Anda di halaman 1dari 6

Tata Cara Mandi Wajib yang Benar

Secara ringkas, yang pertama dilakukan adalah kedua tangan dicuci, kemudian mandi
kepala, kemudian terus dari bagian sebelah kanan, kemudian kiri, terakhir cuci kaki.

Adapun urutan-urutan tata cara mandi junub, adalah sebagai berikut:

1. Mencuci kedua tangan dengan tanah atau sabun lalu mencucinya sebelum
dimasukkan ke wajan tempat air.
2. Menumpahkan air dari tangan kanan ke tangan kiri.
3. Mencuci kemaluan dan dubur.
4. Najis-najis dibersihkan.
5. Berwudhu sebagaimana untuk shalat, dan menurut jumhur disunnahkan untuk
mengakhirkan mencuci kedua kaki.
6. Memasukan jari-jari tangan yang basah dengan air ke sela-sela rambut, sampai
ia yakin bahwa kulit kepalanya telah menjadi basah.
7. Menyiram kepala dengan 3 kali siraman.
8. Membersihkan seluruh anggota badan.
9. Mencuci kaki.

Semua hal di atas disusun berdasarkan hadits shahih yang disepakati oleh Imam
Bukhari dan Imam Muslim.

Aisyah RA berkata, "Ketika mandi janabah, Nabi SAW memulainya dengan mencuci
kedua tangannya, kemudian ia menumpahkan air dari tangan kanannya ke tangan kiri
lalu ia mencuci kemaluannya kemudian berwudku seperti wudhu` orang shalat.
Kemudian beliau mengambil air lalu memasukkan jari-jari tangannya ke sela-sela
rambutnya, dan apabila ia yakin semua kulit kepalanya telah basah beliau menyirami
kepalanya 3 kali, kemudian beliau membersihkan seluruh tubuhnya dengan air
kemudian di akhir beliau mencuci kakinya. (HR Bukhari/248 dan Muslim/316)

Namun hadits ini bukan satu-satunya hadits yang menerangkan tentang sifat mandi
janabah.

Rukun dan Sunnah Mandi Janabah

Lalu para ulama memilah mana yang merupakan pokok (rukun) dalam mandi janabah,
sehingga tidak boleh ditinggalkan, mana yang merupakan sunnah sehingga bila
ditinggalkan tidak merusak sah-nya mandi janabah itu.

A. Rukun

Untuk melakukan mandi janabah, maka ada 3 hal yang harus dikerjakan karena
merupakan rukun/pokok:

1. Niat.
Sabda Nabi SAW: Semua perbuatan itu tergantung dari niatnya. (HR Bukhari dan
Muslim)

2. Menghilangkan Najis Kalau Ada di Badan

Menghilangkan najis dari badan sesungguhnya merupakan syarat sahnya mandi


janabah. Dengan demikian, bila seorang akan mandi janabah, disyaratkan sebelumnya
untuk memastikan tidak ada lagi najis yang masih menempel di badannya.

Caranya bisa dengan mencucinya atau dengan mandi biasa dengan sabun atau
pembersih lainnya. Adapun bila najisnya tergolong najis berat, maka wajib
mensucikannya dulu dengan air tujuh kali dan salah satunya dengan tanah.

3. Meratakan Air Hingga ke Seluruh Badan

Seluruh badan harus rata mendapatkan air, baik kulit maupun rambut dan bulu. Baik
akarnya atau pun yang terjuntai. Semua penghalang wajib dilepas dan dihapus, seperti
cat, lem, pewarna kuku atau pewarna rambut bila bersifat menghalangi masuknya air.

Sedangkan pacar kuku (hinna') dan tato, tidak bersifat menghalangi sampainya air ke
kulit, sehingga tetap sah mandinya, lepas dari masalah haramnya membuat tato.

B. Sunnah-sunnah yang Dianjurkan dalam Mandi Janabah:

1. Membaca basmalah.
2. Membasuh kedua tangan sebelum memasukkan ke dalam air
3. Berwudhu` sebelum mandi Aisyah RA berkata,`Ketika mandi janabah, Nabi SAW
berwudku seperti wudhu` orang shalat. (HR Bukhari dan Muslim).
4. Menggosokkan tangan ke seluruh anggota tubuh. Hal ini untuk membersihkan
seluruh anggota badan.
5. Mendahulukan anggota kanan dari anggota kiri seperti dalam berwudhu'

Mandi Junub Apakah Mesti Keramas?


Keramas itu umumnya dipahami sebagai mencuci rambut dengan shampo. Bila
demikian pengertiannya, maka mandi junub itu tidak identik dengan keramas.

Karena yang penting dalam mandi junub adalah menyampaikan air ke seluruh tubuh,
atau dengan kata lain, membasahi seluruh bagian tubuh kita dengan air. Dan tidak
harus dengan sabun atau shampoo. Walaupun juga bukan merupakan larangan.

Apa Saja yang Menyebabkan Mandi Wajib?


Hal-hal yang mewajibkan mandi

Pertama: Keluarnya mani karena syahwat, baik dalam tidur maupun tidak

Hendaklah diketahui, bahwa keluarnya mani yang disertai rasa nikmat mewajibkannya
untuk mandi, baik itu dalam keadaan tidur maupun tidak. Ini merupakan pendapat para
fuqaha secara umum. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadist, bahwa
Ummu Sulaim pernah bertanya:

ْ َ‫ َن َع ْم إِ َذا َرأ‬:‫هللا‬
‫ت ال َما َء‬ ِ ‫ت؟ َف َقا َل َرس ُْو ُل‬ َ ‫الح ِّق َه ْل َعلَى ال َمرْ أَ ِة مِنْ ُغسْ ٍل إِ َذا ه‬
ْ ‫ِي اِحْ َتلَ َم‬ َ ‫هللا الَ َيسْ َتحي م َِن‬ ِ ‫ارس ُْو َل‬
َ َّ‫هللا إِن‬ َ ‫َي‬

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran (maka aku pun
tidak malu untuk bertanya): Apakah wanita wajib mandi bila bermimpi? Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, apabila ia melihat air mani setelah ia
bangun.” (Muttafaqun Alaih)

Adapun warnanya maka air mani laki-laki itu berwana putih dan kental, sedangkan bagi
wanita berwarna kuning dan encer.

Maka perlu diketahui juga bahwa jika air mani keluar saat tidur maka wajib mandi, baik
ada tanda-tanda di atas maupun tidak, sebab orang yang tidur terkadang tidak
merasakannya. Ini sering terjadi apabila seseorang bangun dan menemukan bekas air
mani, padahal dia tidak merasa bermimpi. Hal ini berdasarkan hadist yang telah
disebutkan di atas, yaitu ketika Ummu Sulaim pernah bertanya kepada Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wa Sallam tentang seorang wanita yang bermimpi seperti mimpinya
laki-laki, apakah dia wajib mandi? Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam menjawab,

ْ َ‫َن َع ْم إِ َذا َرأ‬


‫ت ال َما َء‬

“Ya, apabila ia melihat air mani setelah ia bangun.” (Muttafaqun Alaih)

Artinya, ketika itu wajib mandi apabila melihat air mani. Tidak ada syarat selain itu.
Maka ini jelas menunjukan kewajiban mandi bagi orang yang bangun dari tidur dan
menemukan air mani, baik dia merasakan keluarnya maupun tidak, baik dia telah yakin
bermimpi maupun tidak, sebab orang yang tidur bisa saja lupa.

Kedua: Jima’ (bersetubuh) sekalipun tidak mengeluarkan mani

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, beliau
bersabda,

َ ‫س َبي َْن َش َع ِب َها األَرْ َب ِع ُث َّم َج َه َد َها َف َق ْد َو َج‬


‫ب ال ُغسْ ُل َوإِنْ لَ ْم َي ْن ِز ْل‬ َ ِّ‫َعنْ أَ ِبيْ ه َُري َْر َة َع ِن ال َّن ِبي‬
َ َ‫ إِ َذا َجل‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َقا َل‬
“Apabila seseorang duduk di antara empat anggota badan (istrinya), lalu bersungguh-
sungguh memperlakukannya (yaitu jima’), maka ia wajib mandi, sekalipun tidak
mengeluarkan (air mani).” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 152 dan Muslim I:271 no:
384).

Ketiga: Masuk Islamnya orang kafir

Apabila orang kafir masuk islam maka dia wajib mandi, baik dia adalah kafir asli atau
kafir murtad. Kafir asli adalah dari awal hidupnya tidak beragama Islam, seperti orang
Yahudi, Nasrani, Budha dan semisalnya. Kafir murtad adalah orang Islam yang keluar
dari agama, -kita memohon keselamtan kepada Allah-. Seperti orang yang
meninggalkan shalat atau meyakini bahwa Allah memiliki sekutu (dzat yang setara
dengan-Nya), atau menyeru Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam agar beliau
menolongnya dalam kesulitan, atau menyeru orang lain agar dia menolongnya dalam
suatu perkara yang tidak mungkin dilakukan kecuali oleh Allah semata.

Adapun dalil wajibnya mandi karena memeluk agama Islam adalah sebagai berikut:

Pertama: Hadist Qais bin Ashim,

‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَنَّ َي ْغ َتسِ َل ِب َماء ٍَوسِ ْد ٍر‬


َ ُّ‫ْن َعاصِ ٍم أَ َّن ُه أَسْ لَ َم َفأ َ َم َرهُ ال َّن ِبي‬ ِ ‫َعنْ َقي‬
ِ ‫ْس ب‬

“Dari Qais bin Ashim Radhiyallahu Anhu bahwa ia masuk Islam, lalu diperintah oleh
Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam agar mandi dengan menggunakan air yang dicampur
dengan daun bidara.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 128, Nasa’I I: 109, Tirmidzi, II:58 no:
602 dan ‘Aunul Marbud II: 19 no: 351).

Kedua: Orang yang masuk Islam berarti mensucikan batinnya dari najis kemusyrikan.
Maka, sangat baik sekali bila lahirnya dia sucikan dengan mandi.

Keempat: Meninggal dunia

Maksudnya, apabila seseorang meninggal dunia maka kaum muslimin yang lain wajib
memandikannya. Adapun dalilnya adalah:

1) Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam terkait orang yang diinjak oleh
unta hingga meninggal di Arafah,

‫اغسِ لُوهُ ِب َما ٍء َوسِ ْد ٍر‬


ْ
“Mandikan dia dengan air dan sidr (bidara).” (Muttafaqun ‘alaih)

2) Hadist Ummu ‘Athiyah ketika anak wanitanya meninggal dunia. Dalam hadist ini,
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda,

‫اغسِ ْل َن َها َثالَ ًثا أَ ْو َخمْ سً ا أَ ْو َسبْعً ا أَ ْو أَ ْك َث َر مِنْ َذل َِك إِنْ َرأَ ْي ُتنَّ َذل َِك‬
ْ

“Mandikan dia sebanyak tiga kali (siraman), lima kali, tujuh kali atau lebih jika kalian
menganggap itu perlu.” (Muttafaqun ‘alaih)

Perlu diketahui di sini, jika ada seorang muslimah yang meninggal maka harus di
mandikan oleh sesama muslimah bukan bapak, paman, atau saudara laki-laki
kandungannya meskipun mereka mahromnya. Akan tetapi, jika dimandikan oleh
suaminya maka boleh.

Kelima: Haidh

Apabila seorang wanita telah selesai haidh maka diwajibkan baginya untuk mandi.
Berhentinya darah haidh (yang keluar dari rahim) merupakan syarat wajibnya mandi.
Oleh karena itu, apabila dia mandi sebelum suci (darah berhenti keluar) maka
mandinya tidak sah, sebab di antara syarat sah mandi adalah suci.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

ْ‫صلِّي‬ ْ ‫صالَ َة َوإِ َذا أَ ْد َب َر‬


ْ ‫ت َف‬
َ ‫اغسِ لِي َو‬ َّ ‫ض ُة َفدَعِ ي ال‬ ِ َ‫َفإِ َذا أَ ْق َبل‬
َ ‫ت ْال َح ْي‬

“Jika telah tiba masa haidhmu maka tinggalkan shalat, dan bila selesai masa haidmu
maka mandilah kemudian shalatlah.” (HR. Bukhari)

Selain itu, hadist yang berasal dari Fathimah binti Abi Hubaisy Radhiyallahu anha, ia
menceritakan pada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bahwa dia mengalami haid,
lalu beliau memerintahkannya untuk berhenti melakukan ibadah karena ia tidak dalam
keadaan suci. Kemudian setelah darah berhenti keluar, dia diperintahkan untuk mandi
dan shalat.

Keenam: Nifas

Nifas adalah darah yang keluar pada saat persalinan, baik keluar sebelum persalinan,
yaitu selama dua atau tiga hari ataupun setelah persalinan dengan dibarengi rasa sakit.
Adapun dalil kewajiban mandi karena nifas adalah karena ia salah satu jenis haid. Oleh
karena itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam menyebut haid dengan kata nifas.
Beliau bersabda kepada ‘Aisyah Radhiyallahu anha yang sedang haidh,

ِ ْ‫لَ َعلِّكِ َنفِس‬


‫ت‬

“Barangkali saja engkau nifas.” (Muttafaqun ‘alaih)

Makna “nifas” di sini adalah haidh karena ‘Aisyah tidak pernah melahirkan anak
sehingga ‘Aisyah tidak mengalami nifas. Akan tetapi hadist ini dapat digunakan sebagai
dalil bahwa nifas sama dengan haid yang berarti hukum-hukum seputar nifas sama
dengan haidh, salah satunya berkaitan dengan wajibnya mandi bagi wanita seusai nifas
sebagaimana hal itu juga diwajibkan bagi wanita seusai masa haidh.

Anda mungkin juga menyukai