Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PENDIDIKAN AKHLAK

Dosen Pembimbing
Anggraini, M.IRK

Kelompok II

1. Siti Nurhasanah (1042019058)


2. Muchni Novia (1042019044)
3. Sainah (1042019012)
4. Salman Alfarizie ZA (1042019056)

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LANGSA
TAHUN 2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis haturkan atas kehadirat ALLAH SWT yang
telah memberikan rahmat dan karuniaNya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini sesuai harapan. Shalawat dan salam juga tak lupa tercurah kepada
baginda Nabi besar kita, Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya yang
membawa kita semua dari zaman Jahiliyah menuju zaman yang terang benderang
akan cahaya-cahaya ilmu penuh berkahMu ini. Semoga kita selalu dalam
syafa’atNya. Amin ya robbal ‘alamin.

Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pendidikan Akhlak pada semester 1 di FTIK, IAIN LANGSA. Penulis sampaikan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu selama penyusunan makalah
ini.

Masih banyak cacat dan cela pada makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang bersifat membangun sangat diperlukan demi perbaikan yang berarti.

Segala kekurangan yang ada pada makalah ini adalah milik penulis dan
segala kelebihannya milik ALLAH SWT. Penulis hanya dapat beriktiar, berdo’a,
ikhlas, dan mempasrahkan kepada ALLAH SWT. Semoga karya sederhana ini
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Langsa, November 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..........................................................................................................................2
Daftar Isi....................................................................................................................................3
BAB I Pendahuluan..................................................................................................................4
A. Latar Belakang.........................................................................................................4
B. Rumusan Masalah....................................................................................................4
C. Tujuan Masalah.......................................................................................................4
BAB II Pembahasan.................................................................................................................5
A. Pengertian Akhlak Mazmumah...............................................................................5
B. Macam-macam Akhlak Mazmumah.......................................................................5
1. Hasad.................................................................................................................5
2. Riya’..................................................................................................................7
3. Hubbud Dunya...................................................................................................8
4. Sum’ah...............................................................................................................9
5. Ujub.................................................................................................................10
6. Takabur............................................................................................................10
7. Itba’ul Hawa.....................................................................................................12
8. Ghibah..............................................................................................................14
BAB III Penutup....................................................................................................................16
A. Kesimpulan............................................................................................................16
B. Saran.......................................................................................................................16
Daftar Pustaka..........................................................................................................................17

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akhlak Mazmumah (tercela) adalah perbuatan/perilaku yang tidak
diridhoi oleh Allah SWT. Seseorang yang berbohong, sombong, pamer,
menyiksa, menyakiti, dan berbagai bentuk ketidakadilan seperti menindas,
mengambil hak orang lain dengan paksa dan lain-lain. Itu semua adalah
perbuatan tercela. Sungguh moral manusia sudah sangat rusak akibat akhlak-
akhlak tercela tersebut.
Seseorang tidak akan mendapatkan kebahagiaan, jika ia selalu
melakukan perilaku-perilaku tercela. Baik ketika di dunia maupun di akhirat.
Kebahagiaan yang diperoleh dari perilaku tercela tersebut hanya bersifat
sementara dan akan mendapat kesedihan dan penyesalan yang tak ada
hentinya.
Di sisi lain, Alquran juga mengemukakan dan memberi peringatan
tentang akhlak-akhlak tercela yang dapat merusak iman seseorang dan pada
akhirnya akan merusak dirinya serta kehidupan masyarakat. Seperti akhlak
buruk Quraisy dahulu untuk memojokkan kebenaran yang di sampaikan
Rasulullah sebagaimana yang dilakukan oleh tokoh-tokoh quraisy seperti,
Abu Jahal, Walid bin Mugirah, Akhnas bin Syariq, dan Aswad bin Abdi
Yaquts. Oleh karena itu, iman merupakan suatu pengakuan terhadap
kebenaran dan harus dipelihara serta di tingkatkan kualitasnya melalui sikap
dan perilaku terpuji.
Sifat terpuji dan tercela yang tertanam dalam diri manusia selalu
berdampingan dan terlihat dalam perilaku sehari-hari. Apabila perilaku
seseorang menampilkan kebaikan, maka terpujilah sikap orang tersebut.
Sebaliknya, apabila perilaku seorang menampilkan kejahatan, maka
tercelalah sikap orang tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian Akhlak Mazmumah?
2. Apa macam-macam akhlak mazmumah dan bahaya bagi kehidupan
sehari-hari serta cara mengobatinya?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian Akhlak Mazmumah
2. Mengetahui macam-macam akhlak mazmumah dan bahaya bagi
kehidupan sehari-hari serta cara mengobatinya

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Akhlak Mazmumah (tercela)


Menurut bahasa, akhlak merupakan tingkah laku, perbuatan, tabiat
atau perangai. Sedangkan akhlak menurut istilah merupakan suatu
pengetahuan yang menjelaskan mengenai perbuatan yang baik serta buruk,
mengatur perilaku manusia, serta mampu menentukan perbuatan akhir.
Akhlak buruk atau tercela merupakan suatu sikap atau perbuatan jelek
yang dilarang oleh agama. Karena pada dasarnya agama mengajarkan kita
untuk selalu bersikap baik terutama menjaga perilaku serta perbuatan yang
akan kita lakukan. Dengan berlandaskan agama, maka sikap tercela ini
sebenarnya bisa dicegah karena ancaman serta sangsi yang akan didapatkan
dalam waktu cepat maupun di kehidupan selanjutnya.

B. Macam-macam Akhlak Mazmumah dan bahaya bagi kehidupan sehari-


hari serta cara mengobatinya.
Di dalam kehidupan ini banyak sekali kita menjumpai perilaku tercela,
namun kita akan membahas sebagian dari perilaku tercela tersebut :
1. Hasad
Menurut sebagian besar ulama, hasad (dengki atau iri hati) merupakan
akar dari semua penyakit hati. Karena sifat ini merupakan manifestasi
dosa pertama serta penyebab ketidakpatuhan terhadap Allah SWT.
Sebagaimana sifat setan yang tidak mau mematuhi perintah Allah
untuk memberi hormat kepada Nabi Adam AS. karena ia merasa iri hati
terhadap Nabi Adam yang dipilih Allah untuk menjadi wakil-Nya di
bumi. Oleh karena itu, setan selalu menebarkan (hasid atau hasud) rasa iri
hati dalam diri manusia agar menyandang sifat yang sama dengannya.1
Pada dasarnya hasad merupakan akibat dari dendam dan dendam
merupakan akibat dari kemarahan dan kebencian terhadap apa yang
dilihatnya (tentang kondisi kebaikan keadaan yang dicemburui). Pada
hakikatnya hasad adalah membenci kenikmatan Allah kepada
saudaranya, akan tetapi tentang hasad ini dibedakan menjadi dua jenis.
Pertama, membenci kenikmatan yang diberikan Allah kepada
saudaranya dan ia menginginkan kenikmatan itu hilang darinya. Ini
merupakan hasad yang paling tercela.
Kedua, seseorang yang membenci kenikmatan yang Allah bagi kepada
saudaranya dan tidak ada keinginan nikmat itu hilang darinya, tetapi ia
menginginkan sebagaimana yang ada pada saudaranya. Hal semacam ini
disebut ghitbah.2
Terkadang untuk hasad jenis kedua ini disebut dengan al-munafasah
(berlomba), berlomba dalam permasalahan yang disenangi untuk
mendapatkan dan memilikinya. Akan tetapi, munafasah ini tidak mutlak

1
Hamza Yusuf, Hatiku Surgaku: Terapi Jitu Membersihkan Hati dari Sifat-sifat yang Tidak Disukai Allah, (Jakarta
: Lentera Hati, 2009 ), hlm. 51-52
2
Abu Hamid M. Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumuddin : Ringkasan Yang Ditulis Sendiri oleh Sang Hujjatul Islam;
Terjemahan Irwan Kurniawan, (Bandung : Mizan, 2008 ), hlm. 265

5
tercela, bahkan terpuji bila dalam kebaikan.3Adapun berharap agar Allah
memberikan kenikmatan seperti itu kepadanya tidaklah tercela jika dalam
urusan agama.
Dalam kitab Durratun Nasihin disebutkan bahwa bahaya yang
ditimbulkan dari rasa dengki atau hasad ini ada 8 macam, yaitu :
a. Merusak ketaatan
b. Menjuruskan kepada perbuatan maksiat, karena hasad tidak lepas
dari bohong, caci maki, fitnah, dan ghibah.
c. Meniadakan syafaat
d. Masuk ke dalam neraka
e. Menyebabkan suka menggoda/mengganggu orang lain
f. Mengakibatkan rasa letih dan takut yang tidak ada gunanya,
bahkan selalu dibarengi dengan perbuatan dosa dan maksiat
g. Menyebabkan buta hati, dimana ia tidak dapat menerima dan
memahami hukum-hukum Allah yang baik
h. Menyebabkan kegagalan yang pada akhirnya tidak bisa mencapai
apa yang menjadi maksudnya dan selalu dikalahkan oleh
lawannya4
Menurut Imam Mawlud sebagaimana yang dikutip oleh Hamza
Yusuf, ada beberapa cara untuk mengobati penyakit iri hati, yaitu :
1. Melawan hawa nafsu yang dapat menerima seseorang dari
kebenaran dengan cara melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi
objek iri hati
2. Menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa iri hati tidak akan
pernah memberikan manffat bagi pelakunya
3. Menyadari bahwa apa yang seseorang peroleh sesungguhnya dari
Allah dan juga akan kembali kepada-Nya
4. Taqwa, memiliki perasaan takut terhadap Allah dan iman yang
tinggi sehingga dapat menjauhkan seseorang terhadap dugaan-
dugaan yang salah atas ketidaksesuaian karunia.5

2. Riya’
Riya’ itu berasal dari kata ru’yah yang berarti melihat. Menurut Imam
Al-Ghazali, riya’ asalnya mencari kedudukan pada hati manusia dengan
memperlihatkan kepada mereka hal-hal kebaikan. Riya’ merupakan
perilaku terkeji ketika seseorang melakukan ritual ibadahnya hanya untuk
memperoleh tempat di hati orang lain. Sifat seperti ini termasuk salah satu
bentuk kesyirikan yang dibenci oleh Allah SWT.
Rasulullah mengibaratkan perilaku seperti ini sebagai “syirik kecil”
sebagaimana sabda beliau, “Aku tidak khawatir seandainya kalian akan
menyembah matahari, bintang-bintang, bulan. Namun, aku lebih

3
Anis Masykur, Risalah Tasawuf Ibnu Taimiyah : Terjemahan Majmu’ Fatwa Syaikh Al-Islam Ahmad Ibnu
Taimiyah Jilid 10 tentang Kitab Ilm Al-Suluk, (Jakarta : Hikmah, 2002), hlm. 132
4
Usman Asy Syakir Al-Khaubawiyyi, Durratun Nasihin : Butir-butir Mutiara Hikmat; Alih bahsa oleh Rosilin Abd.
Gani, (Semarang : Wicaksana), hlm. 162-164
5
Hamza Yusuf, Hatiku Surgaku : Terapi Jitu Membersihkan Hati dari Sifat-sifat yang Tidak Disukai Allah,
(Jakarta : Lentera Hati, 2009), hlm. 57-62

6
khawatir kalian beribadah bukan karena Allah, melainkan karena riya’
“6
Akar sumber riya’ adalah keinginan, yakni menginginkan sesuatu dari
sebuah sumber selain Allah (yaitu manusia). Misalnya, keinginan yang
selalu di puji, pandangan masyarakat akan kebaikannya, kedudukannya,
dan lain-lain.
Adapun yang menjadi tanda-tanda riya’ menurut Imam Mawlud
adalah :
a. Malas dan kurang melakukan sesuatu yang semata-mata karena
Allah SWT. Misalnya, ketika berada dirumah tidak ada rasa
keinginan untuk membaca Alquran, namun ketika banyak orang
seperti di masjid ia membaca Alquran dengan suara yang merdu
b. Meningkatkan perilaku-perilaku ketika dipuji dan menurunkannya
ketika tidak ada pujian7

Riya’ biasanya dikenal dengan sikap menampakkan ibadah atau


ketaatan dihadapan orang banyak. Namun, ada juga riya’ yang sifatnya
tersembunyi, yaitu sikap ketika seseorang menghindari riya’ tetapi justru
melakukannya untuk riya’. Misalnya, seseorang sengaja menghindari
khalayak agar tidak disangka riya’. Kemudian ia sengaja berkhalwat dan
menyendiri. Namun, dibalik itu semua, ia justru ingin dilihat dan dipuji orang
lain. Disanalah terdapat riya’ yang tersembunyi.8
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa penyakit riya’ dapat
menghancurkan pahala seseorang dan merupakan sebab dari kemurkaan
Allah SWT. Riya’ juga merupakan salah satu perbuatan dosa besar. Oleh
karena itu, seseorang harus berusaha untuk menghilangkan penyakit ini dari
dalam hatinya.
Cara untuk menghindari perbuatan seperti ini seseorang yang beriman
harus menyadari bahwa sesungguhnya Allah adalah dzat yang paling layak
dipuji. Semestinya kita harus merasa malu ketika dipuji karena Dia yang
menganugerahkan karunia yang besar sehingga aib seseorang hamba tertutup
dan kebaikannya tampak di mata manusia.
Jika saja Allah menampakkan aib tersebut walau hanya kecil saja,
maka tidak akan ada orang yang mau memuji. Sehingga dengan begitu kita
dapat memurnikan dari perburuan yang sia-sia dan riya’.9
Adapun cara untuk menyembuhkan penyakit seperti ini dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu :
a. Melepaskan penyakit riya’ sampai akar-akarnya, yaitu cinta
kedudukan dan jabatan
b. Mencegah akibat-akibat buruk yang muncul dari penyakit riya’
ketika beribadah.10

6
Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumuddin : Ringkasan yang Ditulis Sendiri oleh Sang
Hujjatul Islam; Terjemahan Irwan Kurniawan, (Bandung : Mizan, 2008), hlm. 294-301
7
Hamza Yusuf, Hatiku Surgaku : Terapi Jitu Mmebersihkan Hati dari Sifat-sifat yang tidak Disukai Allah,
(Jakarta : Lentera Hati, 2009), hlm. 84-85
8
Pakih Sati, Syarah Al-Hikam : Kalimat-kalimat Menakjubkan Ibnu ‘Atha’illah dan Tafsir serta Motivasinya,
(Jogjakarta : Diva Press, 2013 ), hlm. 308
9
Pakih Sati, Syarah Al-Hikam : Kalimat-kalimat Menakjubkan Ibnu ‘Atha’illah dan Tafsir serta Motivasinya,
(Jogjakarta : Diva Press, 2013 ), hlm. 276

7
3. Hubbud Dunya
Hubbud Dunya adalah cinta dunia yang berlebihan, merupakan induk
segala kesalahan (maksiat) serta perusak agama. Yaitu mencintai
kehidupan dunia dan melainkan kehidupan akhirat. Penyakit inilah yang
menyebabkan seorang muslim menjadi lemah. Sehingga musuh-musuh
dengan leluasa menebar rasa takut dan sifat pengecut dalam dirinya,
syaitan-syaitan (manusia dan jin) dengan mudah menyesatkannya.
Sementara orang-orang kafir dan musuh Islam lainnya memandangnya
dengan sebelah mata.
Mencintai dunia akan mengakibatkan banyak melakukan kesalahan
dan dosa ketika hidup di dunia. Firman Allah SWT dalam surah Al-Hadid
ayat 20 yang artinya :
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah
permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megah
antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan
anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para Petani;
kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning
kemudian menjadi hancur dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan
ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya dan kehidupan dunia ini tidak
lain hanyalah kesenangan yang menipu.”
Adapun obat untuk menghindari dari perbuatan Hubbud Dunya, yaitu
:
Nabi SAW telah memberikan wasiatnya yang merupakan formula
bagi jenis penyakit tersebut. Rasulullah SAW bersabda :
“Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwasanya Rasukullah SAW,
bersabda : perbanyaklah oleh kalian mengingat penghancur segala
kelezatan, yaitu kematian.” (H.R. An-Nasaai No. 1824, Tirmidzi No.
2307 dan Ibnu Majah No. 4258 dan Ahmad)

4. Sum’ah
Secara bahasa sum’ah adalah diperdengarkan kepada orang lain,
adapun secara istilah yaitu beribadah dengan benar dan ikhlas karena
Allah, kemudian menceritakan amal perbuatannya kepada orang lain.11
Adapun sum’ah mempunyai hubungan erat sekali dengan riya’,
bahkan tergolong sama. Akan tetapi terdapat perbedaan antara keduanya.
Perbedaan antara riya’ dan sum’ah menurut Al-Hafizh yaitu Riya’ adalah
memperlihatkan amal dan perbuatan dengan maksud mendapatkan pujian
seperti shalat, adapun sum’ah merupakan amalan yang diperdengarkan
kemudian menceritakan perbuatannya (sudah dikerjakan dengan penuh
keikhlasan, namun pada akhirnya mengharapkan pujian yang sifatnya
duniawi.
Perbedaan riya’ dan sum’ah adalah pada riya’ berarti beramal karena
diperlihatkan kepada orang lain, sedangkan sum’ah beramal supaya

10
Sa’id Hawwa, Tazkiyatun Nafs : Intisari Ihya’ Ulumuddin; Terjemahan Tim Kuwais, (Jakarta : Pena Pundi
Aksara, 2006), hlm. 209
11
Syeikh Ahmad Rifa’i; Riayah Akhir, Bab Tasawuf, Juz 2, korasan 23 halaman 2 baris 3

8
diperdengarkan kepada orang lain. Riya’ berkaitan dengan indramata,
sedangkan sum’ah berkaitan dengan indra telinga12
Kata sum’ah berasal dari kata samma’a (memperdengarkan). Kalimat
“samma’an naasa bi’amalihi” digunakan jika seseorang menampakkan
amalnya kepada manusia yang semula tidak mengetahuinya.13
Dalam Alquran Allah mengingatkan kepada kita mengenai sifat
sum’ah dan riya’ ini dalam Q.S. Al-Baqarah : 264 yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan
(pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya
karena riya’ kepada manusia.”

5. Ujub
Ujub merupakan sifat tercela dimana seseorang membanggakan diri
sendiri karena merasa memiliki kelebihan tertentu yang tidak dimiliki
oleh orang lain. Seperti ujubnya orang alim yang merasa dirinya telah
mencapai kesempurnaan dalam ilmu, perbuatan, dan akhlak. Orang yang
menyandang sifat ini biasanya ia melupakan bahwa nikmat yang
diperoleh adalah dari Allah melainkan dari usahanya sendiri.14
Sifat ujub selalu diikuti dengan idlal (mengharap balasan). Oleh
karena itu, setiap orang yang melakukan idlal pasti ia memiliki sifat ujub.
Akan tetapi, tidak semua orang yang ujub melakukan idlal. Orang yang
memiliki sifat ini sangat dibenci oleh Allah SWT, sebagaimana firman-
Nya Q.S Al-Mudassir ayat 6 yang artinya :
“dan janganlah engkau (Muhammad) memberi (dengan maksud)
memperoleh (balasan) yang lebih banyak.”
Ujub membawa pengaruh negatif yang sangat banyak, ia dapat
menghantarkan ke arah kesombongan. Di hadapan Allah, orang yang
memiliki sifat ujub menyebabkan ia menjadi lupa dan meremehkan dosa-
dosanya karena merasa telah melakukan ibadah yang sempurna sehingga
beranggapan dosa yang dilakukan tidak ada apa-apanya dengan ibadah
yang telah dilakukan.
Ujub dapat mengakibatkan seseorang lupa bahwa nikmat yang ia
peroleh berasal dari Allah sehingga menjadikannya kufur nikmat.15
Adapun untuk mengobati penyakit ujub seseorang harus menyadari
bahwa kenikmatan yang ia peroleh adalah dari Allah yang merupakan
buah dari cinta dan ibadah bukan karena ia berhak menerimanya dan
Allah wajib melakukannya.
Kemudian, cara yang lainnya harus selalu menanamkan ketakutan
akan hilangnya nikmat itu akibat tindakan ujub yang dilakukan.16

12
Dr. Sulaiman Al-Asyqor, Al-Ikhlas, halaman 95
13
Kitab Lisanul Arab, 8/165
14
Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumuddin : Ringkasan yang ditulis Sendiri oleh Sang
Hujjatul Islam; Terjemahan Irwan Kurniawan, (Bandung : Mizan, 2008), hlm. 308
15
Sa’id Hawa, Tazkiyatun Nafs : Intisari Ihya’ Ulumuddin; Terjemahan Tim Kuwais, (Jakarta : Pena Pundi Aksara,
2006), hlm. 232-235
16
Sa’id Hawa, Tazkiyatun Nafs : Intisari Ihya’ Ulumuddin; Terjemahan Tim Kuwais, (Jakarta : Pena Pundi Aksara,
2006), hlm. 236

9
6. Takabur
Takabur atau sombong secara bahasa artinya membesarkan diri atau
menganggap dirinya lebih dari orang lain. Pengertian takabur secara
istilah adalah suatu sikap mental yang memandang rendah terhadap orang
lain, sementara ia memandang tinggi dan mulia terhadap dirinya sendiri.17
Sifat takabur merupakan sifat yang dimiliki oleh iblis. Sifat inilah
yang menyebabkan iblis diusir dari surga dan diturunkan derajatnya
hingga menjadi makhluk yang sangat rendah.
Sifat takabur iblis terlihat ketika ia menolak perintah Allah SWT
untuk bersujud kepada Nabi Adam AS. penolakan iblis ini disebabkan ia
merasa dirinya lebih tinggi dan mulia daripada Nabi Adam AS. “Aku
diciptakan dari api, sedangkan Adam diciptakan dari tanah. Mengapa aku
harus sujud kepada makhluk yang lebih rendah daripadaku?” sumbar iblis
dengan congkak. Oleh karena kesombongannya, akhirnya iblis diusir
Allah dan direndahkan derajatnya.
Takabur menurut penjelasan Rasulullah adalah himpunan dari dua
sifat yaitu menolak kebenaran dan merendahkan orang lain, sebagaimana
sabdanya, “Takabur adalah (sifat) orang yang mengingkari/menolak
kebenaran dan merendahkan orang lain.” (H.R. Abu Daud dan Hakim)
Dari pengertian takabur di atas dapat kita temukan ciri-ciri orang yang
takabur, sebagai berikut :
a. Suka memuji diri dan membanggakan kemuliaan diri, harta, ilmu,
keturunan, dan lain sebagainya
b. Meremehkan orang lain
c. Suka mencela dan mengkritik orang lain dengan kritik yang
menjatuhkan
d. Memalingkan muka ketika bertemu dengan orang lain
e. Berlagak dalam berbicara
f. Pemboros dalam harta benda
g. Berlebih-lebihan dalam berpakaian dan hias

Takabur merupakan salah satu akhlak yang tercela. Banyak ayat


Alquran dan Hadis yang menjelaskan tentang keburukan sifat takabur
tersebut.Takabur dapat dibagi menjadi dua, yaitu takabur lahir dan batin.
1. Takabur Lahir, yaitu perbuatan yang dilakukan dan ditunjukkan
oleh anggota badan, seperti gerak-gerik tubuh, raut muka, dan tutur
kata
2. Takabur Batin, yaitu sifat dalam jiwa yang tidak terlihat. Takabur
batin dilakukan oleh hati dan perasaan yang menganggap diri lebih
tinggi dan menganggap orang lain lebih rendah
Kedua jenis takabur ini sama-sama berbahaya dan bisa menyebabkan
pelakunya terjerumus api neraka. Oleh karena itu, kita harus menjauhi kedua
jenis takanur ini dalam kehidupan sehari-hari. Kenapa demikian? Diantara
bahaya dari sifat takabur antara lain sebagai berikut :
a. Merusak pergaulan manusia, merenggangkan hubungan
silaturahmi dan menghalangi kasih sayang serta tolong-menolong.
b. Menumbuhkan permusuhan karena orang yang takabur dalam
berteman selalu membeda-bedakan dan mendiskriminasikan orang

17
Uwes al-Qorni. 1997 : halaman 54

10
atau kelompok lain yang tidak sederajat dengan diri atau
kelompoknya
c. Sifat takabur akan menumbuhkan sifat-sifat buruk lainnya, seperti
dengki, pemarah, pembohong, khianat, dan sebagainya
d. Sifat takabur akan menjadikan orang tidak berkembang dan beku
e. Sifat takabur menjadi penghalang masuk surga karena menghalangi
manusia berakhlak mulia yang merupakan pintu syurga
f. Sifat takabur mengakibatkan pemiliknya tidak mempunyai
perasaan untuk mencintai dan menyayangi sesama saudara yang
mukmin
g. Orang yang takabur akan dimasukkan ke dalam neraka dan
mendapatkan hukuman yang sangat berat karena yang berhak
sombong hanyalah Allah
h. Orang yang takabur akan lupa diri, siapa dirinya, darimana, dan
hendak kemana dia sebenarnya

7. Itba’ul Hawa
Secara bahasa Itba’ al-Hawa berarti mengikut hawa nafsu, sedang
secara istilah yaitu orang yang lebih mengikuti jeleknya hati yang telah
diharamkan oleh hukum syariat, itulah orang yang selalu mengikut hawa
nafsu.
Dari definisi diatas dapat kita fahami bahwa itba’ al-Hawa berarti
mengikuti hawa nafsu untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang
dilarang hukum syara’, berbuat hal-hal yang dilarang agama.
Dengan demikian, itba’ al-hawa merupakan pangkal perbuatan
maksiat, sumber malapetaka dan kemungkaran. Orang yang bersikap
demikian akan tersesat dari jalan Allah dan dikenai siksa di akhirat kelak.
Oleh karena itu, hawa nafsu harus dikekang dan dikendalikan agar
manusia dapat meninggalkan perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah
SWT
Hawa nafsu menjalar pada diri seseorang laksana sebuah penyakit
yang sangat ganas, bahkan lebih berbahaya dari virus (rabies) nya seekor
anjing. Hawa nafsu lebih berbahaya karena tidak disadari oleh
pengidapnya , tetapi ia lebih mematikan. Jika rabies dapat membinasakan
jasad manusia (jasmani), maka hawa nafsu bisa menghancurkan
jiwanya(rohani). Sehingga hatinya pun mati dan gelap gulita, dan pada
akhirnya dia tidak lagi mampu menerima petunjuk dari Allah SWT.
Dalam Alquran. Allah SWT juga telah menegaskan bahwa hawa
nafsu merupakan bahaya laten bagi orang-orang yang berilmu. Sebabnya
tak lain adalah karena mengikuti hawa nafsu. Sehingga ilmu yang turun
dari Allah tak mampu membuatnya teguh di atas jalan Allah, seperti
dalam Surah Al-Jassiyah ayat 23 yang artinya :
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan
ilmunya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan
meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan
memberinya petunjuk sesudah Allah(membiarkan sesat). Maka mengapa
kamu tidak mengambil pelajaran?.”
Imam Al - Ghazali membagi nafsu kepada empat bagian, yaitu :
a. Keserakahan nafsu terhadap harta benda

11
b. Nafsu amarah akan membakar dan membutakan hati
c. Kesenangan duniawi mendorong nafsu
d. Nafsu syahwat18
Adapun cara untuk menghindari nafsu jahat ini, dalam ilmu tasawuf,
nafsu jahat dan liar sering disebut dengan istilah sifat mazmumah. Sifat ini
melekat pada hati seperti daki melekat di badan. Kalau kita malas menggosok
sifat itu akan semakin kuat dan menebal pada hati kita.
Nafsu itulah yang lebih jahat dari syaitan. Syaitan tidak dapat
mempengaruhi seseorang kalau tidak meniti di atas nafsu. Dengan kata lain,
nafsu adalah highway (jalan tol) atau jalan bebas hambatan untuk syaitan.
Kalau nafsu dibiarkan akan membesar, maka semakin luaslah
highway syaitan. Kalaulah nafsu dapat diperangi, maka tertutuplah jalan
syaitan dan tidak dapat mempengaruhi jiwa kita. Tutuplah jalan mereka
(syaitan) dengan perbuatan-perbuatan yang diridhoi oleh Allah SWT

8. Ghibah
Mengumpat (ghibah) adalah kejahatan lidah yang terbesar. Menurut
Al-Ghazali mengumpat adalah mengatakan sesuatu tentang orang lain
yang kemungkinan besar akan menyakiti perasaannya apabila ia
mengetahuinya, meskipun apa yang diceritakan itu sungguh benar adanya.
Kekurangan yang dibicarakan itu bisa terdapat pada badan, nasab,
tabiat, ucapan, agama, maupun urusan duniawi lainnya. Adapun
membicarakan kekurangan atau aib seseorang yang tidak terdapat pada
diri orang tersebut dinamakan fitnah (buhtan).19 Sebagaimana sabda
Rasulullah SAW :
“Dari Abu Hurairah r.a., sesungguhnya Rasulullah saw.bersabda,
‘tahukah kalian, apa itu ghibah?’ para sahabat menjawab, ‘Allah dan
RasulNya yang tahu.’ Beliau bersabda, ‘yaitu kamu menuturkan tentang
saudaramu dengan sesuatu yang tidak ia sukai.’ Seorang sahabat
bertanya, ‘bagaimana jika apa yang aku tuturkan itu memang benar –
benar ada padanya?’ Beliau bersabda, ‘jika apa yang kamu tuturkan itu
memang ada padanya, maka berarti telah berbuat ghibah terhadapnya.
Dan jika tidak demikian, berarti kamu telah membuat-buat kebohongan
padanya’.”20
Ghibah tidak hanya dapat dilakukan dengan lisan saja, namun juga
bisa terjadi dengan tulisan atau isyarat seperti kerdipan mata, gerakan
tangan, cibiran, dan sebagainya. Karena pada intinya semuanya itu
memiliki arti memberitahukan kekurangan seseorang kepada orang lain.
Adapun macam dan bentuk ghibah yang paling buruk adalah ghibah
yang disertai dengan riya’. Misalnya, dengan mengatakan “saya
berlindung kepada Allah dari perbuatan yang tidak tahu malu seperti ini,
semoga Allah menjagaku dari perbuatan ini.” Ini mengandung maksud
bahwa ia mengungkapkan ketidaksenangannya kepada orang lain namun
ia menggunakan ungkapan doa untuk mengutarakan maksudnya.

18
Diakses dari http://indo2.islamic-
world.net/index.php?option=com_content&view=tasawuf&Itemid=116:hawa-nafsu-itba-al-hawa-dan-
penjelasannya&carid=23:tasawuf&itemid=25
19
M.Abul Quasem, Kamil, Etika Al-Ghazali:Etika Majemuk didalam Islam, (Bandung : pustaka, 1975), hlm.127-
128
20
Imam al-Ghazali, Minhajul Abidin: Jalan Para Ahli Ibadah, (Jakarta :Khatulistiwa, 2013), hlm. 367

12
Mengatakan keburukan orang tertentu memang tidak salah jika ini
dilakukan untuk maksud yang baik, yaitu :
a. Untuk mencari keadilan atau bantuan seseorang yang berwenang
b. Untuk menghilangkan kejahatan dengan memberitahukan orang-
orang yang dapat menghapuskannya
c. Untuk minta pendapat hukum (nasihat) dari seorang hakim
d. Untuk memperingatkan atau menasihati kaum muslimin. Misalnya
jarh yang dilakukan para ulama hadis
e. Menyebut seseorang sesuai dengan sifat yang telah diumumkannya
sendiri, namun tidak boleh menyebutkan aib-aib yang lain
f. Menyebut seseorang dengan sebutan yang telah masyhur pada diri
seseorang. Namun hal ini tidak diperbolehkan bila dimaksudkan
untuk menunjukkan kekurangan seseorang.21
Adapun untuk mengobati kebiasaan ghibah yang merupakan
penyakit yang sulit dideteksi dan diobati ini dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu dengan ilmu dan amal. Dimana dengan ilmu berarti
mengetahui pengaruh jahat mengumpat terhadap kehidupan dan
menghapuskan penyebab mengumpat. Dan dengan amal, bertujuan
untuk menyelidiki kekurangan diri sendiri sehingga kita akan malu
menyalahkan orang lain tanpa melihat kekurangan diri sendiri.22

21
M.Abul Quasem, Kamil, Etika Al-Ghazali:Etika Majemuk didalam Islam, (Bandung : pustaka, 1975), hlm.127-
129
22
M.Abul Quasem, Kamil, Etika Al-Ghazali:Etika Majemuk didalam Islam, (Bandung : pustaka, 1975), hlm.127-
130

13
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Menurut bahasa akhlak merupakan tingkah laku, tabiat, atau perangai.
Sedangkan akhlak menurut istilah merupakan suati pengetahuan yang
menjelaskan mengenai perbuatan yang baik serta buruk, mengatur perilaku
manusia, serta mampu menentukan perbuatan akhir.
Macam-macam dari akhlak mazmumah ada banyak sekali, seperti
hasad, riya’, hubbud dunya, sum’ah, ujub, takabur, itbaul hawa, ghibah, dan
masih banyak lagi. Akhlak tercela diatas merupakan suatu sikap jelek yang
merugikan diri sendiri dan orang lain yang dilakukan jauh dari apa yang
dilarang agama dan tidak diridhoi oleh Allah SWT. Seseorang yang
melakukan akhlak tercela akan mendapat kesulitan baik di dunia maupun di
akhirat.

B. SARAN
Berdasarkan pembahasan mengenai akhlak-akhlak tercela, penulis
memberi saran sebagai umat muslim seharusnya memberikan perhatian
penuh terhadap masalah pembersihan yang dapat menimbulkan perilaku atau
perbuatan yang buruk, dimana keduanya merupakan identitas dari akhlak
tercela.
Demikian makalah ini penulis buat, apabila terdapat kekurangan dan
kesalahan dalam penulisan makalah ini, penulis meminta maaf karena penulis
hanya manusia biasa yang tidak terlepas dari kesalahan dan lupa.
Oleh karena itu, untuk kesempurnaan dalam penulisan makalah ini
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pada pembaca
dan semoga dengan informasi dalam makalah ini dapat bermanfaat untuk
para pembaca. Aamiin.

14
DAFTAR PUSTAKA

 Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. 2008. Mutiara Ihya’ Ulumuddin:


Ringkasan yang Ditulis oleh Sang Hujjatul Islam; Terjemahan Irwan
Kurniawan. Bandung:Mizan
 Al-Ghazali, Imam. 2008. Mutiara Ihya’ Ulumuddin. Bandung: PT Mizan
Pustaka
 Al-Ghazali, Imam. 2013. Minhajul Abidin:Jalan Para Ahli Ibadah. Jakarta :
Khatulistiwa
 Al Khaubawiyyi, Usman Asy Syakir. 1985. Durratun Nasihin: Butir-butir
Mutiara Hikmat; Alih bahasa oleh Rosihin Abd. Gani. Semarang:Wicaksana
 Ibnu Taimiyah.2002.Risalah Tasawuf Ibnu Taimiyah. Jakarta : Hikmah
 Hawwa, Sa’id.2006. Tazkiyatun Nafs:intisari Ihya’ Ulumuddin; Terjemahan
Tim Kuwais. Jakarta: Pena Pundi Aksara
 Quasem, M.Abul, Kamil.1975. Etika Al-Ghazali: Etika Majemuk didalam
Islam. Bandung : Pustaka
 Sati, Pakih. 2013.Syarah Al-Hikam: Kalimat-kalimat Menakjubkan Ibnu
Atha’illah dan Tafsir serta Motivasinya. Yogyakarta : Diva Press
 Yusuf, Hamza. 2009. Hatiku Surgaku : Terapi Jitu Membersihkan Hati dari
Sifat-sifat yang Tidak Disukai Allah. Jakarta : Lentera Hati

15

Anda mungkin juga menyukai