Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH TENTANG MANDI JUNUB

TUGAS FIQIH IBADAH

DOSEN PENGAMPU : ISRA’ MARDHI, Lc.M.SI

DISUSUN OLEH : ADAM PERGIAWAN

PRODI : HUKUM KELAS NAGARI

SEMESTER : II (DUA)
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Thaharah menurut pengertian bahasa berarti “suci/kesucian” atau
‘bersih/kebersihan”. Kata ini mengandung pengertian yang lebih luas, yaitu
mencakup kebersihan atau kesucian dari segala kotoran yang bersifat fisik
(material), seperti kencing dan kotoran, maupun secara hukum seperti berhadats.
Seseorang dikatakan bersih dari hadats, apabila telah mandi dan berwudhu.
Seseorang yang dalam keadaan junub disebut kotor secara hukum karena dia
belum mandi wajib. Dia disebut bersih apabila ia telah mandi. Mandi adalah cara
untuk membersihkan badan dari junub (hadats besar). Seseorang juga dipandang
kotor secara hukum, apabila ia belum berwudhu. Seseorang yang sudah berwudhu
sudah dipandang bersih menurut hukum. Wudhu adalah cara untuk membersihkan
badan dari kotoran (hadats kecil).

B. RUMUSAN MASALAH
a. Apakah pengertian mandi wajib?
b. Apa saja hal-hal yang menyebabkan wajibnya melaksanakan mandi?
c. Bagaimana tata cara mandi wajib yang benar dan sempurna?
d. Apa saja Hal-hal yang haram dikerjakan oleh seseorang sedang berhadats
besar?

C. TUJUAN
1.        Memahami pengertian mandi wajib dan tata cara mandi wajib
2.        Memenuhi tugas Mata Kulih Fiqih Ibadah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mandi Wajib
Yang dimaksud dengan ‘mandi’ disini ialah mengalirkan air ke seluruh badan
dengan niat. Yang dinamakan mandi menurut istilah fikih ialah menggunakan air
atas semua bagian badan menurut cara-cara tertentu. Mandi wajib bagi perempuan
adalah persis seperti mandinya lelaki, yaitu dengan mratakan air ke sekujur
tubuhhanya saja ketika mandi sehabis haid atau nifas, maka berkas-berkas darah
harus dibersihkn sama sekali dengan bahan yang baunya mengalahkan bau darah.
Firman Allah SWT dalam Q. S. Al-Maaidah : 6
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu
junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali
dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak
memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih);
sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan
kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya
bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS : Al-Maidah : 6)
Dalam bahasa arab, mandi berasal dari kata Al-Ghuslu, yang artinya
mengalirkan air pada sesuatu. Menurut istilah, Al-Ghuslu adalah menuangkan air
ke seluruh badan dengan tata cara yang khusus bertujuan untuk menghilangkan
hadast besar.  Mandi wajib dalam islam ditujukan untuk membersihkan diri
sekaligus mensucikan diri dari segala najis atau kotoran yang menempel pada
tubuh manusia. Untuk itu, mandi wajib diharuskan sebagaimana dalam Ayat
diatas.

B. HAL-HAL YANG MENYEBABKAN WAJIBNYA


MELAKSANAKAN MANDI

Dalam Islam, ada kondisi-kondisi dimana seorang muslim atau muslimah


diwajibkan untuk melaksanakan mandi (mandi wajib). Hal-hal tersebut membuat
seseorang terhalang untuk shalat, masuk ke dalam masjid, dan juga melaksanakan
ibadah lainnya karena dalam kondisi yang tidak suci.

1. Keluarnya Air Mani (Setelah Junub)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu


dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, dan
(jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali
sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi”. (QS : An-Nisa : 43)
Dalam ayat diatas ditunjukkan bahwa setelah berjunub (berhubungan
suami istri), yang dimana antara laki-laki atau perempuan akan mengeluarkan
cairan dari kemaluannya, maka wajiblah ia untuk melaksanakan mandi wajib
setelahnya. Sedangkan jika tidak, ia tidak bisa shalat dan menghampiri masjid,
dan jika dilalaikan tentu akan berdosa, karena meninggalkan yang wajib.

Selain itu, sebagaimana Rasulullah SAW dalam sebuah hadist,


mengatakan bahwa :

“Diriwayatkan dari Abu Sa’id berkata,”Rasulullah saw bersabda,’Mandi


diwajibkan dikarenakan keluar air mani” (HR. Muslim)
“Diriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa Ummu Sulaim berkata,’Wahai
Rasulullah sesungguhnya Allah tidak malu tentang masalah kebenaran, apakah
wanita wajib mandi apabila dia bermimpi? Nabi saw menjawab,’Ya, jika dia
melihat air.” (HR. Bukhori Muslim dan lainnya)

Sayyid Sabiq, seorang ulama fiqh mengatakan tentang persoalan keluarnya


air mani dan mandi wajib, hal-hal tersebut adalah berikut :

 Jika mani keluar tanpa syahwat, tetapi karena sakit atau cuaca dingin, maka ia
tidak wajib mandi.
 Jika seseorang bermimpi namun tidak mendapatkan air mani maka tidak wajib
baginya mandi, demikian dikatakan Ibnul Mundzir.
 Jika seseorang dalam keadaan sadar (tidak tidur) dan mendapatkan mani namun ia
tidak ingat akan mimpinya, jika dia menyakini bahwa itu adalah mani maka wajib
baginya mandi dikarenakan secara zhohir bahwa air mani itu telah keluar
walaupun ia lupa mimpinya. Akan tetapi jika ia ragu-ragu dan tidak mengetahui
apakah air itu mani atau bukan, maka ia juga wajib mandi demi kehati-hatian.
 Jika seseorang merasakan akan keluar mani saat memuncaknya syahwat namun
dia tahan kemaluannya sehingga air mani itu tidak keluar maka tidak wajib
baginya mandi.
 Jika seseorang melihat mani pada kainnya namun tidak mengetahui waktu
keluarnya dan kebetulan sudah melaksanakan shalat maka ia wajib mengulang
shalatnya dari waktu tidurnya terakhir

2. Bertemunya/bersentuhannya alat kelamin laki-laki dan wanita, walaupun


tidak keluar mani

Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda,”Apabila


seseorang duduk diantara anggota tubuh perempuan yang empat, maksudnya;
diantara dua tangan dan dua kakinya kemudian menyetubuhinya maka wajib
baginya mandi, baik mani itu keluar atau tidak.” (HR. Muslim)
Diriwayatkan dari Aisyah ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Apabila dua
kemaluan telah bertemu maka wajib baginya mandi. Aku dan Rasulullah saw
pernah melakukannya maka kami pun mandi.” (HR. Ibnu Majah)
Dari hadist di atas dapat dipahami bahwa bila suami-istri yang telah berhubungan
badan, walaupun tidak keluar mani, sedangkan telah bertemunya kemaluan dia
antara keduanya, maka wajib keduanya mandi wajib, untuk mensucikan diri.

3. Haid dan Nifas

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu


adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka
suci. apabila mereka telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (QS : Al-Baqarah :
222)
Darah yang dikeluarkan dari proses Haidh dan Nifas statusnya adalah
suatu kotoran, najis, dan membuat tidak suci diri wanita. Untuk itu wanita yang
telah melewati haidh dan nifas, maka wajib baginya untuk bersuci dengan mandi
wajib, agar bisa kembali beribadah.  Hal ini disebabkan ada larangan saat
haidh dan nifas untuk melangsungkan shalat dan puasa, sebelum benar-benar suci
dari hadast. Sedangkan menundanya, merupakan kedosaan karena meninggal hal
wajib, yang dalam kondisi telah melewati haidh atau nifas.

Melakukan mandi atau Keramas saat haidh tentunya tidak menjadikan diri


muslimah suci, sebelum benar-benar berhentinya darah haidh dan nifas. Hal ini
pun sebagaimana dalam Hadist Rasulullah, wanita dalam kondisi haidh dilarang
shalat dan wajib untuk mandi setelahnya.

Sabda Rasulullah saw kepada Fatimah binti Abu Hubaisy ra


adalah,”Tinggalkan shalat selama hari-hari engkau mendapatkan haid, lalu
mandilah dan shalatlah.” (Muttafaq Alaih)
Sebetulnya bagi wanita, ada kondisi dimana melahirkan diwajibkan juga untuk
mandi wajib. Namun, hal ini terjadi perbedaan pendapat antar ulama fiqh. Secara
umum mewajibkan, sedangkan yang lainnya ada yang tidak mewajibkan.
Muslimah bisa mengambil mana yang sesuai dengan keyakinan hati dan
pertanggungjawaban masing-masing ulama.

4. Karena kematian                                 

“Dari Ibnu Abbas RA, bahwasanya Rasulullah saw bersabda dalam


keadaan berihram terhadap seorang yang meninggal terpelanting oleh
ontanya,”Mandikan dia dengan air dan daun bidara.” (HR.Bukhori Muslim)
Orang yang mengalami kematian, ia wajib untuk dimandikan. Untuk itu mandi
wajib ini berlaku pula bagi yang meninggal, walaupun ia bukan mandi oleh
dirinya sendiri, melainkan dimandikan oleh orang-ornag yang lain. Untuk
pelaksanaannya, maka setelah dimandikan ada pelaksanaan shalat jenazah dalam
islam, sebagai shalat terakhir dari mayit.
C. TATA CARA MANDI WAJIB YANG BENAR DAN SEMPURNA

Cara mandi dalam islam disampaikan teknisnya oleh Rasulullah SAW, untuk


menunjukkan cara mensucikan diri yang benar. Untuk melaksanakan mandi wajib,
berikut cara-caranya yang diambil dari HR Muslim dan Bukhari, mengenai bab
tata cara pelaksanaan mandi wajib.

1. Niat untuk mengangkat hadas besar

Segala sesuatu berasal dari niatnya. Untuk itu, termasuk pada pelaksanaan
mandi wajib pun juga harus diawali dari niat. Untuk pelafadzan niat adalah “Aku
berniat mengangkat hadas besar kerana Allah Taala”. Setelah itu bisa kita
mengucapkan bismillah, sebagai permulaan untuk mensucikan diri. Hal ini
dikarenakan ada banyak fadhilah bismillah jika dibacakan seorang muslim dalam
aktivitasnya.

2. Membasuh seluruh anggota badan yang zahir.

“Ummu Salama RA, aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang cara-
cara mandi, beliau bersabda, “Memadailah engkau jiruskan tiga raup air ke
kepala. Kemudiian ratakannya ke seluruh badan. Dengan cara itu, sucilah
engkau” (HR Muslim)
Membasuh semua anggota badan termasuk kulit atau rambut dengan air
serta meratakan air pada rambut hingga ke pangkalnya. Selain itu wajib juga
membasuh dengan air ke seluruh badan termasuk rambut-rambut, bulu yang ada
pada seluruh anggota badan, telinga, kemaluan bagian belakang ataupun depan.

3. Rambut dalam kondisi terurai/tidak terikat

Untuk mandi besar, maka rambut harus dalam kondisi terurai atau tidak
terikat. Hal ini untuk benar-benar mensucikan seluruh tubuh, sedangkan jika
terikat maka tidak sempurna mandinya. Dikhawtirkan tidak semua bagian dibasuh
atau terkenai air. Selain itu, bisa juga selepas dalam kondisi junub atau haidh bagi
wanita mencukur bulu kemaluan. Mencukur bulu kemaluan dalam islam adalah
suatu yang juga sangat dianjurkan dan mencukur bulu kemaluan pria dalam
islam pun sangat dianjurkan. Hal ini bisa menambah kebersihan, dan tidak banyak
kotoran yang bersisa yang masih melekat dalam bulu di badan.

Namun, perlu diperhatikan walaupun mencukup bulu-bulu atau rambut


dianjurkan dalam islam, namun berbeda dengan mencukur alis. Untuk itu,
ada hukum mencukur alis dalam islam yang perlu diperhatikan, terutama bagi
kaum wanita.

4. Memberikan wewangian bagi wanita yang setelah haid

“Ambillah sedikit kasturi kemudin bersihkan dengannya”


Hal ini sifatnya tidak wajib, melainkan sunah saja. Untuk wanita, maka
bisa memberikan semacam wewangian ataupun sari-sari bunga yang bisa
membersihkan dan membuat wangi kemaluannya, dimana telah terkena darah
haid selama periodenya. Untuk itu di zaman Rasulullah diberikan bunga kasturi,
sedangkan di zaman sekarang ada banyak sari-sari bunga atau hal lainnya yang
bisa lebih membersihkan, mensucikan, dan membuat wangi.

Cara Mandi Wajib yang Baik Menurut Rasulullah

Hal-hal berikut adalah cara mandi yang baik menurut Rasulullah dalam
hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Muslim yang
melaksanakannya maka akan sesuai sebagaimana Rasulullah melakukannnya.
Tahapannya adalah sebagai berikut :

1. Terlebih dahulu mencucui tangan sebanyak tiga kali, sebelum tangan tersebut
digunakan mandi, atau dimasukkan ke dalam tempat pengambilang atau
penampungan air
2. Untuk membersihkan kemaluan dan kotoran, maka hendaklah untuk
menggunakan tangan kiri, bukan tangan kanan. Tangan kanan digunakan untuk
makan, sedangkan tidak mungkin menggunakannya untuk membersihkan
kemaluan.
3. Setelah membersihkan kemaluan, maka cucilah tangan dengan menggosokkannya
pada tanah, bisa juga dengan sabun agar hilang kotoran tersebut dari tangan.
4. Berwudhu dengan cara berwudhu yang benar sesuai aturan/rukunnya dalam islam,
selagi akan melakukan shalat.
5. Mengguyur air pada kepala sebanyak tiga kali
6. Mencuci kepala (keramas) mulai dari kepala bagian kanan ke bagian kiri dan
membersihkannya hingga sela-sela rambut, agar benar-benar bersih dan sempurna
7. Mengguyur air mulai dari sisi badan sebelah kanan lalu pada sisi sebelah kiri
D. HAL-HAL YANG HARAM DIKERJAKAN OLEH
SESEORANG SEDANG BERHADATS BESAR

1.      Sholat dan thawaf


a.       Sholat
Berdasarkan firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengrjakan sholat,
maka basuhlaj mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampi dengan kedua mata kaki, dan jika kamu
junub maka mandilah.” (QS. Al-Maidah: 6)

Keharaman sholat bagi seseorang yang berhadats besar sebab junub


adalah, berdasarkan hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh imam Bukhori
Muslim:

Nabi saw bersabda : “Allah tidak akan menerima shalatnya seseorang yang
berhadats sehingga ia berwudlu.” (HR. Bukhoro-Muslim)[3]

Seorang perempuan yang sedang haid diharamkan atasnya beberapa hal


hingga dia suci dan mandi. Ini adalah yang telah disepakati oleh umat (ijma’)
dan tidak ada perbedaan diantara mereka.
Saat itu seorang wanita berada diluar tabiat aslinya. Maka Allah
mencurahkan sikap lembut-Nya padanya dan member keringanan,
menggugurkan kewajiban sholat atasnya dan melarangnya untuk melakukan
sholat itu, agar tidak ada wanita lain yang membantunya dan memaksakan diri
untuk melakukan sholatnya. Rasulullah telah bersabda kepada wanita yang
sedang mengalami darah istihadhah: “jika darah haidmu datang maka
tinggalkanlah sholat.” 

b.      Thawaf
Menurut golongan ulama hanafiah, bersuci untuk tawaf ini adalah wajib
dan bukan syarat. Karena itu sahlah tawaf yang dilakukan oleh orang yang
berhadas hanya saja ia berdosa.

Berdasarkan dari Ibn Abbas:


“Bahwa Nabi bersabda: tawaf itu sholat, hanya saja Allah menghalalkan
bicara didalamnya. Maka barang siapa berbicara, janganlah ia berbicara
kecuali yang baik-baik.” (Hadis Tirmizi dan Daraqutni, serta dinyatakan
sahih oleh hakim, Ibn Sakn dan Khuzaimah).

2.      Menyentuh mushaf
Mushaf merupakan berbagai lembaran atau media yang memuat catatan
tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang masih terpisah-pisah dan tidak dijilid atau
dibukukan dalam satu buku khusus.[6]
Seorang yang berhadats dilarang menyentuh (tanpa pembatas) mushaf Al-
Qur’an sebagaiman Allah berfirman,
“tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan”. (QS. Al-Waqiah:
79)

Keempat imam madzab sepakat,bahwa menyentuh dan membawa mushaf


bagi orang junub adalah haram. Pendapat  berbeda dikemukakan oleh Dawud
Az-Zhahiri dan Ibnu Hazm. Mereka berpendapat bahwa orang yang sedang
junub boleh membawa dan memegang dan membawa mushaf. Keduanya
beralasan dengan hadis yang terdapat dalam shahih Al-Bukhari dan Muslim
bahwa Rasulullah mengirim surat kepada Heraklius dan didalamnya berisi
sejumlah ayat Al-Qur’an
Ibn Hazm mengatakan: Rasulullah telah mengirim surat kepada orang nasrani
yang didalamnya terdapat ayat Al-Qur’an, dan beliau menyakini bahwa
mereka mau tidak mau pasti memegang surat berisi ayat Al-Qur’an tersebut.
Jumhur ulama mengatakan, tidak ada halangan bagi siapapun untuk
memegang surat tersebut dan tulisan Al-Qur’an yang terdapat didalamnya,
sebagaimana surat-surat yang lain, kitab-kitab tafsir, fiqh dan lain sebagainya,
sebab semua itu tidak disebut mushaf, sehingga tidak haram disentuh dan
dipegang.[7]

3.      Membaca al-Qur’an
Membaca Al-Qur’an satu ayat sekalipun dengan maksud sebagai bacaan.
Tetapi sebagai dalil atau dzikir maka hal ini boleh asalkan tidak membacanya
satu ayat penuh. Hal ini berdasarkan hadits dari Ali:
“Rasulullah biasa membacakan Qur’an kepada kami selama beliau tidak
sedang junub.”
Sabda Rasulullah saw :
“tidak boleh bagi orang junub dan orang haid membaca sesuatu dari Al-
Qur’an.” (Riwayat Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibn Majah).

Menurut mazhab maliki bagi orang yang junub diharamkan membaca


sesuatu yang dari Al-Qur’an, kecuali sebentar dengan maksud untuk
memelihara atau menjaga dan menjadikannya sebagai dalil(bukti).pendapat ini
hampir sama dengan pendapat Mazhab Hambali.
Menurut Hanafi  bagi orang yang junub tidak boleh membacanya, kecuali
kalau ia menjadi guru mengaji Al-Qur’an yang menyampaikannya (men-
talqin; mengajarnya) kata per kata.
Menurut Syafi’I bahkan satu huruf pun bagi orang yang junub tetap
diharamkan, kecuali hanya untuk dzikir (mengingat), seperti menyebutnya
pada waktu makan.
Menurut Imamiyah bagi orang yang junub tidak diharamkan kecuali membaca
surat Al-Aza’im yang empat walau hanya sebagiannya, yaitu: iqra’, An-Najm,
Ha Mim as-sajadah, dan Alif Lam Min Tanzil. Kalau selain empat diatas
boleh membacanya, hanya tetap dimakruhkan kalau sampai lebih dari tujuh
ayat, dan kalau sampai lebih dari tujuh ayat, maka sudah termasuk makruh
mu’akkad. [9]

4.      Masuk dan menetap dimasjid


Berdiam dalam masjid. haram bagi orang junub, berhadas besar, duduk
dimasjid dan mondar-mandir didalamnya kecuali karena ada keperluan
mendesak, firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula
hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar
berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS. N-Nisa’: 43)
Dari ummu salamah, ia berkata:
“rasulullah memasuki halaman masjid dan berseru dengan suara keras:
sesungguhnya masjid itu tidak halal bagi orang haid maupun orang junub.”
(Hadis Ibn Majah dan Daraqutni).

Semua ulama mazhab sepakat bahwa bagi orang junub tidak boleh
berdiam dimasjid,hanya mereka berbeda pendapat tentang boleh tidaknya
kalau ia lewat didalamnya, sebagaimana kalau ia masuk dari satu pintu ke
pintu lainnya.
Menurut Mazhab Maliki dan Mazhab Hanafi: tidak boleh kecuali sangat
darurat (penting).
Menurut syafi’I dan hanafi: boleh kalau hanya lewat saja, asal jangan berdiam.
Menurut Mazhab Imamiyah tidak boleh berdiam dan melewati kalau di
Masjidil Haram dan Masjid Rasulullah (masjid nabawi di Madinah), tetapi
kalau selain dua masjid tersebut boleh melewatinya, tapi kalau berdiam, tetap
tidak boleh dimasjid mana saja.
 Berdasarkan keterangan ayat 43 surat An-Nisa’:
“(jangan pula) hampiri masjid sedang kamu sedang keadaan junub,
terkecuali sekedar berlalu saja.”
BAB III
PENUTUP
A.           KESIMPULAN
            Setelah membaca makalah yang saya buat tentang mandi wajib yang mana
cabang dari thaharah, dapat diambil kesimpulan bahwasanya mandi wajib tidaklah
seperti mandi yang biasa kita lakukan dalam keseharian kita. Namun mandi untuk
menghilangkan hadats besar yang ada pada diri kita dan dalam sebuah moment
yang khusus pula. Mandi wajib dapat dilakukan dengan berbagai macam cara
dengan tetap mengikuti madzhab yang baik dan benar juga tidak melenceng dari
syariat Islam serta yang melakukan pun merasa nyaman melakukannya.
            Berbagai pokok permasalahan telah dikaji di atas sebagaimana hakikat
mandi besar itu sendiri. Mandi besar berkaitan erat dengan berwudhu.
B.            PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat saya sampaikan. Pemakalah menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena kesempurnaan hanya
milik Allah SWT. Untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat
saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan selanjutnya.
Dan akhirnya pemakalah mohon maaf apabila terdapat banyak kesalahan,
baik dalam sistematika penulisan, isi dalam pembahasan maupun dalam hal
penyampaian materi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pemkalah sendiri
khususnya dan bagi pembaca yang budiman pada umumnya dalam kehidupan ini.
Amin.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Habsyi, Muhammad Bagir, Fiqh Praktis I Menurut Al-Qur’an, As-Sunah Dan


Pendapat Para Ulama, Bandung: Mizan Pustaka, 2005
Al-Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqh Wanita, Semarang : Asy-Syifa, 1986
Jariri, Abdur Rahman, Kitaabul Fiqhi ‘Alal Madzaahibil Arba’ati, Beirut : Darul
Fikri, 1989
Masyhur, Kahar, Salat Wajib Menurut Madzhab Yang Empat, Jakarta : Rineka
Cipta, 2004
Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandar Lampung : PT. Sinar Baru Algensindo,
1986
Sabiq, Sayyid, Fiqh As-Sunah Jilid 1 Al-Ibadah: Cet 1, Cairo, Mesir: Dar Al Fikr,
1977
Thib Raya, Ahmad Dan Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah
Dalam Islam, Bogor: Kencana, 2003

Anda mungkin juga menyukai