Anda di halaman 1dari 9

JUMAT 7 SEPTEMBER 2018

Keteladanan Kiai, Akhlak Lebih Tinggi dari Ilmu

Saya tidak asing dengan ndalem tersebut. Pertama kali saya menginjakkan kaki di
sana bersama abah saya.

"Kalau nakal dijewer mawon (saja), Kiai," kata abah kepada pemilik ndalem itu
ketika menitipkan saya kepadanya.

Pemilik ndalem itu adalah KH Masbuhin Faqih, Gresik. Ia sosok kiai yang tawadhu
luar biasa kepada guru-gurunya. Beliau sering cerita betapa semua yang didapatkan
hari ini tak lain dan tidak bukan karena doa dari guru-gurunya.

"Al-faqir ini orang yang bodoh, yang membuat pondok ini besar dan dipercaya
masyarakat berkah dari keridhoan para guru," ucap Kiai Masbuhin dalam berbagai
ceramahnya.

Banyak pelajaran yang beliau ceritakan pada para santri. Mengenai masa-masa beliau
selama nyantri di Langitan, Tuban. Salah satunya, selama 15 tahun nyantri beliau
tidak berani sekali pun melewati depan ndalem-nya Kiai Abdul Hadi Zahid maupun
Kiai Abdullah Faqih.

Pernah suatu ketika beliau dicoba oleh Allah, ayahandanya tidak bisa mengirimi uang;
dan beliau harus pamit pulang dari pesantren untuk membantu perekonomian keluarga
di rumah. Beliau mengajar di madrasah yang ada di daerah Tanggul, Gresik.

Di tengah pengabdianya dalam mengajar untuk mencari nafkah, beliau bermimpi


dipanggil oleh Kiai Abdul Hadi Zahid untuk kembali ke Langitan. Karena
ketaatannya pada guru, meski melalui mimpi, beliau pun kembali ke Pesantren
Langitan dengan kondisi ekonomi yang kesusahan.

Ketaatan dan ketawadhuan itu tidak hilang sedikit pun sampai hari ini. Meski beliau
telah menjadi kiai besar sekali pun, terlihat setiap tahun, saat haul Langitan. Salah
satu kebiasaannya, beliau tidak pernah menunjukan kekiaianya di depan publik.
Beliau rela duduk lesehan bersama alumni dan santri yang lain. Karena bagi beliau,
ketika menginjakan kaki di Langitan, tetaplah santri, bukan kiai.

Perangainya santun meneduhkan. Kepada siapa pun beliau selalu murah senyum dan
tawadhu.

Pernah suatu hari Kiai Masbuhin sowan ke ndalem Habib Lutfi Pekalongan. Saat
tamu yang lain langsung naik ke lantai atas, beliau dengan sabar menunggu panggilan
di lantai bawah.

"Kiai mboten (tidak) ke atas?" tanya salah satu pengunjung.

"Mboten wanton kulo (saya tidak berani)," jawab Kiai Masbuhin. Padahal Habib Lutfi
sudah sering berkunjung ke pesantrennya.
Kiai Masbuhin tidak menunjukan sedikit pun bahwa beliau kiai besar di Gresik yang
memiliki santri ribuan dan pondok pesantren yang cabangnya tersebar di seluruh
Nusantara.

Adab di atas Ilmu


Salah satu yang sering diajarkan Kiai Masbuhin Faqih adalah puncak dari ilmu adalah
adab, sopan santun (akhlaqul karimah).

Baru-baru ini viral foto Pengasuh Pondok Pesantren Pandanaran Kiai Mu'tasim Billah
sowan ke ndalem Kiai Masbuhin Faqih.

Kiai Mu'tasim (kiri) dan Kiai Masbuhin

Lihatlah, akhlak dua mutiara tersebut. Penuh cinta dan saling merendah. Begitulah
jika para ulama Nusantara bersua. (Rouf Hanif)

Penulis adalah santri KH Masbuhin Faqih

JUMAT 7 SEPTEMBER 2018 6:0 WIB


3 Tanda Ikhlas Menurut Dzun Nun al-Misri

Ikhlas adalah sesuatu yang sangat mudah untuk diucapkan, namun sulit untuk
dilaksanakan. Belum tentu orang yang mengaku ikhlas, itu ikhlas. Mengapa? Karena
orang yang mengetahui apakah orang tersebut benar-benar ikhlas atau tidak adalah
Allah. Bahkan, malaikat dan setan pun tidak mengetahui perihal keikhlasan
seseorang.

Dalam sebuah hadits musalsal, Rasulullah ditanya tentang makna ikhlas. Lalu
kemudian Rasulullah bertanya kepada Jibril dan Jibril bertanya langsung kepada
Allah. Dalam hadits tersebut, Allah berfirman bahwa ikhlas adalah satu diantara
banyak rahasia-Ku (Allah) yang Aku titipkan di hati seseorang yang Aku cintai dari
hamba-hamba-Ku, yang tidak dapat dilihat malaikat untuk dicatatnya, dan tidak juga
terlihat oleh setan untuk dirusaknya.
Namun demikian, tidak sedikit orang yang mengumpamakan sikap ikhlas dengan
perumpamaan-perumpamaan. Ada yang mengumpamakan ikhlas dengan akar pohon.
Tidak terlihat, tapi tetap bekerja dalam sunyi. Ia mengangkut makanan dari tanah
sehingga sebuah pohon menjadi besar, beranting banyak, berdaun lebat, berbunga,
dan berbuah.

Ada juga yang menamsilkan ikhlas dengan Surat Al-Ikhlas, surat ke-112 dalam Al-
Qur’an. Nama surat tersebut Al-Ikhlas, tapi di dalamnya tidak ditemukan kata
‘ikhlas.’ Ada pula yang mengibaratkan ikhlas dengan gula pasir. Gula pasir
memberikan rasa manis pada teh sehingga disebut teh manis, bukan teh gula. Dan
tamsil-tamsil yang lainnya.

Betul, hanya Allah yang mengetahui keikhlasan seseorang. Akan tetapi, seorang
tokoh sufi besar pada abad ketiga Hijriyah, Dzun Nun al-Misri, mengemukakan
bahwa ikhlas memiliki tanda-tanda. Dalam sebuah makalah –dalam kitab Al-Risalah
Al-Qusyairiyyah yang dikutip buku Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur, Dzun
Nun al-Misri mengatakan, ada tiga tanda keikhlasan seseorang. Pertama, menganggap
pujian dan celaan sama. Seseorang yang betul-betul ikhlas akan bersikap sama ketika
menerima pujian atau pun celaan. Ia tidak akan terpengaruh karena dua hal tersebut.
Baginya, apapun yang dilakukan adalah karena dan untuk Allah.

Kedua, melupakan amal baik. Suatu ketika Gus Dur pernah ditanya tentang makna
ikhlas. Menurut Gus Dur, ikhlas adalah seseorang bekerja untuk orang lain dan telah
memberikan kesenangan kepada mereka, namun seseorang tersebut telah lupa dan tak
pernah ingat telah melakukannya. Itu lah tanda seseorang ikhlas. Ia tidak pernah ingat
tentang apa yang telah dikerjakannya.

Ketiga, melupakan hak amal baiknya untuk memperoleh pahala di akhirat. Tidak lain,
orang yang ikhlas adalah orang yang hanya menginginkan pahala amal di akhirat,
bukan di dunia. Ia tidak pernah mengharapkan imbalan atau balasan amal baiknya di
dunia ini.

Dalam hal beribadah, ikhlas menjadi sebuah kunci utama. Bahkan, Syekh Ibnu
Athaillah as-Sakandari dalam kitabnya Al-Hikam mengibaratkan amal ibadah seperti
jasad fisik tanpa nyawa. Sementara ruhnya amal ibadah adalah keikhlasan. Oleh
karena itu, setiap amal ibadah yang dilakukan dengan tidak ikhlas, artinya amal
ibadah tersebut mati karena tidak ada ruhnya.

“Amal bagaikan sosok yang tegak (tanpa nyawa), dan nyawa-nya adalah keikhlasan
yang berada di dalamnya,” kata Syekh Ibnu Athaillah. (A Muchlishon Rochmat)

SABTU 8 SEPTEMBER 2018 13:0 WIB


Kisah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, dan Perempuan Hamil

Sayyidina Ali bin Abi Thalib dikenal sebagai seorang sahabat Rasulullah yang
pemberani, alim, berwawasan luas, dan cerdas. Ali adalah sahabat yang pemberani. Ia
mempertaruhkan nyawanya demi keselamatan Rasulullah. Suatu ketika, para kafir
Quraisy mengepung rumah Rasulullah dan hendak membunuhnya. Lalu, Ali bin Abi
Thalib menggantikan posisi Rasulullah dan tidur di tempat tidur Rasulullah.
Ali bin Abi Thalib juga seorang sahabat yang cerdas. Jika para sahabat lainnya
menemukan sebuah persoalan dan tidak tahu jawabannya, maka persoalan tersebut
dibawa ke Ali bin Abi Thalib. Para sahabat juga sudah maklum kalau Ali memang
orang yang tepat untuk dimintai jawaban atas persoalan yang mereka tidak tahu
jawabannya. Maka tidak heran jika Rasulullah mengibaratkan Ali bin Abi Thalib
sebagai pintunya ilmu, sementara Rasulullah sendiri sebagai kotanya ilmu (Ana
madinatul ilmi wa Ali babuha). Ini merupakan testimoni Rasulullah atas kecerdasan
yang dimiliki Ali bin Abi Thalib.

Ada banyak cerita tentang kecerdasan Ali bin Abi Thalib. Salah satunya tentang
seorang perempuan yang melahirkan pada saat usia kandungannya baru enam bulan.
Dikutip dari buku Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, pada zaman Khalifah
Utsman ada seorang perempuan yang melahirkan dalam usia kehamilan enam bulan.

Kemudian perempuan itu dibawa ke hadapan Khalifah Utsman. Mungkin karena


ketidaktahuannya, Khalifah Utsman memerintahkan agar perempuan tersebut
dihukum rajam (hukuman bagi pelaku zina dengan dilempari batu hingga meninggal)
karena dianggap telah melakukan zina. Pada waktu itu pikiran Utsman sederhana saja,
masa iya baru enam bulan sudah melahirkan.

Akan tetapi, perempuan itu menolak hukuman tersebut karena ia mengaku tidak
pernah berbuat zina. Sontak saja peristiwa ini membuat heboh masyarakat Islam.
Maklum karena pada saat itu belum ada informasi valid tentang masa perempuan
paling cepat melahirkan adalah enam bulan sebagaimana yang dikukuhkan Imam
Syafi’i suatu hari nanti.

Hingga akhirnya kabar tersebut sampai ke telinga Ali bin Abi Thalib. Ali menegaskan
kalau usia kehamilan minimal adalah enam bulan. Ali mendasarkan pendapatnya itu
dengan mengutip QS. Surat al-Ahqaf ayat 15 dan al-Baqarah ayat 233. Pada ayat
pertama disebutkan bahwa masa perempuan mengandung dan menyusui bayinya
adalah 30 bulan. Sementara ayat kedua hanya menjelaskan tentang waktu menyusui
saja, yakni dua tahun atau 24 bulan. Dengan demikian, Ali bin Abi Thalib membuat
kesimpulan kalau usia minimal perempuan melahirkan adalah enam bulan: 30 bulan
masa mengandung dan menyusui dikurangi 24 bulan masa menyusui saja.

Setelah menerima pemahaman dari Ali bin Abi Thalib, Khalifah Utsman bin Affan
akhirnya tidak jadi menghukum perempuan yang melahirkan dalam usia kehamilan
enam bulan tersebut. Perempuan itu pun terbebas dari hukuman rajam, karena dia
memang tidak melakukan perbuatan zina. (A Muchlishon Rochmat)

SABTU 14 OKTOBER 2017 13:0 WIB


Sepotong Pelajaran dari Kisah Sampul Rapor

Salah satu kenangan pahitku terkait dengan sekolah adalah ketika kertas sampul Buku
Raporku dilepas, dirobek, diremas-remas, lalu dibantingkan ke lantai di depan kelas.
Kepala sekolahku marah besar saat dilihatnya sampul Buku Raporku lain dari pada
yang lain.
Aku adalah seorang bocah siswa SD swasta Islam di Solo yang hanya bermodal
semangat belajar tinggi. Aku memang tidak seperti teman-teman sekolahku yang
memiliki sarana belajar cukup dan pantas. Tas sekolahku jelek. Baju-bajuku lusuh.
Buku-buku pelajaran aku tak punya. Sepatu aku juga tak punya. Tanggal 10 setiap
bulan adalah hari yang penuh hantu bagiku karena tanggal itu merupakan hari terakhir
pembayaran SPP. Tidak hanya sekali orang tuaku belum bisa membayar SPP-ku
meski sudah tanggal 10.

Waktu itu aku masih duduk di bangku kelas 2 sebelum kepindahanku ke Madiun lalu
kembali lagi ke Solo dan pindah ke SD negeri. Aku menerima Buku Rapor untuk
Catur Wulan II. Rata-rata nilaiku cukup bagus meski tidak di peringkat I. Aku merasa
cukup bangga dengan prestasi seperti itu mengingat keadaanku yang tidak memiliki
sarana belajar cukup. Peristiwa luar biasa terjadi ketika aku mengumpulkan kembali
Buku Rapor di sekolah yang sudah ditandatangani bapakku di rumah.

“Ini rapor siapa?!” Tanya Kepala Sekolah kepada seluruh siswa di kelasku sambil
mengangkat keatas dan menunjukkan buku rapor yang diambilnya dari tumpukan
paling atas. Suaranya lantang. Matanya berkaca-kaca. Beliau marah besar melihat
kertas sampul Buku Raporku. Dilepasnya kertas sampul itu dengan kasar. Direbok.
Diremas-remas. Lalu dibantingkan ke lantai.

Saat itu, aku tak sanggup melihat kertas sampul Buku Raporku telah menjadi sampah
di depan kelas. Aku ingin menangis. Aku ingin menjerit memanggil ibuku.

“Ini rapormu kan!?” Kata Kepala Sekolah menunjuk ke aku. “Ayo maju kamu!”

Aku pun maju ke depan mengahadap beliau.

“Ganti sampulnya! Itu tak pantas. Tahu?!”

Tanganku gemetaran menerima kembali Buku Raporku yang sudah telanjang.


Wajahku terasa panas. Tenggorakanku terasa kering. Lidahku kaku. Aku tak mampu
berkata apa-apa. Dadaku sesak menahan tangis. Aku takut dan sedih sekali. Aku tidak
menduga sama sekali niatku membantu meringankan beban ibuku dengan
memanfaatkan kertas minyak warna hijau yang telah lama dipakai untuk menutup
kaca almari, ternyata bermasalah dalam pandangan orang dewasa.

“Bu... daripada Buku Raporku tanpa sampul sama sekali, dan itu sudah pasti akan
dimarahi Kepala Sekolah, bagaimana kalau kertas di kaca almari itu saya lepas saja
dan kemudian dipakai untuk menyampuli rapor?” Tanyaku pada ibuku meminta izin
pada hari sebelumnya.

“Ibu belum punya uang kan untuk membeli selembar kertas minyak buat menyampuli
Buku Rapor?” Lanjutku.

Ibuku tidak memberikan jawaban apa-apa selain membiarkan aku melepas kertas dari
kaca almari. Tetapi aku sempat melihat wajah ibuku agak memerah. Dibiarkannya
aku menambal kertas yang aku lepas dari almari itu karena robek. Bukan lem seperti
yang biasa di jual di toko yang aku gunakan untuk menggabungkan kembali sisi-sisi
dan sudut-sudut kertas yang putus. Aku menggunakan butiran-butiran nasi sisa makan
siang hari itu.

“Gimana Bu...?” Tanyaku pada ibuku sambil memperlihatkan Buku Rapor yang telah
selesai aku sampuli. Ibuku tidak berkata apa-apa selain menganggukkan kepala
sambil mencoba membenahi sudut-sudut yang masih kurang rapi.

“Semoga tidak terjadi apa-apa dan kelak kau jadi anak pintar dan bijak,” kata ibuku
singkat pada akhirnya menjawab pertanyaanku.

Pagi itu di hari berikutnya aku bergegas ke sekolah dengan penuh semangat. Aku
sangat bangga mengembalikan buku raporku ke sekolah karena disampaing telah aku
sampuli sesuai warna yang diminta, tepat waktu, juga karena nilai-nilaiku tidak ada
yang merah alias bagus-bagus. Namun, yang terjadi kemudian adalah sesuatu yang
sangat mengejutkan dan menyayat hati.

Peristiwa itu terjadi 46 tahun lalu, atau tepatnya pada tahun 1971. Kini aku adalah
seorang dosen yang mengajar di sebuah perguruan tinggi. Kadang ketika aku berdiri
di depan kelas di depan para mahasiswa, kenangan pahit itu muncul begitu saja di
benakku yang membuatku merenung dan bertanya pada diri sendiri, apakah aku anak
kreatif atau memang kurang ajar.

Dari peristiwa itu aku belajar untuk tidak terburu-buru menghakimi para mahasiswaku
sebelum memahami persoalan mereka dengan baik. Jika perlu aku meminta klarifikasi
terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan.

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama


(UNU) Surakarta

RABU 18 OKTOBER 2017


Kisah Masjid dan Shalat Jumat Pertama Rasulullah

Dalam perjalanan hijrah yang menegangkan dan mengharukan, Nabi shallallahu


'alaihi wasallam dan sahabatnya Abu Bakar al-Shiddiq singgah di Quba, kota kecil
berjarak kira-kira tujuh kilometer dari kota Madinah. Di kota kecil yang banyak
ditumbuhi pohon kurma yang menghijau itu, Nabi tinggal selama empat hari, menurut
riwayat lain disebutkan empat belas hari. Di sana, Nabi berjumpa dengan para
sahabatnya yang sangat setia seperti Umar ibn Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi
Thalib dan para sahabat yang lain.

Selama tinggal di Quba, beliau dengan para sahabatnya yang terdiri dari para muhajir
(orang-orang yang berhijrah dari Makkah ke Madinah) dan penduduk Quba
membangun suatu masjid yang disebut dengan Masjid Quba. Itulah masjid yang
pertama kali dibangun Nabi dan para sahabatnya, yang ditegakkan atas dasar takwa
kepada Allah.

ُّ‫ق أَن تَقُو َم فِي ِه فِي ِه ِر َجا ٌل ي ُِحبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا َوهَّللا ُ ي ُِحب‬ َ ‫اَل تَقُ ْم فِي ِه أَبَدًا لَّ َم ْس ِج ٌد أُس‬
ُّ ‫ِّس َعلَى التَّ ْق َو ٰى ِم ْن أَو َِّل يَوْ ٍم أَ َح‬
َ‫ْال ُمطَّه ِِّرين‬
Artinya: “Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu (dhirar) selama-lamanya.
Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba), sejak hari
pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. di dalam masjid itu terdapat
orang-orang yang ingin membersihkan diri, dan sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bersih. (QS. Al-Taubah, 9:108).

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sampai di Quba pada hari Senin, setelah tinggal
selama empat atau empat belas hari, dan telah selesai membangun masjid yang
pertama kali didirikan itu, beliau dan para sahabatnya bersiap-siap untuk melanjutkan
perjalanan ke kota Madinah yang selama ini menjadi tumpuan harapan. Pada hari
Jumat pagi sekali, Nabi dan para sahabatnya berangkat menuju Yatsrib atau Madinah.
Menjelang memasuki kota Madinah pada kilometer empat, beliau sampai di suatu
lembah bernama Wadi Ranuna milik keluarga Bani Salim ibn Auf, di tempat itu Nabi
dan rombongan melakukan shalat Jumat (M. Muhyiddin, Sayyiduna Muhammad Nabi
al-Rahmah, hal. 61). Itulah shalat Jumat pertama yang dilakukan Nabi dan para
sahabatnya. Sampai sekarang jamaah haji selalu menyempatkan diri berkunjung ke
masjid tersebut, dinamai Masjid Jumat karena ia dipakai shalat Jumat untuk yang
pertama kalinya.

Dalam khutbahnya yang pertama itu Nabi mewasiatkan beberapa pelajaran yang
penting, di antaranya sebagai berikut: “Wahai manusia, hendaklah kamu berbuat
kebajikan bagi dirimu sendiri, kamu akan mengetahui, demi Allah, sesungguhnya
seseorang dari kamu dikejutkan dengan suara gemuruh, sehingga meninggalkan
domba gembalaannya, maka domba itu tidak ada penggembalanya lagi. Allah
berfirman padanya, padahal tidak ada penerjemah dan tidak ada penghalang yang
menghalangi di sisi-Nya: “Tidakkah rasul-Ku telah datang kepadamu menyampaikan
kebenaran?, Aku karuniakan kepadamu harta dan kenikmatan yang banyak maka apa
yang dapat kamu kerjakan untuk dirimu?” Orang itu kemudian menoleh ke kiri dan ke
kanan, semuanya lengang tidak melihat sesuatu. Kemudian melihat ke depannya, ia
pun tidak melihat sesuatu kecuali Jahannam. Siapa yang ingin terlepas dari siksa
Jahannam, meskipun hanya sekedar berbuat baik kepada orang lain dengan
memberikan secuil buah kurma, hendaklah ia lakukan. Jika secuil buah kurma pun
tidak dimilikinya maka hendaklah ia bertutur kata yang baik. Karena tutur kata yang
baik adalah amal perbuatan yang terpuji....”. (M. Khudry Bek, Nur al-Yaqien, hal.
82).

Khutbah tersebut mengarahkan umat manusia agar selalu berbuat kebajikan terhadap
sesamanya dan tidak mencampakkan dirinya dalam kehancuran dan kenistaan.
Sebagai umat Islam, kita wajib memberikan bantuan terhadap mereka yang
membutuhkannya. Bantuan itu bisa berupa harta, wisdom (kebijaksanaan), jasa,
nasehat, fikiran, do’a, dan bertutur kata yang baik. Umat Islam diarahkan al-Qur’an
agar senantiasa menjaga keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat, tidak
diperkenankan mengabaikan salah satunya.

‫ض‬ِ ْ‫ك َواَل تَب ِْغ ْالفَ َسا َد فِي اأْل َر‬
َ ‫ك ِمنَ ال ُّد ْنيَا َوأَحْ ِسن َك َما أَحْ َسنَ هَّللا ُ إِلَ ْي‬ َ ‫ك هَّللا ُ ال َّدا َر اآْل ِخ َرةَ َواَل ت‬
ِ َ‫َنس ن‬
َ َ‫صيب‬ َ ‫َوا ْبت َِغ فِي َما آتَا‬
ْ ْ ‫اَل‬
َ‫إِن َ ي ُِحبُّ ال ُمف ِس ِدين‬‫هَّللا‬ َّ

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi
dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik,
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qashash, 28: 77).

Mengenai perseimbangan kehidupan, yang juga berkaitan dengan ayat tersebut di


atas, Ibn al-Asakir meriwayatkan:

ٌ ‫ فَإ ِ َّن ال ُّد ْنيَا بَال‬،‫يب ِم ْنهُ َما َج ِميعًا‬


‫غ إِلَى اآْل ِخ َر ِة‬ ِ ‫آخ َرتَهُ لِ ُد ْنيَاهُ َحتَّى ي‬
َ ‫ُص‬ ِ ‫ َوال‬،‫ك ُد ْنيَاهُ آِل ِخ َرتِ ِه‬
َ ‫ْس بِ َخي ِْر ُك ْم َم ْن تَ َر‬
َ ‫لَي‬

”Bukanlah orang yang terbaik di antaramu, orang yang meninggalkan kehidupan


dunia karena semata-mata mengejar kehidupan akhirat, atau meninggalkan akhirat
karena semata-mata mencari kehidupan dunia, hingga ia memperoleh keduanya
sekaligus. Karena kehidupan dunia adalah sarana untuk mencapai akhirat....”.

KH Zakky Mubarak, Rais Syuriyah PBNU

SABTU 14 OKTOBER 2017 20:16 WIB


Perjanjian Hudaibiyah dan Perdamaian yang Dijunjung Tinggi Nabi

Sepotong sejarah penting dari banyak kisah perjalanan Islam periode awal adalah
perjanjian hudaibiyah. Peristiwa ini tidak hanya menggambarkan ketegangan militer
antara umat Islam dan musyrikin Quraisy tapi juga jejak diplomasi Rasulullah SAW.

Kesepakatan yang juga dikenal dengan sebutan ”shulhul hudaibiyah” tersebut


bermula dari rencana sekitar 1400 pengikut Rasulullah untuk menunaikan ibadah haji.
Kaum musyirikin tidak rela. Mereka berupaya menghalangi pintu masuk kota Makkah
dengan kekuatan militer yang cukup besar.
Rasulullah yang tidak menginginkan peperangan pun lantas mengambil jalur
perundingan. Hasilnya, pada bulan Maret 628 M atau Dzulqaidah 6 H, perjanjian
hudaibiyah diputuskan, di antaranya menyepakati adanya gencatan senjata dan
kesempatan beribadah umat Islam di Makkah.

Hanya saja, perundingan ini sempat berlangsung alot dan cenderung merugikan umat
Islam. Contohnya, muncul penolakan-penolakan terkait dengan sebagian redaksi
pembuka perjanjian yang diusulkan Rasulullah, sebagaimana diterangkan dalam kitab
Hayatus Shahabat.
”Tulislah bismillahirrahmanirrahim (atas nama Allah yang maha rahman lagi maha
rahim),” perintah Nabi kepada juru tulisnya, Ali bin Abi Thalib.
”Ar-Rahman? Aku tak mengenal dia,” sahut perwakilan musyrikin Quraisy, Suhail
bin Amr, memberontak. ”Tulis saja bismika allahumma seperti biasanya!”
Umat Islam yang mengikuti proses perundingan tidak terima dengan protes ini.
Mereka mengotot akan tetap mencantumkan lima kata yang sangat dihormati itu (bi,
ism, allah, ar-rahman, ar-rahim).
”Tulis saja bismika allahumma,” Nabi menenangkan.
Nabi kemudian menyambung, ”Tulis lagi, hadza ma qadla ’alaih muhammad
rasulullah (Inilah ketetapan Muhammad rasulullah).”
”Sumpah, seandainya kami mengakui Engkau adalah rasulullah (utusan Allah), kami
tak akan menghalangimu mengunjungi Ka’bah. Jadi tulis saja Muhammad bin
Abdullah,” Suhail kembali memprotes.
”Sungguh aku adalah rasulullah meskipun Kalian mengingkarinya.” Akhirnya Nabi
mengabulkan tuntutan musyrikin Quraisy untuk mencoret dua kata lagi, rasul dan
allah. ”Tulislah Muhammad bin Abdullah saja,” pintanya kemudian.
Menghindari pertikaian dan pertumpahan darah adalah sikap yang dijunjung tinggi
Rasulullah. Perdamaian menjadi prioritas tujuan, meski isi kesapakatan "mengurangi"
kebesaran nama agama pada tataran simbolis.
Penggalan sejarah ini megingatkan kita pada sejarah penyusunan asas Pancasila.
Demi persatuan dan kerukunan bangsa Indonesia, Piagam Jakarta yang memuat butir
sila pertama ”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya” akhirnya diubah. Mayoritas ulama dan umat Islam Tanah Air
menyepakati pencoretan tujuh kata dalam butir itu sehingga menjadi ”Ketuhanan
Yang Maha Esa”. (Mahbib)

Anda mungkin juga menyukai