Anda di halaman 1dari 11

Hukum Makan Kepiting dan yang Hidup di Dua Alam Posted by Admin pada 15/07/2009 Tanya : Assalamualaykum.

Ana ingin bertanya apa hukum makan kepiting? (Abu Harits taufik.harisxx@gmail.com) Jawab : Karena seringnya masalah ini dipertanyakan, maka mungkin ada baiknya jika kami menjawab dengan jawaban yang lebih umum, maka kami katakan: Hewan air terbagi menjadi 2 : a. Hewan yang murni hidup di air, yang jika dia keluar darinya, maka dia akan segera mati, contohnya adalah ikan dan yang sejenisnya. b. Hewan yang hidup di dua alam, seperti buaya dan kepiting . Lihat pembagian ini dalam Tafsir Al-Qurthuby (6/318 ) dan Al-Majmu (9/31-32) Hukum hewan air bentuk yang pertama, menurut pendapat yang paling kuatadalah halal untuk dimakan secara mutlak. Ini adalah pendapat Al-Malikiyah dan Asy-Syafiiyah, mereka berdalilkan dengan keumuman dalil dalam masalah ini, di antaranya adalah firman Allah Taala : Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut. (Al-Quran Surat Al-Ma`idah: 96) Adapun bangkainya maka ada rincian dalam hukumnya: a. Jika dia mati dengan sebab yang jelas, misalnya: terkena lemparan batu, disetrum, dipukul, atau karena air surut, maka hukumnya adalah halal berdasarkan kesepakatan para ulama. Lihat Al-Mughny maa Asy-Syarhul Kabir (11/195) b. Jika dia mati tanpa sebab yang jelas, hanya tiba-tiba diketemukan mengapung di atas air, maka dalam hukumnya ada perselisihan. Yang kuat adalah pendapat jumhur dari kalangan Imam Empat kecuali Imam Malik, mereka menyatakan bahwa hukumnya tetap halal. Mereka berdalilkan dengan keumuman sabda Rasulullah -Shallallahu alaihi wasallam-: ,

Dia (laut) adalah pensuci airnya dan halal bangkainya. (HR. Abu Daud, AtTirmidzy, An-Nasa`iy, dan Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Imam Al-Bukhary). Lihat At-Talkhish (1/9) [Al-Bidayah (1/345), Asy-Syarhul Kabir (2/115), Mughniyul Muhtaj (4/291), dan Al-Majmu (9/32,33), Al-Mughny maa Asy-Syarhul Kabir (11/84,195] Adapun bentuk yang kedua dari hewan air, yaitu hewan yang hidup di dua alam. Pendapat yang paling kuat adalah pendapat Asy-Syafiiyah yang menyatakan bahwa seluruh hewan yang hidup di dua alam baik yang masih hidup maupun yang sudah jadi bangkai seluruhnya adalah halalkecuali kodok. Mereka berdalilkan dengan keumumam ayat dan hadits di atas. Dikecualikan darinya kodok karena ada hadits yang mengharamkannya. Yaitu: Hadits Abu Hurairah -radhiallahu anhu-, beliau berkata: Rasulullah -Shallallahu alaihi wasallam- melarang membunuh shurod(1), kodok, semut, dan hud-hud. (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shohih). Sisi pendalilannya, bahwa semua hewan yang haram dibunuh maka memakannya pun haram. Karena tidak mungkin seekor binatang bisa dimakan kecuali setelah dibunuh. Lihat Al-Majmu (9/32-33) Wallahu Alam bis Showab. 1. Shurod adalah sejenis burung yang hidup di jazirah arab Kepiting: Halal atau Haram? February 3, 2010 by Vien AM GATRA.com PERBINCANGAN seputar hukum makan kepiting pada masyarakat Islam Indonesia selama ini terasa setengah hati dan kontroversial. Banyak yang bertanya, tapi dapat jawaban sekenanya. Ada yang yakin hukumnya haram, halal, atau makruh, tapi tidak dilengkapi kajian memadai. Nelayan di Ujung Pangkah, Gresik, Jawa Timur, misalnya, juga mengakui bahwa soal ini masih simpang-siur. Namun berdasarkan pengalaman seadanya, mereka memilih berpendapat halal. Di sini hampir sembilan puluh persen nelayan memilih halal, kata Haji Nur Arifin, seorang nelayan. Sepengetahuan saya, kepiting hanya hidup di air, Arifin menambahkan. Berbeda dengan pendapat KH Mutawakil Alalloh yang

memandang kepiting haram dimakan. Pengasuh Pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo, Jawa Timur, ini beralasan, kepiting bisa hidup di darat dan air (amfibi). Ia menganalogkan dengan haramnya katak yang juga binatang amfibi. Untuk lebih hati-hati, saya memilih haram, katanya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) diam-diam melakukan kajian lebih teliti untuk merumuskan fatwa halal-haramnya kepiting. Ketua MUI Prof. Dr. Umar Shihab mengemukakan itu dalam Muktamar VIII Alkhairaat di Palu, Senin pekan lalu. Sebenarnya Umar hanya memaparkan lembaga MUI secara umum. Ketika dijelaskan bahwa MUI mempunyai Komisi Fatwa ada hadirin yang bertanya fatwa terbaru MUI. Paling akhir, Komisi Fatwa memutuskan fatwa tentang kepiting, jawab Umar. Rupanya, kajian kepiting ini disebabkan membanjirnya produk berbahan baku kepiting yang mengajukan sertifikasi halal ke Lembaga Pengkajian Pangan, Obatobatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI. Kami ragu hukum kepiting, karena di masyarakat masih ada silang pendapat, maka kami tanyakan ke Komisi Fatwa, kata Osmena, Wakil Sekretaris LPPOM. Maka, 29 Mei lalu, Komisi Fatwa mengundang Prof. Dr. Hasanuddin AF, Dekan Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Jakarta, untuk presentasi makalah berjudul Kepiting: Halal atau Haram? Dalam makalahnya, Hasanuddin menyebutkan tiga patokan untuk menyatakan halal atau haramnya makanan. Pertama, ada dalil berupa nash (Al-Quran atau hadis) yang menyatakan makanan itu halal. Kedua, ada nash yang menyatakan haram. Ketiga, tidak ada nash yang menyatakan haram atau halal. Makanan yang dinyatakan halal oleh nash, antara lain, binatang laut. Semua jenis binatang laut hukumnya halal kecuali yang mengandung racun dan membahayakan jasmani rohani kita, tulis Hasanuddin. Hasanuddin merujuk Al-Quran surah Al-Maidah ayat 96: Dihalalkan bagimu binatang buruan laut, sebagai makanan yang lezat bagimu Hadis riwayat Abu Hurairah juga menyebutkan bahwa Rasulullah bersabda, Laut itu airnya suci dan bangkainya halal. Sedangkan makanan yang ditetapkan haram oleh nash antara lain bangkai, darah, dan daging babi (Al-Maidah ayat 3). Hadis riwayat Ahmad

bin Hanbal mengecualikan, ada dua bangkai (ikan dan belalang) dan dua darah (hati dan limfa) yang halal. Ada lagi makanan yang dinyatakan haram berdasarkan hadis. Misalnya, hadis riwayat Muslim melansir pernyataan Ibnu Abbas bahwa Rasulullah

mengharamkan setiap binatang buas yang bertaring dan jenis burung yang bercakar tajam. Bagaimana dengan makanan yang didiamkan nash: tidak diharamkan dan tidak dihalalkan? Hasanuddin mengacu pada kaidah bahwa hukum dasar segala sesuatu adalah halal, selama tidak ada nash yang mengharamkan. Kaidah itu disarikan dari surah Al-Baqarah ayat 29, Dialah Allah yang menciptakan segala yang ada di bumi ini untuk kalian semua. Serta dari hadis riwayat Ibnu Majah dan Turmuzi, Halal adalah apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya, haram adalah yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya, sedangkan apa yang tidak dinyatakan halal atau haram, maka itu termasuk yang dimaafkan untuk kalian makan. Di sinilah Hasanuddin menempatkan hukum kepiting. Kepiting termasuk binatang yang tidak ditegaskan oleh nash tentang halal atau haramnya, tulis Hasanuddin. Maka ketentuan hukumnya kembali kepada hukum asal segala sesuatu yang pada dasarnya adalah halal sepanjang tidak berdampak buruk bagi jasmani dan rohani. Hasan menyarankan dilakukan uji laboratorium untuk memastikan apakah kepiting aman dikonsumsi atau tidak. Makalah guru besar ushul fikih ini mengundang perdebatan baru tentang hukum makhluk amfibi. Argumen mereka yang menilai kepiting haram adalah karena statusnya yang diduga amfibi. Pandangan demikian banyak dipegangi ulama pesantren penganut mazhab Syafiiyah. Di madrasah-madrasah Alkhairaat, baik aliyah, tsanawiyah, maupun ibtidaiyah, selalu diajarkan bahwa binatang yang hidup di dua alam hukumnya haram, kata Ketua Pengurus Besar Alkhairaat Prof. Dr. Huzaimah Tahido. Ketua Komisi Fatwa KH Makruf Amin dan beberapa anggota komisi seperti KH Ghozali Masruri juga cenderung ke pendapat itu. Kiai Makruf menyitir kitab Nihayatul Muhtaj karya Imam Romli yang menyebutkan bahwa makhluk yang bisa hidup langgeng (hayyan daiman) di air dan darat hukumnya haram. Kitab-

kitab fikih Syafiiyah kebanyakan menyatakan begitu, dan kitab Nihayah ini yang paling tegas, kata Makruf. Ibnu Arabi, menurut Hasanuddin, juga berpendapat demikian. Namun Hasanuddin menandaskan bahwa pendapat yang mengharamkan makhluk amfibi tidak memiliki dasar yang kuat dalam nash. Lagi pula apa hubungannya antara halal-haram dengan kondisi bisa hidup di laut dan di darat? tanya Hasanuddin. Menurut guru besar Fakultas Syariah IAIN Surabaya, Prof. Syechul Hadi Permono, ajaran bahwa makhluk amfibi itu haram bukan berasal dari AlQuran, melainkan dari agama Yahudi. Perdebatan internal ahli agama ini kemudian dikonfrontasikan dengan penjelasan pakar kepiting dari Institut Pertanian Bogor (IPB). MUI menghadirkan Dr. Sulistiono dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB, 15 Juni lalu. Ia membawa makalah berjudul Eko-Biologi Kepiting Bakau. Pembantu Dekan III FPIK ini membatasi bahasan pada jenis kepiting yang banyak dikenal masyarakat. Di Indonesia ada 2.500-an spesies, sementara di dunia lebih dari 4.500 spesies. Dari ribuan spesies itu, ada tiga jenis kepiting yang dikenal masyarakat Indonesia. Pertama, rajungan, yang hidup di perairan laut. Kedua, kepiting kecil yang hidup di darat, biasa dipakai makanan ternak. Ketiga, kepiting yang hidup di tambak air payau, sering disebut kepiting tambak atau kepiting bakau. Masyarakat mengenal kepiting tambak ini hanya satu jenis. Bentuknya memang persis sama tapi sebenarnya ada empat jenis, kata Sulistiono. Keempatnya paling banyak dikonsumsi masyarakat karena dagingnya yang enak. Empat jenis kepiting itu adalah Scylla serrata, Scylla paramamosain, Scylla tranquebarica, dan Scylla olivacea. Ada dua hal untuk membedakan keempatnya, yaitu duri yang ada di sikut dan duri di dahinya (lihat tabel ciri-ciri). Menurut Sulistiono, dari keempat jenis itu, yang paling banyak dikonsumsi adalah Scylla serrata dan Scylla tranquebarica. Di daerah Cilacap, Scylla tranquebarica ini sudah menjadi makanan sehari-hari, katanya. Sulistiono memastikan bahwa kepiting bukan hewan amfibi seperti katak. Katak bisa hidup di darat dan air karena bernapas dengan paru-paru dan kulit. Kepiting hanya bernapas dengan insang. Kepiting memang bisa tahan di darat selama 4-5 hari, kata Sulistiono, karena insangnya menyimpan air, sehingga masih bisa

bernapas. Tapi kalau tidak ada airnya sama sekali, akan terjadi evaporasi, akhirnya akan mati. Jadi, kepiting tidak bisa lepas dari air, kata Sulistiono kepada Tata Haidar Riza dari Gatra. Komisi Fatwa MUI akhirnya menetapkan empat jenis kepiting itu halal karena jenis binatang air. Di luar itu, kami akan teliti lagi status hukumnya, kata Kiai Makruf. Sulistiono juga belum bisa memastikan jenis yang lain. Selain keempat jenis itu, saya nggak tahu pasti. Yang jelas, jenisnya buanyak sekali, tapi penelitiannya masih sedikit, katanya. Bahkan untuk kepiting jenis pemakan kelapa, MUI belum memutuskan statusnya. Yang pasti, kepiting jenis beracun dinyatakan haram. Sampai akhir pekan lalu, MUI belum mengeluarkan fatwa tertulis. Kami masih menunggu kelengkapan data tentang ciri-ciri spesies yang halal dan yang beracun dari pakarnya, kata Sekretaris Komisi Fatwa, Maulana Hasanuddin. MUI kemudian akan menyebarkannya ke masyarakat. POLA OSMOREGULASI PADA CRUSTACEA Kelas crustacea adalah jenis hewan air yang memiliki kisaran salinitas media yang luas atau disebut hewan euryhaline, walaupun ada juga crustacea air tawar termasuk stenohaline (crayfish, Astacus).Kebanyakan jenis crustacea yang euryhaline adalah jenis yang hidup di daerah air payau. Air payau (brackish water) mempunyai kisaran salinitas yang sangat luas, mulai dari kisaran salinitas air laut (fullstrength) sampai yang sedikit hiposmotik. Crustacea yang hidup di air laut memiliki pola regulasi yang sama dengan teleostei laut, yaitu regulasi hiposmotik. Hewan yang hiposmotik terhadap medianya mengalami masalah dehidrasi, karena tekanan osmotik di dalam tubuh lebih kecil dari lingkungannya sehingga air cenderung keluar ke lingkungannya. Masalah lainnya adalah garam-garam dan ion-ion akan cenderung masuk ke dalam tubuh secara difusi karena lebih besar konsentrasinya di luar tubuh. Salah satu adaptasi crustacea dalam mengatasi masalah dehidrasi adalah kurang permeabilitas air, sehingga dapat membatasi air yang keluar secara pasif. Adaptasi lainnya adalah dengan meminum air dari medianya, baik secara oral maupun anal (contoh: artemia). Air kemudian diserap di usus. Untuk mengatasi kelebihan

garam dan ion yang masuk secara difusi, NaCl secara aktiv dipompa keluar dari tubuh melalui insang. Beberapa crustacea yang hidup di daerah payau, kepiting hijau Carsinus maenas, pada saat arus surut mengalami keadaan hiperosmotik, yang terjadi karena pengenceran air laut yang menyebabkan salinitas bisa sangat kecil. Masalah yang dihadapi oleh crustacea yang hiperosmotik juga sama dengan teleostei air tawar. Menurut Hill dan Wyse (1989), terdapat dua grup osmoregulator crustacea yang hidup di perairan payau (diluted seawater), yaitu : 1) hiper-isosmotik regulator : crutacea yang meregulasi secara hyperosmotik pada air yang salinitas rendah tetapi tidak memiliki kemampuan meregulasi secara hiposmotik sehingga pada salinitas tinggi bersifat osmoconformer; 2) hiper-hiposmotik

regulator: crustacea yang meregulasi secara hiperosmotik pada salinitas rendah dan hiposmotik pada salinitas tinggi. Carcinus maenas adalah contoh crustacea yang hiper-isosmotik regulator. Kepiting ini adalah kepiting pantai, umumnya ditemukan pada saat arus pasang, dan memasuki wilayah estuaria sampai salinitas 10 ppt. Kepiting biru Callinectes sapidus juga masuk kategori ini, yang bisa bermigrasi sampai ke air yang tawar. Ampipoda Gammarus juga masuk dalam kategori ini. Fiddler crab (genus Uca), kepiting pantai Pachygrapsus dan beberapa udang palaemonid masuk ke dalam kategori hiper-hiposmotik regulator. Hewan kategori ini pada pada salinitas air laut mempertahankan osmolaritas darah di bawah osmolaritas lingkungannya, hal ini bisa tercapai dengan memproduksi urine yang hiperosmotik terhadap darah. Crustacea lain seperti Artemia salina dan Palaemonetes varians bisa meregulasi secara hiposmotik, dimana kedua hewan ini hidup pada perairan yang lebih tinggi kadar garam dan ion dari air laut. Umumnya fase awal daur hidup crustacea merupakan hewan stenohaline jika dibandingkan yang dewasa. Contohnya, telur-telur kepiting biru, membutuhkan salinitas di atas 23 ppt untuk bisa berkembang, sedangkan yang dewasa hidup pada air tawar. Sifat-sifat larva crustacea menunjukkan dimana habitatnya pada saat spawning berlangsung. Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam rapat Komisi bersama dengan Pengurus Harian MUI dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan

Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP.POM MUI), pada hari Sabtu, 4 Rabiul Akhir 1423 H./15 Juni 2002 M., setelah MENIMBANG 1. bahwa di kalangan umat Islam Indonesia, status hukum mengkonsumsi kepiting masih dipertanyakan kehalalannya; 2. bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang status hukum mengkonsumsi kepiting, sebagai pedoman bagi umat Islam dan pihak-pihak lain yang memerlukannya. MENGINGAT 1. Firman Allah SWT tentang keharusan mengkonsumsi yang halal dan thayyib (baik), hukum mengkonsumsi jenis makanan hewani, dan sejenisnya, antara lain : 2. Hai sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu (QS. al-Baqarah [2]: 168). 3. (yaitu) orang yang mengikutRasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang maruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk (QS. al Araf[7]: 157). 4. Mereka menanyakan kepadamu: Apakah yang dihalalkan bagi mereka? Katakanlah: Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan) yang ditangkap oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, Maka, makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya. Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nimat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik! dari apa yang

Allah telah berikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya. Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang baik, bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan panjang,. (OS.al-Baqarah[2] : 172). 5. Kemudian Nabi menceritakan seoranglaki-laki yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya acak-acakan, dan badannya berlumur debu. Sambil menengadahkan kedua tangan ke langit iaberdoa, Ya Tuhan, ya Tuhan,.. (berdoa dalam perjalanan, apalagi dengan kondisi seperti itu, pada umumnya dikabulkan oleh Allah swt). Sedangkan, makanan orang itu haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dengan yang haram. (Nabi memberikan (komentar),Jika demikian halnya, bagaimana mungkin ia akan dikabulkan doanya (HR. Muslim dari Abu Hurairah), Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas; dan di antara keduanya ada hal-hal yang musytabihat (syubhat, samarsamar, tidak jelas halas haramnya),kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barang siapa hati-hati dari perkara syubhat sungguh ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya (HR.Muslim). 6. Hadis Nabi : Laut itu suci airnya dan halal bangkai (ikan)-nya (HR. Khat-iisa11), 7. ()atidah finhiyyah ? Pada dasarnya hukum tentang sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya 8. Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUIPeriode 2001-2005 9. Pedoman Penetapan Fatwa MUI Memperhatikan : 1. Pendapat Imam Al Ramli dalam Nihayah Al Muhtajila Marifah Alfadzaal-Minhaj, (t.t : Daral -Fikr,t.th) juz VIII, halaman 150 tentang pengertian Binatang laut/air ,dan halaman 151- 152 tentang binatang yang hidup dilaut dan didaratan 2. Pendapat Syeikh Muhammad al-Kathib a;-Syarbainidalam Mughni AlMuhtaj ila Marifah Maani Al-Minhaj, (t.t ar Al-Fikr, T.th), juz IV

Hal 297 tentang pengertian binatanglaut/Air , pendapat Imam Abu

Zakaria bin Syaraf al-Nawawi dalamMinhaj Al-Thalibin, Juz IV, hal. 298 tentang binatang laut dan didaratan serta alasan (illah) hukum keharamannya yang dikemukakan ole hal-Syarbaini : 3. Pendapat Ibn alArabi dan ulama lain sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah (Beirut : Dar al-Fikr,1992), Juz lll, halaman 249 tentang binatang yang hidup di daratan dan laut 4. Pendapat Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA (anggota Komisi Fatwa) dalam makalah Kepiting : Halal atau Haram dan penjelasanyang disampaikannya pada Rapat Komisi Fatwa MUI, serta pendapat peserta rapat pada hari Rab 29 Mei 2002 M. / 16 Rabiul Awwal 1421 H. 5. Pendapat Dr. Sulistiono (Dosen Fakultas Perikanandan Ilmu Kelautan IPB) dalam makalah Eko-Biologi Kepiting Bakau (Scylllaspp) dan penjelasannya tentang kepiting yang disampaikan pada RapatKornisi Fatwa MUI pada hari Sabtu, 4 Rabiul Akhir 1423 H / 15 Juni 2002M. antara lain sebagai berikut : 6. Ada 4 (empat)jenis kepiting bakau yang sering dikonsumsi dan menjadi komoditas, yaitu :

Scylla serrata, Scylla tranquebarrica, Scylla olivacea, dan Scylla pararnarnosain.

Keempat jenis kepiting bakau ini oleh masyarakat umum hanya disebut dengan kepiting. 1. Kepiting adalah jenis binatang air, dengan alasan:

Bernafas dengan insang. Berhabitat di air. Tidak akan pernah mengeluarkan telor di darat, melainkan di air karena memerlukan oksigen dari air.

2. Kepiting termasuk keempat,jenis di atas(lili._angka 1) hanya ada yang :


hidup di air tawar saja hidup di air taut saja, dan

hidup di air laut dan di air tawar. Tidak ada yang hidup atau berhabitat di dua alam : di laut dan di darat.

Rapat Komisi Fatwa MUI dalam rapat tersebut, bahwa kepiting, adalah binatang air baik di air laut maupun di air tawar dan bukan binatang yang hidup atau berhabitat di dua alam : dilaut dan di darat : Dengan bertawakkal kepada Allah SWT. MEMUTUSKAN MENETAPKAN : FATWA TENTANG KEPITING 1. Kepiting adalah halal dikonsumsi sepanjang tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan Manusia. 2. Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika dikemudian hari terdapat kekeliruan, akan diperbaiki sebagaimana, mestinya. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini. Ditetapkan di: Jakarta Pada tanggal : 4 Rabiul Akhir 1423 H. 15 Ju1i 2002 M KOMISI FATWA MAKLIS ULAMA INDONESIA Ketua, K.H. MARUF AMIN Sekretaris, DRS. HASANUDIN, S.Ag.

Anda mungkin juga menyukai