Anda di halaman 1dari 7

Pengertian mandi wajib

Cara untuk menjaga kebersihan dan kesucian diri adalah dengan mandi dan berwudhu. Namun,
dalam islam dikenal dengan istilah mandi wajib. Mandi wajib ini adalah sebuah aturan dari Allah
untuk umat muslim dalam kondisi tertentu dan syarat tertentu. Bagaimana sebetulnya mandi wajib
dan cara untuk melaksanakannya, akan dibahas dalam artikel di bawah ini.

Dalam bahasa arab, mandi berasal dari kata Al-Ghuslu, yang artinya mengalirkan air pada sesuatu.
Menurut istilah, Al-Ghuslu adalah menuangkan air ke seluruh badan dengan tata cara yang khusus
bertujuan untuk menghilangkan hadast besar. Mandi wajib dalam islam ditujukan untuk
membersihkan diri sekaligus mensucikan diri dari segala najis atau kotoran yang menempel pada
tubuh manusia. Untuk itu, mandi wajib diharuskan sebagaimana dalam Ayat diatas.

Kondisi yang Mensyarakatkan Mandi Wajib dalam Islam

Dalam Islam, ada kondisi-kondisi dimana seorang muslim atau muslimah diwajibkan untuk
melaksanakan mandi (mandi wajib). Hal-hal tersebut membuat seseorang terhalang untuk shalat,
masuk ke dalam masjid, dan juga melaksanakan ibadah lainnya karena dalam kondisi yang tidak
suci.

1. Keluarnya Air Mani (Setelah Junub)


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk,
sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, dan (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu
dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi”. (QS : An-Nisa : 43)
Dalam ayat diatas ditunjukkan bahwa setelah berjunub (berhubungan suami istri), yang dimana
antara laki-laki atau perempuan akan mengeluarkan cairan dari kemaluannya, maka wajiblah ia
untuk melaksanakan mandi wajib setelahnya. Sedangkan jika tidak, ia tidak bisa shalat dan
menghampiri masjid, dan jika dilalaikan tentu akan berdosa, karena meninggalkan yang wajib.

Selain itu, sebagaimana Rasulullah SAW dalam sebuah hadist, mengatakan bahwa

“Diriwayatkan dari Abu Sa’id berkata,”Rasulullah saw bersabda,’Mandi diwajibkan


dikarenakan keluar air mani” (HR. Muslim)
“Diriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa Ummu Sulaim berkata,’Wahai Rasulullah
sesungguhnya Allah tidak malu tentang masalah kebenaran, apakah wanita wajib mandi apabila
dia bermimpi? Nabi saw menjawab,’Ya, jika dia melihat air.” (HR. Bukhori Muslim dan lainnya)

Sayyid Sabiq, seorang ulama fiqh mengatakan tentang persoalan keluarnya air mani dan mandi
wajib, hal-hal tersebut adalah berikut :

 Jika mani keluar tanpa syahwat, tetapi karena sakit atau cuaca dingin, maka ia tidak wajib
mandi.

 Jika seseorang bermimpi namun tidak mendapatkan air mani maka tidak wajib baginya
mandi, demikian dikatakan Ibnul Mundzir.

 Jika seseorang dalam keadaan sadar (tidak tidur) dan mendapatkan mani namun ia tidak
ingat akan mimpinya, jika dia menyakini bahwa itu adalah mani maka wajib baginya mandi
dikarenakan secara zhohir bahwa air mani itu telah keluar walaupun ia lupa mimpinya.
Akan tetapi jika ia ragu-ragu dan tidak mengetahui apakah air itu mani atau bukan, maka
ia juga wajib mandi demi kehati-hatian.

 Jika seseorang merasakan akan keluar mani saat memuncaknya syahwat namun dia tahan
kemaluannya sehingga air mani itu tidak keluar maka tidak wajib baginya mandi.

 Jika seseorang melihat mani pada kainnya namun tidak mengetahui waktu keluarnya dan
kebetulan sudah melaksanakan shalat maka ia wajib mengulang shalatnya dari waktu
tidurnya terakhir

2. Bertemunya/bersentuhannya alat kelamin laki-laki dan wanita, walaupun tidak keluar mani
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda,”Apabila seseorang duduk
diantara anggota tubuh perempuan yang empat, maksudnya; diantara dua tangan dan dua
kakinya kemudian menyetubuhinya maka wajib baginya mandi, baik mani itu keluar atau tidak.”
(HR. Muslim dan
Diriwayatkan dari Aisyah ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Apabila dua kemaluan telah
bertemu maka wajib baginya mandi. Aku dan Rasulullah saw pernah melakukannya maka kami
pun mandi.” (HR. Ibnu Majah)
Dari hadist di atas dapat dipahami bahwa bila suami-istri yang telah berhubungan badan, walaupun
tidak keluar mani, sedangkan telah bertemunya kemaluan dia antara keduanya, maka wajib
keduanya mandi wajib, untuk mensucikan diri.

3. Haid dan Nifas


“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh
sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah suci, Maka campurilah mereka itu
di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (QS : Al-Baqarah : 222)
Darah yang dikeluarkan dari proses Haidh dan Nifas statusnya adalah suatu kotoran, najis, dan
membuat tidak suci diri wanita. Untuk itu wanita yang telah melewati haidh dan nifas, maka wajib
baginya untuk bersuci dengan mandi wajib, agar bisa kembali beribadah. Hal ini disebabkan
ada larangan saat haidh dan nifas untuk melangsungkan shalat dan puasa, sebelum benar-benar
suci dari hadast. Sedangkan menundanya, merupakan kedosaan karena meninggal hal wajib, yang
dalam kondisi telah melewati haidh atau nifas.
Melakukan mandi atau Keramas saat haidh tentunya tidak menjadikan diri muslimah suci,
sebelum benar-benar berhentinya darah haidh dan nifas. Hal ini pun sebagaimana dalam Hadist
Rasulullah, wanita dalam kondisi haidh dilarang shalat dan wajib untuk mandi setelahnya.
Sabda Rasulullah saw kepada Fatimah binti Abu Hubaisy ra adalah,”Tinggalkan shalat selama
hari-hari engkau mendapatkan haid, lalu mandilah dan shalatlah.” (Muttafaq Alaih)
Sebetulnya bagi wanita, ada kondisi dimana melahirkan diwajibkan juga untuk mandi wajib.
Namun, hal ini terjadi perbedaan pendapat antar ulama fiqh. Secara umum mewajibkan, sedangkan
yang lainnya ada yang tidak mewajibkan. Muslimah bisa mengambil mana yang sesuai dengan
keyakinan hati dan pertanggungjawaban masing-masing ulama.

4. Karena kematian
“Dari Ibnu Abbas RA, bahwasanya Rasulullah saw bersabda dalam keadaan berihram terhadap
seorang yang meninggal terpelanting oleh ontanya,”Mandikan dia dengan air dan daun
bidara.” (HR.Bukhori Muslim)
Orang yang mengalami kematian, ia wajib untuk dimandikan. Untuk itu mandi wajib ini berlaku
pula bagi yang meninggal, walaupun ia bukan mandi oleh dirinya sendiri, melainkan dimandikan
oleh orang-ornag yang lain. Untuk pelaksanaannya, maka setelah dimandikan ada
pelaksanaan shalat jenazah dalam islam, sebagai shalat terakhir dari mayit.

Rukun dan Cara Pelaksanaan Mandi Wajib

berikut cara-caranya yang diambil dari HR Muslim dan Bukhari, mengenai bab tata cara
pelaksanaan mandi wajib.

1. Niat untuk mengangkat hadas besar


Segala sesuatu berasal dari niatnya. Untuk itu, termasuk pada pelaksanaan mandi wajib pun juga
harus diawali dari niat. Untuk pelafadzan niat adalah “Aku berniat mengangkat hadas besar kerana
Allah Taala”. Setelah itu bisa kita mengucapkan bismillah, sebagai permulaan untuk mensucikan
diri.
2. Membasuh seluruh anggota badan yang zahir.
“Ummu Salama RA, aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang cara-cara mandi, beliau
bersabda, “Memadailah engkau jiruskan tiga raup air ke kepala. Kemudiian ratakannya ke
seluruh badan. Dengan cara itu, sucilah engkau” (HR Muslim)
Membasuh semua anggota badan termasuk kulit atau rambut dengan air serta meratakan air pada
rambut hingga ke pangkalnya. Selain itu wajib juga membasuh dengan air ke seluruh badan
termasuk rambut-rambut, bulu yang ada pada seluruh anggota badan, telinga, kemaluan bagian
belakang ataupun depan.

3. Rambut dalam kondisi terurai/tidak terikat


Untuk mandi besar, maka rambut harus dalam kondisi terurai atau tidak terikat. Hal ini untuk
benar-benar mensucikan seluruh tubuh, sedangkan jika terikat maka tidak sempurna mandinya.
Dikhawtirkan tidak semua bagian dibasuh atau terkenai air. Selain itu, bisa juga selepas dalam
kondisi junub atau haidh bagi wanita mencukur bulu kemaluan. Mencukur bulu kemaluan dalam
islam adalah suatu yang juga sangat dianjurkan dan mencukur bulu kemaluan pria dalam islam pun
sangat dianjurkan. Hal ini bisa menambah kebersihan, dan tidak banyak kotoran yang bersisa yang
masih melekat dalam bulu di badan.
Namun, perlu diperhatikan walaupun mencukup bulu-bulu atau rambut dianjurkan dalam islam,
namun berbeda dengan mencukur alis. Untuk itu, ada hukum mencukur alis dalam islam yang
perlu diperhatikan, terutama bagi kaum wanita.
4. Memberikan wewangian bagi wanita yang setelah haid
“Ambillah sedikit kasturi kemudin bersihkan dengannya”
Hal ini sifatnya tidak wajib, melainkan sunah saja. Untuk wanita, maka bisa memberikan semacam
wewangian ataupun sari-sari bunga yang bisa membersihkan dan membuat wangi kemaluannya,
dimana telah terkena darah haid selama periodenya. Untuk itu di zaman Rasulullah diberikan
bunga kasturi, sedangkan di zaman sekarang ada banyak sari-sari bunga atau hal lainnya yang bisa
lebih membersihkan, mensucikan, dan membuat wangi.

Cara Mandi Wajib yang Baik Menurut Rasulullah

Hal-hal berikut adalah cara mandi yang baik menurut Rasulullah dalam hadist yang diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim. Muslim yang melaksanakannya maka akan sesuai sebagaimana
Rasulullah melakukannnya. Tahapannya adalah sebagai berikut :

1. Terlebih dahulu mencucui tangan sebanyak tiga kali, sebelum tangan tersebut digunakan mandi,
atau dimasukkan ke dalam tempat pengambilang atau penampungan air
2. Untuk membersihkan kemaluan dan kotoran, maka hendaklah untuk menggunakan tangan kiri,
bukan tangan kanan. Tangan kanan digunakan untuk makan, sedangkan tidak mungkin
menggunakannya untuk membersihkan kemaluan.
3. Setelah membersihkan kemaluan, maka cucilah tangan dengan menggosokkannya pada tanah, bisa
juga dengan sabun agar hilang kotoran tersebut dari tangan.
4. Berwudhu dengan cara berwudhu yang benar sesuai aturan/rukunnya dalam islam, selagi akan
melakukan shalat.
5. Mengguyur air pada kepala sebanyak tiga kali
6. Mencuci kepala (keramas) mulai dari kepala bagian kanan ke bagian kiri dan membersihkannya
hingga sela-sela rambut, agar benar-benar bersih dan sempurna
7. Mengguyur air mulai dari sisi badan sebelah kanan lalu pada sisi sebelah kiri
Hal yang makruh saat melaksanakan mandi wajib
1. Menggunakan air secara berlebihan
“Nabi SAW mandi dengan segayung hingga lima gayung air dan berwudhu dengan secupak air”
(HR Bukhari dan Muslim)
“Cukuplah engkau mandi dengan segantang air. Lalu seorang lelalki berkata, ini tidak mencukupi
bagiku. Jabir menjawab, Ia telah pun mencukupi bagi orang yang lebih baik dan rambutnya lebih
lebat daripada engkau (yakni Rasulullah SAW)” (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam hadist di atas dijelaskan oleh Rasulullah bahwa untuk melaksanakan mandi, maka tidak
perlu berlebihan menggunakan air. Air yang digunakan adalah secukupnya dan tidak
menghambur-hamburkannya. Hal ini mengingat bahwa dalam ajaran islam tidak mengajarkan
sikap berlebih-lebihan termasuk dalam menggunakan sesuatu.

2. Mandi dari air yang tenang


“Janganlah seseorang daripada kamu yang junub mandi di dalam air yang tenang. Orang ramai
bertanya. Wahai abu hurairah bagaimanakah sepatutnya dia lakukan? Abu hurairah menjawab,
ambil air. (Dengan tangan atau bekas kecil beserta niat mencedok sekiranya air itu sedikit, supaya
tidak menjadi musta’mal disebabkan bersentuh dengan tangan, atau ambil sedikit air dari bekas
sebelum berniat mengangkat janabah. Kemudia berniat, memasuh tangan, dan ambilah air
seterusnya dengan tangannya itu”
Dalam hadist di atas dijelaskan bahwa hendaknya muslim yang akan melaksanakan mandi wajib,
menggunakan air yang mengalir.

KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwasanya mandi wajib yang mana cabang
dari Thaharah tidaklah seperti mandi yang biasa kita lakukan dalam keseharian kita. Namun mandi
untuk menghilangkan hadats besar yang ada pada diri kita dan dalam sebuah moment yang khusus
pula. Mandi wajib dapat dilakukan dengan berbagai macam cara dengan tetap mengikuti madzhab
yang baik dan benar juga tidak melenceng dari syariat Islam serta yang melakukan pun merasa
nyaman melakukannya. Berbagai pokok permasalahan telah dikaji di atas sebagaimana hakikat
mandi besar itu sendiri. Mandi besar berkaitan erat dengan berwudhu.

Al-Habsyi, Muhamad Bagir. 2005. Fiqh Praktis I Menurut Al-Quran, As- Sunah Dan Pendapat
Para Ulama. Bandung: Mizan Pustaka,
Masyur, Kahar.2004. Salat Wajib Menurut Madzab Yang Empat. Jakarta : Rineka Cipta.

Rasyid, Sulaiman. 1986. Fiqh Islam. Bandar Lampung: PT. Sinar Baru Algensidno,

Anda mungkin juga menyukai