات ُقوا اهللَ إِ َّن اهللَ َغ ُف ْو ٌر َر ِحْي ٌم‬.
َ

“Dan bertaqwālah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. al-Anfāl [8]: 69).

‫ان‬ ٍ ‫ان فَِإمس ٌ مِب‬


ٍ ‫ف أَو تَس ِريح بِِإحس‬ ِ َّ
َ ْ ٌ ْ ْ ْ ‫اك َْع ُر ْو‬ َ ْ َ‫الطاَل ُق َمَّرت‬.

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma‘rūf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. al-Baqarah [2]: 229).

Adapun ayat mutasyābih adalah ayat-ayat yang jika dilihat dari segi zhahirnya akan
menimbulkan arti yang membingungkan, dan baru akan menemukan kejelasan setelah
melihat penafsiran para ‘ulamā’ Salaf. Contoh ayat-ayat mutasyābih telah disebutkan.

Karena adanya ayat-ayat mutasyābih tersebut, orang yang tidak mengerti tata bahasa ‘Arab
diharamkan belajar, apalagi mengajarkan tafsir al-Qur’ān. Begitu pula menafsiri al-Qur’ān
dengan pikirannya sendiri, tanpa mengikuti penafsiran para ‘ulamā’ salaf, karena hal ini
termasuk dosa besar yang dapat menyebabkan kekufuran. Karenanya berhati-hatilah dalam
mempelajari al-Qur’ān.

Orang yang berpegang pada zhahirnya teks tanpa mempelajari penafsiran para ‘ulamā’ salaf
akan tersesat. Sesatnya orang-orang bodoh karena mereka hanya mendengarkan dan
membaca zhahirnya teks al-Qur’ān dan hadits, begitu pula orang selain orang ‘Arab yang
tidak mengerti tata bahasa ‘Arab, seperti hadits:

ِ ِ
ُ‫اإْلِ نْ َسا ُن سِّر ْي َو أَنَا سُّره‬.

“Manusia adalah rahasia-Ku dan Aku rahasianya.”

Lafazh-lafazh al-Qur’ān dan hadits yang mutasyabih tidak boleh diartikan dengan hanya
melihat pada zhahirnya lafazh, bahkan para ‘ulamā’ menyatakan: “Orang awam tidak boleh
membaca kitab-kitab orang khāsh, apalagi khawāsh-ul-khawāsh (838), karena dikhawatirkan
akan salah paham dan bisa menjadikannya kufur”. Wallāhu a‘lam.

ِِ ِ
َ ‫اج َعْلنَا م َن النَّاجحنْي‬
ْ ‫الله َّم‬.
ُ

“Ya Allah, jadikanlah kami sebagai golongan orang-orang yang selamat.”

Adapun kewajiban orang Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah adalah meyakini bahwa sebagian


perbuatan seorang hamba ada yang bersifat ikhtiyārī, tapi dia tidak kuasa menciptakan sendiri
melainkan dengan sifat qudrah Allah yang bersifat qadīm, sebagian yang lain
bersifat idhthirārī (keharusan), seperti orang yang gemetar. Terdapat perbedaan yang jelas
antara gerakan orang yang memukul dengan orang yang gemetar, orang yang memukul
bergerak dengan pilihannya sendiri sedangkan orang yang gemetar bergerak
secara idhthirārī  (keharusan).

Catatan:
1. 76). Syaikh Aḥmad bin Muḥammad al-Mālikī ash-Shāwī, Syarḥ Shāwī ‘alā Jauharah at-Tauḥīd,
Beirut, Dar Ibnu Katsīr, 1999, hal. 249-252.
2. 77). Syarḥ Shāwī ‘alā Jauharah at-Tauḥīd, hal. 249-252.
3. 78). Menjadikan Allah sebagai ‘illat dari wujudnya segala sesuatu, tanpa ada ikhtiyār (Syaikh
Aḥmad bin Muḥammad al-Mālikī ash-Shāwī, Syarḥ Shāwī ‘alā Jauharah at-Tauḥīd, Beirut, Dar
Ibnu Katsir, 1999, hal. 249).
4. 79). Menetapkan af‘āl Allah sesuai dengan akal manusia, yakni menarik kemaslahatan dan
menolak kerusakan (Syaikh Aḥmad bin Muḥammad al-Mālikī ash-Shāwī, Syarḥ Shāwī ‘alā
Jauharah at-Tauḥīd, Beirut, Dar Ibnu Katsir, 1999, hal. 249).
5. 80). Mengikuti orang lain sebab fanatik tanpa mau mencari kebenaran (Syaikh Aḥmad bin
Muḥammad al-Mālikī ash-Shāwī, Syarḥ Shāwī ‘alā Jauharah at-Tauḥīd, Beirut, Dar Ibnu Katsir,
1999, hal. 250).
6. 81). Adanya hubungan antara sesuatu dengan yang lain, baik ada atau tiadanya berdasarkan
kejadian yang berulangkali (Syaikh Aḥmad bin Muḥammad al-Mālikī ash-Shāwī, Syarḥ Shāwī ‘alā
Jauharah at-Tauḥīd, Beirut, Dar Ibnu Katsīr, 1999, hal. 250).
7. 82). Al-Jahl al-Murakkab adalah ungkapan dari suatu keyakinan yang mantap namun tidak sesuai
dengan kenyataan. (Lihat: Syarīf al-Jurjānī, at-Ta‘rīfāt, Beirut, Dar al-kutub al-‘Ilmiyyah, 2009, hal.
85).Jahl ada dua macam: Jahl Basīth dan Jahl Murakkab.
1. Jahl Basīth adalah tidak mengetahui sesuatu yang seharusnya diketahui.
2. Jahl Murakkab adalah mengetahui sesuati tidak sesuai dengan kenyataannya.

Dinamakan murakkab karena ada dua jahl, tidak mengerti akan sesuatu dan tida mengerti bahwa
dirinya tidak mengerti.

(Syaikh Ibrāhīm al-Bajūrī, Tuḥfah al-Murīd ‘alā Jauharah at-Tauḥīd, taḥqīq: Dr. ‘Alī Jum‘ah,
Kairo – Mesir, Darussalam, 2002, hal. 54.)

8. 83). Khawāsh adalah orang yang diberi keistimewaan oleh Allah ta‘ālā dengan hakikat, ḥāl dan
maqām. Adapun khawāsh-ul-khawāsh adalah orang yang mentauhidkan Allah dengan sebenar-
benarnya melalui ḥāl dan maqām yang dijejakinya (lihat: Rafīq al-‘Ajm, Mausū‘ah Musthalaḥāt
at-Tashawwuf al-Islāmi, Beirut, Maktabah Lubnan Nasyirun, 1999 M., hal. 324).

Halaman:

Anugerah dan Keadilan Allah –


Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH.
Sholeh Darat
TERJEMAH TAUHID

‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬


Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah


Penerbit: Sahifa Publishing

Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid


Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

Anugerah dan Keadilan Allah

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī meneruskan pembahasan dengan memerinci bait sebelumnya.


Beliau berkata:
.‫الع ْد ِل‬
َ ‫ض‬ ْ ‫َو إِ ْن يُ َع ِّذ‬
ِ ‫ب فَبِ َم ْح‬

“Maka jika Dia memberi pahala, itu adalah semata-mata dengan karunia-Nya, dan jika
Dia meng‘adzab (menyiksa) kita, itu adalah semata-mata dengan keadilan-Nya.”

Jika aku diberi pahala atas amal ibadah yang aku lakukan, itu murni karena anugerah Allah.
Sebab, aku tidak bisa menciptakan sendiri amal baikku, semua perbuatanku berdasarkan
kekuasaan Allah. Jika aku disiksa karena amal burukku, itu murni karena sifat adil Allah.
Sebab, seorang tuan berhak melakukan apapun pada hamba atau makhluk-Nya, tidak akan
ada yang melarang atau menentang-Nya, karena hamba tersebut adalah milik-Nya sendiri.

Penjelasan

Setelah diketahui bahwa Allah-lah yang menciptakan perbuatan hamba-Nya dan seorang
hamba hanya memiliki kasb, maka jika aku diberi pahala atas amal baikku, itu murni karena
anugerah Allah, bukan suatu keharusan bagi Allah karena aku tidak bisa menciptakan amal
baikku sendiri. Allah berfirman:

ِ ‫قُل ُكلٌّ ِمن ِعْن ِد‬.


‫اهلل‬ ْ ْ

“Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah.” (QS. an-Nisā’ [4]: 78).

Anugerah adalah memberikan sesuatu bukan sebagai imbalan dari suatu pekerjaan.

Bait ini menolak pendapat madzhab Mu‘tazilah yang menyatakan bahwa Allah wajib
memberi pahala bagi orang yang taat, karena manusia bisa menciptakan perbuatannya
sendiri, maka dia harus diberi pahala atas amal baiknya. Manusia juga wajib disiksa jika
melakukan maksiat, ini merupakan keyakinan madzhab Mu‘tazilah dan Qadariyyah.

Sedangkan menurut Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah, Allah tidak wajib memberi pahala kepada
orang yang melakukan amal kebaikan. Sebab, sebanyak apapun ketaatan seorang hamba,
tidak akan sebanding dengan besarnya ni‘mat yang telah Allah berikan. Jika demikian,
bagaimana bisa seorang hamba punya hak untuk meminta upah atas amalnya? Kemauan,
kemampuan melakukan ketaatan, sampai keimanan yang dimiliki seorang hamba, semuanya
atas pertolongan Allah, maka bagaimana seorang hamba bisa meminta upah?

Jika aku disiksa karena amal burukku, itu murni karena sifat adil Allah. Adil adalah
menempatkan sesuatu pada tempatnya, tanpa ada orang yang menentang. Tujuh alam raya,
tujuh lapis langit, bumi seisinya, malaikat, jin, syaithan, manusia, hewan dan semua yang ada
adalah milik Allah, makhluk Allah dan hamba Allah. Mālik (pemilik) dan Khāliq (pencipta)
boleh melakukan apa saja pada sesuatu yang dimiliki atau diciptakannya, tidak akan ada
siapapun yang menentang atau melarang, juga tidak akan ada yang mengatakan zhalim.

Dalam al-Qur’ān disebutkan:

ِ
ُ‫إ َّن اهللَ َي ْف َع ُل َما يَ َشاء‬.

“Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki”, (QS. al-Ḥajj [22]: 18).
‫اَل يُ ْسأ َُل َع َّما َي ْف َع ُل َو ُه ْم يُ ْسأَلُْو َن‬.

“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanya”.
(QS. al-Anbiyā’ [21]: 23).

Kesimpulannya, ketaatan hamba tidak memberi manfaat sama sekali kepada Allah, begitu
pula kemaksiatan yang dilakukan oleh hamba, sama sekali tidak memberi mudarat apapun
pada Allah. Ketaatan dan kemaksiatan adalah sama-sama ciptaan Allah. Oleh karena itu,
ketaatan tidak mengharuskan diberi pahala dan kemaksiatan tidak mengaruskan diberi siksa.
Ketaatan dan kemaksiatan hanya sebagai tanda orang yang akan beruntung atau orang yang
akan celaka di akhirat kelak, atau tanda orang yang akan mendapat pahala atau mendapat
siksa. Pahamilah masalah ini. (841)

Adapun dalam hukum syara‘, menurut suatu pendapat, tidak boleh mengingkari janji, tapi
boleh, mengingkari ancaman. (852).

Catatan:

1. 84). Tuḥfat al-Murīd, hal. 180.


2. 85). Ibid. hal. 181.

Halaman:

Tidak ada Suatu Kewajiban bagi


Allah – Terjemah Tauhid Sabilul
Abid KH. Sholeh Darat
TERJEMAH TAUHID

‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬


Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah


Penerbit: Sahifa Publishing

Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid


Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

Tidak ada Suatu Kewajiban bagi Allah

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī meneruskan pembahasan dengan menjelaskan pendapat madzhab


Mu‘tazilah yang sesat.
Beliau berkata:

.‫ب‬ ِ ِ ِ
ُ ‫َعلَْيه ُز ْوٌر َما َعلَْيه َواج‬

“Pendapat Mu‘tazilah: “Sesungguhnya berbuat baik wajib bagi Allah” adalah bohong.
Tidak ada sesuatu yang wajib bagi Allah.”

Madzhab Mu‘tazilah berpendapat: “Berbuat baik wajib bagi Allah, seperti menciptakan
iman.” Ucapan ini adalah sebuah kebohongan dan kebatilan. Tidak ada kewajiban apapun
bagi Allah untuk melakukan sesuatu.

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī kemudian menyusun hujjah dengan berkata:

. ‫َو ِشْب َه َها فَ َح ِاذ ِر ال ِْم َحااَل‬

“Tidakkah mereka melihat bahwa Allah mendatangkan sakit kepada anak-anak kecil dan
hal-hal lain yang serupa, maka takutlah engkau terhadap siksa.”

Apakah orang Mu‘tazilah tidak melihat dan merenungkan, Allah telah menimpakan sakit
kepada anak-anak kecil yang belum baligh dan tidak berdosa. Allah juga menimpakan rasa
sakit pada kerbau dan sapi, yang juga tidak memiliki dosa. Apabila Allah wajib berbuat baik
(shalāḥ), tidak akan ada anak kecil yang sakit, tidak ada orang kafir, tidak ada orang miskin
yang sengsara dan terhina. Takutlah engkau pada siksa Allah apabila engkau meyakini Allah
wajib berbuat baik.

Penjelasan

Kesimpulan dari dua bait tersebut adalah orang Mu‘tazilah meyakini Allah
wajib shalāḥ (berbuat baik) dan ashlaḥ (berbuat lebih baik/memperbaiki). Ada perbedaan
pendapat dalam masalah shalāḥ dan ashlaḥ antara Mu‘tazilah di Baghdād dan di Bashrah.
Mu‘tazilah di Baghdad berpendapat bahwa Allah wajib melakukan shalāḥ dan ashlaḥ pada
hamba-Nya, baik dalam masalah agama maupun masalah dunia, sedangkan Mu‘tazilah di
Bashrah berpendapat bahwa Allah wajib melakukan shalāḥ dan ashlaḥ pada hamba-Nya
dalam masalah agama saja. (861)

Keduanya juga berbeda pendapat mengenai pengertian ashlaḥ. Menurut Mu‘tazilah di


Baghdād, ashlaḥ adalah kesesuaian dalam hikmah dan pengaturan, sedangkan menurut
Mu‘tazilah di Bashrah, ashlaḥ adalah sesuatu yang lebih bermanfaat bagi hamba. (872)

Permasalahn shalāḥ dan ashlaḥ inilah yang menyebabkan Syaikh Abul-Ḥasan al-Asy‘arī


memisahkan diri dari gurunya, yakni Syaikh Abū Ḥāsyim al-Juba’ī al-Mu‘tazilī (883).

Pada saat Syaikh Abū Ḥāsyim al-Juba’ī sedang mengajar di hadapan banyak orang. Syaikh
Abul-Ḥasan al-Asy‘arī bertanya: “Wahai Syaikh, bagaimana pendapatmu apabila ada tiga
orang bersaudara, saudara pertama meninggal ketika sudah tua dan selama hidupnya dia taat.
Saudara kedua meninggal ketika sudah tua dan selama hidupnya dia selalu bermaksiat.
Saudara ketiga meninggal ketika masih kecil dan belum baligh.”
Syaikh al-Juba’ī menjawab: “Saudara yang pertama masuk surga, saudara kedua disiksa di
neraka, saudara ketiga tidak mendapat pahala dan tidak pula mendapat siksa.”

Syaikh al-Asy‘arī kembali bertanya: “Wahai Syaikh, bagaimana jika saudara yang ketiga
berkata: “Wahai Tuhanku, kenapa engkau mencabut nyawaku ketika aku masih kecil?
Mengapa Engkau tidak memanjangkan umurku sampai aku dewasa agar aku bisa melakukan
ketaatan kepada-Mu sehingga aku berhak untuk masuk surga?” Kira-kira seperti apa jawaban
Allah Yang Maha Suci?”

Syaikh al-Juba’ī menjawab: “Allah akan berkata: “Wahai hambaku, aku mengetahui bahwa
jika engkau tetap hidup sampai dewasa, engkau akan bermaksiat dan nantinya malah akan
masuk neraka, maka yang ashlaḥ bagimu adalah mati saat masih kecil.”

Syaikh al-Asy‘arī kembali bertanya: “Lalu bagaimana pendapatmu jika saudara yang kedua
berkata: “Wahai Tuhanku, mengapa engkau tidak mencabut nyawaku saat aku masih kecil
agar aku tidak masuk neraka?” kira-kira bagaimana jawaban Tuhan, wahai Syaikh?”

Syaikh al-Juba’ī terdiam, bingung tak bisa menjawab. Sejak saat itu Syaikh al-Asy‘arī
meninggalkan gurunya terebut, beliau menyibukkan diri dengan menggali akidah Islam dari
hadits-hadits Nabi dan perilaku para ‘ulamā’ salaf dari golongan para sahabat. Akhirnya
beliau mendirikan madzhab tauhid sendiri yang diberi nama Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah.

Keyakinan kaum mu‘tazilah yang mengatakan bahwa Allah wajib


berbuat shalāḥ dan ashlaḥ adalah sebuah kebohongan dan kerusakan karena tidak sesuai
dengan kenyataan yang ada. Apabila Allah wajib berbuat shalāḥ dan ashlaḥ pada hamba-
Nya, tidak akan ada orang kafir ataupun orang miskin yang sengsara dan terhina, yang disiksa
di dunia dengan kekafirannya dan di akhirat disiksa di neraka. Karena
yang ashlaḥ seharusnya orang tersebut dicabut nyawanya saat masih kecil atau dijadikan gila
agar tidak masuk neraka. Selain itu, apabila wajib bagi Allah bertindak shalāḥ dan ashlaḥ,
tidak akan ada anak kecil, sapi, atau kerbau yang diberi rasa sakit karena semuanya tidak
memiliki dosa.

Dengan argumentasi di atas dapat disimpulkan bahwa Allah tidak wajib shalāḥ dan ashlaḥ.


Allah boleh menjadikan seseorang kufur atau beriman, taat atau bermaksiat.

Allah s.w.t. berfirman:

‫اَل يُ ْسأ َُل َع َّما َي ْف َع ُل َو ُه ْم يُ ْسأَلُْو َن‬.

“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanya”.
(QS. al-Anbiyā’ [21]: 23).

Catatan:

1. 86). Tuḥfat al-Murīd, hal. 182.


2. 87). Ibid.
3. 88). Ibid.

Halaman:
Menciptakan Kebaikan dan
Kejelekan adalah Ja’iz bagi Allah
– Terjemah Tauhid Sabilul Abid
KH. Sholeh Darat

TERJEMAH TAUHID

‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬


Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah


Penerbit: Sahifa Publishing
Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid
Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

Menciptakan Kebaikan dan Kejelekan adalah Jā’iz bagi Allah

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

.‫َو اخْلَرْيِ كاإْلِ ْساَل ْم َو َج ْهل ِالْ ُك ْف ِر‬

“Dan jā’iz bagi Allah s.w.t. menciptakan kejelekan dan kebaikan seperti Islam dan
kejahilan yakni kekafiran.”

Lafazh (‫)جائٌِز‬
َ merupakan khabar muqaddam, sedang lafazh (‫)خْل ُق الشَِّّر‬
َ menjadi mubtada’
mu’akhkhar.

Arti bait ini adalah Allah boleh menjadikan seseorang kufur ataupun beriman, taat ataupun
bermaksiat. Ini adalah pendapat ‘ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah.

Penjelasan

Menurut ‘ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah, Allah boleh menjadikan seseorang kufur


ataupun beriman, taat ataupun bermaksiat. Ini merupakan penjabaran dari nazham
sebelumnya, yakni:

ِ ‫موفِّق لِمن أَراد أَ ْن ي‬


.‫ص ْل‬ َ َ َ ْ َ ٌ َُ

“Maka Allah-lah yang menciptakan hamba-Nya dan apa-apa yang dia perbuat, serta
memberikan taufiq kepada siapapun yang Dia kehendai untuk sampai (kepada ridha-
Nya).”

Hal ini berbeda dengan pendapat Mu‘tazilah yang mengatakan bahwa Allah tidak mungkin
berbuat jelek. Dalam pandangan mereka, baik adalah sesuatu yang baik menurut akal dan
jelek adalah sesuatu yang jelek menurut akal manusia. Menyiksa sesuatu yang diciptakan
adalah zhalim menurut mereka, sedangkan Allah mustahil berbuat zhalim. Oleh karena itu,
mustahil bagi Allah berbuat jelek pada hamba-Nya. Inilah pokok keyakinan madzhab
Mu‘tazilah yang sesat dan melenceng dari ajaran yang benar.

Dalam kepercayaan orang Mu‘tazilah, baik adalah hal yang baik menurut akal, dan jelek
adalah hal yang jelek menurut akal. Bagi mereka, menyiksa sesuatu yang diciptakan sendiri
itu zhalim, sedangkan mustahil Allah melakukan hal yang zhalim. Maka, mustahil bagi Allah
berbuat kejelekan. Sebagaimana kepercayaan orang Mu‘tazilah yang sesat dari jalan
kebenaran.
Hikayat (891)

Suatu ketika Iblīs mendatangi Imām asy-Syāfi‘ī r.a. Iblīs berkata: “Wahai Imām, seseorang
menciptakan aku atas kehendaknya sendiri, mengarahkan dan menjalankan aku sesuai dengan
apa yang dia kehendaki, setelah itu, dia akan memasukkan aku ke surga atau neraka sesuai
kehendaknya. Tindakan seperti ini dinamakan ‘ādil, zhālim, atau jā’iz?”

Imām asy-Syāfi‘ī berpikir sejenak, beliau mendapat ilham untuk menjawab pertanyaan Iblīs.
Beliau berkata: “Wahai Iblīs, apabila wujud dan keberadaanmu atas kehendakmu sendiri,
maka orang yang melakukan hal tersebut padamu dihukumi zhalim, tapi jika wujud dan
keberadaanmu atas kehendak orang yang melakukan itu padamu, maka:

‫اَل يُ ْسأ َُل َع َّما َي ْف َع ُل َو ُه ْم يُ ْسأَلُْو َن‬.

“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.”
(QS. al-Anbiyā’ [21]: 23).

Iblīs terdiam, tak bisa berargumentasi lagi, kemudian dia berkata: “Demi Allah, wahai Imām,
dengan pertanyaan ini, aku telah menyesatkan 70.000 ahli ibadah, mereka keluar dari ritual
ibadah dan menjadi kafir zindiq.”

Catatan:

1. 89). Tuḥfat al-Murīd, hal. 185.

Halaman:

Iman pada Qadha’ dan Qadar –


Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH.
Sholeh Darat
TERJEMAH TAUHID

‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬


Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah


Penerbit: Sahifa Publishing

Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid


Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

Iman pada Qadhā’ dan Qadar

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī meneruskan penjelasan penolakannya pada pendapat madzhab


Qadariyyah.
Beliau berkata:

َ ‫َو بِالْ َق‬


. ِ‫ضا َك َما أَتَى يِف اخْلَرَب‬

“Dan wajib kita beriman dengan qadhā’ dan qadar karena ada keterangannya di dalam
hadits.”

Lafazh (‫ب‬ ِ merupakan khabar muqaddam, sedang lafazh (‫ )إِمْي انُنا‬adalah mubtada’


ٌ ‫)واج‬
َ ََ
mu’akhkhar.

Makna bait ini adalah kita wajib beriman pada kepastian Allah yang ada sejak zama azali,
sebagaimana penjelasan dalam hadits.

Penjelasan

Bait ini menolak keyakinan golongan Qadariyyah yang tidak


mempercayai qadhā’ dan qadar sejak zaman azali. Mereka berkeyakinan bahwa segala
sesuatu saat ini tidak ada hubungannya dengan ketetapan di zaman azali.

Madzhab Qadariyyah terbagi menjadi dua golongan, yaitu: (901)

1. Golongan Qadariyyah yang tidak mengakui adanya qadhā’  dan qadar  sejak zaman azali.
2. Golongan Qadariyyah yang menyatakan bahwa seorang hamba mempunyai qudrah dan
mampu menciptakan perbuatannya sendiri.

Pendapat golongan Qadariyyah ini dibantah oleh bait:

ِ ‫موفِّق لِمن أَراد أَ ْن ي‬


.‫ص ْل‬ َ َ َ ْ َ ٌ َُ

“Maka Allah-lah yang menciptakan hamba-Nya dan apa-apa yang dia perbuat, serta
memberikan taufiq kepada siapapun yang Dia kehendaki untuk sampai (kepada ridha-
Nya).”

Orang yang beriman kepada qadhā’  dan qadar pasti akan ridhā dan rela pada
ketetapan qadhā’ dan qadar  Allah.

Pertanyaan: (912)

Jika ada yang bertanya kepadamu: “Kenapa kita wajib ridha pada qadhā’ dan qadar?
Bukankah itu berarti mewajibkan kita ridha pada kekufuran berarti kufur, dan ridha pada
kemaksiatan berarti maksiat?”

Jawaban:

Salah satu pendapat menyatakan: “Kekufuran dan kemaksiatan adalah muqdhā (sesuatu yang


di-qadhā’) dan maqdūr (sesuatu yang di-taqdīr-kan), bukan qadhā’  dan qadar, yang wajib
adalah ridha pada qadhā’  dan qadar, bukan pada muqdhā dan maqdūr”.
Pendapat lain menyatakan: “Kekufuran dan kemaksiatan memiliki dua sisi. Pertama,
kekufuran dan kemaksiatan adalah sesuatu yang dikehendaki, dikuasai, dan dimengerti oleh
Allah. Kedua, kekufuran dan kemaksiatan yang muncul dari kasb manusia. Karenanya, kita
wajib membenci dan menolak kasb manusia berupa kufur dan maksiat, bukan malah
membenci qadhā’  dan qadar Allah.”

Imām al-Asy‘arī dan Imām al-Māturīdī berbeda pendapat dalam


mendefinisikan qadhā’  dan qadar Allah. Menurut Imām al-Asy‘arī, qadar adalah penciptaan
Allah pada sesuatu disertai irādah-Nya. Dari sini bisa dipahami bahwa qadar adalah sifat dari
pekerjaan, maka qadar adalah sesuatu yang baru.
Sedangkan qadhā’ adalah irādah Allah. qadhā’ merupakan sifat Dzāt,
maka qadhā’  adalah qadīm (dahulu).

‫اأْل َ ْشيَاءُ يِف اأْل ََز ِل َعلَى َما ِه َي َعلَْي ِه فِْي َما اَل َيَز ُال‬.

“Kondisi sesuatu di zaman azali, sesuai dengan kondisi saat ini.”

Sedangkan menurut Imām al-Māturīdī, qadhā’ adalah penciptaan Allah pada sesuatu. Dari


sini bisa difahami bahwa qadar adalah sifat pekerjaan, maka qadar adalah sesuatu yang baru.
(923).

Kesimpulannya, menurut Imām al-Asy‘arī, qadar adalah ḥadīs (baru),


sedangkan qadhā’ adalah qadīm (dahulu), sedangkan menurut Imām al-
Māturīdī, qadhā’ adalah ḥadīts (baru).

Setelah seorang mukallaf mengetahui bahwa iman pada qadhā’ dan qadar wajib, maka tidak


diperbolehkan beralasan dengan menggunakan qadhā’ dan qadar yang belum terjadi. Misal,
seseorang yang akan berbuat zina berkata: “Sudah menjadi qadar dan kehendak Allah bahwa
aku akan melakukan zina.” Ucapan seperti ini haram, bahkan dosanya lebih besar
dibandingkan melakukan zina, atau setelah melakukan zina seseorang berkata: “Sudah
menjadi qadar dan kehendak Allah aku berzina”, ucapan tersebut sebagai dalih agar tidak
terkena had zina, hukumnya tetap haram. (934).

Adapun jika beralasan dengan qadhā’ dan qadar yang telah terjadi untuk menolak orang-


orang yang mencelanya, maka diperbolehkan. (945) Misal, ada seseorang yang mencela atau
menghina pengemis atau orang yang bermaksiat, kemudian orang yang dihina berkata:
“Wahai fulan, adakah orang yang suka jika dia menjadi orang miskin? Dan siapa yang suka
jika kelak akan masuk neraka? Aku juga ingin menjadi orang kaya, bukan pengemis, aku
ingin menjadi orang yang taat beribadah, bukan ahli maksiat, tapi qadar dan kehendak Allah
menjadikan aku seperti ini.”

Ucapan seperti itu diperbolehkan, sebagaimana penjelasan hadits yang menceritakan bahwa
rūḥ Nabi Ādam a.s. bertemu dengan rūḥ Nabi Mūsā kalīmullāh.

Nabi Mūsā a.s. bertanya kepada Nabi Ādam a.s.: “Wahai ayahanda, Nabi Ādam, engkau
adalah ayah semua manusia, mengapa engkau menjadi penyebab keluarnya anak cucumu dari
surga dengan memakan buah dari pohon yang terlarang?”

Nabi Ādam a.s. menjawab: “Wahai Mūsā, engkau adalah orang yang telah dipilih oleh Allah
untuk diberi firman secara langsung, Allah juga memberimu kitab Taurāt, bagaimana bisa
engkau mencelaku dalam hal yang telah ditetapkan oleh Allah terhadapku? 40 tahun sebelum
penciptaanku, Allah telah menetapkan bahwa aku akan makan buah pohon itu.” Jawaban
Nabi Ādam tak terbantahkan, dan Nabi Mūsā pun terdiam. (956)

Perkataan Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī ( ِ‫ َك َما أَتَى يِف اخْلَرَب‬.) maksudnya adalah sebagaimana sabda
Rasūlullāh s.a.w.: “Seseorang belum beriman (secara sempurna) sebelum meyakini empat
hal: bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, beriman bahwa aku adalah utusan
Allah, beriman adanya hari kebangkitan setelah mati, dan beriman pada qadar Allah,
baik-buruknya, manis-pahitnya, semua dari Allah”. Hal ini sebagaimana yang disebutkan
dalam rukun iman. (967).

Catatan:

1. 90). Tuḥfat al-Murīd, hal. 187.


2. 91). Ibid., hal. 187.
3. 92). Ibid., hal. 188.
4. 93). Ibid.
5. 94). Ibid.
6. 95). Ibid., hal. 188.
7. 96). Ibid., hal. 189.

Halaman:

Melihat Allah – Terjemah Tauhid


Sabilul Abid KH. Sholeh Darat
TERJEMAH TAUHID

‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬


Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah


Penerbit: Sahifa Publishing

Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid


Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

Melihat Allah

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

ِ ٍ ِ
َ ‫لك ْن بِاَل َكْيف َو اَل احْن‬
.‫صا ِر‬
“Di antara perkara yang jā’iz bagi Allah s.w.t. adalah Dia dapat dilihat dengan mata,
tetapi tanpa diketahui caranya dan tidak terbatas.”

Di antara hal yang jā’iz bagi Allah menurut akal adalah Allah bisa dilihat dengan mata, tetapi
tanpa diketahui caranya, tanpa daya lihat mata, tidak seperti melihat makhluk, tanpa ada
perbandingan, tanpa berhadap-hadapan, tidak terbatas pada kemampunan melihat yang
dimiliki oleh mata, tidak terbatas pada apa-apa yang bisa dilihat oleh mata.

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

ِ
ْ َ‫ه َذا َو لْل ُم ْختَا ِر ُد ْنيَا ثَبَت‬
.‫ت‬

“Bagi orang-orang mu’min, (sebabnya jā’iz adalah) karena melihat Allah dihubungkan
dengan perkara yang jā’iz. Pahamilah ini! Dan bagi Nabi yang terpilih tetap juga melihat
di dunia.”

Allah boleh dilihat oleh orang-orang mu’min atau bolehnya melihat Allah hanya berlaku bagi
orang-orang mu’min. Hal ini karena dihubungkan dengan kebolehan melihat sesuatu yang
jā’iz wujudnya menurut akal, yaitu tegaknya gunung. Maka pahamilah masalah kebolehan
“melihat” ini!

Melihat Allah di dunia hanya khusus bagi Nabi yang terpilih, yaitu Rasūlullāh s.a.w. adapun
bagi selainnya, tidak boleh melihat Allah di dunia. Para Nabi, wali Allah, dan orang-orang
mu’min hanya bisa melihat Allah kelak di akhirat, yaitu setelah berada di surga, tidak boleh
selain di akhirat.

Penjelasan

Boleh melihat Allah hanya khusus bagi orang-orang mu’min di akhirat kelak, bukan di dunia
ini. Boleh melihat Allah dihubungkan dengan dibolehkannya melihat sesuatu yang jā’iz
menurut akal, yakni tegaknya gunung, sebagaimana diceritakan dalam al-Qur’ān saat Nabi
Mūsā memohon kepada Allah:

ِ ِ
‫ف َترايِن‬ ْ ‫ك قَ َال لَ ْن َتَرايِن ْ َو لك ِن انْظُْر إِىَل اجْلَبَ ِل فَِإن‬
َ َ ‫اسَت َقَّر َم َكانَهُ فَ َس ْو‬ َ ‫ب أَرِيِن ْ أَنْظُْر إِلَْي‬
ِّ ‫قَ َال َر‬

“Berkatalah Mūsā: “Ya Tuhanku nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat
melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: “Engkau sekali-kali tidak sanggup melihat-
Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala), niscaya
engkau dapat melihat-Ku (di akhirat kelak).” (QS. al-A‘rāf [7]: 143).

Dua bait di atas menyanggah keyakinan orang-orang Mu‘tazilah yang menyatakan bahwa
mustahil bagi makhluk bisa melihat Allah, karena setiap sesuatu yang bisa dilihat pasti
berupa jism, padahal mustahil Allah berupa jism. Keyakinan ini adalah sesat dan sangat
bodoh.
Tidak boleh melihat Allah saat masih di dunia bagi selain Rasūlullāh hanya berlaku dalam
keadaan sadar, adapun saat tidur, boleh melihat Allah dalam mimpi.

Seperti cerita yang terjadi pada Imām Aḥmad al-Ḥanbalī r.a., beliau bermimpi melihat Allah
sampai 99 kali, beliau kemudian berkata: “Jika aku bisa melihat Allah genap 100 kali, maka
aku akan bertanya kepada Allah.” Beliau pun kembali bisa melihat Allah dalam mimpinya,
dalam mimpi tersebut beliau bertanya kepada Allah: “Ya Allah, apa amal ibadah yang engkau
sukai?” Allah berfirman: “Orang yang membaca kalam-Ku (al-Qur’ān)”. Imām Aḥmad
kembali bertanya: “Dengan memahami maknanya atau cukup hanya membaca saja (tanpa
memahami maknanya)?” Allah berfirman: “Baik disertai pemahaman atau tanpa
pemahaman, itu merupakan ibadah yang utama.” (971).

Kesimpulannya, kita wajib meyakini bahwa boleh melihat Allah di akhirat kelak, bukan di
dunia ini, kecuali melalui mimpi. Ini bagi selain Nabi Muḥammad s.a.w. Wallāhu a‘lam.

Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi


petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.(QS. al-Muddatstsir [74]: 31)

Catatan:

1. 97). Tuḥfat al-Murīd, hal. 197.

Halaman:

Anda mungkin juga menyukai