Anda di halaman 1dari 16

KELOMPOK 1

“Hal-Hal Yang Membatalkan Wudhu”

A. Pengertian Wudhu Dan Hukum Wudhu


1. Pengertian Wudhu
Secara bahasa wudhu berarti husnu/keindahan dan nadhofah/kebersihan, selanjutnya
dikatakan sebagai wudhu karena ia membersihkan anggota-anggota tubuh dan memperindahnya.
Sedangkan pengertian menurut istilah dalam syariat, wudhu adalah peribadatan kepada Allah
dengan mencuci empat anggota tubuh dengan tata cara tertentu.

Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu‘anhu ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu


‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak akan diterima shalat seorang diantara kalian jika ia berhadats
hingga dia berwudhu” [Muttafaqun alaihi, Bukhari (135), Muslim (225)].

Adapun secara istilah didefinisikan oleh para ulama madzhab sebagai berikut :

1. Madzhab Hanafiyah mendefinisikannya adalah perbuatan mencuci dan membasuh anggota


tubuh tertentu.

2. Madzhab Malikiyah mendefinisikannya yaitu bersuci dengan air yang dikaitkan dengan
anggota tubuh tertentu yaitu ada 4 anggota tubuh (wajah, kedua tangan, kepala dan kedua
kaki) dengan tata cara tertentu.

3. Madzhab Syafiiyah mendefinisikannya dengan perbuatan tertentu yang dimulai dengan niat
atau perbuatan menggunakan air pada anggota tubuh tertentu yang dimulai dengan niat.

4. Madzhab Hanabilah mendefinisikannya dengan menggunakan air suci pada 4 anggota tubuh
dengan sifat tertentu sesuai tuntunan syariat yang dilakukan secara berurutan sesuai dengan
urutan kewajibannya.

2. Hukum Wudhu

Yang dimaksud hukum di sini adalah akibat (amalan) yang muncul setelah terpenuhinya
wudhu. Misalnya hilangnya hadats kecil, lalu dibolehkannya menunaikan shalat fardhu maupun
shalat sunnah, sujud tilawah, thawaf mengelilingi Al-Bait (Ka'bah) baik yang bersifat wajib
maupun sunnah.

Rasulullah bersabda, Madzhab Hanafi mengatakan; Barangsiapa yang thawaf di Al-Balf


(Ka'bah) tanpa wudhu, maka thawafnya sah. Namun, ia haram melakukannya. Sebab, suci dari
hadats itu wajib untuk thawaf. Dan barang siapa yang meninggalkan kewajiban, dia berdosa.
Tetapi, ia bukan syarat sahnya thawaf.

B. Hal-Hal Yang Membatalkan Wudhu

Ketika kita wudhu, itu berarti tubuh kita bersih dan suci dan kita siap untuk berdoa atau
menghadap Allah SWT, termasuk ibadah shalat dan sebagainya. Namun, ada beberapa hal yang dapat
melumpuhkan atau yang membatalkan wudhu jika kita melakukan sesuatu hal dengan sengaja atau tidak
sengaja.

Hal-hal yang membatalkan Wudhu yaitu: Pertama, sesuatu yang keluar dari dua lubang secara
alami. Selanjutnya, hal-hal yang membatalkan wudhu bukan karena sesuatu yang keluar, dan anda sudah
mengetahuinya ada empat macam: Pertama, hilangnya akal mutawadhdhi, baik karena gila, dan pingsan.
Bagian ketiga dari pembatal wudhu selain sesuatu yang keluar dari dua lubang; menyentuh dengan tangan
(al-mass). Bagian keempat pembatal wudhu sebab ada yang keluar dari dua lubang adalah sesuatu yang
keluar dari tubuh manusia, namun bukan dari qubul atau dubur, seperti nanah yang keluar dari bisul, atau
darah yang keluar karena bisulan atau luka dan sebagainya. Wudhu juga menjadi batal karena riddah
(murtad). Jika mutawaddhi murtad dari agama Islam, maka batal wudhunya.

C. Pendapat Dari Empat Mazhab Tentang Hal-Hal Yang Membatalkan Wudhu

Perkara Pertama

Ulama Malikiyah berkata, "Mani yang keluar tanpa disertai rasa nikmat yang normal, tidak
mewajibkan mandi.Ia hanya membatalkan wudhu saja, berbeda dengan imamimam yang tiga. Ulama
Asy-Syafi'iyah berkata, "Keluamya mani sudah mewajibkan mandi, baik keluar disertai rasa nikmat atau
tidak.

Perkara Kedua

Ulama Hanafiyah berkata, "Tidur tidak membatalkan wudhu secara langsung, berbeda dengan
pendapat Asy-Syaf iyah dan Hanabilah. Ulama Asy-Syaf iyah berkata, "Tidur akan membatalkan wudhu
jika orang itu tidak bisa memastikan pantatnya tetap dalam posisi duduk. Ulama Hanabilah berkata,
"Tidur membatalkan wudhu dalam semua kondisinya, kecuali jika tidurnya ringan menurut hitungan
kebiasaan yang berlaku, dan ia dalam posisi duduk atau berdiri." Ulama Malikiyah berkata, "Tidur
membatalkan wudhu, apabila lelap, baik sebentar maupun lama, baik ia tertidur dalam posisi duduk,
berbaring, ataupun dalam posisi sujud. Tidur ringan tidak membatalkan wudhu, baik sebentar maupun
lama.
Perkara Ketiga

Ulama Asy-Syafi'iyah berkata, "menyentuh (sama saja antara al-lams atau al-mass) wanita asing
membatalkan wudhu secara mutlak, meskipun tanpa disertai rasa nikmat. Ulama Hanabilah berkata,
"sentuhan akan membatalkan wudhu apabila dilakukan dengan syahwat dan tanpa penghalang, tidak ada
bedanya apakah wanita itu mahram atau bukan, apakah masih hidup atau sudah meninggal, masih muda
atau sudah fua, dewasa atau masih anakanak, yang secara umum sudah menimbulkan syahwat. Ulama
Malikiyah berkata, "Apabila mutawadhdhi menyentuh orang lain dengan tangan atau bagian tubuhnya,
maka wudhunya batal dengan beberapa syarat; baik syarat yang terkait orang yang menyentuh, maupun
orang yang disentuh. Ulama Hanafiyah berkata, "Menyentuh (al-lams) dengan bagian tubuh manapun
tidak membatalkan wudhu, meskipun subjek dan objek dalam keadaan telanjang.

Ulama Malikiyah berpendapat apabila laki laki menyentuh rambut perempuan wudhunya batal.
Berbeda dengan perempuan, apabila ia menyentuh laki-laki dengan rambutnya, maka wudhunya tidak
batal sebab rambut tidak merasakan sentuhan itu. Adapun Hanabilah dan Asy-Syafiiyah, mereka berkata,
"Menyentuh rambut tidak membatalkan wudhu."

Perkara Keempat

Ulama Hanafiyah berkata, "Menyentuh dzakar tidaklah membatalkan wudhu sekalipun dengan
syahwat. Baik dengan menggunakan telapak tangan ataupun dengan bagian dalam jemari tangannya.
Ulama Malikiyah berkata, "Menyentuh kemaluan membatalkan wudhu dengan syarail ia menyentuh
dzakarnya sendiri yang masih melekat pada dirinya. Ulama Asy-Syafi'iyah berkata, "Wudhu menjadi
batal dengan menyentuh dzakar baik yang masih melekat maupun yang sudah terpisah dari dirinya,
selama dzakar itu tidak dipotong-potong hingga tidak bisa lagi dinamai dzakar.

Ulama Asy-Syafi'iyyah sebagaimana Ulama Hanabilah tidak mengkhususkan batalnya wudhu


karena menyentuh hanya pada dzakarnya sendiri, tetapi juga karena menyentuh dzakar orang lain. Oleh
karena itulah mereka berkata, bahwa menyentuh dzakar itu membatalkan wudhu secara mutlak, baik
milik sendiri atau milik orang lain, meskipun dzakar anak kecil atau mayat.
Kelompok 2

“Tayamum”

2.1 Pengertian tayamum

Tayamum berasal dari akar kata “tayammama” yang berarti bermaksud. Secara istilah tayamum
adalah menyampaikan debu kepada wajah dan kedua tangan dengan niat khusus. Tayamum merupakan
sarana bersuci pengganti wudhu (hadas kecil) dan mandi wajib (hadas besar) ketika terdapat uzur untuk
melakukannya. Tata cara tayamum untuk kedua hadas tersebut adalah sama.

2.2 Syarat rukun tayamum

Tayamum memiliki lima rukun, yaitu:

1. Memindahkan debu. Maksudnya memindahkan debu dari sebuah tempat ke wajah dan kedua
tangan.

2. Niat, yaitu berniat melakukan tayamum.

Contoh niat tayammum: “Nawaytut tayammuma listibahatis shalati”.

3. Membasuh seluruh muka.

4. Membasuh kedua tangan.

Nabi SAW bersabda; “Tayamum itu dua kali hentakan: hentakan untuk wajah dan hentakan untuk
kedua tangan hingga kedua siku-siku.” (HR. Daruquthni).

5. Tertib antara kedua basuhan, karena tayamum adalah pengganti wudhu. Maka sebagaimana
diwajibkan tertib dalam wudhu maka diwajibkan pula dalam tayamum.

2.3 Dalil-dalil tentang tayamum

Pensyariatan tayamum ini didasarkan pada Alquran dan hadits. Alquran yaitu firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basulah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai sampai dengan kedua
mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali
dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.”
(Al-Mâidah: 6). Dan hadits Nabi SAW: “Dan dijadikan debunya bagi kita suci jika tidak menemukan air.”
(HR. Muslim).
2.4 Pendapat empat imam madzhab mengenai tayamum

1. Madzhab Hanafi

Berpendapat bahwa semua jenis yang termasuk bagian bumi seperti debu, pasir, batu atau
yang lainnya dapat digunnakan tayamum. Imam Hanafi mewajibkan niat di dalam tayamum,
namun sebagian ulama Hanafi (imam Zufar) berpendapat, bahwa tayamum tidak harus niat.
Imam Hanafi memperbolehkan tayamum dengan niat menghilangkan tayamum rof’al-hadast),
kerena tayamum merupakan pengganti mandi atau wudhu, sedangkan mandi atau wudhu dapat
menghilangkan hadast sebagaimana wudhu.

2. Madzhab Maliki

Berpendapat bahwa tayamum tidak bisa menghilngkan hadast sehingga tidak boleh
diniati rof’al-hadast (menghilangkan hadast). Dan tayamum satu kali hanya dapat digunakan
untuk shalat fardu satu kali dan shalat sunnah beberapa kali.

3. Madzhab Syafi’i

Berpendapat tidak memperbolehkan diniati untuk rof’al-hadast (menghilangkan hadast).


Niat tayamum harus bersama dengan menempelkan tangan pada debu sampai mengusap muka,
meskipun ketika mengangkat tangan tidak ada niatnya. Hal ini di karenakan di dalam tayamum
terdapat dua permulaan ,yaitu;

1. Permulaan nisbi (permulaan yang disandarkan pada permulaan hakiki) yaitu ketika
memegang debu.

2. Permulaan hakikat (permulaan sebenarnya), yaitu ketika mengusap wajah.

4. Madzhab Hambali

Sependapat dengan imam Syafi’i dan Maliki yaitu satu tayamum hanya dapat untu satu
shalat fardu saya, dan tidak boleh diniati rof’al-hadast, tetapi beliau hanya mengharuskan
mengusap kedua tangan sampai pergelangan saja sama halnya dengan imam Maliki.
Kelompok 4

“Hukum Membaca Basmalah Dalam Shalat”

2.1 Hukum Membaca Basmalah Dalam Shalat Menurut 4 Madzhab

1. Menurut madzhab Maliki

Mazhab Maliki berpendapat bahwa Basmallah pada surat Al-Fatihah tidak perlu dibaca
sama sekali. Dalilnya, diriwayatkan oleh Imam Bukhari:

Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata: "Bahwa Rasulullah SAW, Abu Bakr,
Umar, Utsman dan Ali memulai salatnya dengan Al-hamdulillahi rabbil 'aalamiin. (HR. Bukhari).

2.Menurut imam Abu Hanifah

Mazhab Hanafi berpendapat bahwa membaca Basmallah pada surat Al-Fatihah


disunnahkan dibaca sirr atau pelan. Minimal dibaca di dalam hati. Mazhab ini juga menggunakan
dalil yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata: "Saya salat di belakang Rasulullah
SAW,Abu Bakr, Umar dan Utsman. Saya tidak mendengar satupun dari mereka membaca
Bismillahirrahmanirrahim. (HR. Muslim).

3.Menurut imam Syafi’i

Membaca basmallah adalah wajib, dibaca jahr waktu sholat jahr, dan dibaca sir waktu
sholat sir, dan juga pada tiap tiap surat. Juga menggunakan dalil yang diriwayatkan oleh Imam
Abu Hatim, Ibnu Hibban & Ad-Daruqutni dengan sanad yang shahih :

Telah jelas dan tsabit bahwa Nabi SAW menjahrkan Basmallah ketika salat. (HR. Abu
Hatim, Ibnu Hibban & Ad-Daruqutni, Ini Hadits Shahih, Imam al-Hakim mengatakan sanadnya
berdasarkan syarat sanad Bukhari Muslim).

4.Menurut imam Hanabila

Mazhab Hanbali berpendapat bahwa membaca Basmallah pada surat Al-Fatihah


disunnahkan dibaca sirr atau pelan. Minimal dibaca di dalam hati. Pendapat Madzhab Hanbali ini
sama seperti pendapat Madzhab Hanafi. Dalam hal ini, Mazhab Hanbali menggunakan dalil yang
diriwayatkan oleh Imam Ad-Daruqutni:
Dari Abu Hurairah RA berkata: Bahwa Rasulullah SAW bersabda: jika kalian ingin
membaca surat Al-Fatihah maka bacalah Basmallah. Sesungguhnya Basmallah itu salah satu ayat
dari surat Al-Fatihah. (HR. Ad-Daruqutni Perawinya Tsiqoh semua).

2.2 Hukum Mengeraskan Bacaan Basmalah

Membaca Surat al-Fatihah merupakan rukun shalat, baik dalam shalat fardhu maupun shalat
sunnah. Hal ini didasarkan pada Hadits Nabi SAW berikut ini :

Dari ‘Ubadah bin Shamit, Nabi SAW menyampaikan padanya bahwa tidak sah shalatnya orang
yang tidak membaca suratt al-Fatihah. (HR Muslim).

Sementara basmalah merupakan ayat dari Surat al-Fatihah. Karena merupakan bagian dari surat
al-Fatihah, maka basmalah ini juga dianjurkan untuk dikeraskan ketika seseorang membaca al-Fatihah
dalam shalatnya, sesuai dengan Hadits Nabi SAW:

Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW (selalu) mengeraskan suaranya ketika membaca
basmalah (dalam shalat). (HR Bukhari).

Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa basmalah merupakan sebagian surat dari al-Fatihah,
sehingga harus dibaca manakala membaca al-Fatihah dalam shalat. Dan juga basmalah disunnahkan
untuk dikeraskan dalam shalat jahriyyah atau shalat yang disunnahkan untuk mengeraskan suara yakni
maghrib, isya’ dan subuh dan beberapa shalat sunnah berjamaah yang dikerjakan pada malam hari.
Kelompok 5

“Penentuan Awal Puasa dan Waktu Puasa”

2.1 Penentuan Awal Bulan Ramadhan

Menentukan masuknya bulan suci Ramadhan dapat dilakukan dengan dua hal. Pertama: melihat
hilal secara langsung, dengan syarat langitnya dalam keadaan bersih dan tidak ada yang menghalangi
pandangan untuk melihatnya, misalnya karena berkabut, suasana mendung, adanya awan gelap, atau
semacamnya. Kedua: melengkapi bulan Sya'ban hingga berjumlah tiga puluh hari, dengan syarat yang
berlawanan dengan syarat pertama. Dalilnya adalah sabda Nabi Muhammad SAW, yang artinya :
"Mulailah berpuasa setelah melihat hilal, dan berhentilah berpuasa setelah melihat hilal. Namun jika
mendung menutupi pnndangan kalian untuk melihat hilal, maka sempurnakanlah bulan Sya'ban hingga
tiga puluh hari." (HR.Al-Bukhari).

Mekanisme ini disepakati oleh para ulama. Namun madzhab Hambali berbeda dengan madzhab
lainnya tatkala langit dalam keadaan mendung. Menurut madzhab Hambali, apabila pada tanggal
duapuluh sembilan Sya'ban langit dalam keadaan mendung, maka tidak diwajibkan bagi siapa pun untuk
menyempurnakan bulan Sya'ban hingga tiga puluh hari, melainkan diwajibkan bagi mereka untuk
menginapkan niat dan mulai berpuasa pada keesokan harinya, entah kenyataannya hari itu masih
termasuk bulan Sya'ban ataupun bulan Ramadhan. Lalu jika kemudian terbukti saat mereka sedang
berpuasa bahwa hari itu masih termasuk bulan Sya'bary maka mereka tidak diwajibkan untuk melanjutkan
puasa mereka.

Adapun mekanisme cara menentukan hilal menurut tiap madzhab.

Menurut madzhab Hanafi, apabila langit dalam keadaan bersih dan sama sekali tidak ada
penghalang yang mencegah pandangan untuk melihat hilal, maka seharusnya hilal itu dipersaksikan oleh
banyak orang hingga sangat diyakini kebenarannya karena begitu banyaknya orang yang menyaksikannya
dan mempersaksikannya, namun jumlah tersebut tergantung pada pendapat imam atau perwakilannya,
dan tidak harus dalam jumlah tertentu. Disyaratkan dalam persaksian mereka untuk menyebutk an lalaz}:.
"Aku bersaksi." Adapun jika langit tidak terlalu bersih dan ada penghalang yang mencegah pandangan
untuk melihat hilal, lalu ada satu orang bersaksi bahwa dia melihat hilal, maka persaksiannya dapat
dijadikan pedoman apabila dia seorang Muslim yang akil baligh dan kompeten untuk bersaksi.

Diwajibkan bagi orang yang sudah melihat hilal dan orang yang mempercayainya untuk
melakukan puasa di keesokan harinya, meskipun imam atau hakim menolak persaksian mereka.
Sedangkan apabila mereka tidak berpuasa setelah mengetahui persaksian mereka ditolak maka kedua
orang tersebut wajib mengqadha puasanya, namun tanpa dijatuhi kafarah.

Menurut madzhab Asy-Syafi'i, masuknya bulan Ramadhan sudah harus ditentukan dengan
persaksian satu orang yang kompeten untuk bersaksi, meskipun dia bukanlah orang yang taat beribadah,
baik kondisi langit saat itu sedang mendung ataupun sedang cerah. Namun disyaratkan untuk orang yang
bersaksi itu haruslah seorang Muslim laki-laki yang akil baligtu bukan seorang hamba sahaya, dan layak
untuk bersaksi. Disyaratkan pula ada saksi tersebut memasukkan kalimat "aku bersaksi" dalam
pernyataannya.

Menurut madzhab Maliki, ada tiga kondisi untuk menentukan bulan Ramadhan yang dapat
dilakukan dengan melihat hilal. Pertama: dilihat oleh dua orang yang adil. Kedua: dilihat oleh
sekelompok orang yang jumlahnya cukup banyak dan kabar dari mereka sudah pasti diyakini
kebenarannya karena jumlahnya yang banyak itu, dan tidak mungkin mereka semua bersepakat untuk
berbohong.

Menurut madzhab Hambali, penentuan bulan Ramadhan dengan cara melihat hilal harus
melalui kabar dari seorangyartg adil secara lahiriyah dan batiniyah, oleh karena itu tidak boleh memulai
puasa apabila rukyah dilakukan oleh seorang anak kecil, atau oleh orang dewasa yang tidak diketahui
kompetensinya untuk bersaksi, meskipun dalam hal ini tidak ada bedanya antara laki-laki dan perempuary
atau antara orang yang merdeka dan hamba sahaya. Diwajibkan bagi orang yang mendengar kabar
tersebut untuk berpuasa di keesokan harinya, meskipun kabar tersebut ditolak oleh hakim yang
dikarenakan kompetensinya untuk bersaksi tidak diketahui.

2.2 Hukum Penentuan Hilal pada Suatu Daerah untuk Daerah Lainnya

Apabila di suatu daerah telah ditentukan adanya hilal Ramadhan, maka diwajibkan untuk seluruh
kaum Muslimin di daerah tersebut untuk memulai puasa, begitu juga dengan masyarakat di daerah
lainnya, baik itu daerah yang jaraknya dekat ataupun yang jaraknya jauh, asalkan berita tentang penentuan
hilal itu terdengar oleh mereka. Ini adalah pendapat dari tiga madzhab selain madzhab Asy-Syafi’i.

Menurut madzhab Asy-Syafi'i, apabila hilal telah terlihat pada suatu daerah dan telah ditetapkan
secara resmi bahwa malam itu sebagai awal malam bulan Ramadhan maka diwajibkan bagi seluruh
penduduk di daerah itu untuk memulai puasa mereka pada keesokan harinya, begitu juga dengan daerah-
daerah yang berdekatan dari setiap penjurunya. Kedekatan ini ditentukan melalui persamaan mathla', dan
jarak setiap mathla'nya adalah dua puluh empat farsakh (kurang lebih 130 km). Sedangkan bagi mereka
yang tinggal cukup jauh (yuk i di daerah yang berbeda mathla'nya), maka mereka tidak diwajibkan
untukmengikuti ketetapan daerah tersebut, dan mereka harus menetapkan rukyah hilalnya sendiri, karena
mathla' mereka sudah berbeda.

2.3 Pendapat Ahli Astrologi dalam Penanggalan Hijriyah

Ilmu astrologi tidak dapat dijadikan sandaran untuk penentuan awal bulan Ramadhan, oleh karena
itu pendapat ahli astrologi tentang masuknya bulan Ramadhan tidak dapat dijadikan sandaran . Adapun
pendapat dari ahli astrologi, meskipun didasari atas penelitian yang sangat mendalam, namun terkadang
pendapat mereka meleset dan tidak tepat, buktinya kadang kala pendapat mereka berbeda-beda satu sama
lain. Ini adalah pendapat dari tiga madzhab selain madzhab Asy-Syafi’i.

Menurut madzhab Asy-Syafi'i, pendapat dari ahli astrologi bermanfaat hanya bagi dirinya sendiri
dan orang yang mempercayainya, sedangkan bagi masyarakat umum tidak diwajibkan untuk memulai
puasa mereka dengan bersandarkan kepada pendapat ahli astrologi itu.

2.4 Hukum Mencari Hilal

Mencari hilal bagi kaum Muslimin hukumnya fardhu kifayah, tepatnya sejak terbenamnya
matahari pada tanggal dua puluh sembilan Sya'ban dan tanggal dua puluh sembilan Ramadhan sampai
mereka mengetahui kapan waktu mereka mulai berpuasa dan kapan waktu mereka menghentikannya.
Tidak ada ulama yang berbeda pendapat mengenai hal ini, kecuali madzhab Hambali yang berpendapat
bahwa hukum mencari hilal tidak sampai diwajibkan, namun hanya dianjurkan saja.

Sedangkan hilal yang terlihat sebelum terbenamnya matahari, madzhab Hanafi dan Maliki
sepakat bahwa jika hilal terlihat sebelum tergelincirnya matahari (sebelum jam 12 siang) atau setelahnya
(sebelum jam 6 sore) pada bulan Sya'bary maka berpuasa hanya diwajibkan pada hari setelahnya, tidak
perlu langsung berpuasa pada hari itu juga. Sedangkan jika hilal terlihat pada waktu-waktu tersebut di
bulan Ramadhan, maka penghentian puasa hanya dilakukan pada hari setelahnya, tidak perlu langsung
menghentikan puasa pada hari itu juga.

Menurut madzhab Asy-Syafi'i dan Hambali, apabila hilal terlihat pada siang hari, maka hilal
tersebut tidak berarti apa pury karena hilal yang dijadikan sandaran untuk memulai atau mengakhiri puasa
hanya hilal yang terlihat setelah matahari terbenam.

2.5 Penetapan Awal atau Akhir Puasa Oleh Hakim

Penentuan hilal Ramadhan dan kewajiban untuk berpuasa tidak harus dilakukan dengan
penetapan dari hakim (atau menteri agama pada zaman sekarang - pent), namun jika hakim telah
menetapkan hilal Ramadhan dengan berdasarkan cara apa pun yang direkomendasikan oleh madzhabnya,
maka masyarakat sudah wajib untuk berpuasa di keesokan harinya, meskipun cara tersebut tidak
digunakan oleh sebagian masyarakat yang madzhabnya berbeda, karena ketetapan dari hakim telah
mengangkat perbedaan tersebut. Hal ini disepakati oleh seluruh ulama.

Menurut madzhab Asy-Syafi'i, untuk penentuan hilal Ramadhan dan kewajiban berpuasa harus
diputuskan melalui penetapan hakim, oleh karena itu apabila hakim telah menetapkan awal Ramadhan,
maka diwajibkan bagi masyarakat untuk mengikuti ketetapan tersebut, meskipun ketetapan itu
berdasarkan atas kesaksian satu orangyang memenuhi syarat saja.

2.6 Penentuan Awal Bulan Syawal

Bulan Syawal tentu juga ditentukan awalnya dengan melihat hilal. Adapun mengenai mekanisme
penentuarurya ada penjelasan yang berbeda-beda dari tiap madzhabnya.

Menurut madzhab Hanafi, jika pandangan ke arah langit tidak jernih, maka awal bulan Syawal
harus ditentukan setelah ada kesaksian dari dua orang laki laki yang adil, atau satu orang laki-laki dan dua
orang perempuan. Namun jika langit dalam keadaan bersih, maka hilal harus dilihat oleh sekelompok
orang dalam jumlah yang banyak, dan setiap saksinya harus mengatakan, Aku bersaksi.

Menurut madzhab Maliki, rukyah hilal Syawal hanya dapat ditentukan dengan kesaksian dari
dua orang yang adil atau sekelompok orang dalam jumlah yang masif hingga tidak mungkin terjadi
konspirasi untuk melakukan kebohongan karena jumlah mereka terlalu banyak, namun tidak disyaratkan
keadilan pada diri mereka sebagaimana tidak disyaratkan pula kemerdekaan diri ataupun jenis kelamin
tertentu. Adapun jika yang melihat hilal hanya satu orang saja, maka hilal itu berguna bagi diri orang itu
sendiri, dia tidak boleh melakukan puasa lagi di keesokan harinya dan tidak meniatkan diri untuk
berpuasa setelah pada malam itu.

Menurut madzhab Asy-Syafi'i, persaksian dari satu orang yang adil sudah cukup untuk
menetapkan awal bulan Syawal, sebagaimana yang berlaku untuk bulan Ramadhan. Sedangkan orang
yang bersaksi harus dengan tegas menyatakan, "Aku bersaksi,".

Menurut madzhab Hambali, penetapan awal bulan Syawal tidak boleh ditentukan kecuali ada
dua orang laki-laki yang adil bersaksi telah melihat hilal Syawal dengan lafazh kesaksian seperti
disebutkan pada madzhab Asy-Syafi'i.

Menurut madzhab Hanafi dan Maliki, Apabila hilal Syawal tidak dapat dilihat maka
diwajibkan bagi kaum Muslimin untuk melanjutkan puasa Ramadhannya hingga sempurna tiga puluh
hari, namun jika setelah sempurna tiga puluh hari berpuasa hilal Syawal belum juga terlihat, dan langit
bersih dari segala penghalang, maka keesokan harinya belum diperbolehkan bagi siapa pun untuk
menghentikan puasa Ramadhannya. Sedangkan jika ketika itu langit tertutup oleh awan hitam, maka
keesokan harinya dapat dianggap sudah memasuki bulan Syawal dan puasa Ramadhan tidak boleh
dilanjutkan.

Menurut madzhab Asy-Syafi'i, apabila awal Ramadhan ditentukan melalui kesaksian seorang
yang adil, maka Ramadhan cukup dijalankan hingga tiga puluhhari, meskipun di hari ketiga puluh itu
belum ada tanda masuknya bulan Syawal, baik kondisi langit saat itu sedang cerah ataupun tidak.
Menurut madzhab Hambali, apabila awal Ramadhan ditentukan melalui kesaksian dua orang yang adil,
maka Ramadhan cukup dijalankan hingga tiga puluh hari saja, meskipun hilal Syawal belum terlihat pada
malam ketiga puluh satu. Adapun jika awal Ramadhan ditentukan hanya dengan persaksian satu orang
yang adil saja, atau ketika penentuan awal Ramadhan dilakukan pada tanggal dua puluh sembilan Sya'ban
karena langit saat itu tidak cerah, maka puasa harus dilanjutkan hingga hari ke tiga puluh satu.
KELOMPOK 6

“Zakat Tanaman Non Pangan”

2.1 Pengertian zakat tanaman non pangan

Zakat dilihat dari segi istilah fiqh berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah SWT
diserahkan kepada orang-orang yang berhak. Jadi dapat diketahui bahwa zakat tanaman pangan adalah
zakat yang dikeluarkan kaum muslimin dari penghasilan yang berasal dari makanan pokok. Sedangkan
zakat non pangan yaitu zakat yang dikeluarkan kaum muslimin dari penghasilan yang bukan dari
makanan pokok.

Pada hakikatnya baik zakat pangan dan non pangan sama-sama berasal dari satu sumber yaitu
dari hasil bumi (pertanian). Zakat hasil pertanian merupakan salah satu jenis zakat yang paling lama
dilaksanakan. Jenis tanaman yang dizakati dulu hanya syair, gandum, dan korma. Namun kini dengan
berkembangnya berbagai jenis pertanian, maka para ulama berijtihad untuk menetapkan zakat berbagai
hasil pertanian secara luas karena ijtihad ini berkaitan dengan keadilan.

2.2 Pendapat para fuqaha dan dasar hukum zakat non pangan

Mengenai zakat tanaman yang tumbuh dari tanah, para fuqaha mempunyai dua pendapat.

1. Bahwa zakat tanaman yang wajib dikeluarkan zakatnya mencakup semua jenis tanaman.
2. Bahwa tanaman yang wajib dizakati adalah khusus tanaman yang berupa makanan yang
mengenyangkan dan bisa disimpan. Para ulama ijmak tentang wajib zakat sebesar 10% atau
5% dari keseluruhan hasil tani, sekalipun mereka berbeda pendapat tentang ketentuan lain.
Adapun dasar hukum tentang zakat tanaman non pangan. Allah SWT berfirman, dalam
AlQur’an Surah Al-An'am Ayat: 141 yang mengandung makna tidak terbatas pada buah
korma, zaitun dan delima, tetapi mencakup seluruh buah-buahan yang dapat diperjual belikan
dan dikonsumsi sendiri.

Ditentukan nishab dan kadar zakatnya. Rasulullah SAW bersabda: “Dari Abi Hurairah berkata,
Rasulullah saw bersabda: “pada tanaman (biji-bijian) yang diairi dengan curah hujan zakatnya 10%
sedangkan yang diari dengan timbah atau jentera, zakatnya 5 %.” (HR. Turmudzi) Hadist ini
memeperjelas keumuman ayat Al-Qur’an diatas.

2.3 Pendapat empat imam madzhab mengenai zakat tanaman non pangan

1.Mazhab Maliki, bahwa zakat sepersepuluh diwajibkan pada macam-macam tanaman dan biji-
bijian, dengan syarat yang tumbuh di tanah tersebut adalah mencapai nisab. Jenis tanaman yang wajib
zakat adalah makanan pokok sehari-hari seperti beras, jagung dan sagu begitu juga kurma dan anggur.
Sedangkan syaratnya adalah nisab, oleh karena itu tumbuhan dan buah-buahan tidak dikeluarkan zakatnya
kecuali bila hasilnya telah sampai lima wasaq (653 kg).

2.Mazhab Syafi’i, Landasan yang dipakai oleh Imam Maliki dan Syafi’i adalah Surat Al-An’am
ayat 141. Bahwa zakat sepersepuluh hanya untuk makanan yang mengenyangkan yakni dari buah-buahan,
sedangkan tanaman yang wajib dizakati dari biji-bijian, dengan syarat bahwa tanaman yang tumbuh
tersebut mengenyangkan, bisa disimpan dan ditanam serta tahan lama. Juga telah mencapai nisab dan
tanah yang dimiliki tersebut tanah yang dimiliki oleh orang tertentu (bukan tanah wakaf). Hasil pertanian
yang wajib zakat sama seperti mazhab Maliki berupa makanan pokok.

3.Mazhab Hambali, bahwa zakat seperseppuluh wajib dikeluarkan dari setiap biji-bijian yang
mengenyangkan, bisa ditakar dan bisa disimpan. Untu sayur mayur tidak wajib dikeluarkan zakatnya,
dengan syarat tanaman tersebut bisa disimpan, tahan lama, bisa dikeringkan dan ditanam manusia. Serta
mencapai nisab dan tanaman tersebut dimiliki oleh orang yang merdeka dan muslum, pada waktu zakat
diwajibkan layak dimakan. Jenis tanaman biji-bijian yang kering dapat ditimbang, begitu juga kurma dan
anggur dikeluarkan zakatnya. Sedangkan sayur mayur tidak wajib zakat, nisabnya lima wasaq (653 kg).

4.Mazhab Hanafi, bahwa zakat wajib dikeluarkan dari tanaman yang tumbuh dari bumi, baik
dalam jumlah sedikit atau banyak. Dengan syarat tanah yang ditanami merupakan tanah usyriyyah dan
adanya kesengajaan dalam menanam dan dikehendaki pembuahannya. Juga berpendapat bahwa semua
tanaman hasil bumi yang bertujuan untuk mendapatkan penghasilan di wajibkan pengeluaran zakatnya.
Abu Hanifah tidak membedakan tanaman yang dapat di simpan dan tanaman lama atau tidak sama saja,
seperti sayur-sayuran, mentimun, labu, dan lain-lain.

Adapun menurut keempat Imam Madzhab bahwa saat wajibnya zakat pada buah dan tanaman itu
ketika tanaman atau bijinya telah keras dan dapat dimakan. Dan buah-buahan wajib bila telah tampak
baiknya. Zakat dikeluarkan hanyalah setelah dibersihkannya biji dan keringnya buah. Seandainya petani
menjual tanaman setelah kerasnya biji dan telah layak dimakan, maka zakat biji dan buah itu adalah
kewajibannya (penjual) bukan kewajiban pembeli, karena sebab wajibnya telah tercipta sewaktu hasil
tersebut masih ada dalam tanahnya.
Kelompok 7

“ Penyaluran Zakat Melalui Amil”

A. Pengertian Amil Zakat

Kata Amil berasal dari kata ‘Amilin isim fail bentuk jamak dari ‘amil, asalnya dari kata amila
ya,malu amalan. Artinya beramal atau bekerja. Dikaitkan dengan pekerjaan zakat,maka amil adalah
pekerja yan mengurusi zakat yang terdiri dari Su’at atau jubbat (pengumpul), qosssam pembagi atau
distributor,katabat/pencatat khazanah(penjaga), ru’ad atau penggembala hewan zakat. Maka jelas amil
adalah petugas perzakatan.

Pengertian Amil Zakat menurut fatwa MUI

 Seseorang atau sekelompok orang yang diangkat oleh Pemerintah untuk mengelola
pelaksanaan ibadah zakat; atau

 Seseorang atau sekelompok orang yang dibentuk oleh masyarakat dan disahkan oleh
Pemerintah untuk mengelola pelaksanaan ibadah zakat.

B. Syarat-syarat menjadi amil

Menurut Yusuf al Qaradhawi dalam bukunya,fiqh zakat, menyatakan bahwa seseorang yang
ditunjuk sebagai amil zakat harus memilik persyaratan sebagai berikut :

 Beragama Islam.

 Mukallaf. Yaitu orang dewasa yang sehat akal pikirannya yang siap menerima tanggung jawab
mengurus urusan umat.

 Amanah atau Jujur.

Menurut fatwa Simposium Yayasan Zakat Internasional IV tentang Zakat Kontemporer Bahrain,
17 syawal 1414 H (29 maret 1994 M). Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang petuas zakat
adalah:

 Islam.

 Laki-laki.

 Jujur.

 Menetahui hukum zakat.


C. Hak dan kewajiban amil zakat

Hak amil zakat yaitu memperoleh bagian zakat yang tidak terlalu kecil dan jua tidak terlalu besar.
Dalam UU No 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat bahwa para pengurus zakat berhak menerima
bagian zakat dari kuota amil yang diberikan oleh pihak yang mengangkat mereka dengan catatan bagian
tersebut tidak melebihi dari upah yangg pantas, yaitu tidak lebih dari seperdelapan zakat atau 12,5%.

Kewajiban amil zakat yaitu semua hal yang berhubungan dengan pengaturan zakat. Amil harus
mengetahui orang yang harus wajib zakat, macam-macam zakat yang diwajibkan, besar harta yang wajib
dizakati, mengetahui para mustahik dari jumlahnya, keperluan mereka dan biaya yang cukup untuk
mereka.

Anda mungkin juga menyukai