Anda di halaman 1dari 2

Najis adalah hal yang tak lepas dari keseharian kita. Ia terkait dengan keabsahan ibadah shalat.

Tidak
hanya dalam ibadah, najis juga menjadi sebab keharaman suatu makanan atau minuman. Nah, dalam
persoalan najis ini, ulama memiliki keragaman pendapat yang akan berdampak pada penetapan status
halal dan haram dalam pangan, obat maupun kosmetika.

Secara bahasa, najis merupakan turunan dari kata najisa – yanjisu – najsan. Ia semakna dengan al-
qadzarah, yakni sesuatu yang kotor. Dalam Lisanul Arab, Ibnu Manzhur menyebutkan bahwa makna
najis mencakup tinja manusia dan hewan serta hal-hal lain yang membuat jijik. Di samping makna
kebahasaan tersebut, para ulama fiqih memberikan definisi tersendiri seputar najis.

Salah satu bahasan seputar najis adalah dari Imam al-Jashshash, seorang ulama bermazhab Hanafiyah,
dalam kitabnya Ahkamul Quran. Beliau menafsirkan ayat berikut: ٌ‫…يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِإنَّ َما ْال ُم ْش ِر ُكونَ نَ َجس‬
“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis...” (QS At Taubah: 28)

Imam al-Jashshash menyebutkan bahwa najis ada dalam benda dan perbuatan – karena di ayat itu
terkait dengan perilaku syirik. Perbuatan syirik adalah sesuatu yang buruk sehingga disebut najs, kembali
ke arti literernya. Namun ulama yang wafat tahun 370 H ini tidak menjelaskan perihal najis benda secara
spesifik.

Menurut KH. Ali Mustafa Yaqub, benda najis tidak dijelaskan oleh beliau karena masyarakat kala itu
sudah paham dan tahu benda apa yang najis dan tidak. Tanpa diberikan definisi, masyarakat tahu: ini
najis, itu tidak najis. Sebagian ulama dari generasi awal memang kerap tidak menyajikan pengertian
definitif karena sudah dikenalnya barang-barang yang dianggap najis.

Kalangan ulama mazhab Hanafi yang lebih kiwari, seperti Imam al-Kasani menyebutkan bahwa najis
adalah sebutan untuk benda yang dianggap jijik. Penjelasan ini dilengkapi ulama mazhab Hanafi lainnya
yang menyebutkan bahwa najis ada yang hakiki dan berwujud, ada yang hukmi. Namun secara umum
yang dipahami sebagai najis adalah hal ada wujud bendanya saja.

Imam Ibnu Abidin dari kalangan Hanafiyah, menyebutkan bahwa dari najis yang hakiki dan hukmi
tersebut, meniscayakan pemahaman bahwa najis hakiki adalah sesuatu yang kotor, atau al-khabats;
serta najis yang hukmi adalah al-hadats. Keduanya sama-sama “sesuatu yang kotor” namun yang satu
berwujud, yang satu sifatnya tidak.

Dalam mazhab Maliki, sebagaimana dicatat oleh KH. Ali Mustafa Yaqub, agaknya tidak banyak
membahas terkait definisi najis. Imam Malik dalam al-Mudawwanah al-Kubra disebutkan tidak mencatat
secara detail tentang najis. Sebagaimana pada kalangan Hanafiyah, pemahaman masyarakat tentang
benda najis dan tidak sudah maklum, kendati tanpa definisi.

Kalangan ulama mazhab Syafii dan Hanbali agaknya mulai memaparkan definisi najis secara lebih
spesifik dan gamblang. Salah satu definisi najis yang kerap dirujuk sebagaimana dicatat oleh Imam
Zakariya al-Anshari, penulis kitab Asnal Mathalib. Dalam kitab tersebut, najis adalah: ‫بِ ُك ِّل َعي ٍْن َح ُر َم تَنَا ُولُهَا‬
‫ض َر ِرهَا فِي بَ َد ٍن َأوْ َع ْق ٍل‬ ِ ‫ َواَل اِل ْستِ ْق َذ‬،‫َان تَنَا ُولِهَا اَل لِحُرْ َمتِهَا‬
َ ِ‫ َواَل ل‬،‫ارهَا‬ ِ ‫ َوِإ ْمك‬،‫يزهَا‬ ْ ‫“ ُم‬Setiap benda
ِ َ‫طلَقًا فِي َحالَ ِة ااِل ْختِي‬
ِ ِ‫ار َم َع ُسهُولَ ِة تَ ْمي‬
yang haram dikonsumsi secara mutlak dalam keadaan ikhtiyar (tidak terdesak dan bebas), mudah
dibedakan wujudnya, dapat dipergunakan, tidak dimuliakan, tidak dianggap jiji, serta bukan karena
sebab berbahaya bagi tubuh dan pikiran.” (Imam Zakariya al-Anshari. Asnal Mathalib. Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyyah. Juz I/Hal 25)

Lewat definisi di atas banyak pemahaman yang bisa diambil. Najis mesti ‘ain, yaitu ada wujudnya –
karena itu angin kentut tidak najis. Kemudian ia haram dikonsumsi, maka segala yang boleh dimakan
atau diminum adalah barang yang suci. Statusnya pun mutlak, yakni tidak dapat digunakan banyak atau
sedikit kecuali ada indikasi atau darurat. Lalu najis ini mesti mudah dibedakan dan diidentifikasi
wujudnya jika bercampur dengan zat lain. Selain itu, sebab keharamannya bukan karena ia dimuliakan,
menjijikkan, atau dinilai membahayakan diri. Penjelasan di atas cukup rinci. Ada juga ulama Syafiiyah
mendefinisikan najis lebih ringkas: ‫ص‬ ُ ‫صاَل ِة َحي‬
َ ‫ْث اَل ُم َر ِّخ‬ ِ ‫النَّ َجا َسةُ لُ َغةً َما يُ ْستَ ْق َذ ُر َوشَرْ عًا بِ ْال َح ِّد ُم ْستَ ْق َذ ٌر يَ ْمنَ ُع‬
َّ ‫ص َّحةَ ال‬
Artinya: “Secara bahasa, najis adalah sesuatu yang dipandang jijik. Sedangkan secara istilah (selain kotor
dan menjijikkan) ia menyebabkan shalat tidak sah – selama tidak ada sebab yang meringankan.”
(Sulaiman bin Umar Al-Ujaili. Hasyiyah al-Jamal. Beirut: Ihya Turats al-Arabi. Juz II/ Hal 105)

Dalam diskursus ulama fiqih, perbedaan banyak terjadi dalam pembahasan soal wujud najis.
Pembahasan di atas banyak terkait dengan najis yang tampak wujudnya – yang memiliki ‘ain atau
berwujud benda.

Anda mungkin juga menyukai