Dalam ilmu fiqih, istinja adalah membersihkan sesuatu (najis) yang keluar dari qubul atau dubur
menggunakan air atau batu dan benda sejenisnya yang bersih dan suci. Syaikh Abdurrahman
Al-Juzairi dalam Fikih Empat Madzhab Jilid 1 menjelaskan, istilah ini disebut juga dengan
istithabah atau istijmar.
Hanya saja, istijmar biasanya dikhususkan untuk istinja dengan batu. Istijmar sendiri diambil
dari kata al-jimar yang berarti kerikil kecil. Sedangkan, disebut juga dengan istithabah karena
dampak yang ditimbulkannya (membersihkan kotoran) membuat jiwa terasa nyaman.
Dalil Istinja
Allah berfirman: )108 :طهَّرُوْ ا َوهللاُ يُ ِحبُّ ْال ُمطَّه ِِّر ْينَ (التوبة
َ َ فِ ْي ِه ِر َجا ٌل يُ ِحبُّوْ نَ َأ ْن َيتArtinya, “Di dalam masjid itu terdapat
penduduk Quba yang bersuci dan membersihkan dirinya, Allah sangat cinta kepada hamba-Nya yang
bersuci.” (QS at-Taubah: 108) Di ayat ini secara tegas Allah menyatakan cintanya kepada siapa saja yang
mencintai kebersihan dan kesucian.
Hukum Istinja
Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi mengatakan istinja hukumnya fardhu. Ulama Hanafiyah berkata
bahwa hukum istinja atau aktivitas lain yang menggantikan kedudukannya seperti istijmar
adalah sunnah muakkadah, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Sementara itu, Hasan ibn Salim al-Kaf dalam al-Taqrirat al-Sadidah sebagaimana dijelaskan
Rosidin membagi hukum istinja menjadi 6 jenis. Antara lain sebagai berikut:
1. Wajib: Istinja hukumnya wajib jika yang keluar adalah najis yang kotor lagi basah. Seperti air
seni, madzi, dan kotoran manusia.
2. Sunnah: Istinja hukumnya sunnah jika yang keluar adalah najis yang tidak kotor. Contohnya
cacing.
5. Haram: Haram namun sah jika beristinja dengan benda hasil ghashab. Istinja hukumnya
haram dan tidak sah jika beristinja dengan benda yang dimuliakan seperti buah-buahan.
6. Khilaf al-aula yakni antara mubah dan makruh: Jika beristinja dengan air zam-zam.
Tata Cara Istinja
Secara umum, tata cara beristinja ada tiga. Pertama, menggunakan air dan batu. Cara ini
merupakan cara yang paling utama. Batu dapat menghilangkan bentuk fisik najis. Sementara
itu, air yang digunakan harus suci dan menyucikan. Air tersebut dapat menghilangkan bekas
najis.
Kedua, menggunakan air saja. Ketiga, menggunakan batu saja. Adapun, batu yang
diperbolehkan untuk beristinja haruslah suci, bukan najis atau terkena najis, merupakan benda
padat, kesat, dan bukan benda yang dihormati.
Dalam Islam, ada beberapa adab yang perlu diperhatikan saat buang hajat. Antara lain sebagai
berikut:
1. Istibra, yaitu mengeluarkan kotoran yang tersisa di dalam makhraj, baik itu air kencing
maupun kotoran, sampai dirasa tidak ada lagi kotoran yang tersisa.
2. Diharamkan buang hajat di atas kuburan. Alasan mengenai pendapat ini karena kuburan
adalah tempat di mana orang bisa mengambil nasihat dan pelajaran. Maka, termasuk adab
sangat buruk jika seseorang justru membuka aurat di atas kuburan dan mengotorinya.
3. Tidak boleh membuang hajat pada air yang tergenang. Diriwayatkan dari Jabir, Rasulullah
SAW melarang kencing pada air yang tergenang (HR. Muslim, Ibnu Majah, dan yang lainnya).
4. Dilarang buang hajat di tempat-tempat sumber air, tempat lalu lalang manusia, dan tempat
bernaung mereka. Pendapat ini merujuk pada sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadits.
Rasulullah SAW bersabda: "Berhati-hatilah kalian dari dua hal yang dilaknat (oleh manusia."
Para sahabat bertanya, "Apa yang dimaksud dengan dua penyebab orang dilaknat?" Beliau
menjawab, "Orang yang buang hajat di jalan yang biasa dilalui manusia atau di tempat yang
biasa mereka bernaung." (HR. Muslim dan Abu Dawud).
6. Dimakruhkan bagi orang yang membuang hajat untuk melawan arah angin. Sebab,
dikhawatirkan adanya percikan air kencing yang membuatnya terkena najis.
7. Dimakruhkan bagi orang yang sedang buang hajat untuk berbicara. Namun, apabila memang
ada kebutuhan maka diperbolehkan untuk berbicara, seperti meminta gayung untuk
membersihkan najis.