Anda di halaman 1dari 16

HADIST – HADIST TENTANG MANDI WAJIB

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

“HADIST AHKAM”

DosenPengampu: Sopriyanto S.Sy., M.H

Disusun Oleh

Kelompok 4

Rada Ulantika NIM: ES.03.219.0495

Andri Rachmadi NIM: ES.03.219.04

M Alfinda NIM: ES.03.219.04

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

YAYASAN NURUL ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM
MUARA BUNGO
2022/2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia–Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini, yang
Alhamdulillah dapat selesai dengan judul “HADIST – HADIST TENTANG MANDI
WAJIB”.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan.

Dalam kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada
pihak yang sudah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun makalah ini, dan
juga kepada dosen pembimbing yang sudah banyak membantu dan menuntun penulis selama
pembuatan makalah ini. Tidak lupa juga kepada teman – teman yang selalu menemani,
membantu dan mensuport selama pembuatan makalah ini . Maka makalah ini dapat
terselesaikan tidak lepas dari kerja sama dan semuanya.

Akhir kata, kami sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.Semoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kita.Aamiin…

Bungo, April 2022

Kelompok 4

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii

BAB I : PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang ........................................................................................................... 1

1.2 Rumusan masalah ...................................................................................................... 1

1.3 Tujuan rumusan masalah ........................................................................................... 2

BAB II : PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Mandi ...................................................................................................... 3

2.2 Cara – cara Mandi ..................................................................................................... 6

2.3 Hadis mandi wajib.......................................................................................................7

BAB III : PENUTUP

3.1 Kesimpulan................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bersuci merupakan hal yang sangat erat kaitannya dan tidak dapat dipisahkan dengan
ibadah shalat dan haji. Tanpa bersuci orang yang berhadas tidak dapat menunaikan ibadah
tersebut. Banyak orang mukmin yang tidak tahu bahwa sesungguhnya bersuci memiliki
tata cara atau aturan yang harus dipenuhi. Jika tidak dipenuhi, maka tidak akan sah
bersucinya dan ibadahnya juga dianggap tidak sah. Terkadang terdapat problem ketika
orang tidak menemukan air, maka Islam memudahkan orang tersebut untuk melakukan
tayammum sebagai ganti mandinya dan alat bersucinya dengan menggunakan debu.

Mandi besar, mandi junub atau mandi wajib merupakan mandi yang menggunakan air
suci dan bersih yang mensucikan dengan menggalirkan air tersebut ke seluruh tubuh dari
ujung rambut sampai ujung kaki. Tujuan dari mandi besar adalah untuk menghilangkan
hadas besar yang harus dihilangkan sebelum melakukan ibadah shalat. Maka dari itu,
sebagai umat Islam sangat penting mengetahui tata cara mandi besar sesuai dengan
tuntutan Rasulullah Saw agar ibadah kita diterima oleh Allah dan mendapatkan pahala.

Adanya hadis yang tidak diwajibkan mandi dan diwajibkan mandi besar ketika
maninya belum keluar merupakan indikator yang memberi informasi bahwa seolah-olah
ada kejanggalan dan ketidak konsistenan seorang Nabi Muhammad Saw ketika
mengeluarkan hadis. Hal tersebut tentunya perlu diluruskan dengan melakukan
penelusuran dan penelitian lebih mendalam. Sebab jika tidak demikian maka
implikasinya akan sangat negatif terutama bagi kaum inkarus sunnah.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana dengan Pengertian Mandi wajib ?
2. Bagaimana Cara – cara mandi wajib ?
3. Bagaimana hadist tentang mandi wajib

1
1.3 Tujuan Rumusan Masalah
1. Untuk mengetahui Pengertian Mandi wajib
2. Untuk mengetahui Cara – cara mandi wajib
3. Untuk mengetahui hadis tentang mandi wajib

2
BAB II
PEMABAHASAN

2.1 Pengertian Mandi

َ ‫ ْل‬-‫( ْلسُالغ‬yang berarti mengalirnya air pada


Menurut bahasa yaitu al-ghasl atau al-ghusl (‫سالغ‬
sesuatu. Menurut istilah yaitu meratakan air pada seluruh badan dari ujung rambut sampai
ujung jari kaki disertai dengan niat sesuai dengan keperluannya, mungkin untuk
menghilangkan hadats besar atau mandi sunnah. Pengertian madi besar adalah mandi untuk
bersuci dari hadats besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan mandi secara mutlak, dan
Dia tidak menyebutkan apa yang mesti didahulukan saat mandi sebelum yang lainnya (yakni
Allah SWT tidak menyebutkan urutan-urutan yang harus dilakukan saat mandi). Apabila
seseorang mandi, niscaya hal itu sudah cukup baginya dan Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih
mengetahui bagaimana cara orang itu mandi. Dan, tidak ada waktu khusus untuk mandi. 1

Secara umum mandi merupakan salah satu sarana untuk membersihkan badan. Mandi
secara umum lakukan setiap hari, bahkan lebih dari sekali, mandi seperti biasa untuk
memberishkan kotoran yang ada pada badan. Mandi artinya mengalirkan air keseluruh
badang dengan niat.

Imam Syafi’i berkata: Telah diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
berkata kepadaAbu Dzar, “Apabila engkau memperoleh air, maka basuhkanlah air itu ke
kulitmu. Dan Abu Dzar tidak menceritakan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam
menyifatkan kadar air itu kepadanya selain dengan mengusap atau membasuh kulit. Imam
Syafi’i berkata: Saya lebih menyukai seseorang menggosok tubuhnya sesuai dengan
kemampuannya ketika mandi. Namun apabila ia tidak mengerjakan hal itu dan air telah
merata pada kulitnya, maka hal itu sudah cukup baginya.

1. Sebab-sebab Wajib Mandi

Saab-sebab wajib mandi ada enam, tiga di antaranya biasa terjadi pada laki laki dan
perempuan, dan tiga lagi tertentu (khusus) pada perelnpuan saja.

1
Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab al-Umm, terj Mohammad Yasir Abd Mutholib, (Jakarta: Pustaka Azzam), h.58

3
a. Bersetubuh, baik keluar mani ataupun tidak
b. Keluar mani, baik keluarnya karena bermimpi ataupun sebab lain dengan sengaja
atau tidak, dengan perbuatan sendiri atau bukan
c. Mati. Orang Islam yang mati, fardu kifayah atas muslimin yang hidup
memandikannya, kecuali orang yang mati syahid
d. Haid. Apabila seorang perempuan telah berhenti dari haid, ia wajib mandi agar ia
dapat shalat dan dapat bercampur dengan suaminya. Dengan mandi itu badannya
pun menjadi segar dan sehat kembali.
e. Nifas. Yang dinamakan nifas ialah darah yang keluar dari kemaluan perempuan
sesudah melahirkan anak. Darah itu merupakan darah haid yang berkumpul, tidak
keluar sewaktu perempuan itu gmengardung.
f. Melahirkan, baik anak yang dilahirkan itu cukup umur ataupun tidak, seperti
keguguran.

2. Rukun Mandi

a. Niat “bagi orang yang junub hendaklah berniat (menyengaja) menghilangkan hadas
junubnya, perempuan yang haid atau nifas hendaklah ia berniat menghilangkan hadar
kotorannya
b. Mengalirkan air keseluruh tubuh

3. Sunat mandi

a. Membaca “bismillah” pada mula mandi


b. Berwudu sebelum mandi
c. Menggosok-gosok seluruh badan dengan tangan
d. Mendahulukan yang kanan dari yang kiri
e. Berturut-turut.2

4. Mandi Sunat

2
4 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, jilid II, (Bairut: Dar al-Firk), 1994, h. 57

4
Mandi sunat adalah mandi yang sah sholat tampanya. Syara’ menghukumya sunat dan
digalakkan untuk tujuan-tujuan tertentu. Adapun bentuk mandi-mandi sunat yaitu:

a. Sunat mandi hari Jumaat

Disunatkan mandi pada hari jumaat sebelum melaksanakan sholat jumaat, dan juga
bagi orang yang tidak melaksanakan sholat jumaat seperti orang musafir, perempuan dan
anak-anak. Waktu mandi sunat jumaat setelah azan subuh, dan yang lebih utama adalah
sebelum berangkat melaksanakan sholat jumaat.

b. Sunat mandi dua Hari Raya

Sunat mandi sebelum melaksanakan sholat ‘Idil Fitri dan ‘Idil Adha bag i siapa saja
yang hendak melakukan sholat hari raya atau yang tidak melakukan sholat juga disunatkan
untuk mandi.

c. Sunat mandi Gerhana Matahari dan Bulan

Sebelum melakukan sholat gerhana matahari, atau gerhana bulan disunatkan untuk
mandi bagi yang melaksanakan dan juga bagi yang tidak mengikuti sholat gerhana matahari
atau gerhana bulan.

d. Sunat mandi minta hujan

Mandi sunat ini dilakukan sama seperti mandi sholat gerhana matahari atau gerhana
bulan. 3

e. Mandi karena memandikan manyat

Disunatkan mandi bagi siapa saja yang memandikan manyat, setelah selesai
memandikan manyat tersebut.

3
Zulkifli bin Mohamad al-Bakri dkk, al-Fiqh al-Manhaji Mazhab al-Syafie, (Kuala Lumpur: Jabatan Kemajuan
Islam Malaysia, 2001), Cet ke 1, h. 217

5
f. Mandi orang gila apabila ia sembuh dari gilanya, karena ada sangkaan (kemungkinan) ia
keluar mani.

g. Mandi seorang kafir setelah memeluk agama Islam.

2.2 Cara-cara Mandi

Dalam pelaksanaan mandi, seluruh badan dan kepala serta leher harus disiram, baik
mandi wajib, seperti: mandi janabah, maupun mandi sunah, seperti mandi hari Jum’at.
Dengan kata lain, dalam melaksanakan semua macam mandi, tidak ada perbedaan kecuali
pada niat.

1. Cara-cara Mandi

a. Mandi tartibi(secara berurutan):

a. Pertama membasuh kepala dan leher.


b. Lalu membasuh setengah badan bagian kanan
c. Kemudian membasuh setengah badan bagian kiri.

b. Mandi irtimasi (menyelam):

1) Dengan niat mandi, membenamkan diri secara se-kaligus ke dalam air sehingga
seluruh badan dan kepala berada di dalam air.
2) Atau membenamkan diri secara bertahap ke dalam air, sampai pada akhirnya seluruh
badan dan kepala berada di dalam air.
3) Atau masuk ke dalam air, kemudian menggerakkan badan dengan niat mandi.

Mandi bisa dikerjakan dengan dua cara; tartibi dan irtimasi. Pada mandi tartibi,
pertama-tama membasuh kepala dan leher, kemudian setengah badan bagian kanan, dan
setelah itu setengah badan bagian kiri. Pada mandi irtimasi, seluruh badan dan kepala berada
di dalam air secara sekaligus. Oleh karena itu, untuk mela-kukan mandi irtimasi, diperlukan
air yang cukup supaya bisa memasukkan seluruh badan dan kepala ke dalamnya.

6
2. Syarat Sahnya Mandi

a. Seluruh syarat yang ditetapkan untuk sahnya wudu juga berlaku pada sahnya
mandi, kecuali muwalat. Begitu juga, tidak perlu menyiram badan dari atas ke
bawah.
c. Orang yang berkewajiban beberapa mandi bisa melakukan satu mandi saja dengan
beberapa niat mandi wajib.
d. Seseorang yang telah melaksanakan mandi janabah; jika hendak menunaikan salat,
maka dia tidak perlu berwudu. Akan tetapi pada selain mandi janabah, maka untuk
menunaikan salat dia harus berwudu terlebih dahulu.
e. Dalam mandi irtimasi, seluruh badan harus suci. Akan tetapi dalam mandi tartibi,
seluruh badan tidak harus suci. Dan jika setiap bagian dari badan yang hendak
dibasuh itu disucikan terlebih dahulu, maka demikian ini sudah cukup.
f. Mandi jabiroh seperti wudu jabiroh, hanya saja berda-sarkan ihtiyath wajib, mandi ini
harus dilakukan secara tartibi.
g. Orang yang sedang berpuasa wajib tidak boleh mandi irtimasi, karena orang yang
berpuasa tidak boleh mema-sukkan seluruh kepalanya ke dalam air. Akan tetapi, jika
dia mandi irtimasi karena lupa, puasanya tetap sah.
h. Dalam keadaan mandi, seluruh badan tidak perlu digosok dengan tangan, tetapi cukup
hanya dengan niat mandi dan air sampai ke seluruh badan.

2.3 Hadis mandi wajib

“Mandi” pada pembahasan mandi junub di sini adalah “membasahi seluruh tubuh
dengan air dan diawali dengan niat untuk mandi wajib”. Menetapkan niat dalam mandi ini
merupakan hal yang wajib bagi laki-laki maupun wanita.

Dari Umar bin Khaththab, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ت‬ ْ َ ‫إِنَّ َما اْأل‬


ِ ‫ع َمالُ بِالنِيَّا‬

“Sesungguhnya segala amalan itu tidak lain tergantung pada niat.”

7
Hadits pertama

‫ ثم توضأ‬، ‫ كان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم إذا اغتسل من الجنابة غسل يديه‬: ‫عن عائشة رضي هللا عنها قالت‬
‫ ثم‬، ‫ ثم يخلل بي ده شعره حتى إذا ظن أنه قد أروى بشرته أفاض عليه الماء ثالث مرات‬، ‫ ثم اغتسل‬، ‫وضوءه للصالة‬
‫غسل سائر جسده‬

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha; dia berkata, “Bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mandi dari janabah maka beliau mulai dengan mencuci kedua telapak tangannya,
kemudian berwudhu sebagaimana wudhunya untuk shalat, kemudian memasukkan jari-
jarinya kedalam air kemudian menyela dasar-dasar rambutnya, sampai beliau menyangka air
sampai kedasar rambutnya kemudian menyiram kepalanya dengan kedua tangannya sebanyak
tiga kali kemudian beliau menyiram seluruh tubuhnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Faedah hadits-pertama:

(1)Dari hadits di atas kita dapati salah satu keutamaan Aisyah radhiallahu ‘anha dan
juga istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain, yaitu turut andil dalam
menyampaikan ilmu agama, terutama yang bersifat pribadi. Merekalah yang bisa
meriwayatkan tata cara mandi junub Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara
rinci, juga sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain di
dalam rumah. Para shahabat pun tidak mungkin mengetahui semua sunnah-sunnah
apa saja yang dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila beliau
sedang berada di rumah, melainkan mengetahuinya dari istri-istri Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(2)Dalam hadits tersebut terdapat kata “kana” (‫)كان‬, yang dalam bahasa Arab bisa saja
memiliki dua arti atau dua maksud: kana yang berarti perbuatan masa lampau,
maksudnya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “pernah” mandi junub
seperti yang dijelaskan dalam hadits. kana yang berarti perbuatan yang berulang-
ulang/berkesinambungan (istimrar), maksudnya adalah Rasulullah “senantiasa”
mandi junub (setelah jima’ dengan istrinya) seperti yang dijelaskan dalam hadits.
Dan pendapat yang kuat menurut para ulama ialah maksud yang kedua, yaitu kana
yang berarti “senantiasa”, pula didukung dengan kata “idza” (yang juga bermakna
“senantiasa” pada kalimat idza-ghtasala (jika mandi: setiap kali mandi). Jadi,

8
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mandi junub (setelah jima’
dengan istrinya) seperti yang dijelaskan dalam hadits.
(3)(Dikatakan dalam hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu sebelum
mandi junub, yaitu seperti wudhunya orang yang akan shalat, bukan wudhu dalam
makna bahasa (hanya membersihkan diri).
(4)Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan dua tangannya untuk
menggosok bagian rambutnya ketika mandi junub, bukan hanya satu tangan.
(5)Dalam hadits pula terdapat kata “saira“, yang dalam konteks hadits di atas, dapat
diartikan sebagai “sisa bagian tubuh yang lain yang belum terkena air”. Jadi, setelah
bagian-bagian wudhu terkena air, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
membasahi sisa bagian tubuh yang lain yang belum terkena air, sehingga basahlah
seluruh tubuhnya.

Hadits kedua

‫ كنت أغتسل أنا ورسول هللا صلى هللا عليه وسلم من إناء واحد نغترف منه جميعا‬: ‫وعن عائشة رضي هللا عنها قالت‬

Aisyah radhiallahu ‘anha juga berkata, “Aku mandi bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dari satu tempayan, dan kami sama-sama mengambil air dari tempayan
tersebut.” (HR. Muslim)

Faedah hadits-kedua:

Sebagai dalil bolehnya suami-istri mandi bersama. Mandi-bersama tersebut akan menjadi
sunnah (petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ed.) ketika diniatkan untuk meniru
amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagai dalil tentang bolehnya melihat
kemaluan istri/suami.

Hadits ketiga

‫ وضعتُ لرسول هللا صلى هللا عليه‬: ‫عن ميمونة بنت الحارث رضي هللا عنها زوجة النبي صلى هللا عليه وسلم أنها قالت‬
– ‫ ثم ضرب يده باألرض أو الحائط‬، ‫ ثم غسل فرجه‬، ‫ فأكفا بيمينه على يساره مرتين أو ثالثا‬، ‫وسلم َوضوء الجنابة‬
، ‫ ثم غسل سائر جسده‬، ‫ ثم أفاض على رأسه الماء‬، ‫ ثم غسل وجهه وذراعيه‬، ‫مرتين أو ثالثا – ثم تمضمض واستنشق‬
‫ وجعل ينفض الماء بيده‬، ‫ فأتيته بخرقة فلم يُردها‬: ‫ قالت‬، ‫ثم تنحى فغسل رجليه‬

9
Dari Maimunah binti Al-Harits radhiyallahu‘anha; dia mengatakan, “Saya
menyiapkan air bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mandi junub. Kemudian
beliau menuangkan (air tersebut) dengan tangan kanannya di atas tangan kirinya sebanyak
dua kali – atau tiga kali, kemudian beliau cuci kemaluannya, lalu menggosokkan tangannya
di tanah atau di tembok sebanyak dua kali – atau tiga kali. Selanjutnya, beliau berkumur-
kumur dan ber-istinsyaq (menghirup air), kemudian beliau cuci mukanya dan dua tangannya
sampai siku. Kemudian beliau siram kepalanya lalu seluruh tubuhnya. Kemudian beliau
mengambil posisi/tempat, bergeser, lalu mencuci kedua kakinya. Kemudian saya memberikan
kepadanya kain (semacam handuk, pen.) tetapi beliau tidak menginginkannya, lalu beliau
menyeka air (di tubuhnya) dengan menggunakan kedua tangannya.” (HR. Bukhari dan
Muslim)

Faedah hadits-ketiga:

Hadits di atas menunjukkan khidmat seorang istri terhadap suaminya. Contohnya


sebagaimana Maimunah binti Al-Harits radhiyallahu ‘anha, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, menyiapkan air mandi untuk beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dijelaskan
tahapan-tahapan mandi junub yang lebih rinci dari hadits Aisyah sebelumnya.

Kita dapati dari hadits, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mencuci kemaluan dengan tangan
kirinya. Rasulullah berwudhu sebelum mandi, persis seperti wudhunya orang yang akan
shalat, ber-istinsyaq, berkumur-kumur, membasuh muka, dan seterusnya. Dalil bahwa tidak
mengapa menghilangkan bekas air wudhu dari badan. Adapun mandi wajib yang sebatas sah,
yang dikatakan para ulama, ialah tidak berwudhu terlebih dahulu, tidak mengapa.

Dalam mandi junub, berwudhu itu tidak wajib. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

َّ ‫َوإِنْ كُنْت ُ ْم ُجنُبًا فَا‬


‫ط َّه ُروا‬

“Dan jika kalian junub maka bersucilah.” (QS. Al-Ma`idah : 6)

Dalam Al-Quran, Allah Ta’ala tidak menyebutkan tata cara mandi secara rinci;
berbeda dengan wudhu yang disebutkan satu per satu urutannya. Hal itu menunjukkan bahwa
wudhu harus dilakukan seperti itu (sesuai dengan rincian), berbeda dengan mandi.

10
Juga hadits Imran bin Husein dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada seorang shahabat yang dalam keadaan junub dan belum shalat,

‫خذ هذا فأفرغه عليك‬

“Ambil (air) ini, dan tumpahkan ke tubuhmu.”

Oleh karena itu para ulama mengatakan, sebagai permisalan, jika orang yang junub
membaca basmalah, lalu masuk ke dalam kolam air dengan niat mandi junub, menggosok-
gosokkan kepalanya, hingga basah seluruh tubuhnya, lalu dia keluar dari kolam, maka hal
tersebut sudah sah dikatakan mandi junub, meskipun dia tidak berwudhu.

11
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Mandi besar, mandi junub atau mandi wajib merupakan mandi yang
menggunakan air suci dan bersih yang mensucikan dengan menggalirkan air tersebut
ke seluruh tubuh dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tujuan dari mandi besar
adalah untuk menghilangkan hadas besar yang harus dihilangkan sebelum melakukan
ibadah shalat. Maka dari itu, sebagai umat Islam sangat penting mengetahui tata cara
mandi besar sesuai dengan tuntutan Rasulullah Saw agar ibadah kita diterima oleh
Allah dan mendapatkan pahala.
Imam Syafi’i berkata: Telah diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam berkata kepadaAbu Dzar, “Apabila engkau memperoleh air, maka
basuhkanlah air itu ke kulitmu. Dan Abu Dzar tidak menceritakan bahwa Nabi
Shallallahu Alaihi Wasallam menyifatkan kadar air itu kepadanya selain dengan
mengusap atau membasuh kulit. Imam Syafi’i berkata: Saya lebih menyukai
seseorang menggosok tubuhnya sesuai dengan kemampuannya ketika mandi. Namun
apabila ia tidak mengerjakan hal itu dan air telah merata pada kulitnya, maka hal itu
sudah cukup baginya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab al-Umm, terj Mohammad Yasir Abd Mutholib, (Jakarta:
Pustaka Azzam).

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, jilid II, (Bairut: Dar al-Firk), 1994.

Zulkifli bin Mohamad al-Bakri dkk, al-Fiqh al-Manhaji Mazhab al-Syafie, (Kuala Lumpur:
Jabatan Kemajuan Islam Malaysia, 2001), Cet ke 1.

13

Anda mungkin juga menyukai