Beliau adalah Ibrahim bin Adham bin Mansur bin Yazid bin Jabir, dia seorang imam
yang arif, pemimpinnya orang-orang zuhud, dan dia mempunyai julukan “Abu Ishaq
al-‘Izli, ada yang mengatakan at-Tamimi, al-Khurasani, al-Balkhi, salah satu daerah di
Syam. Beliau dilahirkan di Makkah pada akhir-akhir tahun ke 100H.
Ibrahim bin Bassyar bercerita, Aku berkata kepada Ibrahim bin Adham, “Wahai Abu
Ishaq (Ibrahim bin Adham) bagaimana permulaan kisahmu hingga engkau menjadi
seperti ini ?”. Maka ia berkata: “Tanyakan yang lain saja, karena hal itu lebih baik
bagimu”. Akupun berkata: “Betul apa yang kau katakan, akan tetapi jika kau kabarkan
kepadaku (tentang kisahmu -red) mungkin hal itu bisa bermanfaat bagiku pada suatu
hari nanti”, kemudian aku mengulangi perkataanku. Maka iapun berkata: “Celaka
engkau, lebih baik kau sibukan diri terhadap Allah”. Maka aku bertanya untuk ketiga
kalinya. Maka ia berkata: “ Dahulu bapakku dari (penduduk) Balkha, dan dia seorang
raja Kharasan. Kami di berikan kesenangan (hobi) berburu, maka (pada suatu hari)
aku keluar menunggangi kudaku dan anjingku bersamaku, maka ketika aku melihat
Kelinci atau Rubah akupun memacu kudaku, akan tetapi tiba-tiba aku mendengar
seruan seorang penyeru dari arah belakangku, yang berkata: “Bukan untuk hal
tersebut engkau diciptakan, dan bukan untuk hal itu engkau diperintahkan!”. Maka
akupun menghentikan (langkah kudaku), dan aku melihat kesebelah kanan dan
kekiriku, akan tetapi aku tidak melihat siapapun, maka aku katakan: “Semoga Allah
melaknat Iblis”. Lalu akupun memacu kudaku, akan tetapi tiba-tiba aku mendengar
seruan yang lebih keras dari yang pertama, yang berkata: “Ya Ibrahim, bukan untuk
hal tersebut engkau diciptakan, dan bukan untuk hal itu engkau diperintahkan!”. Maka
akupun menghentikan (langkah kudaku), dan aku melihat kesebelah kanan dan
kekiriku, akan tetapi aku tidak melihat siapapun, maka aku katakan: “Semoga Allah
melaknat Iblis”. Maka akupun memacu kudaku, akan tetapi aku mendengar kembali
seruan itu dari belakang pelana kudaku, Ya Ibrahim, bukan untuk hal tersebut engkau
diciptakan, dan bukan untuk hal itu engkau diperintahkan!”, maka akupun berhenti,
akupun berkata: “Aku sadar- aku sadar, telah datang kepadaku pemberi peringatan
dari Tuhan semesta alam, demi Allah aku tidak akan bermaksiat kepadanya lagi
setelah hari ini.
Beliau juga berkata, “Zuhud yang wajib yaitu zuhud terhadap apa yang diharamkan
Allah, zuhud adalah keselamatan yaitu Zuhud terhadap perkara syubahat (perkara
yang tak jelas halal dan haramnya -red), zuhud adalah keutamaan yaitu Zuhud
terhadap perkara yang halal”.
Ibrahim bin Adham rahimahullah berkata, “Banyak melihat kepada sesuatu yang batil,
dapat menghilangkan pengetahuan hati terhadap kebenaran”.
Diriwayatkan dari Muhammad bin Ghalib, dia berkata, “Ibrahim bin Adham menulis
surat kepada Sufyan ats-Tsauri (dia berkata di dalam suratnya -red), “Barangsiapa
yang mengetahui apa yang dia kehendaki maka dia akan menganggap remeh apa yang
dia korbankan untuknya, barangsiapa yang mengumbar pandangannya maka
penyesalannya akan berlangsung lama, barangsiapa yang panjang angan-angannya
maka akan buruk amal perbuatannya, dan barangsiapa yang mengumbar lisannya
maka dia membunuh dirinya”.
Keutamaan beliau
Beliau rahimahullah adalah seorang yang zuhud, dan wara’ (menjaukan diri dari yang
di haramkan Allah Ta’ala). Beliau makan dari hasil keringat sendiri, dan tidak mau
berpangku tangan kepada orang lain, diriwayatkan bahwa dikatakan kepada Ibrahim
bin Adham, “Bagaimana kondisimu?, maka ia menjawab, “Aku dalam keadaan baik,
selama tidak ada yang menanggung nafkahku”.
Diriwayatkan bahwa beliau pergi meninggalkan rumahnya menuju negri Syam untuk
mencari rezki yang halal dengan tangannya sendiri. Beliau bekerja di sawah milik
orang lain dengan tekun dan selalu menjaga amanah yang diamanahkan kepadanya.
Ahli sejarah berkata, “Ibahim bin Adham adalah penduduk Balakh, dia pergi ke
Makkah, di tempat tersebut ia menemani Sufyan ats-Tsauri, Fudhail bin ‘Iyadh,
kemudian dia pergi ke Syam, di sana dia makan dari usahanyan sendiri, dan kemudian
dia wafat di sana”.
Diriwayatkan bahwa Imam Nasai berkata, “Ibrahim bin Adham tsiqah (terpercaya),
salah seorang dari orang-orang yang zuhud”.
Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata, “Ibrahim bin Adham seorang yang
memiliki keutamaan, dia mempunyai rahasia dan hubungan (dalam beribadah -red)
antara dia dengan Allah ’Azza wa jalla, aku tidak melihat dia menampakan tasbih,
maupun sesuatu dari amal ibadahnya, dan tidaklah dia makan bersama seseorang,
kecuali dia yang terakhir mengangkat tangannya (untuk makan makanan tersebut)”.
Wafat beliau
Para ulama berbeda pendapat tentang tahun wafatnya Ibrahim bin Adham, namun
imam Ibnu Katsir menguatkan pendapat Ibnu ‘Asakir. Ibnu ‘Asakir rahimahullah
meriwayatkan bahwa (riwayat) yang terjaga adalah bahwa Ibrahim bin Adham wafat
pada 162 H.
[Sumber: Diterjemahkan dan diposting oleh Sufiyani dengan sedikit penambahan dan
pengurangan dari kitab Siyar A’lami Nubala jilid, 7/387-396; Siarus Salafis Shalihin,
jilid, 3/963-973; dan al-Bidayah wa an-Nihayah jilid, 10/558-568]
Kisah Ibrahim Bin Adham dan Burung Gagak
Setiap makhluk di alam raya ini memiliki rezeki sendiri-sendiri.
Suata ketika, pria yang dikenal dengan nama lain Ibrahim bin Adham ini terduduk di
sebuah tempat. Di sana, dia membuka bekal makanannya. Tanpa diduga, seekor
burung gagak datang mengambil sedikit makanan tersebut, lalu terbang menuju bukit.
Ibrahim penasaran dengan burung tersebut.
Karena jejak terakhir yang diingatnya ke arah bukit, dia memacu kudanya ke sana.
Sampai di dataran tinggi bukit tadi, Ibrahim menemukan seseorang dalam kondisi
terikat. Burung gagak tadi ada di dekat orang tersebut. Paruhnya yang membawa
makanan bergerak mendekati mulut orang yang terikat.
Burung itu kemudian melepas makanannya. Mulut orang terikat itu terbuka dan
menelannya. Hal seperti itu terjadi dalam beberapa hari sejak pria tak dikenal itu
terikat dan dibuang kawanan perampok. Tapi, dengan kuasa Allah, dia masih hidup
dan tetap mendapatkan rezeki untuk makan, sungguh luar biasa.
Kisah ini diabadikan seorang alim Syekh Muhammad Bin Abu Bakar Alushfuri dalam
kitabnya Mawaizh Ushfuriyah yang berarti nasihat burung. Pesan yang terkandung di
dalamnya adalah setiap makhluk di alam raya ini memiliki rezeki sendiri-sendiri.
Halal berarti sesuatu yang boleh dikonsumsi sesuai ketentuan Islam. Yang baik (tayib)
adalah segala makanan dan minuman yang layak dikonsumsi. Dengan mengonsumsi
makanan semacam tadi, manusia akan mensyukuri keadaan yang dialaminya.
Berbagi kepemilikan untuk menunjukkan hakikat dirinya sebagai makhluk sosial yang
tak bisa hidup sendirian. Juga, memaksimalkan ibadah kepada Sang Pencipta karena
telah dianugerahi segala rezeki dan kenikmatan. Demikianlah Abu Bakar al- Ushfuri
menjelaskan hikmah di balik kisah tersebut.
Yang menarik adalah, meski dia hidup seder hana, tak pernah mengemis uang dan
harta orang lain. Dia tetap bekerja, di antara nya, menjadi tukang kebun, membantu
petani, atau sekadar berjualan. Semua itu dia lakoni untuk kesederhanaan memenuhi
kebutuhan.
Ibrahim bin Adham: Ulama Kaya Ilmu Nan Wara' Dan Zuhud
Biografi singkat, Ibrahim bin Adham, seorang ulama yang tidak hanya kaya akan
ilmu, namun juga sangat wara' dan zuhud terhadap dunia sehingga diberi gelar,
Sulthân al-Awliyâ’:
Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Adham bin al-Manshur al-‘Ijli. Ia lahir di
Balakh, sebelah Timur Khurasan. Karena itu ia dikenal pula dengan nama Abu Ishaq
al-Balakhi. Menurut Imam al-Bukhari (wafat 870 M), Ibrahim bin Adham adalah
keturunan kedua dari Umar bin al-Khaththab ra. Ibrahim bin Adham adalah seorang
penguasa di Balakh yang kaya-raya dengan istananya yang megah. Namun, meski
hidup bergelimang harta dan kekuasaan, hatinya tidak menjadi lalai.
Lama-lama, gemerlapnya dunia tak membuat dirinya bahagia, juga tak bisa
menghadirkan ketenangan jiwa. Akhirnya, ia meninggalkan istana dan semua
kemewahan duniawi. Ia pergi ke Baghdad, Irak, Syam dan Hijaz untuk menimba ilmu
dari para ulama. Pencariannya ditopang dari hasil buruan dan memelihara kebun. Ia
hidup sebagai seorang yang amat zuhud dan wara’. Ia terkenal sebagai ahli ibadah dan
sangat penyantun terhadap sesama, terlebih lagi kepada orang-orang miskin (Lihat:
Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala, 7/387-396).
Tentang keutamaan Ibrahim bin Adham, Imam an-Nasa’i berkata, “Ibrahim bin
Adham tsiqah (terpercaya). Ia salah seorang yang amat zuhud.” (Al-Khathib al-
Baghdadi, Târîkh Baghdâd, 3/219).
Terkait keikhlasannya, Ibrahim bin Adham, jika ikut terlibat dalam peperangan
(jihad), misalnya, usai perang ia tidak mengambil ghanîmah (rampasan perang) yang
menjadi haknya. Hal itu ia lakukan demi meraih kesempurnaan pahala jihad (Ibn al-
Jauzi, Talbîs Iblîs, 1/180; Al-Mustafâd min Dzayl Târîkh Baghdâd, 1/31).
Sikap zuhudnya juga tampak saat Ibrahim bin Adham pergi safar ke Baitullah
(Makkah). Saat itu ia berpapasan dengan seorang Arab dusun yang mengendarai
seekor unta. Orang itu berkata, “Syaikh, mau kemana?” Ibrahim bin Adham
menjawab, “Ke Baitullah.” Orang itu bertanya lagi, “Anda ini seperti tak waras. Saya
tidak melihat Anda membawa kendaraan, juga bekal, sementara perjalanan sangat
jauh.” Ibrahim kembali berkata, “Sebetulnya saya memiliki beberapa kendaraan.
Hanya saja, engkau tidak melihatnya.” Orang itu bertanya, “Kendaraan apa
gerangan?” Ibrahim bin Adham berkata, “Jika di perjalanan aku tertimpa musibah,
aku menaiki ‘kendaraan sabar’. Jika di perjalanan aku mendapatkan nikmat, aku
menaiki ‘kendaraan syukur’. Jika di perjalanan Allah SWT menetapkan suatu qadhâ’
untukku, aku menaiki ‘kendaraan ridha’.” Orang Arab dusun itu lalu berkata, “Jika
demikian, dengan izin Allah, teruskan perjalanan Anda, Syaikh. Anda benar-benar
berkendaraan. Sayalah yang tidak berkendaraan.” (Fakhruddin ar-Razi, Mafâtîh al-
Ghayb, 1/234).
Dalam kisah lain, Sahl bin Ibrahim menuturkan, “Aku berteman dengan Ibrahim bin
Adham. Saat aku sakit ia membiayai semua pengobatanku dan memenuhi semua
keinginanku. Setelah agak sembuh dari sakitku, aku bertanya, “Ibrahim, di manakah
keledaimu?” Ibrahim bin Adham menjawab enteng, “Telah kujual untuk memenuhi
keperluanmu.” Aku bertanya kembali, “Lalu kita naik apa?” Ibrahim bin Adham
berkata, “Saudaraku, naiklah ke atas punggungku.” Kemudian ia membawa aku
ketiga tempat." (Al-Qusairi, Risâlah al-Qusyairiyyah).
Ibrahim bin Adham amat terkenal dengan nasihat-nasihatnya yang dalam dan amat
menyentuh kalbu. Ia, antara lain, berkata, “Ada tiga perkara yang paling mulia di
akhir zaman: (1) teman dekat di jalan Allah; (2) mengusahakan harta yang halal; (3)
menyatakan kebenaran di hadapan penguasa.” (Abu al-Hajjaj al-Mazzi, Tahdzîb al-
Kamâl, 2/35).
Suatu saat Ibrahim bin Adham berjalan melewati sebuah pasar di Bashrah, Irak. Tiba-
tiba ia dikelilingi oleh banyak orang. Ia ditanya oleh mereka tentang firman Allah
SWT yang artinya, ”Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan do’a
kalian.” (TQS Ghafir [40]: 60). Mereka mengatakan, “Kami telah berdoa kepada
Allah, namun mengapa belum juga dikabulkan?” Lalu beliau menjawab, “Karena hati
kalian telah mati oleh sepuluh perkara: (1) Kalian mengklaim mengenal Allah, tetapi
tidak menunaikan hak-hak-Nya; (2) Kalian membaca Kitab-Nya, tetapi tidak
mengamalkan isinya; (3) Kalian mengaku memusuhi setan, tetapi mengikuti
ajakannya; (4) Kalian mengaku mencintai Rasulullah saw., tetapi meninggalkan
sunnah-sunnahnya; (5) Kalian mengklaim merindukan surga, tetapi tidak melakukan
amalan-amalan penduduk surga; (6) Kalian mengaku takut neraka, tetapi justru
banyak melakukan perbuatan penduduk neraka; (7) Kalian mengatakan kematian itu
pasti, tetapi tidak menyiapkan bekal untuk menghadapi kematian itu; (8) Kalian sibuk
mencari aib orang lain, sedangkan aib kalian sendiri tidak kalian perhatikan; (9)
Kalian makan dari rezeki Allah, tetapi tidak pernah bersyukur kepada-Nya; (10)
Kalian sering menguburkan orang mati, tetapi tidak pernah mengambil pelajaran dari
kematian mereka.”
Mendengar nasihat itu, orang-orang itu pun menangis (Ibn Rajab al-Hanbali, Rawa’i’
at-Tafsîr, 2/230; Jâmi’ Bayân al-’Ilmi wa Fadhlihi, 12/2).
Ibrahim bin Adham juga berkata, “Amal terberat di mizan (timbangan amal di
akhirat) adalah yang paling memberatkan badan (dilakukan dengan susah-payah,
pen.).” (Al-Asbahani, Hilyah al-Awliyâ’ wa Thabaqât al-Ashfiyâ’, 8/16).
Menurut Ibnu Asakir, Ibrahim bin Adham wafat sebagai syuhada pada 162 H dalam
sebuah peperangan (jihad). Ia dimakamkan di Jabala, Suriah.
Syekh Ibrahim bin Adham berniat menginap di masjid ketika dingin malam menusuk
tulang-tulangnya. Tapi tak disangka, selepas shalat Isya', saat jamaah yang lain pulang
semua, tiba-tiba ia dihampiri seorang imam dan memintanya keluar.
"Saya orang luar. Saya berencana menginap malam ini di masjid," Ibrahim bin
Adham menjelaskan.
Sufi zuhud itu pun terlibat obrolan panjang dengan si imam, hingga akhirnya kakinya
diseret lalu tubuhnya dilempar ke tempat pembuangan sampah. Pintu masjid pun
ditutup.
Ibrahim bangkit dalam kondisi bingung, salah apa dan hendak singgah ke mana. Saat
itulah ia mendekati dapur api yang sedang menyala-nyala, lalu berjumpa orang
sederhana namun amat spesial.
"Assalamu'alaikum," sapa Syekh Ibrahim.
Tak ada balasan salam. Ia pun kian mendekat ke pria yang tampak sangat sibuk
dengan aktivitasnya itu. Pria tersebut hanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Baru
setelah rampung dengan aktivitasnya, ia membalas salam orang asing yang
menghampirinya itu.
"Mengapa kau tak menjawab salamku dengan segera?" tanya Syekh Ibrahim bin
Adham.
"Aku ini pegawai, saya khawatir sibuk dengan urusan di luar pekerjaanku, sehingga
berdosalah aku."
"Aku tidak tahu dari arah mana malaikat maut bakal mendatangiku," jawab pria itu.
Perbicangan pun lantas berlangsung hangat. Syekh Ibrahim bin Adham mulai
bertanya tentang hal-hal yang bersifat pribadi.
"Satu plus seperenam dirham. Seperenam dirham untuk kebutuhanku sendiri, satu
dirham untuk kebutuhan keponakan-keponakanku. Anakku sendiri sudah meninggal.
Sudah 20 tahun aku menghidupi anak-anak saudaraku itu."
Syekh Ibrahim terenyuh. Ternyata ia sedang berhadapan dengan orang yang istimewa.
Yakni, pria yang sangat bertanggung jawab dan sangat amanah terhadap
pekerjaannya, selalu insaf akan kepastian datangnya kematian, serta amat dermawan
kepada orang lain atas dasar persaudaraan universal.
"Ya, selama dua puluh tahun aku memiliki permintaan kepada Allah namun sampai
kini belum terkabul."
"Apa itu?"
"Aku memohon dapat berjumpa Ibrahim bin Adham, lalu aku meningal dunia."
Syekh Ibrahim lantas mengungkap bahwa dirinya adalah orang yang ia tunggu
puluhan tahun itu. Sontak, pria dermawan itu melompat dan merangkul Syekh
Ibrahim dengan penuh haru.
Selanjutnya, atas permintaan, Syekh Ibrahim dengan lembut meletakkan kepala si pria
dermawan itu di atas batu. Dengan lirih, terdengar suara, "Tuhanku, Engkau telah
kabulkan doaku, maka genggamlah sekarang aku menuju ke haribaan-Mu."
Sesaat kemudian, pria saleh yang amanah, zuhud, dan sangat peduli dengan orang lain
melebihi kepentingan dirinya sendiri itu wafat dengan penuh kedamaian dan
ketenangan. Sudah menjadi takdir Ibrahim bin Adham terusir dari masjid, untuk
kemudian menerima takdir lain, yakni berjumpa dengan pelajaran luar biasa. Wallahu
a'lam bish shawab. (Mahbib)
Cerita ini dinarasikan dari kitab "Maurad al-'Adzb fil Mawâ'idh wal Khuthab" karya
Imam Abu Faraj al-Jauzi. Kisah ini juga bisa ditemukan dalam kitab "Jâmi'
Karamâtil Auliyâ" (2/310) karya Syekh Yusuf bin Ismail an-Nabhani.
Dalam kitab Tadzkirah al-Auliya’, Fariduddin Attar mengisahkan Imam Ibrahim bin
Adham dan budak yang baru saja dibelinya. Diceritakan:
ما تلبس؟: قال. ما تُطعمني أطعم: أيُّ شي ٍء تأكل؟ قال: قال. ما تدعوني به: ما اسمك؟ قال: قال،أنه اشترى غالما
أليس لك اختيار؟: قال. ما ترسم وتأمر أعمل بتوفيق هللا: وماذا شغلك وعملك؟ قال: قال. ما تُعطيني ألبس:قال
تعلّمي العبودية من هذا العبد: وقلت لنفسي، فبكيت حتي غشي عل ّي. وما للعبد اختيار، أنا عبد:قال.
Suatu ketika Imam Ibrahim bin Adham membeli seorang budak. Ia bertanya kepada
budak itu, “Siapa namamu?” Budak itu menjawab, “Tuan hendak memanggilku apa?”
Ibrahim bertanya lagi, “Apa yang biasa kau makan?” Jawabnya, “Apa pun yang tuan
berikan, aku akan memakannya.”
Ibrahim bertanya lagi, “Pakaian apa yang ingin kau pakai?” Jawabnya, “Apa pun yang
tuan berikan, aku akan memakainya.”
Ibrahim bertanya lagi, “Apa yang akan kau lakukan dan kerjakan?” Jawabnya, “Apa
pun yang tuan perintahkan, aku akan mengerjakannya dengan pertolongan Allah.”
Ibrahim bertanya lagi, “Apakah kau tidak memiliki keinginan?” Jawabnya, “Saya
seorang budak, untuk apa budak memiliki keinginan.”
Kemudian Aku (Ibrahim bin Adham) menangis hingga tak sadarkan diri, lalu aku
berkata pada diriku sendiri, “Budak ini telah mengajariku bagaimana menjadi seorang
hamba (ubudiyyah).” (Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliya’, alih bahasa Arab oleh
Muhammad al-Ashîliy al-Wasthâni al-Syâfi’i (836 H), Damaskus: Darul Maktabi,
2009, hlm 142).
****
Ketika seorang hamba telah berjuang sekuat tenaga dan berdoa siang malam, tapi
hasil yang dia harapkan belum juga terwujud, kepasrahan itulah yang menjadi
sandaran. Pengetahuan akan kepasrahan mutlak kepada Tuhan membuat manusia
merdeka. Segala tindakannya berasal dari dan untuk Tuhan. Dalam bahasa agama
disebut tawakkal.
Imam Ibrahim bin Adham mendapatkan pelajaran berharga dari hamba sahaya itu.
Pengetahuannya tentang menjadi hamba bertambah, bahwa seorang hamba harus
menerima apa pun yang ditetapkan tuannya. Namun, tetap saja ada perbedaan besar
antara hubungan hamba dengan Tuhan dan hamba dengan tuan (manusia). Perbedaan
mendasarnya terletak pada kasih sayang Tuhan yang tak berbatas. Segala yang
diperintahkan Tuhan kepada hambanya adalah demi kebaikan hambanya. Sedangkan
segala yang diperintahkan tuan (manusia) kepada budaknya—sebagian besar—demi
kebaikan tuannya sendiri.
Dengan berbincang dengan budakanya, Imam Ibrahim bin Adham menyadari bahwa
sebagian besar manusia telah mengabaikan kasih sayang Tuhan yang tertinggi, yaitu
kehendakNya agar manusia memilih jalan kebaikan dan kebajikan, seperti banyak
firman dan sabda nabiNya.
Karena itu, kita harus mulai menyiapkan ketawakkalan kita dalam menjalani
kehidupan. Bukan untuk siapa-siapa atau demi siapa-siapa, tapi untuk diri kita sendiri.
Memahami bahwa diri kita adalah ‘hamba’ tidak berbeda dengan kebutuhan hidup
sehari-hari seperti makanan dan minuman. Kita harus menyadari Allah telah
memberikan begitu banyak fasilitas kehidupan untuk seorang hamba. Sudah
selayaknya kita berserah diri kepadaNya, berusaha tidak bergantung selain
kepadaNya.
Namun, yang perlu dipahami adalah, menjadi hamba bukan berarti diam atau tidak
berbuat apa-apa. Konsep tawakkal tidaklah seperti itu. Imam Sahl bin Abdullah al-
Tustari mengatakan:
ُ فَاَل يَ ْت ُر َك َّن ُسنَّتَه, فَ َم ْن بَقِ َي عَلي َحالِ ِه.ُالتَّ َو ُّك ُل َحا ُل النَّبِ ِّي صلي هللا عليه وسلم َو ْال َكسْبُ ُسنَّتُه
“Tawakkul adalah keadaan spiritual Nabi SAW, sedangkan kasab (berusaha) adalah
cara hidupnya. Barang siapa yang hendak mendiami keadaan spiritualnya, jangan
tinggalkan cara hidupnya.” (Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi, Risalah al-
Qusyairiyyah, hlm 298)
Berserah dirilah kepada Tuhan seperti rasul, yang meski telah dijamin kemaksuman
dan tempatnya di surga, tetap menjalankan shalat melebihi orang biasa karena alasan
syukur dan memohon ampunan Tuhan (istighfar) setiap hari tanpa henti. Bukankah
kita seharusnya begitu sebagai seorang hamba yang bergelimang dosa?
Di sisi lain, perbincangan Ibrahim bin Adham dengan budaknya membuka kesadaran
bahwa tidak ada satu punmanusia yang berhak menjadi tuan atas manusia lainnya.
Jika seseorang bertindak sebagai tuan atas manusia lainnya, secara tak sadar dia telah
menyamakan dirinya dengan Tuhan. Padahal, seluruh kelahiran atau yang dilahirkan
pada mulanya suci (fitrah), tidak ada yang berhak atas hidupnya selain Tuhan sendiri.
Oleh karena itu, kisah di atas adalah kisah tentang pentingnya kesadaran ‘hamba’
untuk memerdekakan diri sendiri dan memanusiakan manusia lainnya. Wallahu
a’lam..