Anda di halaman 1dari 5

Ibu Para Ulama

Seorang wanita, baik ibu maupun saudari perempuan adalah pilar masyarakat.Mereka memiliki
peranan besar dalam mendidik dan mengawasi pertumbuhan anak-anak.Mereka pula yang
membantu para suami fokus kala bekerja.Di antara contoh idelanya adalah ibu kita, Khadijah
radhiallahu ‘anha, istri Rasulullah ‫ﷺ‬. Beliau adalah seorang wanita super
istimewa.Keistimewaannya adalah penghargaan terhadap peranan-peranannya.Ia adalah seorang
wanita yang sukses dalam bisnis. Bertanggung jawab di rumah dan berperan untuk anak-
anaknya.Lihatlah anak-anaknya, terwarisi karakter mulia dan luhur. Ia adalah orang yang terbaik
bagi Rasulullah ‫ﷺ‬.

Membaca kisah hidup para ulama, para pembimbing umat dan masyarakat, Anda akan
menyaksikan bagaimana ibu mereka mendidik dan menanamkan karakter mulia kepada mereka.
Ibu mereka menanamkan dasar-dasar agama dan pokok-pokok akidah islamiyah untuk buah
hatinya.Lalu pribadi-pribadi mulia tertempa menjadi anak-anak akhirat bukan anak-anak dunia.

Ketika kita lupa dan lalai terhadap peranan ini, maka akan lahirlah generasi yang gamang akidah
dan agamanya. Generasi yang mudah terombang-ambing tak berprinsip.Mereka tergerus
mengalir bersama zaman, terbang bersama hembusan angin pemikiran.

Sejarah kita mencatat contoh ibu-ibu yang istimewa.Ibu-ibu yang melahirkan tokoh-tokoh besar
ulama Islam.Mereka inilah yang terdepan untuk dijadikan teladan, wahai pemudi-pemudi Islam.

Pertama: al-Khansa, Tumadhar binti Amr bin al-Harits Ibu Para Mujahid

Ketika umat Islam bersiap dan menghitung jumlah pasukan menghadapi Perang Qadisiyah, saat
itu pula al-Khansa bersama empat orang putranya siap berangkat bersama pasukan berjumpa
dengan pasukan Persia.

Dalam sebuah kemah di tengah ribuan kemah lainnya, al-Khansa mengumpulkan keempat
putranya.Ia berwasiat, “Anak-anakku, kalian memeluk Islam dengan penuh ketaatan dan hijrah
dengan penuh kerelaan. Demi Allah, yang tidak ada sesembahan yang hak kecuali Dia, sungguh
kalian terlahir dari ibu yang sama. Aku tidak pernah mengkhianati ayah kalian.Tak pernah
mempermalukan paman kalian.Tak pernah mempermalukan nenek moyang kalian.Dan
takpernah pula menyamarkan nasab kalian. Kalian semua tahu balasan besar yang telah Allah
siapkan bagi seorang muslim dalam memerangi orang-orang yang kafir. Ketahuilah (anak-
anakku), negeri yang kekal itu lebih baik dari tempat yang fana ini. Allah Ta’ala berfirman,

َ ‫يَاأَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اصْ بِرُوا َو‬


َ‫صابِرُوا َو َرابِطُوا َواتَّقُوا هَّللا َ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون‬

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah
bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu
beruntung.” (QS:Ali Imran | Ayat: 200).

Andaikata esok kalian masih diberi kesehatan oleh Allah, maka perangilah musuh kalian dengan
gagah berani, mintalah kemenangan kepada Allah atas musuh-musuh-Nya”.
Ketika sinar pagi telah terbit, kedua pasukan pun bertemu.Gugurlah orang-orang yang
ditakdirkan gugur. Dan mereka yang ditakdirkan hidup, akan tetap hidup walaupun berangkat
mencari kematian.

Usai peperangan, al-Khansa mencari kabar tentang putra-putranya.Kabar syahid anak-anaknya


sampai kepadanya.Ia berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memuliakanku dengan
kematian mereka. Aku berharap Rabku mengumpulkanku bersama mereka dalam kasih sayang-
Nya.”

Kedua: Ibu Sufyan ats-Tsaury

Sufyan ats-Tsaury adalah tokoh besar tabi’ at-tabi’in.Ia seorang fakih yang disebut dengan
amirul mukminin fil hadits (pemimpin umat Islam dalam hadits Nabi). Di balik ulama besar
generasi ketiga ini, adaseorang ibu yang shalihah.Ibu yang mendidik dan menginfakkan waktu
untuk membimbingnya.Sufyan mengisahkan, “Saat aku berencana serius belajar, aku
bergumam, ‘Ya Rab, aku harus punya penghasilan (untuk modal belajar pen.)’.Sementara
kulihat ilmu itu pergi dan menghilang.Apakah kuurungkan saja keinginan belajar.Aku memohon
kepada Allah agar Dia (Yang Maha Pemberi rezeki) mencukupiku”.

Beliau merasa bimbang jika menuntut ilmu, maka butuh modal dan bekal.Jika mencari modal
dan bekal tidak bisa fokus belajar.Karena ilmu itu mudah pergi dan menghilang.

Datanglah pertolongan Allah melalui ibunya. Ibunya berkata, “Wahai Sufyan anakku,
belajarlah..aku yang akan menanggumu dengan usaha memintalku”.

Ibunya menyemangati, menasihati, dan mewasiatinya agar semangat menggapai pengetahuan.Di


antara ucapan ibunya adalah “Anakku, jika engkau menulis 10 huruf, lihatlah!Apakah kau
jumpai dalam dirimu bertambah rasa takutmu (kepada Allah), kelemah-lembutanmu, dan
ketenanganmu?Jika tidak kau dapati hal itu, ketahuilah ilmu yang kau catat berakibat buruk
bagimu.Ia tidak bermanfaat untukmu”.

Inilah di antara bentuk perjuangan ibu Sufyan ats-Tausry.

Ketiga: Ibu Imam Malik bin Anas

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Uwais, “Aku mendengar pamanku, Malik bin Anas, bercerita,
‘Dulu, sewaktu aku kecil, ibuku biasa memakaikanku pakaian dan mengenakan imamah
untukku. Kemudian ia mengantarkanku kepada Rabi’ah bin Abi Abdirrahman. Ibuku
mengatakan, ‘Anakku, datanglah ke majelisnya Rabi’ah.Pelajari akhlak dan adabnya sebelum
engkau mempelajari hadits dan fikih darinya’.”

Keempat: Ibu Imam asy-Syafi’i

Ayah Imam asy-Syafi’i wafat dalam usia muda. Ibunyalah yang membesarkan, mendidik, dan
memperhatikannya hingga kemudian Muhammad bin Idris asy-Syafi’i menjadi seorang imam
besar. Ibunya membawa Muhammad kecil hijrah dari Gaza menuju Mekah.
Di Mekah, ia mempeljari Alquran dan berhasil menghafalkannya saat berusia 7 tahun.
Kemudian sang ibu mengirim anaknya ke pedesaan yang bahasa Arabnya masih murni.
Sehingga bahasa Arab pemuda Quraisy ini pun jadi tertata dan fasih.

Setelah itu, ibunya memperhatikannya agar bisa berkuda dan memanah. Jadilah ia seorang
pemanah ulung. 100 anak panah pernah ia muntahkan dari busurnya, tak satu pun meleset dari
sasaran.

Dengan taufik dari Allah ‫ ﷻ‬kemudian kecerdasan dan kedalaman pemahamannya, saat
beliau baru berusia 15 tahun, Imam asy-Syafi’i sudah diizinkan Imam Malik untuk berfatwa. Hal
itu tentu tidak terlepas dari peranan ibunya yang merupakan seorang muslimah yang cerdas dan
pelajar ilmu agama.

Imam asy-Sayfi’i bercerita tentang masa kecilnya, “Aku adalah seorang anak yatim.Ibukulah
yang mengasuhku. Namun ia tidak memiliki biaya untuk pendidikanku… …aku menghafal
Alquran saat berusia 7 tahun. Dan menghafal (kitab) al-Muwaththa saat berusia 10 tahun.Setelah
menyempurnakan hafalan Alquranku, aku masuk ke masjid,duduk di majelisnya para
ulama.Kuhafalkan hadits atau suatu permasalahan.Keadaan kami di masyarakat berbeda, aku
tidak memiliki uang untuk membeli kertas.Aku pun menjadikan tulang sebagai tempat menulis”.

Walaupun memiliki keterbatasan materi, ibu Imam asy-Syafi’i tetap memberi perhatian luar
biasa terhadap pendidikan anaknya.

Kelima: Ibu Imam Ahmad bin Hanbal

Ibu Imam Ahmad bernama Shafiyah binti Maimunah binti Abdul Malik. Ayahnya wafat di usia
muda, 30 tahun. Ibunya pun hidup menjanda dan enggan menikah lagi, walaupun usianya belum
mencapai 30 tahun.Ia hanya ingin fokus memenuhi kehidupannya untuk anaknya. Buah
usahanya adalah yang kita tahu saat ini.Imam Ahmad menjadi salah seorang imam besar bagi
kaum muslimin.ia adalah imam madzhab yang empat. Semoga Allah merahmati ibu Imam
Ahmad.

Keenam: Ibu Imam al-Bukhari

Imam al-Bukhari tumbuh besar sebagai seorang yatim.Ibunyalah yang mengasuhnya.Ibunya


mendidiknya dengan pendidikan yang terbaik.Mengurus keperluannya, mendoakannya, dan
memotivasinya untuk belajar dan berbuat baik.

Saat berusia 16 tahun, ibunya mengajak Imam al-Bukhari bersafar ke Mekah.Kemudian


meninggalkan putranya di negeri haram tersebut. Tujuannya agar sang anak dapat menimba ilmu
dari para ualma Mekah. Dari hasil bimbingan dan perhatian ibunya, jadilah Imam al-Bukhari
seperti yang kita kenal saat ini.Seorang ulama yang gurunya pernah mengatakan, “Tidak ada
orang yang lebih hebat darinya (dalam ilmu hadits)”.

Ketujuh: Ibu Ibnu Taimiyah

“Demi Allah, seperti inilah caraku mendidikmu. Aku nadzarkan dirimu untuk berkhidmat
kepada Islam dan kaum muslimin.Aku didik engkau di atas syariat agama.Wahai anakku, jangan
kau sangka, engkau berada di sisiku itu lebih aku cintai dibanding kedekatanmu pada agama,
berkhidmat untuk Islam dan kaum muslimin walaupun kau berada di penjuru negeri. Anakku,
ridhaku kepadamu berbanding lurus dengan apa yang kau persembahkan untuk agamamu dan
kaum muslimin. Sungguh –wahai ananda-, di hadapan Allah kelak aku tidak akan menanyakan
keadaanmu, karena aku tahu dimana dirimu dan dalam keadaan seperti apa engkau. Yang akan
kutanyakan dihadapan Allah kelak tentangmu –wahai Ahmad- sejauh mana khidmatmu kepada
agama Allah dan saudara-saudaramu kaum muslimin”.

Inilah surat yang ditulis ibu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kepada dirinya, setelah beliau
memohon izin kepada sang ibu untuk tetap tinggal di Mesir.

Surat ini memberikan kesan yang cukup mendalam kepada kita tentang bagaimana sosok ibunda
Ibnu Taimiyah.Wanita shalihah yang berorientasi akhirat.Wanita kuat yang lebih senang
anaknya bermanfaat bagi orang banyak ketimbang untuk dirinya sendiri.Wanita cerdas yang
menjadikan anaknya investasi untuk kehidupan setelah kematian.

Ibunda Ibnu Taimiyah memberikan kesan bahwa ia adalah wanita yang teguh jiwa dan hatinya.
Semoga Allah merahmatinya.

Kedelapan: Saudari Imam Ibnu Hajar al-Asqalani

Ia adalah seorang wanita yang cerdas dan senang menelaah buku-buku. Ibnu Hajar memujinya
dengan mengatakan, “Ia adalah ibuku setelah ibuku (yang melahirkanku pen.)”.Ia adalah
seorang wanita yang memiliki banyak ijazah dari ulama Mekah, Damaskus, Balbek, dan Mesir.

Ibnu Hajar mengatakan, “Ia mempelajari khat, menghafal banyak surat Alquran, termasuk orang
yang banyak menelaah buku, dan ia pandai dalam hal itu”.Kata Ibnu Hajar pula, “Ia baik dan
sangat sayang kepadaku”.

Karena begitu besar pengatuh saudarinya dalam kehidupannya, sampai-sampai Ibnu Hajar
membuat syair tentangnya ketika ia meninggal.

Kesembilan: Ibu Abdurrahman bin an-Nashir

Amirul mukminin Abdurrahman bin an-Nashir adalah penguasa Andalusia yang kala itu tengah
dilanda kegoncangan. Kemudian ia berhasil membuat wilayah itu stabil. Ia berhasil memimpin
pasukannya masuk ke jantung wilayah Perancis dan sebagian wilayah Swiss. Kemudian
menguasai Italia.Ia pun menjadi raja terbesar di Eropa.

Di belakangnya ada seorang wanita yang berhasil mendidik dan membinanya.Abdurrahman an-
Nashir adalah seorang yatim yang dibesarkan ibunya. Sang ayah tewas dibunuh pamannya saat
Abdurrahman masih kecil.

Kesepuluh: Ibu Sultan Muhammad al-Fatih

Setelah shalat subuh, Ibu Sultan Muhammad al-Fatih mengajarinya tentang geografi, garis batas
wilayah Konstantinopel. Ia berkata, “Engkau –wahai Muhammad- akan membebaskan wilayah
ini. Namamu adalah Muhammad sebagaimana sabda Rasulullah ‫ﷺ‬. Muhammad
kecil pun bertanya, “Bagaimana aku bisa membebaskan wilayah sebesar itu wahai ibu?”
“Dengan Alquran, kekuatan, persenjataan, dan mencintai manusia”, jawab sang ibu penuh
hikmat.

Itulah ibu Muhammad al-Fatih, mendidik anaknya di waktu berkah pagi hari.Dia tidak
membiarkan anaknya terbiasa dengan tidur di waktu pagi.Ia lakukan sesuatu yang menarik
perhatian sang anak.Memotivasinya dengan sesuatu yang besar dengan dasar agama dan kasih
sayang, bukan spirit penjajahan.

Sumber:
– islamstory.com/ar/‫االسالمي‬-‫التاريخ‬-‫في‬-‫خالدات‬-‫امهات‬

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)


Artikel www.KisahMuslim.com

Anda mungkin juga menyukai