Anda di halaman 1dari 17

HAL-HAL YANG MEWAJIBKAN MANDI

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Fikih Ibadah
Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah Syar’iyyah)
Fakultas Syariah dan Hukum Islam IAIN Bone
Oleh :

ALIYAH MUSTIKA JABBAR


NIM. 742352023029

AGIEL SETIAWAN
NIM. 742352023044

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH

DAN HUKUM ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

BONE 2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah swt, atas limpahan rahmat
dan karunia-nya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya. Shalawat beserta salam semoga tercurah limpahkan kepada Nabi
Muhammad saw. Sebagai sosok panutan umat islam disegala profesi kehidupan
untuk menggapai kesuksesan dan kebahagiaan dunia-akhirat. Aamiin ya robbal
‘alamiin.

Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu pada mata


kuliah ini yang telah memberikan tugas sehingga dapat menambah wawasan
dan pengetahuan sesuai mata kuliah yang saya tekuni. Saya juga mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Semoga makalah ini
bermanfaat khususnya bagi penulis, umumnya bagi para pembaca. Aaamiin..

Bone, 25 Maret 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................ii
BAB I...............................................................................................................1
PENDAHULUAN........................................................................................1-2
A. Latar Belakang.................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................2
C. Tujuan Penulisan..............................................................................................2
BAB II........................................................................................................3-10
PEMBAHASAN..............................................................................................3
A. Hal-hal yang mewajibkan mandi......................................................................3
B. Larangan bagi orang yang berhadast besar....................................................10
BAB III..........................................................................................................11
PENUTUP.....................................................................................................11
A. Kesimpulan.....................................................................................................11
B. Saran...............................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebersihan adalah sebagian dari iman.Islam merupakan agama yang


bersih yang menghendaki setiap pengikutnya memiliki jasmani dan rohani
yang bersih untuk melaksanakan ibadah kepada Allah SWT. Salah satu ibadah
yang wajib kita kerjakan sehari-hari adalah shalat. Shalat merupakan tiang
agama dan amal perbuatan yang akan dihisab pertama kali. Jika shalatnya sah,
maka amalnya pun diterima. Sedangkan jika shalatnya tidak sah, maka
ditolaklah seluruh amalannya. Salah satu syarat agar shalatnya sah adalah suci
dari hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar. Apabila orang muslim
berhadats besar, maka ia wajib bersuci, yaitu dengan mandi. Selain tuntutan
dari Allah, mandi juga berguna bagi kesehatan kita.Dengan demikian kita harus
mengetahui tentang hal-hal yang berkaitan dengan mandi, sehingga mandi
yang dilakukan itu sah menurut ajaran syari’at ibadah.

Bersuci merupakan hal yang sangat erat kaitannya dan tidak dapat
dipisahkan dengan ibadah shalat dan haji. Tanpa bersuci orang yang berhadas
tidak dapat menunaikan ibadah tersebut. Banyak orang mukmin yang tidak
tahu bahwa sesungguhnya bersuci memiliki tata cara atau aturan yang harus
dipenuhi. Jika tidak dipenuhi, maka tidak akan sah bersucinya dan ibadahnya
juga dianggap tidak sah. Terkadang terdapat masalah ketika orang tidak
menemukan air, maka Islam memudahkan orang tersebut untuk melakukan
tayammum sebagai ganti mandinya dan alat bersucinya dengan menggunakan
debu. Mandi junub atau mandi wajib merupakan mandi yang menggunakan air
suci dan bersih yang mensucikan dengan mengalirkan air tersebut ke seluruh
tubuh dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tujuan dari mandi wajib adalah

1
2

untuk menghilangkan hadas besar yang harus dihilangkan sebelum melakukan


ibadah shalat. Maka dari itu, sebagai umat Islam sangat penting mengetahui
tata cara mandi besar sesuai dengan tuntutan Rasulullah Saw. Kebersihan
merupakan suatu hal yang diwajibkan dalam agama Islam, oleh karena itu
Islam sangat dianjurkan untuk senantiasa menjaga kebersihan jasmani dan
kebersihan rohani. Maka dari itu makalah ini akan membahas mengenai hal-hal
yang menyebabkan seseorang mandi wajib dan yang tidak boleh dilakukan
apabila dalam kondisi hadas besar.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Apa saja Hal-hal yang mewajibkan mandi?


2. Apa larangan bagi orang yang berhadast besar?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulisan makalah
ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui hal-hal yang mewajibkan mandi.


2. Mengetahui larangan bagi orang yang berhadast besar.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hal-hal yang mewajibkan mandi

Dalam Islam, ada kondisi-kondisi dimana seorang muslim atau


muslimah diwajibkan untuk melaksanakan mandi (mandi wajib). Hal-hal
tersebut membuat seseorang terhalang untuk shalat, masuk ke dalam masjid,
dan juga melaksanakan ibadah lainnya karena dalam kondisi yang tidak suci.
Berikut sebab – sebab yang mengharuskan seseorang mandi wajib :

1. Keluarnya mani (sperma) dengan syahwat

Keluarnya mani (Sperma) dengan syahwat, baik dalam


keadaan tidur atau bangun, baik laki – laki atau perempuan. Hal ini
sebagaimana yang dijelaskan oleh hadist dari Ali Radhiyallahu Anhu
bahwa Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam bersabda :

“Apabila air memancar maka hendaklah Mandi”. (HR. Abu


Dawud)

Maksud dari hadist diatas yaitu, apabila keluar mani yang


memancar dan disertai dengan syahwat, yang kemudian setelah itu
mengakibatkan seseorang menjadi lelah (Ototnya Mengendur).1

2. Bertemunya/bersentuhannya alat kelamin laki-laki dan wanita,


walaupun tidak keluar mani.

1
Abdul Qadir Ar – Rahbawi, Panduan Shalat Menurut 4 madzhab,(Jakarta : Pustaka Al
Kautsar, 2007) hal 106

3
4

Diriwayatkan dari Aisyah ra bahwasanya Rasulullah Shallahu


Alaihi wa Sallam bersabda,”Apabila dua kemaluan telah bertemu
maka wajib baginya mandi. Aku dan Rasulullah saw pernah
melakukannya maka kami pun mandi.” (HR. Ibnu Majah). Dari hadist
di atas dapat dipahami bahwa bila suami-istri yang telah berhubungan
badan, walaupun tidak keluar mani, sedangkan telah bertemunya
kemaluan dia antara keduanya, maka wajib keduanya mandi wajib,
untuk mensucikan diri.
3. Haid dan Nifas

Haidh atau menstruasi adalah kejadian alamiyah yang wajar


terjadi pada seorang wanita dan bersifat rutin bulanan. Nifas adalah
darah yang keluar dari kemaluan seorang wanita setelah
melahirkan. Keduanya diwajibkan menurut Al-qur’an:

Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:


"Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci,
maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah
kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. Al –
Baqarah (2) : 222).

Darah yang dikeluarkan dari proses Haidh dan Nifas statusnya


adalah suatu kotoran, najis, dan membuat tidak suci diri wanita. Untuk
itu wanita yang telah melewati haidh dan nifas, maka wajib baginya
untuk bersuci dengan mandi wajib, agar bisa kembali beribadah.
Hal ini disebabkan ada larangan saat haidh dan nifas untuk
5

melangsungkan shalat dan puasa, sebelum benar-benar suci dari


hadast. Sedangkan menundanya, merupakan dosa karena
meninggalkan hal wajib, yaitu setelah nifas dan haidh.

4. Meninggal

Orang yang mengalami kematian, ia wajib untuk dimandikan.


Untuk itu mandi wajib ini berlaku pula bagi yang meninggal,
walaupun ia bukan mandi oleh dirinya sendiri, melainkan dimandikan
oleh orang-ornag yang lain. Untuk pelaksanaannya, maka setelah
dimandikan ada pelaksanaan shalat jenazah dalam islam, sebagai
shalat terakhir dari mayit

Dari Ibnu Abbas RA, bahwasanya Rasulullah saw bersabda


dalam keadaan berihram terhadap seorang yang meninggal
terpelanting oleh ontanya,”Mandikan dia dengan air dan daun
bidara.” (HR.Bukhori Muslim).2

B. Larangan bagi orang yang berhadast besar

Hadats adalah keadaan tidak suci pada diri seorang muslim yang
menyebabkan ia tidak boleh menunaikan shalat, thawaf dan lain sebagainya.
Hadats juga dapat diartikan sebagai kondisi yang dipandang tidak suci dan
menghalangi syarat sahnya suatu ibadah. Orang disebut berhadats besar ketika
telah terjadi haid, nifas, melahirkan, keluar sperma, atau junub (hubungan
seksual). Dalam kitab Fath al-Qarib al-Mujib, secara ringkas dijelaskan bahwa
ada lima hal yang haram dilakukan bagi orang yang berhadats besar

Ada beberapa ibadah yang tidak boleh dilakukan bagi yang berhadas
besar, sebelum disucikan dengan cara mandi wajib. Orang yang berhadats
2
Dalam Islam,“Mandi Wajib : Pengertian, Syarat, Rukun dan Cara Pelaksanannya” diakses dari :
https://dalamislam.com/info-islami/mandi-wajib pada tanggal 25 maret 2024.
6

besar tersebut adalah orang haid, nifas, keluar sperma, atau junub (hubungan
seksual). Adapun larangan-larangan bagi orang berhadas besar adalah:

1. Shalat

Orang yang berhadats besar tidak diperbolehkan shalat, baik


shalat fardhu ataupun shalat sunnah. Bahkan ibadah-ibadah yang
semakna dengan shalat juga diharamkan, seperti sujud syukur, sujud
tilawah, dan khutbah Jumat. Seorang yang berhadats besar tidak boleh
melaksanakan ibadah tersebut sebelum ia melakukan mandi besar.

Tidak diperbolehkan bagi orang yang berhadats besar


melaksanakan shalat dan ibadah yang semakna sebelum ia melakukan
mandi besar. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah Saw. sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radillahu Anhu.

“Tidaklah diterima shalat tanpa bersuci, tidak pula sedekah


dari ghulul (harta haram).” (HR. Muslim).3

2. Thawaf

Seperti halnya dengan shalat, melakukan thawaf juga tidak


diperbolehkan bagi orang yang berhadas besar sebelum melaksanakan
mandi wajib. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis Rasulullah Saw.
yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Saw bersabda:

“Thawaf mengelilingi Kabah itu seperti shalat. Namun dalam


thawaf kalian boleh berbicara. Barangsiapa yang berbicara ketika
thawaf hendaklah ia berbicara dengan perkataan yang baik.” (HR.

3
Imam Muslim, Shahih Muslim, dalam Bab, Wujuubu at-Thaharah Li as-Shalah, Juz. 2 (Cd
Room, Maktabah Syamilah), h. 5.
7

Tirmidzi).4

Begitu juga hadis yang diriwayatkan dari Ummul Mukminin


‘Aisyah Radiallahu ‘Anha.

“Kami keluar untuk melaksanakan haji, ketika kami sampai di


Sarif saya mengalami haid, kemudian Rasulullah SAW. masuk
menemui aku, sementara saya sedang menangis. Rasulullah SAW.
berkata: Apakah kamu sedang haid? Saya menjawab: Ya. Rasulullah
SAW. bersabda: Sesungguhnya ini masalah yang telah ditentukan
Allah bagi kaum wanita, maka lakukanlah sebagaimana yang
dilakukan oleh orang yang berhaji, kecuali jangan tawaf di Kabah
…” (HR. Bukhari).5

3. Menyentuh mushaf (al-Qur’an) dan membawanya

Termasuk yang terlarang bagi orang berhadats besar adalah


memegang sampul Al-Qur’an yang masih melekat dengan mushaf.
Sedangkan sampul Al-Qur’an yang sudah terlepas (munfasil) dari
mushaf, para ulama berbeda pendapat. Menurut Ibnu Hajar al-
Haitami, orang berhadats besar boleh memegang sampul yang sudah
terpisah tersebut. Sedangkan menurut Imam ar-Ramli, tetap haram
menyentuhnya selama sampul tersebut tidak digunakan untuk benda
lain, misal sampul tersebut difungsikan untuk sampul buku atau
semacamnya. Bagi yang berhadas besar tidak diperbolehkan
menyentuh dan membawa al-Qur’an sebagaimana QS. AlWaqiah/56 :

“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.

4
Imam Tirmidzy, Sunan Tirmidzy, dalam Bab, Maa Jaa Fi al-Kalam Fii Thawwaf, Juz. 4 (Cd
Room, Maktabah Syamilah), h. 60
5
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, dalam Bab, Kaefa Kana bad’u al-haidh, Juz. 1 (Cd Room,
Maktabah Syamilah), h. 490.
8

Demikian pula halnya sabda Nabi SAW. sebagaimana hadis


yang diriwayatkan dari Hakim ibnu Hizam bahwa Nabi SAW. berkata
kepadanya:

“Tidak boleh menyentuh al-Qur’an kecuali engkau dalam


keadaan suci.” (HR. Daraqutny).6

4. Membaca Al-Qur’an

Baik dibaca dengan suara keras ataupun suara pelan.


Keharaman ini bersifat mutlak, baik membaca satu surat, satu ayat,
atau hanya sebatas satu huruf hijaiyah saja dengan meniatkan (qashdu)
apa yang ia baca sebagai bagian dari huruf atau ayat al-Qur’an.
Namun, bagi mereka diperbolehkan membaca lafadz yang terdapat
dalam al-Qur’an dengan tujuan berdzikir, misalkan membaca kata
Bismillahirrahmanirrahim saat sebelum makan, membaca
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin setelah selesai makan dan lafadz-lafadz
yang sejenis. Meski kalimat tersebut menjadi bagian dari ayat al-
Qur’an, boleh dibaca orang berhadats besar selama ia tak berniat
membaca (qira’ah) bagian dari al-Qur’an. Para ulama empat madzhab
sepakat bahwa haram bagi orang yang junub membaca al-Qur’an. Hal
ini berdasarkan hadis Rasulullah Saw. sebagaimana yang diriwayatkan
dari Ali bin Abi Thalib,

“Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah


shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membacakan kepada kami al-
Qur’an selama beliau tidak junub”. (HR. Tirmidzy).

6
Imam Daraqutny, Sunan Daraqutny, dalam Bab, Fi Nahyi al-Junub wal Haid ‘An Qiraahti,
Juz. 1 (Cd Room, Maktabah Syamilah), h. 498.
9

Faedah hadits yang dapat dipetik adalah bahwa Orang junub


hendaklah tidak membaca sedikit pun dari al-Qur’an hingga ia mandi
junub. Inilah pendapat jumhur ulama. Orang junub bisa segera
menghilangkan hadats. Adapun Wanita haidh boleh membaca al-
Qur’an. Itu hukum asalnya, sampai ada dalil yang menyatakan wanita
haidh haram untuk membaca alQur’an. Yang tepat, dalil tegas
mengenai larangan wanita haidh membaca al-Qur’an tidak ada.
Adapun pengqiyasan (penyamaan) terhadap orang junub tidaklah tepat
karena antara wanita haidh dan orang junub ada perbedaan. Sebagian
ulama menyatakan boleh bagi wanita haidh membaca al-Qur’an jika
ada kebutuhan seperti karena sudah punya rutinitas (al-awrad) atau ia
adalah pengajar al-Qur’an. Namun, yang paling tepat adalah wanita
haidh masih boleh membaca al-Qur’an secara mutlak.7

5. Berdiam diri di masjid

Para fukahah berselisih faham terkait hukum berdiam diri di


masjid bagi orang berhadas besar (orang junub dan wanita haid)
menjadi 2 pendapat Pendapat pertama: Jumhur ulama dari Hanafiyah,
Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah terkait masalah haid.
berpendapat bahwa wanita haidh dan orang junub tidak boleh berdiam
di masjid. Mereka mendasari pendapatnya dengan firman Allah dalam
QS. an-Nisaa’/4: 43:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat,


sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa
yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu
dalam keadaan junub, terkecuali sekadar berlalu saja, hingga kamu

7
Imam Tirmidzy, Sunan Tirmidzy, dalam Bab, Maa Jaa Fi al-Rajuli Yaqrau alQuran ‘Ala Kulli
Halin, Juz. 1 (Cd Room, Maktabah Syamilah), h. 249
10

mandi. (QS. An-Nisaa’: 43).

Pendapat kedua dari kalangan ulama Zhahiriyah, Ibnul


Mundzir dan Imam Al-Muzani, mereka berpendapat bahwa wanita
haidh dan orang junub boleh masuk dan melakukan aktifitas di masjid.
karena berdasarkan hukum asalnya boleh. Mazhab ini berusaha keluar
dari alasan umum yang digunakan oleh jumhur ulama. Mereka
berpendapat bahwa kata al-Shalat dalam surat an-Nisa‟ di atas berarti
ibadah tertentu yang sudah dikenal. Penafsiran ini sependapat dengan
Ibnu Abbas, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Jubair dari Mujtahid.

Selanjutnya mazhab Zahiriyah mengemukakan alasan bahwa


seluruh tanah di bumi ini adalah mesjid, boleh dijadikan tempat shalat.
Perempuan haid dan orang junub boleh menginjakkan kakinya di
mana saja di permukaan bumi ini, melakukan aktifitas di tanah (lantai)
mesjid. Kemudian, setiap mukmin bukanlah najis, yang najis adalah
orang-orang musyrik seperti dijelaskan dalam surat at-Taubah ayat 28
“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu adalah najis”. Ini berarti
perempuan haid dan orang junub yang beriman bukanlah najis, maka
mereka boleh melakukan aktifitas dan menetap di mesjid. :59 Mazhab
zahiriyah (Ibn Hazm) juga mendasari pendapatnya dengan hadis
Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari : “Sesungguhnya
Walidah seorang perempuan bekas budak yang telah dimerdekakan
datang menghadap Nabi dan menyatakan diri melakukan aktifitas
Islam, ia mempunyai kamar khusus di dalam mesjid” Kebiasaan
perempuan setiap bulan adalah haid, sedangkan Nabi tidak
melarangnya tinggal di dalam mesjid.8

8
Muhammad Abduh Tuasikal, https://rumaysho.com/25531-bulughulmaram-tentang-sebab-
dan-tata-cara-mandi-junub-bahas-tuntas.html
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Mandi wajib tidaklah seperti mandi yang biasa kita lakukan dalam
keseharian kita. Namun mandi untuk menghilangkan hadats besar yang ada
pada diri kita dan dalam sebuah moment yang khusus pula. Mandi wajib dapat
dilakukan dengan berbagai macam cara dengan tetap mengikuti madzhab yang
baik dan benar juga tidak melenceng dari syariat Islam serta yang melakukan
pun merasa nyaman melakukannya.

Dalam Islam, pembersihan dari hadas besar diperlukan sebelum


seseorang dapat melakukan ibadah tertentu, seperti salat. Proses pembersihan
dapat melibatkan mandi besar atau tayammum, tergantung pada kondisi dan
situasi yang dialami oleh individu tersebut. Kesimpulannya, hadas besar adalah
kondisi najis besar dalam Islam yang memerlukan pembersihan khusus
sebelum seseorang dapat melakukan ibadah. Hal ini menunjukkan pentingnya
kesucian dan kebersihan dalam praktik keagamaan umat Islam.

B. Saran

Dengan adanya makalah ini penulis berharap semoga pembaca dan


penulis mendapatkan pahala dan ilmu yang bermanfaat dan bisa lebih
meningkatkan serta memahami terkait mandi wajib dan hadast besar. Penulis
juga mengharapkan kritikan dan saran kepada pembaca agar dalam penilisan
makalah selanjutnya dapat lebih baik lagi.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Qadir Ar – Rahbawi, Panduan Shalat Menurut 4 madzhab,(Jakarta :


Pustaka Al Kautsar, 2007) hal 106

Dalam Islam,“Mandi Wajib : Pengertian, Syarat, Rukun dan Cara Pelaksanannya”


diakses dari : https://dalamislam.com/info-islami/mandi-wajib pada tanggal
25 maret 2024.
Imam Muslim, Shahih Muslim, dalam Bab, Wujuubu at-Thaharah Li as-
Shalah, Juz. 2 (Cd Room, Maktabah Syamilah), h. 5.
Imam Tirmidzy, Sunan Tirmidzy, dalam Bab, Maa Jaa Fi al-Kalam Fii
Thawwaf, Juz. 4 (Cd Room, Maktabah Syamilah), h. 60
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, dalam Bab, Kaefa Kana bad’u al-haidh, Juz. 1
(Cd Room, Maktabah Syamilah), h. 490.
Imam Daraqutny, Sunan Daraqutny, dalam Bab, Fi Nahyi al-Junub wal Haid
‘An Qiraahti, Juz. 1 (Cd Room, Maktabah Syamilah), h. 498.
Imam Tirmidzy, Sunan Tirmidzy, dalam Bab, Maa Jaa Fi al-Rajuli Yaqrau
alQuran ‘Ala Kulli Halin, Juz. 1 (Cd Room, Maktabah Syamilah), h.
249
Muhammad Abduh Tuasikal, https://rumaysho.com/25531-bulughulmaram-
tentang-sebab-dan-tata-cara-mandi-junub-bahas-tuntas.html

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masa khulafaur rasyidin, yang terdiri dari Abu Bakar, Umar bin
Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, dianggap sebagai periode
keemasan dalam sejarah Islam. Mereka dianggap sebagai khalifah yang
paling adil dan dihormati dalam tradisi Islam. Setelah masa khulafaur
rasyidin, terjadi peralihan kekuasaan ke dinasti Umayyah dan kemudian
Abbasiyah. Era kekhalifahan ini ditandai dengan ekspansi wilayah Islam,
perkembangan ilmu pengetahuan, seni, dan kebudayaan Islam, serta
penyebaran agama Islam ke wilayah-wilayah baru.

Khalifah sebagai institusi politik tidak hanya merupakan


kepemimpinan politik biasa, tetapi juga memiliki dimensi agama yang kuat
dan berperan dalam menjaga stabilitas, keadilan, serta kesejahteraan umat
Muslim.

B. Saran

Dengan adanya makalah ini penulis berharap semoga pembaca dan


penulis mendapatkan pahala dan ilmu yang bermanfaat dan bisa lebih
meningkatkan serta memahami terkait Pemikiran Politik Kaum Khawarij.
Penulis juga mengharapkan kritikan dan saran kepada pembaca agar dalam
penilisan makalah selanjutnya dapat lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

14
Abdurrahman, Dudung, dkk., Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik
Hingga Modern, cet. ke-4, Yogyakarta: LESFI, 2012.
Barong, Haidar, Umar Bin Khattab Dalam Perbincangan (Penafsiran Baru),
cet. ke-1, Jakarta: Yayasan Cipta Persada Indonesia, 1994.
Hawari, Nadirsah, “Mencermati Isu Nepotisme Kepemimpinan Utsman Bin
„Affan,” dalam Jurnal TAPIs, Prodi Pemikiran Politik Islam Fakultas
Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, Vol.8 No.1, Tahun 2012.
Muhlis, “Islam Masa Khulafaur Rasyidin,” http://muhlis.files.wordpress.com/
2007 /08/islam-masa-khulafaur- raosyidin.pdf.
Sawiy, Khairudin Yujah, Perebutah Kekuasaan Khalifah (Mengungkap
Dinamika dan Sejarah Politik Kaum Sunni), cet. ke-2, Yogyakarta:
Safiria Insania Press, 2005.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara (Ajaran, Sejarah dan Pemikiran),
edisi ke-5 Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1993
Sou‟yb, Joesoef, Sejarah Daulat Umayyah I di Damaskus, Jakarta: Bulan
Bintang, ttt.

14

Anda mungkin juga menyukai