Anda di halaman 1dari 16

FIQH AIR DAN NAJIS

MAKALAH

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Fiqh Ibadah dengan dosen pengampu
Dr. Wawan Hermawan, M. Ag dan Usup Romli, M. Pd

Disusun Oleh:
Hariza (1904264)
Luqman (1900456)
Mita Mawadda (1901547)
Rafa Kholida (1900820)
Taufik Firman (1902859)

IPAI A 2019

PRODI ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Ṭaharah menurut Ibnu Watiniyah (2017, hlm. 10) merupakan “kegiatan membersihkan atau
menghilangkan dari anggota tubuh, pakaian, tempat, dan benda-benda lain yang terkena atau
terdabat najis, hadas, dan kotoran (yang menyebabkan ibadah tidak sah) dengan menggunakan
air atau tanah yang bersih sesuai degan cara-cara yang ditentukan oleh syariat Islam”. Menurut
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaydah (2008, hlm. 1) disebut bersuci karena dapat membersihkan
mutawaḍi (orang yang berwudlu) dari keadaan sebelumnya yang dianggap tidak suci. Menurut
Ahmad Reza (2015, hlm. 9) “Ṭaharah adalah menghilangkan hadaṣ dengan cara
menghilangkan sifat yang menempel dibadan yang dapat menghilangi sahnya salat dan lain
sebagainya”. Sedangkan menurut Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Prof. Dr. Abdul
Wahhab Sayyed Hawwas (2009, hlm. 3) “ṭaharah menurut terminology syara’ adalah bersih
atau suci dari najis baik najis faktual maupun secara ḥukmiy”.

Dari pengertian para ahli diatas terkait dengan ṭaharah, dapat disimpulkan secara
seksama, bahwa ṭaharah adalah upaya untuk membersihkan diri dan lingkungan dengan
menghilangkan najis dan hadaṣ yang menempel berdasarkan tuntunan syari’at supaya tidak ada
hal-hal yang menghalangi sah atau tidaknya ibadah. Dari definisi para ahli diatas dan definisi
yang telah disimpulkan, tidak disebutkan alat dari ṭaharah itu sendiri, yang disebutkan hanyalah
makna secara global dan tujuan dari ṭaharah tersebut. Oleh karena itu, upaya dari menghilangkan
najis ataupun hadaṣ yaitu dengan cara menghilangkannya. Adapun pembahasan tentang alat
untuk ṭaharah para ulama membuat suatu bab khusus mengenai air, karena air merupakan media
utama untuk bersuci, apabila tidak ditemukannya air, maka media alternatif dapat digunakan
sebagai pengganti media utama. Hal ini terdapat dalam firman Allah, Q.S. An-Nisā’:43, yaitu
sebagai berikut:

ٍ ِ‫الص اَل َة َوأَْنتُ ْم ُس َك َارى َحتَّى َت ْعلَ ُم وا َم ا َت ُقولُو َن َواَل ُجنُبً ا إِاَّل َع ابِ ِري َس ب‬
‫يل َحتَّى‬ َّ ‫آمنُ وا اَل َت ْق َربُوا‬ ِ َّ
َ ‫ين‬
َ ‫يَا أ َُّي َه ا الذ‬
ِ ِِ ِ ِ ‫ض ى أَو علَى س َف ٍر أَو ج اء أ‬ ِ
‫اء‬
ً ‫اء َفلَ ْم تَج ُدوا َم‬
َ ‫ِّس‬ َ َ َ ْ َ َ ْ َ ‫َتغْتَس لُوا َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم َم ْر‬
َ ‫َح ٌد م ْن ُك ْم م َن الْغَائ ط أ َْو اَل َم ْس تُ ُم الن‬
ِ ِ ِ ِ ‫َفَتي َّمموا‬
ً ‫صعي ًدا طَيِّبًا فَ ْام َس ُحوا ب ُو ُجوه ُك ْم َوأَيْدي ُك ْم إِ َّن اللَّهَ َكا َن َع ُف ًّوا غَ ُف‬
‫ورا‬ َ ُ َ
1
“Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu salat, ketika kamu dalam keadaan mabuk,
sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika
kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati jalan saja, sebelum kamu mandi (mandi
junub). Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau sehabis buang air atau
kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah
kamu dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu.
Sungguh, Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun.”

Alasan air menjadi media utama untuk bersuci diantaranya dalam upaya mensucikan
hadaṣ dan najis, maka air merupakan alat yang wajib untuk digunakan. Walaupun dalam
tindakan ṭaharah yang sifatnya ībāhah (diperbolehkan), maka menggunakan air merupakan hal
yang lebih utama. Hal ini dapat ditemukan pada Kitab-kitab ulama fiqh.

1.2Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini diantaranya:

1. Apa saja macam-macam air? (Hariza dan Rafa)


2. Apa yang dimaksud dengan air sedikit dan air banyak? (Mita)
3. Apa yang dimaksud dengan air musta’mal? (Taufik)
4. Apa itu najis, pembagiannya dan cara membersihkannya? (Luqman)

1.3Tujuan Penulisan Makalah

Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu:

1. Mengetahui macam-macam air.


2. Mengetahui maksud air sedikit dan air banyak.
3. Mengetahui maksud dari air musta’mal.
4. Mengetahui makna tentang najis, pembagiannya dan cara membersihkannya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Macam-Macam Air

Air dapat dibagi ke dalam macam-macam pengelompokkan. Bisa bergantung kepada


tempatnya, sifatnya, maupun keadaannya.

Air terbagi kepada empat bagian menurut sifat untuk mensucikan, yaitu:

1. Air yang suci lagi mensucikan, yang tidak makruh memakainya. Air seperti ini
dinamakan air mutlak.

2. Air yang yang suci lagi mensucikan, yang makruh memakainya ialah air yang dipanasi
oleh cahaya matahari.

3. Air yang musta’mal (air yang sudah terpakai)

4. Air yang sudah berubah (Zainal Abidin dan Ibnu Mas’ud, 2000:29-30)

Maksud air mutlak pada poin pertama adalah air yang sifatnya masih asli. Yang
kemudian akan dibahas lebih lanjut.

Sedangkan yang dimaksud dengan air yang dipanasi oleh matahari ialah air yang sengaja
diletakkan pada terik matahari ataupun tidak sengaja ketika matahari sedang bersinar hingga air
itu menjadi panas. (Zainal Abidin dan Ibnu Mas’ud, 2000:31)

Imam as-Syafii (w. 204 H) mengatakan,

‫وال أكره الماء المشمس إال من جهة الطب‬

“Saya tidak menilai makruh air musyammas, selain karena alasan kesehatan.” (al-Umm,
1/16). Dalam al-Fiqh al-Manhaji ’ala Madzhab as-Syafii dinyatakan,

‫ وال أك_ره الم__اء المش__مس إال من‬:‫ وق__ال‬،‫ أنه كان يكره االغتسال به‬:- ‫نقل الشافعي ـ رحمه هللا تعالى عن عمر – رضي هللا عنه‬
‫ أنه يورث البرص‬:‫ ثم روى‬،‫جهة الطب‬

Imam as-Syafii mendapat riwayat dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau
memakruhkan orang yang mandi dengan air musyammas. Imam as-Syafii mengatakan, ’Saya

3
tidak menilai makruh air musyammas, selain karena alasan kesehatan.’ Kemudian diriwayatkan
bahwa mandi dengan air musyammas bisa menyebabkan kusta. (al-Fiqh al-Manhaji, Dr.
Musthafa Bagha, 1/32). Kemudian Dr. Musthafa Bagha menyebutkan, menyebutkan beberapa
syarat di mana air musyammas bisa dihukumi makruh,

1. Air itu terkena terik matahari di daerah yang panas

2. Air itu berada di wadah terbuat dari logam selain emas dan perak

3. Air itu digunakan untuk badan manudia, atau binatang yang bisa terkena kusta, seperti
kuda.

(al-Fiqh al-Manhaji, 1/32). Berdasarkan persyaratan yang beliau jelaskan, tidak semua air
yang terkena sinar matahari hukumnya makruh untuk bersuci. Karena pada prinsipnya, air yang
terkena sinar matahari boleh digunakan untuk bersuci, selama tidak membahayakan kesehatan.
Sehingga tandon air polyethylene atau dari semen batako yang berada di atap rumah, tidak
makruh digunakan untuk bersuci. (diambil dari  https://konsultasisyariah.com/21141-macam-
macam-air-dalam-madzhab-as-syafii.html pada 18/02/2020; 12:54; Ustad Ammi Nur Baits)

Maksud dari air musta’mal pada poin ketiga adalah air yang sudah dipakai untuk bersuci
fardu. Yang kemudian akan dibahas lebih lanjut.

Sedangkan pada poin keempat, air yang berubah adalah air yang salah satu sifatnya sudah
berubah, misalnya bau, warna, atau rasanya dengan perubahan yang banyak atau telah tercampur
oleh barang yang suci atau najis. Yang dimaksud pencampuran disini adalah apabila sesuatu
yang mencampurinya tidak dapat disisihkan oleh pandangan mata. Poinnya, harus dilihat
keadaan akhirnya. Dalam ilmu kimia, air bercampur yang berbentuk dispersi, tidak dapat lagi
disisihkan walaupun terlihat oleh mata. Seperti, air yang dicampur kopi bubuk. Bubuk kopinya
bisa dipisahkan, sedangkan sifat airnya menjadi berubah. Maka yang dilihat adalah sifat dan
keadaan air pada akhirnya.

Adapun diksi yang berbeda dari buku yang berbeda (Moh. Rifa’i, 2018:13) yaitu air
ditinjau dari segi hukumnya, air itu dapat dibagi kedalam empat bagian:

1. Air suci dan menyucikan

4
Yaitu air mutlak artinya air yang masih murni, dapat digunakan untuk bersuci dengan
tidak makruh, (air mutlak artinya air yang sewajarnya).

2. Air suci dan dapat menyucikan tetapi makruh digunakan, yaitu air musyammas (air yang
dipanaskan dengan matahari) di tempat logam yang bukan emas

3. Air suci tetapi tidak dapat menyucikan. Seperti air musta’mal (air yang telah digunakan
bersuci) untuk menghilangkan hadats atau najis walaupun tidak berubah warna, bau, atau
rasanya.

4. Air mutanajis, yaitu: air yang kena najis (kemasukan najis), sedang jumlahnya kurang
dari dua kulah, maka air semacam ini tidak suci dan tidak dapat menyucikan. Jika lebih
dari dua kulah dan tidak berubah sifatnya, maka sah untuk bersuci (dua kulah=217 iter,
jika berbentuk bak, maka besarnya memiliki panjang 62,4 cm, lebar 62,4 cm, dan tinggi
62,4 cm atau melebihinya)

Adapun berdasarkan tempatnya, air yang dapat dipakai untuk bersuci yaitu air yang turun
dari langit atau keluar dari bumi yang belum dipakai untuk bersuci, yaitu:

1. Air hujan

2. Air sumur

3. Air laut

4. Air sungai

5. Air salju

6. Air telaga

7. Air embun

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, air banyak macamnya. Berikut adalah
penjelasan mengenai air mutlak, debu yang suci, dan air yang tercampur oleh sesuatu yang suci.

2.1.1 Air Mutlak

5
Air mutlak adalah air yang suci dan mensucikan. Yaitu, air yang masih murni dan belum
atau tidak tercampuri oleh sesuatu (najis). Adapun beberapa macam dari air mutlak diantara nya :

1. Air laut.
2. Air hujan, Salju dan Embun. Merujuk pada firman Allah: “Dan Allah telah
menurunkan kepada kalian air hujan dari langit, untuk mensucikan kalian.” (Qs. Al-
Anfal:11) Dan Allah juga berfirman: “Dan Kami turunkan dari langit yang amat
bersih.” (Qs. Al-Furqan(25):48
3. Air zamzam. Berdasarkan pada hadist Ali bin Abi Thalib: Bahwa Rasulullah pernah
meminta diambilkan satu wadah air zamzam, lalu beliau meminum sebagian dari air
tersebut dan berwudhu dengannya.” (HR.Ahmad)
4. Air yang berubah (Mutaghayyir). Air jenis ini dikarenakan terlalu lama mengendap atau
dikarenakan lokasinya, atau karena tercampur sesuatu tidak dapat dipisahkan darinya,
seperti lumut atau daun yang berada di permukaan air. Dalam hal ini para ulama telah
bersepakat menyebutnya sebagai air mutlak.

2.1.2 Air yang tercampur oleh sesuatu yang suci


Sesuatu yang suci misalnya sabun, minyak za’faran, tepung dan sebagainya yang
memang secara zat ia terpisah dari air, maka hukum dari air ini adalah suci selama masih
terjamin kemutlakannya. Namun, jika air tersebut sudah dikalahkan oleh benda suci yang
mencampurinya, sehingga mengakibatkan kemutlakan air itu tidak mampu mencakupinya.
Dalam kondisi demikian, status air tersebut menurut pendapat tiga imam pendiri mazhab (Imam
Malik, Asy-Syafi’I, dan Ahmad) tetap suci namun tidak lagi mensucikan.

2.2 Air Sedikit dan Banyak

Air sedikit dan air banyak ditentukan berdasarkan ukuran qullah nya. Pembagian
berdasarkan ukuran bertujuan untuk membedakan antara air yang bernajis dan tidak bernajis.
Dalam Kitab Al-Umm [ CITATION Ima16 \l 1033 ] bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jika air dua
qullah, maka ia tidak membawa najis.” Nabi bersabda dalam hadis lain, “Dengan qullah hajar.”
Ibnu Juraij berkata, “Aku telah melihat qullah hajar. Satu qullah memuat dua geriba
lebih sedikit.”

6
Di dalam sabda Rasulullah saw: “Jika air dua qullah, maka ia tidak membawa najis,”
terdapat dalil bahwa yang kurang dari dua qullah dapat membawa najis.”
Menurut Kita Terjemah Ibanatu Ahkam [ CITATION Has \l 1033 ] Ulama mazhab Syafi’I,
Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa air dibagi menjadi dua:
1. Air sedikit yang berbahaya bila kejatuhan najis secara mutlak.
2. Air banyak yang tidak mengganggu kesucian air bila kejatuhan najis kecuali bila berubah
salah satu sifatnya, baik warnanya, rasa atau baunya.
Mereka berbeda pendapat tentang air sedikit dan banyak, berupa ukurannya. Menurut
ulama madzhab Syafi’I dan Hambali, bahwa air sedikit adalah air yang kurang dua qullah.
Sedang air banyak adalah air yang dua qullah atau lebih.
Dalam kitab Al-Umm[ CITATION Ima16 \l 1033 ] , Imam Syafi’I berkata, “Maka yang lebih
hati-hati (ihtiyath) adalah satu qullah itu sama dengan dua setengah geriba. Jika air banyak lima
geriba, maka ia tidak dapat membawa najis, baik mengalir maupun tidak mengalir.
Ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa air dua qullah adalah air di suatu tempat bila
yang sisi tempat tersebut digerakkan maka air di sisi lain tidak bergerak. Bila bergerak maka
dianggap air sedikit.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa yang di maksud air sedikit adalah air
yang tidak mencapai 2 qullah ukurannya. Sedangkan air banyak adalah air yang mencapai 2
qullah atau lebih. Dalam buku Fiqh Ibadah [ CITATION Abd09 \l 1033 ] dua qullah sama dengan
kolam besar atau 175 liter.

2.3 Air Musta’mal

Air musta’mal adalah air yang menetes atau terjatuh dari anggota tubuh orang yang
berwudhu dan mandi[ CITATION Azz09 \l 1033 ]. Air musta’mal atau air yang telah kita
pergunakan. Ada perbedaan pendapat mengenai bahwa dapat dipakai atau tidaknya air
musta’mal ini untuk berwudhu’, mandi ataupun yang lainnya. Sebagian ulama ada yang
mengatakan air musta’mal tidak boleh digunakan dan ada juga sebagian ulama yang boleh
menggunakannya, serta ada ulama yang memakruhkan hukumnya selama masih ada air yang
mutlak, serta tidak bolehnya bertayamum selama adanya air musta’mal diantaranya yaitu
madzhab Maliki.

7
Sementara itu ada sebagian ulama yang boleh menggunakannya air musta’mal baik yang
telah digunakan untuk berwudhu’, mandi dan yang lainnya selama air itu tidak dipakai untuk
menghilangkan najis. Banyak beberapa dalil yang berkenaan dengan ini diantaranya:

Apa yang dikatakan oleh ‘Urwah dari al-Miswar dan yang lainnya dimana mereka saling
membenarkan satu sama lain: “Apabila Rasulullah Saw. berwudhu’, maka hampir-hampir
mereka (para sahabat) berkelahi untuk memperebutkan sisa air wudhu’ beliau.

Dari Ibnu ‘Abbas ra., dia mengatakan : “Salah seorang istri Nabi mandi (dengan air) di
jafnah (bejana). Lalu, Rasulullah Saw. datang untuk berwudhu’ dengar air itu atau mandi. Isteri
beliau itupun berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tadi sedang junub.’ Maka Nabi
Saw. bersabda: “Sesungguhnya air itu tidak menjadi junub.”

Dari ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz ra., yakni tentang sifat wudhu’ Rasulullah Saw.:
Rasulullah Saw. mengusap kepala beliau dari sisa air yang ada di tangannya.”

Dari Abu Hurairah ra., dia berkata: “Aku bertemu Rasulullah Saw. saat sedang junub.
Beliau meraih tanganku, lalu aku berjalan bersama beliau hingga kami duduk. Diam-diam, aku
beranjak pargi guna mendatangi ar-Rahal (tempat yang digunakan untuk berteduh) dan mandi di
situ. Sesudah mandi, aku mendatangi beliau yang masih duduk di tempatnya. Kemudian,
Rasulullah Saw. bertanya: ‘Kemana kamu tadi, hai Abu Hurairah?’ Setelah aku menjelaskan
perbuatanku tadi, Nabi Saw. bersabda: Subhanallah. Hai Abu Hurairah, sesungguhnya orang
Mukmin itu tidak najis.”

Ibnu Qudamah ra. berkata: “Karena air musta’mal adalah air yang suci, yang mengisi
tempat yang suci, seperti orang yang mencuci pakaian yang bersih dengan air.”
Ia juga mengatakan: “Sebab, kalau ia mencelupkan tangannya ke dalam air, maka itu
tidak membuat air menjadi najis, sebagaimana kalau ia menyentuh sesuatu yang basah, yang juga
tidak membuatnya najis.

Di dalam kitab al-Muhalla (masalah ke-141) Ibnu Hazim berkata: “Berwudhu’ dengan air
musta’mal hukumnya boleh, demikian juga mandi junub dengan menggunakannya, baik
seseorang itu memiliki air selain itu ataupun tidak. Air itu dapat digunakan berwudhu’ untuk
melaksanakan shalat fardhu maupun shalat sunnah serta digunakan untuk mandi maupun yang

8
lainnya, baik itu digunakan oleh perempuan ataupun laki-laki. Dalilnya adalah firman Allah
SWT:

“…Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau
kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah
kamu…” (QS. An-Nisa’: 43)

Pada ayat di atas, Allah SWT menyebutkan secara umum semua air, tanpa mengkhususkannya.
Maka dari itu, tidak halal seseorang meninggalkan air untuk berwudhu’ atau mandi yang wajib
apabila memilikinya, kecuali air tersebut dilarang oleh nash yang shahih atau ijma’ yang jelas
dan dipastikan keshahihannya.”

Sufyan bin Uyainah mengabari kami, dari Ashim, dari Mu’adzah al-Adawidah, dari
Aisyah, dia berkata, aku pernah mandi bersama Rasulullah Saw. dari satu berjana. Mungkin ku
katakana kepada beliau, “Sisakanlah untukku! Sisakanlah untukku!”

Imam Syafi’i berkata, “Diriwayatkan dari Salim Abu Nadhr, dari Qasim, dari Aisyah, dia
berkata, Aku pernah menjadi janabat bersama Rasulullah Saw. dari satu bejana.”

Imam Syafi’I berkata, “Berdasarkan semua ini maka kami mengambil kumpulan bahwa
tidaklah mengapa mandi menggunakan sisa orang junub atau haid, karena Rasulullah Saw.
pernah mandi janabat bersama Aisyah ra. dari satu bejana, sehingga masing-masing dari mereka
berdua mandi menggunakan sisa air temannya. Bukanlah haid itu pada tangan. Dan tidaklah
menajiskan orang mukmin. Sesungguhnya itu adalah perkata ta’abbudiy ketika air disentuhkan
pada sebagian keadaannya tanpa sebagian yang lain.”

Imam Syafi’i berkata, “Sufyan bin Uyainah mengabari kami dari Zaid bin Aslam, dari
ayahnya bahwa Umar bin Khaththab berwudhu’ dari air seorang perempuan Nasrani dalam kendi
perempuan Nasrani itu.”

Imam Syafi’i berkata, “Tidaklah mengapa berwudhu’ dari air orang musyrik dan dengan
sisa wudhu’ sendiri, selama tidak diketahui bahwa di dalamnya ada najis. Karena air adalah suci
pada siapapun dan di manapun, sampai diketahui adanya najis yang mencampurinya.

2.4 Najis

9
2.4.1 Pengertian Najis, dan Bedanya dengan Hadaṡ

Najis diambil dari kata najasah yang secara bahasa berarti sesuatu yang kotor dan
menjijikkan. Namun, pada dasarnya ada ungkapan bahwa tidak setiap yang menjijikan itu najis.
Oleh karena itu, para ulama memberikan pengetian najis secara syari’at, yaitu suatu kotoran yang
menyebabkan tidak sahnya seseorang dalam beribadah yang menuntut untuk
membersihkannya/mensucikannya. Hal ini telah dijelaskan pula oleh Prof. Dr. Abdul Aziz
Muhammad Azzam, Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas [CITATION Azz091 \p 111 \n \l 1057
] dan Ahmad Reza [CITATION Ahm15 \p 121 \n \l 1057 ] . Berbeda dengan Hadaṡ, istilah tersebut
berarti keadaan seseorang tidak dapat melaksanakan beribadah, kecuali apabila sudah
mensucikannya. Menurut ulama fiqh syafi’i, mayoritas mereka tidak memasukkan najis sebagai
pembatal wuḍu’, apalagi yang menyebabkan orang tersebut berhadas besar. Hal-hal yang
disepakati oleh para ulama, baik itu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, hal-hal yang
menyebabkan hadaṡ kecil ada 3:

1. Ada yang keluar dari dua jalur pembuangan, baik sipatnya cair, udara atau padat, kecuali
air mani.
2. Menyentuh kelamin belakang dan depan.
3. Hilang akal, sebab tidur, mabuk, pingsan, gila dan lain sebagainya.

Sedangkan hal yang menyebabkan hadaṡ besar ada 6, dari 6 tersebut ulama membagi menjadi
dua, yakni ada hal yang disepakati antara laki-laki dan perempuan, ada yang khusus untuk
perempuan saja.

1. Mati
2. Haiḍ
3. Nifas
4. Melahirkan, karena mengeluarkan manusia berarti mengeluarkan mani.
5. Keluar air mani.
6. Jima’/Waṭi’

2.4.2 Pembagian Najis dan Cara Menyucikannya

10
Dengan dasar adanya pembagian hal-hal yang menyebabkan hadaṡ besar, Prof. Dr. Abdul
Aziz Muhammad Azzam, dan Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas [CITATION Azz091 \p 112-
142 \t \l 1057 ] mengimplementasikannya dalam pembagian najis menjadi dua. Sama seperti
pembagian hal-hal yang menyebabkan hadaṡ besar. Untuk hal-hal yang khusus pada perempuan
itu ada tiga najis, yakni: Darah Haiḍ, darah Nifas, dan darah Istihadah.

Menurut Imam An-Nawawi Al-Bantani[CITATION AlB18 \p 304-351 \n \l 1057 ] najis dibagi


menjadi 3 berdasarkan tata cara mensucikannya. Beliau menyebutkan ada 20 macam-macam
najis dalam kitabnya. Termasuk menurut pendapat Syaikh Husain bin ‘Audah
Al-‘Awaisyah[CITATION AlA08 \p 21-32 \n \l 1057 ] , Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam,
Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas [CITATION Azz091 \p 112-142 \n \l 1057 ] , Ibnu
Watiniyah [CITATION Ibn17 \p 13 \t \l 1057 ] . Berikut macam-macam Najisnya: Air kencing; mażi;
wadi’; kotoran; anjing; babi; anak-anak anjing maupun babi; sperma dari anjing babi, dan
peranakan mereka; cairan luka yang telah berubah rasanya, baunya, atau warnanya, karena ia
adalah darah yang telah mengalami perubahan; nanah busuk, cairan yang tercampur darah;
nanah, darah yang berubah wujud; mirrah, sesuatu yang berada di dalam kulit; cairan yang
memabukkan; sesuatu yang diyakini keluar dari lambung; susu dari hewan yang tidak halal
dimakan dagingnya kecuali manusia; Bangkai selain manusia, samak, dan belalang; darah, selain
hati dan limpa; Jirrah, sesuatu yang keluar dari hewan untuk dimakan lagi; cairan bisul yang
berbau; asap dari benda-benda najis.

Mensucikan najis memiliki kaidah utama, yaitu “cara mensucikan najis yakni dengan
cara menghilangkannya sampai tiada mengikuti dalil-dalil yang ada” [CITATION AlA08 \p 53 \l
1057 ] Mayoritas dari rujukan yang didapat bahwa cara mensucikan najis itu terbagi menjadi 3:

1. Najis Mukhafafah, yakni najis kecil cara mensucikannya dengan cara memercikkan air.
Contoh najisnya adalah ari kencing anak laki-laki yang belum belum makan dan minum
kecuali susu dan anak tersebut belum mencapai usia dua tahun. Jenis-jenis susu itu
banyak, bahkan susu anjing atau babi pun. Menurut Imam Al-Syarqawi memasukkan
keju ke dalam jenis susu. [CITATION AlB18 \p 315 \l 1057 ] . Menurut Syeh Usman (dalam
Al-Bantani, 2018, hal. 316) hal yang menjadi batasan air kencing dihukumi Mukhafafah
yaitu: berupa air kencing, air kencing keluar dari anak laki-laki, anak tersebut belum
mengkonsumsi apapun, dan anak tersebut belum berusia dua tahun.

11
2. Najis Mugalaḍah, yakni najis yang dihukumi berat. Contoh najisnya adalah Anjing dan
Babi, dan apa-apa yang bersumber darinya, termasuk peranakan dari salah satu anjing
atau babi. Maksudnya apabila ada anjing yang dikawinkan dengan sapi, maka anaknya
dihukumi najis berat ini. Cara mensucikannya yakni dengan dibasuh 7 kali, salah satunya
dicampur dengan tanah.
3. Najis Mutawasiṭah, yakni najis yang sifatnya pertengahan. Cara mensucikannya yakni
dengan membasuhnya. Cara membasuhnya juga dibagi menjadi 2 pula:
a. Najis ‘Ayniyyah, yakni yang diketahui dan diyakini warnanya, baunya dan
rasanya. Maka cara mensucikannya adalah menghilangkan najisnya dengan
membasuh letak yang terkena najis tersebut.
b. Najis Hukmiyyah, yakni najis yang tidak diketahui warnanya, baunya dan
rasanya. Seperti, ada suatu pakaian/benda atau apa pun itu yang terkena najis,
tetapi didiamkan sehingga najisnya kering, kering disini membuat semua sifat-
sifatnya hilang, akan tetapi benda tersebut dihukumi terkena najis, maka cara
mensucikannya dengan membasuh/mencuci/mengalirkan (dengan) air pada semua
daerah benda tersebut.

Cara menghilangkan najis pun, ada ulama yang membaginya menjadi beberapa bagian
lebih dari tiga. Hal ini menjadi pelengkap dari pembagian cara menghilangkan najis yang tiga
tadi. Seperti yang diungkapkan oleh Sayyid Sabiq [CITATION Sab10 \p 24-37 \n \l 1057 ] , bahwa
cara-cara menghilangkan najis sebagai tambahannya diantaranya sebagai berikut.

1. Cara menghilangkan najis pada tanah, yakni dengan menyiramnya, hal ini berdasarkan
pada hadiṡ dari Abū Hurayrah. Menurut Sayyid Sabiq, selain wujud fisik tanah, pohon
dan bangunan pun termasuk kedalam kategori tanah. Selain, dengan cara menyiramnya,
membiarkannya hingga kering termasuk cara mensucikannya. Hal ini di dasari oleh fatwa
Imam Abū Qilābah dan Fatwa ‘Aisyah.
2. Cara menyucikan minyak samin dan sejenisnya, yaitu dengan cara membuang najisnya
dan area yang terkena najisnya dan sekitarnya. Ini berdasarkan riwayat Maymūnah, dan
kesepakatan ulama sebagaimana yang diceritakan oleh Ibn ‘Abd Al-Bārr.
3. Cara menyucikan kulit bangkai yakni dengan cara menyamaknya.

12
4. Cara menyucikan cermin, pisau, pedang, kuku, tulang, kaca dan benda-benda licin yakni
dengan cara mengusapnya hingga najis itu hilang.
5. Cara menyucikan sandal, yaitu dengan persentuhan dengan tanah.

2.4.3 Najis yang Dimaafkan

Najis ada yang dimaafkan ada pula yang tidak dimaafkan. Apabila najis tersebut tidak
dimaafkan maka, tidak perlu disucikan dengan air. Hal ini telah dijelaskan oleh Ahmad Reza
[CITATION Ahm15 \p 141 \n \l 1033 ] , dengan menambahkan bahwa maksud najis yang dimaafkan
adalah najis yang dimaklumi keberadaannya. Walaupun najis ini mengenaik, pakaian, tempat,
dan tubuh, maka dalam melakukan ibadah, ibadahnya dikatakan sah. Diantara najis-najis ini
adalah:

1. Najis yang tidak terlihat oleh mata sehat karena sedikitnya.


2. Bangkai binatang yang darahnya tidak mengalir.
3. Darah atau nanah yang berasal dari tubuh sendiri dan jumlahnya sangat sedikit.
4. Bulu yang najis, tetapi jumlahnya sedikit
5. Paruh burung atau mulut tikus yang bersentuhan dengan air.
6. Debu yang bercampur dengan najis.

13
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah kami susun sebagai makalah, maka dapat ditarik kesimpulan
penting, yaitu:

1. Air terbagi-bagi macamnya baik secara hukumnya, kuantitasnya, tempatnya.


2. Boleh tidaknya menggunakan air musta’mal menjadi ikhtilaf di kalangan para ‘Ulama
Fiqh, ada yang membolehkan, memakruhkan. Hukum tersebut disesuaikan baik itu
berlatar belakang situasi ataupun mutlak.
3. Air berdasarkan banyak dan tidaknya, mempengaruhi kualitas air tersebut. Hukum
asalnya adalah mutlak. Namun apabila ada indikator-indikator yang mempengaruhi
berubahnya hukum penggunaan air, maka berubahlah fungsinya juga.
4. Najis itu terbagi-bagi berdasarkan cara membersihkannya dan macam-macamnya banyak.
Ada hadis yang terkatogorikan dimaafkan. Cara membersihkannya tidak terpaku pada air
saja.
3.2 Saran

Dari makalah yang telah disusun ini, maka berdasarkan pembahasan dan kesimpulan
yang di bisa diambil adalah sebagai berikut.

1. Hendaknya air menjadi media utama untuk membersihkan, dan tata cara pembersihan
secara Islami harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu mengetahui
fungsi air sebagai alat untuk membersihkan supaya tidak ada pemborosan penggunaan
air.

14
2. Setiap individu/golongan harus mampu membuat kebijakan untuk dirinya
sendiri/kelompok agar kebersihan selalu dijaga ketat.
3. Mengadakan daurah Thaharah bagi setiap Lembaga yang memiliki program “Kebersihan
yang Diterapkan”. Supaya dapat mengamalkan dengan keilmuan yang jelas.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z., & Mas'ud, I. (2000). Fiqh Madzhab Syafi'i. Bandung: Pustaka Setia.
Al-'Awaisyah, S. H.-Q.-S. (2008). Ensiklopedi Fiqh Praktis (Vol. 2). (T. P. Asy-Syafi'i, Ed., A.
I. Al-Atsari, S. Yunud, & S. Zulfan, Trans.) Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi'i.
Al-Bantani, I. A.-N. (2018). Syarah Kasyifah As-Saja (Vol. I). (I. Zuhri, Trans.) Salatiga:
Pondok Pesantren Al-Yasin.
An-Nuri, H. S., & Al-Maliki, A. A. (n.d.). Ibanat Al-Uhkam. (M. Ali, Trans.) Mutiara Ilmu.
Asy-Syafi'i, I. A. (2016). Al-Umm (1 ed., Vol. 1). (M. I. Santosa, Ed., & F. S. Nur, Trans.)
Jakarta: Republika Penerbit (PT Pustaka Abdi Bangsa).
Azzam, P. D., & Hawwas, P. D. (2009). Fiqh Ibadah. (L. Kamran As'at Irsyady, L. Ahsan
Taqwim, & L. Al-Hakam Faishol, Trans.) Jakarta: Amzah.
Reza, A. (2015). Buku Pintar Thaharah. Jakarta Selatan: Saufa.
Rifa'i, M. (2018). Risalah Tuntunan Shalat Lengkap. Semarang: Karya Toha Putra Semarang.
Sabiq, S. (2010). Fiqh Al-Sunnah (Vol. I). (D. Irfan, D. M. Basri, M. T. Damas, L. H. Arifin,
Eds., L. Ahmad Shiddiq Thabrani, L. Abdul Amin, L. Futuhal Arifin, & L. Moh. Abidun,
Trans.) Jakarta: Pena Pundi Aksara.
'Uwaidah, S. K. (2008). Fiqh Wanita (26 ed.). (L. HM. Yasir Abdul Muthalib, Ed., & M. A.
E.M, Trans.) Jakarta: Al-Kautsar.
Watiniyah, I. (2017). Kitab Lengkap Salat, Shalawat, Zikir dan Do'a. Jakarta: Kaysa Media.

15

Anda mungkin juga menyukai