Anda di halaman 1dari 18

Duduk Didalam Shalat (Tawaruk atau Iftirasy ?

)
05 Mar
Dalam kajian fikih tata-cara ibadah tidak jarang ditemui perbedaan pandangan. Termasuk
dalam tata-cara shalat. Hal ini kadang menimbulkan rasa tidak bersahabat, kalau tidak
sampai terjadi perselisihan.
Diantara hal itu adalah tentang cara duduk dalam shalat. Mungkin pernah kita lihat ada
yang selama shalat ketika duduk dengan cara iftirasy (menegakkan/menghamparkan
telapak kai kanan dan menghamparkan telapak kaki kiri, sementara pantat duduk di atas
hamparan telapak kaki kiri), ada juga yang tawaruk (menegakkan/menghamparkan te lapak
kaki kanan dan menyilangkan kaki kiri hingga telapaknya berada di bawah atau di atas betis
kaki kanan) dan iftirasy. Yang kedua juga berbeda lagi ketika duduk itu pada shalat dua
rekaat dan yang lebih dari itu.
Bagaimana sebenarnya duduk permasalahannya sehingga muncul perbedaan tersebut?
Mengapa para ulama sendiri juga berbeda pandangan dalam masalah ini?
Empat Imam pun berbeda
Kalau disebut empat imam bukan bermaksud membatasi imam (ulama terkenal) hanya
sebatas empat tersebut. Sebenarnya ulama yang disebut dengan Imam sangat banyak,
disebut empat saja karena itulah yang sangat terkenal di kalangan kaum muslimin,
terutama di Indonesia. Keempat ini bias dikatakan mewakili empat pandangan yang
berbeda pula.
Pertama: pendapat Imam Hanafi dan yang sepaham. Mereka berpandangan bahwa duduk
dalam sholat adalah mutlak iftirasy, baik duduk di antara dua sujud, tasyahud awal,
maupun tasyahud akhir.
Kedua: pendapat Imam Malik, dan yang sepaham. Mereka berpandangan bahwa duduk
dalam shalat adalah tawaruk, baik pada tasyahud awal, atau akhir, maupun di antara dua
sujud.
Ketiga: pendapat Imam Ahmad dan yang sepaham. Mereka berpandangan bahwa shalat
yang memiliki satu tasyahud dengan yang memiliki dua tasyahud dengan yang memiliki dua
tasyahud cara duduknya berbeda. Shalat yang memiliki satu tasyahud, duduk akhirnya
sama dengan cara duduk di antara dua sujud, yakni iftirasy. Sementara bila shalatnya
memiliki dua tasyahud, maka tasyahud awal dengan cara iftirasy, sedangkan yang kedua
dengan cara tawaruk. Ini merupakan pendapat yang masyur dari Imam Ahmad. (Fathul
Bari, Ibnu Rajab al-Hambali V/164).
Keempat: pendapat Imam Syafii dan yang sepaham. Mereka berpandangan bahwa duduk
yang bukan duduk akhir adalah iftirasy, sedangkan duduk yang dilakukan pada tasyahud
akhir dengan tawaruk. Tidak dibedakan antara shalat yang memiliki dua tasyahud ataupun
satu tasyahud.
Apa Alasan Mereka? Apa sebenarnya yang menjadi alasan masing-masing pihak sehingga
muncul berbeda pendangan ?
Alasan Hanafi : Mereka membangun pendapatnya di atas petunjuk beberapa hadits,
diantaranya yaitu:
Perkataan Aisyah, istri Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam Beliau Rasulullah
mengucapkan tahiyyat pada setiap dua rekaat/rekaat kedua, saat itu beliau hamparkan kaki
kirinya dan menegakkan kaki kanannya. (Shahih Muslim no. 498).
Perkataan Wail bin Hujr Aku menyaksikan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ketika
duduk dalam shalat; beliau hamparkan telapak kaki kirinya dan menegakkan telapak kaki
kanannya. (Ibnu Khuzaimah no.691, Al-Baihaqi no.72, Ahmad no.316), Al-Thabrani no.33).
Dalam riwayat Tirmidzi dengan lafal: Tatkala duduk tasyahud beliau hamparkan kaki
kirinya dan tangan kirinya diletakan pada pahanya sementara itu kaki kanannya
ditegakkannya. (Sunan Tirmidzi no.292).
Hadit-hadits tersebut, dan hadits lain yan g senada, menunjukkan disebutkannya duduk
iftirasy baik waktu tasyahud maupun bukan.
Alasan Maliki : Pandangan ini dibangun di atas hadits-hadits berikut:
Perkataan Abdullah Ibnu Umar : Bahwasanya sunnah shalat (ketika duduk) adalah engkau
tegakkan telapak kaki kananmu dan melipat yang kiri! (Shahih al-Bukhari no.793, bersama
Fatul Bari).
Perkataan Abdullah Ibnu Masud : Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah
mengajarkan tasyahud kepadaku dipertengahan shalat dan di akhirnya. Katanya lagi,
Beliau mengucapkan (tasyahud tersebut) jika duduk di pertengahan shalat dan di akhirnya
di atas warik (bagian atas paha/pantat)-nya yang kiri (Musnad Ahmad 4369)
Hadits-haduts tersebut menyebutkan adanya duduk tawaruk dalam shalat, baik di tengah
maupun akhirnya.
Mereka juga mendasarkan pada kiyas, bahwa perbuatan tersebut adalah diulang-ulang
dalam shalat, maka sesuatu yang diulang-ulang dalam shalat mestinya mempunyai satu
sifat/bentuk. Seperti halnya berdiri dan sujud. (Syarh Muwatha, oleh Qadhi Abul Walid
Sulaiman al-Naji)
Alasan Syafii dan Hambali : Syafii berpandangan bahwa asal duduk dalam shalat adalah
tawaruk. Dikecualikan sebagaimana perkataan Muzani bahwa Syafii berkata, Duduk pada
rekaat kedua di atas kanannya. (Al-Hawi al-Kabir hal.171).
Ibnu Rusyd mengambarkan pandangan syafii, Pada tasyahud awal mereka mengikuti
madzab Hambali sementara pada tsyahud akhir mengikuti madzab Maliki. (Bidayatul
Mujtahid hal.261).
Sedang Hambali. Tidak boleh duduk tawaruk kecuali dalam shalat yang mempunyai dua
tasyahud, duduk tawaruk dilakukan pada tasyahud yang akhir. (Zadul Mustaqni Ahmad bin
Hambal).
Sebenarnya pandangan Imam Syafii dan Imam Ahmad mempunyai kesamaan, di samping
perbedaan. Persamaannya bahwa dalam shalat itu ada duduk tawaruk maupun iftirasy. Jadi
hadits-hadits yang dijadikan alasan tertentu di muka, baik yang disodorkan Hanafi dan
Maliki, penggunaannya digunakan oleh keduanya. Perbedaannya ketika menyikapi duduk
akhir antara shalat yang memiliki satu tashahud dengan shalat yang memiliki dua tasyahud.
Jadi keduanya membangun pandangannya pada alasan sahih yang juga digunakan oleh dua
imam sebelumnya. Hanya saja ada tambahan hadits sahih lainnya.
Hadits dari Muhammad bin Amr bin Ath. Ia pernah duduk bersama sepuluh orang sahabat.
Kami mempinjangkan shalat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam . Tiba-tiba Abu Humaid al-
Saidi berkata, Dibanding kalian aku lebih hafal tentang shalat Rasulullah Shallallahu alaihi
wa sallam . Aku pernah melihat beliau apabila bertakbir dijadikannya kedua tangannya
berhadapan dengan kedua pundaknya. Apabila rukuk, beliau letakkan kedua tangannya di
kedua lututnya, kemudian beliau meluruskan punggungnya. Bila mengangkat kepalanya
(dari ruku), beliau berdiri lurus (itidal) sehingga kembali setiap tulang belakang ke
tempatnya. Kemudian apabila sujud, beliau letakkan kedua tangannya tanpa
menghamparkan maupun menggenggam, sementara ujung-ujung jarinya kedua kakinya
dihadapkan ke kiblat. Apabila duduk pada dua rekaat (rekaat kedua), beliau duduk di atas
(hamparan) kaki kirinya dengan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy). Sementara
apabila duduk pada rekaat akhir, beliau majukan kaki kirinya dengan menegakkan kaki
kanannya dan beliau duduk di tempatnya (di lantai alias duduk tawaruk). (Shahih al-
Bukhari no.828).
Hadits tersebut ada yang menggunakan lafal lain :
Dalam riwayat Abdul Fadhi Abdul Hamid bin Jafar al-Anshari al-Ausi disebutkan, Hingga
pada saat sajdah yang diikuti dengan salam.
Sementara pada riwayat Ibnu Hibban, (Pada rekaat) yang menjadi penutup shalat beliau
mengeluarkan kaki kiri dan duduk dengan tawaruk pada sisi kirinya. (Fathul Bari II/360).
Sementara itu dalam Shahih Ibni Khuzaimah (I/587). Sunan al-Tirmidzi no.304, dan
Musnad Ahmad no.23088 hadits tersebut dicatat dengan redaksi : Hingga rekaat yang
padanya selesailah shalat.
Lain lagi dalam Sunan al-Nasai no.1262, Adalah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam jika pada
dua rekaat yang padanya berakhirlah shalat.
Catatan Dan Kesimpulan
Tidak benar jika dikatakan bahwa ada madzab yang tidak berpegang pada hadits.
Masalahnya adalah dari kajian hadits masing-masing pihak tersebut mana yang
menghasilkan pendapat paling kuat? Ibnu Hazm memberikan penilaian terhadap dua
pandangan pertama dimuka, kedua pendapat tersebut salah dan menyelisihi sunnah yang
ada sebagaimana kami sebutkan maksudnya hadits Abu Humaid. (Al-Muhalla IV/127).
Artinya, kelemahan dua pendapat pertama tersebut adalah karena masing-masing hanya
mengambil satu jenis hadits dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam . Maliki mengambil
hadits tawaruk, sementara Hanafi mengambil hadits iftirasy, padahal kedua jenis hadits
tersebut sama-sama sahihnya.
Kiranya menurut penulis, yang paling kuat adalah pendangan yang dipilih oleh Imam
Syafii. Kesimpulan serupa juga pernah diajukan oleh Al-Ustadz Abdul Hakim bin
Amir Abdat setelah melakukan penelitian yang cukup dalam dan lama.
Sebelumnya hal ini sudah ditegaskan oleh Abul Ula Mubarakfuri, Pendapat yang
menjadi pandangan Imam Syafii dan yang sepaham mempunyai nash yang jelas
dan tegas. Inilah madzhab yang kuat. (Tuhfatul Ahwadzi II/155).
Tentu saja jawaban dari pihak yang condong kepada pandangan Hambali. Bahwa menurut
mereka, hadits Abu Humaid di atas khusus untuk shalat yang mempunyai dua tasyahud
seperti shalat yang empat atau yang tiga rekaat, karena susunan haditsnya memang
menunjukkan seperti itu. Susunan ini secara tekstual mengkhusukan bahwa duduk tawaruk
hanya ada pada tasyahud yang kedua.
Jawabannya : Sebenarnya yang dipersoalkan adalah shalatnya Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam, bukan masalah empat rekaatnya. Kita coba urutkan hadits Abu Humaid di
muka :
Pertama : Berkata Muhammad bin Amr bin Atha, Kami memperbincangkan shalat Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam. Ini menunjukkan bahwa para sahabat sebanyak sepuluh
orang bersama Muhammad bin Amr bin Atha tengah membahas sifat shalat Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam.
Kedua : Berkata Abu Humaid al-Sadi mengatakan secara umum kepada sahabat-sahabat
lainnya bahwa dia paling tahu tentang sifat shalat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam,
kemudian menjelaskan tanpa ,mengkhusukan shalat yang 2, 3, atau 4 rekaat.
Ketiga : Di antara al-Saidi ialah: mengangkat kedua tangan, rukuk, itidal, dan sujud.
Apakah semua sifat shalat tersebut khusus untuk shalat yang empat rekaat?
Kemudian hadits Abdullah bin Masud yang dicatat oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihahnya
no.670 memperkuat hadits Abu Humaid tersebut.
Dipertegas dan diperkuat dengan hadits dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam beliau
bersabda, Jika engkau duduk di pertengahan shalat bersikaplah tentang (thumaninah) dan
hamparkan paha kirimu (duduk iftirasy), lalu lakukanlah tasyahud. (Sunan Abu Dawud
no.802, menurut Al-Albani sanadnya hasan, dalam Ashlu Shafatis Shalah, Al-Albani:
III/831-832).
Abu Humaid membedakan antara duduk di akhir shalat dengan duduk yang bukan di akhiri
shalat. Tatkala beliau menjelaskan tentang duduk yang bukan akhir shalat, beliau
menyebutnya dengan lafal Jika duduk pada rekaat kedua beliau duduk di atas kaki kirinya
dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirasy). Lafal ini menunjukan bahwa duduk iftirasy
dilakukan dipertengahan shalat, bukan akhir shalat. Yang dimaksud arrakatain bukan
dua rekaat, tetapi rekaat yang bukan akhir shalat alias rekaat kedua. Jadi hadits ini
menjelaskan bahwa duduk iftirasy dilakukan dipertengahan shalat. Sedangkan lafal hadits
Abu Humaid dan jika beliau duduk pada rekaat terakhir, dengan berbagai lafalnya
merupakan nash yang bersifat manthuq sharih (penunjukan lafal yang sesuai pada
ucapannya); hal ini lebih didahulukan daripada mafhum. Hadits Aisyah, Ibnu Hujr, Ibnu
Zubair tentang duduk iftirasy adalah umum sebagaimana hadits Ibnu Umar tentang
tawaruk; tidak disebutkan apakah pada pertengahan shalat ataukah diakhirnya. Karena itu
hadits yang umum (mutlak) tersebut dibawa kepada yang muqattad (mengikat khusus),
pada hadits Abu Humaid dimuka. Perlu diingat pula bahwa shalat yang dimaksud satu tidak
hanya yang dua rekaat, dalam shalat witir ada satu, tiga rekaat. Ada juga empat rekaat dan
lima rekaat dengan satu tasyahud. Apakah kiranya ada hadits yang menjelaskan tentang
duduk selain dua re kaat? Pemahaman Imam Syafii di muka memecahkan masalah ini.
Tetapi ada yang menarik dari ungkapan Imam Nawawi, dari madzhab Syafii, Seandainya
seorang ketika pada posisi duduk, kapanpun, dengan iftirasy, tawaruk, bersila, iqa, atau
bahkan selonjor tetaplah sah shalatnya meskipun itu menyelisihi. (Syarh Shahih Muslim,
hal.438).
Akhirnya perbedaan semacam ini hendaknya disikapi secara arif. Tidak perlu menimbulkan
sikap curiga dan saling mencela. Wallahu alam.
Dipulikasikan oleh : ibnuramadan.wordpress.com
Disalin dari : Fatawa Vol.IV/No.11/Dzulqadah 1429

=====================================================================
=======================================

TATACARA DUDUK TASYAHHUD AKHIR DALAM SETIAP SHALAT


MENGENAL BEBERAPA ISTILAH DUDUK DI DALAM SHALAT

Sebelum kita memasuki inti pembahasan, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu beberapa
istilah tatacara duduk yang nanti akan kami sebutkan disela-sela pembahasan. Berikut ini
beberapa istilah yang penting untuk kita ketahui:

1) Duduk tawarruk, adalah duduk yang dilakukan dengan cara bagian belakang (pantat) duduk
diatas lantai, dan kaki kiri dimajukan ke depan, dan ujung kaki kiri dikeluarkan kesebelah kanan,
kemudian kaki kanan ditegakkan, dengan cara jari-jari kaki kanan diarahkan ke kiblat.

2) Duduk iftirasy, yaitu duduk yang dilakukan dengan cara bagian belakang (pantat) menduduki
kaki kiri dan berada di atasnya, dan kaki kanan tetap ditegakkan dengan jari-jari kaki kanan
diarahkan ke kiblat.

3) Duduk tarabbu, yaitu duduk dengan cara bagian belakang pantat diatas lantai, kedua paha
dimajukan kedepan, sementara betis kanan diselipkan ke sebelah kiri dan demikian pula
sebaliknya, atau lebih dikenal dengan istilah duduk bersila.Diriwayatkan dari Aisyah -
radhallahu anha- bahwa Beliau berkata:

Aku melihat Rasulullah Shallallohu alaihi wasallam, shalat dalam keadaan duduk bersila.[1]

Faedah: Asy-Syaikh Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin rahimahullah menyebutkan ada tiga
macam cara duduk tawarruk:
Pertama: seperti yang telah kami sebutkan diatas
Kedua: menghamparkan kedua kaki, baik yang kiri maupun yang kanan (tidak ditegakkan).
Ketiga: menghamparkan kaki kanan (tidak ditegakkan), lalu kaki kiri dimasukkan diantara paha
dan betis kaki kanan.
Lalu beliau berkata: semua keadaan ini telah datang dari Nabi Shallallohu alaihi wasallam,
tentang cara duduk tawarruk.[2]
Hal ini juga disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya zaadul maaad.[3]

Sumber : Risalah Ilmiah Tatacara Duduk Tasyahhud Akhir Dalam Setiap Shalat Hal : 13-16
________________________________________
[1] HR.An-Nasaai (1661), Ad-Daruquthni (1/397), Ibnu Khuzaimah (2/89), Ibnu Hibban
(2512),Al-Hakim dalam Al-mustadrak (1/410), Al-Baihaqi (2/305).Dishahihkan Al-Albani
dalam Shahih An-Nasaai.
[2] (lihat Asy-Syarhul mumti, Al-Utsaimin:3/300)

[3] Zaadul maaad, Ibnul Qayyim (1/253).

PENDAPAT PARA ULAMA DALAM MASALAH CARA DUDUK TASYAHHUD

Sebelum kita menyebutkan pendapat yang terkuat dalam masalah duduk pada tasyahhud akhir
disetiap shalat, hendaknya kita mengetahui perselisihan yang terjadi dikalangan para ulama
dalam masalah ini. Para Ulama telah berselisih pendapat dalam masalah cara duduk tasyahhud
secara umum, baik tasyahhud yang pertama maupun tasyahhud yang terakhir menjadi beberapa
pendapat:

Pendapat Pertama: pendapat Imam Malik. Beliau mengatakan: Dianjurkan untuk duduk tawarruk
dalam setiap keadaan duduk dalam shalat, apakah pada tasyahhud pertama, atau terakhir, dan
pada duduk diantara dua sujud. Dan tidak ada perbedaan antara duduk tersebut, sebagaimana
tidak ada perbedaan pula antara duduk laki-laki dan duduk wanita.

Pendapat Kedua: pendapat Abu Hanifah dan para pengikutnya, dan juga pendapat Sufyan Ats-
Tsauri, Hasan bin Shaleh, Abdullah bin Mubarak, mereka mengatakan: dianjurkan duduk iftirasy
pada semua keadaan duduk, baik duduk diantara dua sujud, tasyahhud yang pertama dan
terakhir. Ini berkenaan tentang duduk laki-laki. Adapun duduk wanita, maka dia duduk dengan
cara yang paling mudah baginya. Dan hal ini juga telah diriwayatkan dari Asy-Syabi.

Pendapat Ketiga: pendapat Imam Ahmad dan para pengikutnya, dan juga pendapat Dawud dan
Ishaq bin Rahuyah, mereka mengatakan: Berbeda antara shalat yang memiliki satu tasyahhud
dengan shalat yang memiliki dua tasyahhud. Adapun shalat yang memiliki satu tasyahhud maka
duduk akhirnya sama dengan cara duduk diantara dua sujud, yaitu dengan iftirasy, adapun bila
shalatnya memiliki dua tasyahhud, maka pada tasyahhud pertama dengan cara iftirasy,
sedangkan yang kedua dengan cara tawarruk. Ini merupakan pendapat yang paling masyhur dari
Imam Ahmad. Dan dalam riwayat Al-Atsram bahwa Imam Ahmad menyebutkan secara nash
tentang bolehnya duduk tawarruk pada tasyahhud yang dia mengucapkan salam padanya dari
shalat dua rakaat, namun beliau mengatakan: Bahwa duduk iftirasy lebih afdhal.[1]
Pendapat keempat: pendapat Imam Asy-Syafii dan para pengikutnya. Mereka mengatakan:
Duduk yang bukan duduk akhir, dengan cara iftirasy, sedangkan duduk yang dilakukan pada
tasyahhud akhir, dengan cara tawarruk. Dan tidak ada perbedaan antara shalat yang memiliki dua
tasyahhud ataupun satu tasyahhud. Dan pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Hazm.

Pendapat Kelima: Adalah pendapat At-Thabari, yang mengatakan bolehnya memilih cara duduk
yang mana saja yang dia inginkan yang ada dalilnya dari Nabi Shallallohu alaihi wasallam, Dan
Ibnu Abdil Barr lebih condong kepada pendapat ini, sebagaimana yang beliau sebutkan dalam
kitabnya. At-Tamhid.[2]

Sumber : Risalah Ilmiah Tatacara Duduk Tasyahhud Akhir Dalam Setiap Shalat Hal : 17-21
________________________________________
[1] (Lihat : Fathul Bari, Ibnu rajab Al-Hanbali: 5/164 ).
[2] Lihat perselisihan para ulama ini dalam kitab : Al-majmu syarhul muhadzdzab, An-Nawawi
(3/298-299), At-Tamhid, Ibnu Abdil Barr (3/223-224), Al-Mughni, Ibnu Qudamah (1/577-578),
Fathul Bari, Ibnu Hajar (2/360), fathul bari, Ibnu Rajab al-hambali (5/161-164), tuhfatul
ahwadzi, Al-Mubarakfuri (2/45-46), Aunul Mabud, Abu ath-Thayyib Aabaadi (2/326-327).

ALASAN PENDAPAT PERTAMA DAN KEDUA

Alasan pendapat pertama :


Al-Malikiyyah membangun pendapatnya tersebut berdasarkan hadits yang shahih dari Abdullah
bin Umar radiallohu anhu, dimana beliau berkata:

Sesungguhnya sunnahnya shalat (ketika duduk) adalah engkau menegakkan kaki kananmu dan
menghamparkan (kaki) kirimu[1]

Dalam riwayat Imam Malik dalam Al-Muwaththa, dalam Bab: Al-Amal Fil Juluus Fis
Shalaah (188), dari Yahya bin Said bahwa Al-Qasim bin Muhammad memperlihatkan kepada
mereka cara duduk ketika tasyahhud, lalu beliau menegakkan kaki kanannya dan
menghamparkan kaki kirinya, dan duduk di atas warik[2] kirinya dan tidak duduk di atas
kakinya. Lalu dia berkata: Abdullah bin Abdullah bin Umar telah memperlihatkan kepadaku
demikian, dan mengabariku bahwa ayahnya (Abdullah bin Umar) melakukan yang demikian itu.

Yang menjadi syahid dari hadits ini dimana Abdullah bin Umar mengajarkan bahwa duduk
yang disyariatkan adalah duduk tawarruk, dan tidak disebutkan apakah duduk tersebut di awal
ataukah di akhir yang menunjukkan keumuman lafadz hadits tersebut. Perkataan beliau
sunnahnya shalat menunjukkan bahwa beliau menyandarkan hal tersebut kepada Rasulullah
Shallallohu alaihi wasallam, sebagaimana yang telah diketahui dalam ilmu musthalahul hadits.

Diantara dalil yang mereka sebutkan pula adalah hadits Abdullah bin Masud radiallohu anhu,
bahwa beliau berkata:






..


.

Shallallohu alaihi wasallamRasulullah, mengajarkan tasyahhud kepadaku dipertengahan


shalat dan di akhirnya. Lalu berkata: Adalah beliau mengucapkan jika duduk dipertengahan
shalat dan di akhir shalat di atas warik (bagian atas paha/bokong)-nya yang kiri Al-Hadits.[3]

Yang menjadi syahid dari hadits ini adalah penyebutan duduk tawarruk baik dipertengahan shalat
maupun diakhir shalat.

Alasan pendapat kedua :


Al-Hanafiyyah yang berpendapat bahwa semua keadaan duduk dilakukan dengan cara iftirasy,
berdalil dengan hadits Aisyah bahwa beliau berkata:

Adalah beliau (Rasulullah Shallallohu alaihi wasallam, ) melakukan tahiyyat pada setiap dua
rakaat, dan beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk
iftirasy).[4]

Juga berdasarkan hadits Wail bin Hujr radiallohu anhu bahwa beliau berkata:

Aku melihat Rasulullah Shallallohu alaihi wasallam, ketika duduk dalam shalat, beliau
menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya.[5]

Dalam riwayat Tirmidzi dengan lafadz:

Maka tatkala beliau duduk untuk tasyahhud, beliau menghamparkan kaki kirinya dan
meletakkan tangan kirinya di atas pahanya, dan menegakkan kaki kanannya.[6]

Demikian pula diriwayatkan dari Amir bin Abdullah bin Zubair, dari ayahnya berkata:




Adalah Rasulullah Shallallohu alaihi wasallam, jika duduk pada dua rakaat, beliau
menghamparkan yang kiri, dan menegakkan yang kanan. [7]

Yang menjadi syahid dari beberapa riwayat tersebut di atas adalah penyebutan duduk iftirasy
disaat duduk ketika shalat, baik diwaktu tasyahhud maupun bukan, dan baik dirakaat terakhir
atau tidak.

Sumber : Risalah Imiah Tatacara Duduk Tasyahhud Akhir Dalam Setiap Shalat Hal : 22-28
________________________________________
[1] (HR. Bukhari: /827, bersama Fathul Bari).
[2] Warik adalah bagian atas paha. (Al-Qamus Al-Muhith)
[3] (HR. Ahmad dalam Al-Musnad: 1/459).
[4] (HR. Muslim: Bab : Maa Yajmau Shifatas Shalaah: 1/498).
[5] (HR. Ibnu Khuzaimah (1/691), Al-Baihaqi (2/72), Ahmad (4/316), At-Thabrani (22/33).
[6] (HR. Tirmidzi: 2/292).
[7] (HR. Ibnu Hibban: 5/1943).

Alasan pendapat ketiga dan keempat :

Sebelum kita membahas dalil masing-masing dari kedua pendapat, yaitu antara madzhab Imam
Ahmad dan Imam Syafii, terlebih dahulu kita fahami bahwa kedua pendapat ini memiliki
persamaan dalam satu sisi, dan berbeda pandangan dari sisi yang lain:

Adapun persamaan kedua pendapat ini adalah bahwa kedua-duanya menggabungkan seluruh
riwayat yang datang menjelaskan tentang kedua jenis duduk tersebut, yaitu duduk iftirasy dan
juga duduk tawarruk. Sehingga semua dalil yang dijadikan alasan oleh madzhab Malikiyyah dan
juga Al-Hanafiyyah, diamalkan oleh Imam Ahmad dan juga Imam Syafii. Mereka juga sepakat
dalam hal duduk tasyahhud awal yang tidak ada salam setelahnya.[1]

Sedangkan letak perbedaannya, adalah dalam menyikapi duduk akhir antara shalat yang
memiliki satu tasyahhud dengan shalat yang memiliki dua tasyahhud, sebagaimana yang kami
terangkan di atas.

Jika kita telah memahami perkara ini, maka jelaslah bahwa untuk menyebutkan alasan dan dalil
dari pendapat Imam Ahmad dan Imam Syafii, adalah berdasarkan riwayat-riwayat yang shahih
yang telah disebutkan pada kedua madzhab, yaitu madzhab Imam Malik dan Abu Hanifah.
Ditambah lagi dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam shahihnya
dari Muhammad bin Amr bin Atha bahwa beliau pernah duduk bersama beberapa orang dari
shahabat Nabi Shallallohu aaihi wasallam, Lalu kamipun menyebutkan tentang shalatnya
Rasulullah Shallallohu aaihi wasallam, Lalu berkata Abu Humaid As-Saidi :

Aku adalah orang yang paling menghafal diantara kalian tentang shalatnya Rasulullah . Aku
melihatnya tatkala bertakbir, menjadikan kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya, dan
jika ruku, beliau menetapkan kedua tangannya pada kedua lututnya, lalu meluruskan
punggungnya. Dan jika beliau mengangkat kepalanya, maka ia berdiri tegak hingga kembali
setiap dari tulang belakangnya ke tempatnya. Dan jika beliau sujud, maka beliau meletakkan
kedua tangannya tanpa menghamparkan kedua lengannya dan tidak pula melekatkannya (pada
lambungnya), dan menghadapkan jari-jari kakinya kearah kiblat. Dan jika beliau duduk pada
rakaat kedua, maka beliau duduk diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk
iftirasy), dan jika beliau duduk pada rakaat terakhir, maka beliau mengedepankan kaki kirinya
dan menegakkan kaki yang lain, dan duduk diatas tempat duduknya bukan di atas kaki kiri-
(duduk tawarruk).[2]

Berkata Al-Hafidz: dan dalam riwayat Abdul Hamid [3] dengan lafadz:

Jika (Beliau duduk) pada rakaat yang terdapat padanya salam,


dan dalam riwayat Ibnu Hibban:

Pada (Rakaat) yang menjadi penutup shalat, maka beliau mengeluarkan kaki kiri dan duduk
dengan tawarruk diatas sisi kirinya.

Ditambah oleh Ibnu Ishaq dalam riwayatnya: Lalu beliau mengucapkan salam, dan dalam
riwayatnya dalam riwayat At-Thahawi: Tatkala mengucapkan salam, maka dia salam kesebelah
kanannya salaamun alaikum warahmatullah, dan kesebelah kirinya pun seperti itu juga.
Kemudian dalam riwayat Abu Ashim dari Abdul Hamid dalam riwayat Abu Dawud dan
selainnya: Mereka berkata -yaitu para shahabat yang disebut dalam hadits, engkau telah benar,
memang demikian Beliau Shallallohu aaihi wasallam, shalat.[4]

Berkata penulis semoga Allah mengampuninya : Dan juga dalam riwayat Ibnul Jarud dalam
Al-Muntaqa (192), dengan lafadz:

Sehingga pada duduk yang padanya terdapat salam, maka beliau menggeser kaki kirinya dan
duduk dengan cara tawarruk diatas sisi kirinya.

Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya (1/587), dan Tirmidzi (304), Ahmad 5/424),
dengan lafadz:

Sehingga (duduk) pada rakaat yang diselesaikannya shalat padanya , dan dalam riwayat An-
Nasaai (1262), dengan lafadz:

Adalah Nabi Shallallohu aaihi wasallam, jika pada dua rakaat yang pada keduanya berakhir
shalat.

Sumber : Risalah Imiah Tatacara Duduk Tasyahhud Akhir Dalam Setiap Shalat Hal : 29-36
________________________________________
[1] (Fathul Bari, Ibnu Rajab Al-Hanbali: 5/162. cetakan: daru Ibnul jauzi, cetakan kedua, tahun
1422 H).
[2] (HR. Bukhari dalam Kitab Al-Adzan, Bab: Sunnatul Julus Fis Shalaah: 2/828).
[3] Abdul Hamid yang dimaksud adalah Abdul Hamid bin Jafar Al-Anshari Al-Ausi Abul
Fadhl, yang meriwayatkan hadits dari Muhammad bin Amr bin Atha dari Abu Humaid As-
Saidi.
[4] (Fathul bari:2/360).

KELEMAHAN PENDAPAT AL-MALIKIYYAH DAN AL-HANAFIYYAH

Kedua pendapat tersebut adalah pendapat yang lemah, hal ini disebabkan karena mereka
memandang kepada hadits-hadits yang datang dari Rasulullah Shallallohu alaihi wasallam, yang
Shallallohu alaihimenjelaskan tentang salah satu cara duduk beliau wasallam,, tanpa menoleh
kepada hadits-hadits yang lain yang menjelaskan tentang cara duduk yang berbeda. Sehingga
kalau kita mengamalkan seperti amalan madzhab Malikiyyah, berarti kita tidak mengamalkan
hadits-hadits yang menyebutkan tata cara duduk iftirasy, demikian pula halnya jika kita
mengamalkan seperti amalan madzhab Al-Hanafiyyah, berarti kita meninggalkan beramal
dengan hadits-hadits yang menjelaskan tentang cara duduk tawarruk.

Berkata Abul Ula Al-Mubarakfuri:


,






.

Kesimpulannya bahwa tidak terdapat nash yang jelas dari apa yang menjadi pegangan Imam
Malik dan yang bersamanya, dan tidak pula apa yang menjadi pegangan Abu Hanifah dan yang
bersamanya. Adapun yang menjadi pendapat Imam Syafii dan yang bersamanya, maka padanya
terdapat nash yang jelas , maka inilah madzhab yang kuat.[1]

Demikian pula yang dikatakan oleh Ibnu Hazm setelah menyebutkan madzhab Imam
Malik dan Abu Hanifah:

Dan kedua pendapat tersebut salah, dan menyelisihi sunnah yang tsabit yang telah kami
sebutkan (yaitu hadits Abu Humaid).[2]

Terkhusus riwayat Abdullah bin Masud yang dijadikan pegangan oleh madzhab Malikiyyah
tentang duduk tawarruk pada awal atau akhir shalat, adalah riwayat yang berasal dari jalan
Muhammad bin Ishaq bin Yasar, ia berkata: Abdurrahman bin Al-Aswad bin Yazid An-Nakhai
telah memberitakan kepadaku tentang tasyahhud Rasulullah Shallallohu alaihi wasallam,
dipertengahan shalat dan diakhirnya, dari ayahnya dari Abdullah bin Masud radiallohu anhu,
bahwa beliau berkata:






..


.

Rasulullah Shallallohu alaihi wasallam, mengajarkan tasyahhud kepadaku dipertengahan shalat


dan di akhirnya. Lalu berkata: Adalah beliau mengucapkan jika duduk dipertengahan shalat dan
di akhir shalat di atas warik (bagian atas paha/bokong)-nya yang kiri Al-Hadits.[3]

Muhammad bin Ishaq tersebut di atas, meskipun dia seorang perawi yang jujur, yang asal hukum
riwayatnya dihasankan, namun dalam riwayat ini dia telah menyelisihi para perawi yang lebih
terpercaya, yang meriwayatkan hadits Ibnu Masud tersebut tanpa menyebutkan lafadz duduk
dipertengahan shalat dan di akhirnya seperti yang disebutkan oleh Ibnu Ishaq.

Berkata Adz-Dzahabi:
Yang nampak bagiku bahwa Ibnu Ishaq adalah hasan haditsnya. Keadaannya baik, jujur, dan
apa yang ia bersendiri pada (riwayatnya), terdapat kemungkaran padanya, karena pada
hafalannya ada sesuatu (berupa kelemahan).
Oleh karena itu, Syaikh Al-Albani juga menghukumi hadits ini sebagai hadits yang mungkar.[4]

Sumber : Risalah Imiah Tatacara Duduk Tasyahhud Akhir Dalam Setiap Shalat Hal : 37-42
________________________________________
[1] (Tuhfatul Ahwadzi: 2/155).
[2] (Al-Muhalla, Ibnu Hazm: 4/127).
[3] (HR. Ahmad dalam Al-Musnad: 1/459).
[4] (Lihat kitab: Ashlu Shifat Shalaat An-Nabi r karya Al-Albani 832/3 : ) .

TARJIH ANTARA MADZHAB IMAM AHMAD DAN IMAM SYAFI

Barangsiapa yang memperhatikan kedua pendapat tersebut, dia akan mengetahui bahwa
pendapat Imam Syafii merupakan pendapat yang lebih mendekati kebenaran dan yang berjalan
bersama dalil. Hal ini dapat terlihat dari hadits Abu Humaid As-Saidi radiallohu anhu,, yang
menjelaskan tentang tata cara shalat Rasulullah Shallallohu alaihi wasallam, secara terperinci.
Berikut ini penjelasan tentang hadits tersebut:

Abu Humaid radiallohu anhu, membedakan antara duduk diakhir shalat dengan duduk yang
bukan diakhir shalat. Tatkala beliau menjelaskan tentang duduk yang bukan akhir shalat, beliau
menyebutnya dengan lafadz Dan jika beliau duduk pada rakaat kedua, maka beliau duduk
diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirasy). Dari lafadz ini menunjukkan
bahwa duduk iftirasy dilakukan dipertengahan shalat, dan bukan akhir shalat. Penyebutan lafadz
dua rakaat bukanlah maksud dari riwayat ini, namun maksudnya adalah rakaat yang bukan
akhir shalat. Berdasarkan beberapa alasan berikut:

Pertama: Mafhum dari lafadz setelahnya Dan jika beliau duduk pada rakaat terakhir
menunjukkan bahwa lafadz sebelumnya bermakna yang bukan rakaat terakhir.
Kedua: Mafhum Al-Adad menurut para ahli ushul termasuk diantara dalil yang paling lemah.
Yang dimaksud Mafhum Al-Adad adalah menyandarkan satu hukum kepada bilangan tertentu
yang disebut dalam sebuah nash. Seperti contoh, firman Allah Taala:

{ 4 : ] } [ .

Maka cambuklah mereka delapan puluh kali cambukan (QS. An-Nur: 4).

Maka difahami dari ayat ini bahwa pencambukan tersebut dilakukan sebanyak delapan puluh
kali, tidak lebih dan tidak pula kurang dari jumlah tersebut. Tetapi pemahaman ini tidak
sepenuhnya bisa dijadikan dalil pada setiap tempat, namun harus dikembalikan kepada penguat
(qorinah) yang ada. Seperti contoh hadits Abu Hurairah radiallohu anhu, bahwa beliau berkata:

Sulaiman memiliki 60 istri, lalu beliau mengatakan: Saya akan berkeliling mendatangi mereka
pada malam hari ini, sehingga setiap dari mereka mengandung, lalu setiap dari mereka
melahirkan seorang anak yang menjadi penunggang kuda yang akan berperang dijalan Allah.
Namun tidak ada yang hamil dari mereka kecuali satu orang yang kemudian melahirkan setengah
manusia. Maka Rasulullah Shallallohu alaihi wasallam, bersabda: Sekiranya ia mengatakan
Insya Allah, niscaya akan melahirkan setiap mereka seorang anak lelaki yang menjadi
penunggang kuda dijalan Allah.[1]

Perhatikan penyebutan jumlah 60 istri dalam hadits ini tidak menunjukkan bahwa istri beliau
tidak lebih dari itu, berdasarkan riwayat-riwayat lain yang menyebutkan jumlah yang berbeda
dari yang disebutkan dalam hadits ini. Berkata An-Nawawi tatkala mengomentari hadits ini:

(( : )) (( : (( )) )) : (( . ))






.

Dalam satu riwayat 70, dan dalam riwayat lain 90, dan dalam riwayat di luar shahih
Muslim 99, dan dalam riwayat lain 100. Ini semua tidak bertentangan, sebab penyebutan
bilangan yang sedikit tidak menafikan yang banyak. Telah berkali-kali penjelasan tentang hal ini.
Dan ini termasuk mafhum al-adad, dan itu tidak diamalkan menurut kebanyakan dari para ahli
ushul.[2]

Al-Hafidz Ibnu Hajar juga mengatakan :

Dan yang benar bahwa penunjukan mafhum al adad tidaklah yakin (tidak bersifat pasti),
namun hanya bersifat kemungkinan.[3]
Jika kita telah memahami hal ini, maka yang dimaksud dalam hadits tersebut bukanlah dua
rakaat, namun maknanya adalah duduk yang bukan rakaat terakhir. Sehingga semakin
dikuatkan dengan hadits Nabi bahwa beliau bersabda:


((
)) .

Maka jika engkau duduk di pertengahan shalat, maka lakukanlah thumaninah, dan hamparkan
paha kirimu agar engkau duduk diatasnya (duduk iftirasy), lalu lakukanlah tasyahhud[4]

Maka hadits ini menjelaskan tentang keadaan duduk iftirasy tersebut dilakukan dipertengahan
shalat, sedangkan lafadz hadits Abu Humaid dan jika beliau duduk pada rakaat terakhir,
dengan berbagai lafadznya merupakan nash yang bersifat manthuq sharih (yaitu penunjukkan
lafadz yang sesuai pada peletakannya), dan manthuq lebih didahulukan daripada mafhum.
Wallahul muwaffiq.

Adapun hadits Aisyah, Wail bin Hujr dan Abdullah bin Zubair, yang menjelaskan tentang duduk
iftirasy, tidak menyebutkan secara terperinci apakah duduk tersebut dilakukan pada pertengahan
shalat ataukah pada akhirnya, yang menunjukkan bahwa hadits tersebut global dan tidak tafshil
(terperinci). Jika kita beramal berdasarkan keumuman duduk iftirasy dalam hadits tersebut, lalu
bagaimana dengan keumuman hadits Abdullah bin Umar yang mengatakan:

Sesungguhnya sunnahnya shalat (ketika duduk) adalah engkau menegakkan kaki kananmu dan
menghamparkan (kaki) kirimu[5]

Beliau hanya menyebutkan duduk tawarruk dalam shalat dan tidak merinci apakah duduk
dipertengahan shalat ataukah di akhir shalat.
Jika ada yang berkata: Hadits Wail bin Hujr dan yang semisalnya menyebutkan cara duduk pada
shalat dua rakaat, yang menunjukkan keumuman setiap shalat dua rakaat.

Maka kami menjawab: Hadits Ibnu Umar lebih umum lagi, dimana Ibnu Umar radiollohu
anhu, mengatakan Sesungguhnya sunnahnya shalat (ketika duduk) dan beliau tidak
menyebutkan rakaat ke berapa, dan shalatnya berapa rakaat. Maka jika anda beramal dengan
keumuman hadits Wail dan yang semisalnya, maka amalkan pula hadits Abdullah bin Umar
secara umum, dengan duduk tawarruk pada setiap duduk ketika shalat.

Demikian pula, kita mengetahui bahwa shalat yang memiliki satu tasyahhud bukan hanya shalat
yang berjumlah dua rakaat, namun disana ada shalat yang berjumlah satu rakaat saja, seperti
shalat witir, ada pula shalat tiga rakaat dengan satu tasyahhud, empat rakaat dengan satu
tasyahhud, lima rakaat dengan satu tasyahhud, tujuh rakaat dimana beliau duduk tasyahhud
pada rakaat keenam dan tidak salam, lalu bangkit menuju rakaat yang ketujuh lalu salam,
Sembilan rakaat dan beliau duduk dirakaat yang kedelapan dan tidak salam, lalu melanjutkan
kerakaat yang kesembilan lalu salam. Nah, bagaimana anda menyikapi cara duduk di dalam
shalat tersebut? Sementara shalat tersebut hanya menyebutkan shalat yang dua rakaat. Namun
jika kita memahaminya sebagaimana yang dipahami oleh Imam Asy-Syafii , maka setiap
permasalahan tentang tata cara duduk tersebut dapat difahami dengan baik berdasarkan hadits-
hadits yang datang menjelaskan tentang permasalahan ini.

Kesimpulannya bahwa hadits Abu Humaid radiallohu anhu, adalah hadits yang menjelaskan
tentang tata cara Shalat Rasulullah Shallallohu alaihi wasallam, pada seluruh shalat, apakah itu
shalat yang memiliki satu tasyahhud, maupun yang memiliki dua tasyahhud. Jika duduk
dilakukan dipertengahan shalat, maka yang dilakukan adalah duduk iftirasy, dan jika duduk
dilakukan pada akhir shalat, maka yang dilakukan adalah duduk tawarruk. Sedangkan selain
hadits Abu Humaid radillohu anhu, merupakan hadits yang bersifat umum, maka hadits yang
bersifat umum/global tersebut semestinya dibawa kepada hadits Abu Humaid yang merinci dan
menjelaskan. Wallahul muwaffiq.

Dan dari kesimpulan ini juga menunjukkan lemahnya pendapat kelima yang mengatakan
bolehnya memilih duduk mana saja yang dia inginkan.

Sumber : Risalah Ilmiah Tatacara Duduk Tasyahhud Akhir Dalam Setiap Shalat Hal : 43-55
________________________________________
[1] (HR. Muslim, Kitabul Aymaan, Bab: Al-Istitsnaa': 1654).
[2] (Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi: 11/120).
[3] (Fathul Bari: 3/146).
[4] (HR. Abu Dawud dari Rifaah bin Rafi, dan Al-Albani berkata: sanadnya hasan. Lihat kitab:
Ashlu Shifatis Shalaah, Al-Albani: 3/831-832).
[5] (HR. Bukhari: /827, bersama Fathul Bari).

PERKATAAN PARA ULAMA YANG MENGUATKAN PENDAPAT IMAM SYAFII


DALAM MASALAH DUDUK TASYAHHUD AKHIR

Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar :





:
:
.


:


.

Dalam hadits ini merupakan hujjah yang kuat bagi Imam Asy-Syafii dan yang sependapat
dengannya bahwa keadaan duduk pada rakaat yang pertama berbeda dengan duduk pada rakaat
terakhir. Dan Al-Malikiyyah dan Al-Hanafiyyah menyelisihi hal tersebut dan mengatakan:
disamakan antara keduanya. Namun Al-malikiyyah mengatakan: dia bertawarruk pada dua
duduk tersebut seperti yang terdapat pada tasyahhud akhir, sedangkan yang satunya (Al-
Hanafiyyah) sebaliknya.

Lalu Al-Hafidz melanjutkan: dan Imam Syafii menjadikan ini sebagai dalil pula bahwa
tasyahhud diwaktu subuh adalah seperti tasyahhud akhir yang berbeda dengan yang lainnya,
berdasarkan keumuman perkataannya pada rakaat terakhir, dan diperselisihkan perkataan
imam Ahmad padanya, dan yang masyhur dari beliau adalah duduk tawarruk dikhususkan pada
shalat yang memiliki dua tasyahhud.[1]

Berkata An-Nawawi : berkata Imam Syafii dan pendukungnya:

,
.




.

,



.

.

Hadits Abu Humaid radiallohu anhu dan para shahabatnya jelas membedakan antara dua duduk
tasyahhud, sedangkan hadits-hadits yang lainnya adalah hadits yang mutlak, sehingga wajib
untuk dipahami dengan tepat. Adapun yang meriwayatkan hadits mengenai duduk tawarruk,
maka yang dimaksud adalah duduk pada tasyahhud akhir, dan yang meriwayatkan tentang duduk
iftirasy, yang dimaksud adalah tasyahhud awal. Sehingga harus dilakukan penggabungan antara
hadits-hadits yang shahih, terlebih lagi hadits Abu Humaid As-Saidi telah disetujui oleh sepuluh
orang dari para pembesar shahabat Radhiallahu Anhum. Wallahu alam.[2]

Dan berkata Al-Mubarakfuri :

Secara insaf (Yang pertengahan/adil) adalah bahwa tidak didapatkan satupun hadits yang
menunjukkan secara jelas tentang disunnahkannya duduk diatas kaki kiri (duduk iftirasy, pen)
pada duduk terakhir. Dan hadits Abu Humaid terperinci, sehingga yang global dibawa maknanya
kepadanya yang terperinci.[3]

Berkata Abut Thayyib Aabadi :






.

Dalam hadits Abu Humaid radiallohu anhu merupakan hujjah yang kuat dan jelas bahwa yang
disunnahkan duduk pada tasyahhud pertama dengan iftirasy dan pada duduk akhir dengan
tawarruk. Dan ini adalah madzhab Syafii dan inilah yang benar menurutku. Wallahu taala
alam. [4]

Asy-Syaukani mengatakan:

)) ((

))



(( .

Dan rincian yang menjadi pendapat Imam Ahmad tertolak dengan ucapan Abu Humaid dalam
haditsnya jika duduk pada rakaat terakhir dan pada riwayat Abu Dawud hingga pada rakaat
yang padanya terdapat salam. (Nailul Authar: 1/563) [5]
Kemudian pendapat Imam Syafii ini juga dikuatkan oleh Ibnu Hazm .
Berkata Ibnu Hazm :

, , : ,
,
,
,



,
.








,













,











,



,



,
.

Di dalam shalat ada empat keadaan duduk: duduk diantara dua sujud, duduk setelah sujud
kedua dari setiap rakaat (duduk istirahat- pen-), duduk tasyahhud setelah rakaat kedua, lalu
bangkit menuju rakaat ketiga pada shalat maghrib, dan shalat muqim (tidak musafir) pada shalat
dzuhur, Ashar dan Isya, dan duduk untuk tasyahhud pada akhir setiap shalat, yang dia
mengucapkan salam pada akhirnya. Dan semua cara duduk yang disebutkan adalah dengan
menjadikan bokong kirinya berada di atas telapak kaki kirinya dengan menidurkan kakinya
tersebut, dan menegakkan kaki kanannya, mengangkat tumitnya mendudukkannya diatas bagian
dalam jari jemari (kakinya) tersebut (maksud beliau adalah duduk iftirasy -pen-). Kecuali duduk
yang diikuti dengan salam dari setiap shalat, maka sesungguhnya caranya adalah dengan
melekatkan tempat duduknya di bokongnya) ke tempat yang dia duduk di atasnya, dan tidak
hanya duduk di atas telapak kakinya.[6]

Juga dikuatkan oleh salah seorang tokoh dari madzhab hanafi yang bernama Abdul Hay Al-
Laknawi , beliau berkata:

(
,






)

Secara insaf, bahwa tidak ditemukan satupun hadits yang menunjukkan dengan jelas tentang
disunnahkannya duduk di atas kaki kiri pada duduk terakhir, Dan hadits Abu Humaid lebih
terperinci, maka yang global dibawa maknanya kepada yang terperinci.[7]
Semoga penjelasan ini dapat kita fahami dengan baik dan memberikan tambahan ilmu kepada
para pembaca sekalian.
wallahul haadii ilaa sabiilir rasyaad.

Sumber : Risalah Ilmiah Tatacara Duduk Tasyahhud Akhir Dalam Setiap Shalat Hal : 56-67
________________________________________
[1] (Fathul Bari:2/360).
[2] (Lihat Kitab Al-Majmu Syarhul Muhadzdzab, 3/431. cetakan daar Ihyaa At Turats Al-
Arabi, tahqiq Muhammad Najib Al-Muthii. Lihat pula dalam Syarah Muslim: 2/81)
[3] (Tuhfatul Ahwadzi: 2/156)
[4] (Aunul Mabud: 3/171).
[5] Namun Asy-Syaukani rahimahullah berpendapat bahwa boleh duduk iftirasy pada rakaat
terakhir yang padanya terdapat dua tasyahhud, namun duduk tawarruk lebih afdhal, disebabkan
karena hadits-hadits yang datang tentang duduk tawarruk lebih banyak dan lebih jelas.(lihat pula
kitab : As-sailul jarrar, Asy-Syaukani: 1/220. Cetakan darul kutub al-ilmiyyah, cetakan pertama.
[6] (Al-Muhalla: 4/125).
[7] (At-taliq al-mumajjad, hal:111,no:12). lihat kitab: Abkaar al-minan fi tanqiidi atsaar as-
sunan, karya Muhammad bin Abdurrahman Al-Mubarakfuri, takhrij Abul Qasim bin Abdil
Adzhim, cetakan: idaratul buhuts al-islamiyyah bil jamiah as-salafiyyah, banaris, India, cetakan
pertama, tahun 1410 H-1990 M).

KESIMPULAN

Dari apa yang telah kami paparkan pada pembahasan tersebut di atas, kita dapat menarik
kesimpulan bahwa pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat Imam Syafii dan
yang bersamanya, yang menjelaskan bahwa cara duduk terakhir yang benar adalah duduk
tawarruk, dan bukan duduk iftirasy.

Ketika kami menguatkan pendapat ini, bukan berarti kami mencela pendapat yang menyelisihi
pendapat kami, apabila yang nampak baginya menyelisihi apa yang telah kami sebutkan, dan
demikian pula sebaliknya. Namun bagi seorang muslim, setelah nampak baginya pendapat yang
lebih kuat dalam satu masalah, maka tidak ada jalan lain baginya kecuali menyatakan kebenaran
lebih patut untuk diikuti.

Semoga Allah Subhaahahu wataaala memberi taufik kepada kita semua, dan semoga Allah
senantiasa memberikan istiqamah kepada kita, agar terus berjalan diatas jalan Allah Subhaahahu
wataaala, hingga kita bertemu dengan-Nya.

Sumber : Risalah Ilmiah Tatacara Duduk Tasyahhud Akhir Dalam Setiap Shalat Hal : 68-69
Dipulikasikan oleh : ibnuramadan.wordpress.com
===================

About these ads

Share this:

Cetak
Surat elektronik
Lagi

Terkait

As-Salafiyyun Fanatik Terhadap Para Ulama Mereka?dalam "ZZ..BANTAHAN..ZZ"

SAPTO DARMO DALAM PANDANGAN ISLAM Bag.2dalam "AJARAN KEJAWEN"

PENJELASAN PARA ULAMA TENTANG MASALAH RAJABdalam "ZZ..BARU DALAM


ISLAM..ZZ"
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh ibnuramadan pada Maret 5, 2009 in ZZ..SUNNAH..ZZ

SURAT BUAT K

Anda mungkin juga menyukai