Anda di halaman 1dari 8

Nama: Rangga Azareda Dwi Fananta

Semester : 5 (Lima)

Syekh Jamil Jaho Padang Panjang

Syekh Jamil Jaho dilahirkan pada tahun 1875 M di daerah Jaho, Padang Panjang, Sumatra Barat.
Ayahnya bergelar Datuk Garang yang berasal dari Negeri Tambangan, Padang Panjang. Sang
Ayah pernah menjabat sebagai Qadhi daerah. Ibunya, adalah seorang perempuan yang disegani
di tengah-tengah masyarakat. Syekh Muhammad Jamil Jaho dibesarkan di tengah keluarga yang
kuat menjalankan tradisi dan agama. Masa kecilnya dihiasi dengan nuansa religi yang sangat
kental. Latar belakang keluarga yang alim inilah yang membuatnya senantiasa haus akan ilmu
agama. Ia menuntut ilmu agama kepada ulama-ulama besar Minang di zaman itu.

Beliau belajar Alquran dan kitab perukunan (kitab-kitab berbahasa Melayu yang ditulis dengan
huruf Arab) dari ayahnya sendiri. Berkat kecerdasan dan kesungguhannya, pada usia 13 tahun, ia
telah hafal Alqur'an dan isi kitab perukunan.

Melihat kecerdasan dan kesungguhan Muhammad Jamil, sang ayah lalu berinisiatif untuk
mengajarinya kitab-kitab kuning. Dalam waktu yang relatif singkat, Muhammad Jamil mampu
mencerna maksud yang terkandung dalam kitab kuning tersebut, dan cakap menguasai bahasa
Arab, baik secara lisan atau tulisan.1

Setelah menamatkan pendidikan agama di surau ayahnya, pada tahun 1888 Jamil melanjutkan ke
surau Syekh Aljuffri di Gunung Rajo. Setelah lima tahun belajar di sana, ia pindah ke Surau
Tanjung Bungo di Padang Ganting, berguru kepada Syekh Ayub. Di surau Syekh Ayub inilah ia
berkenalan dengan Syekh Sulaiman Arrasuli yang kelak menjadi sahabat seperjuangannya.

Pada tahun 1899, Muhammad Jamil dan Sulaiman Arrasuli pindah mengaji ke Syeikh Abdullah
Halaban, seorang ulama Minang yang terkenal mahir dalam ilmu fikih dan ushul fikih. Di
perguruan Syeikh Halaban inilah Muhammad Jamil dipercaya untuk menjadi seorang pengajar
(ustaz) dan asisten pribadi Syeikh Halaban. Karenanya ia kerap dibawa serta ke pengajian-
pengajian keliling negeri Minang oleh gurunya ini.

1
Nidia Zuraya. Hujjatul Islam: Syekh Muhammad Jamil Jaho, Ulama Pembaru dari Minang. Diakses dari
https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/133638. pada pukul 12:47
Setelah itu, ia belajar berpindah-pindah tempat kepada beberapa orang guru terkemuka, seperti di
Biaro Ampat Angkat, Candung, dan Payakumbuh. Sesudah malang-melintang belajar ilmu
agama selama 20 tahun di seluruh pelosok Sumatra Barat, ia berkesempatan pergi ke Makkah
untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menuntut ilmu agama. Sebelum berangkat ke tanah suci,
Muhammad Jamil dipersuntingkan dengan gadis Tambangan yang bernama Saidah, yang kelak
mengaruniai dua orang puteri bernama Samsiyyah dan Syafiah.

Syekh Jamil Jaho pun berlayar ke Tanah Suci Mekah untuk mendalami ilmu agama kepada
Syekh Ahmad Khatib al- Minangkabawi, seorang ulama besar asal Minangkabau yang diangkat
menjadi mufti di Kerajaan Syarif Onn, penguasa Kota Mekah waktu itu.2

Di majelis halaqah Syekh Ahmad Khatib inilah ia belajar bersama- sama para muqimin Tanah
Jawi (sebutan untuk Indonesia pada masa itu), antara lain Syekh Abdul Karim Amrullah (ayah
Buya Hamka), Syekh Ibrahim Musa Parabek, Kiai Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah),
K.H. Hasyim Asyari (pendiri NU), dan lain-lain. Kurang lebih selama 10 tahun ia menimba ilmu
di Tanah Suci.3

Muhammad Jamil belajar di Makkah selama 10 tahun lamanya. Selama itu juga ia telah
memperoleh tiga ijazah dari tiga orang ulama besar di Makkah pada zaman itu, yaitu Syeikh
Ahmad Khatib Minangkabau (guru besar madzhab Syafi’i), Syeikh Alwi al-Maliki (guru besar
madzhab Maliki), dan Syeikh Mukhtar al-Affani (guru besar madzhab Hanbali).

Kembali ke Indonesia

Pada tahun 1918 ia pulang ke kampung halaman, dan langsung mengajar di surau ayahnya di
Jaho. Surau tersebut yang sekarang menjadi Masjid Nurul Falah yang berlokasi di daerah Jaho,
Padang Panjang. Kehadiran Syekh Jamil Jaho dan lembaga pendidikannya, yaitu Madrasah
Tarbiyah Islamiyah, telah mengharumkan kota Padang Panjang dengan julukan Mesir Van
Andalas.4

Sebelum dikembangkan menjadi masjid, Nurul Falah adalah sebuah surau kecil yang sederhana,
berdinding kayu, dan beratap daun aren. Di surau itulah, Syekh Jamil di masa kecil mengaji Al-

2
Abdul Baqir Zein. Masjid-Masjid Bersejarah di-Indonesia.(Jakarta: Gema Insani Press. 1999) Hal 57
3
Abdul Baqir Zein. Masjid-Masjid Bersejarah di-Indonesia.(Jakarta: Gema Insani Press. 1999) Hal 58
4
Abdul Baqir Zein. Masjid-Masjid Bersejarah di-Indonesia.(Jakarta: Gema Insani Press. 1999) Hal 57
Qur'an dan belajar dasar-dasar ilmu agama kepada ayahnya, Tuanku Qadhi Tambangan. Namun,
sepulang Syekh Jamil Jaho dari Mekkah, karena muridnya semakin bertambah dari hari ke hari
maka surau itu pun diperbesar untuk tempat halaqah. Bahkan, pada tahun 1924 ia membangun
kompleks pendidikan Tarbiyah Islamiyah. Santrinya berdatangan dari seluruh pelosok Pulau
Sumatra, bahkan juga dari Malaya (sekarang malaysia).5

Di samping berkhidmat di dunia pendidikan, ia juga aktif di organisasi Muhammadiyah. Bahkan


ia bersama-sama dengan Syekh Muhammad Zein Simabur, Sutan Mangkuto, dan Datuk Sati,
ikut membidani terbentuknya organisasi Muhammadiyah di Padang Panjang pada tahun 1926.
Selain itu, ia bersama-sama dengan Syeikh Sulaiman Arrasuli, beliau mengembangkan Madrasah
Tarbiyah Islamiyah ini menjadi sebuah gerakan organisasi Islam dengan nama Persatuan
Tarbiyah Islamiyah. Duet Syeikh Muhammad Jamil Jaho dan Syeikh Sulaiman Arrasuli menjadi
simbol utama ulama tradisional pada masa itu. Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang dipimpinnya
mencapai puncak kejayaannya pada saat pecahnya Perang Dunia II tahun 1930. Saat itu jumlah
siswa yang belajar di situ mencapai 1.500 orang.

Selain aktif mengajar dan berdakwah, semasa hidupnya Syeikh Muhammad Jamil Jaho juga
gemar menulis. Ulama Minang yang wafat pada tahun 1360 H/1941 M ini bertarekat
Naqsabandiyah Khalidiyah, dan banyak meninggalkan karya berharga yang menjadi suluh
ummat di kemudian hari. Karya-karyanya tersebut antara lain Tadzkiratul Qulub fil Muraqabah
'Allamul Ghuyub, Nujumul Hidayah, as-Syamsul Lami'ah, fil 'Aqidah wa Diyanah, Hujjatul
Balighah, al-Maqalah ar-Radhiyah, Kasyful Awsiyah.

5
Abdul Baqir Zein. Masjid-Masjid Bersejarah di-Indonesia.(Jakarta: Gema Insani Press. 1999) Hal 58
Keselarasan konsep bertasawuf antara Syekh Jamil Jaho Sumatra dan Imam Ibnu
Athaillah Mesir

1. Wa mana al-muraqabah... Bi Aini Qalbika.


Menurut kami ini merupakan indikasi bahwa kitab ini untuk kalangan pemula, karena di kitab-
kitab tasawuf lain istilah mata hati itu tidak diartikan menggunakan Ain al-Qalb tapi dengan al-
Bashirah. Sebagai contoh apa yang dikatakan Ibnu Athaillah

‫شعاع البصيرة يشهدك قربه منك وعين البصيرة تشهدك عدمك لوجوده وحق البصيرة يشهدك وجوده العدمك وال وجودك‬

Sinar mata hati membuatmu menyaksikan kedekatan-Nya denganmu. Penglihatan mata hati
(intannya mata hati, cahaya yang ada di dalam.) membuatmu menyaksikan ketiadaanmu karena
keberadaan-Nya. Hakikat mata hati membuatmu menyaksikan keberadaan-Nya, bukan
ketiadaanmu dan bukan pula keberadaanmu.

• Muallif menyebutkan beberapa keajaiban ciptaan Allah salah satunya itu unta, kata Habib Abu
Bakar Bin Hasan al-Atthas : air yang paling jernih di dunia yaitu terdapat dalam perut unta.
(Hal. 4)

2. Kuasa Allah menyeluruh kepada segala sesuatu, tidak ada yang bisa menghalanginya untuk
menyiksamu dengan berbagai macam siksa yang pedih ketika engkau bermaksiat kepadanya.
Dan akan memberikan pahala padamu dengan berbagai macam pahala, ketika engkau taat
padanya. Muallif menyebutkan surat Al an’am ayat 18.

‫ان هللا على كل شيء قدير وهو القاهر فوق عباده‬

Kalau kata Ibnu Athaillah; Tidak ada sesuatu apapun yang menghijabi Allah, Manusia lah yang
menghijabi dirinya sendiri.
‫الحق ليس بمحجوب وانما المحجوب انت عن النظر اليه اذ لو حجبه شيء لستره وما حجبه ولو كان له ساتر لكان لوجوده‬
‫حاصر وكل حاصر لشيء فهو له قاهر وهو القاهر فوق عباده‬
Yang Maha Haq tidaklah terhijab, yang terhijab adalah pandanganmu sehingga kau tak bisa
melihat-Nya, karena jika dia dikatakan terhijab itu artinya sesuatu menutupi-Nya. Jika dia
tertutupi sesuatu itu artinya wujudnya terbatas. Segala sesuatu yang terbatas adalah lemah,
padahal dia Maha Kuasa. (Hal 5)

3. Muallif katakan :
‫فوجدت أن سببه فقدان المراقبة‬

Tidak adanya kedekatan kepada Allah yang menyebabkan bertambahnya ilmu tapi malah
condong cinta terhadap dunia dan membuat malas beribadah.
Selaras dengan apa yang dikatakan Ibnu Athaillah :

‫الحزن على فقدان الطاعة مع عدم نهوض اليها من عالمات االغترار‬

Sedih karena kehilangan kesempatan berbuat ketaatan, namun tanpa disertai upaya untuk
kembali atau bangkit mengerjakannya merupakan salah satu tanda ketertipuan.

Tidak adanya kedekatan kepada Allah itu juga sama dengan tidak adanya ketaatan kepadaNya.
Karena kalau dikata orang itu dekat pasti dia akan melaksanakan apapun walaupun terpaksa,
apalagi sampai orang itu mencintainya, bisa lebih-lebih. Berbeda jika orang itu nggak dekat,
pikirnya, ah buat apa ngelakuin ini itu? nggak kenal ini!
(Nggak kenal maka nggak sayang. Ngga deket berarti nggak taat.)
Nah, untungnya Muallif ini karena sadar tidak adanya kedekatan kepada Allah, beliau bergegas
ambil tindakan kembali atau bangkit dengan mengekspresikannya membuat risalah ini. Kalau
tidak, yang dikatakan Ibnu Athaillah bisa terjadi yaitu termasuk orang yang tertipu. Kesedihan
karena nggak adanya kedekatan/ketaatan dengan Allah. Tapi nggak ada niatan pengen bangkit
kembali untuk taat. Yang membuat kesedihannya semu yang biasanya disertai dengan tangisan
yang juga semu, berapa banyak mata yang meneteskan air mata, tetapi hatinya tetap keras.
4. Muallif katakan :
‫وعدم مالزمة التفكر مع ضعف اليقين‬

Tidak adanya tafakur serta lemahnya keyakinan kepada Allah. Hal ini sangat berbahaya, dan
kalau kami mencoba ta’liq kenapa tidak adanya tafakur ini berbahaya. Ibnu Athaillah katakan :
‫الفكرة سراج القلب فاذا ذهبت فال اضاءة له‬

Tafakur merupakan lentera hati. Jika lenyap, hati pun gelap. Jadi sudah jelas jika tidak adanya
tafakur itu dapat membuat hati kita gelap. Lalu Ibnu Athaillah membagi tafakur menjadi dua :

‫الفكرة فكرتان فكرة تصديق وايمان وفكرة جهود وعيان فاالولى الرباب االعتبار والثانية الرباب الشهود واالستبصار‬

Tafakur itu ada dua macam. Pertama, tafakur yang timbul dari pembenaran atau iman. Kedua,
tafakur yang timbul dari penyaksian dan penglihatan. Yang pertama milik mereka yang bisa
mengambil pelajaran. Sedangkan yang kedua milik mereka yang menyaksikan dan melihat
dengan mata hati. Nah, tafakur yang dimaksud oleh Muallif ini ialah tafakur yang pertama. Atau
bahasa lainnya fikrah at-taraqqi (tafakur untuk naik). Tafakurnya ahli iman yang bersumber dari
pokok keimanannya. Tafakur ini punya tujuan untuk naik ke kedudukan tinggi dan menambah
keyakinan, tafakur ini dimiliki orang-orang yang bisa mengambil pelajaran, yakni orang-orang
yang menyimpulkan bahwa keberadaan akibat (makhluk) dilahirkan oleh sebab (khaliq). Merak
adalah salikun saat mengalami taraqqi (naik ke atas) karena pikiran mereka bersumber dari
pembenaran dan iman.

5. Kemudian Muallif katakan :


‫والتثبت مع هللا بل القلب كل يوم وليلة مكبل بشهوات والخطايا والذنوب‬

Terus beribadah kepada Allah akan tetapi, setiap hari hatinya dipenuhi dengan syahwat dan dosa.

Ibnu Athaillah menyinggung masalah ini, beliau katakan hati tidak mungkin bersinar manakala
keduniaan menutupinya.

‫كيف يشرق قلب صور االكوان منطبعة في مراته ؟ ام كيف يرحل الى هللا وهو مكبل بشهواته ؟ ام كيف يطمع ان يدخل حضرة‬
‫هللا وهو لم يتطهر من جنابة غفالته ؟ ام كيف يرجو ان يفهم دقائق االسرار وهو لم يتب من هفواته ؟‬
Bagaimana mungkin hati akan bersinar, sedangkan bayang-bayang dunia masih terpampang di
cerminnya? Bagaimana mungkin akan pergi menyongsong Ilahi, sedangkan ia masih
terbelenggu hawa nafsu? Bagaimana mungkin akan bertamu kehadirat-Nya, sedangkan ia
belum bersuci dari kotoran kelalaiannya? Bagaimana mungkin diharapkan dapat menyingkap
berbagai rahasia, sedangkan ia belum bertobat dari kekeliruannya?

Perjalanan menuju Allah hanya bisa dilakukan dengan memutus belenggu nafsu dan syahwat
bukan dengan menurutinya.

6. Muallif katakan :
‫اعلم ان العلم الذي ينفع صاحبه هو العلم باهلل تعالى وصفاته واسمائه والعلم بكيفية التعبد والتأديب بين يديه‬
Ketahuilah, sesungguhnya ilmu yang bermanfaat bagi pemiliknya ialah ilmu Allah, mengetahui
sifat dan asmanya, mengetahui cara beribadah kepada Allah dan beretika dihadapan-Nya
(makrifat). Kemudian Ibnu Athaillah katakan :

‫العلم النافع هو الذي ينبسط في الصدر شعاعه ويننكشف به عن القلب قناعه‬

Ilmu yang bermanfaat adalah yang cahayanya melapangkan dada dan menyingkap tirai hati.

Jadi di sini, maksudnya ilmu yang bermanfaat bagi pemiliknya itu cahaya yang mampu
melapangkan dada dan menyingkap tirai hati. Apalagi Muallif sangat jelas mengatakan bahwa ia
mengutip dari Syarah Hikam. * Yang seharusnya ada di penjelasan syakawtu ila waki... Di hal.
60
Menurut kami ini kurang efisien... qala Malik RA... Artinya ini kurang jelas, Malik siapa?
Kemudian kutipan dari Syarah Hikam, Hikamnya siapa? Trus Syarahnya siapa?

7. Keselarasan yang terakhir ini, merupakan judul besar sebab kedekatan kita kepada Allah yaitu
banyaknya berdzikir. Muallif katakan :
‫ايها االنسان اذا اردت التقرب الى موالك فاذكره ذكرا كثيرا الن الذكر باب هللا االعظم‬
Wahai manusia apabila engkau menginginkan kedekatan kepada tuhanmu, maka berdzikirlah
yang banyak. Karena dzikir sendiri merupakan gerbang terbesar Tuhan.
Nah, di sini Muallif katakan salah satu penyebab bisa dekat dengan Allah itu dengan banyaknya
dzikir, Muallif tidak mengharuskan orang yang berdzikir itu khusyuk, tapi Muallif hanya
memerintahkan untuk berdzikir yang banyak. Yang penting teruslah berzikir Jangan sampai tidak
berdzikir. Lalu katanya Muallif, dzikir merupakan gerbang Tuhan terbesar, artinya zikir
merupakan jalan terdekat menuju Allah. Sebagaimana Ibnu Athaillah katakan :
‫ الن غفلتك عن وجود ذكره اشد من غفلتك في وجود ذكره فعسى ان يرفعك‬،‫ال تترك الذكر لعدم حضورك مع هللا فيه‬
‫ ومن ذكر مع‬،‫ ومن ذكر مع وجود يقظة الى ذكر مع وجود حضور‬،‫من ذكر مع وجود غفلة الى ذكر مع وجود يقظة‬
‫وجود حضور الى ذكر مع وجود غيبة عما سوى المذكور وما ذلك على هللا بعزيز‬
Janganlah kau meninggalkan dzikir hanya karena ketidakhadiran hatimu di hadapan Allah!
kelalaianmu dari dzikir kepada-Nya lebih buruk daripada kelalaianmu di saat berzikir kepada-
Nya. Semoga Allah berkenan mengangkatmu dari dzikir yang disertai kelalaian menuju dzikir
yang disertai kesadaran. Dari dzikir yang disertai kesadaran menuju dzikir yang disertai
hadiratnya hati, dari dzikir yang disertai hadirnya hati menuju dzikir yang mengabaikan selain
Yang diingat (Allah). Dan yang demikian itu bagi Allah tidaklah sukar. ( Surat Ibrahim ayat 20 ).
Bahkan Syekh Abu Ali ad-Daqaq katakan :
‫الذكر منشور الوالية‬
“ Dzikir merupakan cap kewalian „
Jadi ini keterkaitan yang sangat jelas mengenai konsep bertasawuf antara Syekh Jamil Jaho dan
Imam Ibnu Athoillah as-Sakandari. Belum lagi jika kita melihat sebab muraqabah yang lain.

A. Muhasabah diri
‫ وأصل كل طاعة ويقظة وعفة عدم الرضا عنها‬، ‫أصل كل معصية وغفلة وشهوة الرضا عن النفس‬
B. Mengikuti hawa nafsu
‫ والتكاسل عن القيام بالواجبات‬، ‫من عالمات اتباع الهوى المسارعة إلى نوافل الخيرات‬

Anda mungkin juga menyukai