A. Pendahuluan
Abū Ishāq al-Syāthibī (w. 790) tampil menghadirkan sebuah perspektif baru dalam
wacana ilmu Ushul Fiqih. Melalui karya monumentalnya, al-Muwāfaqāt fī Ushūl al-
Ahkām,1 dia mengelaborasi tuntas konsep maqāshid al-syarī‘ah, yakni tujuan esensial
syari„at sebagai landasan penalaran hukum, baik secara teoretis maupun praktis. Konsep
ini mendasari keseluruhan teori Ushul Fiqih yang dia tulis. Prinsip utama yang dia
1
Abū Ishāq Ibrāhīm al-Syāthibī, al-Muwāfaqāt fī Ushūl al-Ahkām, ed. Muhammad al-
Khidhr Husayn al-Tūnisī (ttp.: Dār al-Rasyād al-Hadītsah, t.t.). Dalam versi terbitan yang lain,
buku ini diberi judul agak berbeda, yakni al-Muwāfaqāt fī Ushūl al-Syarī‘ah.
1
pegang teguh dan coba buktikan adalah bahwa syari„at Islam pada dasarnya diturunkan
dan diberlakukan oleh Allah swt. semata-mata untuk kemaslahatan manusia di dunia dan
akhirat.2 Prinsip ini dia nyatakan berulang-ulang di berbagai tempat di dalam bukunya
itu. Bisa dikatakan, karya setebal sekitar 1035 halaman (dalam empat jilid) ini lebih
tepat disebut sebagai buku maqāshid al-syarī‘ah daripada buku Ushul Fiqih,
menunjukkan kapabilitasnya yang luar biasa tentang konsepnya itu. Meski bukan sang
penemu, namun kontribusinya terhadap konstruksi konsep maqāshid al-syarī‘ah sangat
menentukan. Itulah sebabnya, dia disebut sebagai “Syaykh al-maqāshid (sang Begawan
maqāshid al-syarī‘ah)”.3
Salah satu kontribusi penting al-Syāthibī terhadap wacana Ushul Fiqih adalah
perhatiannya yang sangat besar terhadap metode penalaran induktif yang dia sebut
dengan term istiqrā’. Menurutnya, metode penalaran induktif terhitung otoritatif, karena
melibatkan sejumlah besar nash al-Qur‟an dan al-Sunnah yang dianalisis secara
kolaboratif menuju sebuah kesimpulan umum.4 Pada bagian pendahuluan buku al-
Muwāfaqāt-nya, dia sudah menegaskan bahwa kajiannya lebih banyak bertumpu kepada
penalaran induktif dibandingkan dengan analisis satu-dua nash juz’ī tertentu. Dia dengan
tegas menyatakan:
Dalam bukunya itu, dia begitu sering menggunakan metode ini, sebagai landasan
epistemologis konsep maqāshid al-syarī‘ah yang diuraikannya. Menurutnya, prinsip
bahwa syari„at Islam ditetapkan oleh Allah swt. semata-mata untuk kemaslahatan
manusia di dunia dan akhirat sesungguhnya memiliki pijakan epistemologis yang sangat
otoritatif, yakni hasil kesimpulan dari sebuah proses penalaran induktif yang
2
Al-Syāthibī, al-Muwāfaqāt., II: 2.
3
Sebutan tersebut dilontarkan antara lain oleh: Ahmad al-Raysūnī, Nazhariyyah al-
Maqāshid ‘ind al-Imām al-Syāthibī, cetakan II (Riyad: Al-Dār al-„Ālamiyyah li al-Kitāb al-
Islāmī, 1992), halaman 5.
4
Al-Syāthibī, al-Muwāfaqāt., I: 14.
5
Ibid., halaman 6.
2
komprehensif (istiqrā’ tāmm) terhadap berbagai varian teks dari berbagai aspek syari„at
Islam. Kesimpulan dari proses penalaran induktif bersifat absolut (qath‘ī) serta tidak
memberi peluang bagi pemahaman yang berbeda.6
Yang menarik untuk diteliti adalah kontribusi al-Syāthibī tentang cara pandang
terhadap nash yang tercermin dalam konsep qath‘ī-zhannī, yakni sebuah konsep
mengenai pemilahan nash antara yang pengertiannya bersifat definitif-absolut dan yang
bersifat spekulatif-relatif. Sebab, pertama, konsep qath‘ī-zhannī terhitung sangat penting
bukan hanya dalam wacana Ushul Fiqih, melainkan juga dalam wacana keagamaan
secara umum. Selain merupakan bagian dari cara pandang terhadap nash al-Qur‟an dan
al-Sunnah, konsep ini juga memiliki muatan teologis. Nash yang memiliki signifikansi
makna (dalālah) jelas dan definitif wajib diterapkan secara konsisten (wājib al-‘amal
bih). Mengabaikan ataupun menerapkan ketentuan lain yang berbeda dengannya adalah
sebuah tindakan berdosa yang tidak dibenarkan dalam agama.7
Kedua, konsep qath‘ī-zhannī merupakan salah satu pilar dalam konstruksi konsep
maqashid al-syarī‘ah al-Syāthibī secara keseluruhan. Hal ini bisa dibuktikan dengan
sebuah pernyataan tegasnya pada bagian awal buku al-Muwāfaqāt-nya bahwa teori-teori
Ushul Fiqih pasti bersifat qath‘ī (definitif-absolut), karena berpijak di atas prinsip-
prinsip umum syari„at (kulliyyāt syar‘iyyah ‘āmmah) yang bersifat qath‘ī pula. Disebut
qath‘ī, karena secara epistemologis, teori-teori Ushul Fiqih dan prinsip-prinsip umum
yang mendasarinya dibangun di atas hasil-hasil penalaran induktif yang tuntas (istiqrā’
tāmm). Apabila hasil penalaran induktif bersifat qath‘ī, maka tentu seperti itu pulalah
konstruksi konseptual yang dibangun di atasnya.8
Ketiga, konsep qath‘ī-zhannī versi al-Syāthibī semakin menarik untuk diteliti,
mengingat sang Begawan maqāshid al-syāri‘ah sendiri tidak menjelaskannya secara
definitif dalam satu pembahasan yang utuh. Konsep tersebut baru bisa dipahami dari
pernyataan-pernyataan al-Syāthibī yang terpencar-pencar pada berbagai tempat dan
6
Ibid., II: 3.
7
Lihat: Muhammad Adīb Shālih, Tafsīr al-Nushūsh fī al-Fiqh al-Islāmī: Dirāsah
Muqāranah li Manāhij al-‘Ulamā’ fī Istinbāth al-Ahkām min Nushūsh al-Kitāb wa al-Sunnah,
cetakan III (Beirut: Al-Maktab al-Islāmī, 1984), I: 169.
8
Al-Syāthibī, al-Muwāfaqāt., I: 10.
3
topik dalam buku al-Muwāfaqāt-nya. Jika sudah dihimpun, dipilah-pilah dan dianalisis,
maka konstruksi utuh dan kronologis konsep qath‘ī-zhannī al-Syāthibī akan bisa
dirumuskan. Selain itu, posisi al-Syāthibī di hadapan konsep qath‘ī-zhannī konvensional
akan bisa dipetakan dengan tepat. Sebuah kajian yang tidak mudah, namun sangat
menarik dan menantang.
B. Qath‘ī-Zhannī Konvensional
Dalam buku-buku Ushul Fiqih, konsep qath‘ī-zhannī biasanya bisa dijumpai
pada pembahasan tentang signifikansi makna teks (dalālah al-nash) ditinjau dari aspek
kejelasan dan kesamarannya. Dalam perspektif ini, nash al-Qur‟an dan al-Sunnah
terbagi ke dalam dua kelompok. Pertama, nash yang sinifikansi maknanya sudah jelas
(wādhih al-dalālah). Artinya, untuk dipahami dan diterapkan, ia cukup mengandalkan
struktur dalam dirinya sendiri serta tidak memerlukan indikasi eksternal apapun lagi.
Kedua, nash-nash yang signifikansi maknanya masih samar (mubham al-dalālah).
Artinya—kebalikan dari kelompok pertama, untuk dipahami dan diterapkan, ia masih
memerlukan indikasi eksternal tertentu.9
Namun, nash yang signifikansi maknanya sudah jelas tidak lantas secara otomatis
bersifat qath‘ī. Sebab, nash kelompok pertama ini masih diklasifikasi lagi menjadi
beberapa tingkatan, tergantung kepada ada-tidaknya kemungkinan munculnya
pemahaman yang berbeda dari signifikansi makna yang ada. Nash yang signifikansi
maknanya sudah jelas serta menutup peluang munculnya pemaknaan yang lain disebut
sebagai nash qath‘ī (definitif-absolut). Sementara jika masih membuka peluang
penafsiran yang berbeda, maka nash tersebut dinilai zhannī (spekulatif-relatif).10
Konsep qath‘ī-zhannī konvensional tersebut akan lebih jelas dengan mencermati
beberapa contoh berikut ini:
1. Firman Allah swt.:
9
Adīb Shālih, Tafsīr al-Nushūsh., I: 139.
10
Ibid., halaman 140-141.
4
الث ِ وإِ ْن ِخ ْفتم أَال تُ ْق ِسطُوا ِِف الْيتامى فَانْ ِكحوا ما طَاب لَ ُكم ِمن الن
َ ُِّساء َمثْ ََن َوثَ َ ْ َ َ ُ َ ََ ُْ َ
ِ ِ ِ ِ
ك أ َْد ََن أَال تَعُولُوا ْ اع فَِإ ْن خ ْفتُ ْم أَال تَ ْعدلُوا فَ َواح َد ًة أ َْو َما َملَ َك
َ ت أَْديَانُ ُك ْم َذل َ ََوُرب
“Jika kalian khawatir tidak bisa berbuat adil terhadap anak-anak yatim yang
Kalian asuh, maka silahkan kawini perempuan selain mereka yang Kalian sukai;
dua, tiga atau empat. Namun jika Kalian khawatir tidak bisa berbuat adil juga—
di saat berpoligami, maka cukup seorang perempuan saja atau budak perempuan
yang Kalian miliki. …”.11
Ayat ini memiliki signifikansi makna yang jelas, yaitu bahwa laki-laki
diperbolehkan memiliki maksimal empat orang istri. Makna literal ini memang sudah
jelas (sharīh), karena diperoleh dari nash yang bersangkutan tanpa harus melibatkan
dukungan eksternal apapun lagi. Namun ia belum bisa disebut qath‘ī, sebab masih
terbuka dari penafsiran yang berbeda. Itulah sebabnya, pemaknaan yang berbeda
masih diakui keabsahannya, sejauh tidak melenceng terlalu jauh dari makna dan
konteks nash.12
Apa yang telah dilakukan oleh, misalnya, Faqihuddin Abdul Kodir adalah salah
contoh pemaknaan yang berbeda tadi. Menurut Dosen STAIN Cirebon ini, ayat
poligami sebenarnya tidak sedang berbicara tentang—apalagi merekomendasikan—
poligami. Yang disoroti oleh ayat ini adalah kebiasaan tindakan semena-mena yang
dilakukan laki-laki terhadap perempuan, baik sebagai anak yatim piatu, perempuan
yang akan disunting maupun perempuan yang dipoligami. Fokus ayat ini adalah
keharusan menjunjung tinggi prinsip keadilan. Jika khawatir tidak mampu berbuat
adil di saat berpoligami, maka laki-laki cukup beristri satu saja.13
Namun, meski tidak qath‘ī, makna yang sudah dipahami dari nash harus
dilaksanakan. Tidak qath‘ī bukan berarti boleh diabaikan. Sejauh belum muncul
pemahaman lain yang lebih kuat, makna nash tadi harus dilaksanakan.
2. Firman Allah swt.:
11
Q.S. Al-Nisā‟ (3): 3.
12
Adīb Shālih, Tafsīr al-Nushūsh., I: 144.
13
Faqihuddin Abdul Kodir, Memilih Monogami: Pembacaan atas Al-Qur’an dan Hadits
Nabi, cetakan I (Yogyakarta: LkiS, 2005), khususnya halaman 50-54.
5
اح ٍد ِمْن ُه َما ِمائَةَ َج ْل َدةٍ َوال تَأْ ُخ ْذ ُك ْم ِبِِ َما َرأْفَةٌ ِِف ِدي ِن
ِ الزِاِن فَاجلِ ُدوا ُك َّل و
َ ْ َّ الزانِيَةُ َو
َّ
ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ اللَّو إِ ْن ُكْنتُ ْم تُ ْ منُو َن بِاللَّو َوالْيَ ْوم ااخ ِر َولْيَ ْ َه ْد َع َذابَ ُه َما طَائ َفةٌ م َن الْ ُم ْ من
“Terhadap pelaku zina, baik perempuan ataupun laki-laki, cambuklah masig-
masing dari keduanya sebanyak 100 kali. Janganlah rasa belas kasihan
menghalangi Kalian untuk menjalankan agama Allah, jika Kalian beriman
kepada Allah dan hari akhir. Pelaksanaan hukuman mereka hendaknya
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”.14
Angka 100 dan 80 pada kedua ayat di atas memiliki makna yang sudah jelas
dalam dirinya sendiri. Tidak mungkin ada lagi pemaknaan yang berbeda dari muatan
yang terkandung dalam angka tadi. Itulah sebabnya, kedua ayat di atas bersifat qath‘ī
(definitif-absolut) dalam hal keharusan mencambuk pelaku zina sebanyak 100 kali
dan penuduh zina terhadap perempuan baik-baik sebanyak 80 kali. Ketentuan ini
harus dilaksanakan apa adanya seperti yang diujarkan. Tidak boleh ada penambahan
ataupun pengurangan. Angka-angka tersebut, menurut konsepsi ulama Hanafiyyah,
disebut dengan mufassar.16
Dari deskripsi di atas, dipahami bahwa, pertama, keputusan qath‘ī-zhannī
bertumpu terutama kepada analisis kebahasan, khususnya analisis sintaksis dan
semantik. Kedua, qath‘ī ataupun tidak, apa yang terkandung dalam nash harus dipatuhi
14
Q.S. al-Nūr (24): 2.
15
Q.S. al-Nūr (24): 4.
16
Adīb Shālih, Tafsīr al-Nushūsh., I: 166; Muhammad Abū Zahrah, Ushūl al-Fiqh (ttp.:
Dār al-Fikr al-„Arabī, t.t.), hlm. 18-24; „Abd al-Wahhāb Khallāf, ‘Ilm Uhsūl al-Fiqh, ctk. XII
(Kuwait: Dār al-Qalam, 1978), hlm. 96-99.
6
secara konsisten. Mengabaikan dan melanggarnya adalah tindakan berdosa yang harus
dijauhi. Bagan berikut ini bisa mempermudah memahami kesimpulan tersebut.
.طعع
ّ نن ريي
ّ ال مساا لالجتهاد فيما فيو
Tidak ada peluang bagi ijtihad dalam persoalan yang sudah diatur oleh nash yang
signifikansi maknanya jelas (sharīh) dan qath‘ī.17
Tawaran al-Syāthibī
Pertama-tama, al-Syāthibī menegaskan bahwa teori-teori Ushul Fiqih, tidak bisa
tidak, pasti dan harus bersifat qath‘ī (definitif-absolut). Sebab, selain karena berjalin-
berkelindan dengan prinsip-prinsip umum (kulliyyāt ‘āmmah) yang bersifat qath‘ī,
secara epistemologis teori-teori Ushul Fiqih dirumuskan melalui penalaran induktif
komprehensif (istiqrā’ tāmm) yang bersifat qath‘ī pula. Dia menyatakan:
17
Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, Muhammad ibn Abī Bakr, I‘lām al-Muwaqqi‘īn ‘an Rabb
al-‘Ālamīn, ed. Muhammad „Abd al-Salām Ibrāhīm, cetakan I (Beirut: Dār al-Kutub al-
„Ilmiyyah, 1991), II: 199 dan 202.
7
والدليل على ذلك أهنا راجعة إىل كليات.إن أ ول الفقو ِف الدين طعية الظنية
. وما كان كذلك فهو طعع،ال ريعة
Sesungguhnya Ushul Fiqih dalam perspektif agama bersifat qath‘ī, tidak zhannī.
Argumentasinya, karena Ushul Fiqih mengacu kepada prinsip-prinsip umum
syari„at (kulliyyāt al-syarī‘ah). Dan yang demikian itu pasti bersifat qath‘ī.18
Penegasan ini berpengaruh sangat besar terhadap dan merupakan pijakan awal bagi
konstruksi konsep maqāshid al-syarī‘ah dan teori-teori Ushul Fiqih al-Syāthibī secara
keseluruhan, terutama yang berkenaan dengan penentuan status qath‘ī dan zhannī.
Menurut al-Syāthibī, al-Qur‟an secara keseluruhan memang bersifat qath‘ī al-
wurūd, artinya betul-betul otentik berasal dari Allah swt. Namun, meskipun begitu,
status qath‘ī al-wurūd tidak secara otomatis memastikan status qath‘ī al-dalālah, artinya
memiliki signifikansi makna yang definitif-absolut serta menutup pemaknaan lain yang
berbeda. Suatu ayat tertentu (nash juz’ī) sangat sulit atau malah mustahil dipastikan
bersifat qath‘ī ataukah tidak. Sebab, untuk memastikan hal itu, diperlukan seperangkat
indikasi (muqaddimāt) yang tentu harus bersifat qath‘ī pula. Padahal, perangkat-
perangkat indikasi yang ada, seperti analisis kebahasaan, isytirāk, majāz, idhmār,
takhshīsh dan lain-lain, semuanya bersifat zhannī. Dan semua orang pasti sepakat bahwa
perangkat indikasi yang zhannī tidak cukup syarat untuk memastikan status qath‘ī suatu
ayat tertentu. Sesuatu yang perangkat indikasinya bersifat zhannī, tidak bisa tidak, pasti
bersifat zhannī pula. Dengan kata lain, nash personal (mu‘ayyan-juz’ī-fardī) sangat sulit
untuk dikatakan bersifat qath‘ī al-dalālah.
ووجود القطع فيها أي آحاد األدلة اجلزئية على االستعمال ادل هور معدوم أو ِف
فإهنا إن كانت من أخ ار ااحاد فعدم إفادهتا، أعين ِف آحاد األدلة،اية الندور
وإن كانت متواترة فإفادهتا القطع مو وفة على مقدمات مجيعها أو.القطع ظاىر
فإهنا تتو ف على نقل، وادلو وف على الظين ال بد أن يكون ظنيا،ال ها ظين
18
Al-Syāthibī, al-Muwāfaqāt., I: 10.
8
اللغات وآراء النحو وعدم اإلشرتاك وعدم اجملاز والنقل ال رعع أو العادي
واإلضمار والتخصين للعموم والتقييد للمطلق وعدم الناسخ والتقدمي والتأخغ
. وإفادة القطع مع إعت ار ىذه األمور متعذر.وادلعارض العقلع
Status qath‘ī nash atau dalīl personal (juz’ī) dalam pengertian dan penggunaan yang
populer adalah mustahil atau sangat jarang dijumpai. Jika dalīl juz’ī tersebut berupa
hadits āhād, maka ketidak-qath‘ī-an maknanya sudah jelas. Sementara jika berupa
dalīl mutawātir—atau qath‘ī al-wurūd, maka untuk memastikan status qath‘ī-nya
biasanya mengacu kepada seperangkat indikasi (muqaddimāt) yang semuanya atau
kebanyakan darinya bersifat zhannī (spekulatif-relatif). Padahal sesuatu yang
mengacu kepada pijakan yang zhannī, tidak bisa tidak, pasti bersifat zhannī pula.
Gambarannya, upaya memastikan status qath‘ī dalīl juz’ī tadi melibatkan analisis
kebahasaan, kepastian tidak adanya makna ganda (isytirāk) dan makna metaforis
(majāz), analisis normatif, analisis sosiologis, kepastian tidak adanya
penyembunyian kata (idhmār), pengecualian (takhshīsh), pembatasan (taqyīd), dalīl
lain yang menghapusnya (nāsikh), taqdīm, ta’khīr dan kejanggalan logika
(mu‘āridh ‘aqlī). Adalah sangat sulit memastikan status qath‘ī dengan mengacu
kepada hal-hal tadi.19
Ayat ini, jelas al-Syāthibī, tidak bisa dikatakan memiliki signifikansi makna yang
qath‘ī bahwa shalat itu wajib, meskipun redaksinya menggunakan bentuk perintah (fi‘l
amr) yang biasanya berkonotasi makna wajib. Sebab perangkat indikasi yang digunakan
untuk menganalisis ayat tersebut bersifat zhannī, sebagaimana yang telah dijelaskan tadi.
Oleh karena itu, menyatakan bahwa ayat ini pada dirinya sendiri bersifat qath‘ī, seperti
pada konsep qath‘ī-zhannī konvensional, jelas mengandung kelemahan metodologis. Al-
Syāthibī menyatakan:
19
Ibid., halaman 13-14.
20
Q.S. al-Baqarah (2): 43.
9
فلو استدل مستدل على وجوب الصالة بقولو تعاىل ( أ يموا الصالة ) أو ما أش و
لكن حف بذلك من األدلة،ذلك لكان ِف اإلستدالل مبجرده نظر من أوجو
اخلارجية واألحكام ادلرتت ة ما ار بو فرض الصالة ضروريا ِف الدين ال ي ك فيو
.إال شاك ِف أ ل الدين
Jika seseorang mendasarkan hukum wajib shalat kepada nash personal, seperti ayat
“dirikanlah shalat…” atau yang sejenisnya, maka metode seperti itu mengandung
persoalan dalam beberapa hal. Sebaiknya dia melengkapi argumentasinya dengan
dalīl-dalīl eksternal dan hukum-hukum terkait yang secara kolaboratif
membuktikan bahwa kewajiban shalat adalah salah satu pilar utama agama, di mana
hanya orang yang tidak meyakini prinsip-prinsip agama sajalah yang tidak
mengakuinya.21
وإمنا األدلة ادلعتربة ىنا ادلستقرأة من مجلة أدلة ظنية تضافرت على معَن واحد حىت
.أفادت فيو القطع
Dalīl yang diperhitungkan dalam konteks qath‘ī-zhannī ini adalah yang diperoleh
melalui penalaran induktif terhadap dalīl-dalīl zhannī yang secara kolaboratif
mengarah kepada sebuah kesimpulan yang memiliki kadar kepastian dan kebenaran
yang tidak terbantah.22
21
Al-Syāthibī, al-Muwāfaqāt., I: 14.
22
Ibid.
10
Untuk memperjelas pernyataannya, al-Syāthibī melanjutkan deskripsi contoh
hukum wajib shalat di atas. Menurutnya, langkah yang harus ditempuh adalah, pertama,
menghimpun nash-nash al-Qur‟an dan al-Sunnah tentang perintah melakukan shalat,
pujian bagi orang yang melakukan, celaan dan siksa bagi orang yang meninggalkan, dan
sebagainya; dan, kedua, menganalisisnya secara induktif dan komprehensif. Dengan dua
langkah tersebut, dicapai sebuah kesimpulan yang meyakinkan bahwa mendirikan shalat
itu wajib hukumnya.23
Alur penalaran qath‘ī-zhannī dalam pandangan al-Syāthibī bisa diperjelas
dengan gambar berikut:
Nash-nash tentang
perintah shalat
Nash-nash tentang
pujian/pahala terhadap Kesimpulan
yang melakukan Analisis umum yang
Induktif qath‘ī bahwa
atau shalat itu
Nash-nash tentang istiqrā’
celaan/ancaman terhadap wajib
yang meninggalkan
Nash-nash tentang
perang terhadap yang
menentangnya
23
Ibid, halaman 15-16.
11
pernah memiliki pijakan yang meyakinkan. Dan analisis induktif yang mengarah kepada
kesimpulan umum adalah jalan pemecahannya.24
Sebuah keputusan dan pilihan yang sangat krusial dan “berani”. Pada poin inilah
terletak perbedaan yang paling mendasar antara konsep qath‘ī-zhannī yang dibangun al-
Syāthibī dan yang berlaku dominan dalam wacana Ushul Fiqih. Melalui penelusuran
terhadap pernyataan-pernyataan al-Syāthibī, bisa diketahui bahwa ternyata pilihan yang
krusial tersebut memiliki landasan paradigmatik yang cukup kuat. Pertama, telah
dijelaskan di muka bahwa, sejak awal, al-Syāthibī telah menggunakan metode penalaran
induktif (istiqrā’) sebagai pijakan epistemologis yang paling otoritatif. Seluruh
konstruksi teoretik Ushul Fiqih pasti dan harus bersifat qath‘ī, dan pijakan epistemologis
yang paling otoritatif untuk itu adalah penalaran induktif.
Kedua, oleh karena menyandang otoritas tertinggi, maka, tegas al-Syāthibī,
kesimpulan umum yang muncul dari kolaborasi nash-nash juz’ī melalui proses
penalaran induktif memiliki kekuatan hukum yang sangat kuat, bahkan jauh lebih kuat
daripada makna yang terkandung dalam nash juz’ī. Sebab, apapun alasannya, kolaborasi
(ijtimā‘) jelas memiliki nilai lebih yang tidak bisa dijumpai dalam kesendirian (iftirāq).
Cermati pernyataan al-Syāthibī di bawah ini:
Ketiga, otoritas (hujjiyyah) yang dimiliki oleh kesimpulan umum hasil penalaran
induktif (āmm istiqrā’ī) sama dengan—serta bisa disebut sebagai “mutawātir ma‘nawī”;
sejajar dengan “mutawātir lafzhī” (nash yang transmiter atau sanad-nya pada setiap
jenjang/generasi berjumlah banyak sehingga tidak memungkinkan bagi mereka untuk
secara kolektif berbohong tentang apa yang mereka riwayatkan itu. Jika mutawātir lafzhī
bersifat qath‘ī al-wurūd, maka mutawātir ma‘nawī bersifat qath‘ī al-dalālah. Al-
Syāthibī menegaskan:
24
Ibid.
25
Ibid.
12
وىو،فإذا حصل من استقراء أدلة ادلسألة رلموع يفيد العلم فهو الدليل ادلطلوب
. بل ىو،ش يو بالتواتر ادلعنوي
Apabila dari penalaran induktif terhadap dalīl-dalīl yang relevan berhasil diperoleh
kesimpulan umum yang meyakinkan, maka hasil kesimpulan itulah yang dianggap
sebagai dalīl yang otoritatif. Ia serupa dengan mutawātir ma‘nawī, atau justru
mutawātir ma‘nawī itu sendiri.26
.إن األ ل الكلع إذا انتظم ِف االست قراء يكون كليا جاريا رل رى العم وم ِف األفراد
26
Al-Syāthibī, al-Muwāfaqāt., I: 14.
27
Ibid.
13
Sebuah prinsip umum yang diperoleh melalui penalaran induktif berlaku efektif
secara otomatis dan mandiri selayaknya lafazh yang umum terhadap unsur-unsur
cakupannya.28
فيجري ِف، والثاِن استقراء موا ع ادلعَن حىت حيصل منو ِف الذىن أمر كلع عام...
.احلكم رلرى العموم ادلستفاد من الصيغ
Kedua—tentang cara mengetahui sesuatu yang umum (‘umūm) adalah analisis
induktif terhadap item-item makna, sehingga dihasilkan sebuah prinsip umum yang
meyakinkan. Prinsip umum tersebut berlaku efektif secara otomatis dan mandiri
sebagaimana keumuman yang diperoleh dari bentuk redaksionalnya.29
إذا تقررت عند اجملتهد ُث استقرى معَن عاما من أدلة خا ة واطرد لو ذلك ادلعَن
.َل يفتقر بعد ذلك إىل دليل خاص على خصوص نازلة تعن بل حيكم عليها
Jika seorang mujtahid menjumpai sebuah kasus yang perlu dipecahkan, kemudian
dia menganalisis secara induktif sejumlah dalīl juz‟ī yang relevan dan menghasilkan
sebuah kesimpulan umum yang meyakinkan, maka dalam konteks pemecahan kasus
tadi, dia tidak memerlukan dalīl juz‟ī apapun lagi. Kesimpulan umum tadi sudah
cukup baginya sebagai acuan yang otoritatif.30
28
Ibid., halaman 17.
29
Ibid.
30
Ibid., III: 172.
14
Tabel 1. Perbedaan antara Konsep Qath‘ī-zhanni Konvensional dan Konsep al-Syāthibī
وكما أن من أخذ.فمن أخذ بنن مثال ىف جزئع معرضا عن كليو فقد أخطأ
. كذلك من أخذ بالكلع معرضا عن جزئيو،باجلزئع معرضا عن كليو فهو خمطئ
Barangsiapa yang berpegang hanya kepada nash juz’ī saja seraya mengabaikan
prinsip umum yang mendasarinya (maqāshid al-syarī‘ah-pen.), maka dia telah
keliru. Adalah sama kelirunya, orang yang hanya berpegang kepada prinsip umum
seraya mengabaikan nash juz’ī.31
31
Ibid., halaman 3.
32
Ibid.
15
Cara yang tepat di saat terjadi kontradiksi seperti itu adalah dengan
mengompromikan dan mencari sebuah formulasi hukum yang mempertemukan
signifikansi makna keduanya. Hal ini penting diperhatikan oleh seorang mujtahid,
karena seluruh konstruksi syari„at Islam pada dasarnya adalah sebuah kesatuan. Antara
prinsip umum dan nash juz’ī seharusnya terjadi interaksi sinergis yang saling
mendukung satu sama lain. Perhatikan pernyataan al-Syāthibī berikut ini:
فإذا ث ت باالستقراء اعدة كلية ُث أتى النن على جزئع خيالف القاعدة بوجو من
ألن ال ارع َل ينن على ذلك،وجوه ادلخالفة فال بد من اجلمع ىف النظر بينهما
إذ كلية ىذا معلومة ضرورة بعد اإلحاطة.اجلزئع إال مع احلفظ على تلك القواعد
. فال ديكن واحلالة ىذه أن خترم القواعد بإلغاء ما اعتربه ال ارع.مبقا د ال ريعة
.وإذا ث ت ىذا َل ديكن أن يعترب الكلع ويلغى اجلزئع
Apabila sebuah prinsip umum melalui penalaran induktif telah dihasilkan,
kemudian dijumpai sebuah nash juz’ī yang signifikansi maknanya berlawanan
dengan prinsip umum tadi, maka keduanya perlu dikompromikan dan dicarikan
sebuah titik temu secara serimbang. Allah swt. Dan Rasul-Nya tidak mungkin
menetapkan nash juz’ī kecuali bahwa ia telah diselaraskan dengan prinsip-prinsip
umum. Prinsip harmonitas ini menjadi niscaya apabila maqāshid al-syarī‘ah telah
didalami. Tidak mungkin prinsip umum ditegakkan dan diacu, sedangkan nash juz’ī
diabaikan.33
Prinsip Umum
Teks Personal
(Kulliyyat
(Nash Juz’i)
`Ammah)
Kasus
(Waqi’ah)
33
Ibid., halaman 6.
16
Seorang dokter, misalnya, lanjut al-Syāthibī, di saat memeriksa pasen, pasti
mempertimbangkan dua aspek secara bersamaan dan seimbang, yaitu teori-teori tentang
gejala-gejala fisik dan kondisi kasuistik pasen. Tidak mungkin dia hanya mengacu
kepada salah satu aspek dan mengabaikan yang lain, sebab tindakan bodoh tersebut akan
mencelakai si pasen. Dalam meramu resep dan meracik obat, dua aspek tadi pasti adalah
acuan utamanya secara integral dan sinergis.34
Ilustrasi lain yang dikemukakan oleh al-Syāthibī adalah tentang madu. Dijumpai
begitu banyak nash al-Qur‟an dan hadits yang menyebut madu sebagai obat (syifā’).
Secara medis pun, madu dianggap sangat baik untuk kesehatan dan vitalitas tubuh.
Namun, khusus untuk penderita diabetes (al-shafrā’), mengansumsi madu tentu
mengandung resiko, yaitu pertambahan kadar gula dalam darahnya. Jadi terjadi
kontradiksi antara manfaat madu untuk kesehatan dan efek yang serius jika dikonsumsi
oleh penderita diabetes. Maka diambil sebuah kesimpulan bahwa madu sangat bagus
untuk dikonsumsi, kecuali bagi penderita diabetes.35
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, harus diakui bahwa pemikiran al-
Syāthibī, inklusif di dalamnya konsep qath‘ī-zhannī, memperoleh respon yang positif
dari para pemerhati dan pengkaji Ushul Fiqih periode-periode selanjutnya. Bahkan tokoh
sekaliber Muhammad Abduh (w. 1324), sang reformer (mujaddid) tersohor di Mesir,
pernah memberikan masukan kepada Muhammad al-Khudharī Bik untuk memasukkan
pemikiran-pemikiran al-Syāthibī dalam buku al-Muwāfaqāt-nya ke dalam buku Ushul
Fiqih yang sedang dia susun. Masukan salah satu guru yang paling dikaguminya itu dia
patuhi dengan sepenuh hati. Kutipan-kutipan pemikiran al-Syāthibī banyak dijumpai
dalam bukunya, Ushūl al-Fiqh.
34
Ibid.
35
Ibid.
17
pemaknaan lain. Sementara dalam konsep al-Syāthibī, yang qath‘ī adalah kesimpulan
umum yang dihasilkan melalui upaya telaah induktif (istiqrā’) terhadap sejumlah nash
juz’ī yang relevan.
Kedua, dalam perpesktif konvensional, analisis kebahasaan cukup otoritatif
sebagai acuan epistemologis untuk memastikan signifikansi makna teks. Sementara
menurut al-Syāthibī, analisis kebahasaan saja belum cukup. Sesuatu yang bersifat
zhannī, seperti analisis kebahasaan, tidak cukup kuat untuk menentukan status qath‘ī.
Tumpuan epistemologis yang meyakinkan adalah kolaborasi nash-nash juz’ī yang,
melalui penalaran induktif yang tuntas, mengarah kepada sebuah kesimpulan umum
yang meyakinkan.
Ketiga, kesimpulan umum melalui telaah induktif berlaku secara otomatis dan
mandiri, selayaknya entitas umum terhadap unsur-unsur yang dikandungnya. Untuk
diterapkan dan diberlakukan, ia sudah tidak memerlukan legitimasi nash juz’ī apapun
lagi, karena sudah mengandung nilai kebenaran yang mengabsahkan dirinya sendiri.
Terakhir, peneliti juga perlu menyampaikan beberapa harapan sebagai berikut:
1. Khazanah keilmuan klasik sangat kaya serta perlu digali secara serius, sehingga
penelitian-penelitian yang bersifat kepustakaan seperti ini perlu digalakkan.
2. Kajian Ushul Fiqih merupakan salah satu kajian yang multidisipliner, karena
melibatkan berbagai disiplin ilmu, seperti filsafat, hermeneutika, ilmu bahasa, studi
teks dan sebagainya. Itulah sebabnya, berbagai penelitian yang serius perlu
digalakkan, supaya Ushul Fiqih bisa membumi, tidak elitis seperti saat ini.
3. Konsep qath‘ī-zhannī al-Syāthibī ini perlu dielaborasi lebih lanjut, karena sangat
bermanfaat membuka ruang yang lebih terbuka bagi ijtihad yang mampu
mengakomodir kebutuhan riil masyarakat.
Malang, 10 Agustus 2011.
18
DAFTAR RUJUKAN
Abū Zahrah, Muhammad, Ushūl al-Fiqh, ttp.: Dār al-Fikr al-„Arabī, t.t.
Faqihuddin Abdul Kodir, Memilih Monogami: Pembacaan atas Al-Qur’an dan Hadits
Nabi, cetakan I, Yogyakarta: LkiS, 2005.
Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, Muhammad ibn Abī Bakr, I‘lām al-Muwaqqi‘īn ‘an Rabb
al-‘Ālamīn, ed. Muhammad „Abd al-Salām Ibrāhīm, cetakan I, Beirut: Dār al-
Kutub al-„Ilmiyyah, 1991.
Khallāf, „Abd al-Wahhāb, ‘Ilm Uhsūl al-Fiqh, ctk. XII, Kuwait: Dār al-Qalam, 1978.
Raysūnī, al-, Ahmad, Nazhariyyah al-Maqāshid ‘ind al-Imām al-Syāthibī, cetakan II,
Riyad: Al-Dār al-„Ālamiyyah li al-Kitāb al-Islāmī, 1992.
Syāthibī, al-, Abū Ishāq Ibrāhīm, al-Muwāfaqāt fī Ushūl al-Ahkām, ed. Muhammad al-
Khidhr Husayn al-Tūnisī, ttp.: Dār al-Rasyād al-Hadītsah, t.t.
19