I.
Deskripsi :
Kebutuhan bagi tersedianya metode istinbath hukum sederhana dan yang siap pakai
adalah cukup mendesak. Ini karena banyaknya kasus-kasus fikih baru yang tak mudah
ditemukan jawabannya dalam kitab-kitab fikih keislaman klasik. Untuk menangani kasus-kasus
baru tersebut, NU sudah membuatkan patokan, Dalam hal ketika suatu masalah/kasus belum
dipecahkan dalam kitab, maka masalah /kasus tersebut diselesaikan dengan prosedur ilhaqulmasail bi nazhairiha secara jamai. Ilhaq dilakukan dengan mempertimbangkan mulhiq, mulhaq
dan mulhaq bih.
Namun, jika kasus fikih tersebut tak bisa ditanggulangi dengan prosedur ilhaq, maka NU
memutuskan demikian, Dalam hal ketika tak mungkin dilakukan ilhaq karena tidak adanya
mulhiq, mulhaq dan mulhaq bih sama sekali di dalam kitab, maka dilakukan instinbath secara
jamai, yaitu dengan mempraktekkan qawaid fiqhiyyah untuk ilhaq. Dengan ini jelas bahwa NU
telah memberikan mandat intelektual agar istinbath jamai tersebut dilakukan.
Atha al-Rahman al-Nadawi, al-Ijtihad wa Dauruhu fi Tajdid al-Fiqh al-Islami, Jilid III, h. 82.
dimaksud asbb al-nuzl makro adalah sebab umum (asbb al-nuzl al-mm)
yang menjadi konteks sosial-politik, sosial-budaya, dan sosial-ekonomi dari
proses tanzl al-Qur'n dan wurd al-hadts.
2. Mengkaji teks ayat/hadits dari perspektif kaedah bahasa (al-qawaid alushuliyyah al-lughawiyah). Kajian teks dari perspektif kaedah bahasa ini meliputi
tiga kajian secara simultan, yaitu kajian lafazh (al-tahlil al-lafzhi), kajian makna
(al-tahlil al-mana), dan kajian dalalah (al-tahlil al-dalali), yang secara rinci akan
dijelaskan pada beberapa paragraf berikutnya.
3. Mengaitkan nash yang sedang dikaji dengan nash lain yang berkaitan (rabth alnushuush badluha bi badlin). Nash yang sedang dikaji harus dihubungkan
dengan nash yang lain, karena nushsh al-syarah (Alquran dan Hadis)
merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain, ayat
yang satu terkait dengan ayat yang lain, hadis yang satu terkait dengan hadis
yang lain, ayat terkait dengan hadis dan hadis terkait dengan ayat. Suatu nash
terhadap nash yang lain dapat berfungsi sebagai taukd (penguat), bayn almujmal (menjelaskan nash yang bersifat garis besar), taqyd al-muthlaq
(membatasi lafal muthlaq), takhashsh al-`mm (membatasi keumuman lafal
`mm), atau taudlh al-musykil (menjelaskan lafal musykil/ambigu).
4. Mengaitkan nash yang sedang dikaji dengan maqashid al-syariah (rabth alnushush bi al-maqaashid). Maqshid al-syar`ah (tujuan umum syariat) yang
sekaligus merupakan kulliyah al-syar`ah (totalitas syar`ah) memiliki hubungan
saling terkait dengan nushsh al-syar`ah. Maqshid al-syar`ah lahir dan
mengacu pada nushsh al-syar`ah, sementara nushsh al-syar`ah dalam
menafsirinya harus mempertimbangkan maqshid al-syar`ah. Ini masuk dalam
kategori mengaitkan yang juz (partikular) dengan yang kull (universal).3
Konkretnya, syariat Islam dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia zhhir-bthin dan dunia-akhirat. Maka, perumusan hukum dari nash
hendaknya sejalan dengan kemaslahatan manusia yang menjadi tujuan syariat
itu, dengan syarat apa yang diasumsikan sebagai maslahat tidak bertentangan
dengan nash itu sendiri.
3 Al-Jizani, Manhaj al-Salaf fi al-Jami bayn al-Nushush wa al-Maqashid wa Tathbiqatuha alMuaashirah, Riyadl: al-Mamlakah al-Arabiyyah al-Saudiyyah Wizarah al-Talim al-Ali, 2010, h. 4243.
5 .
lalu beliau bersabda, Ambillah (zakat berupa) biji-bijian dari biji-bijian, seekor
kambing dari kambing, seeokor unta ba`r dari unta, dan seekor sapi dari sapi.
Fuqaha' memahami bahwa tujuan dari sabda Nabi tersebut adalah
memberikan kemudahan kepada muzakk (orang yang mengeluarkan zakat) dan
mustahiq (yang berhak menerima zakat). Oleh sebab itu, bila suatu ketika zakat
dengan mengeluarkan qmah lebih mudah, tidak ada alasan untuk tidak
membolehkannya.
Dalam hal ini tanpa memperhatikan maqshid di dalam menafsirkan
nushush, kita tidak akan dapat memahami adanya larangan buang air besar di
atas air yang tidak mengalir, dari sabda Nabi SAW.:
Janganlah salah satu dari kalian kencing di air yang diam (tidak mengalir)
Maksud dari hadits di atas tidak hanya melarang seseorang membuang air
kencing di air yang menggenang sebagaimana pendapat Ahlu al-Zhahir, tapi juga
melarang mengotori air dan menjadikannya najis dengan cara apapun.6
5. Mentakwil nash (tawiil al-nushush) bila diperlukan. Pada prinsipnya, setiap
lafal/nash yang multi makna atau interpretable harus dibawa pada makna
dasarnya, yaitu makna yang jelas, hakiki dan rjih. Akan tetapi, kajian yang
komprehensip terhadap nash bisa menggiring kita untuk melakukan ta`wl, yakni
memalingkan lafal/nash dari makna dasarnya yang jelas, hakiki dan rjih kepada
4
5
6Al-Jizani,
makna lain yang tersembunyi, majz atau marjh.7 Ta`wl tidak boleh dipahami
sebagai upaya menundukkan nash kepada kemauan hawa nafsu atau
menyesuaikan syariat dengan situasi, karena ta`wl hanya bisa dilakukan ketika
ada dalil yang memicunya.
Ulama ushul fiqh membagi ta`wl kepada dua bagian:8 Pertama, ta`wl
"ada bagian tafsir yang hanya diketahui oleh para ulama yang mendalam
ilmunya".
Ta`wl tidak bisa dipisahkan dari tafsir, karena ta`wl terhadap suatu nash
harus dilakukan setelah mengetahui tafsir nash itu. Jadi, ta`wl itu setelah tafsir
(
) . Selanjutnya, sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa
kajian teks ayat/hadits dari perspektif kaedah bahasa (al-qawaid al-ushuliyyah
al-lughawiyyah) harus bertumpu pada kajian lafazh, makna, dan dalalah dengan
penjelasan:
1) Kajian Lafal ()
Kajian lafal berkisar pada hal-hal sebagai berikut: (a). antara `mm dan
khshsh. (b). antara muthlaq dan muqayyad, (c). antara haqqah dan majz,
(d). antara muhkam, mujmal dan mutasybih, (e). antara zhhir dan nash, (f).
antara musytarak dan mutardif, dan (g). antara amr dan nahy.
7Al-Suyth,
8
al-Kaukab al-Sthi` Nazhm Jami al-Jawami, Maktabah Ibn Taymiyyah, 1998, h. 212.
Zakariya al-Anshri, Ghyah al-Wushl, h. 83.
Setiap lafal dapat memiliki lebih dari satu kategori, misalnya lafal
. Lafal
ini dari satu sisi masuk katagori khshsh karena tidak memiliki cakupan
makna yang luas, sementara dari sisi yang lain masuk kategori nash sebab
tidak ada kemungkinan untuk diartikan dengan makna yang lain. Contoh lain
yaitu lafal
. Lafal ini dari satu sisi masuk katagori muqayyad karena
lafal ber-qayyid (dibatasi) dengan lafal
, sedangkan dari sisi yang lain
masuk kategori zhhir karena lafal
tampak dalam makna singa dan ada
kemungkinan untuk bermakna seorang pemberani, dan lafal ini ketika
dimaknai singa, masuk kategori haqqah, dan bila dimaknai pemberani
masuk kategori majz.
Contoh konkrit dalam al-Quran adalah firman Allah SWT.;
( bangunlah
pada waktu malam). Lafal
dari satu sisi termasuk kategori khshsh karena
cakupan maknanya terbatas, dan dari satu sisi disebut amr sebab berisi
tuntutan untuk melakukan sesuatu (bangun). Sementara dari sisi yang lain,
disebut zhhir karena Shghatul-amri tampak dalam makna wujb
(kewajiban) dan mungkin untuk ditarik pada selain makna wujb. Yang pasti,
lafal `mm bukan khshsh, muthlaq bukan muqayyad, muhkam bukan
mutasybih, haqqah bukan majz, zhhir bukan nash, amr bukan nahy, dan
musytarak bukan mutardif.
2) Kajian Makna ()
Kajian makna dimaksudkan untuk bisa memastikan, apakah: (a). lafal
dimaksud dimaknai secara haqq ataukah dipalingkan pada makna
majaznya? (b). Lafal zhhir dimaksud tetap pada makna rjih-nya ataukah
dipalingkan kepada makna marjh-nya? (c). Makna dimaksud adalah makna
lughw, syar` ataukah `urf? (d). Yang manakah diantara makna-makna lafal
musytarak yang diambil, atau semuanya diambil? (e). Lafal dimaksud,
disamping memiliki makna lughw, apakah memiliki makna syar` atau `urf,
dan makna yang manakah yang dipakai? (f). Shghatul-amri dimaksud tetap
pada makna primernya (
)ataukah dipalingkan pada makna sekundernya
selain (
( ?)g). Shghatun-nahyi dimaksud tetap pada makna primernya
( ) ataukah dipalingkan pada makna sekundernya selain ( ?)
3) Kajian Dallah ( )
Kajian ini menyangkut ketentuan hukum yang dapat ditarik dari nash. Dalam
hal ini terdapat dua metode:
Pertama, metode jumhr al-ushuliyyun. Menurut jumhr ushliyyn, makna
(hukum) suatu nash, disamping bisa diambil dari manthq-nya, kadang bisa
diambil dari mafhm-nya. Manthq terbagi menjadi dua: (1) sharh, dan (2)
ghairu sharh. Sedangkan Manthq ghairu sharh itu sendiri ada tiga : (1)
isyrah; (2) iqtidl`, dan (3) m`. Sementara mafhm itu ada dua: (1) mafhm
muwfaqah, dan (2) mafhm mukhlafah. Kedua, metode Hanafiyah. Menurut
Hanafiyah, makna (hukum) nash dapat diambil dari empat pendekatan: (1)
`ibrah al-nash; (2) isyrah al-nash; (3) iqtidl` al-nash; dan (4) dallah alnash (mafhm muwfaqah dalam istilah Jumhr).9
Sesungguhnya tidak ada perbedaan substansial antara pendekatan Jumhr
dan pendekatan Hanafiyyah, kecuali dalam soal mafhm mukhlafah.
Menurut Jumhr, mafhm mukhlafah menjadi salah satu jalan untuk
mengambil makna dari nash, sedangkan menurut Hanafiyyah tidak.
B. Metode Qiyasi
Yang dimaksud dengan metode qiyasi adalah ijtihad melalui pendekatan
qiyas.10 Dalam konteks ini, ada baiknya saya kemukakan pernyataan Imam Syafii:
11
Hukum (Islam) itu hanya bisa diambil dari nash atau dari penggabungan
pada nash.
Salah satu isi surat Umar ibn al-Khatthab ra. kepada Abu Musa al-Asyari adalah:
10Al-Baihaqi,
12
12
13
b. al-far`u, yaitu kasus yang tidak memiliki ketentuan hukum berdasar nash. AlFar`u disebut dengan al-maqs (yang di-qiys-kan) atau al-musyabbah (yang
diserupakan), semisal masalah minuman keras (bir dalam contoh di atas).
c. hukm al-ashli, yaitu hukum yang terdapat pada ashl yang ditetapkan
berdasarkan nash, misalnya hukum haramnya khamr dalam contoh di atas.
Keempat, adalah Illat (al-`illah), yaitu sifat yang menjadi titik persamaan (aljmi`) antara al-ashlu dan al-far`u, seperti sifat memabukkan (al-iskr) dalam
contoh di atas. Rukun ini merupakan unsur paling mendasar dalam qiys.
Sebab, dengan illat inilah hukum-hukum yang terdapat dalam nash dapat
ditularkan pada kasus baru yang muncul kemudian. 14
3. Syarat-syarat Qiys
Tiap-tiap rukun qiys memiliki syarat. Syarat-syarat tersebut adalah
sebagai berikut:
a. al-ashlu harus memiliki ketentuan hukum berdasarkan nash.
b. al-far`u harus tidak memiliki ketentuan hukum berdasarkan nash.
c. hukm al-ashl harus memenuhi beberapa syarat: (a). berupa hukum syar
`amal yang ditetapkan berdasar nash. (b). Berupa hukum yang ma`ql alma`n atau ta`aqqul. (c). Berupa hukum yang tidak hanya berlaku pada ashl.
Sebab itulah, tidak boleh meng-qiys-kan umat Muhammad dengan kanjeng
Nabi Muhammad dalam soal bolehnya mengawini perempuan lebih dari
empat.15
d. Illat
Illat adalah sifat yang menjadi titik persamaan (al-jmi`) antara al-ashl dan alfar`u. Tidak semua sifat yang melekat pada al-ashl dapat dijadikan illat
hukum, melainkan harus memenuhi beberapa syarat; (a). harus berupa sifat
yang zhhir seperti jb dan qabl yang menjadi indikasi adanya kerelaan
kedua belah pihak (mazhinnah al-tardl) merupakan illat bagi keabsahan
transaksi. Sedangkan al-tardl sendiri sebagai hikmah al-hukmi tidak dapat
dijadikan illat karena tidak zhhir. (b). harus berupa sifat yang mundlabith
(terukur), seperti al-safar yang menjadi indikasi adanya masyaqqah
14
15
penggalian).
Illat
manshshah
lebih
jelas
daripada
illat
yang
mustanbathah. Qiys dilihat dari segi illat ini dibagai kepada jal dan khaf. Qiys
jal adalah qiys yang didasarkan atas illat yang manshshah (jelas karena ada
nash-nya) seperti meng-qiys-kan nifs kepada haid dalam hal tidak bolehnya
seorang wanita digauli oleh suaminya, dengan illat a; atau didasarkan atas illat
mustanbathah, tetapi antara al-ashl dan al-far`u dipastikan tidak adanya friq
(hal yang membedakan), atau ada friq tapi tidak signifikan.17
Contoh qiys jal pertama yaitu meng-qiys-kan memukul orang tua
kepada berkata uff dengan illat al-` (meyakiti). Dengan illat ini diyakini tidak
ada perbedaan antara perkataan uff dan memukul karena keduanya samasama menyakitkan orang tua. Contoh qiys jal yang kedua ialah meng-qiys-kan
budak perempuan kepada budak laki-laki dalam hal al-siryah (menjalarnya
kemerdekaan sebagian kepada seluruhnya). Perbedaan jenis kelamin, secara
syar tidak memiliki pengaruh dalam ahkm al-`itqi (pemerdekaan). Qiys jal
mencakup qiys awlaw dan qiys musw.
Sedangkan qiys khaf adalah qiys yang didasarkan pada illat yang
mustanbathah (illat yang digali dari al-ashl) ketika antara al-ashl dan al-far`u
terdapat friq yang signifikan.18 Seperti men-qiys-kan pembunuhan dengan
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 68-70.
Wahbah al-Zuhaili, Ushl al-Fiqh al-Islamiy, Dimisyqa: Dar al-Fikr, 1986, Juz I, h. 703.
18 Wahbah al-Zuhaili, Ushl al-Fiqh al-Islami, h. 704.
16
17
Qiys khaf
19
Al-Munawi, Faidl al-Qadir, Beirut: Dar al-Marifah, Tanpa Tahun, Juz VI, h. 353.
sangat strategis (al-siydah f yadi al-sya`bi), tidak kalah strategis dengan pejabat
negara atau hakim dalam menentukan putusan hukum.
Qiys dinilai benar secara metodologis bila memenuhi rukun-rukun dan
syarat-syarat sebagaimana tersebut di atas. Qiys yang tidak memenuhi rukunrukun dan syarat-syarat tersebut adalah sebuah kekeliruan. Mekanisme inilah
yang membedakan antara qiys dengan dalil-dalil sekunder lainnya.
C. Metode Istishlahi
Ijtihad dengan metode istishlahi ialah ijtihad yang mengacu pada maqashid
al-syariah, yaitu tujuan umum dari pensyariatan hukum Islam. Karena itu ia juga
bisa disebut ijtihad maqashidi. Para fuqaha menyimpulkan bahwa syariat Islam
dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan (mashlahah) manusia lahir dan
batin, dunia dan akhirat. Kesimpulan ini mereka peroleh dari hasil penelitian
(istiqra) yang mereka lakukan terhadap nash-nash tasyri (al-Quran dan al-Sunnah),
hukum-hukum syariy, illat-illatnya dan hikmah-hikmahnya.20 Dengan demikian
maqashid al-syariah tidak bisa dipisahkan dari nushush al-syariah, bahkan maqashid
al-syariah tidak terwujud tanpa nushush al-syariah. Di pihak lain, nushush al-syariah
dalam penafsiran dan penjelasan maknanya perlu/harus memperhatikan maqashid
al-syariah sehingga ketentuan hukum yang digali daripadanya tidak hanya bersifat
tekstual, tetapi juga kontekstual.
Maqashid al-syariah tidak hanya penting diperhatikan dalam menafsirkan
nash, tetapi juga sangat dibutuhkan untuk menggali hukum syari yang tidak
memiliki acuan nash secara langsung. Dalil-dalil sekunder semacam istihsan,
mashlahah mursalah, dan urf pada hakikatnya merujuk pada maqashid al-syariah.
1) Istihsn
Istihsan dalam pengertian sederhana ialah kebijakan mujtahid yang
menyimpang dari ketentuan al-qiyas yang lebih jelas atau dari ketentuan hukum
umum. Secara lebih bagus, syeikh Abdul Wahhab al-Khallaf mengatakan: istihsan
ialah kebijakan mujtahid dengan berpegang kepada qiys khaf dengan
meninggalkan qiys jali; atau meninggalkan hukum kulli dengan berpegang pada
20
2) Al-Mashlahah al-Mursalah
Mashlahah berarti setiap hal yang baik dan bermanfaat. Mashlahah dan
manfaat adalah dua kata yang se-wazan dan semakna. Mashlahah juga diartikan
sebagai tindakan yang membawa manfaat. Seperti menuntut ilmu adalah
mashlahah karena dapat mendatangkan manfaat, berdagang adalah mashlahah
karena membawa manfaat, dan seterusnya. Sedangkan dalam terminologi ushl
fiqh, mashlahah adalah setiap hal yang menjamin terwujud dan terpeliharanya
maksud tujuan syri` (maqshid al-syar`ah), yaitu hifzh al-dn, hifzh al-nafs, hifzh
al-`aql, hifzh al-nasl/hifzh al-`irdl, dan hifzh al-ml.23
Para ulama membagi mashlahah ke dalam tiga bagian, yaitu24: Pertama,
adalah mashlahah mu`tabarah, yaitu mashlahah yang diapresiasi syri` melalui
nash al-Quran atau Sunah, seperti diharamkannya setiap minuman yang
memabukkan. Kedua, adalah mashlahah Mulgh, yaitu mashlahah yang dinafikan
oleh syri` melalu nash Alqur'an atau Sunah, seperti penyamaan pembagian
harta waris antara anak laki-laki dan anak perempuan yang dianggap sebagai
mashlahah. Ketiga, adalah mashlahah Mursalah, yaitu mashlahah yang tidak
memiliki acuan nash, baik nash yang mengakui (i`tibr) ataupun yang
menafikannya (ilgh`), seperti merayakan maulid Nabi Muhammad saw.,
penulisan dan penyatuan al-Qur'an dalam satu mushhaf, pencatatan pernikahan,
dan lain-lain.
Namun, para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan berhujjah
dengan mashlahah mursalah. Walau begitu, sebagaimana dikemukakan
sebelumnya, syariat Islam terdiri dari dua dimensi, yaitu dimensi `ibdah dan
dimensi mu`malah. Ulama sepakat bahwa mashlahah mursalah tidak dapat
dijadikan acuan hukum dalam wilayah `ibdah. Sebab, `ibdah berbasis pada
ketundukan dan kepasrahan secara total, karena nilai mashlahah-nya tidak dapat
dinalar akal pikiran manusia.25
Sedangkan dalam wilayah mu`malah, ulama berbeda pendapat tentang
kehujjahan mashlahah mursalah. Ulama yang menerima mashlahah mursalah
23
24
237.
25
sharh
Alquran
atau
Sunah,
menghalalkan
yang
haram,
atau
Sesuatu yang telah dikenal sebagai suatu kebiasaan, sama halnya dengan
sesuatu yang dianggap sebagai syarat
34
Sesuatu yang telah ditetapkan oleh `urf sama halnya dengan sesuatu yang telah
ditetapkan oleh nash
Di samping sebagai acuan hukum, sesungguhnya `urf dapat dijadikan
sebagai pertimbangan dalam menjabarkan (tafsr) ketentuan-ketentuan hukum
yang bersifat ijml dan tidak memiliki standar praktis. Dalam kitab al-Asybh
Wa al-Nazhir dikatakan:
32
Abdul Wahhb Khallf, `Ilmu Ushl al-Fiqh, h. 90. Lihat juga: Mahmud Abud Harmusy, al-Urf, h.
33
Ahmad bin Muhammad al-Zarq, Syarh al-Qawid al-Fiqhiyyah, Dimisyqa: Dar al-Qalam, 1989,
34
Abdul Aziz Muhammad Azzm, al-Qawid al-Fiqhiyyah, Kairo: Dar al-Hadits, 2005, h. 196.
5.
h. 237.
35
"Setiap sesuatu yang datang dari syri` secara muthlak dan tidak ada batasan
baginya, baik dalam syariat maupun dalam kebahasaan, maka sesuatu tersebut
dikembalikan pada `urf (kebiasaan)"
Dengan menjadikan `urf sebagai salah satu acuan hukum maka hukum
Islam menjadi sangat dinamis. Sebab, hukum dapat berubah karena berubahnya
`urf. Dalam kaidah ushl fiqh dikatakan
36
II.
yang membedakan dengan berbagai firqah yang lain di dalam Islam. Khashaish itu
merupakan berbagai keistimewaan yang dimiliki oleh berbagai firqah yang lain.
Khashaish sebagai keistemewaan itu, antara lain:
1.
Al-Suythi, al-Asybh wa al-Nadlir fi al-Fur`, Semarang: Toha Putra, Tanpa Tahun, h. 69.
Abdul Wahhb Khallf, `Ilmu Ushl al-Fiqh, h. 91.
sebagaimana dinyatakan oleh Nabi SAW. Kemudian diikuti oleh para pengikutnya
sampai sekarang.
2.
Menjadikan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai dua sumber pokok syari'at Islam, dan
menerima dua sumber yang lahir dari keduanya, yakni ijma' dan qiyas.
3.
sanad (sandaran) para shahabat Nabi SAW. yang merupakan pelaku dan saksi
ahli dalam periwayatan hadits serta manhaj seleksinya, dan berbagai
pemikiran
yang diimplementasikan
dalam pelaksanaan
tugas
tasyri'
sanad dua generasi setelah shahabat, yakni tabi'in dan tabi'it tabi'in yang telah
meneladani dalam melanjutkan tugas tasyri'. Mereka telah mengembangkan
perumusan secara kongkrit mengenai prinsip-prinsip yang bersifat umum,
kaidah-kaidah ushuliyyah dan lainnya. Mereka adalah para Imam mujtahid,
Imam hadits dan lainnya.
4.
Memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah secara menyeluruh berdasarkan kaidahkaidah yang teruji ketepatannya, dan tidak terjadi mu'aradlah (pertentangan)
antara satu nash dan nash yang lain. Dalam hal, diakui dan diterima:
a. empat Imam mujtahid termasyhur sekaligus Imam madzhab fiqh dari kalangan
tabi'in dan tabi'it tabi'in yang telah merumuskan kaidah-kaidah ushuliyyah dan
menerapkannya dalam melaksanakan tasyri' yang kemudian menjadi pedoman
bagi generasi berikutnya sampai sekarang. Empat mujtahid besar itu; a. Imam
Abu Hanifah An-Nu'man ibn Tsabit (80-150 H.), b. Imam Malik ibn Anas (93173 H.), c. Imam Muhammad ibn Idris Asy-Syafi'i (150-204 H.), dan Imam
Ahmad ibn Hanbal (164-241 H.).
b. para Imam madzhab aqidah, seperti Abul Hasan Al-Asyari (260-324), dan Abu
Mansur Al-Maturidi (W.333 H.).
c. keberadaan tashawwuf sebagai ilmu yang mengajarkan teori taqarrub
(pendekatan) kepada Allah SWT. melalui aurad dan dzikir yang diwadahi dalam
thariqah sebagai madzhab, selama sesuai dengan syari'at Islam. Dalam hal ini
menerima para Imam tashawwuf, seperti Imam Abul Qasim Al-Junaid alBaghdadi (W.297H.) dan Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H.).
5.
6.
Memahami dan mengamalkan syari'at Islam secara tawassuth (moderat), dan tidak
ifrath dan tafrith.
7.
8.
Bersatu dan tolong menolong dalam berpegang teguh pada syari'at Islam meskipun
dengan cara masing-masing.
9.
Melaksanakan amar makruf dan nahi munkar dengan hikmah (bijak/arif), dan
tanpa tindak kekerasan dan paksaan.
10. Mengakui keadilan dan keutamaan para shahabat, serta menghormatinya, dan
menolak keras menghina, mencerca dan sebagainya terhadap mereka, apalagi
menuduh kafir.
11. Tidak menganggap siapa pun setelah Nabi SAW. adalah ma'shum (terjaga) dari
kesalahan dan dosa.
12. Tidak menuduh kafir terhadap sesama mukmin, dan menghindari berbagai hal
yang dapat menimbulkan permusuhan.
14. Menghormati, menghargai, tolong menolong, dan tidak memusuhi pemeluk agama
lain.
Dasar Penetapan :
1.
Al-Qur'an
.
.
)153 :
( )115 :
( )143 :
()77 :
(.)50 :
()208 :
()171 :
( )103 :
()256 :
( )125 :
( )10 :
( )8 :
2. As-Sunnah
( :
:
"
) :
) .
"
(
:
:
:
) .
( :
) .
) :
( :
( :
) .
:
( :
) .
:
:
)
( :
:
).
( :
( :
( )
( :
) . ( ) .
) .
( :
) .
( :
( :
:
) .
( :
:
) .
3. Aqwal al-Ulama
1 : 110
.
1 :172
( : ) .
*** .
2.
3.
Jawaban
1. Pandangan Islam Tentang Pasar Bebas
Dalam pandangan Islam, manusia adalah alkaun al-jami yang diharapkan
mampu ber-relasi secara baik secara intrapersonal (hubungan dengan diri sendiri),
interpersonal (hubungan dunia sosial dan alam) dan transpersonal (hubungan
dengan Allah). Oleh karena itu, setiap orang diperintahkan untuk hidup seimbang.
Disamping harus berserah diri kepada Allah dengan beribadah (mahdlah), ia juga
berkewajiban mencari penghidupan (maisyah) untuk mempertahankan hidupnya.
Antara dunia dan akhirat, antara ibadah dan maisyah, antara masjid dan pasar,
tidak berdiri secara diametral, namun berada dalam formasi keseimbangan
)77(
) 117 ,4 ,
,2 , )
)62
Mengingat bahwa kemampuan seseorang berbeda antara yang satu dengan
lainnya, maka untuk memenuhi kebutuhan, mereka harus melakukan pertukaran.
Pertukaran ini dilakukan oleh sebuah mekanisme yang dikemudian hari dikenal
dengan istilah mekanisme pasar. Mekanisme pasar adalah proses yang berjalan atas
dasar gaya tarik-menarik supply dan demand sehingga terjadi kesepakatan pada
titik equilibrium.
Mekanisme pasar tersebut harus diakui telah terbukti berguna untuk
memecahkan banyak permasalahan ekonomi. Oleh karena itu, Islam pada dasarnya
mengakui keberadaan mekanisme pasar. Harga sebuah barang atau jasa diserahkan
kepada keseimbangan permintaan dan penawaran. Keseimbangan ini terjadi bila
antara penjual dan pembeli bersikap saling merelakan. Jadi, harga ditentukan oleh
kemampuan penjual untuk menyediakan barang yang ditawarkan kepada pembeli,
dan kemampuan pembeli untuk mendapatkan barang tersebut dari penjual. Dalam
posisi pasar sempurna seperti ini, Negara tidak boleh melakukan intervesi pasar.
()29
) )410 ,1 ,
) . )222 ,3 ,
.
- -
.
.
" :
)
( .
:
"( )407, 5 ,
( )
)25,3,
pendapatan,
distribusi
soal
misalnya
tertentu,
masalah
Dalam
()942,4,
( )29, 1,
.
( . )40, 1,
Dalam kasus perdagangan internasional, pemerintah diperkenankan
menerapkan tarif dan bea masuk impor. Disamping untuk menambah kas Negara,
hal ini juga dimaksudkan untuk menstabilkan harga barang yang beredar di pasar.
Negara harus memastikan tidak boleh ada mekanisme pasar yang potensial
melakukan ketidakadilan, sehingga mengganggu terpenuhinya hak dasar seseorang,
baik yang sifatnya individual (private goods) seperti sandang, pangan dan papan,
maupun yang bersifat publik (public goods) seperti pendidikan, kesehatan,
kelestarian lingkungan, bebas polusi, dan lain-lain.
(.
.
)220,40,
(
( )
) (
( )
( )
( ) (
)
(
)
( ) ( )
)
( ) (
( )282 ,9 ,
2. Keberpihakan Negara Kepada Rakyat dan Perekonomian Nasional
Dalam pandangan Islam, negara sebagai artikulasi kekuasaan Allah di muka
bumi, mempunyai tugas mewujudkan kemaslahatan di antara rakyatnya secara
dhahir dan batin. Dalam soal ekonomi, Negara wajib menciptakan kemakmuran dan
kesejahteraan secara adil, mendistribusikan kekayaan negara secara merata kepada
rakyat, sehingga tidak terjadi konsentrasi perputaran modal diantara mereka yang
kaya saja. Negara harus memastikan bahwa sumber daya (resources) yang ada
dikelola untuk sebesar-besarnya memberikan kemakmuran bagi rakyatnya.
Oleh karena itu, negara harus menciptakan struktur ekonomi yang sehat dan
adil. Resources diprioritaskan untuk menutup kebutuhan dlaruriyat (necessities), dan
hanya surplus resources yang dicurahkan untuk hal-hal yang hajiyyat (comforts) dan
hal-hal yang tahsiniyyat (luxuries). Rakyat harus diberi akses yang sama untuk
mengakses sumber daya alam, memproduksi, mendistribusi, dan mengambil
keuntungan dari modal tersebut, asal dilakukan secara fair, adil, dan tidak
menimbulkan mafsadah, baik secara mikro ataupun makro.
Pada saat yang bersamaan, baik negara maupun rakyat harus sama-sama
merevolusi mentalnya. Negara harus berkomitmen tinggi untuk menjadi
pemerintahan yang bersih, jujur, adil dan konsisten memerangi segala tindakan
yang menjadi virus bagi penyehatan ekonomi Nasional. Sementara rakyat harus
meningkatkan kreativitas dan kapasitasnya agar mampu bebuat di pasar bebas.
Tentu lagi-lagi negara harus turun tangan mendampingi mereka, melindungi,
mendidik, meningkatkan skill dan memberinya akses yang luas terhadap
permodalan.
Apabila cara ini sengaja tidak dilakukan, atau dilakukan dengan mainmain, maka rakyat harus melakukan amar maruf kepada pemerintah sesuai
porsinya untuk menghindari tindakan anarkis. Mengharapkan orang terus bersabar
menahan lapar, sementara lingkunganya bergelimang dengan segala kemewahan,
tentu sangat tidak bermoral. Al-Qur'an menyebut manusia jenis ini sebagai
pendusta agama.
) (
) (
() 96 , 1,
() 129 , 1,
)
:
: :
-
:
:
- ( - / 1
)233
( (3- 1 :
) 17 , 1 , (
: )
(
.
248 :
(182 : )
2.
3.
Jawaban
1. Dalam situasi apa negara boleh utang
Allah menjadikan manusia secara berpasangan, ada yang kaya dan ada yang
miskin. Lazimnya, utang dilakukan oleh si miskin karena adanya ketidakseimbang
pengeluaran (out put) dan pemasukan (input). Oleh karena itu, mencari pertolongan
berupa pinjaman kepada orang lain untuk menambal selisih input dan out put tidak
dilarang. Sementara meminjami orang/pihak lain yang tengah tertimpa musibah
ketidakseimbangan input dan out put dipandang sebagai kebaikan.
Berkaitan dengan transaksi hutang, Islam mengajarkan sebisa mungkin dapat
menahan diri dari berhutang. Jika terpaksa dilakukan, maka sejak awal harus selalu
berusaha untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan waktu yang disepakati, atau
seketika punya kemampuan untuk membayar. Sengaja mengulur pembayaraan
dipandang sebagai sebuah kedzaliman. Dari sisi kreditur, Islam mengajarkan
hendaknya dalam memberikan pinjaman, kreditur tidak bermaksud lain kecuali
menolong, apalagi mencari utung. Jika sudah jatuh tempo, tapi pihak debitur benarbenar dalam kondisi tidak mampu, dianjurkan untuk memberi tenggang waktu dengan
rescheduling atau membebaskannya.
Demikian juga negara. Sejauh ia dapat membiayai dirinya sendiri, posisi tidak
mengambil hutang adalah jauh lebih baik. Hutang hanya diperkenankan dalam posisi
yang sangat membutuhkan untuk pembangunan yang sifatnya produktif sehingga dapar
segera membayar kembali.
.
.
( . .
)
.
.
.
.
2. Untuk kepentingan apa uang hasil utang bisa digunakan
Sesuai dengan maqamnya, utang hanya diperkenankan untuk membiayai
hal-hal yang sifatnya mendesak (hajiyyat), dan diprioritaskan untuk pendanaan halhal yang berimplikasi pada hajat hidup rakyat, seperti pembangunan energy dan
infrastruktur. Hal ini karena tugas negara pada hakikatnya adalah menegakkan
keadilan dan kesejahteraan bagi semua, terutama bagi kalangan rakyat lemah, tanpa
membeda-bedakan latar belakang keyakinan agama dan kesukuan mereka. Rakyat
kecil dan lemah itulah yang senantiasa harus menjadi prioritas kerja negara, baik
dengan uang sendiri atau uang pinjaman. Dana utang sama sekali tidak
diperkenankan untuk membiayai pos-pos yang menguntungkan sebagian kecil
rakyat, apalagi dengan cara-cara yang tidak halal.
- -
-
.
.
.
.
- -
.
.
.
.
3. Apa yang perlu dilakukan agar negara terbebas dari hutang?
Secara prinsip, negara harus berkomitment untuk segera melunasi semua
hutangnya. Postur APBN harus ditata sedemikian rupa agar pembangunan tetap
berjalan, namun pada saat yang sama hutang juga terbayar. Untuk kepentingan ini,
ada beberapa hal yang perlu dilakukan.
Pertama, pada dasarnya yang wajib kita bayar adalah utang-utang pokok,
bukan beban bunga. Oleh karena itu sah apabila Pemerintah RI menuntut
pembebasan bunga dari negara-negara kreditor.
Kedua, Pemerintah harus secara tegas mengontrol anggaran agar tidak
bocor, dan menarik kembali uang negara yang telah dijarah oleh para koruptor, baik
dari kalangan pejabat atau pengusaha.
Ketiga,
pemerintah
sedapat
mungkin
melakukan
efisiensi
dengan
menggunakan barang dan jasa dalam negeri yang dibarengi dengan kebijakan pro
growth, pro job, pro poor, dan pro environment.
Keempat, Pemerintah dianjurkan melakukan optimalisasi dana penerimaan
pajak, cukai dan pembiayaan non utang dari keuntungan pengelolaan aset negara,
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pembiayaan dari saldo rekening Pemerintah dari
penerimaan Rekening Dana Investasi (RDI), Rekening Pembangunan Daerah (RPD),
Rekening Pembangunan Hutan (RPH), Saldo Anggaran Lebih (SAL), dan rekening
lainnya. ***
V. HUKUMAN MATI DALAM PERSPEKTIF HAM
Deskripsi
Islam secara tegas mensyariatkan hukuman mati yang lazim disebut
qishash. Yakni, hukuman mati sebagai sanksi hukum atas tindak kejahatan
pembunuhan. Hukuman mati juga diterapkan untuk berbagai tindak kejahatan
berat tertentu. Hukuman mati atas kejahatan berat yang sangat keji merupakan
peringatan dan ancaman keras bagi siapa pun agar tidak melakukannya.
Dasar Penetapan
Al-Qur'an
)178 : (
)179 : (
)32 :(
Al-Sunnah
( : :
:
. .)
Al-Maraji'
: /
:
/
( .
1
1420 1 :
)210
/ :
..... .
:
:
:
( . / :
3 )84- 83
1 1419
:
:
( : )
( .
. 4 )51
1405
:
{ :
} ( 32 )
( .
2 1 *** .)37
.
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah.
Hadis ini mengandung arti bahwa pada dasarnya manusia itu putih, bersih, jujur,
adil, baik, dan seterusnya. Sejalan dengan prinsip dasar ini adalah suatu asas yang di
kalangan ahli hukum, baik hukum positif maupun hukum Islam, dikenal dengan istilah
asas praduga tak bersalah, yakni bahwa manusia pada dasarnya tidak bersalah. Kaidah
Fikih mengatakan;
.
Pada asalnya, (seseorang) terbebas dari tanggung-jawab.
Dalam ibarat yang lain dikatakan;
Orang yang yang dicurigai bebas dari (kesalahan) sampai terbukti kesalahannya.
Berdasarkan asas ini, bila terjadi sengketa antara dua pihak yang satu berstatus
sebagai pendakwa (
,
.
37