Anda di halaman 1dari 8

MENGHADIRKAN FATWA LAIN

MENJAWAB VAKSIN MENINGITIS

Seperti pernah dilansir Jawa Pos, Minggu, 28 Juni 2009 Sekretaris Komisi Fatwa MUI H
Aminuddin Yaqub menyampaikan Komisi Fatwa MUI telah mengeluarkan fatwa haram
terhadap vaksin meningitis (infeksi pada lapisan otak). Fatwa tersebut dikeluarkan
setelah melalui pertimbangan dan analisis mendalam para anggota Komisi atas
penjelasan pembuatan vaksin, baik dari produsen dan dari laporan LPPOM MUI.
Menurutnya, ketetapan haram itu bukan melihat dari hasil akhir vaksin meningitis,
namun, karena pembuatan vaksin bermerek Mencevax ACWY itu memanfaatkan lemak
atau enzim babi. Walaupun menurut penjelasan Depkes, pembuatan vaksin tersebut
sudah melalui ekstraksi atau katalisator sehingga unsur babinya dihilangkan, Komisi
Fatwa MUI tegas tetap mengatakan setiap produk yang memanfaatkan bahan haram
adalah haram. Lebih dari itu, MUI meminta pemerintah menunda pemberangkatan
jamaah haji ke Tanah Suci, Makkah dan terakhir, berfatwa boleh memakai vaksin
meningitis dalam keadaan terpaksa.

Fatwa dan Keputusan Negara


Apa yang disampaikan MUI, melalui Komisi Fatwanya tentu mempunyai dasar kuat dan
telah sesuai dengan ijtihad para imam fiqih. Tentu tidak salah MUI mengeluarkan fatwa
tersebut. MUI dengan segudang ulama dari berbagai ormas Islam mempunyai kapasitas
untuk melakukan tanggung jawabnya.

Sebagaimana dalam sejarahnya, setiap ulama dengan kapsitas dan integritas yang diakui,
mereka berhak untuk mengeluarkan fatwa. Fatwa dan pendapat menjadi berbeda-beda.
Lalu, terjadi “pasar fatwa” di luar masalah-masalah prinsip agama. Hal ini bisa kita lihat
semisal dari Fatawi (koleksi fatwa) Ibnu Taimiyah (w. 1328 M), Fatawi Imam Subki (w.
1370 M), Fatawi Imam Romli (w. 1596), Fatawi Imam Ibnu Hajar al-Haitami (w. 1567).
Dan tidak ada satupun dari fatwa itu yang dapat mengikat dan bisa dipaksakan kecuali
jika telah berubah menjadi ketetapan negara (hukm). Kekuatan mengikat dan memaksa
itulah yang dijadikan Syaikh Nawawi Banten (w. I316 H) untuk membedakan antara
fatwa dan hukm(Lihat, Nihayatuzzain, hal. 273). Disinilah diktum peradilan berlaku,
hukmul hakim yarfa’ al-khilaf (keputusan hakim memutus perbedaan pendapat).

Sungguh tepat, jika Menteri Agama, Maftuh Basyuni hanya menjadikan fatwa MUI
sebagai referensi yang belum tentu diambil oleh pemerintah. (Jawa Pos, 30 Juli 2009)
Karena MUI dalam sistem ketatanegaraan kita tidak termasuk lembaga Legislatif,
Eksekutif maupun Yudikatif. Keputusan mengikat dan vonis memaksa apapun jika
dilakukan oleh individu warga ataupun suatu kelompok atas warga yang lain dapat
mudah menyebabkan fitnah, keresahan dan dlaudlo atau ketidakstabilan. Untuk itulah,
dalam fiqih Islam, warga negara siapapun dia, tanpa negara, dilarang “menghakimi”
warga yang lain walaupun dia pelaku zina.

Pertanyaan selanjutnya, apakah pendapat atau fatwa MUI dalam polemik vaksin
meningitis ini adalah satu-satunya pendapat? Penulis di sini tidak akan mencoba
menyusun fatwa, namun berikhtiar mengahadirkan fakta sejarah penafsiran para fuqaha
klasik terkait kasus ini. Karena dengan membuka selebar-lebarnya khazanah fiqih umat
dari semua generasi dan seluruh madzhab, kita akan bisa melihat masalah lebih jernih,
obyektif, toleran, tidak emosional dan tidak gegabah.

Dalam Fiqih Islam, dua persoalan di atas masuk kajian bab najasaat wa izaalatuha
(benda-benda najis dan cara pensuciannya) dan bab makanan dan minuman. Pendapat
ekstra hati-hati dan cenderung ketat dikeluarkan oleh Imam Syafii (w. 820 M). Beliau
dengan keras berpendapat bahwa babi termasuk najis yang berat (najasat
mughalladhah), sehingga apapun yang bersentuhan dengan babi tidak dapat menjadi
suci kecuali jika dicuci dengan air sebanyak tujuh kali dan diantaranya harus dengan air
yang bercampur dengan tanah. Demikian pendapat Imam Syafii. Berpijak pendapat ini,
vaksin meningitis tersebut berstatus “terkena najis yang berat” (sekali lagi, bukan
sebagai benda najis, tapi terkena najis atau mutanajjis) karena dalam prosesnya pernah
bertemu dengan unsur babi, walaupun sudah hilang sama sekali dalam hasil akhirnya.
Selanjutnya, benda yang terkena najis diharamkan untuk dikonsumsi. Pendapat MUI
sejalan dengan Madzhab Imam Syafii.

Dalam konteks ini, Imam Abu Hanifah (w. 767 M) berpendapat lain. Seperti dipaparkan
oleh oleh Ibnu Rusyd (w. 1198 M) dalam buku perbandingan madzhab yang sangat
penting, Bidayatul Mujtahid. Untuk menimbang pendapat Imam Syaffi dan Imam Abu
Hanifah, Ibnu Rusyd mengajukan pertanyaan, “apa sebenarnya tujuan dari
menghilangkan najis?”, “kenapa harus dengan air?” “kenapa harus tujuh kali?” “kenapa
harus pula dicuci sekali dengan air yang bercampur tanah?” (Vol I, hal, 60 dan 62). Ibnu
Rusyd mencoba menelisik rasionalitas Imam Abu Hanifah dan tekstualitas Imam Syafii
ketika memahami dalil-dalil dalam masalah najis ini. Di sinilah kita akan menghadirkan
Imam Abu Hanifah menjawab polemik vaksin ini.

Pendapat Imam Abu Hanifah


Ada dalil, Nabi memerintahkan untuk mencuci tubuh, dubur, kemaluan dan tempat solat
dengan menggunakan air. Imam Syafii memahaminya sesuai lahiriah teks yang ada dan
mafhum terbalik dari hadis ini adalah, dengan tanpa air, sesuatu yang terkena najis tidak
dapat menjadi kembali suci. Sementara Imam Abu Hanifah melihat lebih dalam lagi,
menggunakan makna tersirat di balik teks ini, yaitu perintah secara umum untuk bersuci
dari najis. Air tidak satu-satunya alat. Menurutnya, tujuan utama bersuci dari najis
adalah bagaimana benda (‘ain) najis menjadi hilang. Beliau tidak menempatkan air
sebagai alat cuci yang mempunyai nilai lebih dibanding alat lain sehingga menjadikannya
satu-satunya alat suci.

Ada tiga sunnah Nabi yang kemudian menjadi sumber penalaran induktif Abu Hanifah
untuk menguatkan pendapatnya ini. Pertama, Nabi pernah menggunakan batu untuk
mensucikan dubur dari najis berak dan kemaluan dari najis kencing; kedua, saat Ummu
Salamah bertanya, “aku selalu memanjangkan pakaianku hingga menyentuh tanah dan
aku sering berjalan di tempat-tempat najis (al-qadzar)”, Nabi lalu menjawab, “najis yang
ada di pakaian telah disucikan dengan debu tanah yang mengenainya kemudian” (ujung
kain yang terkena najis menjadi suci karena juga akan terkena tanah); ketiga, hadis Nabi,
“jika kalian menginjak najis (al-adza) dengan sandal kalian, maka tanah adalah alat untuk
mensucikan sandal itu (dengan menggosokkan sandal di tanah)”. Dari ketiga hadis
tersebut lalu ditarik sebuah kaedah dan kesimpulan,”alat apapun yang dapat
menghilangkan najis, maka alat itupun telah dapat merubah benda yang terkena najis
1
menjadi suci.”

Dari kaedah tersebut, Imam Abu Hanifah meluaskan jenis alat dan cara mensucikan
benda yang terkena najis, tidak hanya air, batu dan tanah saja. Cairan apapun asal suci
seperti air liur pun dapat digunakan. Pencucian dapat dilakukan dengan menggosok
-gosok (al-dalk), mengusap dengan kain basah, mencukil dengan kayu (al-hatt) dan
dengan cara apapun dengan syarat benda najis tersebut dapat dipisahkan. (Bidayah, hal
60 dan 62 al-Fiqh al-Islami, hal 205-210).

Berangkat dari kesimpulan ini pula, Imam Abu Hanifah tidak mensyaratkan “tujuh kali”
dalam penyucian tempat yang dijilat anjing. Asal bersih, cukup! Hadis tentang perintah
Nabi untuk mencucinya sebanyak tujuh kali ditempatkan sebagai perintah sunnah, untuk
kesempurnaan, bukan perintah wajib. (Bidayah, 62).

Istihalah

1
. Imam Syafii memahami ketiga hadis di atas sebagai bentuk rukhshoh atau kemurahan yaitu suatu ketentuan yang
keluar dari kaedah umum atau hukum asli dalam hal ini adalah perintah mencuci dengan air. Dan tipikal Madzhab
Syafii dalam menyikapi rukhshoh adalah membatasi berlakunya dengan ketentuan-ketentuan seketat mungkin,
rukhsoh berlaku hanya pada saat kondisinya sama dengan kondisi ketika Nabi mengambil rukshoh tersebut. Kita bisa
lihat misalnya bagaimana ketatnya Madzhab Syafii memberlakukan kebolehan mengusap sepatu dalam wudlu, sepatu
harus sekuat sepatu yang dipakai Nabi. Demikian juga akad musaqah hanya berlaku untuk pohon korma dang anggur,
dan jual beli ‘araya hanya jika yang melakukannya orang yang miskin (Jika diperlukan footnote ini dapat disisipkan
dalam artikel)
Konsep yang sama, juga dicetuskan pendiri Madzhab Hanafi ini dalam melihat benda
najis dan suci. Dalam Madzhab Hanafi dikenal istilah istihalah, yaitu proses perubahan
atau peralihan sifat suatu benda. Menurutnya, istihalah termasuk proses perubahan
benda najis menjadi suci. Profesor Wahbah Zuhaili dalam Al-Fiqh al Islami wa Adillatuhu
(hal. 212) mencatat beberapa contoh istihalah yang ditulis ulama Hanafiyah.
Diantaranya: darah hewan kijang berubah minyak misik, khamr berubah menjadi cukak,
bangkai yang jatuh di air garam berubah suci jika ikut berubah menjadi garam (bahkan
bangkai anjing dihukumi suci jika sudah berubah menjadi garam), kotoran hewan
berubah menjadi abu setelah dibakar, minyak yang terkena najis diolah menjadi sabun,
najis di tanah karena berjalannya waktu berubah menjadi tanah dan hilang bekasnya.
Istihalah dalam bentuk apapun dan dengan cara apapun dapat merubah status najis
suatu benda menjadi suci.

Kesimpulan
Berdasar pada konsep suci-najis yang dirumuskan Imam Abu Hanifah, yaitu ketika suatu
benda sudah dipisahkan dari unsur-unsur atau sifat-sifat benda najis maka benda
tersebut sudah suci dan halal dikonsumsi. Maka menurut hemat penulis, Madzhab
Hanafi akan dengan terang menghukumi vaksin meningitis yang telah lama digunakan
untuk jamaah haji dari banyak negara Islam sebagai produk yang suci dan halal. Tanpa
ragu.

Kecenderungan kuat Madzhab Hanafi terhadap rasionalitas sangat mungkin membuat


banyak di antara kita terkejut dan terheran-heran, bahkan menilainya terlalu liberal.
Bagaimana tidak?! Ketika semua orang menyesatkan orang yang solat dengan dua
bahasa, Imam Abu Hanifah telah lama memperbolehkannya, dengan alasan, bagi muslim
non Arab fungsi Quran sebagai petunjuk akan sempurna jika diterjemahkan. (lihat
Majmu’ Imam Nawawi, Vol. III, hal. 380). Akhirnya, semoga saja pembacaan kita
terhadap madzhab fiqih sunni tertua tersebut setidaknya membuat kita lebih terbuka
dan lebih toleran. Sikap toleran dan saling menghormati antar umat Islam yang berbeda-
beda dalam sikap dan pilihan madzhab keagamaannya harus terus dikembangkan.
Sayyid Muhammad al-Maliki (Lihat, al-Insan al-Kamil) menyatakan, “min ushul al-kamal
fi al-syari’ah al-islamiyah: al-murunah wa ‘adamul jumud fi ltizami ro’yin mu’ayyan aw
madzhab khassh fi ma sya’nuhu al-ijtihadu wan-nadharu. Singkat kata, keterbukan atas
pandangan-pandangan fiqih adalah syarat utama kesempurnaan Ajaran Islam. Wallahu
a’lam bishshowab.

Muhammad Faeshol Muzammil,

CURICULUM VITAE
Siroh Dzatiah

Nama : Muhammad Faishol Muzammil


TTL : Pati, 14 Pebruari 1979
.Alamat : Jalan Ronggo Kusumo, Ngemplak Kidul, Margoyoso Pati
Kontak : Rumah: 0295- 5517815, Hp: 08112700382
Kantor : Pondok Kulon Banon dan
Madrasah Quran Terpadu ADIWIJAYA, Desa Kajen, Margoyoso.

Pendidikan :
 SMPN Margoyoso (lulus 1994)
 Ibtidaiyyah-Tsanawiyah Madrasah Raudlatussyubban Sekarjalak (-1993)
 MA Ghazaliyah Syafiiyyah Sarang-Rembang dan Mondok di Pesantren Ma’had
Ulum Syariyyah, Sarang (lulus 1998)
 Ma’had Darul Muhajirin, Awali Makkah (1998-2001)
 Peserta Semiloka “Islam Emansipatoris” diselengggarakan oleh P3M
(Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) selama 5 hari di
Jakarta (2002).
 Peserta TOT (Trainning Of Trainners) “Membangun Gerakan Anti Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT)” diselenggarakan oleh PUAN AMAL HAYATI, 5 hari di
Bumi Perkemahan Cibubur Jakarta (2003)
 Peserta TOT “Membangun Gerakan Anti Korupsi Berbasis Pesantren”
diselenggarakan atas kerjasama P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren
dan Masyarakat) & Kekatiban PBNU, 3 hari di Wisma Santri Edi Mancoro-Salatiga
(2003).
 Peserta Whork Shop “Mengkaji Islam & Barat” diselenggarakan atas kerjasama
IKAHA (Institut Keagamaan Hasyim Asyari) Jombang & INSIST (Kelompok Kajian
Islam Moderat, Sarjana Indonesia di Malaysia) 3 hari di Jombang (2004).
 Peserta Sarasehan “Membangun Gerakan Antar Umat Beragama Melawan
Korupsi”, Hotel Pandanaran-Semarang Nopember 2006.
 Peserta Workshop “Pengintegrasian Perspektif Gender dalam Pengajaran Kitab
Kuning Pesantren”, kerjasama Yayasan Mahasina Jakarta dan Departemen
Agama, Kajen, 9-10 Januari 2007.
 Sedang “ngaji sorogan” di FISIP Universitas Terbuka.

Pengalaman Mengajar, Oraganisasi dan Seminar


 Ketua Lembaga Bahtsul Masail NU Pati (2008-sekarang)
 Anggota LBM RMI Cabang Pati (2003-2008)
 Staf Pengajar, Katib Pengasuh ‘Amm dan Pengasuh Bidang Pendidikan Pondok
Kulon Banon (2001 – sekarang)
 Pengurus Lembaga Ta’mir, Imam & Khothib Masjid Nurul Ihsan, Waturoyo Pati
(2005-sekarang)
 Pengurus Lembaga Ta’mir, Imam & Khatib Masjid Jami' Rangga Kusuma
Ngemplak Kidul Margoyoso Pati (2006-sekarang).
 Anggota Dewan Pendiri, Mudir Qism Ta’lim & Dosen LPBA KAJEN (Lembaga
Pengajaran Bahasa Arab), Progam Setara D2.
 Naib Mudir Bidang Pendidikan di Madrasah al-Quran Terpadu (MQT) Adiwijaya,
Kajen, (2006-sekarang).
 Anggota Delegasi PCNU Pati dalam Diskusi Hukum Islam (Bahtsul Masail
Maudluiyyah) diselenggarakan oleh PWNU Jawa Tengah di Pondok Quran az-
Zayadi Solo, 2006.
 Moderator Diskusi bersama Dr. KH. MA. Sahal Mahfudh, Tentang Fiqh Sosial,
Desember 2006.
 Pemakalah dalam Musyawarah Bahtsul Masail Tematik, diselenggarakan oleh
Syuriah PCNU Pati dengan tema “Zakat Profesi dalam Kajian Fiqh” di MMH Tayu
dalam memperingati Haul KH. Sholeh Amin Tayu, Januari 2007.
 Narasumber dalam Bedah Media Dakwah dan Politik äl-Waíe” dalam tema
“Khilafah antara Tantangan dan Peluang”, diselenggarakan DPD Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) Jawa Tengah, Semarang, 23 Maret 2007.
 Moderator Bedah Buku Fiqih Sosial Dr. KH. MA. Sahal Mahfudh, dalam HUT ke-
70 beliau, 2007
 Anggota Delegasi PCNU Pati dalam Bahtsul Masail Maudluiyyah
diselenggarakan oleh PWNU Jawa Tengah di Pondok Benda, Bredbes, 2008

Anda mungkin juga menyukai