Anda di halaman 1dari 5

Thaharah menurut bahasa artinya bersih, sedangkan menurut istilah membersihkan diri, pakaian dan tempat

dari hadas dan najis. Bersuci dalam Islam terbagi dua yaitu bersuci dari hadas dan bersuci dari najis (khubus).
Thaharah didahulukan pembahasannya dalam hukum Islam karena fungsi pokok dalam membina kehidupan
umat Islam, baik secara spiritual maupun material. Thaharah tidak saja bersinggungan dengan hukum ibadah
tetapi juga berhubungan dengan hukum jual-beli.

Najis (dhahir) adalah lawan kata dari thaharah. Najis ada dua jenis, najis hukmi dan najis hakiki. Najis adalah
segala kotoran yang menghalangi sahnya Shalat . Najis hukmi disebut dengan hadas kecil dan hadas besar.

Macam-macam khubuts (najis)


(1) bangkai, berupa daging, kotoran, nanah, muntah, kencing dan darah. Bangkai meliputi bangkai
binatang darat yang memiliki darah mengalir ketika disembelih. Bangkai binatang tidak mempunyai
darah mengalir semut, lebah dan lain-lain, tidak menyebabkan bernajis.
(2) Anjing dan Babi serta hewan yang dilahirkan dari keduanya sebagaimana hadis diriwayatkan oleh
Imam Muslim
(3) Potongan daging dari anggota badan binatang yang masih hidup adalah najis
(4) Muntah, air kencing dan kotoran manusia sedikit atau banyak adalah najis, ada sebagian ulama yang
berpendapat memaafkan jika muntahnya itu sedikit, yang didasarkan kepada hadits dari Siti Aisyah ra.
Kecuali Air kencing bayi laki-laki yang masih menyusui tidak dihukumi najis,
(5) Sesuatu yang keluar dari dubur maupun kubul yaitu wadi, mazi, dan mani. Wadi yaitu air yang
berwarna putih, kental, sedikit berlendir yang keluar mengiringi karena kecapaian. Mazi yaitu air yang
berwarna putih, bergetah yang keluar karena dorongan syahwat. Keluarnya wadi dan mazi tidak
diwajibkan mandi junub sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim adapun
Mani, sebagian ulama berpendapat itu suci, sunnah bila mencucinya bila ia basah, dan mengoreknya
bila kering sebagai hadits yang diriwayatkan oleh daruqutni. Mani menyebabkan seseorang diwajibkan
untuk mandi junub, karena menyebabkan hadas besar.

Cara membersihkan Najis ada lima cara yang bisa dilakukan yaitu :
1. Memakai air, Ketika terdapat benda najis, maka cukup dibersihkan dengan air. Najis dikategorikan
kepada najis ringan (mukhaffafah), sedang (mutawassithah), dan berat (mughallazah). Tatacara
membersihkan kategori najis ringan (mukhaffafah) adalah cukup memercikkan air, contohnya kencing
bayi laki-laki yang masih menyusu(asi). Tatacara membersihkan kategori najis sedang (mutawassithah)
adalah dengan membersihkan benda yang terkena najis tersebut sehingga hilang warna, bau dan
rasanya. Najis mughallazah (berat) maka wajib dibersihkan sebanyak tujuh kali dan salahsatunya
dengan debu atan tanah, contoh najis jilatan anjing atau babi
2. Perubahan secara alami benda najis menjadi baik, seperti perubahan khamar menjadi cuka dan
darah ghazal (kijang) menjadi minyak misik (parfum) secara alami.
3. Membakar benda najis dengan api, Pendapat ini dipegang teguh oleh ulama Hanafiyah. Menurut
ulama Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa membakar benda najis dengan api tidak dapat mensucikan
benda tersebut. Dengan alasan bahwa debu dan asapnya itu adalah najis. Begitu juga ulama Malikiyah
yang berpendapat bahwa api tidak dapat mensucikan benda najis.
4. Menyamak kulit hewan, baik hewan yang halal dimakan dagingnya maupun hewan yang tidak halal
dimakan dagingnya, jika disamak kulitnya, kulit itu boleh digunakan untuk Shalat karena telah suci
dengan sebab penyamakan. Hal ini didasarkan kepada hadis Maimunah r.a., Menurut pendapat
Mahmud Syaltut, ketentuan pencucian bejana yang dijilat anjing, cukup dibasuh sebanyak tujuh kali,
satu di antaranya dengan air bercampur tanah, hingga yakin bejana tersebut bersih dari air liur anjing.
Demikian pula tanah dapat diganti dengan sabun atau pembersih lainnya yang kuat
5. Menggunakan Tissue (basah), termasuk kategori istijmar, yaitu menggunakan benda yang kesat, dapat
dipakai untuk membersihkan najis kategori najis sedang (mutawassithah) dengan menghilangkan rasa,
warna, dan baunya

Hadas atau najis hukmi (sifat), adalah sesuatu yang mewajibkan wudhu atau mandi. Bersuci dari hadas hanya
dapat dilakukan dengan wudhu atau mandi dengan air suci mensucikan, dan jika tidak ada air dapat dilakukan
dengan tayammum. Sesuatu yang mewajibkan wudhu disebut hadas kecil dan sesuatu yang mewajibkan
mandi disebut hadas besar. Adapun sesuatu yang mewajibkan wudhu adalah segala sesuatu yang
membatalkan wudhu.

b. Macam-macam Hadas
1) Hadas kecil adalah sidat atau keadaan seseorang yang tidak suci, supaya menjadi suci harus
berwudhu. Jumhur ulama bersepakat dalam hal yang membatalkan wudhu. Hanya Sebagian kecil saja
yang diperselisihkan. Menurut pendapat ulama mazhab Hanafi ada ada dua belas perkara,. Menurut
Ulama mazhab Maliki membaginya menjadi tiga jenis. Sementara ulama mazhab Syafi’i mengatakan
bahwa terdapat empat perkara. Sedangkan ulama mazhab Hambali membaginya menjadi delapan
jenis. Perkara tersebut adalah sebagai berikut :
a. Sesuatu yang keluar dari dua jalan depan dan belakang (dubur atau kubul) seperti kencing,
buang air besar, haid, nifas, air mani, mazi, dan wadi..
b. Sesuatu yang tidak keluar dari dua jalan tersebut yaitu meliputi: Hilang akal, seperti gila,
pingsan, tidak sadar disebabkan khamar, ganja, morfin, dan tidur.
Yang menjadi perselisihan ulama adalah tidur, yang menyebabkan batal wudhu’ sebagaimana
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tumudzi.
i. Hadis tersebut dipahami oleh para ulama mazhab dengan pendapat yang berbeda,
seperti ulama Hanabilah, tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur dalam waktu yang
lama. Ketika tidur sebentar dalam keadaan terlentang tidak membatalkan wudhu
ii. Ulama Syafi’iyah: tidur yang membatalkan wudhu adalah sebagaimana yang disabdakan
oleh Rasul yaitu tidur terlentang, tidur duduk tidak membatalkan, sekalipun tidurnya lama.
iii. Ulama Malikiyah: tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang pulas sebentar atau
lama, sambil duduk, sujud, atau berbaring. Tidur dengan terlentang dalam keadaan lama
tetapi gelisah tidak pulas tidak membatalkan wudhu tetapi disunnatkan wudhu’.
iv. Ulama Hanafiyah: tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur dalam tiga keadaan: tidur
terlentang, tidur bersandar ke dinding, dan tidur duduk dengan kepala di atas lutut. Selain
dari tiga keadaan tidur ini tidak membatalkan wudhu.
c. Menyentuh wanita dengan syahwat, Menurut Imam Syafi’i menyentuh wanita tanpa penghalang
membatalkan wudhu, baik yang bersentuhannya laki-laki maupun perempuan tua ataupun muda
tanpa ada kenikmatan syahwat. berpendapat Imam Hambali bahwa wudhu menjadi batal apabila
menyentuh wanita dengan syahwat tanpa penghalang meskipun yang disentuhnya mahram,
dalam keadaan hidup atau mati, tua atau muda, kecil atau besar. Menurut Imam Malikiyah
bahwa wudhu batal dengan syarat: bagi yang menyentuh sudah balig dan bermaksud untuk
mendapat kenikmatan sekalipun tidak memperoleh kenikmatan. Syarat bagi yang disentuh jika
dia telanjang atau tertutup dengan kain tipis. Jika kain tebal tidak batal. Berbeda dengan
pendapat Imam Hanafiyah memandang tidak batal karena menyentuh sekalipun telanjang.
Suami dan isteri yang tidur dengan telanjang tidak batal wudhunya. Kecuali dalam dua keadaan:
keluar sesuatu dan bersentuhan dua parji.
d. Menyentuh kemaluan dengan tanpa penghalang, Menurut tiga imam seperti Imam Syafi’i, Maliki,
dan Hambali bahwa menyentuh kemaluan dengan tanpa penghalang adalah membatalkan
wudhu berdasarkan sabda Rasulullah saw. Menurut Imam Hanafiyah menyentuh zakar tidak
membatalkan wudhu sekalipun dengan syahwat, tetapi disunahkan berwudhu. Dalil yang
digunakan oleh Imam Hanafiyah adalah sabda Rasulullah saw, bahwa Hadis tersebut dipahami
bahwa menyentuh zakar sama dengan menyentuh telinga, pipi, dan anggota tubuh lainnya,
sehingga tidak membatalkan wudhu. Menurut Imam Hanafi, dalil yang digunakan oleh ketiga
Imam di atas adalah anjuran untuk mencuci tangan, bukan berwudhu.
e. Muntah, Ada dua pendapat ulama tentang muntah : Pertama, pendapat ulama mazhab Maliki
dan Syafi’i, wudhu tidak batal disebabkan oleh muntah. Hal ini karena Nabi Muhammad saw.
pernah muntah dan tidak mengambil air wudhu setelahnya. Dalam hadis diriwayatkan oleh
Tsauban (HR. Darulqutni). Kedua, pendapat ulama mazhab Hanafi dan Hambali. Mereka
mengatakan bahwa muntah dapat membatalkan wudhu jika keluar itu seukuran dengan kadar
satu mulut penuh yang tidak bisa ditutup melainkan dengan cara dipaksa. Dalil mereka adalah
hadis riwayat Aisyah r.a (HR. Ibnu Majah dan Darulqutni).
f. Tertawa (terbahak-bahak) ketika Shalat . Menurut pendapat jumhur ulama selain ulama mazhab
Hanafi, wudhu tidak batal disebabkan tertawa keras. Menurut mereka, kedudukan tertawa
seperti ini sama dengan bersin dan batuk. Menurut ulama Hanafi, tertawa dalam Shalat dapat
membatalkan wudhu jika orang yang Shalat itu seorang yang sudah baliq, baik tertawanya
dilakukan dengan sengaja atau terlupa. Karena Shalat adalah perkara ibadah mahdhah.
g. Makan daging unta, Menurut ulama mazhab Hambali, memakan daging unta dalam keadaan
apapun dapat membatalkan wudhu, baik daging tersebut mentah atau sudah dimasak, baik
orang itu mengetahui atau tidak mengetahui. Hal ini berdasarkan hadis riwayat al-Barra’ bin Azib.
Sedangkan ulama yang lain mengatakan bahwa memakan daging unta tidak membatalkan
wudhu beradasarkan hadis yang diriwayatkan Jabir (HR. Imam Ahmad).
h. Memandikan mayat, Mayoritas ulama mazhab Hambali berpendapat bahwa wudhu menjadi
batal disebabkan seseorang memandikan mayat secara keseluruhan atau memandikan
sebagiannya saja, baik mayat yang dimandikan itu kecil atau besar, laki-laki atau perempuan,
muslim atau kafir. Hal ini karena terdapat riwayat dari Ibnu Umar, Ibnu Abbas, bahwa mereka
berdua menyuruh orang yang memandikan mayat supaya berwudhu

2) Hadas besar, yaitu sesuatu yang mewajibkan mandi. Ada beberapa hal yang mewajibkan mandi besar,
yaitu:
a. Berjimak, baik keluar mani maupun tidak.
b. Keluar Mani.
c. Mati, Orang islam yang mati pun diwajibkan mandi, tentunya dimandikan oleh kerabat atau
orang khusus yang biasa memandikan mayat, kecuali orang yang mati syahid (dunia-akhirat)
yakni yang gugur di medan perang. Adapun orang Islam yang mati syahid karena tenggelam,
terbakar, tertabrak, terjangkit wabah, dan ibu yang meninggal setelah melahirkan tetap wajib
dimandikan untuk menghilangkan najis dalam tubuhnya dalam batas-batas wajar dan normal.
d. Haid /Nifas, yaitu darah yang keluar dari kemaluan perempuan yang rutin setiap bulan minimal
darah haid adalah setetes dan maksimalnya adalah lima belas hari. Lebih dari itu adalah
darah penyakit yang disebut darah istihadhah. Atau jika keadaan keluar darahnya secara
terputus-putus, misalnya dua hari haid dan dua hari suci, kemudian keluar lagi dan berhenti lagi,
maka seluruh hari haid dan hari suci dijumlah sehingga mencapai lima belas hari. Setelah itu,
apabilah masih keluar juga, maka ia dianggap darah istihadhah (darah penyakit). Nifas adalah
darah yang keluar dari rahim karena melahirkan walaupun keguguran. Lamanya tidak dapat
ditentukan. Adakalanya sebentar saja, tetapi pada umumnya selama empat puluh hari, dan
paling lama enam puluh hari. Bagi wanita yang keluar haid/nifas ini diwajibkan mandi. Hal ini
berdasarkan firman Allah SWT (QS. al-Baqarah (2): 222)
Setelah melahirkan, seorang ibu diwajibkan untuk mandi, bukan mandi karena keluar darah haid,
melainkan mandi setelah melahirkan untuk menyegarkan dan menyehatkannya setelah
melahirkan seorang anak.
c. Cara Membersihkan Hadas kecil
A. Wudhu, dengan membasuh wajah, kedua tangan sampai siku, menyapu kepala dan membasuh kedua
kaki sampai mata kaki. Hal ini sebagaimana firman Allah swt (QS al-Maidah/5: 6)
1) Rukun Wudhu. Dalam Al-Qur’an menyebutkan empat rukun (fardu) wudhu, yaitu membasuh muka,
kedua tangan hingga siku, mengusap kepala, dan membasuh kedua kaki hingga kedua mata kaki.
Hal ini sesuai dalam firman Allah swt dalam QS. al-Maidah/5: 6 di atas.
Namun mengenai mengusap kepala ada perbedaan dikalangan mazhab. Malikiyah dan Hanabilah
berpendapat bahwa wajib menyapu seluruh kepala, sedangkan Syafi’iyah dan Hanafiyah cukup
menyapu sebagian kepala. Walaupun demikian, Syafi’iyah menghukumi Sunah menyapu
keseluruhan kepala dan tetap menganggap sah mengusap sebagian kepala atau sepertiga atau
seperempat dari kepala.
Adapun rukun wudhu yang diperselisihkan para fukaha mengenai hukum wajibnya niat, tertib
muawalah (berturut-turut), dan menggosok anggota badan.
a. Niat, secara bahasa adalah pekerjaan atau keinginan hati yang tidak berkaitan dengan lidah.
Sedangkan menurut istilah yaitu sesuatu keinginan yang dilakukan oleh orang yang bersuci
untuk menunaikan kefarduan atau niat untuk menghilangkan hadas atau niat untuk
membolehkan melakukan apa saja yang diwajibkan bersuci ketika melakukannya. Jumhur
fukaha selain ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa niat adalah fardu dalam wudhu. Shalat
tidak dianggap sah jika wudhunya tidak diniatkan untuk ibadah mahdhah. Hal ini didasarkan
kepada sabda Rasulullah SAW. (HR. Jama’ah). Selain itu, niat juga digunakan untuk
memastikan keikhlasan dalam beribadah. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt. (QS. al-
Bayyinah/98: 5)
b. Tertib, mengawalkan dan megnakhirkan sesuatu dengan seksama. Menurut Syafi’iyah dan
Hanabilah tertib termasuk rukun dalam wudhu karena wawu athaf pada ayat wudhu
menunjukkan demikian. Berbeda dengan mereka, Hanafiyah dan Malikiyah memandang bahwa
sah berwudhu dengan pertama kali membasuh kedua tangan kemudian wajah. Walaupun
demikian, mereka menghukumi sunah melakukan tertib dalam berwudhu.
c. Muwalat (berturut-turut), Maksudnya adalah berwudhu hendaknya dilakukan secara terus
menerus, tidak ada ruang dan masa yang bisa dianggap sebagai pemisah anatara satu
perbuatan dengan perbuatan yang lain. tidak dibolehkan melakukan aktivitas lain selain
berwudhu. Ulama mazhab Hanafi dan Syafi’I berpendapat bahwa muwalat adalah amalan
sunah bukan wajib. Sebab itu, jika seseorang menjarakkan masa dalam membasuh anggota-
anggota wudhu dengan kadar masa yang tidak lama, maka tidaklah apa-apa. Adapun dalil
tentang hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari Nafi (HR. Imam Malik).
Adapun ulama mazhab Maliki dan Hambali mengatakan bahwa berturut-turut adalah fardu
dalam wudhu, namun bukan fardu dalam mandi. Hal ini berdasar pada dalil yang
diriwayatkan dari Khalid bin Ma’dan (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Baihaqi).
d. Menggosok secara perlahan dengan tangan, Jumhur ulama selain ulama mazhab Maliki
mengatakan perbuatan menggosok adalah sunnah bukan wajib, karena ayat al-Qur’an yang
berkaitan dengan wudhu tidak menyuruh melakukannya, hadis juga tidak menetapkan hal itu.

2) Sunah Wudhu, Adapun sunah-sunah wudhu meliputi:


a) Membaca Basmalah ketika memulai berwudhu
b) Bersiwak, Sunah bersiwak berdasarkan hadis dari Abu Hurairah r.a (HR. Malik, Syafi’i, Baihaqi,
dan Hakim).
c) Membasuh kedua telapak tangan sampai ke pergelangan sebanyak tiga kali. kedua telapak
tangan harus terlebih dahulu dibersihkan. Mencuci dua telapak tangan sebelum wudhu ini
didasarkan pada hadis Aus bin Aus al-Tsaqfi r.a (HR. Ahmad dan Nasa’i).
d) Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung, Berkumur-kumur untuk melengkapi
siwak. Sedangkan memasukkan air ke dalam hidung adalah berfungsi membersihkan kotoran-
kotoran yang mengganggu terhirupnya udara dari lubang hidung. Sebagaimana hadis dari
Abdullah bin Zaed r.a (Muttafaq ‘alaih).
e) Mendahulukan yang kanan daripada yang kiri, didasarkan pada hadis Aisyah R.A (HR. Ahmad,
Abu Daud, Turmudzi, dan Nasa’i).
f) Menyela-nyela anggota wudhu seperti jenggot dan kuku. Hal ini didasarkan kepada hadis Anas
r.a (HR. Abu Daud, Baihaqi, dan Hakim)
g) Membasuh tiga kali, didasarkan kepada hadis (HR. Ahmad, Muslim, dan Turmudzi).
h) Muwalat Artinya berturut-turut membasuh anggota wudhu tanpa menyela dengan pekerjaan
lain.
i) Menyapu kedua telinga, yaitu menyapu bagian dalamnya dengan kedua telunjuk serta bagian
luar dengan kedua ibu-jari. sebagaimana hadits dari al-Miqdam bin Ma’diyakriba r.a (HR. Abu
Daud dan Thahawi).
j) Menggosok-gosok anggota wudhu ketika membasuhnya agar lebih bersih
k) Selesai berwudhu, menghadap kiblat dan berdoa

3) Perkara yang wajib dilakukan dengan berwudhu ketika mengerjakan tiga perkara, yaitu :
a) Shalat, baik Shalat fardu maupun Shalat sunat, termasuk juga bila ingin mengerjakan Shalat
jenazah. Dengan demikian, tidak sah Shalat tanpa wudhu.
b) Thawaf di Baitullah, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a, Berdasarkan
hadis di atas, thawaf disyaratkan untuk berwudhu, karena thawaf pada prinsipnya adalah
ibadah seperti halnya Shalat . Bahkan, thawaf diserupakan seperti Shalat tahiyatul masjid.
c) Menyentuh mushaf al-Quran, menurut jumhur ulama berdasarkan pada firman Allah (QS al-
Waqi'ah/56: 79)
d) Mandi, yang dikenal dengan mandi junub adalah mandi yang bertujuan menghilangkan hadas
besar seperti, keluar mani/sperma, setelah jimak dan keluar darah haid/nifas. Hal ini didasarkan
kepada firman Allah swt (QS al-Maidah/5: 6)

4) Perkara yang mewajibkan mandi, disebabkan oleh lima perkara, yaitu sebagai berikut:
a) Keluar mani disertai syahwat, baik pada waktu tidur maupun ketika bangun, laki-laki maupun
wanita.
b) Hubungan kelamin, walau tidak sampai keluar mani. Menurut Syafi’i, bahwa hakikat junub
adalah hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan, walaupun tanpa disertai orgasme.
c) Haid dan nifas jika sudah berhenti, berdasarkan firman Allah swt (QS al-Baqarah/2: 222).
d) Melahirkan baik anak yang dilahirkan itu cukup umur maupun tidak, seperti keguguran.
e) Mati, maka ia wajib dimandikan berdasarkan ijma’ ulama.
f) Orang kafir jika sudah masuk Islam (Muallaf). wajib mandi sebagai awal dari penyucian dirinya.

5) Rukun Mandi, dalam kitab Al-Shalat 'ala al-Mazdahib al-Arba'ah bahwa para ulama mazhab
berbeda pendapat dalam menetapkan fardu/rukun mandi. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa
fardu mandi ada tiga. Pertama berkumur-kumur, kedua, memasukkan air ke hidung dan ketiga,
membasuh seluruh badan dengan air. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa fardu mandi ada lima,
yaitu: niat, meratakan badan (zhahir) dengan air, muwalat, menggosok-gosok seluruh badan
dengan air, dan menyela-nyela anggota badan seperti rambut. Ulama Syafi’iyah berpendapat
bahwa fardu mandi ada dua, yaitu: niat dan meratakan seluruh anggota badan dengan air.
Sedangkan ulama Hanabilah berpendapat bahwa fardu mandi cukup meratakan seluruh badan
dengan air termasuk berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung.

6) Sunah-sunah Mandi, sesuai dengan yang pernah dilakukan Rasulullah saw, pada saat mandi, yaitu
mulai dengan mencuci kedua tangan sebanyak tiga kali, membasuh kemaluan, berwudhu secara
sempurna seperti halnya wudhu pada saat ingin mengerjakan Shalat. kemudian menuangkan air ke
atas kepala sebanyak tiga kali sambil menyela-nyela rambut agar air dapat membasahi urat-
uratnya. Mengalirkan air ke seluruh badan dengan memulai sebelah kanan, lalu sebelah kiri tanpa
mengabaikan dua ketiak, bagian dalam telinga, pusar, dan jari-jari kaki serta menggosok anggota
tubuh yang dapat digosok.

7) Menurut jumhur ulama, seorang yang berhadas besar (junub) diharamkan melakukan Shalat dan
tawaf di sekitar Ka’bah, memegang, dan membawa mushaf al-Quran, kecuali dalam keadaan
darurat untuk menyelamatkannya atau mengembalikannya ke tempatnya semula. Namun, al-Jaziri
mengungkapkan perbedaan para ulama mazhab berkaitan dengan membaca al-Quran dan
berdiam diri di masjid bagi orang yang berhadas besar. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa orang
yang berjunub tidak boleh membaca al-Quran kecuali dua syarat. Pertama, membaca suatu yang
mudah dan kedua, membaca dalam dua situasi: dengan tujuan menjaga dari musuh dan untuk
menunjukkan hukum syarak. Juga tidak dibolehkan masuk masjid, kecuali dua keadaan, yaitu: tidak
ada air untuk mandi, kecuali ada di masjid tetapi diharuskan bertayamum sebelum masuk masjid
dan tidak ada tempat penampungan dari bahaya kecuali di masjid. Ulama Hanafiyah berpendapat
bahwa orang yang berjunub diharamkan membaca al-Quran sedikit atau banyak, kecuali dalam dua
keadaan. Pertama, untuk mengawali setiap urusan dengan membaca basmalah. Kedua, membaca
ayat-ayat pendek untuk berdoa. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa orang yang berjunub
diharamkan membaca al-Quran sekalipun satu huruf jika bermakud untuk membaca. Tetapi, jika
bermaksud untuk berzikir tidak diharamkan. Juga tidak dibolehkan diam di masjid, kecuali hanya
sekedar lewat itupun jika dirasa aman untuk tidak mengotori masjid. Ulama Hanabilah berpendapat
bahwa orang yang berjunub dibolehkan membaca al-Qur’an pada ayat-ayat pendek, tidak boleh
lebih dari itu. Boleh juga diam di masjid jika dirasa aman untuk tidak mengotori masjid. Secara
prinsip etika, pendapat para ulama mazhab tersebut adalah untuk menjaga kesucian kitab suci dan
tempat ibadah, sehingga orang yang berjunub tidak dibolehkan membaca al-Qur’an dan diam di
masjid.

B. Tayamum, secara bahasa adalah al-qashd, sedangkan secara istilah adalah menyapu wajah dan kedua
tangan dengan debu yang suci untuk melakukan ibadah tertentu sebagaimana firman Allah swt. (QS al-
Maidah/5: 6)
a. Sebab dilakukan tayamum
1. Tidak ada air sama sekali atau ada air tetapi tidak mencukupi dipakai bersuci, berdasarkan hadis
Imran bin Husein ra katanya (HR. Bukhari dan Muslim).
2. Jika seseorang mempunyai luka atau ditimpa sakit dan ia khawatir penyakitnya jadi bertambah
atau lama sembuhnya, baik hal itu diketahuinya sebagai hasil pengalaman atau atas nasihat
dokter yang dapat dipercaya.
3. Jika air terlalu dingin dan keras dugaannya akan timbul bahaya disebabkan menggunakannya,
dengan syarat ia tak sanggup memanaskan air tersebut, walau hanya dengan jalan diupahkan.
Atau jika seseorang tidak mudah masuk kamar mandi.
4. Apabila air yang tersedia hanya sedikit sekali dan diperlukan di waktu sekarang atau masa depan
yang dekat untuk minumnya atau minum orang lain, atau binatang (walaupun seekor anjing) atau
untuk memasak makanannya, atau mencucui pakaian yang terkena najis.

b. Rukun-Rukun Tayamum
1. Niat
2. Debu yang suci, menurut pendapat empat mazhab yang diuraikan oleh al- Jaziri. Menurut ulama
Syafi’iyah yang dimaksud al-sha’id al-thahur adalah debu yang bertebaran. Menurut ulama
Hanabilah, sha’id adalah jenis debu yang suci. Menurut ulama Hanafiyah, segala macam yang
termasuk dari jenis bumi, seperti pasir, batu, kerikil dan lain sebagainya. Sedangkan menurut
ulama Malikiyah adalah segala yang ada di atas bumi.
3. Menyapu seluruh wajah
4. Menyapu kedua tangan sampai siku. Menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah wajib menyapu
tangan hanya sampai pergelangan. Adapun sampai ke dua siku adalah sunah
.
c. Kaifiyat Tayamum, Menurut Sayid Sabiq, hendaklah orang yang bertayamum berniat lebih dahulu,
kemudian membaca basmalah dan memukulkan kedua telapak tangan ke tanah yang suci, lalu
menyapukannya ke muka Begitupun kedua belah tangannya sampai pergelangan tangan. Hal ini
sesuai dengan hadis Umar r.a. (HR. Bukhari dan Muslim). Menurut Sayid Sabiq bahwa tayamum
sama dengan wudhu, tidak disyaratkan masuknya waktu, serta bagi orang yang telah bertayamum
dibolehkan melakukan beberapa Shalat baik fardu maupun sunah sebanyak yang dikehendaki.
Tayamum menjadi batal oleh sesuatu yang membatalkan wudhu. Begitupun ia batal disebabkan
adanya air sebelum dirinya mengerjakan Shalat . Adapun jika ia sedang Shalat tiba-tiba turun hujan
atau ia melihat air, maka tetap sah tayamumnya untuk meneruskan Shalat yang sedang
dikerjakannya.

d. Mengusap di atas Pembalut (Perban atau Plaster)


1) Seorang penderita luka yang khawatir jika menggunakan air dalam wudhu atau mandi akan
menambah parah lukanya itu atau memperlambat kesembuhannya, dibolehkan mengusap (dengan
tangan yang basah) anggota tubuhnya yang terluka. Apabila hal itu membahayakan, hendaknya ia
menutup luka itu dengan perban atau pembalut lain. Jika tidak ingin terkena air, hendaklah ia
bertayamum. Boleh juga ia mendahulukan tayamumnya sebelum wudhu atau mandi.
2) Cara bersuci di atas pembalut seperti ini menjadi batal, apabila ia dibuka atau luka itu telah
sembuh. Segera setelah sembuh, pembalut harus dibuka dan sejak itu harus bersuci kembali secara
sempurna.
3) Apabila yang dibalutkan itu sekitar anggota wudhu, maka dibolehkan mengusapkan di atas
pembalutnya itu dengan air, sekalipun tidak terkena anggota wudhu, tetapi Shalat nya harus diulangi.
Jika sebelum dibalutkan ia dalam keadaan tidak berwudhu. Tetapi jika sebelum dibalutkan dalam
keadaan berwudhu, maka Shalat nya tidak harus diulang.

C. Kontekstualisasi Nilai-nilai Moderasi Beragama dalam Materi Thaharah


Thaharah merupakan salah satu syarat sahnya ibadah tertentu. Berkaitan dengan tata cara Thaharah
beberapa imam mazhab berbeda pendapat, baik dari segi rukun, syarat wajib maupun syarat sahnya.
Masyarakat yang mengikuti mazhab tertentu pastinya mengikuti apa yang diyakininya begitupun pengikut
madzhab yang lain. perbedaan dalam hukum thaharah merupakan rahmat bagi umat Islam sehingga dapat
ambil hikmahnya yakni untuk memberikan kemudahan-kemudahan dalam beribadah. Sewajarnya antar
umat Islam tidak mempermasalahkan apa yang dipraktikkan oleh umat Islam yang bermazhab lain sebab
masing-masing mazhab yang mereka ikuti pada dasarnya menerapkan hukum Islam sesuai dalil masing-
masing. Menghargai perbedaan tatacara Thaharah sesuai mazhab masing-masing adalah cerminan sikap
moderasi beragama berupa tasamuh (toleransi) dan al-la ‘unf (anti kekerasan). Toleransi dalam hal ini
bukan toleransi antar umat agama yang lain, akan tetapi toleransi antara pemeluk agama yang sama
dengan menerima perbedaan pendapat dari setiap pengikut mazhab. Sedangkan untuk alla ‘unf (anti
kekerasan) adalah tidak ekstrem terhadap satu pendapat saja sehingga memaksakan pendapat yang
diyakini itulah yang paling benar dan menganggap pendapat yang lain itu salah.

Anda mungkin juga menyukai