Anda di halaman 1dari 12

Antara Duduk Tawarruk dan Duduk Iftirasy

Dalam

masalah Fiqh sudah menjadi hal yang sangat lumrah terjadi perbedaan pendapat. Baik perbedaan tersebut terjadi dari sisi perbedaan dalil yang dibawa, nasikh dan mansukh (penghapusan hukum yang terdahulu oleh hukum dalam dalil yang datang belakangan), Tamiim dan Takhshish (pengumuman

dan pengkhususan dalil), Muthlaq dan Muqayyad, maupun dari segi perbedaan pemahaman dari dalil yang sama. (Lihat lebih lengkapnya pembahasan ini dalam kitab-kitab Ushulul Fiqh). Salah satu permasalahan yang termasuk dalam pembahasan ini adalah perbedaan pendapat dalam hal sifat/cara duduk ketika tasyahud akhir untuk shalat yang 2 rakaat, seperti Shalat Fajr (Shalat Shubuh), Shalat Jumat, Shalat Witir 1 rakaat atau Shalat-Shalat Sunnah 2 rakaat. Sesungguhnya permasalahan ini merupakan masalah khilaf (perbedaan pendapat) yang klasik. Dan secara khusus dalam pembahasan kali ini, kita akan melihat khilaf yang kuat antara Madzhab Imam Ahmad dan Madzhab Imam Syafiirahimahumallah-. Tentunya masing-masing madzhab memiliki dalil dan argumen yang sama-sama kuat. Madzhab Syafii dan Madzhab Hanbali sepakat dalam hal sifat duduk bagi shalat yang memiliki 2 tasyahud, pada tasyahud pertama dengan iftirasy dan ketika tasyahud akhir dengan tawaruk. Khilaf/perbedaan terjadi dalam shalat-shalat yang memiliki 1 tasyahud, seperti Shalat Fajr (Shalat Shubuh), Shalat Jumat, Shalat Witir 1 rakaat dan Shalat-Shalat Sunnah 2 rakaat. Apakah duduk tasyahud dengan tawaruk ataukah dengan iftirasy?? Pendapat Pertama: Madzhab Syafii: Madzhab Syafii berpendapat bahwa duduk pada saat

tasyahud akhir baik yang memiliki 2 rakaat (seperti Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya) maupun yang hanya memiliki satu tasyahud (seperti Shalat Fajr/Shubuh, Shalat Jumat, Shalat Witir 1 rakaat, maupun shalat-shalat Sunnah 2 rakaat) maka semuanya dilakukan dengan duduk tawarruk. Mereka berdalil dengan hadits Abu Humaid As Saidi, beliau berkata: ,

. Aku adalah orang yang paling hafal shalatnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diantara kalian. Aku melihat beliau apabila bertakbir maka beliau mensejajarkan kedua tangannya dengan kedua pundaknya, apabila beliau ruku maka beliau meletakkan kedua tangannya diatas kedua lututnya kemudian beliau meluruskan punggungnya, apabila beliau bangun dari ruku maka beliau berdiri tegak hingga tulang punggungnya kembali ketempat asalnya, apabila beliau sujud maka beliau meletakkan kedua tangannya tanpa menidurkan kedua lengannya dan juga tidak melekatkannya (pada lambungnya) serta beliau menghadapkan jari-jari kaki beliau kearah kiblat, apabila beliau duduk pada rakaat kedua maka beliau duduk diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy), dan apabila beliau duduk pada rakaat terakhir maka beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki

kanannya serta beliau duduk diatas tempat duduknya bukan diatas kaki kirinya- (duduk tawarruk). (HR. Al Bukhari No. 828). Imam Nawawi rahimahullah (salah satu ulama madzhab Syafii) berkata, Imam Syafii dan para sahabat kami (ulama dari kalangan madzhab Syafii) berkata: Hadits Abu Humaid jelas membedakan antara dua duduk tasyahud, sedangkan hadits-hadits yang lainnya adalah hadits yang muthlaq, maka wajib dibawakan sesuai dengan hadits ini (hadits Abu Humaid). Barangsiapa yang meriwayatkan duduk tawarruk, maka yang dimaksud adalah duduk tasyahud akhir, dan barangsiapa yang meriwayatkan duduk iftirasy, maka yang dimaksud adalah duduk tasyahud awal, dan harus diadakan penggabungan (Al Jamu) antara hadits-hadits yang shahih, terlebih hadits Abu Humaid As Saidi ini telah disetujui oleh sepuluh orang pembesar para sahabat radhiyallahu anhum. Wallahu alam. (Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab, 3/413). Hadits Abu Humaid ini juga datang dengan lafazh-lafazh lain yang semakin memperkuat pendapat madzhab Syafii ini, diantaranya: , . Hingga tatkala sampai sujud terakhir yang ada salamnya, maka Nabi mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk dengan tawarruk diatas sisi kiri beliau. (HR. Abu Dawud no 963 dan Ibnu Majah no 1061).

Diantaranya juga:

Hingga tatkala sampai pada sujud yang merupakan penutup shalat, maka beliau mengangkat kepalanya dari dua sujud tersebut dan beliau mengeluarkan kakinya serta duduk tawarruk diatas kakinya. (HR. Ibnu Hibban no 1870). Diantaranya juga:

Apabila sampai kepada rakaat terakhir yang menutup shalat, maka beliau mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk tawarruk diatas sisinya kemudian beliau salam. (HR. An Nasai no 1262). Sisi Pendalilan Madzhab Syafii: Sisi pendalilan mereka adalah keumuman lafazh-lafazh yang datang dalam hadits-hadits Abu Humaid diatas yaitu, sujud terakhir yang ada salamnya, duduk pada rakaat kedua, sujud yang merupakan penutup shalat, sampai kepada rakaat terakhir yang menutup shalat. Lafazh-lafazh ini bersifat umum mencakup seluruh tasyahud disetiap rakaat yang merupakan penutup shalat, apakah shalat yang memiliki 2 tasyahud maupun shalat yang hanya memiliki satu tasyahud seperti shalat Fajr/Shubuh dan shalat Jumat.

Pendapat Kedua: Madzhab Hanbali: Madzhab Hanbali berpendapat bahwa untuk shalat yang hanya memiliki satu tasyahud (seperti shalat Fajr/Shubuh dan shalat Jumat) maka duduknya adalah duduk iftirasy. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah, Dan tidaklah dilakukan duduk tawarruk kecuali pada shalat yang memiliki dua tasyahud, yaitu pada tasyahud yang kedua. (Al Mughni 2/227). Mereka berdalil dari beberapa hadits, yaitu: 1. Hadits Aisyah radhiyallahu anha, beliau berkata: Adalah beliau (Rasulullah shallallahu alaihi wasallam) mengucapkan tahiyyat pada setiap dua rakaat, dan beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy). (HR. Muslim no 498). 2. Hadits Abdullah bin Az Zubair radhiyallahu anhuma, beliau berkata:

Adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam apabila duduk pada dua rakaat, beliau menghamparkan yang kiri da menegakkan yang kanan (duduk iftirasy). (HR. Ibnu Hibban no 1943). 3. Hadits Wail bin Hujr radhiyallahu anhu, beliau berkata:

Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika duduk dalam shalat beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy). (HR. Ibnu Khuzaimah no 691). Dalam lafazh yang lain:

Maka tatkala beliau duduk untuk tasyahhud, beliau menghamparkan kaki kirinya dan meletakkan tangan kirinya di atas pahanya , dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy). (HR. Tirmidzi no 292). Dalam lafazh yang lain:

"Dan jika Nabi duduk (dalam sholat) beliau beriftirasy" (HR At Thabraani dalam Al-Mu'jam Al-Kabiir 22/33 no 78). Sisi Pendalilan Madzhab Hanbali: Sisi pendalilan mereka adalah keumuman lafazh- lafazh hadits ini, dan semua lafazh- lafazh di atas termasuk lafazh- lafazh umum seperti, Maka tatkala beliau duduk untuk tasyahhud,

ketika duduk dalam shalat, apabila duduk pada dua rakaat, pada setiap dua rakaat. Sampai disini, timbul pertanyaan: Apakah hadits yang dijadikan dalil oleh madzhab Syafi'i -yaitu hadits Abu Humaid As-Sa'idi- memberikan faidah keumuman? Jika merenungi dan mengamati hadits tersebut, ternyata hadits ini adalah sebuah kisah yang disampaikan oleh Abu Humaid As Sa'idi tentang jenis shalat tertentu, yaitu shalat yang memiliki dua tasyahhud. Hal ini Nampak sangat jelas jika kita kembali melihat lafazh-lafazh hadits ini. Oleh karenanya lafazh-lafazh yang seakan-akan memberi faidah keumuman, pada hakikatnya adalah penjelas tentang shalat yang memiliki dua tasyahud tersebut, dan tidak mencakup seluruh shalat. Apabila kita melihat lagi kepada dalil-dalil diatas, baik dalildalil yang dibawakan oleh Madzhab Syafii maupun yang dibawa oleh madzhab Hanbali, maka kita akan melihat bahwasanya dalil yang dibawakan oleh madzhab Hanbali keumumannya lebih kuat. Adapun hadits Aisyah radhiyallahu anha keumumannya dari sisi "Pada setiap dua rakaat". Disini ada lafazh , dan ini merupakan lafazh yang kuat dalam menunjukan keumuman. Demikian juga hadits Abdullah bin Az Zubair radhiyallahu anhuma semakna dengan hadits Aisyah diatas, hanya saja kemumumannya diambil dari lafal Jika yaitu dalam lafazh "Nabi jika duduk di dua rakaat maka beliau duduk iftirasy". Hal ini menunjukan bahwa beliau duduk dengan iftirasy di setiap dua rakaat -secara

umum baik pada sholat dua rakaat yang hanya memiliki satu tasyahhud atau pada sholat 3 atau 4 rakaat yang memiliki dua tasyahhud-. Demikian juga hadits Wail bin Hujr radhiyallahu anhu yang dibawakan oleh madzhab Hanbali diatas merupakan hadits yang lebih umum dari hadits Aisyah radhiyallahu anha yaitu:

Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika duduk dalam shalat beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy). (HR. Ibnu Khuzaimah no 691). Dalam lafazh yang lain:

Maka tatkala beliau duduk untuk tasyahhud, beliau menghamparkan kaki kirinya dan meletakkan tangan kirinya di atas pahanya , dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy). (HR. Tirmidzi no 292). Dalam lafazh yang lain: "Dan jika Nabi duduk (dalam sholat) beliau beriftirosy" (HR At Thabraani dalam Al-Mu'jam Al-Kabiir 22/33 no 78). Hadits diatas mencakup duduk secara umum, baik duduk diantara dua sujud, duduk istirahat, duduk pada shalat dua

rakaat maupun duduk pada shalat satu rakaat. Kemudian, keumuman dalil yang dibawakan oleh madzhab Hanbali (yaitu hadits Aisyah, Wail bin Hujr, dan Abdullah bin Az Zubair) dikhususkan oleh madzhab Hanbali dengan hadits Abu Humaid As Saidi diatas. Oleh karena itu, walaupun hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa Nabi duduk iftirasy pada setiap duduk dalam shalatnya, tapi dikhususkan dengan hadits Abu Humaid, sehingga untuk shalat yang memiliki dua tasyahud maka pada tasyahud yang kedua dengan duduk tawarruk. Oleh karena itu, madzhab Syafii dan madzhab Hanbali sepakat dalam masalah shalat yang memiliki dua tasyahud. Syaikh Al Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang bagaimana cara duduk tasyahud untuk shalat witir, beliau menjawab: Seseorang pada saat shalat witir duduk iftirasy, karena pada asalnya duduk dalam shalat adalah iftirasy. Kecuali jika ada dalil yang menunjukkan yang lain. Oleh karenanya, kami katakan: dia duduk iftirasy tatkala shalat witir, dan dia tidak duduk tawarruk kecuali pada sholat yang memiliki dua tasyahud, maka duduk tawarruk dilakukan tatkala tasyahhud akhir karena adanya perbedaan antara tasyahhud akhir dan tasyahhud awal. Demikianlah sunnah. Wallahu A'lam" (Majmuu' Fataawaa wa Rasaail Syaikh Al 'Utsaimiin 14/159 no 784). Syaikh Al Albani rahimahullah juga berkata: "Yang benar sebagaimana ditunjukan oleh hadits-hadits yang shahih bahwasanya duduk iftirasy adalah asal (duduk dalam sholat-pen)

dan merupakan sunnah berdasarkan hadits Ibnu Umar yang telah ditakhrij di kitab Al Irwaa no 317, dan juga semisalnya hadits Aisyah sebagaimana ditakhrij sebelumnya no 316. Maka seseorang duduk iftirasy di setiap duduk (dalam shalat) dan di setiap tasyahhud, kecuali tasyahud akhir yang diikuti dengan salam, sebagaimana telah datang secara terperinci dalam hadits Abu Humaid As Saa'idi." (Silsilah Al Ahaadits Ad Dha'iifah 12/268). Kesimpulan: Bahwasanya hukum asal duduk dalam shalat -duduk secara umum- adalah iftirasy berdasarkan keumuman haditshadits yang dibawakan oleh madzhab Hanabilah diatas. Sedangkan duduk tawarruk khusus untuk tasyahud akhir bagi shalat yang memiliki 2 tasyahud. Berdasarkan pengkhususan hadits Abu Humaid yang telah lalu. Namun, bagaimana pun juga masalah ini merupakan khilaf klasik yang telah terjadi diantara para ulama sejak dahulu. Maka tidak sepatutnya bagi kita, saat kita melihat satu pendapat yang rajih (kuat) menurut dalil-dalilnya, kita menghujat, menyalahkan, bahkan membenci saudara kita yang mengambil pendapat yang tidak sama dengan kita. Karena masalah ini adalah masalah ijtihadiyyah, yang mana para ulama ketika mengambil pendapat, sudah mempelajari dahulu dalil-dalil yang sampai kepada mereka. Dan juga seyogyanya bagi kita untuk senantiasa berusaha mengikuti dalil-dalil yang ada tanpa harus mendahulukan satu pendapat madzhab tertentu. Karena semua ulama madzhab

sepakat bahwa ketika ada dalil yang shahih, itu adalah madzhab mereka. Wabillahittaufiiq wal minnah, wallahu taala alam.

Anda mungkin juga menyukai