Anda di halaman 1dari 12

Menyelaraskan Pikir dan Dzikir

 Beranda al-Qur'an Hadis Fiqih Tasawuf Pemikiran Pendidikan Perkuliahan ▼
MINGGU, 11 FEBRUARI 2018

Taqlid, Ittiba', Talfiq, dan Ijtihad dalam Ushuk Fikih


(PAI Kelas C Semester Genap 2017/2018)

TAKLID, ITTIBA’ TALFIQ DAN IJTIHAD DALAM USHUL FIQIH

Mu’alifah Yuni Rahmawati, Eva Afrivina, Riza Fahma Yofi Fadila.

Mahasiswa PAI UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

PAI C 2018

mualifahyuni@gmail.com

Abstract

Ijtihad is the attempt of a person of fuqaha or mujtahid to find solutions to problems that were not previously
present in the Qur'an and Hadith, but still based on Qur'an and Hadith. Differences in the ijtihad of a jurist can
give the legal difference held. For someone who does not have ijtihad ability then it is advisable to do taqlid,
ittiba ', or talfiq. Taqlid is to follow or take a law without knowing the truth of the law. Ittiba 'is following a law
which already knows the truth of the source of the law. And talfiq is following a law that comes from some
madhhab. Talfiq is also a term for people who in following the law not only take from one of the mazhab, but
from some mazhab.

Abstrak
Ijtihad merupakan usaha seseorang ahli fiqih atau mujtahid untuk menemukan solusi dalam permasalahan
yang sebelumnya tidak ada di dalam Al- Qur’an dan Hadits, tetapi tetap berlandaskan Qur’an dan Hadits.
Perbedaan dalam ber ijtihad seorang fuqaha dapat memberikan perbedaan hukum yang dianut. Bagi
seseorang yang tidak memiliki kemampuan ber ijtihad maka dianjurkan untuk melakukan taqlid, ittiba’, atau
talfiq. Taqlid adalah mengikuti atau mengambil suatu hukum tanpa mengetahui kebenaran hukum tersebut.
Ittiba’ adalah mengikuti suatu hukum yang mana sudah mengetahui kebenaran sumber hukum tersebut. Dan
talfiq adalah mengikuti suatu hukum yang berasal dari beberapa madzhab. Talfiq juga merupakan sebutan
untuk orang yang dalam mengikuti hukum tidak hanya mengambil dari salah satu mazhab, tetapi dari
beberapa mazhab. 

Keywords :Taqlid,Ittiba’, Talfiq, Ijtihad

A.      Pendahuluan

Ijtihad merupakan bidang keilmuan yang membahas tentang problematika zaman yang tidak
ada dalam Al- Qur’an dan Hadits. Keilmuan ini berfungsi sebagai rekomendasi solusi problem yang
tengah berkembang di masyarakat. Dan setiap ijtihad antara satu fuqaha dengan fuqaha yang lain
berbeda pendapat. Sehingga banyak lahir ilmu – ilmu fiqih dalam sejarah dari zaman setelah
Rasulullah saw wafat hingga pertengahan ke 4 H.

Setelah pertengahan ke 4 H, kegiatan ber ijtihad mengalami perkembangan tidak hanya untuk
masalah agama tetapi digunakan juga dalam hal politik dan kekuasaan, sehingga hal tersebut
menimbulkan ijtihad dilakukan hanya semata untuk perantara menyembunyikan kedok kebebasan
syari’at.

Melihat kondisi inilah maka para ulama mengumumkan untuk menutup pintu ijtihad, untuk
menghindari penyalahgunaan penggunaan ijtihad yang seharusnya. Dari peristiwa ini timbul
stratifikasi untuk para mujtahid (orang yang boleh berijtihad), yaitu: mujtahid mutlak, mujtahid
masa’il, mujtahid madzhab, dan datang muqallid (orang yang bertaqlid).

Taklid adalah perbuatan seseorang yang mengikuti sebuah hukum tanpa mengetahui kebenaran
hukum tersebut. Karena timbul banyak kontroversi mengenai taqlid. Maka disepakati taqlid tidak
diperbolehkan oleh generasi salaf kalangan nabi, tabi’in, para imam mujtahid, dan para tabi’it. Tetapi
setelah perkembangan adanya masa mazhab-mazhab jadi diperbolehkan untuk bertaqlid. Lebih dari
taqlid lebih dianjurkan untuk melakukan ittiba’ yaitu mengikuti hukum atau fatwa dengan
mengetahui kebenaran dari fatwa atau hukum tersebut.

B.       Taklid

1.        Pengertian

Secara etimologi, kata "taqlid" berasal dari masdar "qallada" yang memiliki makna kalung yang
dipasangkan kepada orang lain tanpa disadari orang yang bersangkutan itu sendiri.[1]

Sedangkan terjemahan secara terminologi, terdapat beberapa istilah mengenai taqlid[2], antara


lain:

a)    Sebuah perilaku yang mengikuti orang lain baik dari segi lisan maupun perbuatannya tanpa
keraguan sedikitpun dengan tidak adanya penelusuran lebih lanjut terhadap dalilnya terlebih dahulu.
b)   Membenarkan sebuah gagasan orang lain secara bulat tanpa disaring menggunakan dalil-dalilnya
dan tidak memafhumi kapasitas dari dalil-dalil tersebut.

c)    Mengamalkan gagasan orang lain tanpa memahami dasar dalilnya.

           

            Serasi dengan beberapa pengertian taqlid  yang telah dijabarkan diatas, terdapat hal-hal yang
tidak dapat digolongkan ke dalam taqlid[3], antara lain:

a)    Berbuat sesuatu yang dilandaskan pada al-Qur'an dan al-Hadits.

b)   Berbuat sesuatu yang dilandaskan pada ijma'.

c)    Vonis seorang hakim atas suatu perkara dengan adanya saksi yang adil.

            Pendapat para ulama Ushul mengenai taqlid[4]adalah "menerima sebuah gagasan seseorang


tanpa mengetahui darimana asal muasalnya ataupun landasan dari gagasan seseorang tersebut".
Sedangkan para ulama lain seperti al-Ghazali, asy-Syaukani dan beberapa ulama lainnya
mengartikan taqlid sendiri juga memiliki inti dan maksud yang tidak berbeda dengan yang
disampaikan oleh para ulama Ushul tadi.

           

Muhammad Rasyid Ridla berpendapat mengenai definisi taqlid  yang terdapat dalam Tafsir al-
Manar[5], berikut perkataannya yaitu: "mengamalkan gagasan seseorang yang dipandang memiliki
integritas tinggi mengenai hukum agama Islam tanpa menelusuri lebih dulu kebenarannya,
kebaikannya serta manfaat atau tidaknya dari gagasan hukum yang disampaikan orang tersebut".

Mengenai hal ini, Allah SWT berfirman:

‫اسَألُوا َأهْ ل َ ال ِّذ ْك ِر ِإنْ ُك ْن ُت ْم اَل َت ْع َل ُمون‬


ْ ‫ َف‬...
"...maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak
mengetahuinya..."(Q.S Al-Anbiya':7).

           

Dari sekian banyaknya definisi dan penjelasan diatas maka dapat ditarik sebuah kesimpulan
mengenai pengertian taqlid yaitu adalah suatu perbuatan atau perilaku untuk mengikuti pendapat
ataupun gagasan seseorang secara mentah-mentah tanpa keraguan sedikitpun dan tidak adanya
penelusuran terlebih dahulu akan kredibilitas maupun kualitas gagasan tersebut dari segi dalil-dalil
landasan yang mengikutinya.

2.        Hukum Bertaqlid
Sejalan dengan pembahasan yang sebagaimana telah disinggung di awal tadi, seseorang yang
belum memiliki predikat posisi mujtahid,  diharuskan untuk bermakmum kepada salah satu ulama
yang telah memiliki predikat sebagai mujtahid muthlaq.  Para ulama yang telah menyandang
predikat tersebut antara lain adalah Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i dan Imam Hanbali.[6]

Sebagian dari ulama ushul fiqih berpendapat bahwa sebagian besar telah bermufakat
bahwasanya tidak ada lagi seorangpun yang telah berhasil menggapai predikat sebagai mujtahid
muthlaq tersebut. "Seorang yang menyandang predikat sebagai mujtahid
muthlaq  ataupun mujtahid mustaqil sudah tidak dapat ditemukan kembali semenjak usainya
periode Imam Syafi'i”, menurut Ibnu Hajar.[7]

Terdapat firman Allah yang mengharuskan seseorang untuk bertaqlid kepada


seorang mujtahid[8],  berikut firman Allah dalam al-Qur'an:

‫ول َوِإ َل ٰى ُأولِي اَأْل ْم ِر ِم ْن ُه ْم َل َعلِ َم ُه الَّذِينَ َي ْس َت ْن ِب ُطو َن ُه‬


ِ ‫س‬ َّ ‫ َو َل ْو َردُّوهُ ِإ َلى‬...
ُ ‫الر‬
"...dan kalaulah mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan mampu) mengetahuinya dari mereka
(Rasul dan Ulil Amri)..."  (Q.S An-Nisa' : 83).

Sementara itu hanyalah seseorang yang memiliki kompetensi dalam berijtihad saja yang
diperbolehkan melakukan istinbath  (menetapkan kesimpulan).

3.        Tingkatan Taqlid atau Muqallid

Taqlid maupun Muqallid disini juga memiliki beberapa tingkatan[9], berikut penjabarannya
antara lain :

a)    Bertaqlid keseluruhan (taqlid al-mahdli)

Sebagaimana yang mayoritas orang awam lakukan, mengenai seluruh hukum Islam, mereka
bertaqlid kepada seorang atau imam mujtahid.

b)   Bertaqlid dalam beberapa bidang hukum saja

     Sebagaimana para ulama yang memiliki kompetensi untuk berijtihad dalam bidang madzhab, bidang
fatwa dan bidang tarjih. Mereka didudukkan sebagai seorang mujtahid hanya dalam beberapa segi
bidang saja yang dikuasainya, selain beberapa bidang tersebut para ulama tadi kembali didudukkan
hanya sebagai muqallid saja.

c)    Bertaqlid dalam perkara-perkara istinbath

     Sebagaimana banyak dilakukan oleh para mujtahid muntasib.

4.        Syarat Taqlid

Seseorang yang akan bertaqlid kepada suatu madzhab, diwajibkan untuk memenuhi beberapa
ketentuan sebagai berikut:[10]
a)    Diwajibkan memahami secara keseluruhan berbagai ketentuan imamnya dalam perkara yang diikuti,
seperti halnya syarat dan kewajibannya.

b)   Contoh: Jika akan mengikuti madzhab Hanafi dalam perkara saling bersentuhannya kulit dengan
lawan jenis yang bukan mahramnya tidak menghilangkan suatu wudhu', maka dia juga harus
mengikuti berbagai ketentuan yang diwajibkan oleh Imam Hanafi dalam perkara wudhu', seperti
diusapnya kepala sampai ubun-ubun dan lain sebagainya.

c)    Tidak bertaqlid seusai dilakukannya perkara yang akan ditaqlidkan tersebut.

d)   Contoh: Umar merupakan seorang muslim yang menganut madzhab Syafi'i. Pada suatu siang di
bulan Ramadhan, Umar teringat bahwa pada malam hari sebelumnya ia tidak mengucapkan niat
puasa, padahal dalam madzhab Syafi'i diwajibkan untuk menunaikan niat puasa pada malam
harinya. Kemudian pada siang hari tersebut, Umar memutuskan untuk berpindah haluan ke
madzhab Maliki yang notabene tidak mewajibkan berniat puasa pada malam harinya. Bertaqlid
semacam ini memiliki hukum khilaf  (boleh dilakukan apabila tidak ada suatu kesengajaan dan belum
mengetahui hukum madzhab yang dianutnya).

e)    Tidak diperkenankan memilih pendapat yang mudah-mudah saja. Maksudnya, orang yang akan
bertaqlid tidak diperbolehkan memilih pendapat yang mudah-mudah saja dari berbagai madzhab.

f)    Bertaqlid haruslah kepada seorang imam yang telah menyandang predikat sebagai mujtahid
muthlaq, seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i dan Imam Hanbali. Diperolehkan juga
bertaqlid kepada seorang imam yang menyandang predikat sebagai mujtahid muntasib (mujtahid
yang masih bertautan dengan sebuah madzhab tertentu), seperti Imam Rafi'i, Nawawi, Ramli dan
Ibnu Hajar, tetapi dikecualikan jika pendapat mereka sangatlah dhaif sekali.

g)    Tidak diperkenankan menggabungkan dua pendapat imam dalam satu persoalan hukum (qadhiyah),
yang akan berujung tidak disahkannya oleh masing-masing imam.

h)   Contoh: Dalam berwudhu, Khalid hanya mengusap sebagian kepalanya saja layaknya hukum yang
terdapat dalam Imam Syafii. Sejalan kemudian kulit si Khalid bersentuhan dengan seseorang lawan
jenis yang bukan mahramnya tanpa syahwat, Khalid merasa wudhunya tidaklah batal karena dalam
hal ini ia mengikuti Imam Maliki. Setelah itu Khalid tetap melaksanakan ibadah shalat. Taqlid
semacam ini tidaklah dibenarkan, karena dalam satu persoalan hukum yang sama yaitu shalat, si
Khalid telah melanggar hukum persentuhan kulit berdasarkan madzhab Imam Syafi'i, begitu juga dia
juga melanggar hukum wudhu yang ditetapkan Imam Maliki yang mengharuskan menguap seluruh
bagian rambut. Jadi, menurut pandangan kedua madzhab, shalat yang ditunaikan oleh Khalid
tidaklah sah.

C.      ITTIBA’

1.    Pengertian Ittiba’
Dalam buku Ilmu Ushul Fiqh 1 & 2 dikatakan bahwa  “Kata “Ittiba’”  berasal dari bahasa Arab,
yakni dari kata kerja atau fi’il ”Ittaba’”,  yang artinya adalah mengikut atau menurun.”[11]

Sedangkan Ittiba’  menurut istilah adalah :

. ُ‫ع قَبُوْ ُل قَوْ ِل ْالقَاِئ ِل َوَأ ْنتَ تَ ْعلَ ُم ُح َّجتَه‬


ُ ‫اَِأْل ْتبَا‬

Yang artinya adalah “Menerima perkataan orang lain dan (kamu) mengetahui dari mana sumber
alasan tersebut.”[12]

Jadi, Ittiba’  berdasarkan definisi bahasa dan istilah adalah diterimanya fatwa atau perkataan
oleh seseorang yang mana perkataan tersebut dapat dipertanggung jawabkan karena sesuai dengan
sumber yang jelas yakni dari Al – Qur’an , Al Sunnah, serta hasil ijtihad ulama – ulama.[13]

Muttabi’  adalah seseorang yang menerima perkataan atau fatwa oleh


seseorang Muttaba’ bersumber dari Al Qur’an, Sunnah dan Ijtihad para ulama.
Sedangkan Muttaba’   adalah orang yang memberikan fatwa atau perkataan kepada Muttabi’.  Dan
seorang Muttabi’  harus mengetahui bahasa arab atau dalilnya tetapi tidak harus tahu mengetahui
sah atau tidaknya sebuah fatwa atau hadits dikarenakan seorang Muttaba’  sudah mengatakan sah
maka sah lah fatwa tersebut  dan seorang  Muttaba’  harus bertanggung jawab atas perkataan nya
tersebut dikarenakan berdosalah dia jika iya tengah berdusta atau mengesahkan sesuatu hadits
tanpa mengecek kebenaran hadits tersebut. Tetapi hal tersebut tidak berlaku untuk Muttabi’  maka
jika seorang   Muttaba’  berdusta seorang Muttabi’  tidak berdosa.[14]

Setiap muslim wajib hukumnya ber ittiba’  karena Allah SWT sudah memerintahkan dalam
firman Nya:“Ikuti apa yang dirutunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya”(Al-A’raf: 3)

Dari ayat diatas Allah SWT telah memerintahkan bahwa seorang hamba harus mengikuti
perintahNya. Dan perintah – perintah tersebut merupakan wajib bagi setiap muslim.

Dimulainya munculnya Ittiba’  sejak zaman nabi, dan seterusnya hingga sekarang. Dijelaskan
dalam Qs. Ali ‘Imran: 31 bahwa dalam firman Allah tersebut telah diperintahkan untuk
ber ittiba’  kepada Rasulullah. Dikarenakan beliau (Rasulullah) mempunyai banyak kemuliaan yang
lebih utama dari Nabi sebelum – sebelumnya, maka beliau yang dapat dijadikan suri tauladan serta
diikuti dan dipegang teguh ajarannya dan mengamalkan apa yang telah diajarkan dari Allah
kepadanya.[15]

Menurut Ibn Taimiyyah pilar kebahagiaan bagi setiap Muslim bagi kehidupan dunia dan akhirat
kelak adalah ber ittiba’  kepada Rasulullah. Ibn Taimiyyah berkata “Bahwa pilar kebahagiaan
(sa’adah) dan hidayah adalah dengan mengikuti Rasulullah. Sebaliknya, pangkal kesesatan dan
kesengsaraan dikarenakan menyelisihinya. Sesungguhnya setiap kebaikan di penjuru alam semesta
ini, baik yang sifatnya umum maupun khusus, sumbernya dari diutusnya Rasul. Begitu pula dengan
semua keburukan yang menimpa umat manusia di alam semesta, adalah karena penyimpangan
terhadap petunjuk Rasul dan tidak mengetahui ajarannya. Maka kebahagiaan dalam kehidupan
duniawi dan ukhrawi adalah dikarenakan ittiba’ kepada risalahnya.”

Risalah kenabian Muhammad sangat dibutuhkan oleh seluruh makhluk bahkan mereka sangat
membutuhkan Rasulullah melebihi apapunn yang dibutuhkan mereka untuk kebutuhan di dunia.
Nabi Muhammad diutus dikarenakan untuk kekuatan bagi alam semesta, dan menjadi nur   bagi
kehidupan.[16]
‘Abd al-Rahman ibn Nashir al-Sa’di mennggambarkan dalam Taisir al – Karim fi Tafsir Kalam al-
Mannan  bahwa ittiba’  merupakan sebagai:

            ‫ فأنه هو الهدى والرحمة – عل ًما وعمال وحاال‬,‫أنزل هللا على رسوله – وهو للبلغ عن هللا وحيه الذي اهتدى يه الخلق‬  ‫اتباع ما‬
‫ واجتني ما تهي عنه‬, ‫ فأن من اتبعه اتبع ما أمر يه‬,‫ باالعتقادات واألقوال واألعمال‬,‫ودعوة أليهو‬.

“Mengikuti syariat yang diwahyukan Allah SWT kepada RasulNya[17]  – karena ia adalah penyampai
(muballigh) wahyu Allah yang dengannya umat manusia mampu menggapai jalan hidayah[18], dan
syariat aau wahyu tersebut merupakan sumber petunjuk dan rahmat[19]  – dalam seluruh aspek
ilmu , perbuatan, karakter diri dan syariat atau wahyu tersebut merupakan sumber petunjuk dan
rahmat – dalam seluruh aspek ilmu, perbuatan, karakter diri dan dalam seruan dakwahnya[20], baik
dalam akidah, ucapan maupun amal perbuatan[21], maka mengikutinya adalah dengan
mengimplementasikan perintahnya dan meninggalkan larangannya[22].”

Jadi, menurut tafsiran dari definisi ittiba’, ittiba’  merupakan sebuah usaha dan upaya yang
optimal seklaigus maksimal untuk menganut dan meniru Rasulullah sebagai suri tauladan dalam
agama. Dan karena pengajaran dakwah yang dilakukan Rasulullah telah turun temurun digunakan
untuk generasi berikutnya dan seterusnya, maka ittiba’   menganut apa – apa (perbuatan, ucapan,
ajaran) saja yang telah disampaikan Rasul dan berdasarkan dalil-dalil yang benar yaitu Al – Qu’an dan
Al- Hadits.[23]

Dan adapun komponen-komponen yang menjadi makna pokok dalam al-ittiba’ di Islam, yaitu :

1.    Usaha untuk dapat mengikuti ataupun meneladani.

2.    Adanya pihak yang diikuti untuk dijadikan panutan, yaitu Rasulullah.

3.    Hal yang diikuti merupakan perbuatan, ucapan, akidah, dan perbuatan lain yang dilakukan tetapi
sudah ditinggalkan.

4.    Berdasarkan kepada sumber yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, yaitu al – Qur’an,
Hadits Shahih.

5.    Ketika ber ittiba’  mengikuti berdasarkan niat atau kemauan sendiri bukan karena paksaan atau
kebencian dalam hati dan tetap mengamalkan apa yang telah diikuti.[24]

D.      TALFIQ

Asal kata dari talfiq  adalah ‫لفّق‬ yang berarti mempertemukan menjadi satu.[25]Sedangkan


makna talfiq  dalam ilmu ushul fiqih yaitu:

‫ف بَ ْينَ َم ْذهَبَي ِْن اَ ْكثَ َر‬


ٍ َّ‫اَ ْل َع َم ُل بِ ُح ْك ٍم ُمَؤ ل‬
“Mengamalkan satu hukum yang terdiri dari dua madzhab atau lebih” [26]

Dari penjelasan di atas, maka bisa dikatakan jika talfiq  itu memiliki arti yaitu mencampurkan
pendapat dua mujahid atau lebih akan satu masalah yang sama atapun berbeda. Misalnya, dalam
masalah persyaratan sahnya nikah. Kita ambil contoh hukum diucapkannya mahar dalam akad
mengikuti madzhab tertentu dan untuk hukum kehadiran wali nikah mengikuti madzhab yang
lainnya.[27]

Masalah talfiq  hingga sekarang masih sering menjadi perbincangan terutama bagi madzhab
yang memperbolehkan seseorang untuk ber-talfiq.  Meskipun demikian adanya, para mujtahid
menganjurkan agar kita bisa menghindari taqlid  tapi menjalankan ittiba’,  dan ketika seseorang
sudah ber-ittiba’  tidak menutup kemungkinan dia akan ber-talfiq  dan hukum yang demikian ini
boleh menurut beberapa madzhab. Adapun lebih jelasnya mengenai perbedaan hukum dari
pada talfiq  adalah sebagai berikut:

1.    Hukum talfiq  yang pertama adalah tidak boleh. Artinya seseorang itu tidak boleh berpindah
madzhab dalam suatu masalah yang sama ataupun berbeda. Madzhab yang berpendapat demikian
adalah madzhab Syafi’i.

2.    Sedangkan madzhab Hanafi memiliki pendapat yang lebih ringan dari Syafi’i, yaitu memperbolehkan
ber-talfiq  dalam masalah yang berbeda. Misal, hal-hal yang membatalkan wudlu mengikuti madzhab
tertentu dan masalah tentang massa iddah wanita yang ditalak mengkuti madzhab tertentu.[28]

3.    Ada juga yang berpendapat jika ber-talfiq  itu boleh jika dimaksudkan untuk menghindari kesulitan
ajaran agama yang dianutnya. Atau dalam hal berjuang untuk kemaslahatan umum juga
diperbolehkan untuk ber-talfiq.

4.    Dan hukum ber-talfiq  juga bisa menjadi haram apabila seseorang itu melakukannya atas dasar ingin
melecehkan agama.[29]

E.       IJTIHAD

1.        Pengertian

Ijtihad secara bahasa berasal dari kata “jahada” ada dua bentuk yang berbeda kata masdar-
nya artinya :

a.    Jahdun (‫ )جهد‬yang bermakna keseriusan dan kesunggguhan sepenuh hati.

b.    Juhdun  (‫ )جهد‬yang bermakna kemampuan atau kesanggupan (yang didalamnya mengandung arti
sangat sulit, susah dan berat). [30]

Ijtihad menurut istilah ialah proses dan usaha yang sungguh-sungguh oleh seorang faqih atau ahli
agama dalam memeriksa dan menyelidiki Al-Quran dan As-sunnah untuk memperoleh kesangkaan
yang berat atau hukum hingga mencapai tingkat maksimal. [31]

2.        Syarat-syarat Mujtahid

Mujtahid adalah orang-orang yang melakukan ijtihad, harus memenuhi syarat berikut ini :

a.    Mengetahui dan memahami bahasa Arab

b.    Memahami Al-Quran dan Nasikh Mansukh

c.    Memahami tentang sunnah

d.   Mengetahui hal-hal yang di-Ijma’kan

e.    Memahami tentang qiyas

f.     Mengetahui maksut-maksut hukum

g.    Berhati bersih dan berniat lurus menurut sebagian ulama, hal ini untuk mempermudah pemecahan
dalam masalah. [32]
3.        Hukum Melakukan Ijtihad

Bagi orang yang sudah memiliki kemampuan dalam berijtihad maka berijtihad itu hukumnya
wajib. [33]  dikarenakan jumlahnya hukum Allah itu terbatas. Sedangkan permasalahan dalam
kehidupan ini bermacam-macam dan berkembang, maka perlu yang namanya ijtihad.

Dalil yang mewajibkan ijtihad yaitu Q.S. An-Nisa’ ayat 59 :

‫ ان كنتم تؤمنون با هللا واليوم االخر ذلك خير و احسن تأويال‬T‫فان تنا زعتم في شئ فردوه الى هللا والرسول‬
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-
Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian
yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Q.S. Al-Hasyr ayat 2 :

T‫ ياألي األبصار‬T‫فعتبروا‬
“Maka Ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang  yang mempunyai
pandangan.”

Hukum ijtihad untuk mujtahid tergantung keadaan tertentu, karena kedudukannya sebagai
seorang faqih pendapatnya diikuti dan di amalkan orang lain.

a.    Wajib ‘Ain

Seseorang akan dihukumi wajib ain dalam melakukan ijtihad apabila ia adalah satu-satunya seorang
faqih yang mampu melakukan ijtihad pada waktu itu. Dan apabila dia tidak mau melakukan
dikhawatirkan suatu permasalahan itu lepas dari hukum.

b.    Wajib Kifayah

Seseorang akan dihukumi wajib kifayah dalam melakukan ijtihad apabila dilingkungan tersebut dan
pada waktu itu ada beberapa orang yang mampu berijtihad.

c.    Sunnah

Seseorang akan dihukumi sunnah dalam berijtihad apabila permasalahan yang diajukan oleh
masyarakat belum terjadi dan dikhawatirkan akan terjadi di kemudian hari.

d.   Haram

Seseorang akan dihukumi haram dalam berijtihad apabila hukum itu sudah ditetapkan dengan jelas
dan sudah berlaku. Dan dia tidak memiliki ilmu tentang ijtihad.

e.    Mubah

Seseorang akan dihukumi mubah apabila sudah ada hukum namun sandaran hukumnya lemah.[34]

4.        Pembagian dan Macam-macam Ijtihad


Para ulama ushul fiqh telah membagi macam-macam ijtihad dari berbagai segi, berikut
pembagiannya :

a.    Dilihat dari segi kerja mujtahid terbagi menjadi dua macam yaitu :

1.      Ijitihad istinbati, yaitu berusaha untuk berijtihad dengan mengeluarkan hukum dari dalilnya dengan
cara menetapkan sendiri metodenya.

2.      Ijtihad tathbiqi, yaitu berusaha untuk berijtihad menggali dan menetapkan hukum dengan metode
yang sudah ditetapkan oleh generasi imam sebelumnya.[35]

b.    Dilihat dari segi penerapan metode yang telah diterapkan sebelumnya terbagi menjadi dua macam
yaitu:

1.      Tahkrij al-manath, yaitu menghubungkan hukum dengan hukum yang sudah ditetapkan mujtahid
sebelumnya.

2.      Ijtihad Tarjih, yaitu usaha memilih yang terkuat dengan membandingkan antara beberapa pendapat
ulama terdahulu kemudian menetapkan hukum.

5.        Kedudukan hasil Ijtihad

Hukum dari suatu permasalahan yang belum jelas dalilnya, baik yang ada di Al-Quran dan
Sunnah itulah yang akan mejadi kajian dari ijtihad itu atau yang disebut dengan zhanny.

Selain zhanny yang menjadi bahasa dalam ijtihad adalah sesuatu yang bersifat Qaht’i yaitu sesuatu
yang telah jelas dalilnya seperti kewajiban melaksanakan shalat,zakat, puasa dan lain sebagainya.

Secara logika hasil ijtihad itu tidak selalu benar, dan ketika hasilnya salah maka mujtahid itu
akan berdosa. Akan tetapi hal ini dipatahkan pendapatnya Al-Anbary dan Al- Jahiz. Beliau
mengatakan bahwa semua hasil ijtihad itu benar dan tidak ada dosa baginya.[36]

Di dalam ushul fiqih kedudukan ijtihad itu terbagi menjadi dua golongan, yaitu:

a.    Golongan I

Pendapat pertama mengatakan bahwa setiap hasil ijtihad itu benar karena itu hasil jawban dari Allah
dan ketika terjadi suatu perbedaan itu dikarenakan tingkat keilmuan dari seorang mujtahid.

b.    Golongan II

Golongan II mengatakan   bahwa hasil ijtihad yang benar itu hanya ada satu yaitu yang bedekatan
dengan ketetapan Allah. dan Allah hanya menetapkan hukum tertentu terhadap satu masalah.
[37] Para jumhur ulama termasuk Asy-Syafi’i berdalil dengan hadis :

)‫مسلم‬ ‫من اجتهد قاأصاب فله أجران ومن أخطأ فله أجر واحد (رواه البخرى و‬

“Siapa yang berijtihad dan ternyata benar, maka mendapat dua pahala, dan (orang yang berijtihad)
ternyata salah maka dapat satu pahala” (H.R. Buchari dan Muslim).

6.        Langkah-langkah dalam ijtihad


Seorang mujtahid bila menemui atau menghadapi suatu permasalahan  yang membutuhkan
jawaban hukum, maka perlu memperhatikan langkah-langkah berikut ini :

Pertama, berpedoman pada Al-Quran terlebih dahulu, mencari jawabannya di dalam Al-Quran,


apabila tidak ditemukan maka perlu mendalami dan mengamati dari segi umum dan khusus, mutlaq
dan muqayyadnya, dari segi nasakh mansukh. Bila tidak menemukan lagi harus mencari di balik yang
tersurat.

Kedua, berpedoman pada Sunnah nabi Muhammad, setelah mencari pada Al-Quran.

Ketiga, kemudia mencarinya pada ijma’. Keempat,  bila tidak ditemukan jawabannya pada ijma’
maka perlu mencarinya pada qiyas. Kelima, apabila sudah  mencarinya dengan menghubungkannya
pada Al-Quran, sunnah dan sudah berusaha semaksimal mungkin, maka perlu menggali dan
menetapkannya dengan cara melihat keluar nash Al-Quran dan sunnah dengan dalil-dalil yang
diyakini kebenarannya.[38]

F.        PENUTUP

Dari penjelasan di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa dalam mengatasi problematika
kehidupan yang semakin berkembang maka diperlukannya ijtihad untuk menemukan solusi dalam
permasalahan-permasalahan kehidupan. Dengan cara yang benar, berpedoman pada Al-Quran,
sunnah Nabi, ijma, dan juga qiyas.

Di dalam pengambilan keputusan untuk menemukan jawaban permasalahan maka perlu


menggunakan ilmu dan landasan yang tepat, oleh sebab itu dilarang berbuat taklid, semata-mata
ingin menetapkan suatu hukum, karena taklid itu tidak diperbolehkan. Jangan pula ikut-ikutan tanpa
mengetahui hukum yang pasti dan alasan hukum tersebut. Maka perlu hati-hati dalam berbuat
apalagi persoalan hukum agama.

Apabila dalam menjumpai permasalahan dalam kehidupan maka bolehlah ber-ittiba’ yang
kemudian tidak menutup kemungkinan akan terjadi perbuatan talfiq. Namun dalam hal ini tidak
lepas dengan yang namanya mengetahui dan memahami hukum yang pasti.

DAFTAR PUSTAKA

Al – Harrani. Majmu’ah al- Fatwa.vol 10.

A. Hassan. Ijma’, Qiyas, Mazhab, Taqlid.

Al-Zuhaili, Wahbah. 2006. Syama’il al-Musthafa.  Beirut: Dar al – Fikr.

Djalil,Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih (satu & dua).  Jakarta: Kencana.

Mudrik Al Farizi, "Ijtihad, taqlid dan talfiq". Vol. 8 No 1, 2014, hlm 6.

Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid. "Hukum Taqlid, Doa Iftitah dan Shalawat Khutbah Jum'at",Januari
2006.

Tim Penulis Buku Taklimiyah Pon.Pes Sidogiri. 2008. Fikih Kita di Masyarakat. Pasuruan: Pustaka Sidogiri
Pon.Pes Sidogiri.

Rifa’i,Mohammad. 1973. Ushul Fiqih.  Bandung: PT Alma’arif.

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqih 2.  Jakarta : Kencana, 2008.


Syarifuddin, Amir. 2010. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana.

Catatan:

1.      Similarity bagus, Cuma 4%.

2.      Jika mengambil referensi jurnal, harus dicantumkan lengkap termasuk nama jurnalnya.

3.      Penulisan gelar (Prof. Dr. Ustadz, dll) dalam tulisan ilmiah harus dihilangkan, meski dalam footnote
sekalipun.

4.      Ditunggu referensi Arabnya saat presentasi.

5.      Pendahuluan sudah baik, akan tetapi masih belum bisa mengantarkan pada materi pembahasan.

Anda mungkin juga menyukai