Anda di halaman 1dari 53

Wudu

Cara menyucikan anggota tubuh dengan


air sebelum salat dalam Islam

Wudu (Arab: ‫ الوضوء‬al-wuḍū', Persia:‫آبدست‬


ābdast, Turki: abdest, Urdu: ‫ وضو‬wazū')
adalah salah satu cara menyucikan
anggota tubuh dengan air.[1] Seorang
muslim diwajibkan bersuci setiap akan
melaksanakan salat. Berwudu bisa pula
menggunakan debu yang disebut dengan
tayammum.[2] Sejarah pensyariatan wudhu
terdapat dalam Al-Qur'an pada Surah Al-
Ma'idah ayat 6 yang bersamaan dengan
perintah salat fardu yaitu enam bulan
sebelum Nabi Muhammad hijrah ke
Madinah.[3] Persyaratan untuk
melaksanakan wudu ada lima dengan
enam hukum fardu. Selain itu, terdapat
delapan hal yang membatalkan wudu.[4]

Persyaratan
Sebelum melaksanakan salat, tiap muslim
wajib melakukan wudu. Caranya adalah
dengan membersihkan bagian tubuh
tertentu menggunakan air. Wudu mejadi
syarat wajib sebelum melaksanakan salat
wajib maupun salat sunah. Syarat
pelaksanaan wudu adalah berislam,
berakal sehat, menggunakan air suci,[5]
dan tidak berpenghalang.[6] Makna berakal
sehat ialah mampu membedakan antara
hal yang baik dengan hal yang buruk.
Sementara itu, air suci adalah air yang
belum pernah digunakan untuk kegunaan
lain, misalnya air hujan, air laut, air sungai,
salju yang mencair, dan air dari tangki atau
kolam besar. Penghalang di dalam wudu
adalah najis atau hadas. Penghalang ini
terbagi menjadi dua yaitu penghalang lahir
dan penghalang biologis. Penghalang lahir
misalnya kotoran yang menempel di sela-
sela kuku, sedangkan penghalang biologis
misalnya haid dan nifas bagi wanita.
Syarat tambahan diberikan kepada orang
dengan penyakit yang membuatnya selalu
berhadas. Bagi penderita penyakit selalu
berhadas, wudu dilakukan setiap
memasuki waktu salat. Penyakit berhadas
ini misalnya keputihan dan tidak mampu
menahan buang air kecil.[7]

Tata cara
Wudu dimulai dengan niat kemudian
membaca Basmalah dilanjutkan dengan
membasuh kedua telapak tangan.
Selanjutnya berkumur membasuh hidung
lalu bagian muka, kedua telapa tangan
hingga mencapai siku, mengusap bagian
kepala dan telinga lalu diakhiri dengan
membasuh kedua telapak kaki hingga
tumit. Pelaksanaan wudu ini dilakukan
secara berurutan dan di dahulukan bagian
kanan masing-masing 1x akan tetapi kalau
di rasa belum sempurna bisa di ulangi
sampai batasnya 3x.[8]

Pembatalan
Wudu dapat menjadi batal akibat beberapa
hal. Penyebab paling umum adalah
keluarnya kotoran dari anus atau alat
kelamin. Penyebab berikutnya adalah tidur
dengan posisi tubuh tengkurap atau kaki
terangkat. Wudu juga dapat batal akibat
orang yang berwudu kehilangan akal sehat
akibat mabuk, sakit, epilepsi, atau gila.
Batalnya wudu juga disebabkan karena
bersentuhan langsung antara kulit dengan
kulit pada orang yang bukan mahram.
Keberadaan atau ketidakberadaan hawa
nafsu tidak mempengaruhi pembatalan
wudu. Kondisi terakhir yang dapat
membatalkan wudu adalah menyentuh
lubang anus sendiri maupun orang lain
baik dalam keadaan hidup atau telah
meninggal.[9]

Keluar kencing, tinja dan air mani

Menurut ijmak, air kencing dan kotoran


yang keluar dari kemaluan dan anus
hukumnya membatalkan wudu. Sesuatu
yang lain selain keduanya apabila keluar
dari kemaluan dan dubur juga
membatalkan wudu. Hanya Mazhab Maliki
yang berpendapat bahwa keluarnya
sesuatu selain air kencing dan kotoran dari
kemaluan dan dubur tidak membatalkan
wudu. Mazhab Hanafi, Mazhab Hambali
dan Mazhab Maliki berpendapat bahwa air
mani yang keluar telah membatalkan
wudu. Sedangkan Mazhab Syafi'i
berpendapat keluarnya air mani tidak
membatalkan wudu, tetapi mewajibkan
wandi wajib. Sedangkan Mazhab Hanafi
berpendapat bahwa air kecing, kotoran
dan air mani membatalkan wudu.[10]

Menyentuh kemaluan sendiri

Para imam mazhab menyepakati bahwa


wudu tidak batal ketika seseorang
menyentuh kemaluannya sendiri bukan
dengan tangan. Namun, mereka berbeda
pendapat tentang pembatalan wudu
akibat menyentuh kemaluan dengan
tangan. Mazhab Hanafi berpendapat
bahwa hukumnya membatalkan wudu
dengan menggunakan sisi tangan bagian
manapun. Mazhab Syafi'i berpendapat
bahwa wudu batal jika menyentuh
kemaluan tanpa penghalang
menggunakan tangan bagian dalam.
Pembatalan wudu ini berlaku pada kondisi
adanya syahwat maupun tidak. Wudu tidak
batal jika bagian tangan yang menyentuh
adalah punggung tangan. Mazhab
Hambali berpendapat bahwa menyentuh
tangan dengan kemaluan telah
membatalkan wudu dengan menggunakan
bagian tangan yang manapun. Sedangkan
Mazhab Maliki berpendapat bahwa
pembatalan wudu hanya terjadi ketika
memiliki syahwat saat tangan menyentuh
kemaluan.[10]

Menyentuh kemaluan orang lain

Mazhab Hambali dan Mazhab Syafi'i


berpendapat bahwa menyentuh kemaluan
orang lain tidak membatalkan wudu. Hal
ini berlaku kepada orang yang menyentuh
dan orang yang disentuh. Pemberlakuan
ini untuk anak-anak maupun dewasa yang
masih hidup maupun yang telah
meninggal. Mazhab Maliki berpendapat
bahwa wudu tidak batal ketika kemaluan
disentuh oleh anak kecil. Mazhab Hanafi
berpendapat bahwa menyentuh kemaluan
orang lain tidak membatalkan wudu
siapapun yang disentuh.[11]

Sementara itu, Mazhab Hanafi, Mazhab


Hambali dan Mazhab Hanafi berpendapat
bahwa orang yang disentuh kemaluannya
tidak batal wudunya. Hanya Mazhab Maliki
yang berpendapat bahwa wudu orang
yang disentuh kemaluannya menjadi
batal.[12]

Pembatalan yang disepakati

Ada beberapa perkara atau hal yang dapat


membatalkan sahnya wudu dan telah
disepakati, di antaranya adalah:

1. Keluar sesuatu dari lubang kelamin


dan anus, berupa tinja, kencing,
kentut (buang angin),[13][14] dan
semua hadats besar seperti
keluarnya air mani, madzi, jima', haid,
nifas,[15]
2. Tidur lelap (dalam keadaan tidak
sadar),[14]
3. Hilangnya akal karena mabuk,
pingsan dan gila,[16][14]
4. Memakan daging unta,[17]
5. Menyentuh kawasan sekitar
kemaluan (qubul) atau anus (dubur)
dengan telapak tangan atau jari-jari
tanpa ada penghalang[18][19]
Pembatalan yang diperselisihkan

Ada beberapa perkara atau hal yang dapat


membatalkan sahnya wudu namun masih
diperselisihkan di antaranya adalah:

1. Sentuhan laki-laki pada wanita yang


mahram atau bukan tanpa
penghalang,[18] kemudian ada hadits
yang menjelaskan bahwa
bersentuhan tidak membatalkan
wudu,[20]
2. Menyentuh kemaluan manusia
dengan telapak tangan bagian
dalam,[18][21]
3. Keluarnya darah istihadhah,[22][23]
4. Mimisan dan muntah,[24]
5. Mengangkat dan memandikan
jenazah.[25]
Penggunaan air
Jenis air yang diperkenankan untuk
berwudu antara lain:[26]

Air hujan,
Air sumur,
Air terjun, laut atau sungai,
Air dari lelehan salju atau es batu,
Air dari tangki besar atau kolam.

Jenis air yang tidak diperkenankan antara


lain:

Air yang terkena najis,


Air sari buah atau pohon,
Air yang telah berubah warna, rasa dan
bau dan menjadi pekat karena sesuatu
telah direndam di dalamnya,
Air dengan jumlah sedikit (kurang dari
1000 liter) yang terkena sesuatu yang
tidak bersih seperti urin, darah atau
minuman anggur atau ada seekor
binatang mati di dalamnya,
Air yang tersisa setelah binatang haram
meminumnya seperti anjing, babi atau
binatang mangsa,
Air yang tersisa oleh seseorang yang
telah mabuk karena khamr (minuman
keras).

Air Musta'mal[27]

Mahzab Al-Hanafiyah

Menurut mazhab ini bahwa yang menjadi


musta’mal adalah air yang membasahi
tubuh saja dan bukan air yang tersisa di
dalam wadah. Air itu langsung memiliki
hukum musta’mal saat dia menetes dari
tubuh sebagai sisa wudu atau mandi. Air
musta’mal adalah air yang telah digunakan
untuk mengangkat hadats (wudu` untuk
salat atau mandi wajib) atau untuk qurbah.
Maksudnya untuk wudu sunnah atau
mandi sunnah. Sedangkan air yang di
dalam wadah tidak menjadi musta’mal.
Bagi mereka, air musta’mal ini hukumnya
suci tetapi tidak bisa mensucikan. Artinya
air itu suci tidak najis, tetapi tidak bisa
digunakan lagi untuk wudu atau mandi.

Mahzab Al-Malikiyah

Air musta’mal dalam pengertian mereka


adalah air yang telah digunakan untuk
mengangkat hadats baik wudu atau
mandi, dan tidak dibedakan apakah wudu`
atau mandi itu wajib atau sunnah. Juga
yang telah digunakan untuk
menghilangkan khabats (barang najis),
dan sebagaimana Al-Hanafiyah, mereka
pun mengatakan ‘bahwa yang musta’mal
hanyalah air bekas wudu atau mandi yang
menetes dari tubuh seseorang.

Namun yang membedakan adalah bahwa


air musta’mal dalam pendapat mereka itu
suci dan mensucikan. Artinya, bisa dan
sah digunakan digunakan lagi untuk
berwudu` atau mandi sunnah selama ada
air yang lainnya meski dengan karahah
(kurang disukai).

Mahzab Asy-Syafi`iyyah

Air musta’mal dalam pengertian mereka


adalah air sedikit yang telah digunakan
untuk mengangkat hadats dalam fardhu
taharah dari hadats. Air itu menjadi
musta’mal apabila jumlahnya sedikit yang
diciduk dengan niat untuk wudu atau
mandi meski untuk untuk mencuci tangan
yang merupakan bagian dari sunnah
wudu.

Namun bila niatnya hanya untuk


menciduknya yang tidak berkaitan dengan
wudu, maka belum lagi dianggap
musta’mal. Termasuk dalam air musta’mal
adalah air mandi baik mandinya orang
yang masuk Islam atau mandinya mayit
atau mandinya orang yang sembuh dari
gila, dan air itu baru dikatakan musta’mal
kalau sudah lepas atau menetes dari
tubuh. Air musta’mal dalam mazhab ini
hukumnya tidak bisa digunakan untuk
berwudu atau untuk mandi atau untuk
mencuci najis. Karena statusnya suci
tetapi tidak mensucikan.
Mahzab Al-Hanabilah

Air musta’mal dalam pengertian mereka


adalah air yang telah digunakan untuk
bersuci dari hadats kecil (wudu`) atau
hadats besar (mandi) atau untuk
menghilangkan najis pada pencucian yang
terakhir dari 7 kali pencucian, dan untuk itu
air tidak mengalami perubahan baik
warna, rasa maupun aromanya.

Selain itu air bekas memandikan jenazah


pun termasuk air musta’mal. Namun bila
air itu digunakan untuk mencuci atau
membasuh sesautu yang di luar kerangka
ibadah, maka tidak dikatakan air
musta’mal. Seperti menuci muka yang
bukan dalam rangkaian ibadah ritual
wudu. Atau mencuci tangan yang juga
tidak ada kaitan dengan ritual ibadah
wudu.
Hukum wudu

Wajib

Pelaksanaan wudu wajib dilakukan oleh


umat Muslim, ketika hendak melakukan
ibadah salat, thawaf di Ka'bah,[28][29] dan
menyentuh al-Qur'an. Berwudu untuk
menyentuh al-Qur'an menurut pendapat
para ulama empat madzhab adalah wajib,
berdasarkan salah satu surah dalam al-
Qu'ran, yang berbunyi:

“ Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah


bacaan yang sangat mulia, pada
kitab yang terpelihara (Lauhul
Mahfuzh), tidak menyentuhnya
kecuali orang-orang yang disucikan.
(Al-Waaqi'ah [56]:77-79) ”
Sementara itu ada ayat lainnya yang
mewajibkan seorang Muslim untuk
berwudu sebelum hendak melakukan
salat. Allah berfirman:[5]

“ "Wahai orang-orang yang beriman


jika kalian berdiri untuk (mendirikan)
salat maka cucilah wajah-wajah
kalian dan tangan-tangan kalian
hingga ke siku-siku dan basuhlah
kepala-kepala kalian den (cucilah)
kaki-kaki kalian hingga kedua mata
kaki..." (QS. Al-Maidah [5]:6) ”
Sedangkan menurut pendapat kedua
mengatakan bahwa yang dimaksud oleh
surat Al Waaqi'ah di atas ialah: "Tidak ada
yang dapat menyentuh Al-Qur’an yang ada
di Lauhul Mahfudz sebagaimana
ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya
(ayat 78) kecuali para malaikat yang telah
disucikan oleh Allah." Pendapat ini adalah
tafsir dari Ibnu Abbas dan lain-lain
sebagaimana telah diterangkan oleh Al-
Hafidzh Ibnu Katsir di tafsirnya. Bukanlah
yang dimaksud bahwa tidak boleh
menyentuh atau memegang Al-Qur’an
kecuali orang yang bersih dari hadats
besar dan hadats kecil.

Pendapat kedua ini menyatakan bahwa


jikalau memang benar demikian
maksudnya tentang firman Allah di atas,
maka artinya akan menjadi: Tidak ada
yang menyentuh Al-Qur’an kecuali mereka
yang suci (bersih), yakni dengan bentuk
faa’il (subjek/pelaku) bukan maf’ul (objek).
Kenyataannya Allah berfirman: "Tidak ada
yang menyentuhnya (Al-Qur’an) kecuali
mereka yang telah disucikan", yakni
dengan bentuk maf’ul (objek) bukan
sebagai faa’il (subjek).
“Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an
kecuali orang yang suci.”[30] Yang
dimaksud oleh hadits di atas ialah: Tidak
ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali
orang mu’min, karena orang mu’min itu
suci tidak najis sebagaimana sabda
Muhammad. “Sesungguhnya orang
mu’min itu tidak najis”[31]

Sunnah

Wudu bersifat sunnah apabila akan


mengerjakan hal-hal berikut ini:

1. Mengulangi wudu untuk tiap salat,[32]


2. Bagi setiap Muslim untuk selalu
tampil dengan wudu,[33]
3. Ketika hendak tidur,[34] dalam
keadaan junub,[35]
4. Sebelum mandi wajib,[36]
5. Ketika hendak mengulangi hubungan
badan,[37]
6. Ketika marah,[38]
7. Ketika hendak membaca al-Qur'an,
8. Ketika hendak melantunkan azan dan
iqamat,
9. Ziarah ke makam Nabi Muhammad,
10. Menyentuh kitab-kitab syar'i.

Sunah wudu
Berikut sunah-sunah wudu yang biasa
dilakukan oleh Nabi Muhammad:

1. Bersiwak,[39]
2. Mencuci kedua tangan sampai
pergelangan tangan sebelum
berwudu,[40]
3. Berkumur-kumur dan menghisap air
kedalam hidung[41]
4. Mencuci anggota-anggota wudu
sebanyak tiga kali, kecuali kepala
hanya sekali,[42][43][44][45]
5. Menyela-nyela jenggot yang tebal,[46]
6. Menyela-nyela jari-jari kaki dan jari-
jari tangan,
7. Menyeka (dalk),[47]
8. Mendahulukan tangan kanan
daripada yang kiri dan kaki kanan
daripada kaki kiri.[48]
9. Berdoa setelah berwudu. (https://ww
w.muslimina.id/doa-tiap-basuhan-ang
gota-tubuh-dalam-wudhu/)
10. Menggunakan air wudu dengan
hemat.[49][50][51][52]

Adapun sunah-sunah wudu yang


terkadang dilakukan di sela-sela rukun
wudu adalah:[53]
1. Membaca basmalah pada awal
berwudu.
2. Membasuh kedua telapak tangan
sampai sebatas pergelangan
tangan.[40]
3. Berkumur-kumur.[54]
4. Membasuh lubang hidung.[54]
5. Menyapu (membasuh) seluruh
kepala.[55]
6. Mendahulukan anggota tubuh bagian
kanan dibandingkan anggota badan
bagian kiri.
7. Mengusap daun dan rongga
telinga.[56]
8. Tiga kali setiap gerakan
membasuh.[57]
9. Membasuh sela-sela jari tangan dan
jari kaki.
10. Membaca doa setelah berwudu. Doa
setelah berwudu yaitu:[19]
“ "Asyhadu al laa ilaaha illallahu
wahdahu laa syarikalahu wa
asyhadu anna Muhammadan
'abduhuu wa rasuluuluhu,
Allahummaj 'alni minat tawwabiina
waj-'alnii minal mutathahhiriina waj-
'alnii min 'ibaadikash shaalihiin." ”
yang artinya ialah:
“ "Aku bersaksi bahwa tidak ada
tuhan selain Allah yang tidak ada
sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi
bahwa Muhammad adalah hamba
dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikanlah
aku termasuk orang-orang yang
bertaubat, jadikanlah aku termasuk
orang-orang yang menyucikan diri
dan jadikanlah aku termasuk
hamba-hamba-Mu yang saleh." ”
Rukun wudu
Rukun berwudu terdiri dari 6 (enam)
perihal yang utama, yaitu:[58]

Niat,[59] adapun bacaan niat


wudu(dibaca dalam hati) adalah
sebagai berikut:
“ "Nawaitul wudu'a liraf'il hadatsil
ashghari fardha lillahi ta'aala." yang ”
Adapun artinya adalah:

“ "Aku niat berwudu untuk


menghilangkan hadas kecil, fardu
karena Allah." ”
Membasuh seluruh bagian wajah
(meliputi bagian di antara telinga kiri
dan telinga kanan, dan antara mulai
tumbuhnya rambut di atas dahi hingga
ke bawah dagu.[60]
Membasuh kedua tangan sampai ke
bagian siku.[61]
Mengusap sebagian rambut kepala.[62]
Membasuh kedua kaki sampai kedua
mata kaki.[63]
Tertib, yaitu teratur dengan
mendahulukan mana yang harus
didahulukan dan mengakhirkan mana
yang harus diakhirkan sesuai dengan
yang disyariatkan.[64]
Referensi

Catatan kaki

1. Muiz 2013, hlm. 15. : "Menurut bahasa


wudu berasal dari kata wadha'ah yang
berarti kebersihan dan baik.".
2. Muiz 2013, hlm. 15. : "... menurut istilah
syara' (terminologi) adalah menggunakan
air yang suci dan menyucikan pada
anggota tubuh yang empat (yaitu wajah,
kedua tangan, kepala, dan kedua kaki)
dengan cara yang khusus menurut syariat.".
3. Ahyar, H. Ahmad; Najibullah, Ahmad (2021-
09-17). Fikih Madrasah Tsanawiyah Kelas
VII (https://books.google.com/books?id=eI
NDEAAAQBAJ&newbks=0&hl=id) . Bumi
Aksara. ISBN 978-602-444-933-9.
4. Adil 2018, hlm. 76.
5. Muiz 2013, hlm. 16.
6. Hadits Kholid bin Mi’dan bahwasanya nabi
‫ ﷺ‬melihat seorang laki-laki yang pada
kakinya ada seukuran dirham yang tidak
terkena air (wudlu), maka nabi ‫ﷺ‬
memerintahkan laki-laki tersebut untuk
mengulangi wudlu. Hadits shohih riwayat
Abu Dawud dan ada tambahan ‫ الَّص َالَة‬yaitu
(nabi ‫ ﷺ‬memerintahkannya untuk
mengulangi sholat, Irwaul Golil no 86).
7. Syafril 2018, hlm. 2.
8. Syafril 2018, hlm. 3-4.
9. Syafril 2018, hlm. 9.
10. ad-Dimasyqi 2017, hlm. 20.
11. ad-Dimasyqi 2017, hlm. 20-21.
12. ad-Dimasyqi 2017, hlm. 21.
13. Rasulullah ‫ ﷺ‬memberi fatwa kepada
seseorang yang ragu apakah dia kentut
dalam salat ataukah tidak, “Jangan dia
memutuskan salatnya sampai dia
mendengar suara atau mencium bau.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin
Zaid),
14. Muiz 2013, hlm. 26.
15. Berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib dari
nabi ‫ ﷺ‬bahwa dia bersabda tentang
seseorang yang mengeluarkan madzi,
“Hendaknya dia mencuci kemaluannya dan
berwudhu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
16. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/133.
17. “Ada seseorang yang bertanya pada
rasulullah ‫ﷺ‬, “Apakah aku mesti berwudhu
setelah memakan daging kambing?” Dia
bersabda, “Jika engkau mau, berwudhulah.
Namun jika enggan, maka tidak mengapa
engkau tidak berwudhu.” Orang tadi
bertanya lagi, “ Apakah seseorang mesti
berwudhu setelah memakan daging unta?”
Dia bersabda, “Iya, engkau harus berwudhu
setelah memakan daging unta.” (HR.
Muslim no. 360.)
18. Fathul Qarib, bab perkara yang
membatalkan wudu
19. Muiz 2013, hlm. 25.
20. Hadits Aisyah dia berkata, “Sesungguhnya
nabi ‫ ﷺ‬pernah mencium sebagian istrinya
kemudian dia keluar mengerjakan salat dan
dia tidak berwudhu lagi.” (HR. Ahmad, An-
Nasai, At-Tirmizi dan Ibnu Majah). Ini
adalah pendapat Daud Azh-Zhahiri dan
mayoritas ulama muhaqqiqin, seperti: Ibnu
Jarir Ath-Thabari, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiah, Ibnu Katsir, dan dari kalangan
muta`akhkhirin: Asy-Syaikh Ibnu Al-
Utsaimin, Asy-Syaikh Muqbil dan selainnya.
Adapun sebagian ulama yang berdalilkan
dengan firman Allah Ta’ala, “Atau kalian
menyentuh wanita …,” (Al-Maidah 5:6)
bahwa menyentuh wanita adalah
membatalkan wudhu. Maka bisa dijawab
dengan dikatakan bahwa kata ‘menyentuh’
dalam ayat ini bukanlah ‘menyentuh’ secara
umum, akan tetapi dia adalah ‘menyentuh’
yang sifatnya khusus, yaitu jima’ (hubungan
intim). Demikianlah Ibnu Abbas dan Ali bin
Abi Thalib menafsirkan bahwa ‘menyentuh’
di sini adalah bermakna jima’. Hal ini sama
seperti pada firman Allah Ta’ala tentang
ucapan Maryam, “Bagaimana mungkin saya
akan mempunyai seorang anak sementara
saya belum pernah disentuh oleh seorang
manusia pun dan saya bukanlah seorang
pezina.” (Maryam 19:20) dan kata ‘disentuh’
di sini tentu saja bermakna jima’
sebagaimana yang bisa dipahami dengan
jelas. Ini juga diperkuat oleh hadits Aisyah
riwayat Al-Bukhari dan Muslim bahwa dia
pernah tidur terlentang di depan rasulullah
‫ ﷺ‬yang sedang salat. Ketika dia akan
sujud, dia menyentuh kaki Aisyah agar dia
menarik kakinya. Seandainya menyentuh
wanita membatalkan wudhu, niscaya dia
‫ ﷺ‬akan membatalkan salatnya ketika
menyentuh Aisyah. [Lihat An-Nail: 1/195,
Fathu Al-Qadir: 1/558, Al-Muhalla: 1/244, Al-
Ausath: 1/113 dan Asy-Syarh Al-Mumti’:
1/286-291]. Catatan: Menyentuh wanita
(baik yang mahram maupun yang bukan)
tidaklah membatalkan wudhu, hanya saja
ini bukan berarti boleh menyentuh wanita
yang bukan mahram. Karena telah shahih
dari rasulullah ‫ ﷺ‬bahwa dia bersabda,
“Seseorang di antara kalian betul-betul
ditusukkan jarum besi dari atas kepalanya -
dalam sebagian riwayat: Sampai tembus ke
tulangnya-, maka itu lebih baik bagi dirinya
daripada dia menyentuh wanita yang tidak
halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani dari
Ma’qil bin Yasar).
21. Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah ditanya oleh
seseorang yang menyentuh kemaluannya,
apakah dia wajib berwudhu? Maka dia
menjawab, “Tidak, itu hanyalah bagian dari
anggota tubuhmu.” (HR. Imam Lima dari
Thalq bin Ali) Maka hadits ini menunjukkan
bahwa menyentuh kemaluan tidaklah
membatalkan wudhu. Tapi di sisi lain dia
‫ ﷺ‬juga pernah bersabda, “Barangsiapa
yang menyentuh kemaluannya maka
hendaknya dia berwudhu.” (HR. Imam Lima
dari Busrah bintu Shafwan) dan ini adalah
nash tegas yang menunjukkan batalnya
wudhu dengan menyentuh kemaluan.
Pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiah dan Asy-Syaikh Ibnu Al-
Utsaimin adalah pendapat yang
memadukan kedua hadits ini dengan
menyatakan: Menyentuh kemaluan tidaklah
membatalkan wudhu akan tetapi
disunnahkan -tidak diwajibkan- bagi orang
yang menyentuh kemaluannya untuk
berwudhu kembali. Jadi perintah yang
terdapat dalam hadits Busrah bukanlah
bermakna wajib tetapi hanya menunjukkan
hukum sunnah, dengan dalil nabi ‫ ﷺ‬tidak
mewajibkan wudhu padanya -sebagaimana
dalam hadits Thalq-. Wallahu a’lam
bishshawab. [Lihat Al-Ausath: 1/193, A-
Mughni: 1/180, An-Nail: 1/301, Asy-Syarh
Al-Mumti’: 1/ 278-284 dan As-Subul: 1/149].
22. Asy-Syaukani berkata dalam An-Nail, “Tidak
ada satu pun dalil yang bisa dijadikan
hujjah, yang mewajibkan wudhu bagi
wanita yang mengalami istihadhah.” Di
antara dalil lemah tersebut adalah hadits
Aisyah tentang sabda nabi ‫ ﷺ‬kepada
seorang sahabiah yang terkena istihadhah,
“Kemudian berwudhulah kamu setiap kali
mau salat.” Hadits ini adalah hadits yang
syadz lagi lemah, dilemahkan oleh Imam
Muslim, An-Nasai, Al-Baihaqi, Ibnu Abdil
Barr dan selainnya. [Lihat Al-Fath: 1/409,
As-Sail: 1/149 dan As-Subul: 1/99].
23. Sabiq 1990, hlm. 114. : "Berkata Hasan r.a. :
"Kaum Muslimin tetap bersembahyang
dengan luka-luka mereka." (Riwayat
Bukhari).
24. Pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hazm dan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah. Adapun
hadits, “Barangsiapa yang muntah (dari
perut) atau mimisan atau muntah (dari
tenggorokan) atau mengeluarkan madzi
maka hendaknya dia pergi dan berwudhu.”
(HR. Ibnu Majah dari Aisyah), maka ini
adalah hadits yang lemah. Imam Ahmad
dan Al-Baihaqi telah melemahkan hadits ini,
karena di dalam sanadnya ada Ismail bin
Ayyasy dan dia adalah rawi yang lemah.
25. Ada beberapa hadits dalam permasalahan
ini, di antaranya adalah hadits Abu Hurairah
secara marfu’, “Barangsiapa yang
memandikan mayit maka hendaknya dia
juga mandi, dan barangsiapa yang
mengangkatnya maka hendaknya dia
berwudhu.” (HR. Ahmad, An-Nasai dan At-
Tirmizi) Akan tetapi hadits ini telah
dilemahkan oleh Imam Az-Zuhri, Abu
Hatim, Ahmad, Ali bin Al-Madini dan Al-
Bukhari. Adapun hadits-hadits lainnya,
maka kami sendiri pernah mentakhrij jalan-
jalannya dan kami menemukannya
sebagaimana yang dikatakan oleh Imam
Ahmad -rahimahullah-, “Tidak ada satu pun
hadits shahih yang ada dalam
permasalahan ini.”
26. Muiz 2013, hlm. 6.
27. Muiz 2013, hlm. 7. : "Air musta'mal adalah
air yang telah digunakan untuk
menghilangkan hadas dan najis. Walaupun
tidak berubah rasa, warna, dan baunya,
serta masih tergolong air yang suci, namun
air ini tidak menyucikan.".
28. "Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu hendak mengerjakan salat maka
basuhlah mukamu, kedua tanganmu
sampai siku dan sapulah kepalamu serta
basuhlah kedua kakimu sampai mata kaki."
(Al-Maidah 5:6).
29. Dari rasulullah ‫ ﷺ‬dia bersabda: Salat salah
seorang di antara kalian tidak akan diterima
apabila ia berhadas hingga ia berwudu."
(H.R. Abu Hurairah).
30. Shahih riwayat Daruquthni dari jalan Amr
bin Hazm, dan dari jalan Hakim bin Hizaam
diriwayatkan oleh Daruquthni, Hakim,
Thabrani di kitabnya Mu’jam Kabir dan
Mu’jam Ausath dan lain-lain, dan dari jalan
Ibnu Umar diriwayatkan oleh Daruquthni
dan lain-lain, dan dari jalan Utsman bin Abil
Aash diriwayatkan oleh Thabrani di Mu’jam
Kabir dan lain-lain. Irwaa-ul Ghalil no. 122
oleh Syaikhul Imam Al-Albani. Dia telah
mentakhrij hadits di atas dan
menyatakannya shahih.
31. Shahih riwayat Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad
dan lain-lain dari jalan Abu Hurairah, ia
berkata: “Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah
menjumpaiku di salah satu jalan dari jalan-
jalan yang ada di Madinah, sedangkan aku
dalam keadaan junub, lalu aku menyingkir
pergi dan segera aku mandi kemudian aku
datang (menemui dia), lalu dia bersabda,
“Kemana engkau tadi wahai Abu Hurairah?”
Jawabku, “Aku tadi dalam keadaan junub,
maka aku tidak suka duduk bersamamu
dalam keadaan tidak bersih (suci)”. Maka
dia bersabda, “Subhanallah! Sesungguhnya
orang mu’min itu tidak najis” (Dalam
riwayat yang lain dia bersabda,
“Sesungguhnya orang muslim itu tidak
najis”).
32. Dari Abi Hurairah bahwa rasulullah
{{Shalallaahu_%27Alayhi_Wasallam}}
bersabda, `Seandainya tidak memberatkan
ummatku, pastilah aku akan perintahkan
untuk berwudhu` pada tiap mau salat, dan
wudhu itu dengan bersiwak. (HR Ahmad
dengan isnad yang shahih).
33. Dari Tsauban bahwa rasulullah
{{Shalallaahu_%27Alayhi_Wasallam}}
bersabda, `Tidaklah menjaga wudhu`
kecuali orang yang beriman`. (HR Ibnu
Majah, Al-Hakim, Ahmad dan Al-Baihaqi).
34. Dari Al-Barra` bin Azib bahwa rasulullah
bersabda, `Bila kamu naik ranjang untuk
tidur, maka berwudhu`lah sebagaimana
kamu berwudhu` untuk salat, dan tidurlah
dengan posisi di atas sisi kananmu.. (HR
Bukhari dan Tirmizy).
35. Dari Aisyah berkata bahwa rasulullah
{{Shalallaahu_%27Alayhi_Wasallam}} bila
ingin tidur dalam keadaan junub, dia
mencuci kemaluannya dan berwudhu`
terlebih dahulu seperti wudhu` untuk salat.
(HR Jamaah).
36. Dari Aisyah berkata bahwa rasulullah
{{Shalallaahu_%27Alayhi_Wasallam}} bila
dalam keadaan junub dan ingin makan atau
tidur, dia berwudhu` terlebih dahulu. (HR
Ahmad dan Muslim).
37. Dari Abi Said al-Khudhri bahwa rasulullah
{{Shalallaahu_%27Alayhi_Wasallam}}
bersabda, `Bila kamu berhubungan seksual
dengan isterimu dan ingin mengulanginya
lagi, maka hendaklah berwuhdu terlebih
dahulu.(HR Jamaah kecuali Bukhari).
38. Bila kamu marah, hendaklah kamu
berwudhu`. (HR Ahmad dalam musnadnya).
39. Rasulullah ‫ﷺ‬, Kalau bukan karena akan
memberatkan umatku maka akan aku
perintahkan mereka untuk bersiwak setiap
akan berwudu. (Hadis sahih, Irwaul Gholil
no 70).
40. Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 163. :
"Membasuh dua tangan sebelum berwudu
disukai, bukan wajib.".
41. Dari Luqaith bin Shabrah RA berkata: aku
bertanya, “Wahai Rosulullah SAW, kabarkan
kepadaku tentang wudlu!”. Beliau
menjawab, “Sempurnakan wudlu, sela-
selalah jari jemarimu dan bersungguh-
sungguhlah di dalam istinsyaq kecuali jika
kamu sedang shaum”. [HR an-Nasa’iy: I/ 66,
Abu Dawud: 142, Ibnu Majah: 407, Ibnu
Khuzaimah: 150, 168, al-Hakim: 537 dan
Ahmad: IV/ 33.]
42. Telah tsabit bahwasanya nabi ‫ ﷺ‬berwudu
tiga-tiga kali, dan hadis mengenai ini
banyak (di antaranya hadis Abdullah bin
Zaid).
43. Demikian pula telah tsabit bahwa nabi ‫ﷺ‬
berwudu dua-dua kali (sebagaimana dalam
hadits Abdullah bin Zaid riwayat Bukhari no
158).
44. Tsabit bahwa nabi ‫ ﷺ‬pernah berwudu
sekali-sekali (sebagaimana dalam hadits
Ibnu Abbas riwayat Bukhari no 157).
45. Juga telah tsabit bahwasanya nabi ‫ﷺ‬
berwudu sebagian anggota tubuhnya tiga
kali dan sebagian yang lain dua kali
(sebagaimana dalam hadits Abdullah bin
Zaid di atas, lihat artikel seri 1) (Lihat
Thuhurul Muslim hal 81dan Syarhul Mumti'
1/146).
46. Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 163. : "Menyela-
nyela jenggot yang tebal kala berwudu,
sunnah.".
47. Yang dimaksud dengan dalk yaitu
menyeka/menggosok anggota wudlu (yang
telah terkena air) dengan menggunakan
tangan (sebelum anggota wudlu tersebut
kering), dan yang dimaksud dengan tangan
di sini yaitu telapak (bagian dalam) tangan.
Oleh karena itu tidak cukup men-dalk kaki
dengan menggunakan kaki lainnya. (al-fiqh
al-islami 1/235). (Namun tidak ada dalilnya
harus dengan telapak tangan-pen). Menurut
jumhur ulama hukum dalk adalah sunnah
karena tidak disebutkan dalam ayat.
Sedangkan menurut Malikiyah adalah
wajib. Dalil mereka: Sesungguhnya mencuci
yang diperintahkan dalam ayat tidaklah
bisa terwujud kecuali dengan dalk,
sedangakan hanya sekadar terkena air
tidaklah dianggap sebagai satu cucian.
Dicontohkan oleh nabi ‫ ﷺ‬adalah dengan
dalk sebagaimana dalam hadits. Dari
Abdullah bin Zaid berkata: Bahwasanya
nabi ‫ ﷺ‬didatangkan air kepada dia
(sebanyak) dua per tiga mud, lalu dia
mendalk (menggosok) kedua lengannya.
(Hadits shohih riwayat Ahmad dan
dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah). Tetapi
pendapat jumhur yang lebih rojih, sebab
yang diperintahkan oleh Allah ta'ala
hanyalah mencuci bukan menggosok.
Sedangkan sekadar perbuataan nabi ‫ﷺ‬
tidak bisa menunjukkan akan wajib. Tetapi
jika air tidak bisa menyentuh kulit kecuali
dengan digosok maka hukum dalk adalah
wajib (Taudlihul Ahkam 1/179).
48. Sebagaimana sabda rasulullah ‫ ﷺ‬dalam
hadits Abu Hurairah; Jika kalian berwudu
maka mulailah dengan bagian kanan kalian.
(Hadis sahih dikeluarkan oleh Imam
Ahmad, Baihaqi, Tabrani dan Ibnu Hibban
dan dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan
dihasankan oleh Imam Nawawi).
49. Yang afdal adalah berwudu tiga-tiga kali
namun tidak boros dan berlebih-lebihan
dalam menggunakan air, baik ketika wudu
maupun ketika mandi. Sebagaimana dalam
hadis, dari 'Aisyah bahwasanya rasulullah
‫ ﷺ‬mandi janabah dengan satu ina' (yaitu
satu farq). (Hadis sahih riwayat Muslim no
319). Berkata Sofyan satu farq adalah tiga
sok.
50. Nabi ‫ ﷺ‬pernah berwudlu dengan dua per
tiga mud, sebagaimana hadis: Dari
Abdullah bin Zaid berkata: Bahwasanya
nabi ‫ ﷺ‬didatangkan air kepada dia
(sebanyak) dua per tiga mud, lalu dia
mendalk (menggosok) kedua lengannya.
(Hadits shohih riwayat Ahmad dan
dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah).
51. Berkata Imam Bukhori: "Nabi ‫ ﷺ‬telah
menjelaskan bahwa wajibnya wudu adalah
sekali-sekali, dan nabi ‫ ﷺ‬juga pernah
berwudu dua kali-dua kali dan tiga kali-tiga
kali dan nabi ‫ ﷺ‬tidak menambah lebih dari
tiga kali, ..." Oleh karena itu hendaknya
berhemat dalam berwdu dan sesuai
dengan sunah nabi ‫ﷺ‬, dari Amr bin Syuaib
dari bapaknya dari kakeknya berkata:
Seorang arab badui datang kepada Nabi
‫ﷺ‬, maka Nabi ‫ ﷺ‬memperlihatkannya
wudu dengan tiga kali-tiga kali, kemudian
nabi ‫ ﷺ‬berkata: "Demikianlah wudu, maka
barang siapa yang menambah lebih dari ini
(lebih dari tiga kali) maka dia telah berbuat
jelek dan melampaui batas dan berbuat
zalim." (Hadits ini dihasankan oleh Syaikh
Al-Albani dalam shohih Nasai 1/31).
52. Dari Abdullah bin Mugaffal bahwasanya
beliau mendengar Nabi ‫ ﷺ‬berkata:
Sesungguhnya akan ada pada umat ini
suatu kaum yang melampaui batas dalam
bersuci dan berdoa. (Hadits ini dishohihkan
oleh Syaikh Al-Abani dalam shohih Abu
Dawud 1/21) (Lihat Thuhurul Muslim hal
82).
53. Muiz 2013, hlm. 18.
54. Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 163. : "Berkumur-
kumur dan menghirup air ke hidung sunnah
dilakukan pada wudu dan mandi.".
55. Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 164. : "Menyapu
kepala cukuplah sekadar mengerjakan yang
sudah dapat dinamai menyapu dan tidak
dimestikan tangan yang menyapu itu.".
56. Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 164. : "Menyapu
telinga, sunnah, dan hendaklah disapu
dengan air baru,".
57. Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 164. : "Disukai
kita menyapu kepala tiga kali.".
58. Muiz 2013, hlm. 17.
59. Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 163. : "Niat
diwajibkan pada wudu, mandi dan
tayamum. Maka tidak sah thaharah jika
tidak dengan niat.".
60. Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 164. : "Watas
muka, ialah: antara tempat tumbuh rambut
ke ujung dagu dan dari telinga ke telinga.".
61. Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 164. : "Dua siku
masuk ke dalam bagian tangan yang wajib
dibasuh dalam berwudu.".
62. Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 164. : "Tidak sah
kita menyapu telinga saja dengan tidak
menyapu kepala.".
63. Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 164. :
"Membasuh kedua kaki dalam berwudu,
kala sanggup, difardhukan.".
64. Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 164. :
"Menertibkan wudu, wajib.".
Daftar pustaka

Ad-Dimasyqi, Muhammad bin


'Abdurrahman (2017). Fiqih Empat
Mazhab. Bandung: Hasyimi. ISBN 978-
602-97157-3-6.
Adil, Abu Abdirrahman (2018). Mujtahid,
Umar, ed. Ensiklopedi Salat. Jakarta:
Ummul Qura. ISBN 978-602-7637-03-0.
Ash' Shiddieqy, M. Hasbi. Hukum Islam.
Jakarta: Pustaka Islam. 1962.
Muiz, Abdul. Panduan Shalat Terlengkap.
Jakarta: Pustaka Makmur. 2013. ISBN
602-7639-65-2
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Bandung: Al-
Ma'arif. 1990. ISBN 979-400-038-8
Syafril, Muhammad (2018). Panduan
Salat Wajib dan Sunah (https://www.goo
gle.co.id/books/edition/Panduan_Salat_
Wajib_dan_Sunah/VSmJDwAAQBAJ?hl=
id&gbpv=1&dq=salat&printsec=frontcov
er) . Jakarta: QultumMedia. ISBN 978-
979-017-411-5.

Lihat pula
Bersuci dari hadas
Azan
Salat
Zikir

Pranala luar
Niat Wudhu dan Doa Sesudah Wudhu (h
ttps://www.teknobae.com/2022/06/niat
-wudhu-dan-doa-sesudah-wudhu.html)
Pembatal-pembatal Wudhu di
Muslim.or.id (http://muslim.or.id/fiqh-da
n-muamalah/pembatal-pembatal-wudh
u.html#_ftn13) Diarsipkan (https://web.
archive.org/web/20130405070612/htt
p://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/pe
mbatal-pembatal-wudhu.html#_ftn13)
2013-04-05 di Wayback Machine.

Diperoleh dari
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Wudu&oldid=22477156"

Halaman ini terakhir diubah pada 26 Desember


2022, pukul 10.26. •
Konten tersedia di bawah CC BY-SA 4.0 kecuali
dinyatakan lain.

Anda mungkin juga menyukai