Ikhlas Budiman
Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra, Jakarta
E-mail: ixbudiman@yahoo.com
Abstract
Human reason is a tool to understand the realities and to express them in the philosophical
theories. Because the Koran suggests human to use their reason, then the philosophical
theories as the results of the use of reason can be used to understand and interpret verses of
the Koran. This paper describes the application of that philosophical theories to the Quranic
verses as a mode of interpretation of the Koran, such as the theory of the fundamental reality
and unity of existence, the theory of gradation, the theory of existence-in-itself and existence-
in-something-else, the theory of quiddity, the theory of cause and effect, the theory of every
faculty happiness in achieving its essence demands without obstacles, the theory of the
substantial motion, and the theory of the lowest thing having the potentiality to become the
higher.
Keywords: Reason, the philosophical theories, the verses of the Koran
Abstrak
Akal manusia berfungsi sebagai alat untuk memahami realitas, kemudian membahasakannya
menjadi teori-teori filosofis. Karena al-Qur’an menganjurkan untuk menggunakan akal, maka
teori-teori filosofis dapat digunakan untuk memahami dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.
Artikel ini menjelaskan bagai-mana penerapan teori-teori filosofis tersebut terhadap ayat-ayat
al-Qur’an sebagai corak penafsiran al-Qur’an, diantaranya adalah teori ashalah al-wujud wa
wahdatuhu atau kemendasaran wujud dan ke-satuannya, teori gradasi, teori wujud mandiri
(wujūd mustaqill) dan wujud bergantung (wujūd rābith), teori kuiditas, teori sebab akibat, teori
bahwa kebahagiaan setiap fakultas (quwwah) adalah meraih apa yang menjadi tuntutan
esensinya tanpa ada yang merintangi, teori gerakan substansi, dan teori bahwa setiap yang
terendah memiliki potensi untuk sampai pada yang lebih tinggi darinya.
Kata-kata kunci: Akal, teori filosofis, ayat al-Qur’an
Pendahuluan
Lazim diketahui bahwa sering terjadi per- tentang peran akal. Ada yang berpandangan
bedaan pandangan di kalangan ulama Muslim bahwa akal bisa digunakan secara mandiri
Ikhlas Budiman: Penerapan Teori-teori Filosofis dalam .... ♦ 53
dalam membuat hukum, seperti sebagian pe- anggap bahwa teori-teori filosofis itu berten-
ngikut Mu’tazilah. Ada juga yang menjadikan tangan dengan agama hingga mereka
peran akal hanya sebagai cara untuk menolak teori-teori tersebut dengan dalil-dalil
mengan-tarkan pada hu Ada pula yang naqli.
menolak kedua pandangan ini dengan Namun, ada juga yang berupaya untuk
mengedepankan hukum syār‘iy sebagai mempertemukan agama dan filsafat. Bagi
sumber. Pandangan ketiga ini, setidaknya, me-reka, wahyu tidak bertentangan dengan
tampak dari sebagian pengikut Asyā’irah.1 akal dalam hal apa pun. Atas dasar ini,
Dalam menjelaskan fungsi dan peranan akal kelompok yang terakhir memiliki dua metode.
untuk memahami dan menafsirkan al-Qur’an, Pertama, menakwilkan nash-nash
Haydarī mengemukakan pandangan filsuf yang keagamaan dan syar-‘iyyah hingga sesuai
secara umum menyakini bahwa dimungkin- dengan gagasan-gagasan filosofis. Dengan
kan untuk bersandar pada hasil pengetahuan kata lain, menempatkan nash-nash tersebut
rasional yang disandarkan pada dasar logika berdampingan dengan gagasan-gagasan
Aristoteles. Dia juga menguraikan beberapa tersebut. Kedua, menjelaskan nash-nash
definisi akal, di antaranya akal yang diguna- keagamaan dan hakikat syar‘iyyah dengan
kan untuk menerima ilmu-ilmu teoritis, akal meng-gunakan teori-teori filosofis. Metode ini
sebagai ilmu yang digunakan dalam berbagai mem-posisikan filsafat dalam perannya
eksperimen, akal sebagai daya untuk menge- sebagai ha-kim dalam memaknai ayat-ayat al-
tahui dan menyimpulkan sebab-akibat dari Qur’an.4
segala hal yang terjadi, dan akal sebagai ek- Al-Dzahabī memasukkan corak falsafi seba-
sistensi yang tidak memiliki kebergantungan gai salah satu corak di antara beberapa corak
pada sesuatu pun kecuali yang mengadakan- penafsiran al-Qur’an. Dalam telaahnya, dia
nya, yaitu Allah, yang kadang disebut dengan menemukan beberapa ulama yang menafsir-
alam akal atau alam jabarūt.2 kan al-Qur’an dengan cara memasukkan dan
Mengartikan manhaj aqlī, Muhammad ‘Ali membahas teori-teori filosofis dalam tafsir
Ridhā’ī al-Ishfahānī memilih makna akal se- mereka. Jika teori-teori itu benar dan bisa di-
bagai kemampuan berpikir dan mempersepsi terima oleh mereka, maka teori itu dinyatakan
untuk menafsirkan al-Qur’an. Kendati kadang tidak bertentangan dengan al-Qur’an. Pemba-
juga yang dimaksud dengan akal adalah hasan teori-teori yang tidak bertentangan
argu-mentasi-argumentasi rasional yang dengan agama ikut mewarnai tafsir mereka.
digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an. Namun, sebaliknya jika ditemukan bahwa
Namun, kadang juga penafsiran al-Qur’an teori-teori filosofis dianggap menyimpang,
yang menggunakan akal disebut dengan tafsīr maka mereka pun menjelaskan penolakannya
ijtihādī.3 dengan berdalih bahwa teori-teori itu berten-
Muhammad Husain al-Dzahabī dalam kitab tangan dengan teks-teks al-Qur’an. Dalam hal
al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, menjelaskan bahwa ini, mereka tidak bersandar pada teori-teori
pe-ngaruh filsafat dalam menafsirkan al-Qur’an filosofis dalam menafsirkan al-Qur’an, tetapi
dimulai sejak buku-buku filsafat Yunani, India, menafsirkan ayat-ayat berdasarkan
Persia, dan selainnya diterjemahkan dalam penjelasan agama dan akal. Bagi mereka,
bahasa Arab. Tentu saja penerjemahan ini gagasan filoso-fis tidak ikut campur dalam
memberikan corak baru dalam menafsirkan menjelaskan teks al-Qur’an. Cara seperti ini
al-Qur’an. Ada beberapa ulama yang meng- dapat ditemukan dalam tafsir Fakhruddin al-
Rāzī.
Sebaliknya, mereka yang membenarkan
1
Muhammad Husain ‘Ali al-Shaghīr, Al-Mabādi’al-
teori-teori dan gagasan-gagasan filosofis,
Āmmah li Tafsīr al-Qur’ān (Beirut: Dār al-Muarrikh al-
‘Arabī, 2000 M), 72. maka mereka menempatkan teori-teori itu
2
Kamāl Haydarī, Ushūl al-Tafsīr wa al-Ta’wīl sebagai petunjuk dalam membaca teks-teks
(Qum: Dār Farāqid, 1427 H), 186-188. al-Qur’an hingga mereka menafsirkannya
3
Muhammad ‘Ali Ridhā’ī al-Ishfahānī, Durūs fī al-
Manāhij wa al-Ittijīhāt al-Tafsīriyyah li al-Qur’ān
(diterjemah-kan ke bahasa Arab oleh Qasim al- 4
Muhammad Husain al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-
Baydhānī) (Qum: Jāmi’ah al-Mushthafā al-‘Ālamiyah, Mufassirūn, jil. 2 (Kairo: Maktabah Wahbah, t.t), 309-
1421 H), 114. 310.
54 ♦ TANZIL, Volume I, Nomor 1, Oktober 2015
sesuai dengan teori-teori tersebut. Al-Dzahabī jawaban dari al-Qur’an terlebih dahulu tetapi
mencontoh-kannya dari penafsiran al-Farābī dengan petunjuk dari akal.6
terhadap ayat-ayat al-Qur’an tentang malaikat ‘Ali al-Ūsī juga menambahkan bahwa corak
dalam Fushūsh al-Hikam, begitu juga dengan falsafi merupakan suatu upaya untuk mem-
penafsiran Ikhwān al-Shāfā’ terhadap surga pertemukan filsafat dan agama berdasarkan
dan neraka dalam kitab Rasā’il Ikhwān al- penakwilan teks-teks keagamaan dan penera-
Shafā, penafsiran Ibn Sīnā tentang arsy, pannya pada makna-makna yang sesuai
surga, neraka dan nur dalam Rasā’il Ibn Sīnā. dengan gagasan filosofis. 7
5
Salah satu tafsir kontemporer yang tergo-
Dalam menguraikan berbagai metode penaf- long menggunakan metode falsafi adalah al-
siran al-Qur’an, Thalal al-Husain menjelaskan Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān karya Muhammad
bahwa penerapan teori-teori filosofis, penying- Husain Thabāthabā’ī (lahir tahun 1321 H di
kapan spiritual (mukāsyafah) dan teori-teori Tabriz, wafat tahun 1402 H di Qum). Hādī
saintifik terhadap ayat-ayat al-Qur’an tidak Ma‘rifat (1348 H-1427 H) mendeskripsikan tafsir
dapat disebut tafsir, tetapi hanya sebagai al- ini sebagai tafsir yang secara umum meng-
tathbīq (aplikasi). Hal ini bisa dicontohkan jika himpun kajian-kajian teoretis dalam bentuk
seseorang memiliki suatu pertanyaan tentang analisis filosofis. Di samping itu, tafsir al-
ketuhanan, kemudian dia menjawabnya berda- Mīzān juga memiliki keunikan tersendiri sebagai
sarkan kaidah-kaidah filosofis, dan setelah itu tafsir yang menggabungkan tafsir tematik dan
dia mengarahkannya pada al-Qur’an dengan tafsir tartībī. Menurut Hādī Ma‘rifat, Thabā-
mengumpulkan bukti-bukti dari ayat-ayat al- thabā’ī memiliki teori yang dikenal dengan
Qur’an untuk meneguhkan jawabannya yang teori wahdah kulliyyah (kesatuan universal)
telah dibuktikan oleh akalnya, maka dalam hal yang menjadi hakim atas seluruh ayat al-
ini yang menjawab pertanyaan itu adalah Qur’an. Kesatuan universal ini diibaratkan
akal. Berbeda halnya jika dia mengarahkan sebagai ruh universal yang ada pada semua
pertanyaannya pada al-Qur’an secara ayat dan surah al-Qur’an. Teori ini dianalogikan
langsung. Maksudnya, orang itu bertanya dengan peran ruh manusia terhadap
tentang ke-tuhanan, kemudian dia mencari badannya. Inilah yang menjadi dasar metode
jawabannya dari al-Qur’an. Namun, jawaban penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an,
yang diberi-kan oleh al-Qur’an terkadang sebagaimana organ-organ tubuh manusia
masih mengan-dung banyak kemungkinan saling berkaitan satu sama lain. Metode ini
hingga membi-ngungkan dirinya. Hal ini juga ditegaskan oleh al-Qur’an dengan
disebabkan kata-kata yang ada dalam al- menyatakan dirinya sebagai penjelas
Qur’an bermakna umum dan universal. terhadap segala sesuatu, “Dan Kami turunkan
Karena itu, dia memer-lukan petunjuk yang kepadamu al-Qur’an menjelaskan tiap-tiap
mengarahkannya pada keyakinan. Peran akal sesuatu (QS. al-Nahl [16]: 87). Jika al-Qur’an
dalam hal ini sebagai pelita yang menjadi pen-jelas segala sesuatu, maka
membimbingnya dari kebingungan menuju sudah pasti al-Qur’an itu jelas pada dirinya
keyakinan. Atas dasar ini, Thalal al-Husain sendiri.8
meringkasnya menjadi dua metode dalam Thabāthabā’ī menaruh perhatiannya pada
menjawab pertanyaan tersebut, yaitu metode kajian-kajian filosofis dalam karyanya al-
dengan memberikan perhatian lang-sung
pada akal dan metode dengan memberi-kan
perhatian langsung pada al-Qur’an. Metode
pertama, mencari jawaban dari akal, 6
Thalāl Husain, al-Manhaj al-Tafsīrī ‘inda al-
kemudian mengaplikasikannya pada ayat-
‘Allāmah al-Haydarī (Qom: Dar Faraqid, 2010), 48.
ayat al-Qur’an. Metode kedua, mencari 7
‘Ali al-Ūsī, al-Thabāthabā’ī wa Manhajuhu fī
Tafsīrihi al-Mīzān (Tehran: Mu’āwaniyah al-Ri’āsah li
al-‘Alaqat al-Duawaliyyah fī Munazhzhamah al-I’lām
al-Islāmī, 1985), 106-107.
8
Muhammad Hādī Ma’rifat, al-Tafsīr wa al-Mufa-
ssirūn fī Tsawbihi al-Qasyīb, jil. 2 (Masyhad: al-
al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mu-fassirūn, jil. 2, 309-
5
Jāmi’ah al-Rawdhawiyyah li al-‘Ulūm al-Islīmiyyah,
310. 1426 H), 1025-1027.
Ikhlas Budiman: Penerapan Teori-teori Filosofis dalam .... ♦ 55
karya Kamāl Haydarī47, Qawā’id Falsafī dar lebih jelas daripada obyek yang didefinisikan,
Falsafeh-e Islāmī karya Ghulām Muhsin sementara tidak ada konsep yang lebih jelas
Ibrahimī Dinānī48, dsb. daripada konsep ‘ada’, maka konsep ‘ada’
Dalam tulisan ini akan dikaji delapan teori tidak bisa didefinisikan dengan perantara
filosofis dan penerapan teori tersebut dalam lain.50
menafsirkan al-Qur’an. Metode penggunaan Kedua, teori bahwa konsep ‘ada’ yang ak-
teori-teori filosofis dalam menafsirkan al- siomatik itu adalah univokal. Univokal ialah
Qur’an pada dasarnya merupakan salah satu satu kata yang mempunyai satu makna yang
corak penafsiran al-Qur’an. memiliki subyek yang beraneka ragam. Con-
tohnya, kata ‘manusia’ memiliki satu makna,
Tinjauan Teori-Teori Filosofis yaitu hewan yang berakal budi, tetapi subyek-
nya banyak seperti: Ali (Ali itu manusia), Budi
1. Teori Ashālat al-Wujūd wa Wahdatuhu (Budi itu manusia), dsb. Kata manusia yang
(Kemendasaran Wujud dan menjadi predikat pada Ali dan Budi memiliki
Kesatuannya) makna yang sama. Konsep ‘ada’ juga
univokal. Artinya, jika ‘ada’ dijadikan predikat
a. Tinjauan Teori untuk subyek yang beraneka ragam, maka ia
Pembahasan kemendasaran realitas dapat memiliki satu makna yang sama seperti:
dijelaskan dengan pengetahuan terhadap rea- Tuhan (Tuhan itu ada), Budi (Budi itu ada),
litas eksternal. Maksudnya, saat mengetahui dsb. Kata ‘ada’ yang menjadi predikat untuk
sesuatu yang ada di realitas eksternal, akal Tuhan dan Budi itu memiliki satu makna yang
kemudian menguraikannya menjadi dua, yaitu sama.
wujūd (ada) dan māhiyah (kuiditas) yang Salah satu argumentasi univokasi konsep
meru-pakan batasan sesuatu yang menjadi ‘ada’ didasarkan pada metode pembagian.
jawaban dari pertanyaan “apakah ia?”49 Dalam metode pembagian, makna yang
Kertas yang kita saksikan menunjukkan terda-pat pada setiap bagian (qism) memiliki
bahwa kertas me-miliki keberadaan (wujūd), makna yang sama. Contoh, kita membagi
sementara batasan atau kuiditas kertas hewan berdasarkan jenis makanan yang
adalah yang membeda-kannya dengan dimakannya, yaitu hewan pemakan daging,
selainya seperti: pulpen, pensil, dsb. hewan pemakan tumbuhan, dan hewan
Pertanyaannya, manakah yang funda-mental: pemakan keduanya. Kata ‘hewan’ (obyek
wujūd (ada) atau kuiditas (batasan)? yang dibagi) memiliki makna yang sama pada
Teori kemendasaran wujud disusun berda- hewan (bagian) pemakan daging, hewan
sarkan beberapa teori filosofis: (bagian) pemakan tumbuhan, dan hewan
Pertama, teori yang menyatakan bahwa (bagian) pemakan ke-duanya. Demikian juga
kon-sep (mafhūm) dari wujud atau ‘ada’ itu kata ‘ada’ ketika dibagi menjadi ada yang
bersifat aksiomatik yang sudah jelas dengan bersifat niscaya (wājib, necessary, wājib al-
sendiri-nya. Tidak ada konsep yang paling wujūd) dan ada yang bersifat kontingen
jelas selain konsep ‘ada’. Oleh karena ‘ada’ (mumkin, contingent, mumkin al-wujūd). Kata
merupakan konsep yang paling jelas, maka ‘ada’ (obyek yang dibagi) memiliki makna yang
tidak ada yang bisa mendefinisikan ‘ada’. sama pada ‘ada’ (bagian) yang bersifat
Argumentasinya di-dasarkan bahwa syarat- niscaya (wājib, necessary) dan ‘ada’ (bagian)
syarat dalam mendefi-nisikan adalah konsep yang bersifat kontingen.51
yang digunakan untuk mendefinisikan harus
50
Muhammad Husain al-Thabāthabā’ī, Bidāyat al-
47
Kamāl al-Haydarī, Durūs fī al-Hikmah al-Muta’ā- Hikmah (Qum: Muassasah al-Nasyr al-Islāmīli Jamā’-
liyah, 1 jilid (Qum: Dār Farāqid li al-Thibā’ah wa al- at al-Mudarrisīn, 1414 H), 10; Shadrul Mutaallihin, al-
Nasyr, 1426 H). Ma-syā‘ir (Tehran: Kitabkhoneh Thahuri, 1363 HS),
48
Ghulam Muhsin Ibrahimi Dinānī, Qawā’ide Fal- 6-7.
safī dar Falsafe Islāmī, 3 jilid (Tehran: Muassasah 51
Muhammad Husain al-Thabāthabā’ī, Nihāyat al-
Mu-thālaat wa Tahqīqate Farhanghi, 1370 HS). Hikmah (Qum: Muassasah al-Nasyr al-Islāmīli Jamā’-
49
Muhsin Bīdār, Muqaddimah dalam Shadruddin ah al-Mudarrisīn, 1416 H), 10-11; Muhammad Husain
Muhammad al-Syirazi, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm, jil. al-Thabāthabā’ī, Bidāyat al-Hikmah (Qum:
1 (Qum: Intisyārāt Bidhar, 1366 HS), 30. Muassasah al-Nasyr al-Islāmīli Jamā’ah al-
58 ♦ TANZIL, Volume I, Nomor 1, Oktober 2015
Ketiga, teori bahwa konsep ‘ada’ berbeda tanpa sebab apa pun, maka terjadi inqilāb.
dengan konsep kuiditas (māhiyyah). Kuiditas Inqilāb ialah sesuatu menjadi sesuatu lain
adalah sesuatu yang jatuh sebagai jawaban yang berbeda tanpa sebab. Menjadi sesuatu
atas pertanyaan “apakah ia?” Akal mengab- lain tanpa sebab itu mustahil. Karena dalam
straksikan kuiditas dari ada (wujūd) dan mem- realitas eksternal itu terdapat ‘ada’ dan
posisikannya tersendiri, kemudian menyifat- ‘kuiditas’, maka ‘ada’ yang menjadi penyebab
kan dengan ‘ada’. kuiditas menjadi ada.56
Hal ini dapat dicontohkan dengan kertas
yang ada di hadapan seseorang, kemudian b. Penerapan Teori dalam
dia membuat sebuah proposisi dengan Menafsirkan al-Qur’an
menem-patkan ‘kertas’ sebagai subyek dan
‘ada’ se-bagai predikat. ‘Ada’ bukanlah Teori kemendasaran dan kesatuan ‘ada’
kuiditas itu sendiri dan ‘ada’ bukan bagian atau dikenal dengan ashālat al-wujūd bisa
dari kuiditas. Dalam proposisi, predikat ‘ada’ dijadikan kaidah dalam membuktikan keesaan
bisa dinegasi-kan dari kuiditas seperti “kertas Tuhan. Teori ini bisa diterapkan saat
itu tidak ada”. Jika ada itu merupakan kuiditas membaca ayat-ayat tentang keesaan Tuhan,
itu sendiri atau bagian dari kuiditas, maka seperti “Katakanlah, “Dia-lah Allah, Yang Maha
penegasian ‘ada’ dari kertas tidak dibenarkan. Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung
Jika ‘ada’ bisa dinegasikan dari kuiditas, kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak
maka ‘ada’ bu-kan kuiditas itu sendiri. beranak dan tidak pula diperanakkan, dan
Menegasikan sesuatu yang merupakan tidak ada siapapun yang serupa dengan-
dirinya sendiri atau bagian darinya itu Nya.(QS. Al-Ikhlās [112]:1-4).
mustahil, seperti proposisi “Manu-sia itu Ada itu satu. Ada menjadi penyebab
hewan yang berakal budi” (dijadikan proposisi segala sesuatu, karena ada yang
yang benar), maka “Manusia itu bukan hewan fundamental. Ada yang mengadakan kuiditas
yang berakal budi” (dijadikan proposisi yang disebabkan kuiditas tidak bisa menjadikan
salah). Alasannya, dua hal yang kontradiksi dirinya ‘ada’ dengan dirinya sendiri karena
dari sisi yang sama tidak mungkin kedua- ‘ada’ tidak ada dalam dirinya. Jika ada
duanya benar.52 menjadi penyebab segala se-suatu, maka
Atas dasar ketiga teori di atas, disusunlah selain ‘ada’ adalah akibat. Akibat senantiasa
prinsip kemendasaran realitas yang bergantung pada sebab. Jika ‘ada’ menjadi
didasarkan pada ‘ada’. Prinsip ini dapat penyebab segala sesuatu, maka tidak ada
ditemukan dalam beberapa buku filsafat sesuatu yang mengadakan ‘ada’, karena jika
seperti Mulla Shadrā53, Sabzewārī54, ada sesuatu yang mengadakan ‘ada’, maka
Thabāthabā’ī 55
, dll. Argumetasi sesuatu itu yang menjadi penyebab, bukan
kemendasaran realitas (ada) didasarkan pada ‘ada’. Sesuatu itu ‘ada’ atau ‘bukan ada’, jika
māhiyyah (kuiditas) yang pada dirinya sendiri sesuatu itu bukan ‘ada’ maka lawan dari ‘ada’
dalam posisi relasi yang sama antara ‘ada’ adalah ‘tiada’, bagaimana mungkin sesuatu
dan ‘tiada’. Dengan kata lain, ‘ada’ dan ‘tiada’ yang tiada yang menciptakan yang ‘ada’. Jika
tidak masuk dalam definisi kuiditas. Jika ‘ada’ hanya satu, maka itu ada tidak mela-
kuiditas berpindah dari posisi tersebut hingga hirkan ada dan tidak dilahirkan. Karena ‘ada’
menjadi ‘ada’ tanpa perantara apa pun atau hanya satu, maka tidak ada satu pun yang
setara dengan ‘ada’. Disebut setara
menunjuk-kan dua atau lebih.
Mudarrisīn, 1414 H), 8-9; Kamāl Haydarī, Durūs fī al-
Hikmah al-Muta’āliyah, jil. 1, 163-164.
52
Haydarī, Durūs fī al-Hikmah al-Muta’āliyah, jil. 1,
2. Teori Gradasi
176. a. Tinjauan Teori
53
al-Syirāzī, Al-Hikmat al-Muta’āliyah fī al-Asfār al- Gradasi menjelaskan bahwa realitas itu
‘Aqliyyah al-Arba‘ah, jil. 1 (Qum: Maktabah al-
me-miliki tingkatan-tingkatan. Terjadi
Mushtha-wafī, t.th,), 38-44.
54
Mullā Hādī Sabzewārī, Syarh al-Manzhūmah, jil.
2, 64-77.
55
al-Thabāthabā’ī, Nihāyat al-Hikmah, 9-17; al- Haydarī, Durūs fī al-Hikmah al-Muta‘āliyah, jil. 1,
56
perbedaan terhadap prinsip gradasi diistilahkan dengan realitas eksternal dan rea-
disebabkan oleh perbedaan terhadap litas mental. Realitas eksternal adalah realitas
kemendasaran realitas. Menurut Filsafat dimana wujud atau ‘ada’ menjadi sumber yang
Iluminasi (isyrāqiyyah), yang bergradasi membuat efek bereaksi. Tidak seperti halnya
adalah kuiditas karena baginya rea-litas yang pada realitas mental dimana efek tidak
fundamental itu adalah kuiditas57, sedangkan bereaksi, yang dimaksud dengan efek yang
menurut filsafat teosofi transen-dental (al- tidak be-reaksi pada wujud mental adalah
hikmat al-muta’āliyah) yang bergradasi adalah efek yang bereaksi pada wujud eksternal.
wujud (ada) karena bersandar bahwa wujud Seperti efek api pada wujud eksternal adalah
merupakan realitas yang mendasar. Bagi membakar, sementara efek tersebut pada
filsafat ini, wujud merupakan satu hakikat yang wujud mental tidak bereaksi. Artinya, api yang
bergradasi karena wujud itu tampak dengan ada pada mental itu tidak membuatnya
dirinya sendiri dan juga menampakkan selain terbakar. Meski-pun dari sisi lain, pada wujud
dirinya.58 mental juga ada efek tertentu yang bereaksi,
Kendati terjadi perbedaan terhadap apa seperti bentuk pensil yang ada pada pikiran
yang bergradasi, mereka sepakat bahwa seseorang berbeda dengan tidak adanya
dalam realitas ini terjadi gradasi. Kesamaan pengetahuan tentang bentuk pensil pada
kedua filsafat ini terletak pada bagaimana pikirannya.61
mereka menjelaskan tentang tingkatan- Pembuktian keberadaan realitas mental itu
tingkatan rea-litas, yaitu mereka membagi dengan menggunakan prinsip predikasi. Kita
realitas menjadi realitas materi atau alam mempredikasikan subyek-subyek yang tidak
lahiriah dan realitas non-materi atau alam ada pada realitas eksternal dengan hukum-
batiniah. 59 hu-kum afirmatif. Contohnya, pernyataan
Ada beberapa argumentasi Filsafat Iluminasi “Laut air raksa itu panas” atau “Penyatuan
yang digunakan untuk menunjukkan adanya dua hal kontradiktif berbeda dengan
gradasi dalam realitas. Di antaranya: penyatuan dua hal yang kontras.” Hukum
Pertama, gradasi terjadi pada kategori afirmatif berarti penetapan, sementara
kuan-titas (kamm). Dalam realitas, ada ‘garis’ penetapan sesuatu pada sesuatu yang lain
yang disebut ‘lebih panjang’ dan ‘lebih besar’ merupakan subordinat bahwa subyek yang
diban-dingkan dengan garis yang lain. ‘Besar’ ditetapkan itu harus ada lebih dahulu. Atas
dan ‘kecil’ merupakan sifat umum yang ada dasar ini, subyek-subyek yang tidak ada pada
pada sesuatu dan tergolong dari kategori realitas eksternal itu memiliki keberadaan.
‘kuantitas’. Jika subyek itu tidak ada pada realitas
Kedua, gradasi juga terjadi pada kategori eksternal maka ia ada pada sesuatu tempat.
kualitas. Salah contoh kualitas adalah warna. Tempat itu disebut pikiran (mind) atau wujud
Terjadi gradasi dalam warna ‘putih’ saat mem- mental.
bandingkan bahwa kertas ini ‘lebih putih’ atau Argumentasi kedua, kita mengkonsepsikan
‘kurang putih’ daripada kertas itu. hal-hal yang disifatkan dengan ‘universal’ dan
Ketiga, gradasi terjadi pada kuiditas ‘umum’, seperti ‘Manusia adalah universal’
hewan. Bagi Filsafat Iluminasi, dua hewan atau ‘Hewan adalah universal’. Konsepsi me-
yang ber-beda memiliki hakikat jiwa yang rupakan isyarat yang bersifat intelek dan tidak
berbeda.60 terealisasi kecuali obyek yang diisyaratkan itu
Gradasi juga terjadi dalam realitas jika se- ada. Jika universal sebagaimana ia universal
suatu ditinjau dari sisi efeknya. Dalam hal ini itu tidak ada di realitas eksternal, maka ia ada
di suatu tempat yang disebut dengan pikiran
(mind).62
57
Yadullāh Yazdān Panāh. Hikmat-e Isyrāq, jil. 1
(Qum: Pizhuhashghahe Hawazah wa Daneshghah,
1389 HS), 327-385. b. Penerapan Teori dalam Menafsirkan
58
al-Thabāthabā’ī. Bidāyat al-Hikmah, 14-17 . al-Qur’an
59
Yazdān Panāh. Hikmat-e Isyrāq, jil. 2 (Qum: Pe-
zhuhashghahe Hawazah wa Daneshghah, 1389 HS,
1389 HS), 17-26; al-Syirāzī, Al-Hikmat al-Muta‘āliyah
fī al-Asfār al-‘Aqliyyah Al-Arba‘ah, jil. 8, 260-324. 61
Thabāthabā’ī. Bidāyat al-Hikmah, 28
60
Yazdān Panāh. Hikmat-e Isyrāq, jil. 1, 374-375. 62
Thabāthabā’ī. Bidāyat al-Hikmah, 29.
60 ♦ TANZIL, Volume I, Nomor 1, Oktober 2015
dan, “Ingatlah hanya kepada “Allah kembali Dinānī menjelaskan bahwa ketiga teori ten-
segala urusan” (QS. al-Syūrā [43]: 53).66 tang esensial tersebut merupakan kaidah-
kaidah yang banyak digunakan dalam
bebera-pa buku filsafat dan dijadikan sandaran
4. Teori Kuiditas dalam menyelesaikan beberapa masalah
a. Tinjauan Teori filosofis.
Dzātī atau esensial itu sendiri memiliki dua
Sebagaimana telah disebutkan makna, yaitu dzātī dalam pembahasan īsāgūjī
sebelumnya bahwa māhiyah (kuiditas) atau (lima universal) dan dzātī dalam pembahasan
keapaan meru-pakan sesuatu yang menjadi burhān (pembuktian demonstratif). Esensial
jawaban dari pertanyaan “apakah ia?” dalam pembahasan īsāgūjī dijelaskan sebagai
Māhiyyah berasal dari kata mā huwa?. Dari lima universal. Esensial dalam kategori ini
sisi esensinya, kuiditas se-bagaimana dirinya merupakan sesuatu yang tidak berada di luar
sendiri bukan ‘ada’, bukan ‘tiada’, bukan dari sesuatu itu. Apa pun yang tidak berada di
‘satu’, bukan ‘banyak’, bukan ‘universal’, luar dari sesuatu itu bisa menjadi sesuatu
bukan ‘partikular’, dan bukan yang lain.67 dalam bentuk keseluruhan atau dalam bentuk
Namun, pada realitasnya, ia tidak bisa lepas bagian dari sesuatu itu. Adapun yang meru-
darinya, artinya ia ada atau tidak ada, satu atau pakan dalam bentuk bagian dari sesuatu itu,
banyak, universal atau partikular. Kuiditas bisa menjadi bagian dari sesuatu yang
bukan ‘ada’ atau bukan ‘tiada’ me-nunjukkan musytarak (memiliki kesamaan dengan yang
bahwa ‘ada’ dan ‘tiada’ tidak di-sebutkan lain) atau menjadi bagian dari sesuatu yang
dalam definisinya. Contohnya, dalam mukhtashsh (memiliki kekhususan tersendiri).
pembuktiannya kuiditas ‘ruh’ itu ada, tetapi Atas dasar ini, esensial dalam bab isaguji
kata ‘ada’ tidak termasuk dalam definisi ruh.68 terdiri dari sesuatu dalam bentuk keseluruhan
Sesuatu yang dijadikan predikat pada kui- (naw‘, species), dalam bentuk bagian dari
ditas itu bersifat esensial atau aksidental. Pre- sesuatu yang musytarak (jins, genus) dan
dikat disebut esensial karena kuiditas tersebut dalam bentuk bagian dari sesuatu yang
ternegasikan dengan ternegasinya predikat itu, mukhtashsh (fashl, diffe-rentia).71
seperti “manusia itu berakal budi”. Berakal budi Adapun esensial dalam pembahasan
merupakan sifat esensial manusia. Adapun burhān (pembuktian demonstratif) diibaratkan
pre-dikat disebut aksidental karena kuiditas sebagai sesuatu yang diabstraksikan dari
tidak ternegasikan, meskipun predikatnya esensi se-suatu itu sendiri kemudian dijadikan
ternega-sikan, seperti “manusia itu pelajar”.69 predikat padanya dengan syarat tidak ada
Ada tiga teori tentang esensial70: sesuatu lain yang bergabung dalam
a. Sesuatu yang bersifat esensial tidak di- pengabtraksiannya se-lain esensi sesuatu itu
sebabkan oleh sesuatu. sendiri. Ini bisa dicon-tohkan dengan imkān
b. Sesuatu yang bersifat esensial merupa- (kemungkinan) yang diabstraksikan dari
kan sesuatu yang jelas pada dirinya esensi sesuatu yang mumkin (mungkin),
sendiri. kemudian imkān itu dijadikan pre-dikat pada
c. Sesuatu yang bersifat esensial tidak be- sesuatu tersebut.72
rubah dan tidak muncul terakhir
b. Penerapan Teori dalam Menafsirkan
al-Qur’an
66
Syirāzī, Al-Hikmat al-Muta’āliyah fī al-Asfār al- Kata kuiditas atau māhiyyah disebutkan
‘Aqli-yyah Al-Arba‘ah, jil. 1, hal. 224. dalam al-Qur’an, “Maka tempat kembalinya
67
Sabzewari, Syarh al-Manzhūmah, jil. 2, 330- adalah neraka Hāwiyah, Dan tahukah kamu
334.
68
Muhammad Taqī al-‘Āmuli, Durar al-Fawā’id, jil.
apakah ia (mā hiya)?” (QS. al-Qāri’ah [101]: 9-
1 (Qum: Muassasah Dār al-Tafsīr, 1416 H), 295. 10). Kemudian kuiditas hāwiyah dijawab
69
‘Abd al-Jabbār al-Rifā’ī, Durūs fī al-Falsafah al- dengan, api yang sangat panas (QS. al-
Islāmiyyah, Syarh Tawdhīhiy li Kitāb Bidāyat al-
Hikmah, 355.
70
Ghulam Muhsin Ibrahimi Dinānī, Qawā’id Fal- 71
Dinānī, Qawā’ide Falsafī, jil. 1, 263-264.
safī dar Falsafeh-e Islāmī, jil. 1, 262. 72
Dinānī, Qawā’ide Falsafī, jil. 1, 263-264.
62 ♦ TANZIL, Volume I, Nomor 1, Oktober 2015
Qāri’ah [101]: 11). Jika kita memakna-kan api Teori kuiditas digunakan dalam menafsir-
yang sangat panas sebagai esensi dari kan al-Qur’an dengan al-Qur’an, seperti
hāwiyah, maka neraka hāwiyah tidak akan “Mereka bertanya tentang ruh” (QS. al-Isrā’
pernah menjadi dingin. Begitu juga penjelasan [17]: 85), ke-mudian dijawab bahwa “Ruh itu
tentang sapi betina, “Mereka menjawab, urusan Tuhanku (amri rabbī)” (QS. al-Isrā’
‘Mohonlah kepada Tuhanmu agar Dia [17]: 85). Jika ditanya apakah itu urusan
menerangkan kepada kami, sapi betina Tuhan, maka dijawab, “Sesungguhnya
apakah itu (māhiya)?’ Musa menjawab, urusan-Nya adalah jika Dia menghen-daki
‘Sesung-guhnya Allah berfirman bahwa sapi adanya sesuatu, hanyalah Dia berfirman
betina itu adalah sapi betina yang tidak tua kepadanya, “Jadilah engkau! Maka ia terus
dan tidak muda; pertengahan antara itu’” (QS. menjadi” (QS. Yāsīn [36]: 82). Jika disusun
al-Baqarah [2]: 68). secara silogisme, ruh itu urusan Tuhan, urusan
Banyak ayat yang menjelaskan kuiditas Tuhan adalah “Jika Dia menghendaki adanya
sesuatu, seperti dinyatakan dengan kalimat sesuatu, hanyalah Dia berfirman kepadanya,
yas’alūnaka ‘an (mereka bertanya tentang) “Jadilah engkau!. Maka ia terus menjadi”,
dan dijawab dengan kalimat qul (katakanlah!), maka ruh adalah “Jika Dia menghendaki
contohnya, pertanyaan tentang bulan sabit adanya sesuatu, hanyalah Dia berfirman
(QS. al-Baqarah [2]: 189), tentang apa yang kepadanya, “Jadilah engkau! Maka ia terus
diinfakkan (QS. al-Baqarah [2]: 215), tentang menjadi.”73
berperang pada bulan haram (QS. al-Baqarah
[2]: 217), tentang khamr dan maysir (QS. al- 5. Teori Sebab Akibat
Baqarah [2]: 219), tentang anak yatim (QS. al-
Baqarah [2]: 220), tentang masa haid (QS. al- a. Tinjauan Teori
Baqarah [2]: 222), tentang hal-hal yang halal Prinsip sebab akibat didasarkan atas teori
(QS. al-Mā’idah [5]: 4), tentang sā’ah (QS. al- terhadap kuiditas. Sebagaimana diketahui
A’rāf [2]: 187 dan al-Nāzi’āt [79]: 42), tentang bahwa kuiditas dalam esensinya sendiri itu
harta rampasan perang (QS. al-Anfāl [8]: 1), bersifat kontingen. Kuiditas bukanlah ‘ada’ dan
tentang ruh (QS. al-Isrā’ [17]: 85), tentang Dzul- bukan juga ‘tiada’. Artinya esensinya tidak
qarnayn (QS. al-Kahf [18]: 83), dan tentang terkandung ‘ada’ dan ‘tiada’. Atas dasar ini,
gunung (QS. Thāhā [20]: 105). jika kuiditas itu bisa mengada maka ia perlu
Teori kuiditas ini diaplikasikan ketika men- pada selain dirinya sendiri. Maksudnya, kebe-
jelaskan sifat-sifat tertentu, seperti pertanyaan: radaan kuiditas bersandar pada sesuatu lain
apakah atau siapakah itu orang-orang ber- selain dirinya, dan karena ‘tiada’
iman yang beruntung? Dijawab dengan: sebagaimana ‘tiada’ tidak bisa disebut
“(Yaitu) orang-orang yang khusyuk ‘sesuatu’ karena ia ‘tiada’ maka tidak bisa
dalam sa-latnya, dan orang-orang yang dijadikan sandaran. Sesuatu lain yang
menjauhkan diri dari (perbuatan dan dijadikan sandaran bagi kuiditas disebut
perkataan) yang tidak ber-guna, dan dengan ‘sebab’, sementara kuiditas yang
orang-orang yang menunaikan zakat, bersandar pada sesuatu lain itu disebut
dan orang-orang yang menjaga akibat.74
kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri Sebab dibagi menjadi sebab sempurna
mereka atau budak yang mereka miliki; dan sebab tidak sempurna. Sebab sempurna
barang siapa mencari yang di balik itu, men-cakup semua yang dijadikan sandaran
maka mereka itulah orang-orang yang oleh keberadaan akibat sehingga
melampaui batas, maka sesungguhnya meniscayakan akibat harus terwujud,
mereka dalam hal ini tidak tercela; dan sementara sebab tidak sempurna hanya
orang-orang yang memelihara amanat- mencakup sebagian yang di-jadikan sandaran
amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, oleh keberadaan akibat. Yang dimaksud
dan orang-orang yang memelihara dengan sebagian adalah satu atau lebih dari
salatnya. (al-Mu’minūn/23: 2-9)
73
Thabāthabā’ī, Al-Mīzān, jil. 13, 195-197.
74
Rifā’ī, Durūs fī al-Falsafah al-Islāmiyyah, 415-
416.
Ikhlas Budiman: Penerapan Teori-teori Filosofis dalam .... ♦ 63
diinginkan (yang di-syahwati), dan tugasnya dengan cara yang terbaik. Itulah
kesempurnaan fakultas amarah itu adalah sebabnya mengapa Shadrā menyimpul-
sampai pada posisi menaklukkan atau kannya dengan teori bahwa kebahagiaan setiap
mengalahkan dan balas dendam. Kesem- fakultas dengan meraih apa yang menjadi tun-
purnaan dan kebahagiaan fakultas khayalan tutan esensinya tanpa ada yang merintangi. 82
adalah harapan dan angan-angan. Teori ini juga dalam Rasā’il Ikhwān al-
Kesempur-naan setiap fakultas inderawi Shafā, yaitu kebahagiaan setiap fakultas itu
adalah merasa-kan kualitas inderawi yang adalah meraih apa yang menjadi tuntutan
merupakan jenis dari alat indera itu. esensinya.
Kesempurnaan indera perasa dengan meraih
Adapun orang-orang yang berbahagia di
makanan yang enak, kesempurnaan indera
dunia dan akhirat adalah orang-orang
pencium dengan meng-hirup bau yang
yang nasibnya berupa harta,
harum, kesempurnaan indera penglihatan
kesenangan dan kesehatan telah
dengan melihat warna dan cahaya, dan
tercukupi dalam jumlah yang banyak
kesempurnaan indera pendengaran dengan
dan mereka mampu mengelolanya.
mendegarkan suara-suara yang merdu.80
Mereka cukup dengan kehidupan yang
Teori ini menjelaskan makna kebahagiaan
sepadan dan menye-rahkan kelebihan
manusia. Jika berkaitan dengan fakultas jiwa
yang mereka miliki untuk akhirat
yang berakal budi sebagai fakultas akal
sebagai tabungan bagi diri mereka.83
teoritis, maka kebahagiaan jiwa itu meraih
esensi in-telektualnya. Dengan kata lain, Suhrawardī, pendiri Filsafat Iluminasi, juga
sampai pada hal-hal yang bersifat rasional mengatakan hal senada berikut ini:
atau intelektual yang murni. Adapun ِّ و بدان كه
kebahagiaan manusia yang berkaitan dengan
لذت رسيدن كمال و
fakultas jiwa yang berakal budi sebagai خير چيزيست بدو و ادراك كردن
fakultas akal praksis tampak saat berada آن از آن روى كه چنين است
pada posisi tengah yang seimbang, tidak و.چون مانعى و عايقى نباشد
kekurangan dan tidak berle-bihan. Artinya, ِّ و آفت چيزست الم رسيدن شر
meraih kemampuan bersikap adil.81
بدو و ادراك كردن آن از آن
Pada hemat Dinānī, teori ini diambil dari
filsafat Aristoteles menjelaskan tentang روى كه چنين است چون مانعى و
esensi kebahagiaan, yaitu dari buku, و چيز لذيذ.عايقى نباشد
Nichomachean Etchics. Pada dasarnya, ِّ باشد كه برسد و از آن
لذتى
tindakan ma-nusia m-emiliki tujuan pada هم.حاصل نشود از بهر مانعى
sesuatu yang bermanfaat dan kebaikan. چون كسى كه معده او معلول
Tujuan-tujuan yang dicari oleh manusia itu
memiliki tingkatan-tingkatan. Kebahagiaan باشد يا ممتلى بود از طعام
merupakan tujuan keseluruhan dan yang و چون اين،ِّر شود لذيذ متنف
dicari secara mutlak. Manusia me-mandang مانع برخيزد از آن چيز لذيذ
kebahagiaan itu dalam hal-hal yang berbeda. و چيز المكننده.لذت يابد ِّ
Ada yang memandang kebahagiaan itu pada باشد كه برسد و از آن المى
harta, ada yang memandangnya pada
kelezatan, dan ada juga yang
هم،حاصل نشود از بهر مانعى
memandangnya pada kedudukan. Jika چو كسى را كه خدرى بود و او
manusia memandang-nya dengan benar, را زنند خبر ندارد و دردش
maka dia akan menemu-kan bahwa tidak ada و چون آن خدر زايل شود،نكند
satu pun mawjūd (yang eksis) itu sampai .آن را دريابد و دردش كند
pada tujuannya selama dia menunaikan
sesuatu yang terpenting yang merupakan
82
Dinānī, Qawā’ide Falsafī, jil. 1, 286-287.
80
Syirāzī, Al-Hikmat al-Muta’āliyah fī al-Asfār al- 83
Ikhwān al-Shafā, Rasā’il Ikhwān al-Shafā wa
‘Aqli-yyah Al-Arba‘ah, jil. 9, 126-131. Khullān al-Wafā’, jil. 1 (Beirut: al-Dār al-Islāmiyyah,
81
Dinānī, Qawā’ide Falsafī, Jil. 1, 286. 1412 H), 331.
Ikhlas Budiman: Penerapan Teori-teori Filosofis dalam .... ♦ 65
tindakan kegiatan (poiein, an yaf’al), seperti pada gunung. Begitu juga pada manusia
menulis; (10) menderita, pasivitas, dipengaruhi sendiri terjadi ge-rakan substansi, “Maka
(paschein, an yanfa’il) seperti menjadi haus, adakah Kami telah lemah dengan ciptaan
dipanasi.86 yang pertama itu, bahkan mereka berada
Dari sepuluh kategori, satu adalah kategori dalam dalam bentuk yang baru” (QS. Qāf
substansi dan sembilan kategori lainnya ada- [50]: 15). Demikian juga dengan ayat yang
lah kategori aksiden. Substansi sendiri terbagi berkaitan dengan pergantian bumi dan langit,
menjadi lima, yaitu materi (matter, maddāh), “(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti
bentuk (shūrah, form), tubuh (jism, body), akal dengan bumi yang lain dan (demikian pula)
(‘aql, intellect) dan jiwa (nafs, soul).87 langit” (QS. Ibrāhīm [14]: 48). Teori gerakan
Penjelasan tentang substansi dan aksiden substansi bisa dite-rapkan pada ayat-ayat
menjadi landasan teori gerakan substansi. Ar- yang berkaitan dengan perubahan.
gumentasinya bahwa terjadi perubahan pada
aksiden, seperti perubahan aksiden warna, 8. Teori bahwa Setiap yang Terendah
rasa, dan berat pada apel. Perubahan Memiliki Potensi untuk Sampai pada
tersebut terjadi akibat dari tabiat substansinya
yang Lebih Tinggi darinya
yang merupakan lokus aksiden tersebut. Atas
dasar ini, substansi juga berubah karena yang a. Tinjauan Teori
menjadi sebab sesuatu yang berubah itu juga Teori ini didasarkan pada gerakan
berubah.88 substansi alam yang pembuktikannya
Argumentasi tersebut menimbulkan sang- menggunakan konsep cinta dan kerinduan
gahan bahwa jika substansi sebagai sebab itu yang bersifat naluri pada sesuatu yang lebih
berubah maka hal ini menyebabkan peruba- tinggi. Cinta dan kerinduan ada pada setiap
han pada sumber pertama dan hal-hal yang yang eksis di alam ini. Argumentasinya,
non-materi, sementara tidak ada perubahan Tuhan sebagai sumber dan pelaku pada
pada hal-hal yang non-materi. Perubahan atau semua yang eksis adalah kebaikan murni dan
gerakan hanya terjadi pada materi. wujud yang suci.
Sanggahan ini terbantahkan karena Dengan kata lain, tidak ada satu pun dari
Sumber Pertama menjadikan substansi itu kejahatan dan ketiadaan yang bisa terjadi
memba-haru. Jadi, substansi adalah gerakan pada diri-Nya yang suci. Sesuatu yang meru-
atau pembaharuan itu sendiri. Sumber pakan kebaikan murni dan wujud yang suci itu
Pertama tidak menjadikan substansi, menjadi obyek yang dicari oleh semua yang
kemudian menja-dikan gerakan baginya, eksis di alam ini. Segala sesuatu berusaha
tetapi hanya terjadi sekali penjadian, yaitu untuk mencarinya dan bergerak untuk meraih
penjadian substansi yang bergerak.89 pertalian dengan-Nya melalui kerinduan.90
Tuhanku, Dia akan memberikan petunjuk dengan meraih apa yang menjadi tuntutan
padaku” (QS. al-Shāffāt [37]: 99). Hal ini esensinya tanpa ada yang merintangi bisa
menunjukkan bahwa dalam diri manusia digunakan dalam menafsir-kan ayat-ayat
terdapat potensi yang mengarah pada sesuatu yang berkaitan berbagai macam keragaman
yang lebih tinggi dan lebih murni. Karena dia tindakan manusia untuk meraih
mengarah kepada Yang lebih suci maka dia kebahagiaannya, teori gerakan substansi da-
juga harus menyesuaikan dirinya hingga bisa lam menafsirkan ayat-ayat tentang mukjizat
bergabung dengan Yang lebih suci. dan hari kiamat, dan teori bahwa setiap yang
Kerinduan menuju Allah terealisasi de-ngan terendah memiliki potensi untuk sampai pada
menerapkan firman-Nya, “Katakanlah, ‘Jika yang lebih tinggi darinya digunakan pada
benar kalian mencintai Allah, maka ikutilah ayat-ayat yang mengarahkan manusia untuk
daku, niscaya Allah mencintai kalian serta kembali pada Tuhannya.[]
mengampuni dosa-dosa kalian, dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Pengasih’” (QS.
Ali ‘Imrān [3]: 31).
DAFTAR RUJUKAN
Kesimpulan
Sebagaimana halnya teori-teori gramatikal Al-Ardebilī, ‘Ali ‘Ilmī, Syarḥ Nihāyat al-
bahasa Arab, teori-teori saintifik, teori
Hikmah. Qum: Bustan al-Kitab, 1429 H.
maslahat dan mafsadat, teori ushul fiqih, dan
Al-‘Āmulī, Muhammad Taqī, Durar al-Fawā’-
teori lain-nya bisa diterapkan dalam
id, Jil. 1. Qum: Muassasah Dār al-Tafsīr,
menafsirkan al-Qur’an. Wahyu yang diterima
1416 H.
nabi merupa-kan hasil penyingkapan dan
Al-Ishfahānī, Muhammad ‘Ali Ridhā’ī, Durūs fī
pembahasaan dari realitas yang terindera dan
al-Manāhij wa al-Ittijīhāt al-Tafsīriyyah li
realitas yang tidak terindera. Demikian halnya
al-Qur’ān (diterjemahkan ke bahasa Arab
akal manusia yang berfungsi sebagai alat
oleh Qasim al-Baydhānī). Qum: Jāmi’-ah
memahami realitas, ke-mudian
al-Mushthafā al-‘Ālamiyah, 1421 H.
membahasakannya menjadi teori-teori realitas
Bagus, Lorens Kamus Filsafat, Jakarta: PT
atau kadang disebut prinsip-prinsip akal.
Gra-media Pustaka Utama, cet. kelima,
Karena al-Qur’an menganjurkan untuk
2005.
menggunakan akal, maka prinsip-prinsip akal
-----. Metafisika, Jakarta: PT. Gramedia
bisa digunakan untuk memahami dan menaf-
Pustaka Utama, 1991
sirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Prinsip-prinsip akal
Bidhar, Muhsin, Muqaddimah (Tafsīr al-
inilah yang kemudian menjadi landasan mun-
Qur’ān al-‘Azhīm, vol.1 karya Shadruddin
culnya teori-teori filosofis.
Muham-mad al-Syirazi). Qum: Intisyarat
Teori-teori tersebut juga bisa diterapkan
Bidhar, 1366.
dalam menafsirkan al-Qur’an, seperti teori
Dinānī, Ghulam Muḥsin Ibrahimi, Qawā’id Fal-
kemendasaran dan kesatuan wujud dalam
safī dar Falsafh-e Islāmī, jil. 1. Tehran:
menafsirkan ayat-ayat tentang keesaan
Mua-ssasah Muthālaat wa Tahqīqate
Tuhan, teori gradasi dalam menafsirkan ayat-
Farhanghi, 1370 HS
ayat yang berkaitan dengan tingkatan-
Al-Dzahabī, Muhammad Husain, Al-Tafsīr wa
tingkatan yang pada manusia dan alam
al-Mufassirūn, Juz 2. Kairo: Maktabah
semesta, teori wujud mandiri dan wujud
Wah-beh, tanpa tahun
bergantung dalam menafsirkan ayat-ayat
Abu Nashr al-Fārābī, Fushūsh al-Hikam.
yang berkaitan dengan kebergantungan
Qum: Intisyārāt Bidhar, 1405 H.
manusia kepada Allah, teori kuiditas bisa
Husain, Thalāl, Al-Manhaj al-Tafsīrī ‘inda al-
diterapkan dalam menafsirkan ayat al-Qur’an
‘Allā-mah al-Haydarī. Qum: Dar Faraqid,
dengan ayat yang lain atau dikenal tafsir al-
2010.
Qur’an dengan al-Qur’an, teori sebab-akibat
Haqqānī, Husain, Syarh Nihāyat al-Hikmah,
bisa diterapkan dalam me-nafsirkan ayat-ayat
jil. 2. Tehran: Jamiah al-Zahra, 1420 H.
yang berkaitan dengan penciptaan, teori
kebahagiaan setiap fakultas (quwwah) adalah
68 ♦ TANZIL, Volume I, Nomor 1, Oktober 2015
Haydarī, Kamāl, Durūs fī al-Hikmat al-Muta’ā- oleh Husein Nashr) Tehran: Muassasah
liyah, jil. 1. Qum: Dār Farāqid li al-Thibā’ah Muthā-la’at wa Tahqīqāt Farhangghī,
wa al-Nasyr, 1426 H. 1372 HS.
-----. Ushūl al-Tafsīr wa al-Ta’wīl. Qum: Dār Al-Syirāzī, Shadruddīn Muhammad (Shadrul
Farā-qid, 1427 H. Mutaallihin), al-Masyā‘ir. Tehran: Kitāb-
-----. Syarh Bidāyat al-Hikmah, jil. 2. Qum: Dar khaneh Thahuri, 1363.
Faraqid li ath-Thiba’ah wa al-Nasyr, 1425 -----. Asrār al-‘Āyāt. Tehran: Anjuman Hikmat
H. wa Falsafah, 1360.
Ibn Rusyd, Risālat Mā Ba‘da al-Thabī‘ah. -----. Al-Hikmat al-Muta’āliyah fī al-Asfār al-
Beirut: Dār al-Fikr, 1994. ‘Aqliyyah al-Arba‘ah, jil. 1,3,8,9. Qum:
Ibn Sīnā, Rasā’il Ibn Sīnā. Qum: Intisyarat Bi- Maktabah al-Mushthawafi, t.th.
dar, 1400 H. Al-Syahrizurī, Syamsuddīn, Rasā’il al-Syajarat
----. Al-Syifā’, al-Manthiq, jil. 3. Qum: al-Ilāhiyyah fī ‘Ulūm al-Haqā’iq al-
Maktabah Ayatullah al-Mar’asyī, 1401 H. Rabbāni-yyah, jil. 1. Mushahhih: Najefqali
----. Al-Syifā’, al-Ilāhiyyāt. Qum: Maktabah Habibi. Teh-ran: Muassasah Hikmat wa
Aya-tullah al-Mar’asyi, 1401 H. Falsafah Iran, 1383 HS.
Ikhwān Al-Shafā, Rasā’il Ikhwān Al-Shafā wa Al-Shaghīr, Muhammad Husain ‘Ali Al-Mabādi’
Khi-llān al-Wafā’, jil. 1. Beirut: Al-Dār al- al-Āmmah li Tafsīr al-Qur’ān. Beirut: Dār
Islāmi-yyah, 1412 H al-Muarrikh al-‘Arabī, 2000 M.
Al-Kindī, Rasā’il al-Kindī al-Falsafiyyah. Al-Thabāthabā’ī, Muhammad Husain, Al-Mīzān
Beirut: Dār al-Fikr al-Arabī, t.th. fī Tafsīr al-Qur’ān, jil. 1. Qum: Muassasah
Ma’rifat, Muhammad Hādī, Al-Tafsīr wa al-Mu- al-Nasyr al-Islāmī li Jamā’ah al-
fassirūn fī Tsawbihi al-Qasyīb, jil. 2. Mudarrisīn, 1417 H.
Masyhad: Al-Jamiah al-Rawdhawiyyah li -----. Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān, jil. 2. Qum:
al-‘Ulum al-Islamiyyah, 1426 H. Muassasah al-Nasyr al-Islāmī li Jamā’ah
Mehr, Husain Alawī, Āsyinā’ī bā Tārīkhi Tafsīr al-Mudarrisīn, 1417 H.
wa Mufassirān. Qum: Markaz Jehane -----. Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān, jil. 3. Qum:
Ulume Islami, 1384 HS. Muassasah al-Nasyr al-Islāmī li Jamā’ah
Al-Muzhaffar, Muhammad Ridhā, Al-Manthiq. al-Mudarrisīn, 1417 H.
Beirut: Dār al-Ta’āruf li al-Mathbu’āt, -----. Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān, jil. 4. Qum:
2006. Muassasah al-Nasyr al-Islāmī li Jamā’ah
Panāh, Yadullāh Yazdān, Hikmat-e Isyrāq, jil. al-Mudarrisīn, 1417 H.
1. Qum: Pizhuhashghahe Hawzah wa -----. Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān, jil. 10. Qum:
Da-neshghah, 1389 HS. Muassasah al-Nasyr al-Islāmī li Jamā’ah
----. Hikmat-e Isyrāq, jil. 2. Qum: al-Mudarrisīn, 1417 H.
Pizhuhashghah Hawzah wa Daneshghah, -----. Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān, jil. 12. Qum:
1389 HS. Muassasah al-Nasyr al-Islāmī li Jamā’ah
Al-Qaysharī, Dāwud, Syarh Fushūsh al- al-Mudarrisīn, 1417 H.
Hikam, jil. 1, diedit oleh Hasan Hasan -----. Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān, jil. 13. Qum:
Zadeh al-Āmulī). Qum: Muassasah Muassasah al-Nasyr al-Islāmī li Jamā’ah
Bustān Kitāb, 1428 H. al-Mudarrisīn, 1417 H.
Al-Rifa’ī, ‘Abd al-Jabbār, Durūs fī al-Falsafah -----. Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān, jil. 14. Qum:
al-Islāmiyyah, Syarh Tawdhīhiy li Kitāb Muassasah al-Nasyr al-Islāmī li Jamā’ah
Bidāyat al-Hikmah. Tehran: Muassasah al-Mudarrisīn, 1417 H.
al-Hudā li al-Nasyr wa al-Tawzi’, 1421 -----. Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān, jil. 17. Qum:
HS. Muassasah al-Nasyr al-Islāmī li Jamā’ah
----. Mabīdi’ al-Falsafah al-Islāmiyyah, jil. 2. al-Mudarrisīn, 1417 H.
Beirut: Dār al-Hādī, 2001 M. -----. Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān, jil. 18. Qum:
Al-Sabzewarī, Mullā Hādī, Syarh al- Muassasah al-Nasyr al-Islāmī li Jamā’ah
Manzhūmah, jil. 2. Tehran: Nasyr Nāb, al-Mudarrisīn, 1417 H.
1379 HS. -----. Bidāyat al-Hikmah. Qum: Muassasah al-
Suhrawardī, Syihābuddīn Yahyā, Majmū‘ah-e Nasyr al-Islāmī li Jamā’ah al-Mudarrisīn,
Mushannafāt-e Syaykh Isyrāq, jil. 3 (diedit 1414 H.
Ikhlas Budiman: Penerapan Teori-teori Filosofis dalam .... ♦ 69