Tugas Mid
Tugas Mid
Artinya :
“Tasawuf adalah memelihara (menggunakan) waktu. (lalu) ia berkata : Seorang
hamba tidak akan menekuni (amalan tasawuf) tanpa aturan (tertentu),
(menganggap) tidak tepat (ibadahnya) tanpa tertuju kepada Tuhannya dan merasa
tidak berhubangan (dengan Tuhannya) tanpa menggunakan waktu (untuk
beribadah kepadaNya)”.
5) Noer Iskandari Al-Barsany, Tasawuf Tarelat2 para sufi ( Jakarta : PT Raja
Qrafindo Persada, 2001 ) hlm.4.
Telah sedemikian banyak para ahli (para sufi) yang memberikan definisi tentang
Tasawuf sesuai dengan pengalaman batinnya masing-masing. Dan karena
dominannya ungkapan batin (rasa) ini, maka jadi sangat beragam dan
keberagaman definisinya itu sulit ditemukan sebuah definisi yang menyeluruh
atau bahkan sulit ditangkap oleh rasio.
E. Akhlak dan Tasawuf Dalam Satu Kesatuan
1) Abudin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia ( Jakarta : PT Raja Qrafindo
Persada, 2013 ) hlm.16.
Hubungan antara ilmu akhlak dengan ilmu tasawuf lebih lenjut dapat kita ikuti
uraian yang diberikan Harun Nasution. Menurutnya ketiak mempelajari tasawuf
ternyata pula bahwa Al-Quran dan Al-Hadits mementingkan akhlak. Al-quran dan
Al-hadits menekankan nilai-nilai kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa
kesosialan, keadilan, tolong menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar,
baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian,
hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu dan berfikiran lurus. Nilai-nilai
serupa ini yang harus dimiliki oleh seorang muslim, dan dimasukan kedalam
dirinya dari semasa kecil.
2) Solihin, Akhlak Tasawuf ( Bandung : Nuansa, 2005 ) hlm.171.
Tasawuf dihubungkan dengan akhlak, maka seseorang menjadi ikhlas dalam
beramal dan berjuang semata-mata karena Allah, bukan karena maksud yang lain.
Hal-hal yang harus diamalkan manusia biasanya dijelaskan dalam ilmu akhlak,
termasuk persoalan kemasyarakatan dan jalan hidup yang harus ditempuh
manusia. Jelaslah bahwa akhlak adalah permulaan dari tasawuf dan tasawuf
adalah ujung dari akhlak.
3) Bachrun Rif’i, Filsafat Tasawuf ( Bandung : 2010 ) hlm.75.
Tasawuf Akhlak adalah tasawuf yang didasarkan pada teori-teori prilaku akhlak
atau budi pekerti, tasawuf ini lebih menekankan pada proses moral dalam
beribadah dan berprilaku , tidak banyak mengeluarkan pemikiran-pemikiran yang
filosofis, tetapi pada tindakan moral yang tidak menyimpang. Tasawuf ini bnyak
dikembangkan oleh ulama-ulama salaf yang senang menyendiri dan zikir.
4) Mah Yudin, Kuliah Akhlak Tasawuf ( Jakarta : Kalam Mulia, 1999 ) hlm. 156.
Hubungan akhlak dengan tasawuf sangat erat, dimana akhlak merupakan pangkal
tolak tasawu, sedangkan tasawuf merupakan batas akhir akhlak atau dengan kata
lain, Akhlak merupakan tujuan semntara akhlak karena tujuan akhirnya akhirat
(As-Sa’aadah) menurut ulama tasawuf sunniy atau menjadi manusia ideal (Al-
Insaanul Kaamil) menurut ulama Tasawuf Falsafiy.
5) Nasrul HS, Akhlak Tasawuf ( Ygyakarta : Aswaja Pressindo, 2015 ) hlm.123
Antara ilmu tasawuf dengan ilmu akhlak adalah suatu raingkaian keilmuan yang
saling membutuhkan. Dikatakan saling membutuhkan karena memang upaya-
upaya akhlaqiyah akan menjadi sempurna jika diikut sertakan upaya-upaya
sufistik yang memastikan manusia melakukan aktifitas akhlaktifitas tanpa pamrih
yang memang lambang dari akhlaktifitas itu sendiri. Prilaku tanpa pamrih ini pun
adalah juga sebagai lambang utama bagi kegiatan sufistik.
BAB II
AKHLAK ETIKA HAK dan KEWAJIBAN
HAK
B. Dasar-Dasar Tasawuf
1) Toriquddin, Sekularitas Tasawuf Membumikan Tasawuf Dalam Dunia Moderen, (
Malang : UIN, 2008 ) hlm.20-22.
Di antara ayat-ayat Al-Quran maupun hadist Rasulullah yang menjadi dasar ajaran
tasawuf adalah antara lain sebagai berikut :
َ َُّللا
ٌ ُغف
ور َر ِحي ٌم َّ َّللاَ َفاتَّبِعُونِي يُحْ بِ ْب ُك ُم
َّ َّللاُ َويَ ْغ ِف ْر لَ ُك ْم ذُنُوبَ ُك ْم ۗ َو َّ َقُ ْل إِ ْن ُك ْنت ُ ْم ت ُِح ُّبون
“Katakanlah : Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah maka ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. ( Q.S. Ali Imran : 31 )
)٤٢( س ِِّب ُحوهُ بُك َْرةً َوأَ ِصيال َّ يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ا ْذك ُُروا
ً َِّللاَ ِذك ًْرا َكث
َ ) َو٤١( يرا
“hai orang-orang yang berfirman, berdzikirlah (dengan menyebutkan nama)
Allah, dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya
diwaktu pagi dan petang” (Q.S. Al-Ahzab : 41-42)
َ ب فَأ َ ْينَ َما ت َُو ُّلوا فَث َ هم َوجْ هُ ه
َّللا َإنه ه
ََّللا ُ ق َوا ْل َم ْغ َر
ُ ّلِل ا ْل َمش َْر
َ َو َ ه
“timur dan barat adalah milik Allah, adalah milik Allah, emana saja kamu
berpaling disitu ada wajah Allah”. ( Q.S Al-Baqarah : 115 )
Selain ayat-ayat Al-Quran diatas, juga terdapat hadits-hadits Rasulullah, yang
mengajarkan umatnya agar selalu mendekatkan diri, mencintai, dan berdzikir
kepada Allah, diantaranya adalah :
من عرف نفسه فقد عرف ربه
“Barang siapa yang mengetahui dirinya, maka sungguh iya mengetahui
Tuhannya”.
رسول هللا صاى هللا عليه وسلم يقول هللا عز وجل ا نا عند صن عبدي: عن ابي هريرةرضى هللا عنده قال
بي وانا معه حين يذكو ني فان ذكرني في نفسه ذكرته في نفسي وان ذكرني في مالء ذكر ته في مالء خير
منه وان اقترب الي شبرا تقربت اليه ذرا عا وان اقتر ب الي ذ را عا اقتر ب اليه با عا وان اتا ني ما شيا
) اتيته هرولة (رواه مسلم
“Dari Abu Hurairah Ra. Belia berkata : “Rasulullah SAW bersabda : “Allah
yang Maha Mulia dan Maha Agung berfirman : “Aku menurut persangkaan
hamba-Ku kepada diri-Ku, Aku bersamanya dikala iya menyebut nama-Ku.
Apabila iya menyebut nama-Ku secara sirri (tidak keras), maka aku akan
menyebutnya secara sirri (tidak keras). Jika iya menyebut-Ku pada suatu
perkumpulan, maka aku akan menyebutnya pada perkumpulan yang lebih baik.
Jika ia mendekat pada-Ku sejengkal, maka aku akan mendekat padanya se-hasta,
jika ia mendekat pada-Ku sehasta, maka aku akan mendekat padanya satu
tombak. Dan jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan kaki, maka aku akan
datang padanya dengan bergegas”. (H.R. Muslim)
2) A. Bahrun Rif’i, Filsafat Tasawuf ( Bandung : CV. Pustaka Setia, 2010 ) hlm.44-
46.
Manusia adalah makhluk Allah yang sempurna yang diciptakan untuk menjadi
khlifah Allah dimuka bumi dengan tujuan semua beribadah kepada-Nya. Allah
SWT berfirman :
َ ْسانَ ِفي أَح
س ِن تَ ْق ِويم ِ ْ لَقَ ْد َخلَ ْقنَا
َ اْل ْن
Artinya :
“Sungguh, kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
(Q.S. At-Tin (95) : 4)
Selanjutnya Rasulullah SAW memberi tuntunan bagaimana proses ibadah itu
hendaknya diwujudkan :
Belum di tulis arabnya
Artinya :
“Dari Abu Hurairah Ra, ia berkata, “suatu hari Nabi SAW, tampat ditengah
manusia, lalu seorang laki-laki mendatanginya dan bertanya, ‘apa yang disebut
dengan iman itu “Rasul menjawab, ‘iman ialah engakau percaya kepada Allah,
Malaikat-Nya, berteman dengan-Nya, Rasul-Nya yang bangkit dari kubur (hari
kiamat) laki-laki itu bertanya lagi, ‘Apa yang disebut dengan islam itu ? Rasul
menjawab : islam adalah engakau menyebut Allah dan jangan menyekutukan-
Nya, dirikanlah shalat, tunaikan zakat fardhu, dan berpuasa pada bulan
ramadhan, ‘lelaki itu bertanya lagi, ‘apa yang disebut dengan ihsan itu ? Rasul
menjawab, ‘Hendaklah engkau beribadah atau menyembah Allah seolah-olah
engkau melihat Allah, lalu jika engakau tidak melihat-Nya ketahuilah
sesungguhnya Dia melihatmu.lelaki itu bertanya lagi, ‘Kapan terjadinya kiamat ?
Rasulullah SAW menjawab, tidaklah orang yang ditanya tentang hal itu (rasul)
lebih mengetahui jawabannya dari pada sipenanya, aku akan menjelaskan tanda-
tanda kiamat (ialah). Apabila seseorang hendak melahirkan tuannya, apabila
para pengembala binatang ternak telah berlomba-lomba bermegah-megah dalam
bangunan. Ia termasuk lima hal yang tak seorang pun mengetahuinya, kecuali
Allah, lalu Rasul membaca ayat :
ان هللا عنده علم السا عه
Sampai ayat terakhir, lalu, lelaki itu pergi dan Nabi berkata kepada para sahabat,
‘ panggillah lelaki itu, ‘tetapi tak seorang pun dari sahabat melihatnya lagi. Lalu,
Nabi berkata, ‘lelaki itu adalah Jibril, ia datang untuk mengajarkan kepada
manusia tentang agama”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
3) Rosihan Anwar, Akhlak Tasawuf ( Bandung : CV Pustaka Setia, 2010 ) hlm.152-
153,158-160.
Secara umum, ajaran islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan
batiniah. Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniah pada
gilirannya melahirkan Tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat yang
cukup besar dari sumber ajaran islam, Al-Quran dan As-Sunnah, serta praktik
kehidupan Nabi Muhammad SAW, dan para sahabatnya. Al-Quran antara lain
berbicara tentang kemungkinan manusia dapat saling mencintai (mahabbah)
dengan tuhan. Hal itu misalnya difirmankan Allah SWT dalam Al-Quran :
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman ! barang siapa diantara kamu yang murtad
(keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum. Dia
mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut
terhadap orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir,
yag berjiahat dijalan Allah, dan tidak takut kepada celaan orang yang suka
mencela. Itulah karunia Allah, yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki.
Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), Maha mengetahui”. (Q.S. Al-Ma’idah (5)
: 54)
Sejalan dengan apa yang disitir dalam Al-Quran, Tasawuf juga dapat dilihat dalam
kerangka hadits. Dalam hadits Rasulullah SAW banyak dijumpai keterangan yang
berbicara tentang kehidupan rohaniah manusia. Berikut ini beberapa materi hadits
yang dapat dipahami dengan pemahaman tasawuf.
Artinya :
“Barang siapa yang mengenal dirinya sendiri, maka akan mengenal Tuhannya”.
Hadits ini melukiskan kedekatan hubungan antara Tuhan dan Manusia, sekaligus
mengisyaratkan arti bahwa manusia dan Tuhan adalah satu. Oleh karena itu,
barang siapa yang ingin mengenal Tuhan cukup mengenal dan merenungkan
prihal dirinya sendiri.
Dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah SAW, menyatakan pernyataan, Allah SWT
sebagai berikut :
ق فَبِ ْي ع ََرفُ ْونِ ْي َ ُك ْنتُ َك ْن ًزا َم ْخ ِفيًّا فَأَحْ بَ ْب أ َ ْن أُع َْر
َ ف فَ َخلَ ْقتُ ا ْل َخ ْل
Artinya :
“Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi maka aku menjadikan makhluk
agar mereka mengenal-Ku”.
4) Abdul Halim Mahmud, Tasawuf Didunia Islam ( Bandung : Pustaka Setia, 2002 )
hlm.119-120.
Sesungguhnya, sikap para penilis tentang ajaran seperti yang mereka katakan
bahwa tasawuf adalah kebudayaan yang dipelajari. Kebudayaan yang dipelajari ini
kemungkinan akan mendatangkan pengaruh, berkembang dan meniru. Seorang
penulis syair maupun cendikiawan secara umum mengambil sumber kebudayaan
dari lingkungan luar yang memiliki corak dan bentuk dengan apa yang diperoleh
dari lingkungannya. Itulah pengaruh dari lingkungan luar. Namun, bilamana dia
memiliki keaslian. Tentulah akan menjadi gema terhadap lingkungan masyarakat
disekitarnya. Akan tetapi, tasawuf dan sufi bukan berasal dari tempat ini. Jika
ingin membuat batasan dengan cara yang cermat, kami melihat dua problema
yang sedang kita hadapi, yaitu sebagai berikut ini :
1. Kecenderungan pada kehidupan para sufi atau kecenderungan menempuh
jalan sufi.
2. Perasaan kaum sufi.
Adapun kecenderungan pada tingkah laku sufi memiliki pengaruh dari dalam yang
murni, yaitu pengaruh yang berkaitan dengan pribadi seseorang dari sebelah
dalam, yang lebih banyak daripada seseorang alam. Untuk menempuh jalan ini,
cukuplah dengan beramal, seperti ucapan, pemikiran, isyarat, atau satu peristiwa
sehingga mengutamakan perbuatan untuk menempuh jalan kepada Allah ‘Azza
Wa Jalla’
5) Abudden Nata, Akhlak Tasawuf ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003 )
hlm.181-183.
Secara umum ajaran islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriyah dan
jasadiah, dan kehidupan yang bersifat batiniah. Pada unsur kehidupan yang
bersifat batiniah itulah kemudian lahir tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini
mendapat perhatian yang cukup besar dari sunber ajaran islam. Al-Quran dan Al-
Sunnah serta praktek kehidupan Nilai dan para sahabatnya. Al-Quran antara lain
berbicara tentang kemungkinan manusia dengan Tuhan dapat saling mencintai
(mahabbah) (lihat Q.S. Al-Maidah, 52-54) ; perintah agar manusia senantiasa
bertaubah, membersihkan diri memohon ampunan kepada Allah. (lihat Q.S
Tahrim 8) petunjuk bahwa manusia akan senantiasa bertemu dengan Tuhan
dimanapun mereka berada. (lihat Q.S. Al-Baqarah, 2:110) Tuhan dapat
memberikan cahaya kepada orang yang dikehendakiNya. (lihat Q.S Al-Nur, 35).
Selanjutnya Al-Quran mengingatkan manusia agar dalam hidupnya tidak
diperbudak oleh kehidupan dunia dan harta benda (lihat Q.S. Al-Hadid, Al-
Fathur,5) dan senantiasa bersikap sabar dalam menjalani pendekatan diri kepada
Allah SWT. (lihat Q.S. Ali Imran, 3)
Sejalan dengan apa yang dibicarakan Al-Quran diatas Al-Sunnah pun banyak
berbicara tentang kehidupan rohaniah berikut ini terdapat beberapa teks hadits
yang dapat dipahami dengan pendekatan tasawuf.
ق فَ ِب ْي ع ََرفُ ْونِ ْي َ ُك ْنتُ َك ْن ًزا َم ْخ ِفيًّا فَأَحْ بَ ْب أ َ ْن أُع َْر
َ ف فَ َخلَ ْقتُ ا ْل َخ ْل
“Aku adalah pembedaharaan yang tersembunyi maka Aku menjadikan makhluk
aga mereka mengenal-Ku”.
BAB IV
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBENTUKAN AKHLAK
A. Insting
1) Harun Nasution, Akan dan Wahyu Dalam Islam, ( Jakarta : UI Press, 1986 )
hlm.16.
Insting adalah pola prilaku dan reaksi terhadap suatu rangsangan tertentu yang
tidak dipelajari tapi telah ada sejak kelahiran suatu makhluk hidup dan diperoleh
secara turun-temurun (Filogenetik).
2) Fatur Rahman, Psikologi Sosisal ( Yogyakarta : Erlangga, 1985 ) hlm.56.
Suatu prilaku individu didorong oleh kekuatan dasar yang terpisah dari sifat
manusia, yaitu prilaku agresif yang berasal dari insting baik dan insting kehidupan
dan insting kematian.
3) Mustofa, Akhlak Tasawuf ( Bandung : CV Pustaka Setia, 1997 ) hlm.182.
Insting ialah suatu alat yang dapat menimbulkan perbuatan yang menyampaikan
pada tujuan dengan berfikir lebih dahulu kerah tujuan itu dan tiada dengan
didahului latihan perbuatan itu.
4) Nurjannah, pisikologi Umum ( Ciamis : ( ), 2012 ) hlm.140.
Isnting ialah kemampuan berbuat sesuatu yang dibawa sejak lahir yang ditujukan
pada pemuasan dorongan-dorongan nafsu dan dorongan lain. Insting juga bisa
disebut naluri atau gairah.
5) Zahruddin, Hasanudin Sinaga, Pengantar Study Akhlak ( Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2004 ) hlm.93.
Insting merupakan seperangkat tabiat yang dibawa manusia sejak lahir. Para
pisikolog menjelaskan bahwa insting berfungsi sebagai motivator penggerak yang
didorong lahirnya tingkah laku.
B. Pembiasaan
1) Umar Hasyim, Cara Mendidik Anak Dalam Islam ( Surabaya : Bina Ilmu, 1998 )
hlm.55.
Pembiasaan (habituation) merupakan proses pembentukan sikap dan prilaku yang
relatif menetap dan bersifat otomatis melalui proses pembelajaran yang berulang-
ulang.
2) Ramayulis, Metologi Pendidikan Agama Islam ( Jakarta : Kalam Mulia, 2005 )
hlm.70.
Pembiasaan ialah upaya praktis dalam pendidikan dan pembinaan yang dilakukan
seorang pendidik adalah terciptanya kebiasaan bagi anak didiknya.
3) Abdullah Abdurahman Saleh, Teory A Quramic Out Look ( Jakarta : Rineka
Cipta, 2005 ) hlm.140.
Pembiasaan adalah proses pendidikan yang berlangsung dengan jalan
membiasakan anak didik untuk bertingkah laku, berbicara, berfikir dan melakukan
aktivitas tertentu menurut kebiasaan yang baik.
4) Mustofa, Akhlak Tasawuf ( Bandung : CV Pustaka Setia, 1997 ) hlm.96.
Pembaiasaan ialah perbuatan berulang-ulang terus menerus sehingga mudah
dikerjakan bagi seseorang seperti kebiasaan, berjalan, berpakaian, berbicara,
mengajar dan lain sebagainya.
5) Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam ( Ciputat : Balai
Pustaka, 2002 ) hlm.117.
Secara etimologi pembiasaan asal katanya adalah “biasa” dalam kamus besar
bahasa Indonesia “biasa” adalah dazzim atau umum, seperti sediakala dan sudah
merupakan hal sudah merupakan hal yang tidak terpisahkan dari kehidupan
sehari-hari.
C. Hati
1) Ali Yunasril, Pengantar Ilmu Tasawuf ( Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1987 )
hlm.45.
Hati bahasa arabnya disebut “gaib” menurut ilmu biologi ‘qalbu adalah segumpal
darah yang terletak didalam rongga dada agak sebelah kiri warnanya agak
kecoklatan dan berbentuk segitiga.
2) Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf ( Jakarta : PT Raja G P, 2010 ) hlm.123.
Hati nurani atau instusi merupakan tempat dimana manusia dapat memperoleh
saluran ilham dari Tuhan. Hati nurani ini cenderung dan diyakini selalu kepada
kebaikan dan tidak kepada keburukan.
3) Tamami, Psikologi Tasawuf ( Jakarta : Pustaka Setia, 2011 ) hlm.24.
Hati dijelaskan sesuatu yang identik dengan spritialitas, ketulusan niat baik, belas
kasih dan segala sesuatu yang berhubungan dengan spritualitas bersumber dari
hati.
4) Zahruddin, Pengantar Ilmu Akhlak ( Jakarta : PT Grafindo Persada, 2004 )
hlm.103.
Suara hati nurani berarti suara hati yang seakan ada cahaya dari luar yang
menerangi dari hati manusia. Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan
nurani berasal dari kata “Terang, Bercahaya” sedangkan hati nurani adalah
perasaan hati murni yang sedalam-dalamnya.
5) Imam Ghazali, Keajaiban Hati ( Jakarta : Tinta Mas Indonesia, 1982 ) hlm.125.
Secara biologis hati adalah sebuah kelenjar tersebar dan kompleks dalam tubuh,
berwarna merah kecoklatan, yang mempunyai berbagai macam fungsi, termasuk
perannya dalam membantu pencernaan makanan dan metabolisme gizi dalam
sistem pencernaan.
D. Tradisi
1) Kantowiyoyo, Budaya dan Masyarakat ( Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006 )
hlm.3.
Tradisi adalah suatu gambaran yang menggambarkan bahwa dalam suatu
perbedaan manusia yang telah membudaya akan menjadi sumber dalam berakhlak
dan budi pekerti seorang dalam perbuatan akan melihat realitas yang ada
dilingkungan sekitar sebagai upaya dari sebuah adaptasi walaupun sebenarnya
orang tersebut telah memotivasi berprilaku pada diri tersebut.
2) Muhaimin, Islam Dalam Langkah Budaya Lokal ( Ciputat : PT Logas Wacana
Ilmu, 2001 ) hlm.11.
Tradisi (dalam bahasa latin traditia artinya diteruskan) menurut bahasa adalah
suatu kekiasan yang berkembangang dimasyarakat. Baik yang menjadi adat
kebiasaan atau diasimilasikan dengan ritual adat atau agama.
3) Bambang Prunowo, Islam Factul Antara Tradisi dan Relasi Kuasa ( Yogyakarta :
Karya Kuasa, 1993 ) hlm.3.
Trdisi adalah sesuatu yang lahir dari dan dipergunakan oleh masyarakat,
kemudian masyarakat muncul dan dipengaruhi oleh tradisi. Tradisi pada
umumnya merupakan musahab, kemudian akhirnya menjadi kunklusi dan premis
isi dan bentuk efek dan aksi pengaruh dan mempengaruhi.
4) Erni Budiwanti, Islam Wetu Versi Buku Lama ( Yogyakarta : LKIS, 2000 )
hlm.51.
Tradisi merupakan sebuah persoalan dan yang lebih penting lagi adalah sebagai
pengetahuan, doktrin, kebiasaan, praktek, lain-lain yang dipahami sebagai
pengetahuan yang telah diwariskan secara turun temurun termasuk penyampaian
doktrin dan praktek tersebut.
5) Hasan Hanafi, Oposisi Pasca Tradisi ( Yogyakarta : Sarikat, 2003 ) hlm.2.
Tradisi merupakan hasil dari proses dinamika perkembangan agama tersebut
dalam ikut serta mengatur pemeluknya dan dalam melakukan kehidupan sehari-
hari. Tradisi islam lebih dominan mengaruh pada peraturan yang sangat
ringanterhadap pemeluknya dan selalu tidak memaksa terhadap ketidakmampuan
pemeluknya.
E. Kehendak
1) Abdul Mun’un Qandil, Figur Wanita Sufi ( Surabaya : Risalah Gusti, 1933 )
hlm.75.
Kehendak ialah suatu fungsi jiwa untuk dapat mencapai sesuatu kehendak itu
merupakan kekuatan dari dalam dan tampak dari luar sebagai gerak gerik. Dalam
realisasinya kehendak ini bertautan dengan pikiran dan perasaan.
2) Alkhair Ibn Abi, Taswuf Cinta ( Bandung : Mizan, 2003 ) hlm.141.
Kehendak ialah penjabaran atas objek-objek pengetahuan dalam bentuk eksistensi
dengan kebutuhan pengetahuannya.
3) Mustofa, Akhlak Tasawuf ( Bandung : CV Pustaka Setia, 1997 ) hlm.141.
Kehendak adalah suatu dari beberapa kekuatan seperti uap dan listrik. Dan juga
penggurak manusia dan dari padanya timbul segala perbuatan yang hasil dari
kehendak, dan segala sifat manusia dan kekuatannya seolah-olah tidur nyenya
sehingga dibangunkan oleh kehendak.
4) Abbas Siradjjuddin, lltiad Ahlusunnah Wal Jamaah ( Jakarta : Pustaka Tarbiah,
2001 ) hlm.75.
Kehendak adalah kemauan keinginan mengenai semuanya (alam semesta tidak
terkecuali).
5) Bahrudin, Psikologi Pendidikan ( Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2007 ) hlm.50.
Kehendak bukan merupakan fungsi kejiwaan yang bersifat pasif tetapi lebih
merupakan perbuatan atau fungsi kejiwaan yang bersifat aktif. Dengan pernyataan
ini, maka kehendak dapat deiberikan pengertian sebagai usaha yang aktif menuju
pelaksanaan suatu tujuan.
F. Pendidikan
1) Ayuhan, Konsep Pendidikan Dalam Perspektif Islam ( Yogyakarta : Deepublish,
2016 ) hlm.118.
Kata kunci dan uraian diatas tentang pembentukan akhlak yang mulia terlihat
keberhasilan itu pada kata kuncinya dari pendidikan akhlak yang sufi tauladan
orang tua ibu dan bapaknya juga strategis dan kiat-kiat yang disampaikan oleh
para pakar akhlak untuk dapat diterapkan dalam praktek.
2) Kaelani, Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan ( Jakarta : PT Bumi Aksara )
hlm.240.
Pendidikan adalah proses perubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.
3) Tim Pengewatongan Ilmu Pengetahuan Fip-Up, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (
Jakarta : Imitima, 2007 ) hlm.30.
Pendidikan agama dalam konteksini, dipendangkan dan diyakini sebagai salah
satu upaya utama dalam pembinaan akhlak dan mental anak indonesia, karena
pendidikan agama berperan langsung dalam pembentukan kualitas manusia yang
beriman dan bertakwa, ia akan terlahir sebgai generasi yang disegani dalam
lingkungan masyarakat.
4) Mahmud Arif, Pendidikan Islam Trensornetif ( Yogyakarta : LKJS, 2008 )
hlm.115.
Kecendrungan keagamaan diatas terasa mengkristal apalagi setelah bertemakan
dengan jiwa “kesederhanaan” (shedajeh) lantas sebagai akibat dari kekuatannya
dari imfiltrasi ajaran sufistik kedalam domain pemikiran aliran konservasi,
kecendrungan itu pun menjadi unsur utama yang berhasil membangun citra esensi
pendidikan islam adalah pendidikan akhlak.
5) Abbas Mahjub, Ushul Al-fikr At terbawi Fial-islam ( Damesk Dar Ibn Leatsir,
1987 ) hlm.157.
Pendidikan yang berorientasi pada keseluruhan moral-etik dan tujuan terpendidik
dalam pendidikan islam adalah pembentukan dan pembinaan akhlak.
BAB V
TENTANG BAIK DAN BURUK
A. Pengertian Baik dan Buruk
1) Ibn Tamiyyah, Baik dan Buruk Menurut Al-Quran ( Yogyakarta : Mitra Pustaka,
2004 ) hlm.1.
Mayoritas mufassir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan baik dan buruk
adalah kenikmatan dan musibah. Bukan usaha yang telah dilakukan oleh manusia
dengan usaha kebaikan dan keburukan.
2) Mustofa, Akhlak Tasawuf ( Bandung : Pustaka Setia, 2010 ) hlm.56.
Pengertian “baik” menurut ethik adalah sesuatu yang berharga untuk sesuatu
tujuan. Sebaliknya yang tidak berharga, tidak berguna untuk tujuan, apabila yang
merugikan atau yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan adalah “buruk”.
3) Toshihiko Izutsu, Konsep-konsep Etika Religius Dalam Quran ( Yogyakarta : PT
Tiara Wacana, 2003 ) hlm.257.
Ma’ruf diantara berbagai istilah yang dapat dipandang sebagai bahasa Arab yang
mendekati kata dalam bahasa inggris “good” baik. Ma’ruf menempati tempat yang
khusus, karena kata ini tampaknya mewakili ide yang berlangsung jauh dimasa
lalu. Dalam penjelasan musim untuk masa yang kemudian, kite melihat kata
ma’ruf sangat sering di definisikan sebagai apa yang diakui dan di terima oleh
hukum Allah. Lawannya mungkar dalam Quran untuk baik (dan buruk),
mewujudkan bahwa Al-Quran menghadapi terminilogi moral kesukuan dan
menjadikannya bagian yang integral dari sistem etika baru. Ma’ruf secara harfiah
berarti ‘diketahui’ yaitu apa yang dipandang sesuai sebagai diketahui dan dikenal
dan dengan demikian secara sosial diterima.
4) Ahmad Amin, Etika Ilmu Akhlak ( Jakarta : Bulan Bintang, 1975 ) hlm.85.
Ilham ini didapat oleh manusia diwaktu ia melihat kepada sesuatu, oleh karnanya
kita dapat merasa bahwa itu baik atau buruk, meskipun kita tidak belajar ilmu
pengetahuan atau menerima pendapat orang lain. Kekuatan ini bukan buah dari
melihat zaman atau pendidikan, tetapi adalah instinct, bagian dari tabiat kita yang
diberikan oleh Tuhan memperbedakan baik dan buruk sebagaiman kita diberi
mata untuk melihat dan telinga untuk mendengar.
5) Nasnul, Akhlak Tasawuf ( Yogyakarta : Aswaja Pressindo, 2015 ) hlm.95.
Secara bahasa kata “baik” dapat diterjemahkan dari kata khair, shahih, hasan,
ma’ruf, atau dalam bahasa Inggris dari kata good. Louis Ma’luf dalam kitabnya,
munjid, mengatakan bahwa yang disebut baik adalah sesuatu yang telah mencapai
kesempurnaan. Selanjutnya yang baik itu juga adalah sesuatu yang mempunyai
nilai kebersihan atau nilai yang diharapkan, yang memerikan kepuasan.
Sedangkan kata “buruk” sebagai lawan dari kata “baik” lebih menunjukan
pengertiannya pada sesuatu yang tidak sempurna dan tidak pula menyenangkan.