Anda di halaman 1dari 12

TAFSIR TEMATIK: PENAFSIRAN AISYAH BINTU SYATHI’

TENTANG MANUSIA DALAM AL-QUR’AN

THEMATIC INTERPRETATION: AISYAH BINTU SYATHI'S


INTERPRETATION ABOUT HUMANS IN THE QUR'AN

‫ تفسير عائشة بنت الشاطئ حول البشر في القرآن‬:‫تفسير موضوعي‬


Alamsyah, Ostrada Pahlawan.

(Institut PTIQ Jakarta)


(Institut PTIQ Jakarta)

alamsyahain@gmail.com
ostradap97@gmail.com

ABSTRAK

Tafsir Tematik sebagai disiplin ilmu, dari sisi historisnya tidak berbeda jauh dengan disiplin ilmu-
ilmu yang lain. Ia tumbuh melalui suatu proses yang tentu saja bersifat gradual, ada dinamika yang
mewarnai dan melatarbelakanginya sebelum kemudian ia terbentuk menjadi sebuah terminologi
keilmuan spesifik dalam wilayah studi penafsiran Al-Qur’an. Dalam makalah ini penulis berusaha
untuk mengungkapkan sejarah tafsir tematik serta pemikiran Bintu Syathi’ dalam menafsirkan ayat-
ayat yang membahas tentang konsep manusia. Bintu Syathi’ merupakan seorang mufassir yang
berasal dari Mesir. Nama lengkapnya adalah Aisyah Abdurrahman. Bintu Syathi’ menafsirkan ayat
dengan menggunakan metode tematik yang dianalisis secara semantik. Ia mengumpulkan ayat-ayat
tersebut kemudian menghubungkannya dengan ayat yang lain untuk mendapatkan makna umum
dari kata  al-insan  serta konsep yang terkandung di dalamnya. Kajian munasabah seperti ini cukup
lazim digunakan dalam metode tafsir tematik yang berkembang saat ini.

Kata Kunci: Tafsir, Tematik, Bintu Syathi’.

ABSTRACT

Thematic interpretation as a scientific discipline, from a historical point of view, is not much different
from other disciplines. It grows through a process which of course is gradual, there are dynamics that
characterize and underlie it before it was later formed into a specific scientific terminology in the area
of study of the interpretation of the Qur'an. In this paper, the author tries to reveal the history of
thematic interpretation and Bintu Syathi's thoughts in interpreting verses that discuss human
concepts. Bintu Syathi 'is a commentator who came from Egypt. Her full name is Aisyah
Abdurrahman. Bintu Syathi' interprets the verse using a thematic method that is analyzed
semantically. He collected these verses and then connected them with other verses to get the general
meaning of the word al-insan and the concepts contained in it. Munasabah studies like this are quite
commonly used in the currently developing thematic interpretation methods.

Keywords: Interpretation, Thematic, Bintu Syathi'.


: ‫الملخص‬

‫ إنه‬.‫كثريا عن التخصصات األخرى‬


ً ، ‫ من وجهة نظر تارخيية‬، ‫ال خيتلف التفسري املوضوعي كتخصص علمي‬
‫ وهناك ديناميات متيزها وتكمن وراءها قبل أن تتشكل فيما بعد يف‬، ‫ينمو من خالل عملية هي بالطبع تدرجيية‬
‫ حياول املؤل ف الكش ف عن ت اريخ‬، ‫ يف ه ذه الورق ة‬.‫مص طلحات علمي ة حمددة يف جمال دراس ة تفس ري الق رآن‬
‫ بنتو س ياثي معلّقة من‬.‫التفس ري املوض وعي وأفك ار بنت الش اطئ يف تفسري اآلي ات اليت تن اقش املف اهيم البش رية‬
‫ يفسر بنت الش اطئ الش عر باس تخدام طريق ة موض وعية يتم حتليله ا‬.‫ امسها الكامل عائشة عبد ال رمحن‬.‫مصر‬
.‫ مجع ه ذه اآلي ات مث ربطه ا بآي ات أخ رى ل ريى املع ىن الع ام لكلم ة اإلنس ان وم ا حتتوي ه من مف اهيم‬.‫معنويً ا‬
.‫تستخدم دراسات املناصب مثل هذه بشكل شائع يف طرق التفسري املوضوعي اليت يتم تطويرها حاليًا‬

‫ بنت الشاطئ‬،‫ املوضوعي‬،‫ التفسري‬: ‫الكلمات املفتاحية‬


1. PENDAHULUAN

Penggunaan metode-metode tafsir klasik yang marak digunakan oleh sarjana-


sarjana muslim pada saat ini mengundang kritikan dari beberapa tokoh tafsir
kontemporer seperti Muhammad Syahrur, Nasr Hamid Abu Zayd, Amin al-Khully,
dan Bintu Syathi’.

Tokoh-tokoh tersebut mengungkapkan bahwa penafsiran-penafsiran terdahulu


terfokus pada kajian-kajian yang sesuai dengan keadaan masyarakat pada jaman
mereka dan cenderung lokalistik. Muhammad Syahrur berpendapat bahwa sudah
saatnya umat Islam saat ini menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan situasi dan
kondisi masyarakat yang pada masa ini. Amin al-Khully mencoba menggeser
paradigma yang tertanam kuat dalam pemikiran umat Islam dengan menjadikan Al-
Qur’an sebagai kitab bahasa Arab yang agung.

Di sisi lain, kegelisahan Bintu Syathi’ akan tiadanya pengungkapan


kemukjizatan Al-Qur’an dari sisi balaghahnya membuat ia berusaha menafsirkan
Al-Qur’an dari sisi bayaninya. Ia sangat menyesalkan keadaan sarjana sastra Arab
yang hanya terfokus pada puisi-puisi Arab, padahal Al-Qur’an jauh lebih baik dan
lebih layak untuk diungkapkan maknanya daripada puisi-puisi tersebut.

Dalam makalah ini penulis berusaha untuk mengungkapkan sejarah tafsir


tematik serta pemikiran Bintu Syathi’ dalam menafsirkan ayat-ayat yang membahas
tentang konsep manusia.

2. METODE
Jenis penelitian dalam makalah ini menggunakan metode penelitian
kepustakaan (library research) yakni pengumpulan data dengan cara membaca dan
menelaah buku serta literatur lainnya yang berkaitan dengan tema. Penelitian
kepustakaan ialah penelitian yang semua datanya berasal dari bahan-bahan tertulis
berupa buku, naskah, dokumen, foto, dan lain-lain. Penelitian jenis ini lebih banyak
menyangkut hal-hal yang bersifat teoritis, konseptual, ataupun gagasan-gagasan,
ide-ide, yang termuat dalam bahan-bahan tertulis seperti buku, naskah, dokumen,
foto, dan sebagainya.1 Penulisan makalah ini menggunakan pendekatan metode
deskriptif, dengan menggunakan sumber data berbagai literatur dari kitab-kitab
karya mufassir dan jurnal-jurnal ilmiah yang berkaitan dengan ilmu tafsir.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Sejarah munculnya Tafsir Tematik (Maudhu’i)

Tafsir Maudhu’i sebagai disiplin ilmu dari sisi historisnya tidak berbeda jauh
dengan disiplin ilmu-ilmu yang lain. Ia tumbuh melalui suatu proses yang tentu saja
bersifat gradual, ada dinamika yang mewarnai dan melatarbelakanginya sebelum
kemudian ia terbentuk menjadi sebuah terminologi keilmuan spesifik dalam
wilayah studi penafsiran Al-Qur’an.2 Terminologi tafsir Maudhu’i tidak ditemukan
sebelum abad ke-14 H. Hanya saja, dasar-dasar penafsiran dengan menggunakan
metode penafsiran tersebut telah digunakan sejak era kenabian. Hal itu dapat
diketahui melalui penafsiran Nabi Saw. terhadap kata zhulm (‫ )ظلم‬yang diartikan
sebagai syirk (‫ )شرك‬karena maknanya dianggap sama. Walau demikian, pada era
kenabian dan sebelum abad ke-14, penggunaan metode penafsiran maudhu’i belum
memiliki karakteristik tertentu yang menempatkannya sebagai sebuah metode yang
utuh. Dan, belum membahas mengenai kaidah-kaidah, langkah atau pun bentuk
dari penafsiran maudhu’i.
Pertumbuhan atau perkembangan, metode tafsir ini telah ada semenjak zaman
Nabi Muhammad. Hal ini terbukti dari adanya sebuah riwayat tentang penafsiran
kata ‫ ظلم‬oleh Nabi pada ayat: ‫ الذين امنوا ولم يلبسوا ايمنهم بظلم‬dengan makna ‫ الشرك‬pada ayat
‫ إن الشرك لظلم عظيم‬Di mana Nabi Muhammad Saw. menyampaikan ilmu pengetahuan
kepada para sahabat untuk mengumpulkan beberapa ayat mutasyabihat akan
mempermudah untuk mengetahui pokok bahasan dan akan menghilangkan
keraguan. Penafsiran ayat dengan ayat tersebut menjadi awal bagi munculnya
metode tafsir maudhu’i.3
Menurut catatan Quraish Shihab, tafsir tematik berdasarkan surah digagas
pertama kali oleh seorang guru besar jurusan Tafsir fakultas Ushuluddin Universitas
al-Azhar, Syaikh Mahmud Syaltut, pada Januari 1960. Karya ini termuat dalam
1
Nashruddin Baidan dan Erwati Aziz, Metodologi Khusus Penelitian Tafsir (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2019), 28.
2
Taufiq, Wildan, dan Asep Suryana, Penafsiran Ayat-Ayat Israiliyyat dalam AlQur’an dan
Tafsirnya.
3
Abd. Al-Hayyi al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy, terj. Suryan A. Jamrah, Metode
Tafsir al-Mawdhu’iy, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994, h.38.
kitabnya; Tafsir al-Qur’an al-Karim. Sedangkan tafsir maudu‘i berdasarkan subjek
digagas pertama kali oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid al-Kumiy, seorang guru besar di
institusi yang sama dengan Syaikh Mahmud Syaltut, jurusan Tafsir fakultas
Ushuluddin Universitas al-Azhar, dan menjadi ketua jurusan Tafsir sampai tahun
1981. Model tafsir ini digagas pada tahun seribu sembilan ratus enam puluhan.4
Buah dari tafsir model ini menurut Quraish Shihab di antaranya adalah karya-
karya Abbas Mahmud al-Aqqad, al-Insân fî al-Qur’ân, al-Mar’ah fî al-Qur’ân, dan
karya Abul A’la al-Maududi, al-Ribâ fî al-Qur’ân. Kemudian tafsir model ini
dikembangkan dan disempurnakan lebih sistematis oleh Abdul Hay al-Farmawi,
pada tahun 1977, dalam kitabnya al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudu‘i: Dirasah Manhajiyah
Maudu‘iyah. Namun kalau merujuk pada catatan lain, kelahiran tafsir tematik jauh
lebih awal dari apa yang dicatat Quraish Shihab, baik tematik berdasar surah
maupun berdasarkan subjek.
Kaitannya dengan tafsir tematik berdasar surah al-Qur’an, Zarkashî dengan
karyanya al- Burhân (al-Zarkashî, 1988: 61-72), misalnya adalah salah satu contoh
yang paling awal yang menekankan pentingnya tafsir yang menekankan bahasan
surah demi surah. Demikian juga Suyûtî (w. 911/1505) dalam karyanya al-Itqân (al-
Suyûtî, 1405/1985: 159-161).
Sementara tematik berdasar subyek, diantaranya adalah karya Ibn Qayyim al-
Jauzîyah (1292-1350H.), ulama besar dari mazhab Hanbalî, yang berjudul al-Bayân fî
Aqsâm al-Qur`ân; Majâz al- Qur`ân oleh Abû ‘Ubaid; Mufradât al-Qur`ân oleh al-
Râghib al-Isfahânî; Asbâb al-Nuzûl oleh Abû al-Hasan al-Wahîdî al-Naisâbûrî (w.
468/1076), dan sejumlah karya dalam Nâsikh wa al- Mansûkh, yakni; (1) Naskh al-
Qur`ân oleh Abû Bakr Muhammad al-Zuhrî (w. 124/742), (2) Kitâb al-Nâsikh wa al-
Mansûkh fî al-Qur`ân al-Karîm oleh al-Nahhâs (w. 338/949), (3) al-Nâsikh wa al-
Mansûkh oleh Ibn Salamâ (w. 410/1020), (4) al-Nâsikh wa al-Mansûkh oleh Ibn
al-‘Atâ`iqi (w.s. 790/1308), (5) Kitâb al-Mujâz fî al-Nâsikh wa al-Mansûkh oleh Ibn
Khuzayma al-Fârisî (Rippin, 1988: 120). Sebagai tambahan, tafsir Ahkâm al-Qur`ân
karya al-Jassâs (w. 370 H.), adalah contoh lain dari tafsir semi tematik yang
diaplikasikan ketika menafsirkan seluruh al-Qur’an. Karena itu, meskipun tidak
fenomena umum, tafsir tematik sudah diperkenalkan sejak sejarah awal tafsir. Lebih
jauh, perumusan konsep ini secara metodologis dan sistematis berkembang di masa
kontemporer. Demikian juga jumlahnya semakin bertambah di awal abad ke 20,
baik tematik berdasarkan surah al-Qur’an maupun tematik berdasar subyek/topik.5
Adapun perkembangan tafsir maudhui setelah abad ke-14 H dimulai dari studi
yang dilakukan oleh Jamaluddin Al-Afgani (w. 1315 H.). Ia menulis karya al-Maqalat
al-Tafsiriyyah dalam majalah al- ’Urwat al-Wutsqa. Kemudian, muridnya, Muhammad
‘Abduh (w. 1323 H) menuliskan beberapa makalah-makalah tafsir. Ia pun menjadi
pengisi kuliah-kuliah tafsir dan di sela-sela kuliahnya itu muncul gagasan-gagasan
tafsir maudhu’i, walaupun masih bercampur dengan tafsir tahlili. Sebagian pengikut
4
Moh. Tulus Yamani, “Memahami Al-Qur’an dengan Metode Tafsir Maudhu’i”, dalam Jurnal
PAI, Vol. 1 No. 2 Januari-Juni 2015, hal. 276.
5
Moh. Tulus Yamani, “Memahami Al-Qur’an dengan Metode Tafsir Maudhu’i”…, hal. 276-277.
mereka menggabungkan antara metode tafsir tahlili dan tafsir maudhu’i seperti
dalam tafsir al-Manar karya Muhammad Rasyid Ridha (w. 1354 H), tafsir al-
Maraghy (w. 1364 H) dan tafsir Mahmud Syaltut (w. 1383 H).
Orang yang pertama kali menulis tafsir dengan menggunakan metode maudhui
adalah Muhammad Mahmud Hijazy (w. 1391 H) dengan karyanya yang berjudul al-
Wihdat al-Maudhu’iyyah fi al- Quran al-Karim. 58 Karya dengan metode maudhui
ini kemudian banyak bermunculan, seperti al-Yahud Fi al-Quran karya Muhammad
‘Izzah, al-Mar’ah fi al-Quran karya ‘Abbas Mahmud, Zhahiratu al-Nifaq fi al-Quran
karya ‘Abdurrahman Habnakah dan lain sebagainya. 6 Tafsir maudhu’i ini kemudian
menjadi mata kuliah di Universitas al-Azhar yang diprakarsai oleh Ahmad Sayyid
al-Kumy.
Terminologi tafsir maudhui meskipun belum digunakan sebelum abad ke-14 H,
bukan berarti ulama-ulama terdahulu tidak terbersit untuk membuat tafsir tematik
yang bisa menjelaskan suatu masalah dengan mendalam, akan tetapi mereka
memfokuskan diri untuk menulis menggunakan metode penafsiran tahlili karena
tuntutan kebutuhan pada masa itu. Para mufassir sebelum abad ke-14 belum
mengenali metode penafsiran maudhui seperti yang digunakan pada abad
setelahnya, sebab memang kebutuhan terhadap metode penafsiran tersebut belum
mengemuka.
Latar belakang munculnya terminologi Tafsir Maudhu’i secara ringkas dapat
dideskripsikan sebagai berikut:
a. Kebutuhan terhadap produk penafsiran dengan frame kesatuan tema.
Perspektif ini dikembangkan oleh Ahmad Sayyid Al-Kumiy dan Muhammad
Al-Qasim yang memandang bahwa penafsiran dengan menggunakan
kesatuan tema menjadi kebutuhan yang terlihat sangat mencolok untuk
menjelaskan makna-makna ayat-ayat Al-Qur’an. Diperlukan suatu metode
definitif baru yang berkelindan erat dengan maslak (jalan) yang ditempuh
oleh Al-Qur’an yaitu: wadhih al-ghayah (tujuannya jelas), muhaddid al-
nihayah (akhirnya ditentukan), bariz fi al-tashwir (deskripsinya gamblang)
dan jami’ likulli al-ahdaf fi tahqiqih (implementasi tujuannya ditempuh
secara integral). Metode Maudhu’i dipakai untuk memuaskan kebutuhan
manusia atas penyajian suatu topik secara menyeluruh, agar kemudian bila
sudah selesai, dapat beralih kepada topik baru berikutnya. Dengan metode
seperti ini, besar harapan akan memudahkan orang memahami isi atau pesan
Al-Qur’an, lalu dapat diinternalisasikan dalam kehidupan untuk mencapai
derajat yang lebih baik lagi serta terhindar dari potensi terjerembab ke dalam
malapetaka yang merusak cita-cita memperoleh kehidupan yang bahagia di
dunia.7

6
Abd. Al-Hayy Al-Farmawi, Al-Bidayah fi At-Tafsir Al-Maudhu’i, Cairo: Tauzi’ Maktabah
Jumhuriyyah Misr, 1977, Hal. 61.
7
Ahmad As-Sayyid Al-Kumiy & Muhammad Ahmad Yusuf Al-Qasim, At-Tafsir Al-Maudhu’i li
Al-Qur’an Al-Karim, Cairo: Univ. Al-Azhar Mesir, 1982, hal. 17.
Al-Kumiy dalam membangun perspektifnya terkait sebabsebab yang
mendorong munculnya Tafsir Maudhu’i berpijak pada pandangan Mahmud
Syaltut yang menilai bahwa metode terbaik dalam penafsiran Al-Qur’an
adalah Maudhu’i. Melalui metode Maudhu’i ini akan tersingkap adanya
korelasi yang sangat erat dan kesenyawaan antara tema-tema yang tersaji
melalui metode ini dengan realitas yang dialami oleh manusia. Sehingga Al-
Qur’an dapat hadir memberikan petunjuk yang membawa manfaat yang
sangat dibutuhkan oleh manusia sepanjang zaman.8
Pandangan Al-Kumiy tersebut, selain didasarkan pada deskripsi
keistimewaan metode Maudhu’i menurut Syaltut, sebenarnya juga dapat
diamati sebagai suatu usaha untuk membangun relevansi AlQur’an agar
tidak berjarak dengan dinamika manusia dalam kehidupannya. Pendekatan
dimensi “al-hajah” (kebutuhan) yang dilakukan oleh Al-Kumiy dalam
mendekati latarbelakang munculnya Tafsir Maudhu’i adalah potret nyata
gerakan kesadaran tentang urgensi membangun interaksi yang lebih intens
antara manusia dengan Al-Qur’an sebagai langkah solutif untuk menemukan
solusi dari ragam problematika hidup yang kian kompleks.
b. Upaya menyibak keajaiban-keajaiban Al-Qur’an.
Perspektif ini dikembangkan oleh Muhammad Abdul Latif Rajab
dalam menelisik latarbelakang munculnya Tafsir Maudhu’i. Menurutnya,
pengkajian terhadap isi Al-Qur’an selalu akan menghadirkan ketidakpuasan
dalam diri para pengkajinya. Maka, metode ini lahir sebagai manifestasi
ekspresi yang sangat kuat untuk terus menggali Al-Qur’an yang mutlak
disebut sebagai kitab suci yang mu’jiz. Dimensi-dimensi kei’jazan Al-Qur’an
sepanjang masa akan selalu menantang untuk diteliti dan didalami. Dari
sinilah, ditemukan keajaiban-keajaiban Al-Qur’an yang terus menyajikan
kebaruan tiap kali dikaji.
Faktor pengungkapan keajaiban ini pun pada akhirnya, menurut
Muhammad Abdul Latif Rajab, membentangkan jalan untuk semakin jauh
melakukan proses mempelajari Al-Qur’an dengan tiada henti.16 Terminologi
metode Tafsir Maudhu’i merupakan wujud dari hasil upaya penggalian Al-
Qur’an secara gradual yang diawali oleh suatu langkah yang telah dilakukan
sebelumnya, tapi belum terkonsepsi matang, lalu diformulasikan menjadi
metode yang spesifik. Dengan kata lain, bahwa sebab munculnya metode
tafsir Maudhu’i merupakan natijah (hasil) determinan dari tradisi keilmuan
intelektual Muslim yang terus-menerus menjadikan Al-Qur’an sebagai obyek
kajian dengan mendasarkan pada worldview bahwa ia adalah pedoman
(marja’) dalam mewujudkan tata-hidup manusia yang paripurna.
c. Berkaitan dengan ihtiyajat al-ashr (kebutuhan kekinian).

8
Ahmad As-Sayyid Al-Kumiy & Muhammad Ahmad Yusuf Al-Qasim, At-Tafsir Al-Maudhu’i li
Al-Qur’an Al-Karim…, hal. 18-19.
Perspektif ini, masih menggunakan pandangan Muhammad Abdul Latif
Rajab.9 Menurutnya, ada 3 (tiga) kebutuhan penting di masa kini yang
berhubungan dengan latar belakang munculnya terminologi Tafsir Maudhu’i
yaitu:
Pertama, corak pembahasan ilmiah seperti spesialisasi yang fokus pada studi
cabang ilmu berdasarkan penelitian induktif dan akomodatif untuk
mengetahui bagian-bagiannya yang lebih mendalam. Studi Al-Qur’an mesti
mengakomodir corak seperti ini agar bisa menjawab masalah pada masa ini
dengan metodenya tersendiri.
Kedua, masuknya orientalis dalam lapangan kajian keislaman. Mereka
bersikeras menyebarkan dan mempelajari literatur Islam serta membuat
kamus-kamus yang membantu mereka mempelajarinya agar dengan
demikian mempermudah realiasi tujuan-tujuan dari gerakan orientalisme.
Para sarjana muslim telah melakukan upaya counter terhadap ragam
syubuhat-syubuhat (tuduhan yang menodai kemuliaan Islam) dan
misinterpretasi yang muncul akibat kesalahan dalam logical fallacy (sesat
pikir). Dimunculkanlah term-term dengan dalih tajdid (pembaruan) untuk
melokalisir kebutuhan umat Islam, dan di sisi lain perpustakaan Islam
disuplai oleh berbagai literatur-literatur yang telah disisipi oleh misi
destruktif orientalisme. Selain Muhammad Abdul Latif, pengaruh
orientalisme (istisyraq) dalam intensitas penafsiran Maudhu’i juga disebutkan
oleh Samir Abdurrahman Syirwani.10
Ketiga, kebutuhan Program Studi Tafsir pada perguruan tinggi yang memiliki
konsentrasi studi Al-Qur’an untuk membahas tema-tema seputar Al-Qur’an
yang dilakukan oleh para akademisi baik pada jenjang magister maupun
doctoral.

3.2 Metode Tafsir Maudu’i

Langkah-langkah yang hendaknya ditempuh untuk menerapkan metode


mauḍ hū‘i adalah:11

1. Memilih atau menetapkan masalah Alquran yang akan di bahas.


Mufassir tematik diharapkan agar lebih dahulu mempelajari problemproblem
masyarakat, atau ganjalan-ganjalan pemikiran yang dirasakan sangat
membutuhkan jawaban Alquran menyangkut kemiskinan, keterbelakangan,
penyakit dan sebagainya. Dengan demikian, corak dan metode penafsiran

9
Muhammad ‘Abd al-Latif Rajab, Asasiyyat Manhajiyyah li al-Tafsir al-Maudhu’i, Sharjah:
Mu’tamar Kuliyyah Syari’ah, 2010, Hal. 10
10
Samir Abdurrahman Risywani, Manhaj At-Tafsir Al-Maudhu’i Li Al-Qur’an Al-Karim, Suriah:
Dar Al-Multaqa, 2009, hal. 100.
11
Abd. Al-Hayyi al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy, terj. Suryan A. Jamrah, Metode
Tafsir al-Mawdhu’iy, hal. 45-46.
semacam ini memberi jawaban terhadap problem masyarakat tertentu di lokasi
tertentu dan tidak harus memberi jawaban terhadap mereka yang hidup
sesudah generasinya, atau yang tinggal diluar wilayahnya.
2. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah
ditetapkan, ayat Makiyyah dan Madaniyyah.
3. Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya,
disertai pengetahuan mengenai latar belakang turunnya ayat atau asbāb al-nuzul.
Terkait asbāb al-nuzul, hal tersebut tidak bisa diabaikan begitu saja dalam proses
penafsiran, ia memiliki peranan yang sangat besar dalam memahami ayat-ayat
Alquran, asbāb al-nuzul harus jadi pertimbangan tersendiri untuk memahami
ayat-ayat Alquran.
4. Menjelaskan munāsabah antara ayat yang satu dengan yang lainnya dan antara
surat yang satu dengan yang lainnya.
5. Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna,
dan utuh (outline).
6. Melengkapi penjelasan ayat dengan hadis-hadis Nabi, riwayat sahabat, dan lain-
lain sehingga makin jelas dan gambling.
7. Mempelajari ayat-ayat yang satu topik itu secara sektoral dengan menyesuaikan
antara yang umum dan yang khusus, yang mutlak dengan yang muqayyad,
yang global dengan yang terperinci dan memadukan antara ayat-ayat yang
kelihatan bertentangan satu sama lain serta menentukan mana yang nasikh dan
mansukh, sehingga nashnash mengenai yang satu topik dengan yang lainnya.

3.3 Biografi Bintu Syathi’

Bintu Syathi’ merupakan seorang mufassir yang berasal dari Mesir. Nama
lengkapnya adalah Aisyah Abdurrahman, putri dari pasangan Muhammad Ali
Abdurrahman dan Farida Abdussalam Muntasyir. Ia lahir pada tanggal 06
November 1913 di Dumyat yang terletak di sebelah barat sungai Nil. 12 Nama Bintu
Syathi’ memiliki arti gadis pinggir sungai. Nama itu ia gunakan sebagai kamuflase
agar aktivitasnya sebagai penulis tidak diketahui oleh ayahnya.13
Ayah Bintu Syathi’ dikenal sebagai seorang sufi yang konservatif. Ia melarang
putrinya untuk mengikuti pendidikan formal di sekolah, ia lebih cenderung
mendidik putrinya di rumah sendiri. Akan tetapi sikap ayahnya tersebut tidak
disetujui oleh ibu dan kakek Bintu Syathi’ yang menginginkan ia mengikuti
pendidikan formal. Berkat bantuan ibu dan kakeknya, Bintu Syathi’ berhasil
12
Sahiron Syamsudin, An Examination of Bintu al-Syathi’s Method of Interpreting The Qur’an,
Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999, hal. 6.
13
Roxanne D. Marrote, “The Qur’an in Egypt I: Bintu al-Syathi’ on Women’s
Emancipation” dalam Jurnal Coming to Terms with The Qur’an, New Jersey: Islamic Publication
International, 2008, hal. 180.
menamatkan pendidikan formal dari Madrasah Ibtidaiyah hingga sekolah keguruan
di Tanta dengan predikat lulusan terbaik.14
Setelah lulus sekolah keguruan, Bintu Syathi’ diangkat menjadi sekretaris pada
sekolah khusus wanita di Jizah. Disana ia memperdalam pengetahuannya dalam
bidang bahasa Inggris dan Perancis serta menyesuaikan diri dengan kehidupan
modern.15
Bintu Syathi’ kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Fuad I
(Universitas Kairo) pada tahun 1936 dengan mengambil jurusan sastera. Pada tahun
1939 ia lulus dengan predikat Cumlaude dan menyelesaikan pendidikan Masternya
di Universitas yang sama dengan mendapatkan predikat summa cumlaude pada
tahun 1931.16
Setelah lulus kuliah, Bintu Syathi’ bekerja sebagai asisten Lektor di Universitas
Kairo. Ia juga menjadi Inspektur Bahasa Arab dan Kritikus Sastera di Koran Al-
Ahram. Disamping itu, ia juga melanjutkan pendidikan doktoralnya dalam bidang
sastera di Universitas Kairo. Disanalah ia bertemu dengan professor Amin al-Khulli
(w. 1966) yang mengajar dalam bidang tafsir dan memberikan banyak pengaruh
dalam pemikiran Bintu Syathi’ terutama dalam bidang tafsir sastra. 17
Pada tahun 1950 Bintu Syathi’ menyelesaikan pendidikan doktoralnya dan
diangkat menjadi Kepala Jurusan Bahasa Arab dan Islamic Studies di Universitas
‘Ain Syams. Pada tahun 1957 ia diangkat menjadi asisten Professor dan 10 tahun
kemudian ia mendapatkan gelar professor dalam bidang sastra Arab. 18
Selain bekerja sebagai pengajar di Universitas, Bintu Syathi’ juga aktif dalam
kegiatan menulis. Ia sering mengirimkan tulisan dalam bidang sastera dan syair
pada majalah wanita al-Nahdah al-Nisaiyah. Pada tahun 1936 ia mulai menggunakan
nama Bintu Syathi’ untuk menyembunyikan kegiatan penulisannya dari ayahnya. 19

3.4 Analisis Penafsiran Bintu Syathi’ tentang Manusia Dalam Al-Qur’an


Dalam buku Maqal al-Insan: Dirasah Qur’aniyyah, Ada beberapa term yang
menjadi fokus penafsiran Bintu Syathi’. Term-term tersebut terbagi sesuai dengan
tema yang dibahas, walaupun tema-tema tersebut hanya penjelasan dari tema pokok
yaitu tentang pandangan Al-Qur’an terhadap manusia.
14
Bintu Syathi’, ‘Ala al-Jisr, Kairo: al-Hay’ah al-Mishriyah li al-Kitab, 1986, hal. 56.
15
Nuril Hidayah. “Konsep I’jaz Al-Qur’an Dalam Perspektif Mazhab Tafsir Sastra”, Skripsi,
Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2006, hal. 54.
16
Nuril Hidayah. “Konsep I’jaz Al-Qur’an Dalam Perspektif Mazhab Tafsir Sastra”, Skripsi, hal.
54.
17
Nuril Hidayah. “Konsep I’jaz Al-Qur’an Dalam Perspektif Mazhab Tafsir Sastra”, Skripsi, hal.
54.
18
Agustini, “Kritik Aisyah Abdurrahman Terhadap Berbagai Pandangan Tentang huruf
Muqatta’ah”, Skripsi, Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2012, hal. 35.
19
Nuril Hidayah. “Konsep I’jaz Al-Qur’an Dalam Perspektif Mazhab Tafsir Sastra”, Skripsi, hal.
55.
Bintu Syathi’ memulai penafsirannya dengan menjelaskan penafsiran tentang
surah al-‘Alaq:

‫ك اَأْل ْك َر ُم۝ الَّ ِذي َعلَّ َم بِالْ َقلَ ِم۝ َعلَّ َم‬ ِ ِّ‫ا ْق رْأ بِاس ِم رب‬
َ ُّ‫ك الَّذي َخلَ َق۝ َخلَ َق اِإْل نْ َس ا َن ِم ْن َعلَ ٍق ۝ا ْق َرْأ َو َرب‬َ َ ْ َ
‫ج َعى۝‬ ْ ‫الر‬
ُّ ‫ك‬َ ِّ‫اسَت ْغىَن ۝ ِإ َّن ِإىَل َرب‬
ْ ُ‫اِإْل نْ َسا َن َما مَلْ َي ْعلَ ْم ۝ َكاَّل ِإ َّن اِإْل نْ َسا َن لَيَطْغَى۝ َأ ْن َرآَه‬
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang
Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Ketahuilah! Sesungguhnya manusia
benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.
Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali(mu).” (Q.S. al-‘Alaq ayat 1-8).
Ia menyatakan bahwa kata al-insan  dalam surah tersebut terulang sebanyak tiga
kali dengan beberapa pesan yang terkandung di dalamnya, yaitu mengingatkan
manusia akan asal-usul kejadiannya dari segumpal darah, memberitahukan
kelebihan manusia yang diberikan ilmu, menyadarkan manusia akan potensi
kesalahan dari perbuatan yang melampaui batas.20
Selanjutnya Bintu Syathi’ menjelaskan bahwa ayat-ayat yang menjelaskan
tentang asal-usul serta proses penciptaan manusia mengandung pesan untuk
mengingatkan manusia atas kelemahan dan kehinaan yang terdapat dalam dirinya,
serta tidak melupakan asal-usul kejadiannya.21
َّ ِ َّ ُ‫ك نُطْ َف ةً ِم ْن َميِن ٍّ مُيْىَن ۝مُثَّ َك ا َن َعلَ َق ةً فَ َخلَ َق فَس َّوى۝ فَ َج َع ل ِمْن ه‬
َ ‫الز ْو َجنْي الذ َكَر َواُأْلْنثَى۝ َألَْي‬
‫س‬ َ َ ُ َ‫َأمَلْ ي‬
‫اد ٍر َعلَى َأ ْن حُيْيِي الْ َم ْوتَى۝‬ ِ ‫َذلِك بَِق‬
َ َ
Artinya: “Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam
rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya,
dan menyempurnakannya, lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki-laki
dan perempuan. Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula)
menghidupkan orang mati?” (Q.S. al-Qiyamah ayat 37-40).
‫ضعِي ًفا۝‬
َ ‫ِّف َعْن ُك ْم َو ُخلِ َق اِإْل نْ َسا ُن‬
َ ‫يد اللَّهُ َأ ْن خُيَف‬
ُ ‫يُِر‬
Artinya: “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia
dijadikan bersifat lemah.” (Q.S. al-Nisa’ ayat 28).
Dalam menjelaskan ayat di atas, Bintu Syathi’ cenderung meniadakan bukti-
bukti ilmiah dalam mengungkapkan pesan yang dikandung oleh Al-Qur’an. Ia
berpendapat bahwa manusia tidak memerlukan pembelajaran ilmiah untuk
membangkitkan kesadarannya akan asal-usul dan potensi yang dimilikinya.
Manusia cukup merenungi dan memahami ayat-ayat Al-Qur’an agar bisa menahan

20
Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Qur’an: Dirasah Qur’aniyyah, Kairo: Dar al-Ma’arif,
1969, hal. 15.
21
Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Qur’an: Dirasah Qur’aniyyah, hal. 17.
diri dari sikap melampaui batas dan berlaku sombong di dunia ini. 22 Hal ini seperti
yang diungkap dalam Al-Qur’an:
‫ب لَنَ ا َمثَاًل َونَ ِس َي َخ ْل َق هُ قَ َال َم ْن حُيْيِي‬
َ ‫ض َر‬
َ ‫ني۝ َو‬ ٌ ِ‫يم ُمب‬ ِ ‫ٍ ِإ‬ ِ
ٌ ‫ََأومَلْ َي َر اِإْل نْ َس ا ُن َأنَّا َخلَ ْقنَ اهُ م ْن نُطْ َف ة فَ َذا ُه َو َخص‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
‫يم۝‬ ٍ َ ‫يم۝ قُ ْل حُيْيِ َيها الَّذي َأنْ َش‬
ٌ ‫َأها ََّأو َل َمَّرة َو ُه َو ب ُك ِّل َخ ْل ٍق َعل‬ ٌ ‫الْعظَ َام َوه َي َرم‬
Artinya: Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami
menciptakannya dari setitik air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang
nyata! Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya;
ia berkata: “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur
luluh?”. Katakanlah: “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali
yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.” (Q.S. Yasin ayat
77-79).

4. KESIMPULAN

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Bintu Syathi’


menafsirkan ayat dengan menggunakan metode tematik yang dianalisis secara
semantik. Ia mengumpulkan ayat-ayat tersebut kemudian menghubungkannya
dengan ayat yang lain untuk mendapatkan makna umum dari kata al-insan serta
konsep yang terkandung di dalamnya. Kajian munasabah seperti ini cukup lazim
digunakan dalam metode tafsir tematik yang berkembang saat ini

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Aisyah. Maqal al-Insan fi al-Qur’an: Dirasah Qur’aniyyah. Kairo:


Dar al-Ma’arif, 1969.
Agustini. “Kritik Aisyah Abdurrahman Terhadap Berbagai Pandangan Tentang
huruf Muqatta’ah”. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga,
2012.
Al-Farmawi, Abd. Al-Hayy. Al-Bidayah fi At-Tafsir Al-Maudhu’i. Cairo: Tauzi’
Maktabah Jumhuriyyah Misr, 1977.
Al-Farmawi, Abd. Al-Hayyi. Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy, terj. Suryan A.
Jamrah, Metode Tafsir al-Mawdhu’iy, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994.
Al-Kumiy, Ahmad As-Sayyid & Muhammad Ahmad Yusuf Al-Qasim. At-Tafsir
Al-Maudhu’i li Al-Qur’an Al-Karim, Cairo: Univ. Al-Azhar Mesir, 1982.
Baidan, Nashruddin dan Erwati Aziz. Metodologi Khusus Penelitian Tafsir.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2019. Hal. 28.
Hidayah, Nuril. “Konsep I’jaz Al-Qur’an Dalam Perspektif Mazhab Tafsir
Sastra”, Skripsi, Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2006.

22
Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Qur’an: Dirasah Qur’aniyyah, hal. 17.
Marrote, Roxanne D. “The Qur’an in Egypt I: Bintu al-Syathi’ on Women’s
Emancipation” dalam Jurnal Coming to Terms with The Qur’an. New Jersey: Islamic
Publication International, 2008.
Rajab, Muhammad ‘Abd al-Latif. Asasiyyat Manhajiyyah li al-Tafsir al-Maudhu’i.
Sharjah: Mu’tamar Kuliyyah Syari’ah, 2010.
Risywani, Samir Abdurrahman. Manhaj At-Tafsir Al-Maudhu’i Li Al-Qur’an Al-
Karim. Suriah: Dar Al-Multaqa, 2009.
Syamsudin, Sahiron. An Examination of Bintu al-Syathi’s Method of Interpreting The
Qur’an. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999.
Syathi’, Bintu. ‘Ala al-Jisr. Kairo: al-Hay’ah al-Mishriyah li al-Kitab, 1986.
Taufiq, Wildan, dan Asep Suryana, Penafsiran Ayat-Ayat Israiliyyat dalam Al-
Qur’an dan Tafsirnya.
Yamani, Moh. Tulus. “Memahami Al-Qur’an dengan Metode Tafsir Maudhu’i”.
Dalam Jurnal PAI, Vol. 1 No. 2 Januari-Juni 2015.

Anda mungkin juga menyukai