Anda di halaman 1dari 20

MANDI DAN TATACARANYA

Ustadz. Burhanuddin Hartono, M.Pd.I


Niat, Syarat Sahnya Mandi

Para ulama mengatakan bahwa di antara fungsi niat adalah untuk membedakan
manakah yang menjadi kebiasaan dan manakah ibadah. Dalam hal mandi tentu saja
mesti dibedakan dengan mandi biasa. Pembedanya adalah niat. Dalam hadits dari
‘Umar bin Al Khattab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫إِنَّ َما األَ ْع َما ُل بِالنِّيَّا‬


‫ت‬
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari no. 1 dan
Muslim no. 1907)

Rukun Mandi

Hakikat mandi adalah mengguyur seluruh badan dengan air, yaitu mengenai
rambut dan kulit.

Inilah yang diterangkan dalam banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antaranya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menceritakan tata
cara mandi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

‫ثُ َّم يُفِيضُ ْال َما َء َعلَى َج َس ِد ِه ُكلِّ ِه‬


“Kemudian beliau mengguyur air pada seluruh badannya.” (HR. An Nasa-i no.
247. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Penguatan makna dalam hadits ini


menunjukkan bahwa ketika mandi beliau mengguyur air ke seluruh tubuh.”[1]

Dari Jubair bin Muth’im berkata, “Kami saling memperbincangkan tentang mandi
janabah di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda,

ُ ‫أَ َّما أَنَا فَآ ُخ ُذ ِملْ َء َكفِّى ثَالَثا ً فَأَصُبُّ َعلَى َر ْأ ِسى ثُ َّم أُفِي‬
‫ضهُ بَ ْع ُد َعلَى َسائِ ِر َج َس ِدى‬
“Saya mengambil dua telapak tangan, tiga kali lalu saya siramkan pada kepalaku,
kemudian saya tuangkan setelahnya pada semua tubuhku.” (HR. Ahmad 4/81.
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai
syarat Bukhari Muslim)

Dalil yang menunjukkan bahwa hanya mengguyur seluruh badan dengan air itu
merupakan rukun (fardhu) mandi dan bukan selainnya adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Ummu Salamah. Ia mengatakan,

‫ال « الَ إِنَّ َما‬ ُ ُ‫ض ْف َر َر ْأ ِسى فَأ َ ْنق‬


َ َ‫ضهُ لِ ُغ ْس ِل ْال َجنَابَ ِة ق‬ َ ‫ُول هَّللا ِ إِنِّى ا ْم َرأَةٌ أَ ُش ُّد‬ ُ ‫قُ ْل‬
َ ‫ت يَا َرس‬
.» ‫ين‬ ْ َ‫ْك ْال َما َء فَت‬
َ ‫طه ُِر‬ ِ ‫ين َعلَي‬ ِ ِ‫ت ثُ َّم تُف‬
َ ‫يض‬ ٍ ‫ث َحثَيَا‬ ِ ‫يك أَ ْن تَحْ ثِى َعلَى َر ْأ ِس‬
َ َ‫ك ثَال‬ ِ ِ‫يَ ْكف‬
“Saya berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang mengepang rambut
kepalaku, apakah aku harus membuka kepangku ketika mandi junub?” Beliau
bersabda, “Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu
tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya dengan air, maka kamu telah suci.”
(HR. Muslim no. 330)

Dengan seseorang memenuhi rukun mandi ini, maka mandinya dianggap sah,
asalkan disertai niat untuk mandi wajib (al ghuslu). Jadi seseorang yang mandi di
pancuran atau shower dan air mengenai seluruh tubuhnya, maka mandinya sudah
dianggap sah.

Adapun berkumur-kumur (madhmadhoh), memasukkan air dalam hidung


(istinsyaq) dan menggosok-gosok badan (ad dalk) adalah perkara yang
disunnahkan menurut mayoritas ulama.[2]

Tata Cara Mandi yang Sempurna

Berikut kita akan melihat tata cara mandi yang disunnahkan. Apabila hal ini
dilakukan, maka akan membuat mandi tadi lebih sempurna. Yang menjadi dalil
dari bahasan ini adalah dua dalil yaitu hadits dari ‘Aisyah dan hadits dari
Maimunah.

Hadits pertama:

َّ ِ‫ج النَّبِ ِّى – صلى هللا عليه وسلم – أَ َّن النَّب‬


– ‫ى – صلى هللا عليه وسلم‬ ِ ‫َع ْن َعائِ َشةَ َز ْو‬
َّ ‫ ثُ َّم يَتَ َوضَّأ ُ َك َما يَتَ َوضَّأ ُ لِل‬، ‫ان إِ َذا ا ْغتَ َس َل ِم َن ْال َجنَابَ ِة بَ َدأَ فَ َغ َس َل يَ َد ْي ِه‬
‫ ثُ َّم يُ ْد ِخ ُل‬، ‫صالَ ِة‬ َ ‫َك‬
َ َ‫ُول َش َع ِر ِه ثُ َّم يَصُبُّ َعلَى َر ْأ ِس ِه ثَال‬
ٍ ‫ث ُغ َر‬
، ‫ف بِيَ َد ْي ِه‬ َ ‫ فَي َُخلِّ ُل بِهَا أُص‬، ‫صابِ َعهُ فِى ْال َما ِء‬
َ َ‫أ‬
‫ثُ َّم يُفِيضُ ْال َما َء َعلَى ِج ْل ِد ِه ُكلِّ ِه‬
Dari ‘Aisyah, isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa jika Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi junub, beliau memulainya dengan mencuci
kedua telapak tangannya. Kemudian beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk
shalat. Lalu beliau memasukkan jari-jarinya ke dalam air, lalu menggosokkannya
ke kulit kepalanya, kemudian menyiramkan air ke atas kepalanya dengan cidukan
kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengalirkan air ke
seluruh kulitnya.” (HR. Bukhari no. 248 dan Muslim no. 316)

Hadits kedua:

‫ُول هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – َما ًء‬ َ ‫ت َم ْي ُمونَةُ َو‬
ُ ‫ضع‬
ِ ‫ْت لِ َرس‬ Ÿْ َ‫ال قَال‬
َ َ‫س ق‬
ٍ ‫َع ِن ا ْب ِن َعبَّا‬
‫ ثُ َّم أَ ْف َر َغ ِبيَ ِمينِ ِه َعلَى‬، ‫ فَ َغ َسلَهُ َما َم َّرتَ ْي ِن َم َّرتَ ْي ِن أَ ْو ثَالَثًا‬، ‫ فَأ َ ْف َر َغ َعلَى يَ َد ْي ِه‬، ‫يَ ْغتَ ِس ُل بِ ِه‬
‫ ثُ َّم َغ َس َل‬، ‫ق‬
َ ‫ض َوا ْستَ ْن َش‬ ِ ْ‫ك يَ َدهُ بِاألَر‬
َ ‫ ثُ َّم َمضْ َم‬، ‫ض‬ َ َ‫ ثُ َّم َدل‬، ُ‫يره‬
َ ‫ فَ َغ َس َل َم َذا ِك‬، ‫ِش َمالِ ِه‬
‫ ثُ َّم تَنَحَّى ِم ْن َمقَا ِم ِه فَ َغ َس َل‬، ‫ ثُ َّم أَ ْف َر َغ َعلَى َج َس ِد ِه‬، ‫َوجْ هَهُ َويَ َد ْي ِه ثُ َّم َغ َس َل َر ْأ َسهُ ثَالَثًا‬
‫قَ َد َم ْي ِه‬
Dari Ibnu ‘Abbas berkata bahwa Maimunah mengatakan, “Aku pernah
menyediakan air mandi untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu
beliau menuangkan air pada kedua tangannya dan mencuci keduanya dua kali-dua
kali atau tiga kali. Lalu dengan tangan kanannya beliau menuangkan air pada
telapak tangan kirinya, kemudian beliau mencuci kemaluannya. Setelah itu beliau
menggosokkan tangannya ke tanah. Kemudian beliau berkumur-kumur dan
memasukkan air ke dalam hidung. Lalu beliau membasuh muka dan kedua
tangannya. Kemudian beliau membasuh kepalanya tiga kali dan mengguyur
seluruh badannya. Setelah itu beliau bergeser dari posisi semula lalu mencuci
kedua telapak kakinya (di tempat yang berbeda).” (HR. Bukhari no. 265 dan
Muslim no. 317)

Dari dua hadits di atas, kita dapat merinci tata cara mandi yang disunnahkan
sebagai berikut.

Pertama: Mencuci tangan terlebih dahulu sebanyak tiga kali sebelum tangan
tersebut dimasukkan dalam bejana atau sebelum mandi.
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah mengatakan, “Boleh jadi tujuan untuk
mencuci tangan terlebih dahulu di sini adalah untuk membersihkan tangan dari
kotoran … Juga boleh jadi tujuannya adalah karena mandi tersebut dilakukan
setelah bangun tidur.”[3]

Kedua: Membersihkan kemaluan dan kotoran yang ada dengan tangan kiri.

Ketiga: Mencuci tangan setelah membersihkan kemaluan dengan menggosokkan


ke tanah atau dengan menggunakan sabun.

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Disunnahkan bagi orang yang beristinja’


(membersihkan kotoran) dengan air, ketika selesai, hendaklah ia mencuci
tangannya dengan debu atau semacam sabun, atau hendaklah ia menggosokkan
tangannya ke tanah atau tembok untuk menghilangkan kotoran yang ada.”[4]

Keempat: Berwudhu dengan wudhu yang sempurna seperti ketika hendak shalat.

Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Adapun mendahulukan mencuci


anggota wudhu ketika mandi itu tidaklah wajib. Cukup dengan seseorang
mengguyur badan ke seluruh badan tanpa didahului dengan berwudhu, maka itu
sudah disebut mandi (al ghuslu).”[5]

Untuk kaki ketika berwudhu, kapankah dicuci?

Jika kita melihat dari hadits Maimunah di atas, dicontohkan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwa beliau membasuh anggota wudhunya dulu sampai
membasuh kepala, lalu mengguyur air ke seluruh tubuh, sedangkan kaki dicuci
terakhir. Namun hadits ‘Aisyah menerangkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berwudhu secara sempurna (sampai mencuci kaki), setelah itu beliau
mengguyur air ke seluruh tubuh.

Dari dua hadits tersebut, para ulama akhirnya berselisih pendapat kapankah kaki
itu dicuci. Yang tepat tentang masalah ini, dua cara yang disebut dalam hadits
‘Aisyah dan Maimunah bisa sama-sama digunakan. Yaitu kita bisa saja mandi
dengan berwudhu secara sempurna terlebih dahulu, setelah itu kita mengguyur air
ke seluruh tubuh, sebagaimana disebutkan dalam riwayat ‘Aisyah. Atau boleh jadi
kita gunakan cara mandi dengan mulai berkumur-kumur, memasukkan air dalam
hidup, mencuci wajah, mencuci kedua tangan, mencuci kepala, lalu mengguyur air
ke seluruh tubuh, kemudian kaki dicuci terakhir.
Syaikh Abu Malik hafizhohullah mengatakan, “Tata cara mandi (apakah dengan
cara yang disebut dalam hadits ‘Aisyah dan Maimunah) itu sama-sama boleh
digunakan, dalam masalah ini ada kelapangan.”[6]

Kelima: Mengguyur air pada kepala sebanyak tiga kali hingga sampai ke pangkal
rambut.

Keenam: Memulai mencuci kepala bagian kanan, lalu kepala bagian kiri.

Ketujuh: Menyela-nyela rambut.

Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha disebutkan,

َ ‫ َوتَ َوضَّأ‬، ‫ان َرسُو ُل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – إِ َذا ا ْغتَ َس َل ِم َن ْال َجنَابَ ِة َغ َس َل يَ َد ْي ِه‬
َ ‫َك‬
، ُ‫ َحتَّى إِ َذا ظَ َّن أَ ْن قَ ْد أَرْ َوى بَ َش َرتَه‬، ُ‫ ثُ َّم ي َُخلِّ ُل ِبيَ ِد ِه َش َع َره‬، ‫صالَ ِة ثُ َّم ا ْغتَ َس َل‬
َّ ‫ُوضُو َءهُ لِل‬
‫ ثُ َّم َغ َس َل َسائِ َر َج َس ِد ِه‬، ‫ت‬ َ َ‫اض َعلَ ْي ِه ْال َما َء ثَال‬
ٍ ‫ث َمرَّا‬ َ َ‫أَف‬
“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mandi junub, beliau mencuci
tangannya dan berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Kemudian beliau
mandi dengan menggosok-gosokkan tangannya ke rambut kepalanya hingga bila
telah yakin merata mengenai dasar kulit kepalanya, beliau mengguyurkan air ke
atasnya tiga kali. Lalu beliau membasuh badan lainnya.” (HR. Bukhari no. 272)

Juga ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

‫ ثُ َّم تَأْ ُخ ُذ بِيَ ِدهَا َعلَى ِشقِّهَا‬، ‫ق َر ْأ ِسهَا‬ ْ ‫ أَ َخ َذ‬، ٌ‫ت إِحْ َدانَا َجنَابَة‬
َ ‫ت بِيَ َد ْيهَا ثَالَثًا فَ ْو‬ َ َ‫ُكنَّا إِ َذا أ‬
ْ َ‫صاب‬

‫ َوبِيَ ِدهَا األُ ْخ َرى َعلَى ِشقِّهَا األَ ْي َس ِر‬، ‫األَ ْي َم ِن‬
“Jika salah seorang dari kami mengalami junub, maka ia mengambil air dengan
kedua tangannya dan disiramkan ke atas kepala, lalu mengambil air dengan
tangannya dan disiramkan ke bagian tubuh sebelah kanan, lalu kembali
mengambil air dengan tangannya yang lain dan menyiramkannya ke bagian tubuh
sebelah kiri.” (HR. Bukhari no. 277)

Kedelapan: Mengguyur air pada seluruh badan dimulai dari sisi yang kanan setelah
itu yang kiri.
Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

ِ ‫ْجبُهُ التَّيَ ُّم ُن فِى تَنَ ُّعلِ ِه َوتَ َرجُّ لِ ِه َوطُه‬


‫ُور ِه َوفِى‬ ِ ‫ان النَّبِ ُّى – صلى هللا عليه وسلم – يُع‬
َ ‫َك‬
‫َشأْنِ ِه ُكلِّ ِه‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mendahulukan yang kanan ketika
memakai sendal, ketika bersisir, ketika bersuci dan dalam setiap perkara (yang
baik-baik).”  (HR. Bukhari no. 168 dan Muslim no. 268)

Mengguyur air ke seluruh tubuh di sini cukup sekali saja sebagaimana zhohir
(tekstual) hadits yang membicarakan tentang mandi. Inilah salah satu pendapat dari
madzhab Imam Ahmad dan dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[7]

Bagaimanakah Tata Cara Mandi pada Wanita?

Tata cara mandi junub pada wanita sama dengan tata cara mandi yang diterangkan
di atas sebagaimana telah diterangkan dalam hadits Ummu Salamah, “Saya
berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku,
apakah aku harus membuka kepangku ketika mandi junub?” Beliau bersabda,
“Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu tiga kali,
kemudian guyurlah yang lainnya dengan air, maka kamu telah suci.” (HR. Muslim
no. 330)

Untuk mandi karena haidh dan nifas, tata caranya sama dengan mandi junub
namun ditambahkan dengan beberapa hal berikut ini:

Pertama: Menggunakan sabun dan pembersih lainnya beserta air.

Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

‫ال « تَأْ ُخ ُذ إِحْ َدا ُك َّن‬ ِ ‫ َع ْن ُغس ِْل ْال َم ِح‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬
َ َ‫يض فَق‬ ِ َ‫أَ َّن أَ ْس َما َء َسأَل‬
َّ ِ‫ت النَّب‬
‫ُور ثُ َّم تَصُبُّ َعلَى َر ْأ ِسهَا فَتَ ْدلُ ُكهُ َد ْل ًكا َش ِديدًا َحتَّى‬ ُّ ‫َما َءهَا َو ِس ْد َرتَهَا فَتَطَهَّ ُر فَتُحْ ِس ُن‬
َ ‫الطه‬
َ ْ‫ ثُ َّم تَأْ ُخ ُذ فِر‬.‫ون َر ْأ ِسهَا ثُ َّم تَصُبُّ َعلَ ْيهَا ْال َما َء‬
ْ َ‫ فَقَال‬.» ‫صةً ُم َم َّس َكةً فَتَطَهَّ ُر بِهَا‬
‫ت‬ َ ُ‫تَ ْبلُ َغ ُشئ‬
‫ت َعائِ َشةُ َكأَنَّهَا تُ ْخفِى‬ َ ‫ان هَّللا ِ تَطَه َِّر‬
ْ َ‫ فَقَال‬.» ‫ين بِهَا‬ َ ‫أَ ْس َما ُء َو َكي‬
َ َ‫ْف تَطَهَّ ُر بِهَا فَق‬
َ ‫ال « ُس ْب َح‬
‫ َو َسأَلَ ْتهُ َع ْن ُغس ِْل ْال َجنَابَ ِة فَقَا َل « تَأْ ُخ ُذ َما ًء فَتَطَهَّ ُر فَتُحْ ِس ُن‬.‫ين أَثَ َر ال َّد ِم‬ َ ِ‫َذل‬
َ ‫ك تَتَب َِّع‬
‫ون َر ْأ ِسهَا ثُ َّم‬
َ ُ‫ُور – ثُ َّم تَصُبُّ َعلَى َر ْأ ِسهَا فَتَ ْدلُ ُكهُ َحتَّى تَ ْبلُ َغ ُشئ‬ ُّ ‫ُور – أَ ْو تُ ْبلِ ُغ‬
َ ‫الطه‬ ُّ
َ ‫الطه‬
» ‫تُفِيضُ َعلَ ْيهَا ْال َما َء‬
“Asma’ bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mandi wanita
haidh. Maka beliau bersabda, “Salah seorang dari kalian hendaklah mengambil
air dan daun bidara, lalu engkau bersuci, lalu membaguskan bersucinya.
Kemudian hendaklah engkau menyiramkan air pada kepalanya, lalu menggosok-
gosoknya dengan keras hingga mencapai akar rambut kepalanya. Kemudian
hendaklah engkau menyiramkan air pada kepalanya tadi. Kemudian engkau
mengambil kapas bermisik, lalu bersuci dengannya. Lalu Asma’ berkata,
“Bagaimana dia dikatakan suci dengannya?” Beliau bersabda, “Subhanallah,
bersucilah kamu dengannya.” Lalu Aisyah berkata -seakan-akan dia menutupi hal
tersebut-, “Kamu sapu bekas-bekas darah haidh yang ada (dengan kapas tadi)”.
Dan dia bertanya kepada beliau tentang mandi junub, maka beliau bersabda,
‘Hendaklah kamu mengambil air lalu bersuci dengan sebaik-baiknya bersuci, atau
bersangat-sangat dalam bersuci kemudian kamu siramkan air pada kepala, lalu
memijatnya hingga mencapai dasar kepalanya, kemudian mencurahkan air
padanya’.” (HR. Bukhari no. 314 dan Muslim no. 332)

Kedua: Melepas kepangan sehingga air sampai ke pangkal rambut.

Dalil hal ini adalah hadits yang telah lewat,

‫ون َر ْأسِ َها‬ ْ ‫ُث َّم َتصُبُّ َع َلى َر ْأسِ َها َف َت ْدلُ ُك ُه‬
ُ ‫دَل ًكا َشدِي ًدا َح َّتى َت ْبلُ َغ‬
َ ‫ش ُئ‬
“Kemudian hendaklah kamu menyiramkan air pada kepalanya, lalu menggosok-
gosoknya dengan keras hingga mencapai akar rambut kepalanya.” Dalil ini
menunjukkan tidak cukup dengan hanya mengalirkan air seperti halnya mandi
junub. Sedangkan mengenai mandi junub disebutkan,

‫ون َر ْأ ِسهَا ثُ َّم تُفِيضُ َعلَ ْيهَا ْال َما َء‬


َ ُ‫ثُ َّم تَصُبُّ َعلَى َر ْأ ِسهَا فَتَ ْدلُ ُكهُ َحتَّى تَ ْبلُ َغ ُشئ‬
“Kemudian kamu siramkan air pada kepala, lalu memijatnya hingga mencapai
dasar kepalanya, kemudian mengguyurkan air padanya.”

Dalam mandi junub tidak disebutkan “menggosok-gosok dengan keras”. Hal ini
menunjukkan bedanya mandi junub dan mandi karena haidh/nifas.
Ketiga: Ketika mandi sesuai masa haidh, seorang wanita disunnahkan membawa
kapas atau potongan kain untuk mengusap tempat keluarnya darah guna
menghilangkan sisa-sisanya. Selain itu, disunnahkan mengusap bekas darah pada
kemaluan setelah mandi dengan minyak misk atau parfum lainnya. Hal ini dengan
tujuan untuk menghilangkan bau yang tidak enak karena bekas darah haidh.

Perlukah Berwudhu Seusai Mandi?

Cukup kami bawakan dua riwayat tentang hal ini,

‫ان الَ يَتَ َوضَّأ ُ بَ ْع َد ْال ُغ ْس ِل‬ َّ ِ‫َع ْن َعائِ َشةَ أَ َّن النَّب‬
َ ‫ َك‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬
Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berwudhu
setelah selesai mandi.” (HR. Tirmidzi no. 107, An Nasai no. 252, Ibnu Majah no.
579, Ahmad 6/68. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar,

‫وأَيُّ ُوضُو ٍء أَ َع ُّم ِم َن ْال ُغس ِْل؟‬: َ َ‫ُسئِ َل َع ِن ْال ُوضُو ِء بَ ْع َد ْال ُغ ْس ِل؟ فَق‬
َ ‫ال‬
Beliau ditanya mengenai wudhu setelah mandi. Lalu beliau menjawab, “Lantas
wudhu yang mana lagi yang lebih besar dari mandi?” (HR. Ibnu Abi Syaibah
secara marfu’ dan mauquf[8])

Abu Bakr Ibnul ‘Arobi  berkata, “Para ulama tidak berselisih pendapat bahwa
wudhu telah masuk dalam mandi.” Ibnu Baththol juga telah menukil adanya ijma’
(kesepakatan ulama) dalam masalah ini.[9]

Penjelasan ini adalah sebagai alasan yang kuat bahwa jika seseorang sudah berniat
untuk mandi wajib, lalu ia mengguyur seluruh badannya dengan air, maka setelah
mandi ia tidak perlu berwudhu lagi, apalagi jika sebelum mandi ia sudah
berwudhu.

Apakah Boleh Mengeringkan Badan dengan Handuk Setelah Mandi?

Di dalam hadits Maimunah disebutkan mengenai tata cara mandi, lalu diakhir
hadits disebutkan,

َ َ‫ فَا ْنطَل‬، ُ‫او ْلتُهُ ثَ ْوبًا فَلَ ْم يَأْ ُخ ْذه‬


‫ق َو ْه َو يَ ْنفُضُ يَ َد ْي ِه‬ َ َ‫فَن‬
“Lalu aku sodorkan kain (sebagai pengering) tetapi beliau tidak mengambilnya,
lalu beliau pergi dengan mengeringkan air dari badannya dengan tangannya”
(HR. Bukhari no. 276). Berdasarkan hadits ini, sebagian ulama memakruhkan
mengeringkan badan setelah mandi. Namun yang tepat, hadits tersebut bukanlah
pendukung pendapat tersebut dengan beberapa alasan:

1. Perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu masih mengandung


beberapa kemungkinan. Boleh jadi beliau tidak mengambil kain (handuk)
tersebut karena alasan lainnya yang bukan maksud untuk memakruhkan
mengeringkan badan ketika itu. Boleh jadi kain tersebut mungkin sobek atau
beliau buru-buru saja karena ada urusan lainnya.
2. Hadits  ini malah menunjukkan bahwa kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah mengeringkan badan sehabis mandi. Seandainya bukan
kebiasaan beliau, maka tentu saja beliau tidak dibawakan handuk ketika itu.
3. Mengeringkan air dengan tangan menunjukkan bahwa mengeringkan air
dengan kain bukanlah makruh karena keduanya sama-sama mengeringkan.

Kesimpulannya, mengeringkan air dengan kain (handuk) tidaklah mengapa.[10]

Demikian pembahasan kami seputar mandi wajib (al ghuslu). Tata cara di atas juga
berlaku untuk mandi yang sunnah yang akan kami jelaskan pada tulisan
selanjutnya (serial ketiga atau terakhir).

Rujukan-Daftar Pustaka

[1] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 1/361, Darul Ma’rifah, 1379.

[2] Penjelasannya silakan lihat di Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/173-
174 dan 1/177-178, Al Maktabah At Taufiqiyah.

[3] Fathul Bari, 1/360.

[4] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 3/231, Dar
Ihya’ At Turots Al ‘Arobi, 1392.

[5] Ad Daroril Mudhiyah Syarh Ad Duroril Bahiyyah, Muhammad bin ‘Ali Asy
Syaukani, hal. 61, Darul ‘Aqidah, terbitan tahun 1425 H.

[6] Shahih Fiqh Sunnah, 1/175-176.


[7] Al Ikhtiyaarot Al Fiqhiyah li Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, ‘Alauddin Abul
Hasan ‘Ali bin Muhammad Al Ba’li Ad Dimasyqi Al Hambali, hal. 14, Mawqi’
Misykatul Islamiyah.

[8] Lihat Ad Daroril Mudhiyah, hal. 61

[9] Idem.

[10] Shahih Fiqh Sunnah, 1/181.

Beberapa hal yang mewajibkan untuk mandi (al ghuslu):

Pertama: Keluarnya mani dengan syahwat.

Sebagaimana dijelaskan oleh ulama Syafi’iyah, mani bisa dibedakan dari madzi
dan wadi[2] dengan melihat ciri-ciri mani yaitu: [1] baunya khas seperti bau
adonan roti ketika basah dan seperti bau telur ketika kering, [2] keluarnya
memancar, [3] keluarnya terasa nikmat dan mengakibatkan futur (lemas). Jika
salah satu syarat sudah terpenuhi, maka cairan tersebut disebut mani. Wanita sama
halnya dengan laki-laki dalam hal ini. Namun untuk wanita tidak disyaratkan air
mani tersebut memancar sebagaimana disebutkan oleh An Nawawi dalam Syarh
Muslim dan diikuti oleh Ibnu Sholah.[3]

Dalill bahwa keluarnya mani mewajibkan untuk mandi adalah firman Allah Ta’ala,

Ÿ‫َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم ُجنُبًا فَاطَّهَّرُوا‬

“Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6)

‫ َحتَّى تَ ْعلَ ُموا َما تَقُولُونَ َواَل ُجنُبًا إِاَّل عَابِ ِري َسبِي ٍل َحتَّى‬Ÿ‫ارى‬ َ ‫صاَل ةَ َوأَ ْنتُ ْم ُس َك‬
َّ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آَ َمنُوا اَل تَ ْق َربُوا ال‬
‫تَ ْغت َِسلُوا‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam
keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula
hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu
saja, hingga kamu mandi.” (QS. An Nisa’: 43)

Dalil lainnya dapat kita temukan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu
‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫إِ َّن َما ْال َما ُء م َِن ْال َما ِء‬

“Sesungguhnya (mandi) dengan air disebabkan karena keluarnya air (mani).”


(HR. Muslim no. 343)

Menurut jumhur (mayoritas) ulama, yang menyebabkan seseorang mandi wajib


adalah karena keluarnya mani dengan memancar dan terasa nikmat ketika mani itu
keluar. Jadi, jika mani tersebut keluar tanpa syahwat seperti ketika sakit atau
kedinginan, maka tidak ada kewajiban untuk mandi. Berbeda halnya dengan ulama
Syafi’iyah yang menganggap bahwa jika mani tersebut keluar memancar dengan
terasa nikmat atau pun tidak, maka tetap menyebabkan mandi wajib. Namun
pendapat yang lebih kuat adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.[4]

Lalu bagaimana dengan orang yang mimpi basah?

Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Terdapat ijma’ (kesepakatan) ulama


mengenai wajibnya mandi ketika ihtilam (mimpi), sedangkan yang menyelisihi hal
ini hanyalah An Nakho’i. Akan tetapi yang menyebabkan mandi wajib di sini ialah
jika orang yang bermimpi mendapatkan sesuatu yang basah.”[5]

Dalil mengenai hal ini adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

‫ َوع َِن ال َّر ُج ِل‬.» ‫ال « يَ ْغت َِس ُل‬ َ َ‫ ع َِن ال َّر ُج ِل يَ ِج ُد ْالبَلَ َل َوالَ يَ ْذ ُك ُر احْ تِالَ ًما ق‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ُسئِ َل َرسُو ُل هَّللا‬
‫ال « نَ َع ْم‬ َ ِ‫ت أُ ُّم ُسلَي ٍْم ْال َمرْ أَةُ تَ َرى َذل‬
َ َ‫ك أَ َعلَ ْيهَا ُغ ْس ٌل ق‬ ْ َ‫ فَقَال‬.» ‫يَ َرى أَنَّهُ قَ ِد احْ تَلَ َم َوالَ يَ ِج ُد ْالبَلَ َل قَا َل « الَ ُغ ْس َل َعلَ ْي ِه‬
.» ‫ال‬ ِ ‫ِّج‬َ ‫ق الر‬ ُ ِ‫إِنَّ َما النِّ َسا ُء َشقَائ‬

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seorang laki-laki


yang mendapatkan dirinya basah sementara dia tidak ingat telah mimpi, beliau
menjawab, “Dia wajib mandi”. Dan beliau juga ditanya tentang seorang laki-laki
yang bermimpi tetapi tidak mendapatkan dirinya basah, beliau menjawab: “Dia
tidak wajib mandi”.” (HR. Abu Daud no. 236, At Tirmidzi no. 113, Ahmad 6/256.
Dalam hadits ini semua perowinya shahih kecuali Abdullah Al Umari yang
mendapat kritikan[6]. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Juga terdapat dalil dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

َ‫ إِنَّ هَّللا َ ال‬، ِ ‫ت َيا َرسُو َل هَّللا‬


ْ َ‫ُول هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – َف َقال‬ َ ‫ت أ ُ ُّم ُسلَي ٍْم‬
ِ ‫امْرأَةُ أَ ِبى َط ْل َح َة إِلَى َرس‬ ْ ‫َجا َء‬
‫ت َف َقا َل َرسُو ُل ِ – صلى هللا عليه وسلم – « َن َع ْم‬ ‫هَّللا‬ ْ ‫ِى احْ َتلَ َم‬ َ َ ْ ْ
َ ‫ َه ْل َعلَى ال َمرْ أ ِة مِنْ ُغسْ ٍل إِذا ه‬، ‫َيسْ َتحْ ِيى م َِن ال َح ِّق‬
ْ
‫ت ال َما َء‬ َ
ِ ‫» إِ َذا َرأ‬
“Ummu Sulaim (istri dari Abu Tholhah) datang menemui Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu
terhadap kebenaran. Apakah bagi wanita wajib mandi jika ia bermimpi?” Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ya, jika dia melihat air.” (HR. Bukhari
no. 282 dan Muslim no. 313)

Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Hadits-hadits di atas adalah sanggahan


bagi yang berpendapat bahwa mandi wajib itu baru ada jika seseorang yang mimpi
tersebut merasakan mani tersebut keluar (dengan syahwat) dan yakin akan hal
itu.”[7]

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah ketika menjelaskan


hadits di atas berkata, “Pada saat itu diwajibkan mandi ketika melihat air (mani),
dan tidak disyaratkan lebih dari itu.  Hal ini menunjukkan  bahwa mandi itu wajib
jika seseorang bangun lalu mendapati air (mani), baik ia merasakannya ketika
keluar atau ia tidak merasakannya sama sekali. Begitu pula ia tetap wajib mandi
baik ia merasakan mimpi atau tidak karena orang yang tidur boleh jadi lupa (apa
yang terjadi ketika ia tidur). Yang dimaksud dengan air di sini adalah mani.”[8]

Kedua: Bertemunya dua kemaluan walaupun tidak keluar mani.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda,

َ ‫ َف َق ْد َو َج‬، ‫ش َع ِب َها األَرْ َب ِع ُث َّم َج َه َد َها‬


‫ب ْالغَسْ ُل‬ َ َ‫إِ َذا َجل‬
ُ ‫س َبي َْن‬

“Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya:


menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib
baginya mandi.” (HR. Bukhari no. 291 dan Muslim no. 348)

Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan,

ْ‫َوإِ ْن لَ ْم يُ ْن ِزل‬

“Walaupun tidak keluar mani.”

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,


ُ‫ ع َِن ال َّر ُج ِل يُ َجا ِم ُع أَ ْهلَهُ ثُ َّم يُ ْك ِس ُل هَلْ َعلَ ْي ِه َما ْال ُغ ْس ُل َوعَائِ َشة‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫إِ َّن َر ُجالً َسأ َ َل َرسُو َل هَّللا‬
.» ‫ « إِنِّى ألَ ْف َع ُل َذلِكَ أَنَا َوهَ ِذ ِه ثُ َّم نَ ْغت َِس ُل‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬ َ َ‫ فَق‬.ٌ‫َجالِ َسة‬
“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang seorang laki-laki yang menyetubuhi istrinya namun tidak sampai keluar
air mani. Apakah keduanya wajib mandi? Sedangkan Aisyah ketika itu sedang
duduk di samping, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku
sendiri pernah bersetubuh dengan wanita ini (yang dimaksud adalah Aisyah, pen)
namun tidak keluar mani, kemudian kami pun mandi.” (HR. Muslim no. 350)

Imam Asy Syafi’i rahimahullah menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan


“junub” dalam bahasa Arab dimutlakkan secara hakikat pada jima’ (hubungan
badan) walaupun tidak keluar mani. Jika kita katakan bahwa si suami junub karena
berhubungan badan dengan istrinya, maka walaupun itu tidak keluar mani
dianggap sebagai junub. Demikian nukilan dari Ibnu Hajar Al Asqolani dalam
Fathul Bari.[9]

Ketika menjelaskan hadits Abu Hurairah di atas, An Nawawi rahimahullah


mengatakan, “Makna hadits tersebut adalah wajibnya mandi tidak hanya dibatasi
dengan keluarnya mani. Akan tetapi, -maaf- jika ujung kemaluan si pria telah
berada dalam kemaluan wanita, maka ketika itu keduanya sudah diwajibkan untuk
mandi. Untuk saat ini, hal ini tidak terdapat perselisihan pendapat. Yang terjadi
perselisihan pendapat ialah pada beberapa sahabat dan orang-orang setelahnya.
Kemudian setelah itu terjadi ijma’ (kesepakatan) ulama (bahwa meskipun tidak
keluar mani ketika hubungan badan tetap wajib mandi) sebagaimana yang pernah
kami sebutkan.”[10]

Ketiga: Ketika berhentinya darah haidh dan nifas.

Dalil mengenai hal ini adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata pada Fathimah binti Abi Hubaisy,

‫صلِّى‬ ْ ‫صالَةَ َوإِ َذا أَ ْدبَ َر‬


ِ ‫ت فَا ْغ ِسلِى َع ْن‬
َ ‫ك ال َّد َم َو‬ َ ‫ت ْال َح ْي‬
َّ ‫ضةُ فَ َد ِعى ال‬ ِ َ‫فَإِ َذا أَ ْقبَل‬

“Apabila kamu datang haidh hendaklah kamu meninggalkan shalat. Apabila darah
haidh berhenti, hendaklah kamu mandi dan mendirikan shalat.” (HR. Bukhari no.
320 dan Muslim no. 333).

Untuk nifas dihukumi sama dengan haidh berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para
ulama. Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Mengenai wajibnya mandi
karena berhentinya darah haidh tidak ada perselisihan di antara para ulama. Yang
menunjukkan hal ini adalah dalil Al Qur’an dan hadits mutawatir (melalui jalur
yang amat banyak). Begitu pula terdapat ijma’ (kesepakatan) ulama mengenai
wajibnya mandi ketika berhenti dari darah nifas.”[11]
Keempat: Ketika orang kafir masuk Islam.

Mengenai wajibnya hal ini terdapat dalam hadits dari Qois bin ‘Ashim
radhiyallahu ‘anhu,

‫ر‬Ÿٍ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَ ْن يَ ْغت َِس َل بِ َما ٍء َو ِس ْد‬


َ ‫أَنَّهُ أَ ْسلَ َم فَأ َ َم َرهُ النَّبِ ُّي‬

“Beliau masuk Islam, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


memerintahkannya untuk mandi dengan air dan daun sidr (daun bidara).” (HR.
An Nasai no. 188, At Tirmidzi no. 605, Ahmad 5/61. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Perintah yang berlaku untuk Qois di sini berlaku pula untuk yang lainnya. Dalam
kaedah ushul, hukum asal perintah adalah wajib.[12] Ulama yang mewajibkan
mandi ketika seseorang masuk Islam adalah Imam Ahmad bin Hambal dan
pengikutnya dari ulama Hanabilah[13], Imam Malik, Ibnu Hazm, Ibnull Mundzir
dan Al Khottobi[14].

Kelima: Karena kematian.

Yang dimaksudkan wajib mandi di sini ditujukan pada orang yang hidup,
maksudnya orang yang hidup wajib memandikan orang yang mati. Jumhur
(mayoritas) ulama menyatakan bahwa memandikan orang mati di sini hukumnya
fardhu kifayah, artinya jika sebagian orang sudah melakukannya, maka yang lain
gugur kewajibannya.[15] Penjelasan lebih lengkap mengenai memandikan mayit
dijelaskan oleh para ulama secara panjang lebar dalam Kitabul Jana’iz, yang
berkaitan dengan jenazah.

Dalill mengenai wajibnya memandikan si mayit di antaranya adalah perintah Nabi


shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu ‘Athiyah dan kepada para wanita
yang melayat untuk memandikan anaknya,

َ ِ‫ك إِ ْن َرأَ ْيتُ َّن َذل‬


‫ك بِ َما ٍء َو ِس ْد ٍر‬ َ ِ‫ا ْغ ِس ْلنَهَا ثَالَثًا أَوْ خَ ْمسًا أَوْ أَ ْكثَ َر َم ْن َذل‬

“Mandikanlah dengan mengguyurkan air yang dicampur dengan daun bidara tiga
kali, lima kali atau lebih dari itu jika kalian anggap perlu dan jadikanlah yang
terakhirnya dengan kafur barus (wewangian).” (HR. Bukhari no. 1253 dan Muslim
no. 939).
Berdasarkan kaedah ushul, hukum asal perintah adalah wajib. Sedangkan tentang
masalah ini tidak ada dalil yang memalingkannya ke hukum sunnah (dianjurkan).
Kaum muslimin pun telah mengamalkan hal ini dari zaman dulu sampai saat ini.

Yang wajib dimandikan di sini adalah setiap muslim yang mati, baik laki-laki atau
perempuan, anak kecil atau dewasa, orang merdeka atau budak, kecuali jika orang
yang mati tersebut adalah orang yang mati di medan perang ketika berperang
dengan orang kafir.[16]

Lalu bagaimana dengan bayi karena keguguran, wajibkah dimandikan?

Jawabannya, dapat kita lihat dari penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata, “Jika bayi karena keguguran tersebut
sudah memiliki ruh, maka ia dimandikan, dikafani dan disholati. Namun jika ia
belum memiliki ruh, maka tidak dilakukan demikian. Waktu ditiupkannya ruh
adalah jika kandungannya telah mencapai empat bulan, sebagaimana hal ini
terdapat dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu….”[17]

Demikian pembahasan singkat ini. Insya Allah selanjutnya kita akan melanjutkan
pada pembahasan tata cara mandi (al ghuslu). Semoga bermanfaat.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala


nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.

[1] Kasyaful Qona’ ‘an Matnil Iqna’, 1/392, Mawqi’ Al Islam

[2] Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing pada umumnya, berwarna
putih, tebal mirip mani, namun berbeda kekeruhannya dengan mani. Wadi tidak
memiliki bau yang khas.

Sedangkan madzi adalah cairan berwarna putih, tipis, lengket, keluar ketika
bercumbu rayu atau ketika membayangkan jima’ (bersetubuh) atau ketika
berkeinginan untuk jima’. Madzi tidak menyebabkan lemas dan terkadang keluar
tanpa terasa yaitu keluar ketika muqoddimah syahwat. Laki-laki dan perempuan
sama-sama bisa memiliki madzi. (Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts
‘Ilmiyyah wal Ifta’, 5/383, pertanyaan kedua dari fatwa no.4262, Mawqi’ Al Ifta’)

[3] Lihat Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Taqiyuddin Abu Bakr Asy
Syafi’i, hal. 64, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, tahun 1422 H.

[4] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim,
1/163, Al Maktabah At Taufiqiyah. Juga lihat penjelasan dalam kitab Fiqh Al
Mar’ah Al Muslimah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, hal. 49, Darul
‘Aqidah, tahun 1428 H.

[5] Ad Daroril Mudhiyah Syarh Ad Duroril Bahiyah, Muhammad bin ‘Ali Asy
Syaukani, hal. 57, Darul ‘Aqidah, tahun 1425 H.

[6] Lihat Ad Daroril Mudhiyah, hal. 58.

[7] Ad Daroril Mudhiyah, hal. 58.

[8] Fiqh Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 50.

[9] Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani 1/398, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379.

[10] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi,
4/40-41, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392.

[11] Ad Daroril Mudhiyah, hal. 57.

[12] Faedah dari Shahih Fiqh Sunnah, 1/167.

[13] Lihat Ad Daroril Mudhiyah, hal. 59.

[14] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/166.

[15] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/617.

[16] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/618. Catatan: Adapun orang yang mati selain di
medan pertempuran dan disebut syahid (seperti orang yang mati karena tenggelam
dan sakit perut), maka mereka dimandikan dan disholatkan sebagaimana orang
yang mati pada umumnya. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama. (Shahih
Fiqh Sunnah, 1/619)

[17] Fiqh Al Mar’ah  Al Muslimah, hal. 51.


TAYAMMUM

Dalil Cara Tayamum

Dalil dari Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,

ً ‫ طَيِّبَا‬Ÿً‫ص ِعي َدا‬ ِ ‫ضى أو على َسفَ ٍر أو َجا َء أ َح ٌد ِم ْن ُك ْم من الغ‬


َ Ÿ‫َائط أو ال َم ْستُم النِّ َسا َء فل ْم تَ ِجدُوا َما ًء فَتَيَ َّم ُموا‬ َ ْ‫إن ُك ْنتُ ْم َمر‬
ْ ‫َو‬
َ ‫إن هَّللا َ َكانَ عَف َّواً غ‬
ً‫َفورا‬ َّ ‫م‬Ÿْ ‫م َوأيْديك‬Ÿْ ‫فَا ْم َسحُوا بِوجُو ِه ُك‬

“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang
air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air,
maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); usaplah mukamu dan
tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun.” (QS. An-
Nisa’: 43)

Begitu pula firman Allah Ta’ala,

‫م منه‬Ÿْ ‫ بِوجُو ِهك ْم َوأيديك‬Ÿ‫ص ِعي َداً طَيِّبَا ً فَا ْم َسحُوا‬


َ Ÿ‫فَلَ ْم ت َِجدُوا َما ًء فَتَيَ َّم ُموا‬

“Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang
baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS. Al-Maidah:
6)

Dalil lain dari hadits ‘Ammar bin Yasir berikut ini.

‫ب أَ َما‬
ِ ‫اس ٍر لِ ُع َم َر ب ِْن ْالخَطَّا‬
ِ َ‫ال َع َّما ُر بْنُ ي‬ َ َ‫ فَق‬. ‫ب ْال َما َء‬ ِ ‫ص‬ ِ ُ‫ْت فَلَ ْم أ‬
ُ ‫ب فَقَا َل إِنِّى أَجْ نَب‬ ِ ‫َجا َء َر ُج ٌل إِلَى ُع َم َر ْب ِن ْالخَطَّا‬
‫ت لِلنَّبِ ِّى – صلى هللا عليه‬ ُ ْ‫ فَ َذكَر‬، ‫ْت‬ ُ ‫صلَّي‬
َ َ‫ت ف‬ ُ ‫ َوأَ َّما أَنَا فَتَ َم َّع ْك‬، ِّ‫صل‬
َ ُ‫ت َْذ ُك ُر أَنَّا ُكنَّا فِى َسفَ ٍر أَنَا َوأَ ْنتَ فَأ َ َّما أَ ْنتَ فَلَ ْم ت‬
– ‫ب النَّبِ ُّى – صلى هللا عليه وسلم‬ َ ‫ض َر‬ َ َ‫ ف‬. » ‫ك هَ َك َذا‬ َ ‫وسلم – فَقَا َل النَّبِ ُّى – صلى هللا عليه وسلم – « إِنَّ َما َكانَ يَ ْكفِي‬
‫ َونَفَخَ فِي ِه َما ثُ َّم َم َس َح بِ ِه َما َوجْ هَهُ َو َكفَّ ْي ِه‬، ‫ض‬ َ ْ‫بِ َكفَّ ْي ِه األَر‬

Ada seseorang mendatangi ‘Umar bin Al-Khatthab, ia berkata, “Aku junub dan
tidak bisa menggunakan air.” ‘Ammar bin Yasir lalu berkata pada ‘Umar bin Al-
Khatthab mengenai kejadian ia dahulu, “Aku dahulu berada dalam safar. Aku dan
engkau sama-sama tidak boleh shalat. Adapun aku kala itu mengguling-gulingkan
badanku ke tanah, lalu aku shalat. Aku pun menyebutkan tindakanku tadi pada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau bersabda, “Cukup bagimu
melakukan seperti ini.” Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan
dengan menepuk kedua telapak tangannya ke tanah, lalu beliau tiup kedua telapak
tersebut, kemudian beliau mengusap wajah dan kedua telapak tangannya. (HR.
Bukhari, no. 338 dan Muslim, no. 368)

Dalam riwayat Muslim disebutkan,

ُ‫ر َكفَّ ْي ِه َو َوجْ هَه‬Ÿَ ‫اح َدةً ثُ َّم َم َس َح ال ِّش َما َل َعلَى ْاليَ ِمي ِن َوظَا ِه‬
ِ ‫ضرْ بَةً َو‬ َ ْ‫ب بِيَ َد ْي ِه األَر‬
َ ‫ض‬ َ ‫ثُ َّم‬
َ ‫ض َر‬

“Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menepuk kedua telapak tangannya


ke tanah dengan sekali tepukan, kemudian beliau usap tangan kiri atas tangan
kanan, lalu beliau usap punggung kedua telapak tangannya, dan mengusap
wajahnya.”

Namun dalam riwayat Muslim ini didahulukan mengusap punggung telapak


tangan, lalu wajah. Ini menunjukkan bahwa urutan antara wajah dan kedua telapak
tangan tidak dipersyaratkan mesti berurutan.

Hadits ‘Ammar di atas menunjukkan tayamum cukup sekali tepukan untuk wajah
dan telapak tangan. Jadi kurang tepat dilakukan dengan cara satu tepukan untuk
wajah dan satu lagi untuk telapak tangan hingga siku. Mengapa dinyatakan kurang
tepat?

1. Hadits yang membicarakan dua kali tepukan dan mengusap tangan hingga
siku berasal dari hadits yang dha’if, tidak ada hadits marfu’ sampai Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Dalam ayat dan hadits hanya dimutlakkan telapak tangan, sehingga tidak
mencakup bagian telapak hingga siku. Ibnu ‘Abbas berdalil bahwa bagian
tangan yang dipotong bagi pencuri adalah hanya telapak tangan. Beliau
berdalil dengan ayat tayamum. (Lihat Shahih Fiqh As-Sunnah, 1:203)

Tata cara tayamum yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah:

1. Menetpuk telapak tangan ke sho’id (contoh: debu) sekali tepukan.


2. Meniup kedua tangan tersebut.
3. Mengusap wajah sekali.
4. Mengusap punggung telapak tangan sekali.

Dalil pendukung dari tata cara di atas dapat dilihat dalam hadits ‘Ammar bin Yasir
berikut ini.
‫ب أَ َما‬
ِ ‫اس ٍر لِ ُع َم َر ب ِْن ْالخَطَّا‬
ِ َ‫ فَقَا َل َع َّما ُر بْنُ ي‬. ‫ب ْال َما َء‬ ِ ‫ص‬ ِ ُ‫ْت فَلَ ْم أ‬
ُ ‫ب فَقَا َل إِنِّى أَجْ نَب‬ ِ ‫َجا َء َر ُج ٌل إِلَى ُع َم َر ب ِْن ْالخَطَّا‬
‫ت لِلنَّبِ ِّى – صلى هللا عليه‬ ُ ْ‫ فَ َذكَر‬، ‫ْت‬ ُ ‫صلَّي‬
َ َ‫ت ف‬ ُ ‫ َوأَ َّما أَنَا فَتَ َم َّع ْك‬، ‫ص ِّل‬
َ ُ‫ت َْذ ُك ُر أَنَّا ُكنَّا فِى َسفَ ٍر أَنَا َوأَ ْنتَ فَأ َ َّما أَ ْنتَ فَلَ ْم ت‬
‫ب النَّبِ ُّى – صلى هللا عليه وسلم‬ َ َ‫ ف‬. » ‫ك هَ َك َذا‬
َ ‫ض َر‬ َ ‫ال النَّبِ ُّى – صلى هللا عليه وسلم – « إِنَّ َما َكانَ يَ ْكفِي‬ َ َ‫وسلم – فَق‬
َّ ُ
‫ َونَفَخَ فِي ِه َما ث َّم َم َس َح بِ ِه َما َوجْ هَهُ َو َكف ْي ِه‬، ‫ض‬ َ
َ ْ‫– بِ َكف ْي ِه األر‬َّ

Ada seseorang mendatangi ‘Umar bin Al Khottob, ia berkata, “Aku junub dan
tidak bisa menggunakan air.” ‘Ammar bin Yasir lalu berkata pada ‘Umar bin
Khottob mengenai kejadian ia dahulu, “Aku dahulu berada dalam safar. Aku dan
engkau sama-sama tidak boleh shalat. Adapun aku kala itu mengguling-gulingkan
badanku ke tanah, lalu aku shalat. Aku pun menyebutkan tindakanku tadi pada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau bersabda, “Cukup bagimu
melakukan seperti ini.” Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan
dengan menepuk kedua telapak tangannya ke tanah, lalu beliau tiup kedua telapak
tersebut, kemudian beliau mengusap wajah dan kedua telapak tangannya. (HR.
Bukhari no. 338 dan Muslim no. 368)

Dalam riwayat Muslim disebutkan,

ِ ‫ال َعلَى ْاليَ ِم‬


ُ‫ر َكفَّ ْي ِه َو َوجْ هَه‬Ÿَ ‫ين َوظَا ِه‬ َ ‫ضرْ بَةً َوا ِح َدةً ثُ َّم َم َس َح ال ِّش َم‬ َ ْ‫ب بِيَ َد ْي ِه األَر‬
َ ‫ض‬ َ ‫ثُ َّم‬
َ ‫ض َر‬

“Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menepuk kedua telapak tangannya


ke tanah dengan sekali tepukan, kemudian beliau usap tangan kiri atas tangan
kanan, lalu beliau usap punggung kedua telapak tangannya, dan mengusap
wajahnya.”

Namun dalam riwayat Muslim ini didahulukan mengusap punggung telapak


tangan, lalu wajah. Ini menunjukkan bahwa urutan antara wajah dan kedua telapak
tangan tidak dipersyaratkan mesti berurutan.

Hadits ‘Ammar di atas menunjukkan tayamum cukup sekali tepukan untuk wajah
dan telapak tangan. Jadi kurang tepat dilakukan dengan cara satu tepukan untuk
wajah dan satu lagi untuk telapak tangan hingga siku. Mengapa dinyatakan kurang
tepat?

1. Hadits yang membicarakan dua kali tepukan dan mengusap tangan hingga
siku berasal dari hadits yang dho’if, tidak ada hadits marfu’ sampai Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Dalam ayat dan hadits hanya dimutlakkan telapak tangan, sehingga tidak
mencakup bagian telapak hingga siku. Ibnu ‘Abbas berdalil bahwa bagian
tangan yang dipotong bagi pencuri adalah hanya telapak tangan. Beliau
berdalil dengan ayat tayamum. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 203)
Semakin kita berpedomanpada dalil, itulah yang lebih selamat. Hanya Allah yang
memberi taufik.

Anda mungkin juga menyukai