Anda di halaman 1dari 27

Istihalah dan tagoyur

Dalam syariah, sesuatu yang asalnya suci lalu kemudian terkena najis, cara mensucikannya cukup
dibersihkan sampai najis yang menempel itu hilang tidak berbekas. Cara menghilangkan itu pun
banyak macamnya, bisa dengan disiram air, atau dikeringkan di bawa sinar matahari, atau juga bisa
dikerik dan sebagainya. Intinya najis itu hilang.
Itu sesuatu yang memang awalnya suci dan bersih kemudian terkena najis, berbeda dengan sesuatu
yang memang aslinya najis. Dia bukan barang suci yang tertempel najis, akan tetapi memang aslinya
bendi itu najis, seperti khamr (bagi jumhur ulama 4 madzhab yang memang mengkategorikan Khamr
sebagai najis), kulit bangkai hewan, kotoran manusia dan binatang dan lainnya. Apakah bisa
disucikan? Tentu bisa.
Untuk mensucikan sesuatu yang aslinya najis, ada 2 caranya;
[1] Disamak,
[2] Istihalah (Perubahan wujud)

[1] Samak
Samak adalah cara untuk mensucikan kulit bangkai hewan. Selain untuk merubah status kulit bangkai
tersebut dari najis menjadi suci, samak juga berfungsi untuk menghilangkan bau yang ada pada kulit
bangkai dan juga menjadi tahan lama serta bisa digunakan untuk menghasilkan sesuatu, seperti
membuat sepatu atau juga jaket.

Lalu bagaimana dengan kulit anjing dan babi, apakah ia juga bisa jadi suci dengan disamak?
[2] Istihalah
Istihalah adalah sebutan dalam bahasa yang berarti perubahan. Dalam beberapa kitab, ulama-ulama
fiqih mendefinisikan istihalah dengan makna perubahan wujud suatu benda dari satu bentuk dengan
sifatnya kepada bentuk lain dan dengan sifat yang berubah juga.
Seperti anggur yang awalnya benda suci, kemudian berubah (dirubah) menjadi khamr, maka menjadi
najis. Atau juga air mani yang dalam madzhab jumhur (selain madzhab Imam Syafi'i) itu dihukumi
sebagai najis namun statusnya berubah menjadi suci ketika menjadi janin orokk. Atau juga makanan
yang kita makan, kemudian masuk ke mulut dan dihancurkan oleh lambung kemudian keluar, baik
lewat mulut (muntah) atau lewat dubur (BAB), maka status makanan tersebut yang awalnya suci
menjadi najis karena sudah tidak disebut lagi sebagai makanan. Sifat dan wujudnya berubah.

Istihalah (Tidak) Merubah Status Hukum Benda


Tapi sayangnya, dalam masalah istihalah ini, ulama madzhab-madzhab fiqih tidak pada satu suara.
Artinya mereka tidak sepakat bahwa istihalah bisa merrubah suatu hukum benda dari najis ke suci
atau sebaliknya. Beberapa kalangan dari mereka tetap memperhatikan asal bendanya, kalau asalnya
najis ya tetap saja najis walau telah berubah wujud dan sifat benda tersebut.
Pendapat Pertama: istihalah merubah hukum status benda.
Artinya, denagn itihalah suatu benda yang najis bisa jadi suci, dan benda yang suci bisa jadi najis. Ini
adalah pendapat madzhab Imam Abu Hanifah serta madzhab al-Malikiyah. Dan diikuti oleh madzhab
al-Zohiriyah juga Imam Ibnu Taimiyah (al-Bahru ar-Raiq: 1/329, asy-Syarh al-Kabir ma'a Hasyiah adDasuqi: 1/51)

Pertama: Allah swt telah menghukumi terhadap sesuatu dengan sebuah hukum (najis/suci) yang Allah
sebutkan namanya di dalam al-Qur'an, jika nama dan hakikat sesuatu itu sudah tidak ada, maka
hukumnya pun tidak ada juga. Sebagaimana garam bukanlah lagi tulang atau daging, tanah dan abu
bukanlah lagi kotoran dan bangkai, khomr bukanlah cuka, manusia bukanlah darah dan seterusnya.
(al-Muhalla: 1/128)

Kedua: Permasalahan ini mirip dengan khomr yang berubah sendiri menjadi cuka, maka cuka tersebut
dihukumi suci menurut kesepakatan ulama, dan benda-benda lainnya hukumnya seperti itu juga.
Selain itu, bisa diqiyaskan juga dengan kulit bangkai yang disamak, maka dia akan menjadi suci.
Kalau pada benda-benda ini status hukumnya berubah, lalu kenapa tidak pada yang lain?
Pendapat inilah yang direkomendasi oleh an-Nadwah at-Tibbiyah al-Fiqhiyah ke-8 yang
diselenggarakan oleh Organisasi Islam Untuk Ilmu-ilmu Kedokteran di Kuwait pada tanggal 22-24 /
12/ 1415 H, bertepatan dengan tanggal 22-24/5 1995 M. Disebutkan di dalamnya bahwa: "alIstihalah adalah perubahan satu benda ke benda lain yang berbeda sifatnya, dan merubah status
benda najis menjadi suci, dan merubah yang haram menjadi mubah secara syar'I. Oleh karena itu,
diputuskan bahwa gelatin yang merupakan hasil perubahan tulang hewan najis dan kulitnya adalah
suci dan boleh dimakan. Begitu juga, sabun hasil perubahan dari lemak babi atau bangkai hewan
menjadi suci dengan al-istihalah dan boleh dipakai. Keju yang dibuat dari bangkai binatang yang
halal dagingnya, hukumnya menjadi suci dan boleh dimakan. Adapun salep, cream, dan lipstick yang
mengandung lemak babi adalah najis, tidak boleh dipakai kecuali jika terbukti bahwa lemak tersebut
sudah berubah menjadi benda lain."
Rekomendasi tersebut dikuatkan dengan keputusan an-Nadwah al-Fiqhiyah yang ke -14 yang
diselenggarakan oleh Majma' al- Fiqh al-Islami India di kota Haidar Abad pada tanggal 20-22/6/2004.
Walaupun begitu, dikarenakan para pakar masih berbeda pendapat tentang gelatin ini, maka anNadwah menganjurkan untuk tidak menggunakan benda-benda yang terbuat dari tulang dan kulit
binatang yang diharamkan.
Pendapat Kedua : Al-istahalah tidak bisa merubah sesuatu yang asalnya najis menjadi suci.
Artinya memang sesuatu yang awalnya najis tidak bisa berubah status najisnya dengna istihalah, najis
tetap menjadi najis walauupun telah berubah sifat dan wujudnya. Ini adalah pendapat resmi madzhab
Imam al-Syafi'i dan juga salah satu riwayat dari Imam Ahmad serta pendapat Imam Ya'qub Abu Yusuf
dari kalangan al-hanafiyah.
Asy-Syairazi berkata: "Barang najis tidak bisa menjadi suci dengan proses al-istihalah, kecuali kulit
bangkai jika disamak dan khomr ..jika kotoran dan pupuk terbakar dan berubah menjadi abu,
tidaklah menjadi suci." (al-Muhadzab : 1/10)
Ibnu Qudamah berkata: "Dhahir (yang tampak ed) dari al-Madzhab (yaitu madzhab Imam Ahmad)
menyatakan bahwa barang najis tidak bisa menjadi suci begitu saja dengan cara al-istihalah.
Kecuali, khamr yang berubah sendiri menjadi cuka. Adapun yang lainnya hukumnya tetap najis,
seperti benda-benda najis yang terbakar dan menjadi abu, begitu juga babi jika jatuh di tempat
pembuatan garam kemudian menjadi garam, dan asap yang berasal dari bahan bakar najis, dan uap
beterbangan yang berasal dari air najis, jika berubah menjadi embun pada suatu benda kemudian
menetes, maka hukumnya tetap najis. (al- Mughni : 1/ 97)
Kelompok ini hanya melegalkan 2 benda najis yang jadi suci karena berubah (istihalah), yakni;
1. Kulit bangkai yang disamak (selain kulit najing dan babi)
2. khamr (najis) yang berubah menjadi cuka (suci), dengan syarat perubahannya secara sendiri tidak
ada campur tangan manusia di dalam perubahannya. Kalau ada campur tangan manusia, seperti
dicampur cairan atau sejenisnya sehingga berubah menjadi cuka, ia tetap najis.
Akan tetapi madzhab Imam al-Syafi'i punya satu lagi, yaitu darah rusa yang berubah menjadi misik;
sejenis minyak wangi.

Argumen
Salah satu yang menjadi argument pendapat ini adalah hadits Anas bin Malik yang direkam oleh
Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya yang menyebutkan bahwa Nabi saw pernah ditanya tentang
khamr yang dijadikan cuka (maksudnya dengan dicampur sesuatu agar cepat menjadi cuka),
kemudian Nabi menjawab: "Tidak Boleh!".
Maksudnya adalah khamr itu pasti akan menjadi cuka jika dibiarkan, hanya saja proses pembiaran itu
memakan waktu 2 3 hari. Lalu para sahabat bertanya kepada Nabi bagaimana kalau khamr itu
dicampur dengan bahan lain sehingga perubahannya menjadi cuka menjadi lebih cepat, jadi tidak
perlu nunggu lama. Tapi Nabi saw melarangnya.
Berarti proses membuat khamr jadi cuka adalah terlarang, dan sesuatu yang terlarang tidak
memberikan perubahan status hukum itu sendiri. Seperti daging hewan yang halal kalau mati secara
disembelih, akan tetapi kalau matinya bukan disembelih berarti statusnya bangkai dan najis, haram
dimakan. Padahal hewan yang disembelih dengan yang tidak disembelih itu sama-sama mati
statusnya.
[1] Berubah Sendirinya
Nabi membolehkan jika khamr itu berubah dengan sendirinya namun tidak jika ada campur tangan
manusia. Artinya mempercepat perubahannya itu diharamkan. Sama seperti seorang anak yang
membunuh ayahnya agar cepat dapat warisan, tentu diharamkan dan ia pun diharamkan pula
mendapat warisan. Aslinya ia dapat dan memang ahli waris, tapi karena dipercepat bukan pada
waktunya, statusnya menjadi haram.
Ini juga sama pada benda-benda lainnya, kalau berubahnya itu sendiri, itu yang menjadi suci. Tapi
kalau berubahnya melalui proses tangan manusia, itu tidak bisa membuat statusnya menjadi suci
seperti perumpamaan yang ada di atas. Aslinya memang berubah, hanya karena perubahannya itu
tidak alami, itu tidak menjadi suci. (Kifayah al-Akhyar 1/74)
[2] Berubah Menjadi Sesuatu Yang Shalah (Baik)
Selain berubah sendiri, istihalah yang merubah status hukum itu jika perubahannya mengarah kepada
sesuatu yang baik, seperti darah yang berubah dan bercampur jadi susu juga daging.
Imam Syarwani mengatakan; "apa yang berubah (istihalah) menjadi sesuatu yang baik seperti susu
dari makanan, atau seperti sesuatu yang hidup, atau juga seperti telur, itu hukumnya suci." (Hasyiah
Syarwani 'ala Tuhfah al-Muhtaj 1/288)
Pendapat inilah yang diambil oleh Lembaga Fatwa di Saudi Arabia yang memutuskan haramnya
penggunaan gelatin yang terbuat dari binatang yang haram seperti babi atau dari anggota tubuhnya
seperti kulit dan tulangnya. Pendapat yang serupa juga diambil oleh al- Majma' al- Fiqh li Rabitah
al-'alam al-Islami pada pertemuan yang ke -15 yang diselenggarakan di Mekkah al-Mukaramah pada
tanggal 11/7/ 1419.

Bab 1 IFAAL WALAA HARAJ


Pada 10 Zulhijjah, dari atas untanya, Nabi Muhammad SAW menyampaikan khutbah. Usai
khutbah, seseorang bertanya, Saya berziarah dulu (tawaf) ke Baitullah, setelah itu saya melempar
jumrah? Beliau berkata: Ifal, la haraj (lakukan saja, tidak ada salahnya). Yang lain berkata, Saya
bercukur dulu sebelum menyembelih. Beliau berkata: Lakukan saja, tidak ada salahnya. Yang lain
bertanya lagi, Saya menyembelih sebelum melempar? Beliau berkata: Lakukan saja, tidak ada
salahnya. Kata Abdullah bin Umar, Setiap Nabi SAW ditanya tentang sesuatu yang didahulukan
atau diakhirkan, beliau selalu berkata:Ifal, la haraj (lakukan saja, tidak ada salahnya). (Shahih alBukhari, Kitab al-Hajj).
Para ulama menghitung tak kurang dari 24 cara haji yang disampaikan kepada Rasulullah SAW, dan
beliau membenarkannya: bercukur sebelum melempar, bercukur sebelum menyembelih, menyembelih
sebelum melempar, tawaf ifadah sebelum melempar, tawaf ifadah sebelum bercukur, melempar
dan ifadah bersamaan sebelum bercukur, tawaf ifadah sebelum menyembelih, sai sebelum tawaf, dan
lain-lain. Berbagai cara berhaji itu mula-mula memang dipertengkarkan oleh para sahabat Nabi.
Masing-masing merasa hajinya yang paling benar. Ketika setiap cara itu dikemukakan kepada Nabi
SAW, beliau
membenarkan semuanya; Lakukan saja, tidak ada salahnya.
Bukankah itu menunjukkan bahwa setiap perbuatan yang harus dilakukan oleh mukallaf dan
Nabi SAW tidak menentukan dengan tegas cara-cara dan urutannya- pelaksanaannya lebih luas.
Setiap mukallaf dapat melakukannya sesuai dengan keyakinannya, tulis Muhammad Jalil Isa ketika
mengomentari hadis ini (lihat kitabnya, Ma la Yajuz Fihi al-Khilaf, hlm.66). Sebagai Rasul Allah,
Nabi SAW berhak menentukan mana-mana cara dan urutan haji yang benar. Tapi beliau malah
menyerahkannya kepada pertimbangan praktis para pengikutnya. Bandingkan perilaku Nabi SAW ini
dengan sebagian besar kita. Tak ada hak pada kita untuk menentukan mazhab fikih yang benar atau
salah, tapi kita malah menetapkan hanya cara dan urutan ibadah haji seperti yang kita amalkan saja
yang benar. Dengan mengutip ucapan para sahabat, kita masing-masing berkata, Nahnu
ashwab (kamilah yang benar)
Ketika Nabi SAW berkata ifal, la haraj, beliau bukan saja mengajarkan penghargaan pada
pemahaman agama yang berbeda. Beliau juga menunjukkan bahwa yang paling penting dari ibadah
haji bukanlah ritus-ritus formalnya, melainkan hakikatnya. Ritus-ritus itu, walaupun tidak boleh
ditinggalkan, hanyalah wahana untuk tujuan haji yang sebenarnya. Kita tak perlu
mempertentangkannya. Yang perlu dibicarakan adalah bagaimana membersihkan ibadah haji kita dari
kata-kata kotor, kefasikan, dan pertengkaran, apapun alasannya. Inilah yang disebut adab haji atau
rahasia haji (asrar al-hajj)
Keutamaan Haji. Banyak hadis menjelaskan keutamaan ibadah haji dan tempat-tempat yang
mulia, yang diziarahi jamaah haji: Barangsiapa yang haji ke Baitullah, kemudian tidak berkata kotor
dan tidak berbuat dosa, ia keluar dari dosanya seperti ketika ia keluar dari perut ibunya. Barangsiapa
yang meninggal di salah satu Haramain (Mekkah dan Medinah), ia tidak akan dihadapkan kepada
pengadilan Tuhan, tidak akan diperiksa, dan akan dikatakan kepadanya, Masuklah ke sorga.
Orang-orang yang berhaji adalah rombongan Tuhan dan para peziarah-Nya. Jika mereka
meminta, Tuhan akan mengabulkan permintaannya. Jika mereka meminta ampunan, Tuhan akan
mengampuninya. Jika mereka berdoa, Tuhan akan mengabulkannya. Jika mereka
memintasyafaat mereka akan diberi syafaat.
Semua keutamaan haji ini hilang bila orang meninggalkan adab batiniahnya. Haji
adalah safarruhani menuju Allah SWT. Menurut Imam Al-Ghazali, orang tidak akan mencapai Tuhan
tanpa meninggalkan kelezatan syahwat dan keterikatan pada hawa nafsu. Dahulu, untuk mencapai
Tuhan, para pendeta meninggalkan tanah airnya, mengembara dengan menanggung berbagai
kesulitan. Mereka hidup sederhana sambil merendahkan dirinya di hadapan kebesaran Allah. Boleh
jadi mereka berpakaian kusam dan berambut kusut masai, berkelana dalam perjalanan panjang
mencari Tuhan.
Ketika Nabi SAW ditanya para pemeluk agama terdahulu tentang kependetaan dan
pengembaraan, beliau berkata: Allah sudah menggantikannya untuk kami dengan jihad dan takbir
pada setiap tempat yang mulia. Yang dimaksud Nabi dengan jihad dan takbir ini adalah haji. Dalam
ibadah haji, setiap Muslim menjalani kehidupan kependetaan. Bukankah ketikawuquf di Arafah,
Tuhan membanggakan jamaah haji di hadapan para malaikat-Nya: Hamba-hamba-Ku datang kepadaKu dengan rambut kusut masai dari setiap sudut negeri yang jauh. Wahai hamba-hamba-Ku, bubarlah

dari Arafah dengan ampunan-Ku atas kamu. Jamaah haji adalah jamaah pendeta, rombongan orang
suci.
Sepuluh Rahasia Haji. Untuk menjalankan tugas kependetaan itu, selain memperhatikan ritusritus haji, jamaah haji harus menjaga adab-adab batiniah ibadah haji. Al-Ghazali menyebutkan
sepuluh etika haji. Pertama, hendaknya ia berhaji dengan harta yang halal. Ia harus meninggalkan
perhatian pada urusan pekerjaan dan bisnisnya. Ia harus mencurahkan perhatiannya semata-mata
kepada Allah. Rasulullah SAW pernah menubuatkan jenis-jenis haji pada akhir zaman: Pada akhir
zaman nanti, manusia yang keluar melakukan ibadah haji terdiri dari empat macam. Para pejabat haji
untuk pesiar, pedagang untuk berniaga, orang miskin untuk mengemis, dan ulama untuk kebanggaan.
Kedua, hendaknya ia berusaha untuk tidak menyerahkan dirinya diperas orang-orang yang
mengganggu jamaah haji. Tentang itu, Al-Ghazali menyebutkan para perompak zaman dulu yang
merampok jamaah haji di perjalanan. Ia mengutip pendapat para ulama bahwa lebih baik
meninggalkan sunnat haji daripada mendukung kezaliman. Ketiga, hendaknya ia tidak memboroskan
bekalnya untuk makan dan minum yang mewah atau membeli kelezatan-kelezatan di perjalanan, Ia
harus banyak menggunakan hartanya untuk bersedekah, menolong orang lain, atau memberikan bekal
pada teman seperjalanan. Keempat, hendaknya ia meninggalkan segala macam akhlak yang tercela
kekejian dan kefasikan, serta perdebatan dan perbantahan. Yang termasuk kekejian adalah berkata
kotor, kasar, atau yang menusuk perasaan. Juga bedusta, memfitnah, menipu. Kelima, diutamakan
memperbanyak berjalan. Sekarang ini mungkin lebih baik meninggalkan Arafah dan menuju Muna
dengan berjalan kaki daripada dengan kendaraan. Dengan berjalan kaki, ia akan sempat tidur di
Muzdalifah dan pagi-pagi berangkat menuju Muna. Sudah bisa dipastikan bahwa mereka akan tiba di
Muna lebih cepat dari orang yang menyewa kendaraan.
Keenam, karena berkaitan dengan jenis kendaraan masa lalu, kita tidak menyebutkannya di
sini.Ketujuh, hendaknya ia berpakaian sederhana dan meninggalkan tanda-tanda kesombongan dan
kemewahan. Bukankah pada waktu ihram, kita dianjurkan untuk tidak menyisir rambut sehingga
rambut kita akan kelihatan kusut masai. Haji dimaksudkan untuk membesarkan Allah dan
mengecilkan diri kita. Kedelapan, berkenaan dengan unta, yang tidak relevan pada waktu
sekarang. Kesembilan, berkenaan dengan kewajiban untuk berkorban dan membagikan dagingnya
kepada fakir miskin. Kesepuluh, hendaknya ia bersabar untuk menerima musibah apapun saat
melakukan ibadah haji. Ia bersabar atas musibah yang menimpa badannya atau bila ia kehilangan
hartanya.
Rahasia haji dari Al-Ghazali sebetulnya menggambarkan perspetif sufi. Ratusan tahun
sebelum Al-Ghazali lahir, Imam Jafar Al-Shadiq ra., tokoh besar dalam dunia tasawuf, memberikan
nasehat kepada para jamaah haji: Jika engkau berangkat haji, kosongkanlah hatimu dari segala
urusan, dan hadapkanlah dirimu sepenuhnya kepada Allah. Tinggalkan setiap penghalang dan
serahkan urusanmu kepada Penciptamu. Bertawakkallah kepadanya dalam setiap gerak dan diammu.
Berserah dirilah pada ketentuanNya, hukum-hukumNya, dan takdirNya. Tinggalkan dunia,
kesenangan dan seluruh makhluk. Keluarlah dari kewajiban yang dibebankan kepadamu dari mahluk
Tuhan. Janganlah bersandar pada bekalmu, kendaraanmu, sahabatmu, kekuatanmu, kemudaanmu dan
kekayaanmu.
Buatlah persiapan seakan-akan engkau tidak akan kembali lagi. Bergaullah dengan baik. Jaga waktuwaktu dalam melaksanakan kewajiban yang ditetapkan Allah SWT dan Sunnah Nabi SAW, berupa
adab, kesabaran, syukur, kasih sayang, kedermawanan, mendahulukan orang lain sepanjang waktu.
Bersihkan dosa-dosamu dengan air taubat yang ikhlas.
Pakailah pakaian kejujuran, kesucian, kerendahan hati, dan kekhusyukan. Berihramlah
dengan meninggalkan segala sesuatu yang menghalangi kamu mengingat Allah dan mencegahmu
mentaatiNya. Bertalbiyahlah kamu dengan menjawab panggilan Allah dengan ikhlas, suci dan bersih
dalam doa-doa kamu, seraya tetap berpegang pada tali yang kokoh.
Bertawaflah dengan hatimu bersama para malaikat sekitar Arasy, sebagaimana kamu bertawaf
dengan jasadmu bersama manusia di sekitar Baitullah. Keluarlah dari kelalaianmu dan
ketergelinciranmu ketika engkau keluar ke Muna dan janganlah mengharapkan apapun yang tidak
halal dan tidak layak bagimu.
Akuilah segala kesalahanmu di tempat pengakuan (Arafah). Perbaharuilah perjanjianmu di
depan Allah dengan mengakui keesanNya. Mendekatlah kepada Allah di Muzdalifah. Sembelihlah
tengkuk hawa nafsu dan kerakusan ketika engkau menyembelih dam. Lemparkan syahwat,
kerendahan, kekejian dan segala perbuatan tercela ketika melempar Jamarat.

Cukurlah aib-aib lahir dan batin ketika mencukur rambut. Tinggalkan kebiasaan menuruti
kehendakmu dan masuklah kepada perlindungan ke Masjid Al-Haram.
Bab 2
DI MANAKAH MIQAT MAKANI
JEMAAH HAJI INDONESIA?
SALAH SATU MASALAH manasik atau tatacara haji yang banyak diperbincangkan, bahkan
diperdebatkan, adalah masalah miqat makani, yaitu tempat jemaah haji mulai berihram (memakai
pakaian ihram dan tidak melakukan larangan ihram). Perbedaan pendapat muncul lantaran interpretasi
yang beraneka ragam terhadap hadits dalam Shahih al-Bukhari, Volume ke-2, hadits No. 605, yang
berbunyi sebagai berikut:
Dari Abdullah ibn Abbas r.a. yang berkata: Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah menetapkan miqat
(waqqata) Dzulhulaifah bagi warga Madinah, Juhfah bagi warga Syam, Qarnulmanazil bagi warga
Najd, dan Yalamlam bagi warga Yaman. Tempat-tempat itu (hunna) berlaku bagi warga masingmasing tempat itu (lahunna) dan bagi yang datang ke tempat-tempat itu (wa li man ata `alaihinna)
dari tempat-tempat lain (min ghairihinna), yang ingin berhaji dan berumrah. Dan orang yang berada
di luar tempat-tempat itu (wa man kana duna dzalika) berihram dari mana saja dia muncul (min
haitsu ansya), sehingga warga Makkah berihram dari Makkah.
Sesungguhnya empat lokasi yang disebutkan Nabi Muhammad s.a.w. itu, yaitu Dzulhulaifah, Juhfah,
Qarnulmanazil dan Yalamlam, sama sekali tidak memiliki nilai historis yang perlu diistimewakan.
Tempat-tempat itu pada zaman Nabi hanyalah merupakan terminal persinggahan terakhir bagi
kafilah-kafilah dari berbagai jurusan sebelum masuk Makkah, baik untuk beribadah maupun untuk
sekadar berdagang. Sangatlah wajar jika Nabi Muhammad s.a.w. menetapkan empat lokasi tersebut
sebagai tempat persiapan berihram, sebab ada beberapa kegiatan pra-ihram yang perlu dilakukan,
yaitu mandi, membersihkan badan, memakai wangi-wangian, mengenakan pakaian ihram, dan shalat
sunnah ihram. Di daerah gurun pasir yang langka air pada abad ketujuh, empat lokasi itulah yang
ideal sebagai miqat makani.
Akan tetapi Nabi Muhammad s.a.w., baik dalam sabda maupun perbuatan beliau, tidaklah
memutlakkan keempat lokasi itu. Dari hadits di atas jelas sekali bahwa calon haji yang tidak datang ke
salah satu tempat tersebut boleh berihram dari mana saja dia muncul. Yang penting, syarat sahnya
ihram harus dipenuhi, yaitu memasuki Tanah Haram dalam keadaan sudah berihram. Jika seseorang
yang ingin berhaji atau berumrah menginjak Tanah Haram dengan belum berihram, maka dia harus
keluar lagi ke salah satu tempat di luar Tanah Haram untuk memulai ihram.
Ketika pulang dari perang di Hunain pada bulan Syawwal 8 Hijri atau Februari 630 Masehi, Nabi
Muhammad s.a.w. melakukan umrah dengan mengambil miqat atau tempat mulai berihram di
Ji`ranah, tempat di luar Tanah Haram yang hanya 20 km dari Ka`bah. Nabi Muhammad s.a.w. tidak
mengambil miqat di Qarnulmanazil, meskipun Hunain,
Ketika Nabi Muhammad s.a.w. mengerjakan haji pada bulan Dzulhijjah 10 Hijri atau Maret 632
Masehi, istri beliau Aisyah r.a. kebetulan sedang haid. Maka setelah Aisyah r.a. berhenti haid, Nabi
Muhammad s.a.w. menyuruhnya untuk menunaikan umrah bersama-sama adiknya Abdurrahman ibn
Abi Bakar dengan mulai berihram dari Tan`im, tempat di luar Tanah Haram yang paling dekat. Setelah
kota Kufah dan Basrah di Iraq menerima Islam pada tahun 12 Hijri atau 634 Masehi, pada mulanya
penduduk kedua kota itu yang ingin berhaji atau berumrah mengambil Qarnulmanazil sebagai tempat
miqat, sebab mereka dianalogikan sebagai warga Najd. Oleh karena mereka merasa repot dengan
harus berbelok ke tenggara (waktu itu transportasi dan jalan raya tidak secanggih sekarang), mereka
menghadap Khalifah Umar ibn Khattab r.a. untuk meminta alternatif tempat miqat. Sebagaimana
diceritakan oleh Abdullah ibn Umar r.a., putra Khalifah sendiri, yang tercantum dalam Shahih alBukhari, mereka berkata: Wahai Amirul-Muminin. Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah menentukan
Qarn sebagai miqat warga Najd, tetapi tempat itu menyimpang dari rute jalan kami (jawrun `an
thariqina), dan jika kami ingin ke Qarn hal itu menyulitkan bagi kami (syaqqa `alaina). Maka
Khalifah Umar r.a. yang cerdas itu memberikan solusi bijaksana: Telitilah hadzwa-nya dari rute jalan
kalian (fanzhuru hadzwaha min thariqikum).
Istilah matematika hadzwa artinya titik-titik sepusat (concentric points) atau berjarak sama jika diukur
dari lokasi tertentu, seperti titik-titik pada keliling lingkaran atau seperti kita dengan bayangan di
depan cermin. Oleh karena Qarnulmanazil berjarak dua marhalah (dua hari perjalanan unta) dari
Makkah, maka Khalifah Umar r.a. menetapkan suatu tempat pada rute perjalanan dari Iraq, yang juga

berjarak dua marhalah dari Makkah, sebagai lokasi miqat makani. Tempat itu lalu populer dengan
nama Dzatu Irq (tempat miqat orang Iraq).
Berdasarkan hadits-hadits serta data historis yang telah dibahas, kita dapat merumuskan jawaban
terhadap masalah pokok kita: di manakah miqat makani jemaah haji Indonesia? Pertama, jika kita
berkesempatan untuk mampu berada di Dzulhulaifah, Juhfah, Qarnulmanazil atau Yalamlam, tempattempat itulah miqat makani kita sesuai dengan hadits. Kedua, jika kita tidak mampu datang ke salah
satu dari empat tempat tersebut (sebab paspor coklat jemaah haji Indonesia hanya berlaku untuk
Makkah-Madinah-Jeddah), tempat mana saja boleh kita jadikan sebagai miqat makani, asalkan
lokasinya di luar Tanah Haram dan menyediakan fasilitas untuk persiapan berihram.
Bagi jemaah haji Gelombang Pertama yang ke Madinah dahulu sebelum ke Makkah, miqat makani
mereka sudah tentu Dzulhulaifah, tempat miqat Rasulullah s.a.w. ketika beliau menunaikan haji.
Nama Dzulhulaifah tidak dipakai lagi, sebab tempat itu kini bernama Bir (Abyar) Ali, sebagaimana
nama Sunda Kalapa dan Batavia (Betawi) sekarang berubah menjadi Jakarta. Para jemaah haji mandi,
memakai wangi-wangian, dan mengenakan pakaian ihram pada pondokan masing-masing di
Madinah. Kendaraan akan mampir di Bir Ali (Dzulhulaifah) kira-kira setengah jam, agar jemaah haji
menunaikan shalat sunnah ihram. Di Bir Ali, ketika kendaraan mulai bergerak ke arah Makkah,
jemaah haji memulai umrah dengan
mengucapkanLabbaikAllahumma`Umrah.
Bagi jemaah haji Gelombang Kedua yang langsung ke Makkah, miqat makani mereka yang paling
ideal sampai saat ini adalah Bandar Udara Raja Abdul Aziz, yang populer dengan singkatan KAA
Airport (King Abdul Aziz Airport). Di bandara megah ini tersedia hamparan karpet tempat istirahat
yang luas, fasilitas mandi dengan air yang berlimpah, serta para petugas orang Indonesia yang siap
membantu, sehingga para jemaah haji dengan leluasa mandi, memakai wangi-wangian, mengenakan
pakaian ihram, dan menunaikan shalat sunnah ihram. Kenyataannya, sebagian besar jemaah haji dari
berbagai negara mulai berihram di KAA Airport. Sedikit sekali jemaah yang turun dari pesawat udara
dalam keadaan berihram. Di KAA Airport, ketika kendaraan mulai bergerak ke arah Makkah yang
hanya satu jam perjalanan, jemaah haji memulai umrah dengan mengucapkan Labbaik Allahumma
`Umrah.
KAA Airport jelas berada di luar Tanah Haram, dan jalur penerbangan kita dari tanah air sama sekali
tidak melewati Tanah Haram. Menurut ketentuan pemerintah Arab Saudi yang disahkan oleh ICAO
(International Civil Aviation Organization), badan PBB yang mengatur penerbangan sipil
antarbangsa, setiap pesawat udara dari kawasan Asia dan Pasifik harus datang dari arah timur laut,
melewati kota Dafinah (23 16 N, 41 51 E), lalu menurunkan ketinggian di atas kota Nasir (22 14 N,
40 04 E), dan mendarat di KAA Airport (21 41 N, 39 10 E). Bandara ini terletak di utara Jeddah (21
29 N, 39 10 E), dan cukup jauh dari Makkah (21 28 N, 39 55 E). Di sekitar garis Tropic of Cancer,
1 derajat North = 111 km (1 = 1,85 km) dan 1 derajat East = 108 km (1 = 1,80 km). Maka dengan
eksak dapat kita hitung bahwa KAA Airport berjarak lurus 22 km di utara Jeddah dan berjarak lurus
84,5 km di barat lautMakkah.
Jalur penerbangan dari tanah air kita ke KAA Airport juga sama sekali tidak lewat di atas salah satu
dari empat tempat miqat yang disebutkan dalam hadits. Dari empat tempat miqat tersebut, yang relatif
paling dekat dengan jalur penerbangan adalah Qarnulmanazil (21 37 N, 40 25 E). Seperti nama
Dzulhulaifah, nama Qarnulmanazil tidak dipakai lagi. Tempat itu kini bernama As-Sayl al-Kabir, dan
ternyata sangat jauh dari jalur penerbangan. Garis lurus dari Qarnulmanazil ke jalur penerbangan
membentuk sudut siku-siku tepat pada kota Nasir. Dengan demikian, jarak dari Qarnulmanazil ke
jalur penerbangan (kota Nasir) secara eksak dapat kita hitung, yaitu 78,2 km, lebih jauh dari jarak
lurus
Bagaimanakah halnya pendapat yang mengatakan bahwa jemaah haji kita harus berpakaian ihram di
tempat embarkasi di Indonesia, lalu mulai berihram di pesawat udara? Pendapat tersebut sah-sah saja
dan tidak ada salahnya. Tapi apa gunanya kita menyiksa diri seperti itu dengan membiarkan tubuh kita
kedinginan selama 10 jam di pesawat udara. Mereka yang memulai ihram dari pesawat udara pada
umumnya berdasarkan hal-hal berikut: Pertama, mereka beranggapan mengambil miqat di
Qarnulmanazil. Kedua, mereka ragu dan waswas kalau-kalau jalur penerbangan melewati batas Tanah
Haram. Ketiga, mereka berpendapat bahwa KAA Airport tidak sah sebagai miqat makani sebab tidak
tersebut dalam hadits. Keempat, mereka hanya mengikuti apa yang diperintahkan oleh para
pembimbing karena memang masih awam dan baru belajar manasik ketika akan pergi haji.
Padahal, seperti telah kita bahas, pesawat udara kita tidak lewat di atas Qarnulmanazil serta
sama sekali tidak melewati Tanah Haram. Memulai ihram dari pesawat udara tidaklah salah, tetapi

janganlah menipu diri sendiri dengan berkhayal mengambil miqat di Qarnulmanazil, apalagi sambil
menyalahkan atau menganggap tidak sah yang mengambil miqat di KAA Airport. Bandara yang baru
dipakai tahun 1979 ini sudah tentu tidak ada dalam hadits, sebagaimana pesawat udara, awangawang dan langit juga tidak pernah disebutkan dalam hadits untuk menjadi tempat
miqat.
Ternyata mereka yang ingin memulai ihram di pesawat udara sering bingung mengenai kapan saat
yang tepat untuk itu. Ada yang mengatakan kira-kira seperempat jam sebelum landing, ada yang
mengatakan kira-kira 20 menit, atau kira-kira 25 menit, dan ada juga pendapat kira-kira 30 menit
sebelum pesawat mendarat di KAA Airport. Semuanya kira-kira! Dengan kecepatan rata-rata (ground
speed) pesawat udara 575 mil atau 920 km per jam, selisih waktu semenit saja dapat menyebabkan
perbedaan lebih dari 15 km. Sudah tentu pelaksanaan ibadah haji dengan metode kira-kira
Ada yang mengatakan bahwa lokasi Qarnulmanazil akan diumumkan oleh pilot pesawat! Dari
beberapa kali penerbangan ke tanah suci, baik umrah maupun haji, saya menyimpulkan bahwa pilot
pesawat udara dan kru-krunya tidak tahu apa-apa mengenai lokasi Qarnulmanazil. Pada salah satu
penerbangan, terdengar pengumuman bahwa pesawat berada di atas Qarnulmanazil dan para jemaah
haji yang ingin memulai ihram segera bersiap-siap. Merasa penasaran saya bertanya bagaimana cara
menentukan koordinat Qarnulmanazil dari udara. Mereka mengaku tidak tahu lokasi Qarnulmanazil
sebab tidak ada dalam peta, dan hanya melaksanakan "instruksi pihak Garuda" agar mengumumkan
hal itu 30 menit sebelum mendarat. Pada penerbangan yang lain, terdengar pengumuman bahwa
pesawat berada di atas miqat makani kota Nasir. Ketika saya mengomentari bahwa tidak ada tempat
miqat bernama Nasir, sang petugas mengatakan bahwa "menurut orang Depag" Nasir adalah nama
baru Qarnulmanazil. Entah orang Depag mana yang dia maksud. Padahal, seperti telah kita hitung,
jarak antara Nasir dan Qarnulmanazil (yang nama barunya As-Sayl al-Kabir) adalah 78,2km.
Saya pernah mengunjungi Qarnulmanazil (As-Sayl al-Kabir) ketika menunaikan umrah pada
bulan Januari 1997. Niat saya adalah pergi ke Taif, berangkat naik taksi dari Makkah melalui
Aziziyah. Ketika pulang dari Taif, supir taksi menawari saya agar kembali ke Makkah melalui jalur
utara, tentu dengan tambahan riyal. Katanya, kita dapat melihat miqat di Sayl dan melihat istad
(stadion olahraga) di Ji`ranah. Mendengar nama Sayl, saya langsung setuju sambil diam-diam
menghitung sisa riyal di saku. Ternyata As-Sayl al-Kabir itu memang lokasi miqat resmi seperti
Dzulhulaifah (Bir Ali). Di sana terdapat tugu miqat, mesjid megah tempat persiapan berihram, dan
lapangan parkir yang luas.
Sekitar satu jam sebelum mencapai Sayl dari arah timur, ada lapangan terbang domestik. Menurut
supir taksi, daerah itu bernama Wadi Mahram. Saya langsung berharap sambil berdoa, semoga
pemerintah Arab Saudi segera meningkatkan status lapangan terbang di Wadi Mahram menjadi
bandara internasional, setidak-tidaknya bandara khusus haji. Dengan demikian, jemaah haji dari arah
timur yang ingin langsung ke Makkah dapat mengambil miqat makani di Qarnulmanazil sesuai
dengan bunyi hadits. Tidak seperti sekarang, banyak yang mengaku berihram dari Qarnulmanazil,
tetapi tidak tahu di mana dan belum pernah ke sana!
Dari seluruh uraian di atas, kita mengharapkan agar para jemaah haji Indonesia mantap dan
tidak ragu-ragu dalam menetapkan miqat makani (tempat memulai ihram), yaitu Dzulhulaifah (Bir
Ali) bagi yang ke Madinah dahulu (Gelombang Pertama), serta Bandar Udara Raja Abdul Aziz
(KAA Airport) bagi yang langsung ke Makkah (Gelombang Kedua).

Bab 3
Ibadah Haji Dan Pelaksanaan Dikalangan Jamaah Haji
Miqat Haji dan Umrah
Miqat menurut bahasa adalah berasal dari kata yang berarti waktu, yakni waktu beribadah
dan tempatnya, bisa juga berarti ( batas).1[7] Sedangkan menurut istilah haji dan umrah, miqat
adalah batas waktu atau tempat untuk memulai ihram haji/umrah. 2[8] Ari definisi miqat ini dapat
difahami bahwa miqat ada dua macam, pertama miqat zamani, yaitu masa memulai ihram, dan kedua
miqat makani, yaitu tempat memulai ihram. Berikut akan dijelaskan lebih rinci.
1.

Miqat Zamani
Miqat Zamani Haji
Miqat zamani adalah batas waktu untuk melaksanakan amaliah (amalan-amalan) haji. Jika
amaliah haji dilakukan di luar waktu yang telah ditentukan, maka haji yang dilakukan tidak sah. Allah
swt. menyatakan bahwa ibadah haji memiliki waktu-waktu tertentu untuk pelaksaannya. hal ini
terlihat dalam firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 197:
.

1
2

(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya
dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats (berkata jorok), berbuat Fasik dan
berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.
Di ayat lain Allah juga menjelaskan tentang miqat zamani:
....

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: bulan sabit itu adalah tanda-tanda
waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji. (QS. Al-Baqarah: 189)
Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan bulan-bulan haji adalah bulan Syawal dan
Dzulqadah. Mereka berbeda pendapat mengenai bulan Dzulhijjah, apakah semua bulan Dzulhijjah
masuk dalam kategori bulan-bulan haji atau hanya sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah saja.
Ibn Umar, Ibn Abbas, Ibn Masud, Madzhab Hanafi, Syafii, dan Ahmad berpendapat bahwa
yang termasuk bulan-bulan haji adalah sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah. Pendapat ini juga
dipegang oleh Abdullah bin Umar, jumhur sahabat, tabiin, menyatakan bahwa waktu pelaksanaan
ibadah haji adalah bulan syawal, Dzulqadah, dan sepuluh hari di awal Dzulhijjah.
Sedikit perbedaan di antara mereka tentang Yaum an-Nahr (hari raya), Hanafiyah dan
Hanabilah berpendapat bahwa hari nahr merupakan bagian dari hari pelaksanaan haji. Sedangkan
menurut Malikiyah bahwa batas waktu pelaksanaan haji terhitung mulai dari malam idul fitri sampai
waktu fajar di hari nahr. Jika seseorang berihram sebelum awal buan Syawal maka hukumya adalah
makruh meski hajinya tetap dinilai sah.3[9] Demikian juga dengan Imam Syafii menyatakan bahwa
bulan haji mulai 1 Syawal sampai dengan terbit fajar 10 Dzulhijjah. 4[10]
Imam Malik dan Ibn Hazm berpendapat bahwa seluruh bulan Dzulhijjah adalah bulan haji.
Dua bulan sepuluh hari menurut Imam Malik dan Ibn Hazm tidak dapat disebut dengan bulan-bulan
haji. Di samping itu, melempar jumrah yang merupakan bagian dari amliah haji dilaksanakan pada
hari ketiga belas Dzulhijjah. Begitu juga dengan tawaf ifadhah yang juga termasuk bagian fardhu haji,
bisa dilakukan dalam bulan Dzulhijjah. Hal ini telah disepakati oleh para ulama. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa bulan-bulan haji adalah tiga bulan secara keseluruhan, yaitu Syawal,
Dzulqadah dan Dzulhijjah.5[11]
Perbedaan pendapat ini tampak ketika sebagian amaliah haji dilakukan setelah hari nahr
(kurban). Orang yang mengatakan bahwa bulan Dzulhijjah secara keseluruhan termasuk bulan-bulan
haji , baginya tidak berkewajiban membayar dam jika mengakhirkan melaksanakan wajib haji atau
rukun haji. Sementara orang yang berpendapat bahwa yang terhitung dalam bulan haji hanya sepuluh
hari dari bulan Dzulhijjah, dia berkewajiban membayar dam jika mengakhirkan.
Miqat Zamani Umrah
Para ulama sepakat bahwa umrah boleh dilaksanakan kapan pun di sepanjang tahun, baik itu
di bulan haji maupun tidak. Artinya miqat umrah tidak ada waktu yang khusu untuk melaksanaknnya,
hal berdasrkan apa yang pernah Rasulullah lakukan, seperti beliau melaksanakan umrah dua kali di
bulan Dzulqadah dan dua kali di bulan Syawal (HR. Abu Daud dari Aisyar ra.). dari sinilah para
ulma juga menyimpulan bahwa umrah boleh dilaksanakan satu atau dua kali dalam sebulan. 6[12]
Seperti yang diinformasikan Anas bin Malik, beliau berkata:

Rasulullah saw. melakukan umrah sampai empat kali, kesemuanya itu beliau laksanakan di bulan
Dzulqadah beserta Ibadah hajinya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Umrah yang satu ke umrah selanjutnya adalah pengampunan dosa. (HR. Bukhari dan Muslim dari
AAbu Hurairah)

3
4
5
6

Meskipun kebanyakan ulama menyatakan kebolehan melaksanakan umrah kapan pun


sepanjang tahun, namun menurut Hanafiah, umrah makruh dilaksankan pada hari Arafah, hari Nahr
(hari penyembelihan qurban/hari raya Idul Adha), dan hari tasyriq.7[13]
2.

Miqat makani
Miqat makani adalah tempat dimulainya ihram bagi orang yang ingin melaksanakan ibadah
haji atau umrah. Orang yang melaksanakan ibadah haji atau umrah tidak boleh melewati tempattempat ihram tanpa (mengenakan pakaian) ihram di tempat tersebut.
Mengenai tempat-tempat ihram, Rasulullah saw. telah menjelaskannya. Beliau menetapkan
Dzulhulaifah (10 marhalah/450 km dari Mekah, terletak di sebelah utara Mekah) sebagai miqat bagi
penduduk madinah. Miqat bagi penduduk Syam adalah Juhfah (+3 marhalah/187 km dari Mekah,
terletak di sebelah barat laut Mekah). Letak Juhfah dekat dengan Rabiq. Jarak antara Rabiq dan
Mekah adalah 204 km. pada masa sekarang, Rabiq telah menjadi miqat bagi penduduk Mesir dan
Syam serta orang-orang yang melewatinya setelah hilang batas-batas Juhfah. Miqat bagi penduduk
Najd adalah Qarn al-Manazil (pegunungan di sebelah timur Mekah yang memanjang ke Arafah.
Jaraknya dengan Mekah 2 marhalah/ 94 km). miqat bagi penduduk Yaman adalah Yalamlam yang
terletak di selatan Mekah (jaraknya dengan Mekah adalah 54 km. miqat bagi penduduk Iraq adalah
Dzatu Irq yang terletak di sebelah timur laut Mekah (jaraknya dengan Mekah adalah 2 marhalah/ 94
km).8[14]
Adapun miqat makani bagi orang yang tingal di Makkah adalah Makkah itu sendiri, dan yang
paling afdhal dia ihram sejak dari pintu rumahnya, jika dia mulai ihram di luar masjidil haram dinilai
kurang baik. Sedangkan orang yang bermuqim di sekitar madinah miqatnya di zulhulaifah, 9[15]
jamaah dari Syam miqatnya di al-Juhfah, 10[16] dari Yaman di Yalam-lam, 11[17] dari Nejd di Qarn, 12
[18] inilah waktu-waktu miqat untuk penduduk daerah tertentu ketika melewati daerah tertentu pula. 13
[19]
Tempat miqat yang dijelaskan di atas berdasarkan kepada bebrapa hadits nabi berikut:

1.

2.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda:

( )
Penduduk Madinah berihram dari Dzulhulaifah, dan penduduk Syam dari Juhfah, penduduk Nejd
dari Qarn, barangsiapa yang tidak melewati salah satu miqat tersebut maka iharamnya dari
rumahnya, demikian juga penduduk Makkah berihram dari Makkah itu sendiri. (HR. Bukhari dan
Muslim)
Masih dari Ibn Umar ra. Rasulullah bersabda:
:
.
Sampai kepadaku sebuah berita bahwa Rasulullah saw. bersabda: Iahramnya penduduk Yaman
dari Yalam-lam, penduduk Syam dari Juhfah, dan penduduk Irak dari Zatu Irqin. 14[20]

3.

Imam SyafiI berkata:


:
[21]15( ) .

7
8
9
10
11
12
13
14
15

Sekiranya penduduk Masyriq berihram dari Aqiq 16[22] itu lebih baik menurutku, dengan alasan
diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa dia berkata: Rasulullah saw. menetapkan Aqiq sebagai miqat
bagi penduduk Masyriq. (HR. Abu Daud dan Timidzi)
Ibn Munzir dan lain-lain berkata orang yang tinggal di Makkah, baik itu penduduk asli atau
pendatang ada dua pendapat: pertama, miqatnya di Makkah tersebut, kedua, miqatnya Makkah dan
seluruh tanah Haram.
Itulah miqat-miqat makani yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw. miqat-miqat di atas
ditetapkan bagi orang-orang yang melaluinya, baik berasal dari daerah searah dengan miqat-miqat
tersebut maupun daerah-daerah lain.17[23] Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw:
.
Miqat-miqat itu adalah untuk peduduk tempat tersebut dan orang yang melewatinya ketika hendak
melaksanakan haji dan umrah. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan Nasai)
Untuk lebih jelasnya, berikut penulis akan menyimpulkan miqat makani bagi calon jemaah
haji dari berbagai penjuru dunia:
a)
b)

Miqat makani haji bagi penduduk Makkah adalah rumahnya. Bagi Madzhab Syafii dari pintu
rumahnya dan masjidil haram adalah lebih utama.
Miqat makani haji bukan penduduk Makkah yang sudah ditetapkan oleh Nabi (miqat mansus)
adalah sebagai berikut:
Bagi yang datang ke Makkah melalui Madinah maka miqat makaninya adalah Dzulhulaifah (Bir Ali).
Bagi yang datang ke Makkah melalui Syam, Mesir dan Maroko maka miqat makaninya adalah juhfah.
Bagi yang datang ke Makkah dari arah Tihamatil Yaman, maka miqat makaninya adalah Yalamlam.
Bagi yang datang ke Makkah dari arah Najdil Yaman dan Hijaz, maka miqat makaninya adalah Qarnul
Manazil.18[24]
Bagi yang datang ke Makkah tidak melalui arah yang disebut pada huruf a, b, c, dan d, akan tetapi
mendekati salah satunya, maka miqat makaninya adalah miqat yang dekat atau yang sejajar.
Bagi yang datang ke Makkah dari arah Masyriq (arah timur) termasuk dari Irak, maka miqat
makaninya adalah Zatu Irqin. Miqat ini berdasarkan penetapan Umar ra. Sebagaimana riwayat
berikut:
: ) ( :
:
.
Dari Abdullah bin Umar berkata: setelah dua negeri ini dibuka (Basrah dan Kufah) mereka
(penduduk negeri tersebut) mendatangi Umar dan berkata: wahai raja orang-orang mukmin,
sesungguhnya Rasulullah telah member batas (miqat) bagi penduduk Najd yaitu Qarnul Manazil
menyulitkan kami. Umar berkata: lihatlah (ambillah) garis sejajar dari jalanmu, maka Umar pun
menetapkan bagi mereka Zatu Irqin (sebagai miqat). (HR. Bukhari)
Dengan demikian, tempat-tempat yang disebut di atas merupakan tempat ihram bagi
penduduk yang juga telah disebut di atas, termasuk juga orang yang melewatinya. Bagi orang yang
hidup di Mekah dan dia ngin melaksanakan ibadah haji, maka miqatnya adalah rumahnya sendiri. Dan
jika ingin melaksanakan ibadah umrah, miqatnya adalah di luar tanah haram. Artinya jika ada seorang
yang hidup di Mekah dan dia ingin melaksanakn ibadah umrah, hendaknya dia keluar dari tanah
haram lantas berihram dari sana. Tanim merupakan daerah yang paling dekat dengan Mekah dan bagi
penduduk Mekah yang ingin melakasanakan ibadah umrah, dia bisa memualinya di Tanim. Bagi
orang yang berada di antara miqat yang telah ditetapkan dan jalannya tidak melalui salah satu dari
miqat-miqat yang telah disebutkan di atas, dia boleh ihram dari tempat manapun, baik perjalannanya
melalaui darat maupun laut.
Adapun orang yang melaksanakan ihram sebelum miqat yang ditentukan para ulama sepakat
menyatakan bahwa dia dikatakan sebagai orang yang melakukan ihram. Akan tetapi apakan hal
tersebut hukumya makruh? Ada yang berpendapat, ya., karena para sahabat menyatakan bahwa
Rasulullah saw. telah menetapkan Dzulhulaifah sebagai miqat penduduk Madinah. Jadi, ihram

16
17
18

dimulai dari miqat-miqat yang telah ditentukan. Sementara itu, melakukan ihram sebelum atau
sesudah miqat yang telah ditentukan bukan hal yang diharamkan, tetapi meninggalkannya lebih
utama.19[25]
C.

Miqat Makani Umrah

Miqat makanai Umrah bagi penduduk Makkah dan bukan penduduk Makkah
Miqat makani umrah bagi penduduk Tanah Haram termasuk yang telah berada di Makkah seperti
jamaah haji adalah Tanah Halal dan yang paling utama adalah Jiranah, Tanim, dan Hudaibiyah.
d) Miqat makani umrah pendatang sama dengan miqat makani haji. 20[26]
c)

D.

Miqat Jamaah Calon Haji Indonesia


Sebagaimana diketahui bahwa ibadah haji dan umrah adalah masalah ayari yang tidak bisa
dirubah, dari sisi kewajibah haji bagi setiap muslim yang mampu. Akan tetapi cara melaksanakannya
berkembang sesuai kemajuan zaman dan perkembangan ijtihad para ulama yang sudah pasti
berdasarkan al-Quran dan hadits.
Imam Syafii, sebagai salah satu imam madzhab yang empat, mempunyai pendapat yang
berkembang sesuai dengan daerah yang ia diami, sehingga muncullah istilah qaul al-Qadim dan qaul
al-Jadid.
Sejak tahun 1973, jamaah calon haji dari Indonesia tidak lagi menggunakan transportasi laut
untuk menunaikan haji ke Makkah. Akan tetapi telah berpindah menggunakan transportasi udara.
Maka dengan sendirinya peraturan ihram bagi jamaah calon haji pun mengalami perbedaan dari
masa sebelumnya.
Ketika menggunakan transportasi kapal laut, para jamaah calon haji berangkat dari tanah air
lebih awal sekitar tiga bulan disbanding dengan keberangkatan haji saat ini. Mereka diperkirakan
sampai di tanah suci pada bulan syawal, kapal yang mereka tumpangi akan melewati lokasi yang
setentang dengan bukit Yalam-lam berjarak + 94 km dari kota Makkah.
Dengan perkembangan teknologi transportasi, umumnya jamaah haji dari arah selatan dan
tenggara, termasuk Indonesia tidak lagi melalui jalur darat dan laut, tetapi dengan pesawat udara.
Sebenarnya tidak menjadi permasalahan apabila pesawat udara tersebut mendarat di bandara Yaman,
sehingga dari sana bisa langsung menuju miqat di Yalam-lam yaitu miqat yang sama dengan
penduduk Yaman. Rute penerbangan jamaah haji Indonesia tidak melalui Yaman, tetapi dari
embarkasi pemberangkatan jamaah haji dari seluruh Indonesia, langsung menuju Abu Dhabi Uni
Emirat Arab - dan terus ke Jeddah Arab Saudi. Jika diikuti miqat jamaah haji dari arah Uni Emirat
Arab, maka mestinya miqat mereka adalah Qarnul Manazil. Tetapi, rute pesawat dari Indonesia tidak
mendarat di sana, bahkan tidak melintasinya. Oleh karena itu perlu dicarikan dimana sebenarnya
miqat jamaah calon haji dari Indonesia.
Setelah pemerintah Indonesia memutuskan untuk memberangkatkan calon hajinya dari udara,
maka jamaah calon haji tidak lagi melalui Yalam-lam, karena ada dua gelombang pemberangkatan.
Gelombang pertama terdiri dari beberapa kelompok terbang dari berbagai daerah menuju Jeddah
(bandara King Abdul Aziz) kemudian diberangkatkan ke Madinah, maka miqat makaninya sama
dengan penduduk Madinah yaitu Dzulhulaifah berjarak 450 km dari Makkah. 21[27]
Pada umumnya jamaah haji dari Indonesia melaksanakan haji Tamattu, sehingga miqat
makaninya adalah sebagimama berikut:

a)

Rombongan/gelombang pertama, yang melalui Madinah, ihram umrahnya di bir Ali dan ihram
hajinya untuk wuquf di Arafah yakni tempat penginapan masing-masing di Makkah.
Komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam sidangnya di Ciawi pada tanggal 12
Jumadil Awwal 1400 H/29 Maret 1980 M, yang diketuai oleh KH. M Syukuri Ghozali, meyatakan
bahwa: jemaah haji Indonesia baik melalui laut atau udara boleh memulai ihramnya dari Jeddah, tanpa
wajib membayar Dam, dan jamaah haji Indonesia yang akan meneruskan perjalanan lebih dahulu ke

19
20
21

Madinah akan memulai ihramnya dari Dzulhulaifah (Bir Ali). Hal ini berdasarkan pertimbangan
bahwa miqat jemaah haji dari Indonesia tidak datang melalui salah satu dari miqat yang ditentukan
oleh Rasulullah saw. artinya, perkara ini merupakan perkara ijtihad. 22[28]
Kemudian pada tahun 1981, tempat landing jamaah haji dari Indonesia yang pada awalnya di
bandara Jeddah dipindahkan ke bandara King Abdul Aziz, mendorong untuk meninjau kembali fatwa
MUI sebelumnya. Oleh karena itu komisi fatwa MUI dalam sidangnya di Jakarta tanggal 17 dan 19
Dzulqadah 1401 H/16 September1981 M, yang diketuai oleh Prof. KH. Ibrahim Hosen,
menghasilkan tiga point penting yaitu:
e)

Tidak mengubah fatwa MUI tanggal 12 Jumadil Awal 1400 H/ 29 Maret 1980 tentang sahnya
Jeddah sebagai Miqat.
f)
Bandara King Abdul Aziz juga sah sebagai miqat, karena bandara ini tidak mengurangi sedikit pun
jarak antra Jeddah-Makkah.
g)
Boleh melakukan ihram sebelum miqat.23[29]
Fatwa di atas dikukuhkan lagi oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 4 Mei 1996
tentang miqat makani ini, yaitu: bagi jamaah haji Indonesia yang langsung ke Mekkah miqatnya di
Bandara King Abdul Aziz-Jeddah, Sedangkan jamaah haji Indonesia yang terlebih dahulu ke
Madinah miqatnya di Bir Ali.
Dengan demikian fatwa tersebut di atas tidak menambah miqat baru selain dari yang telah
ditentukan oleh Rasulullah saw. adapun alasan yang dikemukakan oleh MUI tersebut adalah: pertama,
jarak antara bandara King Abdul Aziz-Jeddah dengan Mekkah telah melampaui 2 (dua) marhalah.
Kebolehan berihram dari jarak seperti itu termasuk hal yang telah disepakati oleh para ulama. Kedua,
penggunaan mawaqit manshushah ( ) denngan teori muhadzah ( )menunjukkan
bahwa pelaksanaan penggunaan miqat adalah masalah ijtihad. 24[30]
Mengenai Bandar Udara King Abdul Aziz Internasional dapat dijadikan sebagai miqat makani
berdasarkan kepada beberapa hal: pertama, keputusan fatwa MUI tahun 1980 dan dikukuhkan
kembali tahun 1981. Kedua, masalah miqat termasuk ijtihad sebagaimana Umar bin Khattab
menetapkan Zatu Irqin sebagai miqat jamaah haji dari Irak. Ketiga, Berdasarkan Muhazah (garis
sejajar) dan ternyata sesuai dengan hadits nabi riwayat Aisyah, dan keempat, Imam Ishak dalam
kitab Muhadzzab dan Syarahnya oleh Imam Nawawi, menjelaskan bolehnya mengambil miqat dari
mana saja asal mencukupi 2 marhalah dari Makkah.
Ketika kita melihat pandangan ulama madzhab, maka kita temui bahwa Syafiiyah dan
Hanabilah berpendapat siapa yang ingin melaksanakan ibadah haji akan tetapi idak melewati salah
satu miqat yang ditetapkan oleh Nabi, maka hendaklah dia ihram dari tempat yang menurutnya
setentang dengan miqat yang ada nashnya, baik itu di laut maupun di darat. Apabila ternyata setentang
dengan dua miqat, maka hendaklah dia ihram dari miqat yang lebih dekat padanya, namun kalau tidak
ada yang setentang dengan salah satu dari miqat yang ada nashnya tersebut, maka hendaklah ia ihram
2 marhalah dari Makkah.
Adapun menurut Hanafiah, miqat haji dan umrah bagi orang yang bukan melewati miqat yang
ditentukan Nabi adalah dari kampung asalnya, atau dari mana saja yang dia mau antara kampung
asalnya dengan tanah Haram. Mereka berdalilkan kepada firman Allah surat al-Baqarah ayat 196:
....
Ayat ini telah ditafsirkan oleh imam Ali dan Ibn Masud dengan ihram dari kampung
asalnya.25[31]
Adapun kronologis pelaksanaan haji bagi gelombang pertama (dari kloter pertama sampai
sekian..) yakni setibanya di Jeddah langsung berangkat menuju Madinah pada tanggal 1 Dzulqadah
dan berdiam di sana selama 10 hari, kemudian pada tanggal 11 Dzulqadah menuju Makkah dengan
terlebih dahulu memakai pakaian ihram, berkumpul di miqat Bir Ali dan berniat ihram di tempat ini,

22
23
24
25

kemudian melanjutkan perjalanan ke Makkah, melaksanakan umrah untuk haji tamattu. Setelah
melaksanakan tahallul para jamaah menunggu hari tarwiyah guna ihram untuk haji.

Bab 4
Keragaman Amamal Dalam Ibadah Haji Dan Prinsip Ukhuwah
Hakikat persatuan dan solusi dari perpecahan
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan berkata dalam Silsilah Syarh Rasail (hal. 26-27): Sesungguhnya
Allah Jalla wa Ala tidaklah membiarkan hamba-Nya berselisih dan berbeda pendapat tanpa
meletakkan kepada kita timbangan dan solusi guna memperjelas kebenaran dari suatu kesalahan.
Bahkan Al-Quran dan Sunnah menjelaskan sebagaimana firman Allah Kembalikanlah ia kepada
Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya). (An-Nisa: 59)
Juga sabda Rasulullah n: Sesungguhnya aku tinggalkan sesuatu kepada kalian, jika kalian berpegang
teguh kepadanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. (HR. Malik)
Seolah-olah Rasulullah n itu ada di antara kita, dengan adanya Sunnah (hadits) yang jelas dan terjaga
keshahihannya. Ini merupakan keutamaan Allah l atas umat ini, di mana beliau n tidak membiarkan
mereka dalam kebingungan. Namun beliau n meninggalkan mereka dalam keadaan di sisi mereka ada
sesuatu yang membimbing mereka di atas jalan Allah l dan kebenaran.
Adapun orang yang tidak menghendaki kebenaran dan ingin agar masing-masing dibiarkan pada
madzhab, kepercayaan, dan keyakinannya, berkata: Kita bersatu dalam perkara yang kita sepakat
padanya dan kita saling memberikan toleransi atas sebagian yang lain dalam hal yang kita berselisih
padanya. Tidak diragukan bahwa ucapan ini adalah ucapan yang batil dan keliru. Yang wajib adalah
bersatu di atas Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Perkara yang kita perselisihkan, kita kembalikan
kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Tidak boleh sebagian kita memberikan udzur atas sebagian
yang lain dalam keadaan tinggal di atas perselisihan. Yang wajib adalah mengembalikannya kepada
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Barangsiapa yang sesuai dengan kebenaran, kita ambil. Sedangkan
yang salah harus kembali kepada kebenaran. Inilah yang wajib atas kita semua. Jangan biarkan umat
dalam keadaan berselisih.
Mungkin mereka, para penyeru persatuan yang semu ini dan yang membiarkan umat dalam kondisi
berselisih, berhujjah dengan hadits:


Perselisihan yang terjadi pada umatku adalah rahmat.
Hadits ini adalah hadits yang diriwayatkan, tetapi tidak shahih1.
Kemudian Al-Quran dan As-Sunnah bukanlah sebagai penengah atau pemutus perkara sebatas pada
perselisihan yang terjadi dalam hal harta manusia, dan menjadi penegak hukum bagi mereka dalam
harta serta perselisihan mereka dalam hal yang sifatnya dunawi semata. Bahkan keduanya adalah
penegak hukum di antara mereka dalam setiap perselisihan dan pertentangan. Pertentangan dalam
urusan aqidah lebih kuat dan lebih penting ketimbang pertentangan dalam perkara harta. Pertentangan
dalam urusan ibadah, urusan halal dan haram lebih kuat dan lebih penting ketimbang pertentangan
dalam urusan harta. Urusan pertentangan dalam masalah harta hanyalah bagian atau sebagian kecil
dari perselisihan yang putusannya wajib berdasarkan Kitabullah.
Pada masa dahulu, terjadi perselisihan di antara para sahabat g. Akan tetapi begitu cepatnya mereka
itu menyelesaikan dan mencari solusinya, dengan mengembalikan kepada Kitabullah dan Sunnah
Rasul-Nya, sehingga berakhirlah perselisihan mereka.
Terjadi perselisihan di antara mereka setelah meninggalnya Nabi n seputar masalah siapa yang pantas
menjadi Khalifah Rasulullah n. Namun betapa cepatnya mereka memutuskan perselisihan dan
mengembalikan serta memercayakan urusan tersebut kepada Abu Bakr Ash-Shiddiq z. Mereka pun

menerima dan menaati Abu Bakr Ash-Shiddiq z dan sirnalah perselisihan.


Sesungguhnya, kembali kepada Kitabullah akan menghilangkan sifat dendam dan dengki, maka tidak
boleh seorang pun menyanggah Kitabullah. Karena jika Anda mengatakan kepada seseorang: Mari
kita berpegang kepada pendapat Imam Fulan atau Alim Fulan, tentunya dia tidak akan merasa puas.
Akan tetapi kalau Anda katakan kepadanya: Mari kita kembali kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya, jika dalam dirinya ada keimanan ia akan merasa puas dan rujuk dari kesalahannya. Allah l
berfirman:
Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya,
agar Rasul menghukum dan mengadili di antara mereka ialah ucapan: Kami mendengar dan kami
patuh. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (An-Nur: 51)
Inilah jawaban orang-orang mukmin (jika diseru kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya). Adapun
orang-orang munafik, apabila kebenaran bermanfaat dan membenarkan apa yang pada mereka,
mereka akan datang dan mendengarkan dengan saksama. Akan tetapi jika kebenaran menyalahi
mereka, mereka akan berpaling dan menentang, sebagaimana yang telah Allah l beritakan tentang
keadaan mereka.
Sehingga tidak ada celah bagi kaum mukminin untuk tetap mempertahankan dan tinggal pada
perselisihan, tidak dalam perkara ushul (pokok) dan tidak pula dalam perkara furu (cabang). Jika
terjadi perselisihan hendaknya semuanya diputuskan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah n.
Kemudian apabila tidak nampak jelas dalil bersama salah satu ulama yang berijtihad, dan masalah
menjadi seimbang, tidak ada yang dikuatkan atau tidak menguatkan pendapat salah seorang pun atas
yang lain, maka pada kondisi seperti ini seseorang tidak boleh mengingkari pendapat imam tertentu.
Dari sinilah ulama berkata: Tidak ada pengingkaran dalam masalah-masalah ijtihad, yaitu masalah
yang tidak nampak jelas kebenarannya bersama salah satu dari kedua belah pihak.
Faidah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata dalam kitabnya Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, pada pasal
yang menjelaskan macam-macam perselisihan: Adapun jenis perselisihan pada asalnya dibagi dua;
ikhtilaf tanawwu (perbedaan keberagaman) dan ikhtilaf tadhad (perbedaan yang saling bertolak
belakang).
Ikhtilaf tanawwu, ada beberapa bentuk, di antaranya:
1. Keadaan di mana masing-masing pihak membawa kebenaran yang disyariatkan. Seperti
perselisihan dalam qiraat (Al-Quran) yang terjadi di kalangan para sahabat. Sampai-sampai
Rasulullah n mengingatkan dengan keras tentang perselisihan ini, namun beliau n berkata: Keduaduanya bagus.
2. Keadaan di mana masing-masing pendapat pada kenyataannya sama secara makna, akan tetapi
ungkapan yang dipakai atau digunakan berbeda.
3. Apabila terjadi perbedaan dan masing-masing menggunakan ungkapan yang maknanya berbeda,
akan tetapi tidak bertolak belakang, maka pendapat yang ini benar dan pendapat yang itu juga benar.
Makna ungkapan yang dipakai pihak satu berbeda dengan pihak yang yang kedua, dan hal ini cukup
banyak terjadi pada perdebatan.
4. Keadaan di mana masing-masing menempuh jalan yang disyariatkan, namun satu kaum
menempuh satu jalan, kaum yang lain menempuh jalan yang lainnya, dan keduanya bagus dalam
agama. Kemudian kejahilan atau kezaliman mendorong mereka untuk mencela terhadap salah
satunya, atau memuliakan tanpa maksud yang benar, atau karena ketidaktahuan atau tanpa
kesengajaan.
Adapun ikhtilaf tadhad adalah dua pendapat yang bertolak belakang, baik dalam perkara ushul
maupun perkara furu, menurut jumhur ulama, mereka mengatakan yang benar hanya satu. Adapun
pendapat yang mengatakan setiap mujtahid benar, maka ini maknanya mujtahid yang berselisih dalam
ikhtilaf tanawwu, bukan ikhtilaf tadhad. Perkara ikhtilaf tadhad ini lebih sulit, karena kedua belah
pihak membawa pendapat yang bertentangan (saling menjatuhkan). Misalnya antara sunnah dan
bidah, antara halal dan haram.
Ikhtilaf yang kita sebut ikhtilaf tanawwu, masing-masing dari kedua belah pihak benar tanpa
diragukan. Namun celaan tetap tertuju kepada orang yang membenci pendapat yang lain, karena AlQuran telah memuji kedua belah pihak, selama tidak terjadi penentangan dari salah satu pihak.
Kemudian, jenis ikhtilaf yang ketiga adalah ikhtilaf afham (perbedaan pemahaman). Hal ini
sebagaimana yang disepakati Nabi n pada hari penyerangan terhadap Bani Quraizhah di mana beliau
berpesan agar tidak boleh seorang pun shalat ashar kecuali setelah sampai di Bani Quraizhah. Maka
sebagian mereka melakukan shalat ashar pada waktunya, sedangkan yang lain mengakhirkannya
hingga sampai ke Bani Quraizhah. Juga sebagaimana sabda beliau n: Apabila seorang hakim

berijtihad dan benar ijtihadnya, dia mendapatkan dua pahala. Dan apabila berijtihad dan tidak benar
ijtihadnya, dia mendapatkan satu pahala. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits yang semisal ini cukup banyak.
Jenis ikhtilaf yang tidak tercela adalah ikhtilaf tanawwu dan ikhtilaf afham. Adapun yang tercela dan
diharamkan adalah ikhtilaf tadhad. Jenis ikhtilaf inilah yang Al-Quran dan As-Sunnah menyebutnya
dengan ancaman yang keras bagi pelakunya.
Wallahu alam.
5
Perluasan Tempat Ibadah Haji Dan Pengaruhnya Terhadap Pelaksanaan Ibadah Haji
perluasan masjidil haram tidaklah mempengaruhi kuota jamaah haji, pada masa-masa perluasan
Masjidil Haram kuota jamaah haji di dunia dikurangi sebesar 20%. Di indonesia sendiri yang dulunya
mencapai 211.000 orang dikarnakan adanya perluasan Masjidil Haram maka kuota jamaah haji
Indonesia sebesar 168.800.000 orang. Akan tetapi setelah selesainya perluasan Masjidil Haram maka
kuota jamaah haji dunia akan dikembalikan lagi keasalnya menjadi 100% kembali.
Adapun tujuan diperluasnya Masjidil Haram hanya untuk memberikan kenyamanan bagi
jamaah haji untuk melaksanakan ibadah haji agar ibadah haji mereka tidak terjadi hempit-hempitan
atau berdesak-desakan antar jamaah haji dan akan menimbulkan korban oleh karena itulah sangatlah
penting rasa nyaman dan aman pada waktu melakukan ibadah haji agar ibadah jamaah haji bisa
terlaksana sesuai dengan yang diinginkan oleh jamaah dan pelaksana ibadah haji.
A; Pemerintah Arab Saudi berjanji renovasi Masjidil Haram di Makkah akan rampung sebelum
penyelengaraan ibadah haji tahun depan.
B; Kendati demikian, perluasan Masjidil Haram tidak berarti pemerintah Arab Saudi bakal menambah
kuota bagi setiap negara, termasuk indonesia. Menteri agama Luqman Hakim Saefuddin mengatakan
pemerintah Arab Saudi sudah menyatakan bahwa tujuan utama melakukan renovasi Masjidil Haram
untuk memberikan kenyamanan jamaah.
bukan untuk menambah jamaah haji. Menag menyatakan, perluasan Masjidil Haram memang
berdampak pada kapasitas tempat thawaf atau mataf. Sebelumnya, mataf hanya mampu menampung
48 ribu jamaah setiap jam. Setelah renovasi, tempat thawaf dapat menampung 150 ribu jamaah setiap
jam.
Peningkatan kapasitas bukan berarti ada penambahan kuota. Sebab, penambahan kuota justru
akan membuat layanan jamaah ketika melakukan thawaf dan sai tidak mengalami peningkatan.
apagunanya melakukan renovasi besar-besaran kalau kuota ditambah. Tidak ada bedanya,
tetap berdesak-desakan, kerawanan keselamatan jiwa jamaah, mereka menegaskan renovasi untuk
kenyamanan. Ketika thawaf dan sai bisa leluasa bernafas. ditegaskan kembali bahwa kuota jamaah
haji indonesia pun akan kembali normal pada penyelengaraan ibadah haji 1437 H/ 2016 M.
Pemerintah arab saudi mengurangi kuota haji sebesar 20% karena ada peluasan Masjidil
Haram. Sejak penyelengaraan ibadan Haji 2013, kuota haji untuk indonesia, yaitu 168.800 jamaah,
terdiri dari 155.200 kuota reguler dan 13.600 kuota haji khusus.
sampai saat ini, renovasi terkait perluasan Masjidil Haram terus dilakukan sehingga ada
pengurangan kuota diseluruh negara di dunia. Untuk indonesia, pengurangan 20%. Pengurangan
karena kapasitas masjid menyusut dari kondisi normal.
Jika perluasan Masjidil Haram rampung maka kuota jamaah haji indonesia akan kembali
normal. Kuota normal jamaah haji indonesia berjumlah 211.000 orang, terdiri dari 194.000 kuota
jamaah haji reguler dan 17.000 kuota jamaah haji khusus.
Duta besar Arab Saudi untuk indonesia, Mustafa Ibrahim Al-Mubarak mengatakan, tahun depan
kuota haji untuk masyarakat indonesia pun akan akan dikembalikan lagi 100% setelah sebelumnya
dipangkas sekitar 20% akibat perluasan Masjidil Haram ini. bahkan rencananya kuota untuk indonesia
akan ditambah sesuai dengan pertambahan jumlah penduduk indonesia yang semakin hari semakin
banyak.
berkaitan dengan Masjidil Haram, ini merupakan untuk pengurangan terakhir ibadah haji,
insyaallah tahun 2016 jumlah haji indonesia kembali sekitar 211.000 seperti semula, dan kita akan
pertimbangkan adanya penambahan kuota sesuai dengan jumlah penambahan penduduk di indonesia.
Kerajaan Arab Saudi juga semakin memantapkan proses penyelengara ibadah Haji yang diikuti
oleh jutaan umat islam diseluruh dunia dengan diperlukannya sistem elektronik haji atau e-haji,

sebuah sistem yang bisa menyatukan pendataan haji diseluruh dunia. data-data dikirimkan
kementrian haji Arab Saudi, lalu kementrian haji kirim kedubes di jakarta untuk memberi visa. Untuk
bisa ini kita kerjasama dengan indonesia, dalam hal ini kementrian agama.
B.

Persiapan Kedubes Arab Saudi di Indonesia untuk Haji 2015.


Berkaitan Haji, indonesia merupakan negara muslim terbesar yang melakukan ibadah Haji,
setelah dikurangi 20%, mengingat sekarang dalam peroses perluasan Masjidil Haram, saat ini ada
sekitar 168.500 WNI yang melakukan ibadah Haji. Berkaitan dengan apa yang baru dalam sistem haji,
saat ini diberlakukannya elektronik haji atau e-haji suatu sistem yang bisa menyatukan pendataan.
Data-data ini dikirimkan ke mentrian Haji Arab Saudi lalu kementrian Haji kirim kedubes di Jakarta
untuk memberi visa.
Untuk bisa ini kita kerjasama dengan indonesia, dalam hal ini kementrian agama. Kita apresiasi
pemerintah indonesia yang memberi perhatiannya pada manajemen haji itu luar biasa Dan kita tidak
menemukan masalah. Ada masalah tapi sedikit tidak signifikan dibanding yang lain.
Berkaitan persiapan, kita siap untuk menerima jamaah haji diseluruh dunia termasuk dari
indonesia. Berkaitan dengan Masjidil Haram ini merupakan untuk pengurangan terakhir ibadah haji,
insyaallah tahun 2016 jumlah jamaah haji indonesia kembali sekitar 211.000 seperti semula. Dan kita
akan pertimbankan adanya pertambahan kuota sesuai dengan jumlah penambahan penduduk
indonesia.

C.

Memungkinkan Jamaah Haji Indonesia lebih dari 211 ribu, atau bahkan bisa 220 ribu jamaah haji.
Bisa akan bertambah mengingat antrian jamaah haji di Indonesia sangat panjang sekali bisa
mencapai 10-15 tahun, apakah kemungkinan kuota yang lebih lagi dari jumlah sebelum-sebelumnya
Berkaitan dengan tambahan ini, berkaitan juga dengan kapasitas Masjidil Haram sendiri, karena
Masjidil Haram merupakan bagian dari manasik haji. Perlu disadari oleh masyarakat indonesia
kapasitas Masjidil Haram terbatas, mengingat keterbatasan Masjidil Haram yang merupakan bagian
dari rukun haji. Mina kapasitasnya juga tidak mumpuni lagi, jika kita tidak serta merta menambah.
Kita mengurangi kuota jamaah haji sebelumnya juga untuk keselamatan dan kemanan haji itu sendiri,
karena kita sangat mementingkan keselamatan dan keamanan ibadah haji. Pengurangan kuota itu juga
bagian dari peningkatan keamanan dan keselamatan haji.

D.

Penyelesaian Tempat Tawaf.


Tahun depan insyaallah. Ini komitmen almarhum raja Abdullah, ini impian beliau melakukan
perluasan Masjidil Haram dan tempat Tawaf. Dua tempat ini merupakan perluasan yang sangat
bersejarah dan sangat lux dan istimewa. Juga dilakukan dengan kehati-hatian dan detil sekali sehinga
memungkinkan desain yang sangat indah, cocok dan layak untuk Masjidil Haram dan Nabawi.
Raja Abdullah beliau juga inisiator perluasan tempat sai dimana dalam waktu beliau juga ada
perluasan dua tingkat baik horizontal dan vertikal, ini dilakukan juga atas persetujuan para ulama dan
ini juga merupakan perubahan dalam sejarah.

E.

Masalah Haji Indonesia pada setiap tahunnya.


Saya kira tidak akan memiliki msalah yang sangat besar, mengingat catering dan pemondokan
itu merupakan urusn swasta, itu masalah swasta dan saya lihat kejelihan atau semangat kementrian
agama sangat kuat sekali untuk melakukan perbaikan-perbaikan terkait pemondokan dan cetering ini
Saya disini ingin memberi apresiasi kepada pemerintan indonesia dalam hal ini kementrian
agama, setelah selesai musim haji langsung persiapan untuk musim haji berikutnya. Ini upaya baik
sekali untuk memudahkan dan memberi kenyamanan bagi pemerintah saudi dan masyarakat yang
ingin haji. Juga kalau saya berkunjung keperguruan tinggi didaerah disana ada miniatur kabah dan
haji, tempat manasik haji dan pelatihan anak-anak TK, ini menunjukan komitkmen bangsa indonesia,
masyarakat indonesia betapa pentingnya persiapan sebelum haji.

6
Ijtihad : antara tekstual dan kontekstual

Definisi Ijtihad Menurut Fuqah


Kata ijtihad secara etimologis berarti: mengerahkan semua kemampuan. Hal ini berbeda sekali
dengan menuruti segala keinginan, secara argumen dan tujuan pun kedua arti di atas akan berbeda.
Secara terminologis berarti: Usaha maksimal yang dilakukan oleh seorang faqh dalam mengambil
hukum syari secara amali dari argumentasi-argumentasinya yang terperinci. Menurut Al-Amidy,
ijtihad adalah: Mengerahkan usaha dalam mencari hukum (al-dzan) dari hukum-hukum syari yang
mana manusia pada umumnya merasa tidak mampu untuk melakukan hal itu. Akan tetapi definisi ini
masih dapat dikritik, karena tidak jmi dan mni, sebab masih mengecualikan al-ilmi (mengetahui
secara pasti) dengan hukum-hukum (ahkm). Dan juga tidak dapat mencegah (mni) dari masuknya
sebagian unsur-unsur yang tidak dimaksudkan (didefinisikan), karena masuknya dzan (persangkaan)
yang tidak mutabar (tidak dikenal oleh para fuqah) bersamaan hal itu dia tidak menjadikannya
sebagai argumentasi (dall) syariah.
Dan kemungkinan definisi di atas dapat dibenarkan dengan memasukkan kemutlakan dzan
(persangkaan) secara komprehensif terhadap ilmi (mengetahui secara pasti) dan menentukan maksud
dari dzan (persangkaan) dengan qarnah (indikasi), yaitu: keinginan yang diakui secara syari. Akan
tetapi hal itu pun masih terjadi pengulangan pada substansi mengerahkan usaha dan perkataannya:
yang mana manusia pada umumnya merasa tidak mampu untuk melakukan hal itu, sedangkan
kaidah definisi itu sendiri harus menjauhi pengulangan yang berputar (circular).
Menurut al-Ghazali ijtihad adalah; Usaha maksimal seorang mujtahid dalam mencari kepastian
(al-ilm) dengan hukum-hukum syariah. Definisi ini dapat dikritik bahwa hasil ijtihad tidak hanya
terbatas pada hukum-hukum yang yakin, akan tetapi mayoritas hukumnya adalah dzan (prasangka),
kecuali dengan kepastian yang umum, yaitu: kepastian (al-ilm) dan prasangka (al-dzan).
Menurut Al-Qadhi al-Bhaidlawi, Ijtihad adalah; Mengerahkan semua kemampuan untuk mengetahui
hukum-hukum syariah. Mengerahkan semua kemampuan artinya: mengerahkan semua usaha dan
kemampuan yang dimiliki, sedangkan mengetahui hukum-hukum lebih umum dari jalan qathi atau
dzanni. Dalam kesempatan lain Ibnu al-Humam mendefinisikan ijtihad dengan: Usaha maksimal
yang dikerahkan oleh para faqh dalam menghasilkan hukum syari baik secara tekstual atau
kontekstual, qathi atau dzanni. Maka definisi ini mencakup ijtihad dalam kategori kontekstual dan
tekstual, baik qathi atau dzanni, yang mengecualikan usaha dari selain para faqh, yang tidak
dinamakan ijtihad menurut ahli ushul, dan juga tidak dinamakan istinbth al-ahkm secara bahasa
atau kontekstual dari selain para ahli fikih atau panca indra dalam ijtihad.
Dalam memberikan definisi yang jmi dan mni (comprehensive dan disincentive), Prof. Dr.
Wahbah Zuhaily dan Prof Dr. Rafat Utsman sepakat dengan memilih definisi yang dipaparkan oleh
Al-Qadhi Baidhawi, dan ditambah dengan definisi al-Kamal bin al-Humam. Maka kesimpulan yang
dapat diambil dari definisi-definisi di atas, ijtihad adalah: Usaha maksimal yang dilakukan oleh
seorang faqh dalam mengambil hukum syarai secara amali dari argumentasi-argumentasinya yang
terperinci.

Fungsi Etika Dalam Ijtihad


Ijtihad adalah proses pembentukan hukum, maka tidak akan ada hukum selagi dalam fikih tidak ada
dinamisasi, vitalitas dan optimisme gerakan untuk berijtihad.
Sesungguhnya substansi vital pembangunan dan perkembangan kehidupan adalah terdapat pada
penyebaran dan penerapan syariah di dalam kehidupan. Dengan lantang menyatakan bahwa ijtihad
yang (mutabar) sangat dibutuhkan bahkan sebagai tuntutan di masa kontemporer ini. Yaitu masa yang
sangat dinamis, yang terdeskripsikan dalam transaksi-transaksi muamalah modern serta dalam
pembaharuan-pembaharuan pemahaman terhadap problematika kehidupan masyarakat. Konsekuensi
logisnya, di sana terdapat banyak permasalahan yang membutuhkan solusi syariah secara damai.
Sementara itu, tak ada tempat untuk kembali dalam memberikan solusi tanpa melalui ijtihad. Dan hal
ini merupakan jalan yang sangat urgen dalam mendekatkan diri kita kepada Allah SWT, karena hal itu
merupakan titik pusat yang menjadi tumpuan hukum dengan validitas syariah Islam yang aplicable di
setiap ruang dan waktu.
Maka kita harus berani berijtihad untuk membangkitkan umat kita dengan mempersiapkan semua
kekuatan dan kemampuan guna mencari dan meneliti, serta menjawab tantangan dan kejadian dunia
modern. Jika tidak kita lakukan maka kita akan berdosa kepada Allah SWT, yang mana hal ini
merupakan hutang kita kepada Allah.
Sedangkan apabila kita bermalas-malasan dan rela dengan kemunduran peradaban serta
keterbelakangan ilmu pengetahuan, niscaya Allah dan Rasul-Nya tidak rela dengan sikap seorang
muslim yang bermalas-malasan dalam menjaga agama dan menerapkan hukum-hukum agama di
dunia.
Sesungguhnya ijtihad tidak hanya terbatas pada tempat-tempat tertentu, namun ia bisa disesuaikan
dengan kondisi modern dan kontemporer sesuai dengan kebutuhan manusia untuk memilih pendapat
mana yang lebih rjih (kuat dan acceptable) sesuai dengan kemaslahatan manusia (maqshid alsyarah).
Maka dalam berijtihad di masa sekarang ini seharusnya dilakukan secara kolektif yang tercermin
dalam lembaga/dewan para ulama, sehingga akan lebih dapat dipertanggungjawabkan hasil
keputusannya secara orisinil serta jauh dari tekanan-tekanan sosial dan politik. Bersamaan dengan ini,
tidak berarti tidak membutuhkan ijtihad personal, bahkan ijtihad personal merupakan basis untuk
mewujudkan ijtihad kolektif dengan mempresentasikan studi analitis yang lebih mendalam dan lebih
otentik. Bahkan sesungguhnya kinerja ijtihad pada dasarnya merupakan kerja personal sebelumnya.
Sesungguhnya ijtihad yang kita usung dan kita dakwahkan dengan ketentuan-ketentuan dan syaratsyarat syarinya- mecerminkan kebutuhan, bahkan masuk dalam dlarriyyat al-hayh al-Islmiyyah
untuk memberikan solusi terhadap problematika-problematika kontemporer yang telah menimpa
kehidupan kita dengan kejumudan dan keterbelakangan.
Maka jika terjadi peristiwa baru atau seseorang ingin mengambil pendapat yang rjih dari pendapatpenadapat para aimmah, maka seorang mujtahid dapat mengumpulkan bahan-bahan yang
berhubungan dengan tema tersebut baik dari segi bahasa, ayat-ayat al-Quran, hadits-hadits Nabi
SAW, pendapat-pendapat para salaf dan dimensi-dimensi qiys, kemudian kita melihat realita dengan
tanpa disertai fanatisme madzhab tertentu, sebagai berikut:
Pertama kita melihat teks-teks al-Quran. Jika kita menemukan teks teks tersebut maka langsung kita
jadikan pegangan dan kita hukumi masalah tersebut dengan teks ini. Apabila kita tidak
menemukannya, baru kita melihat ke Sunnah Nabi SAW. Jika kita menemukan nash, sunnah
amaliyyah, atau taqrriyyah, maka kita ambil teks tersebut sebagai dasar hukum, kemudian kita
melihat Ijm ulama, lalu baru Qiys. Maka dalam melakukan istinbtu al-illah (pengambilan sebab)
disesuaikan dengan substansi ijtihadnya dari perbuatan dengan jalan sebab (masalik al-illah). Inilah
rukun ijtihad, yaitu: al-Kitb, Sunnah, Ijm dan Qiys. Dan inilah pendapat Syafii, sedangkan imam
lain ada yang menambahkan poin lain.
Imam Syafii berkata: Allah tidak menjadikan seseorang setelah Rasul SAW untuk berkata kecuali

dari sisi keilmuan. Maksud dari sisi keilmuan (wijhatu al-ilmi) itu adalah: al-Kitb, al-Sunnah, alIjm dan al-Atsar dan apa yang telah saya sebut dari Qiys itu.
Bahkan Syafii juga berpendapat: Jika muncul problematika, maka bagi mujtahid agar melihat teksteks al-Quran, jika tidak menemuinya, maka melihat hadts mutawtir, kemudian hadts hd. Jika
tidak menemuinya jangan langsung mengambil ke qiys, bahkan langsung melihat ke dzhir alQur`an. Jika menemukannya, maka harus melihat ke mukhashshasht (hal-hal yang khusus) dari qiys
dan khabar, jika tidak menemukan mukhashshashn (hal yang dikhususkan) maka menghukuminya
dengan dzhir. Jika tidak ditemui dzhir dari Kitab dan Sunnah, maka melihat pendapat-pendapat para
madzhab. jika menemukan mereka telah ber-ijm, maka wajib untuk mengikuti ijma itu. Dan jika
tidak ditemui dalam ijma baru ke qiys. Sebagai catatan: bagi para mujtahid agar melihat qidah
kulliyyah (kaidah umum) dulu baru ke juziyyt (bagian per bagian). Seperti halnya dalam
pembunuhan dengan alat yang berat timbangannya, maka mendahulukan kaidah substantive atas label
(nama), dan jika tidak ada dalam kidah umum, maka melihat kepada teks-teks dan tempat ijma.
Apabila mendapatkannya dalam satu makna maka bisa dimasukkan, dan jika tidak, maka baru
menggunakan qiys.
Di samping menggunakan etika ijtihad di atas, seorang mujtahid dalam membuat sebuah keputusan
ijtihad juga harus dibarengi dengan keimanan yang mendalam. Artinya tidak hanya dengan
kepandaian nalar-rasio saja, karena ijtihad adalah ibadah, maka ibadah tidak akan diterima kecuali
dengan keyakinan keimanan. Dalam kitab Sulamu al-Wushl li Syarhi Nihyat al-Sl dikatakan
bahwa: Sesungguhnya keimanan adalah syarat dari semua ibadah, sesungguhnya ijtihad adalah
ibadah, maka dalam keabsahannya harus valid dan benar mengandung sebagian dari makna keimanan
tersebut walaupun dengan argumentasi yang ijmli. Dan tidak mantap ke-Islam-annya kalau hanya
bersifat taqld untuk menjadi mumin.
Batasan Ijtihad
Dalam berijtihad tentunya mempunyai batas-batas yang harus diperhatikan oleh seorang mujtahid.
Dalam al-Mahshl disebutkan bahwa: lapangan dari ijtihad adalah setiap hukum syari yang tidak
mempunyai dalil qathi. Dalam Syarh Taftazani mengatakan bahwa: Lapangan ijtihad adalah
hukum syari yang dzanni dan mempunyai dalil. Maka dari sini, hukum-hukum syariah dapat dibagi
menjadi dua macam, yaitu: bidang yang boleh diijtihdi dan yang tidak boleh diijtihdi.
Bidang-bidang yang tidak boleh diijtihdi yaitu; hukum-hukum yang malm min al-dn bi aldlarrah, yang telah ditetapkan dengan dalil qathi al-tsubt dan qathi al-dillah seperti; wajibnya
sholat lima waktu, puasa, zakat, haji dan dua kalimat syahadat. Sedangkan yang dilarang seperti; zina,
mencuri, minum arak dan pembunuhan dengan hukuman tertentu, yang hal itu jelas-jelas diterangkan
ayat al-Quran dan Sunnah Rasul SAW, baik dalam perkataan, perbuatan, ketetapan dan sifatnya. Dan
juga dalam masalah kafrat dan uqbt, maka hal itu tidak ada ijtihad di dalamnya. Seperti firman
Allah surat al-Nr [24] ayat 2, tentang banyaknya hukuman jilid yang tidak bisa dijadikan obyek
ijtihad.
Sedangkan bidang-bidang yang boleh diijtihdi adalah; hukum-hukum yang terdapat nash (teks) yang
dzanni al-tsubt dan dzanni al-dillah, atau dzanni dari salah satunya, juga hukum-hukum yang belum
ada nashnya dan belum ada ijma.
Maka dalam teks yang dzanni al-tsubt, bidang ijtihadnya adalah mencari sanad jalur sampainya pada
kita, derajat perawinya dari adlah (keadilan dzahir dan bathin) dan dlbitnya (ingatan). Sebagian
ulama mereka mengambil dalil tersebut karena kemantapannya, sedangkan sebagian yang lain
menolaknya karena tidak mantap riwayatnya. Ihwal tersebut kemudian berdampak pada perbedaan
para mujtahid dalam menentukan hukum-hukum fikih aplikatif.
Dan jika teks tersebut dzanni al-dillah, maka ijtihadnya adalah bagaimana mengetahui makna yang
dimaksud dalam teks tersebut dan kekuatan argumentasinya terhadap makna. Terkadang teks
berbentuk mm (umum) dan terkadang bersifat muthlq. Barang kali datang dengan bentuk perintah
atau larangan dan kadang dalil itu menunjukkan pada makna dengan jalan ungkapan atau isyarat atau
selain keduanya. Ini semua merupakan lapangan ijtihad. Bisa jadi al-mm tetap pada keumumannya

dan terkadang berubah menjadi khushs sesuai konteks. Muthlq kadang berjalan dengan
kemuthlqannya dan kadang menjadi muqayyad (terbatas). Dan begitulah seterusnya.
Kaidah bahasa dan maqshid syarah yang dijadikan rujukan untuk mentarjh hukum terkadang
berakibat pada perbedaan pendapat para mujtahid dan perbedaan hukum-hukum aplikatif yang
diikutinya.
Sedangkan dalam kejadian yang tidak ada teksnya dan tidak ada ijma, maka bidang ijtihadnya adalah
mencari hukumnya dengan dalil-dalil aqliy seperti; qiys, istihsn, mashlahah mursalah, urf atau
istishhb dan lain sebagainya. Hal inilah yang menjadi titik perberbedaan pendapat dari para fuqah.
Selanjutnya, Dr. Yusuf Qardhawi memberikan ketentuan-ketentuan ijtihad agar seorang mujtahid
menjadi moderat, yaitu sebagai berikut: (1) Tidak ada ijtihad tanpa mengerahkan semua kemampuan;
(2) Tidak ada ijtihad dalam nash qathi; (3) Tidak boleh menjadikan hukum-hukum dzanni menjadi
qathi; (4) Mengorelasikan antara fikih dan hadits, (5) Waspada dari tekanan realita, baik politik
maupun sosial; (6) Menerima hal baru yang bermanfaat, selagi tidak bertentangan dengan nash yang
qathi; (7) Agar kita tidak melupakan realita kehidupan kontemporer sehingga produk hukum akan
dinamis; (8) Berpindah ke ijtihd jami (kolektif); (9) Lapang dada bila terjadi kesalahan ijtihad para
mujtahid.
Sedangkan faktor-faktor yang menjadikan manusia terpeleset dari jalan ijtihad dan mengahasilkan
keputusan hukum yang salah adalah: (1) Melupakan nushsh (teks al-Qur`an dan Sunnah); (2) Salah
dalam memahami nushsh atau menyelewengkannya dari tempat aslinya; (3) Tidak mengakui ijma
secara yakin; (4) Qiys tidak pada tempatnya; (5) Melupakan realita kontemporer; (6) Berlebihan
dalam menganggap sesuatu sebagai mashlahah meskipun nash memperbolehkannya.
Maka dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan ijtihad di atas dan juga faktor-faktor yang
menjadikan rusaknya ijtihad, manusia tidak akan bertendensi ke kanan atau ke kiri. Dengan demikian,
wajib bagi orang-orang yang ingin berijtihad agar memperhatikan etika ijtihad agar hasil dari ijtihad
itu dapat dipertanggungjwabakan.
Penutup
Ijtihad adalah ruh syariah Islam dalam membangun umat dan kebangsaan. Aqidah adalah pondasi,
sedangkan syariah adalah piranti pembangunan. Adapun ijtihad adalah kaidah-kaidah arsitek
pembangunan dan mujtahidnya berarti arsitekturnya. Oleh karena itu, pondasi dan bangunan tanpa
arsitek berarti bangunan itu tak berbentuk. Bahkan jika syariah tidak diterapkan berarti Islam hanya
sekedar pondasi yang masih dasar, belum ada tembok, atap dan lain sebagainya. Maka ijtihad dalam
era modern atau posmodernisme ini sangat dibutuhkan untuk membentuk peradaban Islam yang luhur.
Pembangunan Islam mempunyai lahan yang sangat luas, pertama; kita bentuk akidah (pondasi) yang
kokoh, kedua; kita terapkan syariah Islam sebagai bangunan umat, baik dalam sektor masyarakat
umum maupun dalam sektor negara yang tercermin dalam pembangunan lembaga eksekutif, legislatif
dan yudikatif. Atau yang kita sebut dengan tahap pertama; penetrasi syariah Islam dalam
pembangunan umat dan kebangsaan. Dalam pembangunan ini tentunya membutuhkan para mujtahid,
baik dalam bidang syariah, politik, ekonomi, pertanian, industri, kedokteran dan bidang-bidang
lainnya. Hal inilah yang kita sebut dengan tahap ke dua; penerapan syariah Islam.
Ijtihad sudah terbuka lebar bagi umat Islam untuk selalu membangun dan membangun dalam frame
syariah. Ijtihad tidak hanya merancang bangunan baru, tapi juga membuat bangunan baru baik dalam
dimensi syariah atau dalam dimensi pembangunan lainnya.
Ijtihad sebagai pembangunan fikih menurut Yusuf Qardhawi dibagi menjadi dua, yang merupakan
kebutuhan masa kontemporer ini, yaitu:Pertama, ijtihad intiqi (selective): adalah memilih salah satu
pendapat dari pendapat-pendapat para imam madzhab untuk kita fatwakan kepada masyarakat dengan
cara mentarjh pendapat-pendapat itu. Kedua, ijtihad insyi (constructive): adalah mendeduksi
hukum-hukum baru dalam permasalahan-permasalahan yang belum dikatakan oleh para ulama salaf,
baik masalah itu klasik atau kontemporer.

Maka ijtihad dalam bidang syariah tentunya harus memenuhi ketentuan-ketentuan ijtihad yang telah
kita terangkan di atas, agar dalam berijtihad bebas tendensi, agar hasil ijtihad dapat
dipertanggungjawabkan di depan masyarakat dan di sisi Allah SWT.
Ijtihad adalah proses tasyr (pembentukan hukum), maka wajib dilakukan pada setiap zaman untuk
mengetahui berbagai hukum dari problematika sosial dan masyarakat.

Bab 7
Ibadah haji suatu tinjauan psikologi
Ibadah haji boleh dibilang merupakan ibadah yang istimewa, karena sesungguhnya
orang yang mampu melakukan haji berarti ia dapat melaksanakan tiga kewajiban sekaligus;
yaitu shalat, zakat dan shaum. Beralasan, karena selama berpredikat muslim, termasuk saat
berhaji, siapa pun tidak bisa meninggalkan shalat. Haji juga sekaligus berzakat karena
melaksanakan haji perlu dana, baik untuk ongkos maupun buat bayar denda, dam. Haji juga
sekaligus melakukan shaum karena selama haji ada hal-hal halal yang menjadi haram.
Rasulullah SAW menyebutkan haji setelah jihad fi sabillah, hal itu menunjukkan bahwa haji
hampir sama dengan jihad, dan memang memerlukan semangat jihad. Betapa tidak, karena
jamaah haji harus mengerjakan serentetan acara ritual dalam waktu tertentu, berpindah dari
tempat yang satu ke tempat yang lain, dan dikerjakan secara massal; yang sudah pasti
menguras energi, fisik maupun mental.
Ibadah haji akan lebih dipahami dan pelaksanaannya akan mudah dilakukan jika dikaitkan
dengan pendekatan psikologis, karena tingkah laku manusia tidak dapat dipisahkan dengan
lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun psikis. Woodwort dan Marquis dalam
Psychology merumuskan bahwa Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku
manusia dalam kaitannya dengan lingkungan, Psychology is the scientific studies of the
individual activities in relation to the enviroment (Woodwort & Marquis, 1978)
Haji, Kerinduan versus Kekhawatiran
Setiap muslim pasti mempunyai obsesi untuk melaksanakan ibadah haji, akan tetapi tidak
semua keinginan manusia dapat terpenuhi. Pada umumnya, orang tidak bisa pergi ka tanah
suci karena tidak memiliki bekal materi yang cukup, alias kondisi ekonominya tidak
memenuhi. Ada juga orang yang keberangkatannya ke tanah suci terganjal alasan kesehatan,
fisik maupun psikis. Dalam kondisi tidak aman, misalnya dalam situasi perang, orang sehat
yang memiliki kelimpahan finansial pun bisa saja harus menunda keinginan mereka untuk
menunaikan ibadah haji.
Haji merupakan ibadah khusus, yang memerlukan persyaratan istithaah, alias kemampuan:
yakni kecukupan materi, kesehatan prima, dan keadaan aman, Wa lillahi alannasi hijjul baiti
manis tathaa ilahi sabila (Q, 3, Ali Imran, 97).
Namun demikian, tidak berarti semua orang yang sudah memiliki semua persyaratan dapat
begitu saja menunaikan ibadah haji. Kenyataannya, tidak sedikit orang yang kondisi sosial
ekonominya sangat-sangat mendukung, kesehatan fisik psikisnya prima serta keinginannya
melaksanakan haji pun besar, tetapi yang bersangkutan belum bisa melaksanakan haji.
Persoalannya adalah karena kesempatannya tidak kunjung datang, dan pada sebagian orang,
kesempatan itu tetap tidak datang bahkan hingga malaikat Izrail keburu menjemput.
Dalam hal ini, kesempatan, yang terkadang diistilahkan dengan panggilan, merupakan
perpaduan antara tekad dan rahmat. Tekad adalah niat yang disertai upaya sungguh-sungguh,
sedangkan rahmat adalah ketentuan Allah, yang boleh jadi merupakan jawaban atas upaya
yang dilakukan ummatNya. Rahmat merupakan otoritas Allah, adapun manusia hanya bisa
mengoptimalkan upaya agar dapat meraihnya.
Dalam upaya meraih rahmat inilah terkadang manusia dihinggapi lemah tekad, yang bisa
disebabkan oleh berbagai hal, seperti kesibukan kerja, dan ketidaksiapan mental. Kesibukan
kerja biasanya dialami oleh mereka yang memiliki jabatan tertentu, namun hal ini dapat
disiasati dengan mengikuti program haji non reguler seperti ONH Plus, atau minta dispensasi
agar bisa pulang lebih awal. Ketidak siapan mental bisa menghinggapi siapa saja, orang biasa
sampai pejabat, orang awam hingga ilmuwan; dan terapinya hanya bisa dilakukan jika yang
bersangkutan siap dan pasrah.

Ada berbagai hal yang menyebabkan orang tidak siap secara mental untuk menunaikan
ibadah haji: merasa belum pantas bertamu ke rumahNya karena memiliki banyak dosa, tidak
siap melaksanakan ibadah haji yang dikesankan khusus dan berat, atau khawatir bakal
mengalami hal-hal menakutkan seperti yang diceritakan orang-orang yang sudah berkunjung
ke tanah suci.
Menyikapi Pengalaman-Pengalaman Jamaah Haji
Setiap jamaah haji tentunya memiliki pengalaman yang berbeda-beda, namun secara umum
yang dialami jamaah terbagi kepada 2 hal yang saling bertentangan: menyenangkan atau
tidak menyenangkan, logis atau tidak logis, fisis atau metafisis.
Banyak hal yang dialami jamaah seyogianya dianggap sebagai sesuatu yang tidak istimewa,
dengan kata lain bisa terjadi pada perjalanan biasa. Pelayanan yang buruk, konflik antar
jamaah, ketinggalan atau kehilangan barang, terinjak, keramaian yang bikin sumpek;
hanyalah akibat dari berkumpulnya jutaan orang dalam area yang luasnya terbatas. Schopler
& Stockdale (1977) menyatakan, dalam kepadatan tinggi, orang akan lebih mungkin
mengganggu aktifitas orang lain, sehingga menimbulkan perasaan frustrasi dan marah.
Jika kemudian ada keinginan untuk merenung, ini jelas sikap terpuji. Sesudah berkali-kali
terinjak, tak ada salahnya orang berintrospeksi, apa yang salah dengan diriku? Apakah aku
sudah tepat menggunakan kakiku? Lagi dan lagi kehilangan uang, alangkah baiknya jika
peristiwa itu dijadikan bahan refleksi diri, jangan-jangan ada harta yang kuperoleh secara
tidak halal, dan malah kini kubawa sebagai bekal ke tanah suci. Ini cuma sekedar contoh dan
hanya pantas diterapkan untuk diri sendiri, tidak untuk menghukumi orang lain.
Katakanlah ada sesama jamaah yang terkena marah tanpa sebab, betapa tidak pantasnya jika
kita menuduh orang tersebutmeski hanya di dalam hatisebagai orang yang suka marahmarah. Jika ada jamaah yang tersesat, disorientasi, dan tidak bisa menemukan jalan ke
pemondokan, sudah barang tentu orang tersebut tak layak dihukumi sebagai sombong, suka
menyesatkan orang, atau hal-hal jelek lainnya. Ada baiknya kita mempertimbangkan
pendapat Stanley Milgram (1970), Bila seseorang dihadapkan pada stimuli yang terlalu
banyak, maka dia akan mengalami beban indera yang berlebihan sehingga tidak akan dapat
menghadapi semua stimuli itu.
Namun demikian, sulit mengingkari adanya nuansa spiritual pada berbagai peristiwa yang
terjadi di tanah suci, dan nampak pada perilaku jamaah yang tengah memenuhi
panggilanNya. Hal itu terjadi karena situasi sakral yang ke luar dari kedalaman nurani jamah,
sehingga kepekaan mereka menjadi lebih tinggi. Oleh karenanya, kita tidak perlu
memustahilkan hal-hal metafisis yang konon dialami oleh sebagian jamaah haji.
Semua tergantung apa yang dipersepsikan. Pengalaman-pengalaman menyenangkan
mendatangkan hikmah dan menimbulkan keyakinan akan besarnya kasih sayang Ar Rahman,
dan juga memunculkan refleksi positip di kemudian. Pengalaman-pengalaman ini
menimbulkan kerinduan untuk kembali datang ke rumahNya; sekalipun orang yang pernah
berhaji tidak dituntut untuk menunaikannya lagi, karena haji kedua dan seterusnya hukumnya
sunnah. Al-Hajju marratan, faman zaada fahuwa tathawwu (HR Ibnu Hibban dan
Baihaqi).
Pengalaman-pengalaman kurang menyenangkan memberikan kesadaran akan ketidak
berdayaan seorang hamba di hadapan Sang Maha Pencipta. Alih-alih berputus asa, diperlukan
kerelaan dalam menerima ujian yang terjadi, sebagai bagian dari usaha mendekatkan diri
kepadaNya. Ketidak berdayaan dan kerelaan itu diwujudkan dengan bersegera memohon
ampun, sebagai syarat untuk meraih predikat muttaqin, yakni orang bertaqwa. Justru bekal
taqwalah yang Allah tuntut dari hamba-hamba yang akan berkunjung ke rumahNya. Wa
tazawwadu fa inna khairazzadit taqwa Dan berbekallah kalian, sesungguhnya sebaik-baik
bekal adalah taqwa (Q, 2, Al-Baqarah, 197).
Maka, anggapan bahwa tanah suci merupakan miniatur akhirat menjadi tidak terlalu tepat,
walaupun tidak bisa dibilang salah. Allah melimpahkan rahmat, mengingatkan, dan menegur
hambaNya: bukan hanya ketika mereka berada di tanah suci, akan tetapi kapan pun dan di

man pun. Bedanya, selama di tanah suci jamaah memberikan waktu dan perhatian yang
maksimal untuk Allah, sehingga bisa menangkap isyaratNya, sesuatu yang jarang dilakukan
kala berada di tanah air.
Terlepas dari itu semua, apabila seseorang telah bertekad untuk melaksanakan ibadah haji
yang terpenting adalah menata hati agar selalu berpikir positif, positive thinking. Allah
berfirman lewat lisan RasulNya, Aku akan bergantung dari persangkaan hambaKu
terhadapKu ,Ana inda dzanni abdi bi wa ana maahu haaitsu yadzkuruni.
Haji, Ibadah yang Menyenangkan
Bagaimana dengan persepsi sebagian orang, bahwa haji merupakan ibadah yang rumit dan
menyulitkan? Barangkali persepsi itu muncul dari ketelitian pengurusan haji; mulai dari
pemeriksaan kesehatan, penyiapan barang-barang bawaan, hingga latihan manasik haji.
Wa adzzin fin nasi bil hajji yaktuka rijalan wa ala kulli dhamirin yatina min kulli fajjin
amiq. (Q, 22, Al-Hajj, 27-29). Kecuali bagi penduduk Saudi Arabia, haji adalah
perjalanan jauh yang harus dipersiapkan dengan serius. Di samping itu, ritual haji memang
memerlukan fisik yang tangguh. Lebih dari itu, mengingat haji merupakan puncak dari rukun
Islam, sedapat mungkin hendaknya siapa pun dapat melakukannya secara sempurna.
Kesempurnaan ibadah haji tidak ditentukan oleh kemampuan menghafal doa-doa yang
demikian banyak dan panjang-panjang, sehingga dianggap menakutkan oleh sebagian orang.
Sebenarnya, mayoritas doa-doa itu hukum membacanya adalah sunnah; dengan kata lain
tidak harus dibaca, cukup berniat dan memiliki kesadaran penuh selama pelaksanaan
manasik. Wama jaala alaikum fiddini min haraj Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan (Q, 22, Al-Hajj, 78)
Bayangkan suasana indah saat mengitari baitullah. Cukup hanya dengan melantunkan doa
sapu jagat, nikmatilah kesejukan hati yang dipenuhi dengan keharuan serta rasa cinta
padaNya, lalu rasakan bercucurannya air mata taubat dan syukur. Dalam suasana seperti itu,
berjubelnya jamaah tidak akan mengurangi ketenangan dan kekhusyukan. Freedman (1975),
mengungkapkan, Bila seseorang merasa takut, gelisah, marah, agresif atau tenang dalam
situasi kepadatan rendah, maka dia akan lebih merasakannya dalam situasi kepadatan tinggi.
Demikianlah uraian singkat yang dapat saya kemukakan. Mudah-mudahana tinjauan psikilogi
sederhana yang telah diuraikan akan mendatangkan manfaat bagi kita, pembimbing
khususnya, dan para jamaah haji pada umumnya.

Bab 8
Tinjauan terhadap kebijakan pengunaan vaksinmeningitis bagi para calon jemaah haji
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan :
1. Vaksin Mengitis ialah vaksin yang mempunyai nama produksi MencevaxTM ACW135Y
yang dipoduksi oleh Glaxo Smith Kline
Beecham Pharmaceutical-Belgium, yang kegunaannya untuk mencegah penyakit Meningitis.
2. Penyakit Meningitis adalah penyakit yang disebabkan oleh
mikroorganisme, seperti virus atau bakteri, yang menyebar dalam darah dan menyebabkan
radang selaput otak sehingga dapat
menyebabkan kerusakan kendali gerak, pikiran, bahkan kematian, yang merupakan penyakit
berbahaya dan menular.
3. Haji wajib ialah haji yang dilakukan oleh mukallaf untuk pertama
kali atau karena nadzar. Sedangkan umrah wajib adalah umrah karena nadzar.
Ketentuan Hukum :
1. Penggunaan Vaksin Meningitis yang mempergunakan bahan dari
babi dan/atau yang dalam proses pembuatannya telah terjadi persinggungan/persentuhan
dengan bahan babi adalah haram.
2. Penggunaan vaksin Meningitis, sebagaimana dimaksud dalam angka 1 di atas, khusus
untuk haji wajib dan/atau umrah wajib, hukumnya boleh (mubah), apabila ada kebutuhan
mendesak (lial-hajah).
3. Ketentuan boleh mempergunakan vaksin meningitis yang haram tersebut berlaku hanya
sementara selama belum ditemukan vaksin
Meningitis yang halal atau pemerintah Kerajaan Arab Saudi masih mewajibkan penggunaan
vaksin tersebut bagi jamaah haji dan/ atau umrah.
Rekomendasi (Taushiah) :
1. Pemerintah harus segera memproduksi/menyediakan vaksin
Meningitis yang halal sehingga dapat digunakan oleh calon jamaah haji pada tahun 2010.
2. Setelah dilakukan vaksinasi, agar segera dilakukan penyucian secara syarI di tempat
injeksi.
3. Umat Islam agar senantiasa berhati-hati dalam mengkonsumsi apapun yang diragukan atau
diharamkan oleh agama.

Anda mungkin juga menyukai