Anda di halaman 1dari 26

1

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................ i
KATAPENGANTAR ............................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................... iii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Rumusan masalah........................................................................ 2
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Nasikh wa Mansukh Hadits .............................. 2
B. Faedah Mengetahui Ilmu Hadits Nasikh wa Mansukh ............... 1
C. Cara Mengetahui Nasikh wa Mansukh Hadits ........................... 9
D. Syarat-Syarat Nasakh .................................................................. 9
E. Faedah/Pentingnya Ilmu Nasikh wa Mansukh Hadist ................ 2
F. Perhatian Para Ulama Terhadap Ilmu Nasikh wa Mansukh ....... 2
G. Kitab-kitab Nasikh dan Mansukh................................................ 2
H. Bentuk Nasakh Yang Berkaitan Dengan Hadits ......................... 3
I. Kajian Nasikh dalam al-Quran ................................................... 3
J. Kontraversi Naskh dalam al-Quran ........................................... 7
K. Contoh Hadits Nasikh dan Mansukh........................................... 6
BAB III : PENUTUP
Kesimpulan dan Saran............................................................................. 2
DAFTAR PUSTAKA
2

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu cabang pengkajian Ilmu Hadits yang terpenting utamanya
adalah yang berkenaan dengan hadits hukum yaitu Ilmu Nasikh dan Mansukh.
Kepentingannnya tidak dapat dihilangkan karena ia merupakan salah satu syarat
ijtihad. Secara azas seorang mujtahid harus mengetahui latar belakang dalil secara
hukum khususnya hadits yang akan dijadikan azas hukum.
Ilmu ini membahas hadits-hadits yang bertentangan. Hukum hadits yang
satu (menasakh ) menghapus hukum hadits yang lain (mansukh). Hadits yang
datang lebih dulu disebut mansukh dan yang datang kemudian adalah nasikh.
Nasikh adalah yang menghapus atau yang membatalkan.
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat
yang besar bagi para ahli ilmu agar pengetahuan tentang suatu hukum tidak kacau
dan kabur. Nasikh dan mansukh menurut para ulama salaf pada umumnya adalah
pembatalan hukum secara global, dan itu merupakan istilah para ulama
mutaakhirin (belakangan); atau pembatalan dalalah (aspek dalil) yang umum,
mutlak dan nyata. Untuk itu merupakan suatu keharusan untuk mengetahui nasikh
dan mansukh dalam penetapan hukum-hukum syariat.
Dengan mempelajari cabang ilmu hadits ini, seseorang itu akan
mengetahui sejarah perkembangan hadits dan hukum Islam itu sendiri. Dimana
3

didalam makalah ini akan dijelaskan pengertian nasikh dan mansukh serta hal-hal
yang berkaitan dengan nasikh dan mansukh.
Kita sebagai umat islam, khususnya Islam Ahlussunah wal Jamaah
diharapkan tidak hanya mempelajari, mendalami, dan mengamalkan ilmu al-
Quran melalui Ulumul Quran tetapi juga bisa mempelajari, mendalami, serta
mengamalkan ilmu hadits Rasulullah melalui Ulumul Hadits. Karena hadist
Rasulullah berfungsi sebagai penyempurna dan penjelas dari isi al Quran.
Sedangkan Ulumul Hadits itu sendiri memiliki banyak cabang ilmu-ilmu
yang tentu saja masih berkaitan dengan ilmu hadits.
Cabang-cabang ilmu tersebut di antaranya adalah Ilmu Rijal al Hadits,
Ilmu Al-Jarh wa At-Tadil, Ilmu Ilal Al Hadits, Ilmu Gharib Al Hadits, Ilmu
Mukhtalif Al hadits, Ilmu Nasikh wa Mansukh, Ilmu Fann Al Mubhamat, Ilmu
Asbab Wurud Al Hadist, Ilmu Tashrif wa Tahrif, Ilmu Mushthalah A Hadits, dll
.

Perlu diketahui bahwa hukum pada suatu hadits tidak mutlak benar dan
berlaku selamanya melainkan ada kalanya perubahan-perubahan atau
penyempurnaan-penyempurnaan. Dalam hal ini, cabang ilmu hadits yang
mempelajari permasalahan tersebut adalah ilmu Nasikh Mansukh Hadits.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang sekaligus sebagai upaya membatasi
ruang lingkup penulisan, maka diindentifikasi beberapa permasalahan sebagai
kerangka acuan penulisan sebagai berikut:
1. Pengertian Ilmu Nasikh wa Mansukh Hadits
4

2. Faedah Mengetahui Ilmu Hadits Nasikh wa Mansukh
3. Cara Mengetahui Nasikh wa Mansukh Hadits
4. Syarat-Syarat Nasakh
5. Faedah/Pentingnya Ilmu Nasikh wa Mansukh Hadist
6. Perhatian Para Ulama Terhadap Ilmu Nasikh wa Mansukh
7. Kitab-kitab Nasikh dan Mansukh
8. Bentuk Nasakh Yang Berkaitan Dengan Hadits
9. Kajian Nasikh dalam al-Quran
10. Kontraversi Naskh dalam al-Quran
11. Contoh Hadits Nasikh dan Mansukh












5

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Nasikh wa Mansukh Hadits
Naskh menururt bahasa mempunyai dua makna, menghapus dan menukil.
Sehingga seolah-olah yang menasakh itu telah menghapuskan yang mansukh, lalu
memindahkan atau menukilkannya kepada hukum yang lain. Sedangkan menurut
istilah adalah pengangkatan yang dilakukan oleh penetap syariat terhadap suatu
hukum yang datang terdahulu dengan hukum yang datang kemudian.
Ilmu Nasikh wa Mansukh hadits adalah ilmu pengetahuan yang
membahasa tentang hadits yang datang terkemudian sebagai penghapus terhadap
ketentuan hukum yang berlawanan dengan kandungan hadits yang datang lebih
dahulu disebut ilmu Nasikh wal-Mansukh.
Para muhadditsin memberikan tarif ilmu itu secara lengkap ialah:

. , ,
Artinya:Ilmu yang membahas hadist-hadist yang tidak mungkin dapat
dikompromikan dari segi hukum yang terdapat pada sebagianya, karena
ia sebagai nasikh (penghapus) terhadap hukum yang terdapat pada
sebagian yang lain, karena ia sebagai mansukh (yang dihapus). Karena
itu hadist yang mendahului adalah sebagai mansukh dan hadist terakhir
adalah sebagai nasikh.
6

Ilmu ini sangat bermamfaat untuk pengamalan hadits bila ada dua hadits
maqbul yang tanaqud yang tidak dapat dikompromokan atau dijama. Bila dapat
dikompromokan, hanya sampai pada tingkat Mukhtalif al-Hadits, kedua hadits
maqbul tersebut dapat diamalkan. Bila tidak bisa dijama (dikompromokan),
hadits maqbul yang tanakud tersebut di-tarjih atau di-nasakh.
Bila diketahui mana diantara kedua hadits yang di-wurud-kan lebih dulu
dan yang di-wurud-kan kemudian, wurud kemudian (terakhir) itulah yang
diamalkan, sedangkan yang lebih dulu tidak diamalkan. Yang belakangan disebut
nasikh, yang duluan disebut mansukh. Kaidah yang berkaitan dengan nasakh,
antara lain berupa cara mengetahui nasakh,yakni penjelasan dari Rasulullah Saw.
Sendiri, keterangan Sahabat dan dari tarikh datangnya matan yang dimaksud.
B. Faedah Mengetahui Ilmu Hadits Nasikh wa Mansukh
Mengetahui ilmu nasikh dan mansukh adalah termasuk kewajiban yang
penting bagi orang-orang yang memperdalam ilmu-ilmu syariat. Karena seorang
pembahas ilmu syariat tidak akan dapat memetik hukum dari dalil-dalil nash,
dalam kaitan ini adalah hadist, tanpa mengetahui dalil-dalil nash yang sudah
dinasakh dan dalil-dalil yang menasakhnya.
Atas dasar itulah al-Hazimy berkata : Ilmu ini termasuk sarana
penyempurna ijtihad. Sebab sebagaimana diketahui bahwa rukun utama didalam
melakukan ijtihad. Itu ialah adanya kesanggupan untuk memetik hukum dari
dalil-dalil naqli (nash) dan menukil dari dalil-dalil naqli itu haruslah mengenal
pula dalil yang sudah dinasakh atau dalil yang menasakhnya. Memahami khitab
7

Hadits menurut arti yang tersurat adalah mudah dan tidak banyak mengorbankan
waktu. Akan tetapi yang menimbulkan kesukaran adal mengistinbathkan hukum
dari dalil-dalil nash yang tidak jelas penunjukannya. Diantara jalan untuk
mentahqiqkan (mempositifkan) ketersembunyian arti yang tidak tersurat itu ialah
mengetahui mana dalil yang terdahulu dan manapula yang terkemudian dan lain
sebaginya dari segi makna..
C. Cara Mengetahui Nasikh wa Mansukh Hadits
Nasikh dan Mansukh dalam hadits dapat diketahui dengan salah-satu dari
beberapa hal berikut ini:
1. Pernyataan dari Rasulullah, seperti sabda beliau,

.
Artinya:Aku dahulu telah melarang kalian untuk ziarah kubur, maka
(sekarang) lakukanlah ziarah, karena dapat mengingatkan akhirat.

2. Perkataan Sahabat.
3. Mengetahui sejarah seperti hadits Syaddad bin Aus,
.
Artinya :Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya.
Dinasakh oleh hadist Ibnu Abbas, Bawasanya Rasulullah berbekam
sedangkan beliau sedang Ihram dan puasa.
8

Dalam salah satu jalur sanad Syaddad dijelaskan bahwa hadist itu
diucapkan pada tahun 8 hijriah ketika terjadi pembukaan kota Makkah,
sedangkan Ibnu Abbas menemani Rasulullah dalam keadaan ihram pada saat
haji wada tahun 10 hijriyah.
4. Ijma ulama. Seperti hadits yang berbunyi,
.
Artinya:Barang siapa yang minum khamar maka cambuklah dia, dan
jika kembali mengulangi yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.
Imam An-Nawawi berkata, Ijma ulama menunjukan adanya naskh
terhadap hadits ini. Dan ijma tidak bisa dinasakh dan tidak bisa menasakh,
akan tetapi menunjukan adanya nasikh.
D. Syarat-Syarat Nasakh
1. Adanya mansukh (yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum yang dihapus
itu adalah berupa hukum syara yang bersifat amali, tidak terikat atau dibatasi
dengan waktu tertentu.
2. Adanya mansukh bih (yang digunakan untuk menghapus) dengan syarat
datangnya dari syari (Rasulullah saw).
3. Adanya nasikh (yang berhak menghapus), dalam kaitan ini yaitu Rasulullah
saw.
4. Adanya mansukh anhu (arah hukum yang dihapus itu adalah orang-orang
yang sudah akil baligh atau mukallaf). Karena yang menjadi sasaran hukum
yang menghapus atau yang dihapus itu adalah tertuju pada mereka.
9

Sedangkan Abd Azhim al Zarqany mengemukakan bahwa nasakh baru
dapat dilakukan apabila :
1. Adanya dua hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat
dikompromikan, serta tidak diamalkan secara sekaligus dalam segala segi.
2. Ketentuan hukum syara yang berlaku (menghapus) datangnya belakangan
dari pada ketetapan hukum syara yang diangkat atau dihapus.
3. Harus diketahui secara meyakinkan perurutan penukilan hadits-hadits tersebut
sehingga yang lebih dahulu dinukilan ditetapkan sebagai mansukh dan yang
dinukilkan kemudaannya sebagai nasikh.
E. Faedah/Pentingnya Ilmu Nasikh wa Mansukh Hadist
Mengetahui ilmu nasikhwa mansukh adalah termaksud kewajiban yang
penting bagi orang-orang yang memperdalam ilmu-ilmu syariat. Karena seorang
pembahas ilmu syariat tidak akan memetik hukum dari dalil-dalil nash, dalam
kaitan ini adalah hadits, tanpa mengetahui dalil-dalail nash yang sudah dinasakh
dan dalil-dalil yang menasakhnya. Atas dasar itulah al-Hazimiy berkata: Ilmu ini
termaksud sarana penyempurnaan ijtihad, sebab sebagaimana diketahui bahwa
rukun utama didalam melakukan ijtihad itu ialah adanya kesanggupan untuk
memetik hukum dari dalil-dalil naqli (nash) dan menukuil dari dalil-dalil naqli itu
haruslah mengenal pula dalil yang sudah dinasakh atau dalil yang menasakhnya.
Memahami kitab hadits menurut yang tersurat adalah mudah dan tidak
banyak mengorbankan waktu, akan tetapi yang menimbulkan kesukaran adalah
menginstimbatkan hukum dari dalil-dalil yang tidak jelas penunjuknya. Diantara
10

jalan untuk mentahqiqkan (mempositifkan) ketersembunyian arti yang tidak
tersurat itu ialah mengetahui mana dalil yang terdahulu dan mana pula dalil yang
terkemudian dan lain sebagainya dari segi makna.
F. Perhatian Para Ulama Terhadap Ilmu Nasikh wa Mansukh
Para ulama banyak yang menaruh perhatian yang khusus dalam ilmu ini.
Imam Syafii adalah termasuk ulama yang mempunyai keahlian dalam ilmu
Nasikh wa Mansukh. Hal itu ketahui berdasarkan wawancara imam Ahmad
dengan Ibnu Warih yang baru saja datang dari Mesir. Kata Imam Ahmad:
Apakah telah kamu kutip tulisan-tulisan ImamSyafii? Tidak jawabnya.
Celakalah kamu, bentak imam Ahmad, kamu tidak dapat mengetahui dengan
sempurna tentang mujmal dan mufassal seta nasikh dan mansukhnya suatu hadist
sebelum kita semua ini tunduk berguru dengan Imam Syafii.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. pernah bertemu dengan seorang qadli,
lalu ditanyalah sang qadli itu. Apakah kamu mengenal nasikh dan mansukhnya
suatu hadits? Tidak, jawab qadli itu. Celakalah dirimu dan membuat pula
celaka orang lain, berikutnya.
Kata Az-Zuhry: Mengetahui nasikh dan mansukhnya suatu hadits adalah
merupakan usaha yang memeyahkan dan menghabiskan energi para puqoha.
G. Kitab-kitab Nasikh dan Mansukh
Sebenarnya ilmu nasikh dan mansukh sudah ada sejak pendewanan hadist
pada awal abad pertama, akan tetapi belum muncul dalam bentuk ilmu yang
berdiri sendiri. Kelahiranya sebagai ilmu dipromotori oleh Qatadah bin Diamah
11

As-Sudusy (61-118 H.) dengan tulisan beliau yang diberi judul An-Nasikh wal-
Mansukh. Hanya perlu disayangkan bahwa kitab tersebut tidak bisa kita
menfaatkan, lantaran tiada sampai kepada kita.
Pada tahun-tahun yang berada diantara abad kedua dan ketiga, bangunlah
ulama-ulama untuk menulis kitab Nasikh wal-Mansukh. Diantara sekian banyak
kitab nasikh yang masyhur diabad ini ialah kitab Nasikhul-Hadits wa
Mansukhuhu, buah karya Al-Hapidh Abu Bakar Ahmad bin Muhammad Al-
Atsram (261 H), rekan Imam Ahmad. Kitab yang terdiri dari tiga juz kecil-kecil
itu juz ketiganya didapatkan di Darul-Kutubil-Mishriyah. Kitab Nasukhul-
Hadits wa Mansukhuhu, karya muhaddits Iraq, Abu Hafsin bin Ahmad Al-
Bagdady, yang lebih populer dengan nama kurniyahnya Ibnu Syahin (297-385 H)
adalah kitab nasikh dan mansukh abad keempat yang sampai dan dapat kita
manfaatkan. Kitab ini terdiri dari dua buah naskah tulisan tangan (manuskrip).
Yang sebuah berada di Perpustakaan Ahliyah (nasional) di Paris dan yang sebuah
lagi disaimpan di Perpustakaan Escorial (Spanyol)
Kemudian setelah itu keluarlah kitab Al-Itibar fi-Nasikh wal-Mansukh
mianl-Atsar. Karya Al-Hafidh Abu Bakar Muhammad bin Musa Al-Hazimy
(548-584 H.). beliau memanfaatkan usaha ulama-ulama yang terdahulu dalam
ilmu ini, sehingga kitab yang disusunya sudah mencangkup seluruh buah pikiran
ulama-ulama itu. Sistematisnya diatur menurut bab-bab fiqhiyah. Pada setiap bap
fiqhiyah dikemukakan hadits-hadits yang nampaknya berlawanan itu dengan tidak
mengabaikan pendapat-pendapat dari para ulama dan sekaligus nasikh dan
12

mansukhnya. Tidak sedikit pula kita dapatkan pendapat beliau sendiri dalam
merajihkan suatu pendapat atas pendapat lain. Pada tahun 1319 H. Kitab itu
dicetak di India, kemudian pada tahun 1346 H. Dicetak di Kairo dan pada tahun
yang sama dicetak di Halab dengan tahqiq Syaikh Raghib Ath-Thabakhi al-
Halaby.
H. Bentuk Nasakh Yang Berkaitan Dengan Hadits
1. Nasakh Hadist Dengan Hadist
Ulama Usul al-Fiqh sepakat mengatakan hadist boleh dinasakhkan
dengan hadist, yaitu mutawatir dengan mutawatir, mutawatir dengan masyhur
dan mutawatir dengan ahad. Contohnya ialah hadist larangan menziarahi
kubur dan menyimpan daging korban. Larangan-larangan ini pada mulanya
thabit dengan hadist dan hadist sendiri yang membenarkannya. Oleh karena
itu, nasakh ini dikatakan nasakh hadist dengan hadist.
2. Nasakh Hadist Dengan al-Quran
Kebanyakan ulama termasuk ulama Zahiriyyah mengakui adanya
nasakh hadist dengan al-Quran. Walau bagaimanapun, Imam al-Syafii tidak
menerimanya. Jumhur berhujah bahawa nasakh seperti ini memang berlaku
dengan mengemukakan contoh perpindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke
Ka`bah. Sembahyang dengan mengadap ke arah Baitul Maqdis sememangnya
thabit tetapi dengan hadist bukan al-Quran. Al-Hazimi mengemukakan satu
riwayat daripada al-Barra bin `Azib:

13


.

Artinya:Daripada al-Barra bin `Azib bahawa perkara yang
dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. apabila sampai di Madinah ialah
menemui datuk neneknya dari kalangan Ansar dan baginda
bersembahyang mengadap ke arah Baitul Maqdis selama enam belas
bulan atau tujuh belas bulan.
Hadist ini telah dinasakhkan oleh ayat berikut:
;~ O4O4^ =UwU> El)_;_4 O)
g7.EOO- W ElE441g4ON4U
6-lg~ E_=O> _ ]4O
ElE_;_4 4O;CE- gOE^-
g-4OE^- _ +^1EO4 4` +L7
W-Oe4O 7E-ON_N +4O;CE-
Ep)4 4g~-.- W-O>q
=U4-^- 4pOUu4O +O^^
O-E^- }g` )_)O 4`4 +.-
g4) O4N 4pOUEu4C ^jj
Artinya:Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit[96],
Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu
14

berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang
(Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang
mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari
Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka
kerjakan(QS. Al-Baqarah: 144)
Maksudnya ialah Nabi Muhammad s.a.w. sering melihat ke langit
mendoa dan menunggu-nunggu turunnya wahyu yang memerintahkan beliau
menghadap ke Baitullah.
3. Nasakh al-Quran Dengan Hadist
Jumhur ulama termasuk Zahiriyyah mengharuskan nasakh hadist
dengan al-Quran sementara Imam al-Syafie menegahnya. Bagaimanapun
golongan Hanafiyyah hanya mengharuskan nasakh al-Quran dengan hadist
mutawatir dan masyhur kerana ianya tersebar luas di kalangan manusia.
Golongan yang mengharuskannya berhujah dengan ayat wasiat kepada ibu
bapa dan kaum kerabat.
=Ug-7 7^OU4 -O) 4O=EO
N7E4 OE^- p) E4O>
-OOE= OOg4O^-
^}uCEg4OUg 4-)4O^~-4
NOuE^) W EO O>4N
4-+^- ^g
15

Artinya:Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat
untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban
atas orang-orang yang bertakwa (QS. Al-Baqarah: 180)
Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari
seluruh harta orang yang akan meninggal itu. ayat ini dinasakhkan dengan
ayat mewaris.
Ayat ini telah dimansukhkan dengan hadist:
, " : : ,
. "
Artinya: Daripada Abu Umamah, katanya: Saya mendengar
Rasulullah s.a.w. bersabda: Sesungguhnya Allah s.w.t. telah
menentukan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan hak
masing-masing. Dengan itu, maka, tidak ada wasiat untuk waris
(orang yang berhak menerima pusaka).
Tetapi golongan yang tidak mengharuskan bentuk nasakh ini
menjawab bahawa ayat, wasiat itu sebenarnya dinasakhkan oleh ayat
mawarith yaitu ayat 11 surah al-Maidah sebagaimana yang ditegaskan oleh
Ibn Abbas.
4. Apakah Semua Hadist Yang Dimansukhkan Itu Dipersetujui Oleh Semua
Oleh kerana penentuan nasakh merupakan perkara yang diijtihadkan,
tentu sekali ada perbedaan pendapat ulama dalam menentukan sesuatu hadist
16

itu dimansukhkan ataupun tidak. Tidak semua hadist yang dikatakan sebagai
telah mansukh dipersetujui oleh semua pihak. Walau bagaimanapun terdapat
juga, hadist yang disepakati oleh ulama sebagai mansukh. Dalam hal ini, Dr
Yusuf al-Qaradhawi menyebut: Banyak hadist yang didakwa sebagai telah
dimansukhkan tetapi setelah dikaji ia tidaklah dinasakhkan. Ada hadist yang
berbentuk `azimah dan ada pula yang berbentuk rukhsah. Kedua bentuk ini
mempunyai hukum masing-masing pada tempatnya. Terdapat sesetengah
hadist yang berkaitan dengan keadaan tertentu dan hadist yang lain pula
berkaitan dengan keadaan yang lain, maka perbedaan keadaan itu bukan
menunjukkan nasakh.
I. Kajian Nasikh dalam al-Quran
Musthafa Muhammad Sulaiman dan yang lainnya, membagi Nasikh-
Mansukh menjadi empat kajian ; 1), Nasikh ayat al-Quran dengan al-Quran. 2),
Nasikh ayat al-Quran dengan Sunnah. 3), Nasikh Sunnah dengan ayat al-Quran.
Contoh dari Nasikh ayat al-Quran dengan al-Quran adalah kasus hukum
iddah (masa tenggang) bagi seorang wanita janda yang semula satu tahun (QS. al-
Baqarah/2 : 240), beberapa waktu kemudian ditetapkan bahwa masa tenggangnya
hanya 4 bulan 10 hari (QS. al-Baqarah/2 : 234). Juga bisa kita lihat pada kasus
penetapan hukum masalah arak (khamr), yang pada mulanya al-Quran hanya
menyampaikan tentang positif dan negatifnya khamr tersebut, kemudian al-
Quran meminta kaum Muslimin untuk tidak mabok ketika sholat (QS. al-Nisa/4 :
17

43). Dan terakhir al-Quran menegaskan kepada kaum Muslimin untuk tidak
menggunakan atau meminum khamr (QS. al-Maidah/5 : 90 91).
Muncul persoalan, ketika kajian nasikh-mansukh ini masuk pada wilayah
nasikh al-Quran dengan Sunnah. Imam Malik, Abi Hanifah, dan Imam Ahmad
menerima Nasikh model ini, meskipun hanya nasikh al-Quran dengan Hadits
Mutawatir. Sementara Imam Syafii, Ahli Zahir, dan sebagian kelompok Imam
Ahmad menolaknya, karena alasan tingkat kedudukan sunnah yang tidak
sebanding dengan al-Quran
.

Adapun contoh nasikh sunnah dengan al-Quran adalah ketika tradisi
Nabi yang masih berkiblat di Bait al-Maqdis, dan enam bulan kemudian setelah
hijrah ke Madinah, maka turunlah ketetapan dari al-Quran (QS. al-Baqarah/2 :
144). Juga kebiasaan Nabi yang telah menetapkan bulan al-Syura sebagai bulan
wajib puasa, lalu di kounter oleh al-Quran dengan turunnya sebuah ayat maka
barang siapa yang melihat bulan ramadhan, hendaknya berpuasalah ia (QS. al-
Baqarah/2 : 185). Akan tetapi, model ini pun ditolak oleh al-Syafii, karena apa
saja yang ditetapkan oleh Sunnah tentu didukung oleh al-Quran, begitu juga
sebaliknya, ketetapan al-Quran tentunya tidak bertentangan dengan Sunnah.
Sehingga antara al-quran dan Sunnah saling bersinergi, tidak kontradiktif.


Nasikh-Mansukh dalam al-Quran mempunyai tiga makna, Pertama,
menunjuk pada pembatalan hukum yang dinyatakan dalam kitab-kitab Samawi
sebelum al-Quran. Kedua, menunjuk pada penghapusan sejumlah teks ayat-ayat
al-Quran dari eksistensinya, baik penghapusan teks dan hukum yang terkadung
18

didalamnya sekaligus (naskh al-hukm wa al-tilawah), maupun penghapusan
teksnya saja, sementara hukumnya tetap berlaku (naskh al-tilawah duna al-hukm),
dan Ketiga, menghapus ayat-ayat yang turun lebih awal oleh ayat-ayat yang turun
kemudian atau belakangan, tetapi teks atau ayat terdahulu masih tetap terkandung
didalam al-quran (naskh al-hukm duna al-tilawah).


J. Kontraversi Naskh dalam al-Quran
Fokus pembahasan ini ialah mengenai Naskh al-Hukm Dun al-Tilawah,
yaitu persoalan ada atau tidaknya perubahan hukum dari satu ayat dengan ayat
lain, ketika ayat tersebut terpisah dalam proses al-Nuzul-nya.
Persoalan Nasikh dalam al-Quran ini, bermula dari pemahaman ayat
seandainya al-Quran ini datangnya bukan dari Allah, niscaya mereka akan
menemukan kontradiksi yang sangat banyak.
E 4pNO+E44C 4p-47O^- _
O4 4p~E ;}g` gLgN )OOEN *.-
W-E}4O gO1g LUgu=-
-LOOg1 ^gg
Artinya: Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya
Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang
banyak di dalamnya. (QS. al-Nisa ; 82).
Ayat ini ingin mengatakan bahwa ayat-ayat al-Quran tidak mempunyai
perbedaan-perbedaan yang signifikan antara satu ayat dengan yang lainnya.
Sementara di tempat lain, al-Quran mengatakan sebagai berikut:
19

4` ;C=O44^ ;}g` O4C-47 u E_O4+^
g4^ OOC .Ogu+g)` u .E_)Uu1g`
Uu> Ep -.- _O>4N ]7
7/E* vOCg~ ^g
Artinya:Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia)
lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu? (QS. al-Baqarah : 106).
Para mufassirin berlainan Pendapat tentang arti ayat, ada yang
mengartikan ayat Al Quran, dan ada yang mengartikan mukjizat.
Abu Muslim al-Asyfahani, menolak anggapan bahwa ayat yang sepintas
kotradiktif, diselesaikan dengan jalan nasikh-mansukh. Lantas ia, mengajukan
proyek takhsis sebagai antitesa Nasikh-Mansukh. Menurutnya al-Quran adalah
syariah yang muhkam, jadi tidak ada yang mansukh.
gOOg>4C NgC4l^- }g` u-4
gOuCE4C 4 ;}g` gOgUE= W CjO6>
;}g)` 1EO l1gEO ^jg
Artinya :Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan
maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana
lagi Maha Terpuji. (QS. al-Fushilat : 42).
20

Artinya, jika sekiranya didalam al-Quran terdapat ketentuan yang telah
di-nasakh, maka sebagian hukum ayat al-Quran juga akan dibatalkan. Sementara
syariat dalam al-Quran itu bersifat kekal. Karena ia berlaku sepanjang masa
.[15]

Fakhru al-razi dan Muhammad Abduh, juga termasuk yang memandang
bahwa istilah Nasikh-Mansukh tidak terdapat dalam al-Quran. Alasan mereka
disandarkan pada ayat al-Quran Dan bacakanlah apa yang diwahyukan
kepadamu, yaitu kitab Tuhanmu. Tidak ada seorangpun yang dapat merubah
kalimat Nya. (QS. al-Kahfi : 27). Hanya kemudian, Muhammad Abduh
menggunakan istilah tabdil, penggantian, pengalihan, atau pemindahan ayat
hukum ditempat ayat hukum yang lain, bukan nasakh dalam pengertian
pembatalan
.

Sementara itu, sebagaian Ulama berkeyakinan bahwa didalam al-Quran
terdapat pembatalan hukum, Nasikh-Mansukh. Ibn Jarir menafsirkan ayat dan
apabila Kami letakkan suatu ayat ditempat ayat lain sebagai penggantinya,
padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, sebagai Kami
angkat ia, lalu Kami turunkan lainnya.
[18]
Sedangkan al-Syuyuti mengartikannya
sebagai Allah menurunkan perkara dalam al-Quran kemudian
mengangkatnya.
Ibn Katsir menegaskan bahwa tidak ada alasan bagi kita untuk menafikan
Nasikh-Mansukh, karena ia menetapkan hukum sesuai kehendak-Nya dan
melakukan apa saja sesuai dengan keinginan-Nya. Hal ini, pula ditegaskan oleh
Quraish Shihab, bahwa Allah tidak me-nasakh dalam arti membatalkan suatu
21

hukum yang dikandung oleh satu ayat, kecuali Allah akan mendatangkan ayat
lain yang mengandung hukum lain yang lebih baik atau serupa.
Berbeda dengan yang lain, al-Thabathabai mengatakan bahwa
pertentangan antara dua Nash dalam Naskh pada dasarnya merupakan
pertentangan lahiriah, bukan pertentangan hakikiyyah (esensi). Alasan al-
Thabathabai ini didasarkan pada al-Quran Surat (al-Nisa ; 82). Ia menegaskan
Nasakh pada dasarnya bukan termasuk (yang terjadi karena) pertentangan dalam
perkataan (qawl), dan ia juga tidak (terjadi karena) pertentangan (ikhtilaf) dalam
pandangan hukum, melainkan terjadi karena pertentangan dalam mushdaq
(kriteria) dari segi dapat diterapkannya hukum pada suatu hari, karena adanya
mahslahat didalamnya. Dan dari segi tidak dapat diterapkannya pada suatu hari
yang lain karena bergantinya kemashlahatan dari kemashlahatan yang lain yang
mewajibkan hukum yang lain pula. Oleh karena itu, al-Thabathabai
beranggapan bahwa nasakh pada dasarnya tidak hanya khusus terdapat pada
hukum-hukum syariat, melainkan juga dapat terjadi terhadap takwiniyyah
(persoalan-persoalan kosmo).
K. Contoh Hadits Nasikh dan Mansukh
1. Memakan makanan yang dimasak membatalkan whudu
Sebahagian ulama berpendapat wajib berwuduk kerana memakan
makanan yang dimasak apabila hendak melaksanakan Sholat. Sebagian yang
lain mengatakan hukum itu sudah tidak ada kerana ada hadist yang
22

menasakhkannya. Golongan yang pertama berhujah dengan hadist yang
dikeluarkan oleh Imam Muslim dari Zaid bin Tshabit:
: " " (
(
Artinya:Wajib berwuduk kerana memakan makanan yang dimasak
Hadist Abu Hurairah:
. :: .
" " (
)
Artinya:Sesungguhnya Abdullah bin Ibrahim bin Qarit mendapati Abu
Hurairah sedang berwuduk dekat dengan masjid, lalu beliau berkata:
Sebenarnya aku berwuduk kerana beberapa potong keju yang telah aku
makan kerana aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: Hendaklah kamu
berwuduk setelah memakan makanan yang dimasak
Imam al-Tirmizi menyebutkan dalam bab ini terdapat beberapa hadist
yang diriwayatkan daripada Ummu Habibah, Ummu Salamah, Zaid bin
Thabit, Abu Talha, Abu Ayyub dan Abu Musa. Sebagian ulama berpendapat
whudu dimestikan apabila memakan makanan yang telah dimasak.
Menurut al-Hazimi, antara ulama yang berpandangan demikian ialah
Ibn Umar, Talhah, Anas bin Malik, Abu Musa, `Aishah, Zaid bin Thabit, Abu
Hurairah, Abu `Izzah al-Hazali, Umar bin Abdul Aziz, Abu Mijlaz, Abu
Qilabah, Yahya bin Ya`mar, Hasan al-Basri dan al-Zuhri. Tetapi kebanyakan
23

ahli ilmu dan para fuqaha berpendapat tidak perlu berwuduk kerana memakan
makanan yang dimasak. Mereka menganggap itu adalah perkara yang terakhir
yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w
.

1. Hadist-hadist yang menjadi hujah mereka ialah:
Artinya:Dari Ibn Abbas: Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah
memakan kaki kambing yang hadapan, kemudian sholat tanpa mengambil
wuduk.


2. Hadist `Amr bin Umayyah al-Dhamri:
Artinya:Bahwa dia melihat Rasulullah s.a.w. memotong kaki kambing
yang hadapan yang dimakannya, kemudian sholat tanpa mengambil
wuduk.
3. Hadist Maimunah, isteri Rasulullah s.a.w.:
Artinya:Dari Maimunah, isteri Rasulullah s.a.w. katanya:
Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah memakan kaki kambing yang
dihadapanya dekat dengan beliau, kemudian sholat tanpa mengambil
wuduk.




24










BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ilmu nasikh dan mansukh hadits adalah ilmu pengetahuan yang membahas
tentang hadits yang datang terkemudian sebagai penghapus terhadap ketentuan
hukum yang berlawanan dengan kandungan hadits yang datang lebih dahulu.
Ilmu nasikh dan mansukh pada dasarnya sudah ada sejak periode hadits
pada awal abad pertama, akan tetapi belum muncul dalam bentuk ilmu yang
berdiri sendiri.
Ayat al-Quran (QS. al-Baqarah : 106) tentang konsep Nasikh, mendapat
berbagai kontraversi. Hal ini menuntut kita untuk lebih hati-hati dalam melakukan
seleksi riwayah yang berkenaan dengan konsep ini. Lihatlah misalnya, riwayat
yang disampaikan oleh Aisyah tentang menyusukan sepuluh kali atau lima kali
25

sebagai bagian dari al-Quran. Dan juga Umar yang melaporkan sendiri tentang
ayat-ayat rajam. Kedua laporan ini, hanya di riwayatkan oleh perorangan.
Sementara sebuah riwayat yang shahih, perlu dukungan dari laporan-laporan
shahabat lain.
Syarat-Syarat Nasakh
1) Adanya mansukh (yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum yang dihapus
itu adalah berupa hukum syara yang bersifat amali, tidak terikat atau dibatasi
dengan waktu tertentu.
2) Adanya mansukh bih (yang digunakan untuk menghapus) dengan syarat
datangnya dari syari (Rasulullah saw).
3) Adanya nasikh (yang berhak menghapus), dalam kaitan ini yaitu Rasulullah
saw.
4) Adanya mansukh anhu (arah hukum yang dihapus itu adalah orang-orang
yang sudah akil baligh atau mukallaf). Karena yang menjadi sasaran hukum
yang menghapus atau yang dihapus itu adalah tertuju pada mereka.
SARAN
Mengingat pentingnya pemahaman mengenai ilmu-ilmu Hadits dan
kurang mendalamnya pengetahuan mengenai Hadits, tim penyusun merasa perlu
ada suatu kegiatan/metode pengajaran yang bisa merangsang minat untuk belajar
lebih dalam mengenai Ilmu-Ilmu Hadits khususnya tentang hadist-hadist nasikh
wa mansukh tersebut. Kami disini menyadari masih banyak kekurangan dalam
26

makalah ini, oleh karena itu kritik membangun dari para pembaca sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan revisi penulisan selanjutnya.







DAFTAR PUSTAKA

Agus Solahuddin Dan Agus Suyadi, 2009, Ulumul Hadits Bandung : Pustaka
Setia
Fachtur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, 1974, Bandung: PT.Al-Maarif
Http://Ats-Tsiqah.Blogspot.Com/2011/11/Ilmu-Nasikh-Wa-Mansukh.Html
Manna Al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits Cet, 2005, 1 Jakarta: Pustaka Al-
Kausar
Musthafa Muhammad Sulaiman, Al-Nasikh Fi Al-Quran Al-Karim, 1991, Kairo :
Maktabah Al-Amanah.
Mukhtar Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, 1986, Bandung : Al-
Maarif.

Anda mungkin juga menyukai