Anda di halaman 1dari 3

Urgensi nasikh dan mansukh

Pada zaman sekarang, banyak sekali orang-orang yang berani berfatwa atau menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an dan memahami Hadits-hadits Nabi SAW tanpa menguasai ilmu-ilmu
yang menjadi dasar untuk melakukan hal tersebut. Padahal, para sahabat Nabi SAW, Tabi’in
dan para ulama telah mewasiatkan untuk mempelajari semua aspek yang menjadi dasar untuk
memahami ilmu-ilmu syariat sebelum memutuskan dan mengemukakan suatu hukum.
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa para sahabat Nabi SAW adalah orang-orang yang
sangat mengenal dan memahami Al-Qur’an hingga proses diturunkannya, tetapi tidak ada
seorangpun dari mereka yang berani mengemukakan sesuatu hukum dan mengatakan bahwa
ini halal dan ini haram, disebabkan takut akan terjatuh dalam perbuatan dosa dan takut akan
menghasilkan perubahan pada sebagian hukum yang belum diketahui dan belum didengar
sebelumnya.

Maka dari itu, seseorang tidak boleh berfatwa sebelum mengusai berbagai bidang ilmu Al-
Qur’an dan Hadits. Di dalam ilmu hadits misalnya, ada ilmu-ilmu yang harus dikuasai,
seperti ilmu gharib al-hadits, ilmu asbab al-wurud al-hadits, I’lal al-hadits, ilmu mukhtaliif al-
hadits, ilmu nasikh wa al-mansukh al-hadits yang sangat penting dan harus dikuasai oleh
seorang ahli hadist. Secara spesifik, dalam tulisan ini akan membahas mengenai ilmu naskh
wa al-mansukh al-hadits

Kata nasikh merupakan bentuk isim fa’il dan mansukh merupakan bentuk isim maf’ul yang
berasal dari masdar nasakha. Secara etimologi, nasikh mempunyai beberapa pengertian, yaitu
penghilangan/penghapusan (izaalah), penggantian (tabdil), pengubahan (tahwil), dan
pemindahan (naql).[1] Sedangkan menurut terminologi, para ulama mendefinisikan naskh
dengan redaksi yang sedikit berbeda, namun dalam pengertian sama, yaitu

‫رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي‬

“Mengangkat/menghapus hukum syara dengan khitab syara yang lain“, Atau dengan kalimat

‫رفع الحكم بالدليل الشرعي‬


“Menghapuskan hukum syara dengan dalil syara yang lain”.[2] Terminologi
“menghapuskan” dalam definisi tersebut adalah terputusnya hukum yang dihapus dari
seorang mukallaf dan bukan terhapusnya substansi hukum itu sendiri.[3]

Ilmu nasikh wa al-mansukh adalah salah satu ilmu untuk menyempurnakan jalan ijtihad.
Diantara faidah-faidah mengetahui riwayat, ialah mengetahui nasikh dan mansukh. Sungguh
suatu kemusykilan besar yang dihadapi para mujtahid ialah mengistinbatkan hukum dari
siratan-siratan nash dengan tidak mengetahui nasikh mansukh. Para Sahabat sangat
memperhatikan masalah nasikh dan mansukh ini. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib
bahwa beliau melalui seorang qadhi yang sedang memutuskan suatu hukum, dan bertanya
kepadanya

‫ ال‬: ‫أتعرف الناسخ و المنسوخ ؟ قال‬

“Apakah engkau mengethui al-nasikh dan al-mansukh”, Qadhi itu menjawab “tidak”

Al Hazimi berkata: mendengar hal itu Sayyidina Ali menjawab “engkau binasa dan engkau
membinasakan pula orang lain”[4] Sangatlah penting untuk mengetahui naskh mansukh bagi
mereka yang membahas hukum-hukum syariat, karena tidaklah mungkin
seorang qadhi yang mengistinbatkan hukum dari dalil tanpa mengetahui dalil-dalil yang
nasikh dan yang mansukh. Selain itu, mengetahui nasikh dan mansukh merupakan suatu
keharusan bagi seseorang yang ingin mengkaji hukum-hukum syariat, karena tidak mungkin
dapat menyimpulkan suatu hukum tanpa mengetahui dalil-dalil nasikh dan mansukh. Oleh
sebab itu para ulama sangat memperhatikan ilmu tersebut dan menganggapnya sebagi ilmu
yang sangat penting dalam bidang ilmu hadits.

Hikmah adanya ketentuan nasikh dan mansukh, yaitu memelihara kepentingan umat,
perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan
perkembangan kondisi umat manusia, cobaan dan ujian bagi seorang mukallaf untuk
mengikutinya atau tidak, dan menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat.

Seperti, hukum ziarah kubur

‫عن ابن عباس قال لعن رسـول هلال زوارات القـبور وْالـتخذين علـيها ْالساجد والسرج‬
Artinya, dari Ibnu ‘Abbas berkata, “Rasulullah Shallalhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda Allah
telah mengutuk para peziarah kubur dan orang-orang yang membangun masjid-masjid di
atasnya serta menaruh lampu padanya,” (HR.Tirmidzi). Ketika mengomentari hadits ini
sebagian ulama mengatakan hadits ini telah mansukh dengan hadits yang lain, sebagaimana
yang dikemukakan oleh Imam Ibnu Syahin dalam kitab Nasikh al-Hadits wa
Mansukhuhu ketika menyebutkan hadits ini. Sedangkan hadits yang menasikh-nya adalah
hadits berikut

‫ فإن في زيارتها تذكرة‬،‫كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها‬:ُ ‫عن ابن بريدة عن ابيه قال قال رسول‬

Artinya, dari Ibnu Buraidah, dari Bapaknya, Beliau berkata, “Rasulullah bersabda: dahulu
aku pernah melarang kalian berziarah kubur, tapi sekarang berziarahlah, karena
menziarahinya mengingatkan (pada kematian),” (HR. Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi).
Imam Ibnu Syahin berkata “Hadits yang pertama derajatnya shahih dan hadits yang kedua
ini juga shahih, hanya saja hadits yang kedua berstatus sebagai penasikh hadits pertama,”[5]

Misi utama kedatangan syariat ialah mereformasi atau memperbaiki kondisi umat manusia dan
mewujudkan kemaslahatan. Kemaslahatan ini tentu sesuai dengan tuntutan sebab-sebab tertentu. Ilmu
Nasikh wa al-Mansukh sudah ada sejak periode Hadits pada awal abad pertama, akan tetapi belum
mucul dalam bentuk ilmu yang berdiri sendiri. Mengetahui Ilmu Nasikh wa al-Mansukh termasuk
kewajiban penting bagi seseorang yang memperdalam ilmu syariat. Karena seorang Ahli hadist tidak
akan dapat memetik hukum dari dalil-dalil nash, tanpa mengetahui dalil-dalil nash yang
sudah dinasikh dan dalil-dalil yang menasakhnya.

Anda mungkin juga menyukai