Anda di halaman 1dari 14

FIQIH 4 MAZHAB

Defenisi Menurut Imam Syafi'i, Hambali, Maliki dan Hanafi


Monday, 13 April 2015

THAHARAH

1. Pengartian Thaharah
Disini kita akan membahas masalah thaharah, dimana thaharah atau bersuci ini menduduki masalah
penting dalam islam, baik secara hakiki maupun secara hukmi. Secara hakiki maksudnya adalah hal-hal
yang berkaitan dengan kebersihan badan, pakaian dan tempat solat dari najis. Sedangkan secara hukmi
maksudnya adalah sucinya whudu’ kita dari hadast atau sucinya diri kita dari kondisi janabah. Sebab hal
itu merupakan syarat abadi untuk bisa melakukan beragam ritual peribadatan dalam islam.

Adapun pengertian secara bahasa, thaharah berarti nazhafah (kebersihan). Sedangkan secra istilah adlah
kebersihan dari sesutau yang khusus yang di dalamnya terkandung makna ta’abud kepada Allah.

Begitu juga dengan hadast dan janabah, meski secara fisik tidak berbentuk benda yang najis terlihat.\,
namun secara hukum bisa dianggap sebagai salah satu bentuk ketidaksucian. Karena najis dan janbah
termasuk najis maknawi yang wajib disucikan manakala seorang hamba akan menghadap kepada
tuhannya secra formal. Maka kesucian dari hadast dan janabah merupakan kesucian ruhiyah.
Dalam Al-qur’an allah sangat memuji orang-orang yang selalu menjaga kesucian seperti yang terdapat
dalam surat al-baqarah:222 yang artinya “ Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang taubat dan orang-
orang yang membersihkan diri”. Dan Q.S. At-Taubah:108 “Ddalamnya ada orang-orang yang suka
membersihkan diri dan Allah menyukai orang-orang yang membersihkan diri”.

Sosok pribadi muslim sejati adalah orang yang bisa mnejadi teladan dan idola dalam arti yang positif di
tengah manusian dalam hal kesucian dan kebersihan. Baik kesucian zahir maupun batin. Sebagaimana
sabda rasulullah saw kepada jamaah dari sahabatnya: “Kalian akan mendatangi saudaramu, maka
perbaguslah kedatanganmu dan perbaguslah penampilanmu. Sehingga sosokmu bisa seperti tahi lalat di
tengah manusia (menjadi pemanis). Sesungguhnya Allah tidak menyukai hal yang kotor dan keji” (HR.
Ahmad).

2. Macam-macam Air
Berkenaan dengan air yang digunakan sebagai media bersuci, para ulama membaginya menjadi 3 macam,
yaitu:
a. Air yang suci dan menyucikan
Air jenis ini bisa dipakai untuk bersuci, seperti air sumur, laut, sungai, hujan dan mata air maka bolh dipsksi
intuk bersuci. Ada air yang suci mensucikan tapi makruh apabila dipakai seperti:

 Air yang dipanaskan dengan matahari atau dengan alat pemanas dengan syarat memakai tempat
yang terbuat dari besi, selain itu tidak seperti emas, perak dan tanah liat.
 Air yang terlalu panas.
 Air yang terlalu dingin.
b. Air yang suci tetapi tidak mensucikan
Air yang seperti ini dzatnya suci, tetapi tidak sah apabila dipakai untuk menyucikan sesuatu. Yang termasuk
bagian ini ada 3 macam, yaitu:

 Air yang musta’mal, yaitu air yang sedikit (kurang dari 2 kulah) yang sudah dipakai untuk bersuci,
baik dari hadas maupun najis.
 Air yang telah tercampur dengan sesuatu yang suci dan telah merubah salah satu sifatnya, sepeti
kopi, teh, susu dan lainnya, tapi kalau air yang tercampur minyak wangi atau kapur yang dipakai untuk
bak mandi maka hukumnya boleh dipakai dengan syarat tercampurnya sedikit sehinngatidak merubah
nama air.
 Air yang berasal dari pohon-pohonan atau air buah-buahan, seperti air kelapa, air nira adan
sebagainya.
c. Air yang bernajis
Air yang tercampur dengan najis terbagi menjadi 2 macam, yaitu:

 Air yang sudah berubah salah satu sifatnya oleh najis, air ini tidak boleh dipakai baik jumlahnya
sedikit (kurang dari 2 kulah) maupun bnayak (lebih dari 2 kulah).
 Air yang kejatuhan/bercampur najis tetapi najis tersebut tidak sampai merubah salah satu sifat air
tersebut. Air jenis ini apabila jumlah nya sedikit (kurang dari 2 kulah) maka tidak boleh dipakai, karena
hukumnya najis. Tetapi jika airnya banyak, maka hukumnya tetap suci menyucikan. Seperti air bak yang
kejatuhan bangkai cicak dan lain-lain.
3. Macam-macam najis
a) Mukhoffafah (najis ringan)
Seperti najis kencingnya anak bayi laki-laki yang belum makan selain air susu ibunya (selain obat) dan
umurnya belum genap 2 tahun. Maka cara menyucikannya cukup dipercikkan air sampai rata.
b) Mutawasithoh (najis sedang)
Yaitu semua najis selain yang tersebut di atas, dan najis ini di bagi menjadi 2 macam:

 Najis yang ada aniyahnya (bekas) yang mempunyai warna, bau atau rasa, maka cara
menyucikannya harus dihilangkan bekasnya lalu disiram dengan air secara merata.
 Najis yang tidak berbekas (hukmiyah) yaitu tidak ada warna, bau atau rasa, maka cara
menyucikannya cukup dengan menyiramya dengan air secara merata.
c) Mughaladoh (najis yang berat)
Seperti najisnya babi atau anjing atau anak dari salah satu diantaranya, dalam keadaan basah atau kering,
maka cara membasuhnya dengan terlebih dahulu menghilangkan bekasnya lalu dibasuh dengan air 7 kali
dan debu (bisa air dulu 5 kali, lalu debu, lalu air lagi 1 kali atau air dicampur dengan debu dan dibasuh 7
kali).

4. Benda-benda najis
a) Anjing : najis, kecuali Mazhab Maliki yang berkata: bejana yang di basuh 7 kali jika terkena jilatan
anjing bukanlah karena najis melainkan karena ta’abbud (beribadat). Syafi’i dan Hambali berkata: bejana
yang terkena jilatan anjing meski di basuh sebanyak 7 kali, satu kali di antaranya dengan
tanah. Imamiyah berkata: bejana yang di jilat anjing harus dibasuh sekali dengan tanah dan 2 kali dengan
air.

b) Babi: Semua mazhab berpendapat bahwa hukumnya sama seperti anjing, kecuali
mazhab Imamiyah yang mewajibkan membasuh bejana yang terkena babi sebanyak 7 kali dengan air.
Begitu uga hukumnya dengan bangkai tikus darat (yang besar).

c) Bangkai: Semua mazhab sepakat bahwa bangkai bintang darat selain manusia adalah najis jika pada
binatang itu keluar darah yang mengalir. Adapun bangkai manusia Maliki,
Syafi’i dan Hambali mengatakan suci. Hanafi berpendapat bahwa bangkai manusia itu najis, dan yang
terkena dapat menyucikannya dengan mandi.

d) Darah: Semua mazhab sepakat darah adalah najis kecuali darah orang yang mati syahid, selama
darah itu berada di atas jasadnya. Begitu juga dengan darah yang tertinggal pada persembelihan, darah
ikan, darah kutu, dan darah kepinding (tetinggi).

e) Mani: Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa mani anak adam adalah suci, begitu juga dengan semua
binatang selain anjing dan babi. Hambali berpendapat mani anak adam dan mani binatang yang
dagingnya dimakan adalah suci, tetapi mani binatang yang dagingnya tidak dimakan adalah najis.

f) Nanah: Keempat mazhab sepakat bahwa nanah adalah hukumnya najis.

g) Kencing: Semua mazhab sepakat Air kencing dan kotoran anak adam adalah najis.

h) Sisa binatang: Ada 2 kelompok binatang, yaitu terbang dan tidak terbang, dan masing-masingnya
dibagi 2 juga yaitu yang dagingnya dimakan dan tidak dimakan. Kelompok binatang terbang yang
dagingnya tidak dimakan misalnya burung ring dan elang (Maliki menghalalkan keduanya dimakan).
Binatang tidak terbang yang dagingnya dimakan misalnya lembu dan kambing dan yang dagingnya tidak
dimakan misalnya serigala dan kucing (Maliki menghalalkan keduanya untuk dimakan). Ada beberapa
pendapat dari masing-masing mazhab tentang sisa binatang-binatang tersebut. Syafi’i berkata: semua sisa
termasuk kotoran merpati, burung ciak dan ayam, hukumnya najis. Kotoran unta dan kotoran kambing
najis, kotoran kuda, bagal dan lembu semua najis.
Hanafi berkata: sisa-sisa binatang yang tidak terbang seperti unta dan kambing adalah najis. Adapun
binatang terbang jika ia buang air besar di udara, seperti merpati dan burung ciak sisanya suci, jika buang
air besar di bumi seperti ayam dan angsa maka sisanya najis.
Hambali dan Syafi’i berkata: sisa-sisa binatang yang dagingnya dimakan hukumnya suci, sedangkan sisa-
sisa binatang yang darah dan dagingnya tidak dimakan hukumnya najis, baik yang terbang maupun tidak.

i) Benda cair yang memabukkan: adalah najis menurut semua mazhab ,


tetapi imamiyah menambahkan satu ketentuan, bahwa benda cair tersebut asalnya cair. Hal ini
dimaksudkan agar tidak upaya menjadikan benda benda yang memabukkan yang cair di ubah menjadi
beku untuk menghindari hukum najisnya, yang padahal hukumnya tetap najis.
j) Muntah: hukumya najis menurut empat mazhab.

k) Madzi dan wadzi: keduanya najis menurut Syafi’i, Maliki dan Hanafi. Hambali berpendapat madzi
suci sedangkan wadzi najis. Madzi adalah yang keluar dari lubang depan ketika ada rangsangan seksual
dan wadzi adalah air amis yang keluar setelah kencing atau dalam kondisi capek.

5. Wudhu
1) Hal-hal yang mewajibkan dan membatalkan wudhu
Sesuatu yang keluar dari kedua jalan (qubul dan dubur) para ulama sepakat bahwa semua yang keluar
dari 2 jalan (qubul dan dubul) dapat membatalkan wudhu. Sedangkan keluarnya ulat, batu kecil, darah dan
nanah maka ia dapat membatalkan wudhu, Menurut Syafi’i, Hanafi dan Hambali. Tetapi
menurut Maliki tidak samai membatalkan wudhu, kalau semuanya itu tumbuh dalam perut, tetapi kalau
tidak tumbuh di dalam perut seperti orang yang sengaja menelan batu kecil, lalu batu itu keluar dari anus,
maka itu dapat membatalkan wudhu.
Adapun terkena madzi dan wadzi menurut empat mazhab ia dapat membatalkan wudhu, tetapi
menurut imamiyah tidak sampai membatalkan wudhu. Hanya Maliki membarikan pengecualian bagi
orang yang selalu keluar madzi, orang yang seperti ini tidak diwajibkan berwudhu lagi.
Hilang akal karena mabuk, gila, pingsan atau naik pitam, maka menurut kesepakatan semua ulama ia
dapat membatalkan wudhu. Tapi kalu masalaha tidur Hambali berpendapat bahwa kalau hati,
pendengaran dan penglihatannya tidak berfungsi selama ia tidur, sehingga tidak dapat mendengar
pembicaraan orang-orang disekitarnya dan tidak dapat memahaminya, baik orang yang tidur itu dalam
keadaan duduk, telentang atau berdiri, maka bila sudah demikian dapat membatalkan wudhu. Hanafi:
kalau orang yang mempunyai wudhu itu tidur dengan telentang atau tertelungkup pada salah satu
pahanya, maka wudhunya menjadu batal. Tetapi kalau tidur duduk, berdiri, ruku’ atau sujud, maka
wudhunya tidak batal. Barang siapa yang tidur saat solat dan keadaanya tetap seperti posisi solat, maka
wudhunya tidak batal, walaupun tidur sampai lama.
Mani dapat membatalkan wudhu menurut Hanafi, Maliki dan Hambali. Tetapi menurut Syafi’i ia tidak
dapat membatalkan wudhu.
Menyentuh lawan jenis Syafi’i: kalau orang yang berwudhu itu menyentuh wanita lain tanpa ada aling-
aling (batas), maka wudhunya batal, tapi kalu bukan wanita lain, seperti saudara wanita maka wudhunya
tidak batal.
Hanafi: wudhu itu tidak batal kecuali dengan menyentuh, dimana sentuhan itu dapat menimbulkan reaksi
pada kemaluan. Atau dengan kata lain menyentuhnya dengan diiringi syahwat.
Syafi’i dan Hambali menyentuh itu dapat membatalkan wudhu secra mutlak, baik sentuhan denngan
telapak tangan maupun dengan belakangnya.
Maliki ada hadis yang dirwayatkan oleh mereka yang membedakan antara menyentuh dengan telapak
tangan, yakni apabila menyentuh dengan telapak bagian depan maka membatalkan wudhu dan tidak
membatalkan apabila dengan bagian punggung tangan, (Al-bidayah wa al-nihayah, karya ibnu rusyd,
dalam pembahasan nawaqibul wudhu).
Muntah menurut Hambali dapat membatalkan wudhu secara mutlak, tetapi menurut Hanafi dapat
membatalkan wudhu kalau sampai memenuhi mulut, sedangkan menurut Syafi’i dan Maliki tidak
membatalkan wudhu.
Darah dan nanah menurut Syafi’i dan Maliki ia tidak membatalkan wudhu. Hanafi dapat membatalkan
wudhu jika mengalir dari tempat keluarnya. Hambali ia dapat membatalkan wudhu dengan syarat darah
dan nanah itu keluar banyak.
Tertawa itu dapat membataklan sholat menurut kesepakatan semua kaum muslimin, tetapi tidak
membatalkan wudhunya ketika sholat, maupun diluarnya kecuali Hanafi. Menurut Hanafi dapat
membatalkan wudhu kalau tertawanya sampai terbahak-bahak di dalam sholat, tetapi diluar sholat tidak
membatalkan whudu.
Daging unta dapat membatalkan whudu, jika orang yang mempunyai whudu itu memakan daging unta,
pendapat ini hanya menurut Hambali saja.
Darah haid. Al-Hilli dalam bukunya Al-Tadzkirah menjelaskan, beliau termasuk salah satu ulama besar ahli
fiqih dari kalangan imamiyah: darah haid itu kalau sakit ia wajib berwhudu, sedangkan
menurut Maliki bagi orang yang tidak di wajibkan berwhudu.

2) Fardhu-fardhu wudhu

 Niat
Para ulama mazhab sepakat bahwa niat itu salah satu fardhu dalam wudhu. Hanafi: sahnya solat tidak
hanya tergantung pada wudhu dan niat; seandainya ada orang yang mandi dengan ujuan hanya untuk
mendinginkan badannya atau untuk membersihkannya, kemudian membasahi semua anggota wudhu, lalu
ia sholat, maka sholatnya sah, karena tujuan final dari whudu itu adalah suci, sedangkan kesucian dengan
mandi tersebut telah tercapai, hanya Hanafi mengecualikan sesuatu yang tercampur dengan sisa-sisa
keledai atau anggur yang terbuat dari kurma. Dalam masalah ini mereka (Hanafi) menegaskan dengan
wajibnya niat. (ibnu abidin, jilid 1, halaman 76).

 Membasuh muka
Yang dimaksud dengan membasuh muka adalah mengalirkan air pada muka. Ia wajib cukup satu kali saja.
Batasnya dari tumbuhnya rambut sampai pada ujung dagu. Syafi’i juga membasahi sesuatu yang dibawah
dagu. Maliki batasnya seluas ibu jari dan telunjuk. Mazhab-mazhab yang lain batas membasuh muka itu
dari anak kuping kiri sampai anka kuping kanan. Empat mazhab kewajiban itu hanya mebasuh muka,
sedangkan memulai dari atas itu adalah lebih utama.
 Membasuh dua tangan
Kaum muslimin sepakat bahwa membasuh dua tangan sampai siku-siku satu kali adalah wajib.
Empat mazhab bahwa yang wajib itu adalah membasuhnya, sedangkan mendahulukan tangan yang
kanan dan memulai dari jari-jemari adalah lebih utama.

 Mengusap kepala
Hambali wajib mengusap semua kepala dan dua telinga. Sedangkan mandi memurut Hambali adalah
cukup sebagai pengganti dari mengusap, dengan syarat melewatka kedua tangannya diatas
kepala. Maliki wajib mengusap semua kepala tanpa telinga. Hanafi wajib mengusap seperempat kepala,
tetapi cukup dengan memasukan kepala dalam air atau menuangkan air di atas kepalanya.
Syafi’i wajib mengusap sebagian kepala, sekalipun sedikit, tetapi cukup dengan membasahi atau
mneyirami sebagi pengganti dari mengusap. Empat mazhab wajib mengusap dengan air baru. Kalau
mengusap surban, maka Hambali telah membolehkannya, dengan sebagian surban itu berada di bawah
dagu. Hanafi, Syafi’i dan Maliki boleh kalu ada udzur tetapi bila tidak, tidak boleh.

 Dua kaki
Empat mazhab wajib membasuhnya sampai mata kaki satu kali. Imamiyah wajib mengusapnya sampai
ujung-ujung jari sampai pada mata kaki. Kesepakatan ulama mazhab boleh mendahulukan kanan dari
yang kiri. Perbedaan antara mengusap dan membasuh itu sebenarnya bersumber dari pemahaman ayat 6
surat al-maidah:
“wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengakkan solat, maka basuhla muka-muka kamu,
kedua tangan kamu sampai siku-siku, dan usaplah kepala kamu dan kaki kamu sampai dua mata kakinya”
Empat mazhab boleh mengusap sepatu dak kaus kaki sebagai pengganti dari membasuk dua kaki.

 Tertib
Tertib ini berdasarkan keterangan ayat, yaitu: di mulai dari muka, lalu dua tangan, lalu kepala, lalu dua kaki.
Ia wajib sekaligus syarat sah nya wudhu, menurut Syafi’i dan Hambali.
Hanafi dan Maliki: tidak wajib tertib, dan boleh di mulai dari dua kaki dan berakhir di muka.

 Muwalat
Yaitu berurutan antara membasuh anggota-anggota wudhu dan apabila telah selesai dari satu anggota lalu
pindah (melakukan) pada anggota selanjutnya dengan segera.
Hambali: wajib muwalat, sedangkan Hanafi dan Syafi’i tidak wajib muwalat, hanya di makhruhkan
memisahkan dalam membasuh antara anggota-anggota wudhu itu kalau tidak ada udzur, bila ada udzur,
maka hilanglah kemakruhan itu.
Maliki: muwalat itu diwajibkan hanya bagi orang yang berwudhu dalam keadaan sadar, dan tidak ada
tanda-tanda yang menunjukan bahwa ia tidak sadar, sebagaimana kalau ia menuangkan air yang di
anggapnya untuk wudhu, maka kalau ia membasuh mukanya, lalu lupa membasuh dua tangannya, atau
air yang akan dipergunakan untuk wudhu itu telah habis, maka kalau mengikuti keyakinannya berarti ia
telah melakukan sesuatu yang di bangun di atas keyakinannya, sekalipun telah lama.

 Ad-Dalk
Yaitu menggosok-gosok anggota badan yang termasuk anggota wudhu. Semua mazhab berpendapat
bahwa itu tidak merupakan fardhu wudhu, selama basuhan-basuhan terhadap setiap anggota wudhu
tersebut dapat dipastikan sudah mengenai kulit dan tidak ada yang tertinggal.
Sedangkan Maliki berpendapat bahwa ad-dalk merupakan fardu wudhu.

6. Mandi wajib
Macam-macam mandi wajib yaitu: junub, haid, nifas dan orang yang meninggal dunia.
Keempat hal ini telah di sepakati semua ulama mazhab. Hambali: menambah satu hal lagi, yait: ketika
orang kafir memeluk agama islam. Syafi’i: kalau orang kafir itu masuk islam dalm keadaan junub, maka ia
wajib mandi karena junubnya, bukan islamnya. Dari itu, kalau pada waktu masuk islam ia tidak dalam
keadaan junub, ia tidak wajib mandi. Hanafi: ia tidak di wajibkan mandi, baik junub maupun tidak (Ibnu
Qudamah, Al-mughni, jilid 1, hal.207).
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa jumlah mandi wajib itu ada 4, menurut Hanafi dan Syafi’i: dan
menurut Hambali dan Maliki ada 5.
1) Mandi junub
Junub mewajibkan mandi itu ada 2, yaitu:

 Keluar mani, baik dalam keadaan tidur maupun bangun.


Syafi’i: kalau mani itu keluar maka ia wajib mandi, tak ada bedanya, baik keluar karena syahwat maupun
tidak. Hanafi, Maliki dan Hambali: tidak di wajiban mandi kecuali kalu pada wktu keluarnya itu merasakan
nikmat. Kalau mani itu keluar karena di pukul, dingin atau karena sakit bukan karena syahwat, maka ia
tidak di wajibkan mandi. Tapi kalu mani sudah terpisah dari sulbi lelaki atau dari tulang dada wanita dan
mani belum sampai pindah keluar (pada yang lain), maka ia tidak di wajibkan mandi, kecuali
menurut Hambali.
(masalah) kalau orang sudah sadar (bangun), lalu ia melihat basah, tetapi ia tidak mengetahui apakah yang
basah itu mani atau madzi. Hanafi wajib mandi, Syafi’i dan Imamiyah: tidak wajib, karena suci
meyakinkan, sedangkan hadast meragukan.
Hambali: kalau sebelum tidur ia telah memikirkan hal-hal yang nikmat (berfikir tentang yang porno) maka
ia tidak diwajibkan mandi, tapi kalau sebelum tidur tidak ada sebab (gejala) yang menimbulkan kenikmatan,
maka ia diwajibkan mandi, karena basah yang tidak jelas itu.

 Bertemunya dua kemaluan (bersetubuh).


Memasukkan kepala zakar atau sebagian dari hasyafah (kepala zakar) ke dalam faraj (kemaluan) atau
anus, maka semua ulama mazhab sepakat dengan mewajibkan mandi, sekalipun belum keluar mani.
Hanya mereka berbeda pendapat tentang beberapa syarat: apakah kalau tidak dimasukkan, yakni sekedar
saling sentuhan antara dua kelamin itu, diwajibkan mandi atau tidak?.
Hanafi: wajibnya mandi itu dengan beberapa syarat, yaitu: pertama baligh. Kalau yang baligh itu hanya
yang disetubuhi, sedangkan yang menyetubuhi tidak, atau sebaliknya, maka yang mandi itu hanyalah yang
baligh saja. Dan kalau keduanya sama-sama kecil, maka keduanya tidak di wajibkan mandi. Kedua , harus
tidak ada batas (aling-aling) yang dapt mencegah timbulnya kehangatan. Ketiga, orang yang di setubuhi
adalah orang yang masih hidup, maka kalau ia memasikan zakarnya kepada binatang atau kepada orang
yang telah meninggal maka ia tidak diwajibkan mandi.
Syafi’i: sekalipun kepala zakar itu tidak masuk atau sebagiannya saja belum masuk, maka ia sudah cukup
diwajibkan mandi, tak ada bedanya, baik baligh maupun tidak, yang menyetubuhi maupun yang di setubuhi
ada batas (aling-aling) maupun tidak, baik terpaksa maupun karena suka, baik yang di setubuhi masih
hidup maupun sudah meninggal, baik pada binatang maupun pada manusia.
Hambali dan Maliki: bagi yang menyetubuhi maupun yang di setubuhi itu wajib mandi, kalau tidak ada
batas (aling-aling) yang dapat mencegah kenikmatan, tak ada bedanya, baik pada hewan ataupun pada
manusia, baik yang di setubuhi itu hidup atau meninggal.
Kalau yang telah baligh, Maliki: bagi yang menyetubuhi itu wajib mandi, kalau ia telah mukallaf dan juga
orang yang di setubuhi. Bagi orang yang di setubuhi wajib mandi, kalau yang menyetubuhinya telah baligh,
tapi kalau belum baligh atau masih kecil, maka ia tidak diwajibkan mandi kalau beum sampai keluar mani.
Hambali: mensyaratkan bahwa lelaki yang menyetubuhi itu umurnya tidak kurang dari 10 tahun, bagi
wanita yang di setubuhi itu tidak kurang dari 9 tahun.

2) Sesuatu yang mewajibkan mandi junub


Sesuatu yang mewajibkan wudhu pada dasarnya mewajibkan mandi junub, seperti sholat, tawaf dan
menyentuh al-qur’an, lebih dari itu yaitu berdiam di mesjid. Semua ulama mazhab sepakat bahwa bagi
irang yang junub tudak boleh berdiam di mesjid. Hanya berbeda pendapat boleh tidak nya kalau ia lewat
di dalamnya, sebagaimana kalau ia masuk dari satu pintu ke pintu lainnya.
Maliki dan Hanafi: tidak boleh kecuali karena sangat darurat (penting). Syafi’i dan Hambali: boleh kalau
hanya lewat saja, asal jangan berdiam, pendapat ini berdasarkan keterangan ayat 43 surat an-nisa:
“(jagan pula)hampiri mesjid sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar berlalu saja”.
Maksud ayat tersebut di atas, dilarang mendekati mesjid-mesjid yang di jafikan tempat solat, kecuali ia
hanya melewatinya saja. Ayat tersebut mengecualikan dua masjid, yakni masjidil haram dan masjid nabaw,
karena ada dalil khusus yang menunjukkannya berbeda (pengecualian).
Sedangkan membaca al-qur’an, Maliki: bagi orang yang junub diharamkan membaca sesuatu yang dari al-
qur’an, kecuali sebentar dengan maksud untuk memelihara (menjaga) dan menjadikannya sebagai dalil
(bukti). Pendapat ini hampis sama dengan Hambali.
Hanafi: bagi orang yang junub tidak boleh membacanya,kecuali dia menjadi guru mengaji yang
menyampaikannya (mentalqin;mengajarkannya) kata perkata.
Syafi'i: bahkan satu hrufpun bagi orang yang junub tetap diharamkan, kecuali hnaya untuk dzikir
(mengingat) seperti menyebutnya pada saat makan.

3) Hal-hal yang wajib dalam mandi junub


Dalam mandi junub di wajibkan apa yang di wajibkan dalam wudhu, baik dari segi ke-mutlakan air sucinya
serta badan harus suci terlebih dahulu, serta tidak ada sesuatu yang mencegah sampainya ke kulit,
sebagaimana yang telah di jelaskan dalam bab wudhu, diwajibkan juga berniat, kecuali Hanafi yang
menolak niat ini. Alasannya hanafi tidak menganggap niat sebagai syarat sah mandi.
Empat mazhab tidak mewajibkan dalam mandi junub itu dengan cara-cara khusus, hanya mereka
mewajibkan untuk meratakan air ke seluruh badan, mereka tidak menjelaskan apakah harus dari atas atau
sebaliknya.
Hanafi: menjelaskan ia harus berkumur-kumur dan menghirup air ke dalam hidung lalu dihembuskan.
Mereka (hanafi): sunnah bila pertama memulai dengan menyiram air dari kepala, tubuh sebelah kanan,
lalu tubuh sebelah kiri. Syafi’i dan Maliki: di sunnahkan untuk memulai dari bagian atas badan sebelum
pada bagian bawah, selain faraj (kemaluan). Ia (faraj) disunnahkan lebih dahulu dari semua anggota badan
yang lain. Hambali: di sunahkan mendahulukan yang kanan dari yang kiri.

7. Tayamum

 Tayamum itu mempunyai sebab-sebab yang membolehkan dan materi yang dipergunakannya,
cara-cara khusus dan hukum-hukum yang berlaku.Sebab-sebab tayamum
Ulama mazhab berbeda pendapat tentang orang yang bukan musafir dan sehat (tidak sakit), tetapi ia
tidak mendapatkan air; apakah ia boleh bertayamum ?. Maksudnya , bila tidak ada air, apakah hanya orang
yang berada dalam perjalanan dan sakit sajalah yang boleh bertayamum, atau justru dibolehkan dalam
keadaan apapun , sampai pada waktu sehat dan orang yang bukan dalam perjalanannya?.
Hanafi: orang yng bukan dalam perjalanan dan ia sehat (tidak sakit), maka ia tidak boleh bertayamum dan
tidak pula solat kalau tidak ada air. Hanafi mengemukakan pendapat itu berdasarkan ayat 8 surat al-
maidah:
“...bila kamu sakit atau dalam perjalanan, atau salah satu di antara kamu datang dari tempat buang air
besar (jamban, atau menyentuh perempuan (menyetubuhinya), lalu kamu tidak mendapatkan air maka
bertayamumlah...”
Ayat di atas jelas menunjukkan bahwa tidak adanya air saja tidak cukup untuk dijadikan alasan untuk
bertayamum selama orang itu bukan musafir dan orang yang sakit, maka orang yang bukan musafir dan
ia sehat dalam keadaan yang tidak ada air, ia berarti tidak diwajibkan solat, karea ia tidak suci. Dan solat
hanya diwajibkan bagi orang yang suci.
Mazhab-mazhab yang lain sepakat bahwa orang yang tidak mendapatkan air wajib bertayamum dan sholat,
baik ia dalam keadaan musafir maupun bukan, sakit maupun sehat berdasarkan hadist yang mutawatir :
“Tanah yang baik itu dapat sebagai penyuci orang islam, seklaupun tidak mendapatkan air selma 10 tahun.”
Mereka menjelaskan bahwa dijelaskannya (musafir) dalam ayat tersebut karena kebiasaan, sebab
biasanya orang-orang musafir tidak mendapatkan air.
Kalau betul apa yang dikatakan Hanafi itu, maka tentu orang-orang musafir dan orang yang sakit, yang ke
duanya tetap diwajibkan sholat, sedangkan orang-orag yang bukan musafir dan sehta tidak diwajibkan
sholat; (mengapa mesti terbalik logikanya?).
Syafi’i dan Hambali: kalau mendapatkan air tetapi tidak cukup untuk berwudhu (menyucikan) secara
sempurna, maka ia wajib mempergunakan air itu pas sebagian anggota wudhu yang mudah, dan sebagian
yang lain boleh bertayamum. Kalau ada air hanya untuk wajah saja, maka cucilah wajahnya kemudian
yang lain ditayamuminya.
Mazhab-mazhab yang lain: adanya air yang tidak cukup itu sama dengan tidak adanya air, maka bagi orang
yang demikian tidak diwajibkan selian bertayamum.
Tapi pada masa sekarang, pembahasan tentang tidak adanya air bukan menjadi topik yang perlu
diperdebatkan secara panjang lebar, karen apada saat ini air telah mencukupi bagi setiap manusia, dimana
saja, baik bagi orang yang musafir maupu yang mukim. Para ahli fiqih memebahas tentang wajibnya
mencari air dan kadar usaha untuk mencarinya. Kalu ia khawatir pada dirinya, hartanya atau
kehormatannya dari pencuri atau binatang buas, atau harus mengeluarkan uang yang lebih dari biasanya
dan seterusnya, maka semuanya itu dikarenakan mereka menemukan kesulitan yang berta untuk
mendapatkan air.

 Cara-cara bertayamum
Semua ulama mazhab sepakat bahwa bertayamum itu tidaklah sah kalau tanpa niat, sampai Hanafi
berkata: niat itu adalah merupakan syarat dalam bertayamum, bukan syarta dalam wudhu. Menurut
mereka (hanafi) bahwa tayamum itu dapat menghilangkan hadast, seperti wudhu da mandi. Dari itu,
mereka boleh berniat menghilangkan hadast, sebagaimana berniat untuk dibolehkannya melakukan
sholat.
Mazhab-mazhab lain berpendapat bahwa tayamum itu membilehkan, bukan menghilangkan (hadast). Bagi
orang yang bertayamum hendaknya beniat agar dibolehkan melakukan apa-apa yang disyaratkan bersuci
dengannya, bukan berniat untuk menghilangkan hadast. Tetapi sebagian imamiyah mengatakan
bahwa boleh berniat menghilangkan, dengan catatn ia mengetahui kalau tayamum itu tidak
menghilangkan hadast, karena menurut mereka di dalam niat menghilangkan hadast terdapat kelaziman
arti dari niat kebolehannya (istibahah).
Sebaik-baiknya cara untuk mengakumulasi (mengumpulkan) semua pendapat-pendapat di atas adalah
orang yang bertayamum itu harus berniat untuk mendekatkan diri kepada allah dengan mengikuti perintah-
Nya yang berhubungan dengan masalah tayamum ini, baik ketika memulainya, maupun lahir dari perintah
sholat dan semacamnya dari beberapa tujuan tayamum.
Sebagaimana mereka (ulama mazhab) berbeda pendapat tentang sha’id, mereka juga berbeda pendapat
tentang maksud tentang mengusap wajah dan kedua tangan yang di jelaskan dalam ayat Al-Qur’an.
Empat mazhab: yang dimaksud dengan muka itu adalah mengusap semua wajah, yang di dalmnya
termasuk janggut dan yang dua tangan adalah dua telapak tangan dan pergelangan sampai pada kedua
siku-siku. Itulah batas tayamum sebagaimana batas wudhu. Dan caranya adalah menepuk dengan dua
kali tepukan, yang pertama untuk mnegusap wajah dan yang kedua untuk mengusap kedua tangan,
dengan cara dari ujung jaru-jari sampai kedua siku-siku.
Maliki dan Hambali: bahwa mnegusap kedua tangan itu hanya sampai pada pergelangan tangan dan
sampai disitulah yang diwajibkannya, sedangkan sampai kedua siku-siku adalah sunnah.
Hanafi: kalau mukanya terkena debu, lalu meletakkan tangannya padanya (wajahnya) dan
mengusapkannya, maka itu sudah cukup, serta sebagai pengganti dari memukulkannya.
Semua ulama mazhab sepakat bahwa sucinya anggota tayamum itu adalah merupakan syarat sahnya
tayamum baik yang di usapnya maupun yang mengusapnya, juga benda yang menjadi bahan tayamum itu
harus suci. Mereka juga sepakat bahwa bagi orang yang bertayamum wajib mencopot (menaggalkan)
cicinya ketika bertayamum, dan tidak cukup hanya menggerakkannya, sebagaimana kalau mau berwudhu.
Tetapi para ulama mazhab berbeda pendapat tentang muwalat (berturut-turut).
Maliki: wajib berturut atar bagian-bagian anggota tayamum itu.
Hambali: wajib berturut=turut kalu bertayamum untuk menghilangkan hadast kecil, tetapi klau untuk
menghilangkan hadast besar tidak wajib berturut-turut.
Syafi’i: hanya wajib tertib saja, buakn berturut-turut. Hanafi: tidak diwajibkan berturut-turut dan tidak
diwajibkan pula tertib.

8. Haid
Haid secara bahasa berarti: mengalir, sedangkan secra teminologis (istilah) menurut para ahli fiqih berati:
darah yang biasa keluar pada diri wanita pada hari-hari tertentu. Haid itu mempunyai dampak yang
membolehkan meninggalkan ibadah dan mejadi patokan selesainya ‘iddah bagi wanita yang dicerai.
Biasanya darahnya warna hitam atau merah kental (tua) dan panas. Ia mempunyai daya dorong, tapi
kadang-kadang ia keluar tidak seperti yang digambarkan di atas, karena sifat-sifat darah haid sesuai
dengan makanan yang wanita itu makan.

a. Usia wanita haid


Semua ulama mazhab sepakat bahwa wanita itu tidak akan haid kalau belum usia 9 tahun, maka kalau
datang sebelum usia tersebut, semua sepakat bahwa itu darah penyakit. Begitu juga darah yang keluar
pada wanita yang berusia lanjut. Hanya mereka berbeda pendapat tentang batas usia lanjut yang haidnya
telah berhenti.
Hanafi dan Hambali: 50 tahun, Maliki: 70 tahun, Syafi’i: selama masih hidup haid itu masih mungkin,
sekalipun biasanya berhenti setelah berusia 62 tahun.

b. Lamanya waktu haid


Hanafi: paling sediktnya haid itu 3 hari dan paling banyak 10 hari. Dan darah itu tidak keluar terus-menerus
selama 3 hari, atau darah yang keluar lebih dari 10 hari, maka itu bukan darah haid.
Hambali dan Syafi’i: paling sedikitnya satu hari satu malam, dan paling banyaknya 15 hari.
Maliki: paling bayaknya 15 hari bagi wanita yang tidak hamil, sedangkan sedikitnya tidak ada batas.
Semua ulama mazhab sepakat bahwa haid itu tidak ada batas masa sucinya, yang dipisah dengan dua
kali haid. Sedangkan, paling sedikitnya 13 hari. Menurut Hanafi, Syafi;i dan Maliki paling sedkitnya 15
hari.
Ulama mazhab berbeda pendapat terjadinya haid dengan hamil secara bersamaan. Apakah kalau ia sudah
nampak hamil masih bisa haid?
Syafi’i dan Maliki: haid dan hamil masih bisa bersamaan. Hanafi dan Hambali: tidak bisa berkumpul
secara bersamaan.

c. Hukum-hukum haid
Bagi wanita haid yang diharamkan semua yang diharamkan pada orang yang junub, baik menyentuh al-
qur’an dan berdiam dalam mesjid. Pada hari-hari haid diharamkan berpuasa dan sholat, hanya ia wajib
menggantinya (mengqhada) hari-hari puasa ramadhan yang di tinggalkannya, tetapi kalu sholat tidak usah
diganti, karena berdasarkan beberapa hadis dan demi menjaga (terhindar) kesukaran karena banyaknya
mengulang-ulang sholat, tapi kalu puasa tidak. Diharamkan pula mentalak istri yang sedang haid, tetapi
kalu telah terjadi, maka sah talaknya, hanya menurut empat mazhab orang yang mentalaknya itu berdosa,
sedangkan menurut imamiyah talaknya itu kalau suami itu telah menyetubuhinya, atau suaminya masih
berada di sisinya, atau istri itu masih belum hamil. Dan sah mentalak istri yang sedang haid , istri yang
sedang hamil dan belum disetubuhi serta wanita yang sedang ditinggal suaminya.
Semua ulama mazhab sepakat bahwa mandi haid tidak cukup tanpa wudhu, karena wudhunya wanita haid
dan mandinya tidak dapat menghilangkan hadast.
Mereka juga sepkat untuk mengharamkan menyetubuhi wanita pada hari-hari haid. Sedangan kalau
menikmatinya di antara lutut dan pusar, menurut Hambali: boleh secara mutlak, baik dengan aling-aling
maupun tidak.
Pendapat Maliki yang terkenal adalah tidak boleh walau ada aling-aling
(batas). Hanafi dan Syafi’i: diharamkan kalau tanpa aling-aling, tetapi bila dengan aling-aling boleh.

d. Cara-cara mandi
Mandi haid sama dengan mandi junub, baik dari segi airnya, ia wajib air mutlak, dari sucinya, wajib suci
badannya dan tidak ada sesuatu yang mencegah sampainya air ke badan, niat, mulai dari kepala,
kemudian dari bagian tubuh yang kanan lalu bagian tubuh yang kiri, menurut imamiyah, dan cukup dengan
menceburkan semua badannya sekaligus ke dalam air.
Empat mazhab: meratakan air ke semua badannya, sebagaimana yang telah dijelaskan pada
pembahasan mandi junub, tanpa ada perbedaan.

9. Nifas
Maliki: darah nifas adalah darah yang di keluarkan dari rahim yang di sebabkan persalinan, baik ketika
bersalin maupun sesudah bersalin, bukan sebelumya. Hambali: darah nifas adalah darah yang keluar
bersama keluarnya anak, baik sesudahnya maupun sebelumnya, 2 atau 3 hari dengan tanda-tanda akan
melahirkan.
Syafi’i: darah yang keluar setelah persalinan, bukan sebelumnya dan bukan pula bersamaan.
Hanafi: darah yang keluar setelah melahirkan, atau yang keluar ketika sebagian besar tubuh anaknya
sudah keluar. Sedangkan kalau darah itu sebelum melahirkan, atau darah yang keluar ketika tubuh
anaknya baru sebagian kecil yang keluar, maka ia tidak dinamakn darah nifas.
Kalau wanita hamil itu melahirkan tetapi tidak ada nampak darah yang keluar, ia tetap diwajibkan mandi,
ini menurut Syafi’i, Hanafi dan Maliki. Tetapi menurut Hambali tidak wajib mandi.
Semua ulam mazhab sepakat bahwa darah nifas itu tidak mempunyai batas paling sedikitnya.
Sedangkan paling banyak, menurut Hambali dan Hanafi: 40 hari, sedangkan Syafi’i dan Maliki 60 hari.
Kalau anak yang lahir itu keluar dari tempat yang bukan biasanya karena di sebabkan pembedahan,
maka wanita itu tidak bernifas, tetapi kalau masalh ‘iddah talak tetap berlaku setelah keluarnya anak itu,
menurut kesepakatan ulama mazhab.
Hukum nifas adalah sama seperti hukum haid, baik dari segi tidak sahnya sholat, puasa dan wajib
mengqhada kalau ia meninggalkan puasa, tetapi tidak wajib qhada untuk sholat yang di tinggalkan. Sama
seperti haid, juga diharamkan disetubuhi dan menyetubuhi, menyentuh al-qur’an, berdiam di dalam mesjid
atau memasukinya, tetapi dalam masalah terakhir ini ada perbedaan antara mazhab, juga tidak sah kalau
di talak menurut Imamiyah serta hukum-hukum lainnya. Adapun cara-cara mandi dan syarat-syaratnya,
sama persis seperti haid.

10. Istihadhah
Istihadhah menurut istilah para ahli fiqih adalah: darah yang keluar dari wanita bukan pada masa-masa
haid dan nifas dan tidak ada kemungkinan kalau ia haid; misalnya darah yang melebihi masa haid atau
darah yang kurang dari masa paling sedikitnya haid. Biasanya darahnya itu berwarna kuning, dingin, encer
(tidak kental) dan keluarnya dengan lemah (tidak deras) yang pada dasarnya berbeda dengan darah haid.
Empat mazhab: istihadhah itu tidak mencegah (melarang) untuk melakukan sesuatu yang di larang dalam
haid, baik membaca al-qur’an, menyentuhnya, masuk masjid, beri’tikaf, berthawaf, bersetubuh dan lain-
lainnya sepeerti yang di jelaskan dalam masalah-masalah yang di larang bagi orang yang berhadast besar.

Fi’il Mu’rab dan Fi’il Mabni » Alfiyah Bait 19-20


23 September 2010Ibnu Toha11 komentar

ْ ً‫ارعَا‬
‫إن عَ ِريَا‬ َ ‫ َو َأ ْع َربُوا ُم‬¤ ‫ي بُنِـيَا‬
ِ ‫ض‬ ِ ‫َوفِـــ ْع ُل َأ ْم ٍـر َو ُم‬
ٍٍّ ‫ض‬
Fi’il Amar dan Fi’il Madhi, keduanya dihukumi Mabni. Dan mereka Ulama Nahwu sama
menghukumi Mu’rab terhadap Fi’il Mudhari’ jika sepi…

‫ث َكي َ ُرعْنَ َم ْن ُفـــتِ ْن‬


ٍ ‫ ُن ْو ِن إنَــا‬¤ ‫ِم ْن ُن ْو ِن تَ ْو ِك ْي ٍد ُمبَا ِش ٍر َو ِم ْن‬
…Dari Nun Taukid yang mubasyaroh (bertemu langsung) dan Nun Jamak Mu’annats, seperti
lafadz: Yaru’na Man Futin.

Syarah Ibnu Aqil - Alfiyah Bait 19-20


Setelah sebelumnya menerangkan Mu’rob dan Mabni untuk Kalimah Isim, selanjutnya pada dua Bait
diatas Mushannif menerangkan Mu’rob dan Mabni untuk Kalimah Fi’il.

Menurut Qaul Madzhab Bashrah, bahwa asal-asal Kalimah Isim adalah Mu’rob sedangkan asal
Kalimah Fi’il adalah Mabni. Adapun menurut Qaul Madzhab Kufah, bahwa hukum Mu’rob
adalah asal bagi Kalimah Isim pun juga Kalimah Fi’il. Qaul yang pertama adalah Qaul yang
lebih shahih. Sedangkan nukilan Dhiyauddin Bin ‘Ilj dalam kitabnya Al-Basith mengatakan:
diantara sebagian Ahli Nahwu berpendapat bahwa Mu’rob merupakan asal untuk Kalimah Fi’il,
dan cabang untuk Kalimah Isim.
FI’IL MADHI
Mufakat dalam hal kemabniannya
Mabni Fathah apabila tidak bersambung dengan wau jama’ dan dhomir rofa’ mutaharrik, contoh:

Mabni Fathah Dzahiran:

‫َجاءَ ا ْل َحق َوزَ هَقَ ا ْلبَا ِط ُل‬


Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.
Mabni Fathah Taqdiran:

‫سُ ْب َحا َن ا َّلذِي َأ ْس َرى بِع َ ْب ِد ِه‬


Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya.
Mabni Dhommah jika bersambung dengan Wau Jama’ contoh:

‫َقا ُلوا سُ ْب َحان ََك‬


Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau”
Mabni Sukun jika bersambung dengan Dhomir Rofa’ Mutaharrik (yaitu: Ta’ Fa’il, Naa Fa’il, Nun
Mu’annats.) contoh:

ٍّ‫ت عَ َل ْي ِه َف َأ ْل ِقي ِه فِي ا ْلي َ ِم‬


ِ ‫َفإ ِ َذا ِخ ْف‬
apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil).

‫إ ِ َّنا ُه ْدنَا إ ِ َلي َْك‬


sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau

‫َو َأ َخ ْذنَ ِم ْن ُك ْم ِمي َثا ًقا َغ ِلي ًظا‬


Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
FI’IL AMAR
Ikhtilaf dalam hal kemabniannya, Mabni menurut Ahli Nahwu Bashrah dan Mu’rob menurut Ahli
Nahwu Kufah. dan yang lebih Rajih adalah hukum Mabni atas Jazmnya Fi’il Mudhari’.

Mabni Sukun apabila Shahih Akhir dan atau bersambung dengan Nun Jamak Mu’annats. contoh:

‫ُق ْم َف َأ ْنذ ِْر‬


bangunlah, lalu berilah peringatan!…!
ُ ْ ‫َو َق ْرنَ فِي بُيُوتِ ُك َّن َو ََل تَب َ َّرجْنَ تَبَر َج ا ْل َجا ِه ِليَّ ِة‬
َّ ‫اْلو َلى َو َأقِ ْمنَ ال‬
َ ‫ص ََلة‬
dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat…!
Mabni atas membuang Nun, apabila bersambung dengan Alif Tatsniyah atau Wau Jama’ atau Ya’
Muannats Mukhathabah. contoh:

‫ا ْذ َهبَا إ ِ َلى فِ ْرعَ ْو َن إ ِ َّنهُ َطغَى‬


Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas…!

ِ َّ ِ ‫ص ََلةِ ا ْل ُو ْس َطى َو ُقو ُموا‬


‫َلِل َقانِتِي َن‬ َّ ‫َحافِ ُظوا عَ َلى ال‬
ِ ‫ص َل َوا‬
َّ ‫ت َوال‬
Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah
(dalam shalatmu) dengan khusyu’…!

َّ ‫يَا َم ْريَمُ ا ْق ُنتِي ِل َرب ِ ٍِّك َوا ْس ُجدِي َو ْار َك ِعي َم َع‬
َ‫الرا ِك ِعين‬
Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’…!
Mabni Membuang Huruf Illat apabila Kalimah Fi’il Amar tsb Mu’tal Akhir. contoh:

‫ع إ ِ َلى سَبِي ِل َرب ِ ٍَّك بِا ْل ِح ْك َم ِة َوا ْل َم ْو ِع َظ ِة ا ْل َحسَنَ ِة‬


ُ ‫ا ْد‬
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik …!

ِ ‫َو ْأ ُم ْر بِا ْل َم ْع ُر‬


‫وف َوا ْنه َ عَ ِن ا ْل ُم ْن َك ِر‬
dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang
mungkar …!

َّ ِ‫يَا َأيهَا ال َّنبِي ا َّتق‬


َ ‫َللا‬
Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah …!
Mabni Fathah apabila bersambung dengan Nun Taukid. contoh:

‫اتر َك َّن الجدال‬


Sungguh tinggalkanlah! berbantah-bantahan …!
FI’IL MUDHARI’
Hukum Mu’rob untuk Kalimah Fi’il yaitu Fi’il Mudhari’, dengan syarat tidak bersambung dengan Nun
Jamak Mu’annats atau Nun Taukid yang Mubasharoh (bersambung langsung).

Contoh:

‫َللا ُ ي َ ْب َد ُأ ا ْل َخ ْلقَ ُثمَّ يُ ِعي ُده ُ ُثمَّ إ ِ َل ْي ِه تُ ْر َجعُو َن‬


َّ
Allah menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan
(menghidupkan)nya kembali; kemudian kepadaNyalah kamu dikembalikan >
Apabila bersambung dengan Nun Taukid yang Mubasyaroh (bersambung langsung), baik Nun Taukid
tsb Khafifah (ringan, tanpa tasydid) atau Tsaqilah (berat, memakai tasydid) maka Fi’il Mudhari’ tsb
dihukumi Mabni Fathah.

Contoh:
‫َك ََّل َليُ ْنب َ َذ َّن فِي ا ْل ُح َط َم ِة‬
sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah
Apabila bersambung dengan Nun Jamak Muannats, maka Fi’il Mudhari’ tsb dihukumi Mabni Sukun.

Contoh:

ْ َّ‫َوا ْل ُم َط َّل َقاتُ يَتَ َرب‬


‫صنَ ب ِ َأ ْن ُف ِس ِه َّن ثَ ََل َث َة ُق ُرو ٍء‬
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’
Apabila Fi’il Mudhori’ tidak bersambung secara langsung dengan Nun Taukid, seperti Fiil Mudhori’ yg
bersambung dengan Alif Tatsniyah, artinya diantara Fi’il Mudhari’ dan Nun Taukid ada pemisah yaitu Alif
Tatsniyah. Maka tetap dihukumi Mu’rob. tanda I’robnya sebagaimana FI’il Mudhori’ sebelum dimasuki
Nun Taukid.

Contoh:

َّ َ ‫ه َْل تَ ْذ َهب‬
‫ان‬
Apakah kamu berdua benar-benar akan pergi ?
Pada contoh ini lafadz ‫ ت َْذ َهبَان‬asal lafadznya adalah ‫ ت َْذ َهبَانَن‬berkumpul tiga nun, maka dibuang Nun yang
pertama yaitu Nun Rofa’, alasannya berat karena tiga huruf yg sama beriringan.

َ‫َو ََل تَتَّبِعَا ٍّ ِن سَبِي َل ا َّلذِينَ ََل ي َ ْع َل ُمون‬


dan janganlah sekali-kali kamu berdua mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui
Demikian juga Mu’rob, yaitu Fi’il Mudhori’ yang bersambung dengan Wau Jama’ atau Ya’ Mukhathabah
karena ada pemisah antara Fi’il Mudhori’ dan Nun Taukid. contoh:

َّ ‫ض َلي َ ُقو ُل َّن‬


ُ ‫َللا‬ ِ ‫َو َلئِ ْن سَ َأ ْلتَهُ ْم َم ْن َخ َلقَ ال َّس َما َوا‬
َ ْ ‫ت َو‬
َ ‫اْل ْر‬
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit
dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah.”

‫َفإ ِ َّما تَ َري ِ َّن ِمنَ ا ْلبَش َِر َأ َحدًا‬


Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: Jika kamu melihat seorang
manusia…
Demikianlah apa yang dimaksud dari perkataan Mushannif dalam Nadzom “…dan mereka Ulama
Nahwu sama menghukumi Mu’rob terhadap Fi’il Mudhari’ apabila sepi dari Nun Taukid yang
Mubasharah dan Nun Jamak Muannats…”.
Walhasil, dari apa yang tersirat dari Bait Syair Mushannif, bahwa apabila Fi’il Mudhori tidak sepi dari
Nun Taukid yang Mubasharah dan Nun Jamak Muannats, maka hukumnya Mabni. Ini merupakan
pendapat Madzhab Jumhur Ulama Nahwu.

Menurut Madzhab Imam Akhfasy, bahwa Fi’il Mudhori’ yg bersambung dengan Nun Taukid baik
Mubasyaroh atau tidak, tetap dihukumi Mabni. dan sebagian Ulama menukil, bahwa Fi’il Mudhari’ tetap
Mu’rab sekalipun bersambung dengan Nun Taukid yg Mubasharah.

Adapun Fi’il Mudhori’ yang tersambung dengan Nun Jamak Mu’annats, hukumnya Mabni tanpa khilaf,
ini menurut tukilan Kiyai Mushannif pada sebagian Kitab-Kitabnya. Akan tetapi tidaklah demikian,
bahkan Khilaf tetap ada dalam hal ini. sebagaimana pendapat Ulama yang ditukil oleh Ustadz Abul Hasan
bin ‘Ashfur dalam Kitabnya Syarah Al-Idhah.

Referensi:
 Matan Alfiyah Ibnu Malik →DOWNLOAD
 Syarah Ibnu ‘Aqil →DOWNLOAD
 Syarah Asymuni →DOWNLOAD
 Syarah Dalilu As-Salik →DOWNLOAD
 I’rob Alfiyah Tamrin At-Thullab →DOWNLOAD
 Al-Qur’an terjemah Depak →DOWNLOAD
Artikel Terkait:
 Terjemah Alfiyah Bab Mu’rob dan Mabni
 Mp3 Alfiyah Bab Mu’rob dan Mabni
 Fi’il Madhi, Fi’il Mudhari’, Fi’il Amar
 Bait 11. Tanda Kalimat Fi’il: Ta’ Fail, Ta’ Ta’nits Sukun, Ya’ Fail, Nun Taukid
 Bait 12-13-14. Pembagian Kalimah Huruf dan Kalimah Fi’il serta ciri-cirinya
 Pembagian Fi’il

Anda mungkin juga menyukai