Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
S etelah kita mempelajari berbagai macam najis, selanjutnya kita akan mengenal
bagaimanakah tata cara wudhu yang benar yang sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Semoga dengan pembahasan ini pula dapat meluruskan kesalahan-
kesalahan yang selama ini ada. Hanya Allah yang beri taufik.
Dari Ibnu ‘Umar –radhiyallahu ‘anhuma-, beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak ada shalat kecuali dengan thoharoh. Tidak ada sedekah dari hasil
pengkhianatan.”[1]
“Shalat salah seorang di antara kalian tidak akan diterima -ketika masih berhadats-
sampai dia berwudhu.“[4]
Tata Cara Wudhu
َ َُح ْم َرانَ َموْ لَى ع ُْث َمانَ أَ ْخبَ َرهُ أَ َّن ع ُْث َمانَ ْبنَ َعفَّانَ – رضى هللا عنه – َدعَا بِ َوضُو ٍء فَت ََوضَّأ َ فَ َغ َس َل َكفَّ ْي ِه ثَال
ث
ت ثُ َّمٍ ث َمرَّا َ َق ثَال ِ َت ثُ َّم َغ َس َل يَ َدهُ ْاليُ ْمنَى إِلَى ْال ِمرْ فٍ ث َمرَّا َ َض َوا ْستَ ْنثَ َر ثُ َّم َغ َس َل َوجْ هَهُ ثَال َ ت ثُ َّم َمضْ َم ٍ َمرَّا
ْ
ت ث َّم َغ َس َل اليُس َْرى ُ ٍ ث َمرَّا ْ ْ ُ ْ ُ ْ ْ
َ ََغ َس َل يَ َدهُ اليُس َْرى ِمث َل َذلِكَ ث َّم َم َس َح َرأ َسهُ ث َّم َغ َس َل ِرجْ لَهُ اليُ ْمنَى إِلَى ال َك ْعبَي ِْن ثَال
صلى- ِ ال َرسُو ُل هَّللا َ َ ت ََوضَّأ َ نَحْ َو ُوضُوئِى هَ َذا ث َّم ق-صلى هللا عليه وسلم- ِ ْت َرسُو َل هَّللا
ُ ُ ك ثُ َّم قَا َل َرأَي
َ ِِم ْث َل َذل
ِّث فِي ِه َما نَ ْف َسهُ ُغفِ َر لَهُ َما تَقَ َّد َم ُ « َم ْن تَ َوضَّأ َ نَحْ َو ُوضُوئِى هَ َذا ثُ َّم قَا َم فَ َر َك َع َر ْك َعتَ ْي ِن الَ ي َُحد-هللا عليه وسلم
صالَ ِة َّ ب َو َكانَ ُعلَ َما ُؤنَا يَقُولُونَ هَ َذا ْال ُوضُو ُء أَ ْسبَ ُغ َما يَت ََوضَّأ ُ بِ ِه أَ َح ٌد لِل ٍ قَا َل ابْنُ ِشهَا.» ِم ْن َذ ْنبِ ِه.
Dari hadits ini dan hadits lainnya, kita dapat meringkas tata cara wudhu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai berikut.
Berikut catatan penting yang perlu diperhatikan dalam tata cara wudhu di atas.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah– mengatakan, “Letak niat adalah di hati
bukan di lisan. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin dalam
segala macam ibadah termasuk shalat, thoharoh, zakat, haji, puasa, memerdekakan
budak, jihad dan lainnya.”[8]
Tidak ada satu hadits shahih pun yang menyatakan bahwa kumur-kumur
dan istinsyaq dipisah. Kecuali ada riwayat dari Tholhah bin Mushorrif dari ayahnya dari
kakeknya yang mengatakan bahwa dia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
4
Adapun hadits yang membicarakan beliau membasuh kepala lebih dari sekali, terkadang
haditsnya shahih, namun tidak tegas. Seperti perkataan sahabat yang menyatakan
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan mengusap tiga kali tiga kali.
Seperti pula perkataan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membasuh kepala dua
kali. Terkadang pula haditsnya tegas, namun tidak shahih. Seperti hadits Ibnu Al
Bailamani dari ayahnya dari ‘Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap
tangannya tiga kali dan membasuh kepala juga tiga kali. Namun perlu diketahui bahwa
Ibnu Al Bailamani dan ayahnya adalah periwayat yang lemah.”[13]
Telinga hendaknya diusap berbarengan setelah kepala karena telinga adalah bagian dari
kepala. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ْ
ِ األُ ُذنَا ِن ِمنَ الرَّأ
س
“Dua telinga adalah bagian dari kepala.” [14] Hadits ini adalah hadits yang lemah
jika marfu’ (dianggap ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Akan tetapi hadits di
atas dikatakan oleh beberapa ulama salaf di antaranya adalah Ibnu ‘Umar.[15]
”Walaupun sanad hadits ini dikritik, akan tetapi ada berbagai riwayat yang menguatkan
satu sama lain. Sebagai penguat hadits tersebut adalah hadits yang mengatakan bahwa
membasuh dua telinga adalah sekaligus dengan kepala sebanyak sekali. Hadits yang
menyebutkan seperti ini amatlah banyak, ada dari ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Ar Robi’ dan
‘Utsman. Semua hadits tersebut bersepakat bahwa membasuh kedua telinga sekaligus
bersama kepala dengan melalui satu cidukan air, sebagaimana hal ini adalah
makna zhohir (tekstual) dari kata marroh (yang artinya: sekali). Jika untuk membasuh
5
kedua telinga digunakan air yang baru, tentu tidak dikatakan, “Membasuh kepala dan
telinga sekali saja”. Jika ada yang memaksudkan bahwa beliau tidaklah mengulangi
membasuh kepala dan telinga, akan tetapi yang dimaksudkan adalah mengambil air
yang baru, maka ini pemahaman yang jelas keliru.
Adapun riwayat yang menyatakan bahwa air yang digunakan untuk membasuh kedua
telinga berbeda dengan kepala, itu bisa dipahami kalau air yang ada di tangan ketika
membasuh kepala sudah kering, sehingga untuk membasuh telinga digunakan air yang
baru.”[16]
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan basuhlah wajah kalian.” (QS. Al Maidah: 6). Dua dalil di atas masih berada dalam
konteks ayat yang sama. Mengusap wajah pada tayamum bukan hanya sebagian
(namun seluruhnya) sehingga yang dimaksudkan dengan mengusap kepala adalah
mengusap seluruh kepala.
Begitu pula terdapat dalam hadits lain dijelaskan bahwa membasuh kepala adalah
seluruhnya dan bukan sebagian. Dalilnya,
َ ص ْف ٍر فَت ََوضَّأ ُ ع َْن َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن َز ْي ٍد قَا َل أَتَى َرسُو ُل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – فَأ َ ْخ َرجْ نَا لَهُ َما ًء فِى تَوْ ٍر ِم ْن
َو َغ َس َل ِرجْ لَ ْي ِه، َو َم َس َح بِ َر ْأ ِس ِه فَأ َ ْقبَ َل بِ ِه َوأَ ْدبَ َر، فَ َغ َس َل َوجْ هَهُ ثَالَثًا َويَ َد ْي ِه َم َّرتَي ِْن َم َّرتَي ِْن،
6
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Tidak ada satu pun sahabat yang
menceritakan tata cara wudhu Nabi yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam hanya mencukupkan dengan membasuh sebagian kepala saja.”[20] Namun
ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membasuh ubun-ubun, beliau juga sekaligus
membasuh imamahnya.[21]
Sedangkan untuk wanita muslimah tata cara membasuh kepala tidak dibedakan dengan
pria. Akan tetapi, boleh bagi wanita untuk membasuh khimarnya saja. Akan tetapi, jika
ia membasuh bagian depan kepalanya disertai dengan khimarnya, maka itu lebih bagus
agar terlepas dari perselisihan para ulama. Wallahu a’lam.[22]
Semoga bermanfaat.
Artikel https://rumaysho.com
[2] Nash adalah dalil tegas yang tidak mengandung kemungkinan makna kecuali itu
saja.
[5] Lihat maksud hadits “laa yuhadditsu bihi nafsuhu” Syarh An Nawawi ‘ala Muslim,
3/108 dan Syarh Sunan Abi Daud, Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr, 1/371, Asy
Syamilah
[7] Lihat Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, 22/242, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426
H.
[8] Al Fatawa Al Kubro, Ibnu Taimiyah, 2/87, Darul Ma’rifah Beirut, cetakan pertama,
1386.
[9] Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/196, Tahqiq: Syu’aib
Al Arnauth dan ‘Abudl Qodir Al Arnauth, Muassasah Ar Risalah, cetakan ke-17, tahun
1415 H
[11] Dikeluarkan oleh Abu Daud. Namun terdapat seorang periwayat yang dho’if dan
Mushorrif –ayah Tholhah- itu majhul. Lihat catatan kaki Zaadul Ma’ad, hal. 192.
[13] Zaadul Ma’ad, 1/193.
[14] HR. Abu Daud no. 134, At Tirmidzi no. 37, Ibnu Majah no. 443, dan Ahmad
(5/264).
[19] HR. Ibnu Khuzaimah (1/81). Al A’zhomi mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
[22] Idem
8
Jawab: Niat yang dimaksud dalam berwudhu dan mandi (wajib) adalah niat
untuk menghilangkan hadats atau untuk menjadikan boleh suatu perbuatan
yang diwajibkan bersuci, oleh karenanya amalan-amalan yang dilakukan
tanpa niat tidak diterima. Dalilnya adalah firman Allah, “Dan mereka tidaklah
diperintahkan melainkan agar beribadah kepada Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (QS. Al-
Bayyinah: 5)
bagi orang yang tidak berwudhu dan tidak sah wudhu orang yang tidak
menyebut nama Allah atas wudhunya.”
(1). Islam, (2). Berakal, (3). Tamyiz (dapat membedakan antara baik dan
buruk), (4). Niat, (5). Istishab hukum niat, (6). Tidak adanya yang
mewajibkan wudhu, (7). Istinja dan istijmar sebelumnya (bila setelah buang
hajat), (8). Air yang thahur (suci lagi mensucikan), (9). Air yang mubah
(bukan hasil curian -misalnya-), (10). Menghilangkan sesuatu yang
menghalangi air meresap dalam pori-pori.
Ketiga, hadits yang diriwayatkan dari ‘Amr bin ‘Abasah. Dia berkata, “Wahai
Rasulullah beritahukan kepadaku tentang wudhu?” Rasulullah berkata,
“Tidaklah salah seorang dari kalian mendekati air wudhunya, kemudian
berkumur-kumur, memasukkan air ke hidungnya lalu mengeluarkannya
kembali, melainkan gugurlah dosa-dosa di (rongga) mulut dan rongga
hidungnya bersama air wudhunya, kemudian (tidaklah) ia membasuh
mukanya sebagaimana yang Allah perintahkan, melainkan gugurlah dosa-
dosa wajahnya melalui ujung-ujung janggutnya bersama tetesan air wudhu,
kemudian (tidaklah) ia membasuh kedua tangannya sampai ke siku,
melainkan gugurlah dasa-dosa tangannya bersama air wudhu melalui jari-
jari tangannya, kemudian (tidaklah) ia mengusap kepalanya, melainkan
gugur dosa-dasa kepalanya bersama air melalui ujung-ujung rambutnya,
kemudian (tidaklah) ia membasuh kedua kakinya, melainkan gugur dosa-
dasa kakinya bersama air melalui ujung-ujung jari kakinya.” (HR. Muslim)
Dan di dalam riwayat Abdullah bin Shanaji terdapat apa yang menunjukkan
akan hal itu. Wallahu A’lam.
Dalilnya, hadits yang diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud dari Nabi, bahwa
beliau melihat seorang laki-laki di kakinya ada bagian sebesar mata uang
logam yang tidak terkena air wudhu, maka beliau memerintahkan untuk
mengulangi wudhunya.
11
Imam Ahmad meriwayatkan dari Umar bin al-Khathab bahwa seorang laki-
laki berwudhu, tetapi meninggalkan satu bagian sebesar kuku di kakinya
(tidak membasahinya dengan air wudhu). Rasulullah melihatnya maka beliau
berkata, “Berwudhulah kembali, kemudian shalatlah.” Sedangkan dalam
riwayat Muslim tidak menyebutkan lafal, “Berwudhulah kembali.”
Tanya: Bagaimana tata cara wudhu yang sempurna? Dan apa yang dibasuh
oleh orang yang buntung ketika berwudhu?
Tanya: Apa dalil dari tata cara wudhu yang sempurna? Sebutkan dalil-dalil
tersebut secara lengkap?
“Dan dari Humran bahwa Utsman pernah meminta dibawakan air wudhu,
maka ia membasuh kedua telapak tangannya tiga kali, …kemudian
membasuh tangan kanannya sampai ke siku tiga kali, kemudian tangan
kirinya seperti itu pula, kemudian mengusap kepalanya, kemudian
membasuh kaki kanannya sampai mata kaki tiga kali, kemudian kaki kirinya
seperti itu pula, kemudian berkata, ‘Aku melihat Rasulullah berwudhu seperti
wudhuku ini.’” (Mutafaq alaih)
Dan dari Abdullah bin Zaid bin Ashim dalam tatacara wudhu, ia
berkata, “Dan Rasulullah mengusap kepalanya, menyapukannya ke
belakang dan ke depan.” (Mutafaq alaih)
12
Dan lafal yang lain, “(Beliau) memulai dari bagian depan kepalanya sampai
ke tengkuk, kemudian menariknya lagi ke bagian depan tempat semula
memulai.”
1. Menyempurnakan wudhu.
2. Menyela-nyela antara jari jemari.
3. Melebihkan dalam memasukkan air ke dalam hidung kecuali bagi yang
berpuasa.
4. Mendahulukan anggota wudhu yang kanan.
5. Bersiwak.
6. Membasuh dua telapak tangan sebanyak tiga kali.
7. Mengulangi setiap basuhan dua kali atau tiga kali.
8. Menyela-nyela jenggot yang lebat.
Dalil tentang siwak telah lalu penjelasannya. Adapun tentang membasuh dua
telapak tangan sebelum berwudhu, yaitu apa yang diriwayatkan oleh Ahmad
dan Nasa’i dari Aus bin Aus ats-Tsaqafi ia berkata, “Aku melihat Nabi
berwudhu, maka beliau mencuci dua telapak tangannya sebanyak tiga kali.”
Jawab: Takaran air dalam berwudhu adalah satu mud (Satu mud sama
dengan 1 1/3 liter menurut ukuran orang Hijaz dan 2 liter menurut ukuran
orang Irak. (Lihat Lisanul Arab Jilid 3 hal 400). Adapun untuk mandi
sebanyak satu sha’ sampai lima mud. Sebagaimana hadits yang
diriwayatkan oleh Anas, katanya, “Adalah Rasulullah ketika berwudhu
dengan (takaran air sebanyak) satu mud dan mandi (dengan takaran
sebanyak) satu sha’ sampai lima mud.” (HR. Muttafaq alaih). Dan makruh
(dibenci) berlebih-lebihan, yaitu yang lebih dari tiga kali dalam berwudhu.
***
A. Keutamaan Wudlu
َإِ َّن هللاَ ي ُِحبُّ التَّوَّابِ ْينَ َو ي ُِحبُّ ْال ُمتَطَه ِِّر ْين
2. Sesungguhnya gurrah dan tahjil (cahaya akibat wudlu yang nampak pada wajah,
kaki, dan tangan) merupakan alamat khusus ummat Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam pada hari kiamat kelak, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
“Barang siapa yang berwudlu lalu membaguskannya, maka akan keluar kesalahan-
kesalahannya dari badannya bahkan sampai keluar dari bawah kuku-kukunya”.
(Hadits riwayat Muslim no 245)
“Maukah aku tunjukan kepada kalian sesuatu yang dengannya Allah menghapuskan
kesalahan-kesalahan dan mengangkat derajat-derajat?” Para sahabat menjawab :
“Tentu, Ya Rosulullah”, Beliau berkata : “Sempurnakanlah wudlu pada saat
keadaan-keadaan yang dibenci (misalnya pada waktu musim dingin-pent) dan
perbanyaklah langkah menuju masjid-masjid dan setelah sholat tunggulah sholat
berikutnya …”.(Hadits riwayat Muslim no 251)
5. Dengan wudlu seseorang bisa masuk surga dari pintu-pintu surga yang dia
sukai, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ْ ِإالَّ فُتِ َح,ُك لَهُ َو أَ ْشهَ ُد أَ َّن ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َورَسوْ لُه َّ ُ
ُت لَهُ أبْوأب ِ أَ ْشهَ ُد أَ ْن الَ إِلهَ إِالَ هللاُ َوحْ َدهُ الَ ش: َما ِم ْن ُك ْم ِم ْن أَ َح ٍد يَتَ َوضَّأ فَيُ ْسبِ ُغ ْال ُوضُوْ َء ثُ َّم يَقُوْ ُل
َ َر ْي
ْال َجنَّ ِة الثَّ َمانِيَةُ يَ ْد ُخ ُل ِم ْن أَيِّهَا شَا َء
“Tidak ada seorang pun dari kalian yang berwudlu lalu menyempurnakan wudlunya
kemudian berkata : ُك لَهُ َو أَ ْشهَ ُد أَ َّن ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َورَسوْ لُه َّ
ِ أَ ْشهَ ُد أَ ْن الَ إِلهَ ِإالَ هللاُ َوحْ َدهُ الَ ش kecuali akan
َ َر ْي
15
dibukakan baginya pintu-pintu surga yang delapan dan dia masuk dari pintu mana
saja yang dia sukai”. (Hadits riwayat Muslim, irwaul golil no 96)
Inti dan ruh dari sholat adalah seorang hamba harus sadar bahwa dia sedang
berada di hadapan Allah ta’ala. Agar pikiran bisa siap untuk itu dan bisa terlepas
dari kesibukan-kesibukan duniawi, maka diwajibkanlah wudlu sebelum sholat karena
wudlu adalah sarana untuk menenangkan dan meredakan pikiran dari kesibukan-
kesibukan duniawi untuk siap melaksanakan sholat.
C. Definisi Wudlu
Secara bahasa wudlu diambil dari kata ُضائَة َ ْال َوyang maknanya adalah ُالنَّظَافَة
(kebersihan) dan ُ( ْال ُحسْنbaik) (Syarhul Mumti’ 1/148)
Sedangkan secara syar’i (terminologi) adalah “Menggunakan air yang thohur (suci
dan mensucikan) pada anggota tubuh yang empat (yaitu wajah, kedua tangan,
kepala, dan kedua kaki) dengan cara yang khusus menurut syari’at” (Al-fiqh al-
Islami 1/208)
Wahai orang-orang yang beriman jika kalian berdiri untuk (mendirikan) sholat maka
cucilah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian hingga ke siku-siku dan
basuhlah kepala-kepala kalian dan (cucilah) kaki-kaki kalian hingga kedua mata
kaki. (Al-Maidah : 6)
َ فَ َدعَا بِتَوْ ٍر ِم ْن َما ٍء فَتَ َوضَّأ، ت َع ْم َرو ْبنَ أَبِ ْي ْال َح َس ِن َسأ َ َل َع ْب َد هللاِ ب ِْن َز ْي ٍد ع َْن ُوضُوْ ِء النَّبِ ِّي ُ َش ِه ْد: ازنِ ِّي ع َْن أَبِ ْي ِه قَا َل ِ ع َْن َع ْم ٍرو ب ِْن يَحْ يَى ال َم
ثُ َّم،ت ٍ ث ُغرْ فَا ِ َق َوا ْستَ ْنثَ َر ثَالَثًا بثَال َ ض و ا ْستَ ْن َش َ ثُ َّم أ ََْْد َخ َل يَ َدهُ فِى التَّوْ ِر فَ َمضْ َم، فَأ َ ْكفَأ َ َعلَى يَ َد ْي ِه ِمنَ التَّوْ ِر فَ َغ َس َل يَ َد ْي ِه ثَالَثًا. لَهُ ْم ُوضُوْ َء النَّبِ ِّي
َ
ً ثُ َّم أَ ََْْد َخ َل يَ َد ْي ِه فَ َم َس َح ِب ِه َما َر ْأ َسهُ فَأ َ ْقبَ َل بِ ِه َما َوأَ ْدبَ َر َم َّرة، ثُ َّم أَ ََْْد َخ َل يَ َد ْي ِه فَ َغ َسلَهُ َما َم َّرتَي ِْن إِلَى ال ِمرْ فَقَي ِْن،أَ ََْْد َخ َل يَ َدهُ فِى التَّوْ ِر فَ َغ َس َل َوجْ هَهُ ثَالَثًا
ثُ َّم َغ َس َل ِرجْ لَ ْي ِه،ًاح َدة
ِ َو.
َُان الَّ ِذي َبدَأَ ِم ْنه َ َبدَأَ ِب ُمقَ َّد ِم َر ْأ ِس ِه َحتَّى ذه: َو فِ ْي ِر َوايَ ٍة.
ِ ثُ َّم َر َّدهُ َما َحتَّى َر َج َع إِلَى ْال َمك،َُب بِ ِه َما إِلَي قَفَاه
Dari Amr bin Yahya Al-Maziniyyi dari bapaknya berkata : “Aku telah menyaksikan
‘Amr bin Abil Hasan bertanya kepada Abdullah bin Zaid tentang wudlunya Nabi
16
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Abdullah bin Zaid meminta tempayan kecil yang
berisikaan air lalu dia berwdlu sebagaimana wudlunya Nabi. Maka beliau pun
memiringkan tempayan tersebut dan mengalirkan air kepada kedua tangannya lalu
mencuci kedua tangannya itu tiga kali. Kemudian beliau memasukkan (satu)
tangannya kedalam tempayan lalu berkumur-kumur dan beristinsyaq (memasukkan
air kedalam lubang hidung dengan menghirupnya-pent) dan beristintsar
(menghembuskan air yang ada dalam lubang hidung-pent) tiga kali dengan tiga kali
cidukan tangan. Kemudian beliau memasukkan (satu) tangannya dalam tempayan
lalu mencuci wajahnya tiga kali, kemudian memasukkan kedua tangannya lalu
mencuci kedua tangannya tersebut dua kali hingga kedua sikunya. Kemudian beliau
memasukkan kedua tangannya dan mengusap kepalanya dengan kedua tangannya
itu (yaitu) membawa kedua tangannya itu ke depan dan kebelakang satu kali.
Kemudian mencuci kedua kakinya.
Dalam riwayat yang lain : Beliau memulai dengan (mengusap) bagian depan
kepalanya hingga kebagian tengkuk lalu mengembalikan kedua tangannya tersebut
hingga kembali ke tempat dimana beliau mulai (mengusap).
Dari ayat dan hadits di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa sifat wudlu
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah :
1.Berniat.
Sebagaimana telah dibahas bahwa niat adalah tempatnya di hati dan melafalkan
niat adalah bid’ah. Dan niat adalah syarat wudlu (dan ini adalah pendapat jumhur
ulama), sehingga barang siapa yang berwudlu dengan niat bukan untuk bertaqorrub
kepada Allah ta’ala tetapi untuk mendinginkan badan atau untuk kebersihan maka
wudlunya tidak sah, karena Rosululah r bersabda “Sesungguhnya amalan-amalan itu
tergantung niatnya”. Namun Menurut madzhab Hanafiyah, hukum niat ketika akan
berthoharoh (termasuk juga ketika akan wudlu) adalah hanya sunnah, sehingga
seseorang berwudlu tanpa niat bertaqorrub pun sudah sah wudlunya. Dan yang
benar adalah pendapat jumhur ulama. (Al-fiqh al-islami 1/225)
2.Membaca “Bismilah”
Sesuai dengan sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari hadits Abu
Huroiroh:
“Tidak ada sholat bagi orang yang tidak berwudlu dan tidak ada wudlu bagi orang
yang tidak menyebutkan nama Allah atasnya”. (Hadits Hasan, berkata Syaikh Al-
Albani : “…Hadits ini memiliki syawahid yang banyak…”, lihat irwaul golil no 81)
Hadits ini secara dhohir menunjukan bahwa membaca “bismillah” adalah syarat sah
wudlu. Namun yang benar bahwa yang dinafikan dalam hadits di atas adalah
kesempurnaan wudlu.
17
Terjadi khilaf diantara para ulama. Imam Ahmad dan pengikutnya berpendapat akan
wajibnya mengucapkan “bismilah” ketika akan berwudlu Mereka berdalil dengan
hadits ini
Sedangkan jumhur ulama (Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Abu Hanifah, serta
satu riwayat dari Imam Ahmad) bahwa membaca “bismillah” ketika akan berwudlu
hukumnya hanyalah mustahab, tidak wajib. (Taudihul Ahkam 1/193). Dalil mereka :
– Perkataan Imam Ahmad sendiri : “Tidak ada satu haditspun yang tsabit dalam bab
ini”
Syaikh Al-Albani berkata : “…Tidak ada dalil yang mengharuskan keluar dari dhohir
hadits ini (yaitu wajibnya mengucapkan bismillah-pent) ke pendapat bahwa perintah
pada hadits ini hanyalah untuk mustahab. Telah tsabit (akan) wajibnya, dan ini
adalah pendapat Ad-Dzohiriyah, Ishaq, satu dari dua riwayat Imam Ahmad, dan
merupakan pendapat yang dipilih oleh Sidiq Hasan Khon, Syaukani, dan inilah
(pendapat) yang benar Insya Allah” (Tamamul Minnah hal 89)
,ِض ُؤوْ ا بِاس ِْم هللا َّ تَ َو: ض َع يَ َدهُ فِ ْي ْال َما ِء َو يَقُوْ ُلَ هَلْ َم َع أَ َح ٍد ِم ْن ُك ْم َما ٌء ؟ فَ َو: ِب بَعْضُ أَصْ َحاب النَّبِ ِّي ُوضُوْ ًء فَقَا َل َرسُوْ ُل هللا َ َ طَل: س قَا َل ٍ َع َْن أَن
َ نَحْ ٌو ِم ْن َس ْب ِع ْين: َك ْم تَرأهُ ْم ؟ قَا َل: س َ
ٍ َت ألن ْ ُ ٌ
ُ قل: قَا َل ثَابِت. آخ ِر ِه ْم ْ
ِ ض ُؤوْ ا ِم ْن ِعن ِد َّ
َّ صابِ ِع ِه َحتى تَ َو َ ْ ْ َ
ُ فَ َرأي
َ ْت ال َما َء يَخ ُر ُج ِم ْن بَي ِْن أ
Dari Anas berkata : Sebagian sahabat Nabi mencari air, maka Rosulullah berkata :
“Apakah ada air pada salah seorang dari kalian?”. Maka Nabi meletakkan tangannya
ke dalam air (tersebut) dan berkata :“Berwudlulah (dengan membaca) bismillah”..
Maka aku melihat air keluar dari sela-sela jari-jari tangan beliau hingga para
sahabat seluruhnya berwudlu hingga yang paling akhir daari mereka. Berkata Tsabit
:”Aku bertanya kepada Anas, Berapa jumlah mereka yang engkau lihat ?, Beliau
berkata : Sekitar tujuh puluh orang”. (Hadits riwayat Bukhori no 69 dan Muslim no
2279).
Kalau memang wajib, lantas bagaimana jika seseorang lupa mengucapkannya ketika
akan berwudlu dan dia baru ingat di tengah dia berwudlu atau bagaimana jika dia
baru ingat setelah berwudlu. Jawabnya :
Jika dia ingat di tengah berwudlu, maka dia tidak perlu mengulangi wudlunya tapi
terus melanjutkan wudlunya karena membaca “bismillah” bukan merupakan syarat
wudlu. Dan jika dia mengingatnya setelah selesai berwudlu maka wudlunya sah,
karena Allah tidak membebani apa yang tidak disanggupi oleh umatnya.
Berkata Syaikh Ali Bassam : “Disunnahkan mencuci dua tangan tiga kali hingga ke
pergelangan tangan sebelum memasukkan kedua tangan tersebut ke dalam air
tempat wudlu, dan ini merupakan sunnah menurut ijma’. Dan dalil bahwa mencuci
18
Namun pendalilan ini sangat lemah. Yang dimaksud dengan sunnah dalam hadits
tersebut adalah “toriqoh” bukan sunnah menurut istilah fiqh (sesuatu yang jika
dikerjakan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa), karena istilah
ini adalah istilah yang baru.
– Allah ta’ala berfirman (Dan cucilah wajah-wajah kalian), sedangkan mulut dan
hidung termasuk wajah jadi termasuk dalam keumuman perintah Allah ta’ala.
Dan juga hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Daruqutni dari hadits Laqith
bin Sobroh, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
5.Mencuci wajah
19
Hukumnya adalah wajib. Dan definisi wajah secara syar’i tidak dijelaskan oleh
Syari’at oleh karena itu kita kembalikan kepada maknanya secara bahasa. Wajah
adalah apa yang dengannya timbul muwajahah/muqobalah (saling berhadapan).
Dan batasannya adalah dari tempat biasanya tumbuh rambut kepala hingga ke
ujung bawah dagu (secara vertikal), dan dari telinga ke telinga (secara horizontal).
(Taudihul Ahkam 1/170)
ي َكانَ إِ َذا تَ َوضَّأ َ أَ َخ َذ َكفًّا ِم ْن َما ٍء فَأ َ ْد َخلَهُ تَحْ تَ َحنَ ِك ِه فَخَلَّ َل ِب ِه لِحْ يَتَهُ َوقَا َل هَ َك َذا أَ َم َرنِ ْي َربِّي َع َّز َو َج َّل
َّ ِأَ َّن النَّب
– Jika jenggot tersebut tipis sehingga kelihatan kulit wajah (dagu), maka hukumnya
wajib menyela-nyela jenggot hingga mencuci kulit wajah yang nampak tersebut dan
juga mencuci pangkal jenggot.
– Jika jenggot tersebut tebal sehingga tidak nampak kulit wajah (dagu), maka
hukum menyela-nyela janggut bagian dalam (pangkal jenggot) dan mencuci kulit
wajah adalah sunnah tidak wajib. Karena termasuk hukum bagian dalam yang
tersembunyi. Adapun bagian luar jenggot maka wajib dicuci karena dia merupakan
perpanjangan wajah (Tadihul Ahkam 1/177 dan Syarhul Mumti’ 1/140 )
Dicuci dari ujung-ujung jari hingga ke siku Tangan kanan terlebih dahulu tiga kali,
kemudian baru tangan kiri.
Sebab إِلَىmenurut para ahli nahwu bisa berarti akhir dari puncak, baik untuk waktu
maupun tempat. Misalnya untuk waktu ( ثُ َّم أَتِ ُّموا الصِّ يَا َم إِلَى اللي ِْلLalu sempurnakanlah puasa
20
Adapun yang datang setelah إِلَىmaka boleh masuk kepada yang sebelum إِلَى
(sehingga ketika itu إِلَىbermakna َم َعsebagaimana firman Allah ta’ala َوالَتَأْ ُكلُوْ ا أَ ْم َوالَهُ ْم إِلَى
أَ ْم َولِ ُك ْم ) dan bisa juga tidak masuk kepada apa yang sebelum إِلَى, dan ini semua
diketahui dengan qorinah (indikasi) (Taudihul Ahkam 1/160). Adapun dalam
permasalahan ini yang benar bahwasanya siku masuk dalam daerah cucian dengan
adanya qorinah dari hadits yang menunjukan akan hal itu. Diantaranya :
َكانَ النَّبِ ُّي إِ َذا تَ َوضَّأ َ أَدَا َر ْال َما َء َعلَى ِمرْ فَقَ ْي ِه: ع َْن َجابِ ٍر قَا َل
Dari Jabir berkata :”Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berwudlu, beliau
memutar air ke kedua sikunya” (Diriwayatkan oleh Darqutni dengan sanad yang
dho’if) Tapi haditsnya dhoif (Taudihul Ahkam 1/191)
Abu Huroiroh berwudlu maka dia mencuci tangannya hingga naik ke lengan atas dan
dia mencuci kakinya hingga naik ke betisnya, lalu dia berkata : “Demikianlah aku
melihat Rosulullah berwudlu” (Hadits shohih riwayat Muslim, Irwaul Golil no 94)
Untuk masalah ini (memanjangkan daerah wudlu hingga ke lengan atas dan betis
demikian juga ke leher ketika mencuci wajah) ada khilaf dikalangan para ulama.
Jumhur ulama (Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah) berpendapat bahwa hal ini
disunnahkan. Imam Nawawi berkata : “Telah bersepakat para sahabat kami atas
mencuci apa yang di atas kedua siku dan kedua mata kaki” Namun mereka berbeda
pendapat tentang batasan panjangnya tersebut. Mereka berdalil dengan hadits Abu
Huroiroh t dalam riwayat yang lain :
– Seluruh sahabat yang mensifatkan wudlu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
menyebutkan kecuali hanya sampai kedua siku dan kedua mata kaki
– Dalam ayat (Al-Maidah :6) tempat anggota wudlu hanya dibatasi pada siku dan
dua mata kaki
Adapun perkataan :”Barang siapa yang mampu untuk memanjangkan, dst…..”, ini
bukanlah perkataan Rosululah r tetapi merupakan mudroj (tambahan perkataan)
dari Abu Huroiroh t. Dalam musnad Imam Ahmad, Nu’aim Al-Mujmiri perowi hadits
ini berkata : “Aku tidak tahu perkataan (“Barang siapa yang mampu untuk
memanjangkan gurrohnya hendaklah dia melakukannya”) merupakan perkataan
Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau perkataan Abu Huroiroh”. Berkata Ibnul
Qoyyim :”Tambahan ini adalah mudroj dari perkataan Abu Huroiroh t bukan dari
perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal ini telah dijelaskan oleh banyak
Hafiz”. Bahkan dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim(no 250)
dari Abi Hazim, beliau berkata : “Aku dibelakang Abu Huroiroh t dan dia sedang
berwudlu untuk sholat, dan dia mencuci tangannya hingga ke ketiaknya. Maka aku
berkata kepadanya :”Wahai Abu Huroiroh, wudlu apa ini?”, maka beliau
berkata :”Wahai Bani Farrukh, apakah engkau disini?, Kalau aku tahu engkau di sini
maka aku tidak akan berwudlu seperti ini. Aku telah mendengar kekasihku (yaitu
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) bersabda : Panjangnya perhiasan seorang
mukmin tergantung panjangnya wudlu”. Hadits ini jelas menunjukan bahwa wudlu
yang dilakukan oleh Abu Huroiroh t hanyalah ijtihad beliau t saja.
– Kalau kita terima hadits ini, maka kita harus mencuci wajah hingga ke rambut.
Dan ini tidak lagi disebut gurroh. Karena yang namanya gurroh hanyalah di wajah
saja. (Lihat penjelasan Ibnul Qoyyim dalam Irwaul Golil 1/133). Demikian juga kita
harus mencuci tangan kita hingga ke lengan atas. Orang yang membolehkan hal ini
berdalil dengan hadits Abu Huroiroh bahwa Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
Namun ini tidaklah benar karena namanya perhiasan hanyalah dipakai di lengan
bawah bukan di lengan atas.
Caranya sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdullah bin Zaid. Dan cukup diusap
tidak boleh dicuci. Barang siapa yang mencucinya maka dia telah menyelisihi
perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah mewajibkan kita untuk mengusap
bukan mencuci karena mencuci kepala bisa memberatkan kaum muslimin, terutama
ketika musim dingin. Selain itu jika kepala sering dalam keadaan basah maka bisa
menimbulkan penyakit. Dan perbedaan antara mengusap dan mencuci yaitu
mencuci membutuhkan aliran air sedangkan mengusap tidak.(Syarhul Mumti’ 1/150)
Dan disunnahkan mengusap kepala hanya sekali, namun boleh terkadang juga tiga
kali, sebagaimana telah shohih dari Utsman t bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah mengusap kepalanya tiga kali. (Shohih Sunan Abu Dawud no 95, lihat
Tamamul Minnah hal 91).
22
Para ulama berselisih tentang wajibnya mengusap seluruh kepala. Abu Hanifah dan
As-Syafi’i berpendapat akan bolehnya mengusap sebagian kepala, karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah hanya mengusap ubun-ubun beliau ketika
berwudlu. Selain itu huruf بyang terdapat dalam ayat ( )بِ ُر ُؤوْ ِس ُك ْمbisa bermakna
“sebagian”.
Sedangkan Imam Malik dan Imam Ahmad akan wajibnya mengusap seluruh kepala
karena demikianlah yang ada dalam hadits-hadits yang shohih dan hasan. Syaikhul
Islam berkata : “Tidak dinukil dari seorang sahabatpun bahwasanya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mencukupkan membasuh sebagian kepala” Berkata Ibnul
Qoyyim ;”Tidak ada sama sekali satu haditspun yang shohih bahwasanya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencukupkan membasuh sebagian kepala”
(Taudihul Ahkam 1/169). Dan inilah pendapat yang rojih karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengusap ubun-ubunnya ketika dia memakai sorban, sebagaimana
dalam hadits:
Dari Mugiroh bin Syu’bah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudlu’
lalu beliau mengusap ubun-ubunnya dan atas sorbannya dan kedua khufnya.
(Riwayat Muslim)
Sedangkan makna بuntuk makna tab’id (sebagian) tidak ada dalam bahasa Arab
sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Utsaimin (Syarhul mumti’ 1/151)
Dan dalam mengusap kepala disertai dengan mengusap kedua telinga. Sesuai
dengan hadits.
َوأَ ْد َخ َل إِصْ بَ َع ْي ِه ال َّسبَا َحتَي ِْن فِ ْي أُ ُذنَ ْي ِه َو َم َس َح ِبإِ ْبهَا َم ْي ِه ظَا ِه َر أُ ُذنَ ْي ِه، ثُ َّم َم َس َح ِب َر ْأ ِس ِه: صفَ ِة ْال ُوضُوْ ِء قَا َل
ِ فِ ْي، ع َْن َع ْب ِد هللاِ ب ِْن َع ْم ٍرو
Dari Abdillah bin ‘Amr tentang sifat wudlu, berkata : “Kemudian Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengusap kepalanya dan memasukkan kedua jari telunjuknya
kedalam kedua telinganya dan mengusap bagian luar kedua telinganya dengan
kedua ibu jarinya” (Hadits hasan diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i dan
dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah).(Taudihul Ahkam 1/166)
Dan ketika mengusapnya tidak perlu air yang baru. Berkata Ibnul Qoyyim :”Tidak
ada riwayat yang tsabit dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau
mengambil air yang baru untuk mengusap kedua telinganya”. Sedangkan hadits
yang diriwayatkan oleh Baihaqi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil
air yang baru bukan dari air bekas mengusap kepalanya adalah dlo’if. Yang shohih
yaitu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepalanya dengan air
yang bukan sisa (untuk mencuci) kedua tangannya. (Taudlihul Ahkam 1/180).
Hukum mengusap kedua telinga adalah wajib karena (Taudlihul Ahkam 1/168) :
· Termasuk dari keumuman perintah dalam ayat ( ) َوا ْم َسحُوْ ا بِ ُر ُؤوْ ِس ُك ْم, dan telinga
termasuk kepala (baik menurut bahasa, ‘urf, mapun syar’i), sebagaimana hadits :
س ْ ِ ( األُ ُذنkedua telinga itu termasuk kepala, lihat As-Shohihah no 36, dan
ِ َان ِمنَ الرَّأ
pendapat akan sunnahnya (tidak wajib) timbul karena menganggap hadits ini
lemah).
· Hikmah diusapnya telinga selain untuk sempurnanya kebersihan telinga baik
yang luar maupun yang dalam, juga membersihkan dosa-dosa yang telah dilakukan
oleh telinga.
8. Mencuci kaki kanan tiga kali hingga mata kaki, dan demikian pula yang
kiri.
Mencuci kedua kaki hukumnya adalah wajib, sesuai perintah Allah ta’ala َوأَرْ َجلَ ُك ْم إِلَى
…( ْال َك ْعبَي ِْنDan kaki-kaki kalian hingga ke mata kaki). Dan cara mencucinya yaitu
mencuci dari ujung-ujung jari kaki hingga (bersama) mata kaki sebagaimana
disebutkan dalam ayat. Dan ini telah disepakati oleh Ahlus-Sunnah wal jama’ah.
Berbeda halnya dengan Syi’ah. Mereka beranggapan bahwa mengusap kaki
sudahlah cukup dan tidak usah sampai ke mata kaki tapi cukup ke punggung kaki.
Dalil mereka yaitu :
– Adanya qiroat lain dalam ayat ( ) َوأَرْ َجلِ ُك ْمyaitu dengan dikasrohkan huruf لtidak di
fathah sehingga atofnya kepada kepala bukan pada wajah. Ini menunjukkan bahwa
hukum kaki sama dengan hukum kepala (sama-sama diusap).
– Ka’ab yang disebutkan dalam ayat datang dalam bentuk mutsanna (yang
menunjukan dua), padahal jumlah ka’ab untuk dua kaki adalah empat. Sehingga
makna ka’ab dalam ayat bukanlah mata kaki tetapi punggung kaki. (Syarhul mumti’
1/153)
– Qiro’ah yang tujuh adalah dengan memfathahkan huruf ل. Dan qiro’ah ini jelas
menunjukan akan wajibnya. Adapun riwayat yang dikasrohkan ل, walaupun shohih
namun tidak merubah hukum. Dan hal ini boleh dalam bahasa arab yaitu أَرْ ج ُِل
dikasrohkan karena mujawaroh (bertetangga) dengan س ِ ْ بِ ُر ُؤو. Sebagaimana dalam
َ َ ) َعذ. أَلِي ٍْمmerupakan sifat dari اب
firman Allah ta’ala dalam surat Hud ayat 26 ( اب يَوْ ٍم ألِي ٍْم َ َ َع َذ
tetapi dia majrur karena bertetangga dengan يَوْ ٍم.(Syarhus Sunnah 1/430)
– Kalaupun qiro’ah yang dikasroh merubah hukum maka bisa dibawakan bagi
hukum mengusap kaki ketika memakai khuf. (Syarhul mumti’ 1/176)
24
– Kalau boleh membasuh kaki maka bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
فَ َج َع ْلنَا نَ ْم َس ُح،ُصالَةُ ْال َعصْ ِر َونَحْ نُ نَتَ َوضَّأ َ ،ُصالَة َّ فَأ َ ْد َر َكنَا َوقَ ْد أَرْ هَقَ ْتنَا ال،ُ فِ ْي َسفَ ٍر َسفَرْ نَاه ِ تَ َخلَّفَ َعنَّا َرسُوْ ُل هللا: ع َْن َع ْب ِد هللاِ ب ِْن َع ْم ٍرو قَا َل
ار
ِ َّ ن ال َنمِ ِ ب اَ ق ْ
ع َ أل ل
ِ َل
ُ ْ
ي و ”: ه
ِِ ت ص
َْو ى َ ل ْ
ع َ أِ ب َ ا َان
د َا نَ ف ،َا ” َعلَى أَرْ ُجلِن
Dari Abdullah bin Amr berkata : “Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketinggalan
dari kami dalam suatu safar yang kami bersafar bersama beliau, lalu (setelah
menyusul kami-pent) beliau mendapati kami – (dan ketika itu) telah datang waktu
sholat yaitu sholat asar- kami sedang berwudlu, maka kami mengusap kaki-kaki
kami. Lalu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berteriak kepada kami dengan
suaranya yang keras :”Celakalah tumit-tumit (yang tidak terkena air wudlu) dengan
api” (Hadits shohih riwayat Bukhori dan Muslim)
Kalau memang mengusap kaki boleh tentu tidak mengapa tumit tidak terkena air.
– Mencuci kaki harus sampai mata kaki, sebagaimana dijelaskan oleh hadits Abu
Huroiroh
Abu Huroiroh berwudlu maka dia mencuci tangannya hingga naik ke lengan atas dan
dia mencuci kakinya hingga naik ke betisnya, lalu dia berkata : “Demikianlah aku
melihat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudlu” (Hadits shohih riwayat
Muuslim, irwaul golil no 94)
Dan tidak mungkin mencuci betis kecuali juga mencuci mata kaki. Dan kalau cuma
diusap sampai punggung kaki maka tumit boleh tidak terkena air. Dan ini
bertentangan dengan hadits Abdullah bin Amr di atas.
Perlu diingat ketika mencuci kaki disunnahkan untuk menyela jari-jari kaki dan juga
jari-jari tangan (Taudihul Ahkam 1/175), sebagaimana hadits :
Adapun menyela jari-jari kaki dengan jari tangan yang kelingking, maka ini
hanyalah istihsan dari para ulama dan tidak bisa dikatakan sunnah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Berkata Ibnul Qoyyim dalam zadul ma’ad :”…Dalam (kitab) sunan
dari Mustaurid bin Syadad berkata : “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berwudlu dan dia menggosok jari-jari kakinya dengan jari tangan kelingkingnya”
Kalau riwayat ini benar [1]¨) maka sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
hanya melakukannya sekali-kali. Oleh karena itu sifat seperti tidak diriwayatkan oleh
para sahabat yang memperhatikan wudlu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti
Utsman, Abdullah bin Zaid dan selain keduanya. Lagipula dalam riwayat tersebut
ada Abdullah bin Lahiah.” (Syarhul Mumti’ 1/143).
25
ْ ِإالَّ فُتِ َح,ُك لَهُ َو أَ ْشهَ ُد أَ َّن ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َورَسوْ لُه َّ ُ
ُت لَهُ أبْوأب ِ أَ ْشهَ ُد أَ ْن الَ إِلهَ إِالَ هللاُ َوحْ َدهُ الَ ش: َما ِم ْن ُك ْم ِم ْن أَ َح ٍد يَتَ َوضَّأ فَيُ ْسبِ ُغ ْال ُوضُوْ َء ثُ َّم يَقُوْ ُل
َ َر ْي
ْال َجنَّ ِة الثَّ َمانِيَةُ يَ ْد ُخ ُل ِم ْن أَيِّهَا شَا َء
“Tidak ada seorang pun dari kalian yang berwudlu lalu menyempurnakan wudlunya
kemudian berkata :
kecuali akan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang delapan dan dia masuk dari
pintu mana saja yang dia sukai”. (Hadits riwayat Muslim, irwaul golil no 96)
َأللَّهُ َّم اجْ َع ْلنِي ِمنَ التَّوَّابِ ْينَ َواجْ َع ْلنِي ِمنَ ْال ُمتَطَه ِِّر ْين
Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku
termasuk orang-orang yang bersih.
Sebagian ulama menganggap tambahan ini dhoif karena idtirob sanadnya, namun
yang benar tambahan ini adalah shohih menurut Syaikh Al-Albani (Tamamul Minnah
hal 96).
(Dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri, lihat Irwaul golil 1/135 dan 2/94)
…. bersambung
[1] Dan hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Al-Bani dalam shohihul jami’ no 4576